Upload
doandan
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada setiap penelitian, selalu diperlukan kerangka teori yang
digunakan untuk mendukung pernyataan dan menjadi dasar
dilakukannya sebuah penelitian. Teori ialah serangkaian asumsi,
konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena
sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar-
konsep (Singarimbun dan Effendi, 1984). Oleh karena itu, pada bab ini
peneliti akan memaparkan sejumlah teori yang terkait dengan penelitian
ini.
A. RELIGIUSITAS
1. Pengertian Religiusitas
Ditinjau dari perbendaharaan kata, ada tiga istilah serupa
yang masing-masing memiliki perbedaan arti yakni religi, religius,
dan religiusitas. Slim (dalam Rasmanah, 2003) mendefinisikan
istilah tersebut dari Bahasa Inggris. Religi berasal dari kata
‟religion’ sebagai bentuk dari kata benda yang berarti agama atau
kepercayaan akan adanya sesuatu kekuatan kodrati di atas manusia.
Religius berasal dari ‟religious’ yang berkenaan dengan religi atau
sifat religi (keagamaan) yang melekat pada diri seseorang.
Sedangkan, religiusitas berasal dari kata ‟religiosity’ yang berarti
pengabdian yang besar pada agama.
Religiusitas dan agama merupakan dua hal yang berkaitan
satu dengan yang lainnya. Miller dan Thoresen (2003) dalam
Paloutzian (2005) mendefinisikan agama sebagai sebuah institusi
16
yang didalamnya mencakup berbagai fenomena religius beserta ritual
keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok
dalam membangun hubungan dengan Tuhan. Di samping itu,
religiusitas menurut James (2001) dalam Paloutzian dan Park (2005)
merujuk kepada perasaan, tindakan, dan refleksi akan pengalaman
individual dalam usaha menghayati hubungan dengan sesuatu yang
diyakininya.Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa
agama merupakan Kemudian, religiusitas
Lebih lanjut, Kaye dan Raghavan (2000) mendefinisikan
religiusitas sebagai ekspresi spiritual seorang individu yang
berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku dan
ritual. Religiusitas merupakan aspek yang telah dihayati oleh
individu di dalam hati, getaran hati nurani pribadi dan sikap personal
(Mangunwija, 1986). Hal serupa juga diungkapkan oleh Stark dan
Glock (1968) dalam Dister (1988) mengenai religiusitas yaitu sikap
keberagamaan yang berarti adanya unsur internalisasi agama ke
dalam diri seseorang. Jadi, dapat dikatakan bahwa religiusitas lebih
mengarah pada keyakinan dan kepercayaan seorang individu kepada
Tuhan yang bersifat internal.
2. Dimensi Religiusitas
Menurut Glock dan Stark (1968), ada lima dimensi dalam
religiusitas yaitu:
a) Dimensi Intelektual
Dimensi intelektual mengacu pada ekspektasi sosial
yang menyatakan bahwa individu yang religius memiliki
pengetahuan tentang agama yang dianutnya dan dapat
17
menjelaskan pandangan mereka mengenai hubungan
transenden, agama, dan religiusitas. Pada sistem konstruksi
religiusitas personal, dimensi ini direpresentasikan dalam
ketertarikan pada tema keagamaan, kemampuan
menerjemahkan, gaya berpikir dan interpretasi individu.
Indikator dalam dimensi intelektual ini adalah frekuensi
individu dalam memikirkan isu-isu religius. Hal tersebut
mengindikasikan seberapa sering konten religius diperbaharui
dan mendapat internalisasi ke dalam diri individu melalui
dimensi intelektual.
b) Dimensi Ideologi
Dimensi ideologi mengacu pada ekspektasi sosial yang
menyatakan bahwa individu yang religius memiliki keyakinan
akan kehadiran dan esensi dari kenyataan transenden serta
hubungan antara transenden dengan manusia. Pada sistem
konstruksi religiusitas personal, dimensi ini direpresentasikan
dalam bentuk kepercayaan, keyakinan yang tidak diragukan
lagi, dan pola yang masuk akal. Indikator dalam dimensi ini
hanya difokuskan pada pola logis (masuk akal) mengenai esensi
dari kehadiran sesuatu yang bersifat transenden.
c) Dimensi Praktek Publik
Dimensi praktek publik mengacu pada ekspektasi sosial
yang menyatakan bahwa individu yang religius akan mengikuti
atau terlibat dalam komunitas religius yang dimanifestasikan
dalam bentuk keikutsertaan individu dalam ritual keagamaan
kelompok atau kegiatan komunitas. Pada sistem konstruksi
religiusitas personal, dimensi ini direpresentasikan dengan
18
adanya rasa memiliki dan menjadi bagian dari komunitas
religius yang menghargai hubungan transenden. Intensitas
umum yang muncul pada dimensi ini dapat diukur dengan
menanyakan lebih dalam tentang frekuensi individu mengambil
bagian dalam pelayanan religius. Dalam penelitian antar-agama,
disarankan untuk membedakan label pada pelayanan religius
tergantung dari alifiasi religius yang dimiliki partisipan. Sebagai
contohnya ialah kehadiran di Gereja pada umat Kristiani dan
shalat Jumat pada umat Muslim.
d) Dimensi Praktek Pribadi
Dimensi praktek pribadi mengacu pada ekspektasi sosial
yang menyatakan bahwa individu yang religius akan
mencurahkan dirinya pada relasi transenden dalam bentuk
aktivitas yang bersifat pribadi. Pada sistem konstruksi
religiusitas personal, dimensi ini direpresentasikan dalam aksi
dan gaya personal individu dalam mencurahkan dirinya.
Intensitas berdoa dan meditasi merupakan contoh perilaku yang
dapat diukur dalam dimensi ini karena pada saat berdoa,
individu mengirimkan pesan kepada sesuatu yang dianggapnya
mempunyai kuasa lebih tinggi darinya sehingga individu
melakukan dialog saat berdoa.
e) Dimensi Pengalaman Religius
Dimensi pengalaman religius ini mengacu pada
ekspektasi sosial yang menyatakan bahwa individu yang
religius memiliki semacam kontak langsung tentang kehidupan
kekal setelah kematian yang memberikan pengaruh terhadap
afeksi individu. Pada sistem konstruksi religiusitas personal,
19
dimensi ini direpresentasikan dalam bentuk persepsi,
pengalaman serta perasaan yang dirasakan individu. Analogi
yang digunakan dalam mengukur intensitas pengalaman ini
dapat dilihat dengan dua cara yakni “one-to-one experience”
(dialog dua arah) dan “experiences of being at one” (dialog satu
arah).
.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas
Religiusitas seorang individu dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Secara umum, para ahli menggambarkan dua faktor yang
dapat mempengaruhi religiusitas seorang individu, yakni faktor
perkembangan yang berkenaan dengan perkembangan psikis
seorang individu dan faktor lingkungan (eksternal) yang
mempengaruhi kehidupan religiusitas seorang individu seperti
keluarga, sekolah, masyarakat (Darajdat, 1998).
Lebih spesifik, Jalaludin (2002) menyebutkan faktor internal
yang dapat mempengaruhi religiusitas mencakup faktor hereditas,
usia, dan kepribadian individu. Di samping itu, Thouless (2000)
juga mengemukakan tiga faktor yang dapat mempengaruhi
religiusitas seorang individu, yakni faktor sosial, faktor alami,
moral dan afeksi, faktor kebutuhan, dan faktor intelektual. Berikut
ini adalah penjelasan dari masing-masing faktor tersebut:
a) Faktor sosial; mencakup seluruh pengaruh sosial yang diperoleh
individu melalui pengajaran orangtua, pengajaran yang
diperoleh dari lembaga pendidikan, tradisi, dan tekanan-tekanan
sosial yang dialami oleh individu.
20
b) Faktor alami, moral, dan afeksi; mencakup berbagai
pengalaman mengenai keindahan, keselaran, dan kebaikan yang
ada di dunia lain. Kemudian, faktor moral mencakup setiap
konflik moral yang terjadi pada kehidupan personal individu.
Selain itu, faktor afeksi meliputi pengalaman keagamaan yang
menyangkut afeksi atau perasaan individu.
c) Faktor kebutuhan; mencakup setiap kebutuhan yang seluruhnya
atau sebagian timbul dari berbagai kebutuhan yang tidak
terpenuhi, terutama kebutuhan-kebutuhan akan keamanan,
kebutuhan akan cinta kasih, kebutuhan akan pemenuhan harga
diri, dan ancaman kematian.
B. KELEKATAN DAN PERILAKU SECURE-BASE
1. Pengertian Kelekatan
Istilah „kelekatan‟ (attachment) untuk pertama kalinya
dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958
bernama John Bowlby. Kelekatan merupakan suatu ikatan
emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya
dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya,
biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Konsep yang
lebih lengkap mengenai kelekatan diungkapkan oleh Ainsworth
(1969) yang menyatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional
yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat
spesifik, mengikat mereka dalan suatu kedekatan yang bersifat
kekal sepanjang waktu.
21
Ainsworth, Blehar, Waters dan Wall (dalam Fraley dan
Spieker, 2003; Cummings, 2003, Sroufe, 2003; Cassidy, 2003;
Waters dan Beauchaine, 2003) membuat sebuah eksperimen untuk
melihat tingkah laku lekat dengan metode „situasi terpisah‟. Pada
eksperimen ini, anak ditempatkan dalam ruangan yang dirancang
dengan lingkungan fisik yang tidak familiar, adanya perpisahan
dengan pengasuh, dan adanya kontak dengan orang asing. Kombinasi
dari ketiga aspek tersebut dengan sengaja diciptakan untuk melihat
reaksi anak.
Berdasarkan eksperimen tersebut diperoleh tiga respon, yaitu:
1) Insecure-avoidance atau Tipe A, yakni terjadi penolakan terhadap
kehadiran ibu, menampakkan permusuhan, kurang tertarik dengan
kehadiran ibu, mengacuhkan dan kurang mengekspresikan emosi
negatif.
2) Secure-attached atau Tipe B, yakni ibu digunakan sebagai dasar
eksplorasi, anak berada dekat ibu untuk beberapa saat kemudian
melakukan eksplorasi, anak kembali pada ibu ketika ada orang
asing, tapi memberikan senyuman apabila ada ibu didekatnya
(Cicchetti dan Toth, 1995). Anak merasa terganggu ketika ibu pergi
dan menunjukkan kebahagiaan ketika ibu kembali.
3) Insecure-ambivalance atau Tipe C, yakni adanya keengganan untuk
mengeksplorasi lingkungan. Tampak impulsive, helpless dan kurang
kontrol (Cicchetti dan Toth, 1995). Beberapa tampak selalu
menempel pada ibu dan bersembunyi dari orang asing. Anak
tampak sedih ketika ditinggal ibu dan sulit untuk tenang kembali
meskipun ibu telah kembali. Mampu mengekspresikan emosi
negatif namun dengan reaksi yang berlebihan.
22
Berdasarkan eksperimen tersebut, kelekatan dikelompokkan
menjadi dua, yakni kelekatan yang aman (secure attachment) yaitu
Tipe B dan kelekatan yang tidak aman (insecure attachment) yaitu
Tipe A dan Tipe C. Ainsworth (dalam Ervika, 2000; Belsky, 1988)
menemukan bahwa anak yang memiliki kelekatan yang tidak aman
mengalami masalah dalam hubungan dengan figur lekat, sebaliknya
anak yang memiliki kelekatan aman memiliki pola hubungan
dengan kualitas yang sangat baik dengan figur lekat. Bowlby (1988)
menyatakan bahwa kelekatan yang aman antara ibu dan anak dapat
diamati melalui perilaku secure-base yang dimunculkan oleh anak
terhadap ibu, begitupun sebaliknya.
2. Perilaku Secure-Base
a) Pengertian
Perilaku secure-base ialah salah satu indikasi terjalinnya
relasi yang lekat antara anak dan orangtua. Bowlby (1988) dalam
Santrock (2002) menyatakan bahwa konsep kelekatan mengacu
pada suatu relasi antara dua orang, yakni bayi dan orangtua (infant-
parent) yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan
melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi tersebut.
Kelekatan anak terhadap orangtua sebagai figur lekat yang terjalin
selama masa kanak-kanak akan terus aktif sepanjang rentang
kehidupan anak (Bowlby 1988, dalam Holmes 1993).
Pada masa kanak-kanak, kelekatan yang muncul antara anak
dan figur lekat dapat diamati melalui perilaku anak dalam ‟situasi
terpisah‟ dari figur lekatnya. Situasi terpisah dianggap sebagai
ancaman bagi anak sehingga anak menangis, memberontak, dan
23
mencari figur lekat (Ainsworth, 1982). Sedangkan pada masa
remaja, kelekatan yang muncul dengan orangtua akan mengaktifkan
kembali ingatan remaja pada pola kelekatan yang terjalin selama
masa kanak-kanak, khususnya ketika remaja dihadapkan pada
kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam (Bowlby 1988,
dalam Holmes, 1993).
Perilaku secure-base merupakan prinsip utama dalam teori
kelekatan karena letak keamanan yang menjadi poin penting dalam
konsep kelekatan dapat diamati melalui perilaku secure-base
tersebut (Bowlby, 1973, 1982; Bretherton, 1985; Main, Kaplan, &
Cassidy, 1985). Esensi dari prinsip dasar secure-base ialah
peningkatan kemampuan eksplorasi dan pemenuhan rasa ingin tahu
anak tanpa rasa khawatir karena figur lekat dianggap dapat diakses,
melindungi dan menolong saat dibutuhkan. Ketika bahaya datang
mengancam, anak dapat mencari figur lekat dan ketika ancaman
telah terlewati, figur lekat tetap memberinya kesempatan untuk
kembali mengeksplorasi dunianya dan yakin bahwa figur lekat tetap
dapat diakses apabila ancaman datang kembali (Ainsworth, 1982).
Secara spesifik, perilaku secure-base dapat dilihat melalui
munculnya perilaku secure-base use dan secure-base support.
Secure-base use adalah perilaku anak yang menunjukkan rasa aman
terhadap figur lekat karena menganggap figur lekat dapat diakses
saat dibutuhkan, sedangkan secure-base support adalah perilaku
orangtua yang menunjukkan pemberian rasa aman terhadap anak
dengan menjadi figur yang dapat diakses ketika dibutuhkan.
(Ainsworth, 1982).
24
Perilaku secure-base use dan secure-base support ini juga
mengalami transisi seiring dengan perubahan bentuk kelekatan
yang terjalin di masa remaja. Allen dan Land (1999) menyatakan
bahwa masa remaja merupakan masa transisi utama dalam proses
perkembangan kelekatan karena selama masa ini berlangsung,
remaja memulai fase dimana ia menginginkan otonomi lebih dari
figur lekatnya (orangtua). Dykas (2003) juga mengemukakan
bahwa para ahli yang menggeluti bidang ini juga mengemukakan
bahwa pada masa remaja, struktur dari representasi kelekatan
mengalami perubahan sehingga perilaku secure-base use anak dan
secure-base support orangtua mengalami perubahan bentuk di masa
remaja.
Penelitian yang dilakukan Allen dan Land (1999) serta
beberapa penelitian lain tentang representasi perilaku secure-base
yang muncul di masa remaja turut diteliti oleh Ziv, Feeney, dan
Cassidy (2001) dalam Dykas (2003). Melalui penelitian tersebut,
ditemukan bahwa perubahan struktur kelekatan yang terjadi di masa
remaja direpresentasikan melalui perilaku secure-base use remaja
dan secure-base support orangtua yang termasuk dalam enam
komponen, yakni mencakup penghargaan relasi dengan orangtua,
penghargaan relasi dengan remaja, diskusi yang terbuka tentang
masa depan remaja, rasa aman secara menyeluruh, dukungan
terhadap otonomi remaja, dan kepekaan terhadap pemberian
perhatian kepada remaja.
Esensi dari prinsip dasar secure-base yang dikemukakan
oleh Ainsworth (1982) sebelumnya menjadi landasan bagi Ziv,
Cassidy, dan Feeney (2001) dalam mengembangkan sebuah alat
25
ukur yang dapat mengukur perilaku secure-base use remaja dan
secure-base support orangtua.
b) Komponen dalam Perilaku Secure-Base
Ziv, Feeney, & Cassidy (2001) mengemukakan bahwa ada
enam komponen yang dapat digunakan untuk melihat perilaku
secure-base yang terjalin antara remaja dan orangtua. Komponen
tersebut dibagi menjadi dua, yakni secure-base use remaja dan
secure-base support dari orangtua. Berikut ini adalah tiga
komponen yang ada dalam perilaku secure-base use remaja:
1) Diskusi yang Terbuka tentang Masa Depan (Open discussion to
the Future)
Komponen ini mengacu pada perilaku remaja yang
terbuka dalam mendiskusikan masa depan mereka dengan
orangtua. Skala ini mengukur otonomi remaja dalam eksplorasi
dan keterbukaan remaja dalam mendiskusikan target atau tujuan
dan rencana untuk masa depan. Skala ini juga digunakan untuk
melihat keterbukaan remaja dalam mengemukakan pikiran,
perasaan, mengelaborasi isu yang diangkat oleh orangtua.
2) Penghargaan terhadap Relasi dengan Orangtua (Valuing of
Relationship
Komponen ini digunakan untuk mengukur perilaku
remaja dalam hal menghargai hubungan dengan orangtua,
mengakui dan menerima pentingnya hubungan dengan
orangtua, serta menyatakan keinginan untuk melanjutkan
hubungan tersebut di masa depan. Skala ini juga melihat
seberapa jauh remaja menginginkan keberadaan orangtua dan
26
merasa bahwa hubungannya dengan mereka akan meningkatkan
perkembangan selama masa dewasa.
3) Keamanan Menyeluruh (Global security)
Komponen ini mengukur sejauh mana remaja merasa
aman dengan kehadiran orangtua mereka. Hal ini berkaitan
dengan perilaku remaja yang menjadi rileks dan tidak merasa
terganggu dengan kehadiran orangtuanya (Ainsworth, Blehar,
Waters dan Wall (1978). Skala ini ditetapkan untuk melihat
sejauh mana remaja dapat mengekplorasi masa depan dengan
percaya diri dan merasa didukung, didorong, dan dimengerti
oleh orangtua. Skala ini juga dianggap dapat melihat seberapa
jauh remaja dapat menjadi tenang, apa adanya, dan terhubung
dalam interaksi dengan orangtua.
Selain tiga komponen secure-base use di atas, Ziv, Feeney,
dan Cassidy pada tahun 2001 (dalam Dykas, 2003) juga
mengemukakan tiga komponen secure-base support. Berikut ini
adalah tiga komponen tersebut:
1) Dukungan terhadap Otonomi Remaja (Support for teen’s
autonomy)
Komponen ini mengukur perilaku orangtua dalam
memberikan dukungan terhadap otonomi remaja dan percaya
bahwa remaja mempunyai kemampuan untuk mengatasi masa
transisi menuju kedewasaan. Skala ini juga melihat sejauh mana
orangtua menyampaikan kepercayaannya dan tertarik dengan
target atau tujuan, rencana remaja di masa depan serta
menawarkan dukungan atau bantuan kapanpun remaja
membutuhkan.
27
2) Penghargaan terhadap Relasi dengan Remaja (Parent’s valuing
of the relationship)
Komponen ini digunakan untuk mengukur sejauh mana
orangtua memberikan dukungan secara emosional dan secara
terbuka menyampaikan sikap menghargai hubungan yang
terjalin antara orangtua dan remaja, mengakui dan menerima
pentingnya relasi antar mereka, mendorong adanya diskusi yang
bersangkutan dengan isu dalam relasi mereka, serta
mengungkapkan keinginan untuk melanjutkan relasi tersebut ke
depannya.
3) Sensitif terhadap Pemberian Perhatian (Sensitive caregiving)
Komponen ini mengukur sejauh mana orangtua peka
dan responsif terhadap remaja. Dalam artian, orangtua dapat
secara aktif menerima dan menunjukkan perhatian terhadap
pikiran, perasaan, dan kekhawatiran yang diungkapkan remaja.
Selain itu, skala ini juga mengukur sejauh mana orangtua
mengumpulkan informasi mengenai remaja dan berupaya untuk
menolong apa yang dikerjakan remaja dengan penuh perhatian,
pengertian, serta dukungan emosional.
C. REMAJA AKHIR
1. Batasan Usia Remaja Akhir
Remaja akhir merupakan rangkaian terakhir dalam masa
perkembangan remaja. Papalia (2009) mengemukakan bahwa masa
remaja (adolescence) merupakan peralihan masa perkembangan
yang berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun, bahkan lebih awal
sampai masa remaja akhir di awal usia dua puluhan. Santrock
28
(2003) mengemukakan bahwa di Amerika dan kebudayaan lainnya,
rentang usia masa remaja akhir berkisar antara usia 18-22 tahun.
Di samping itu, WHO (World Health Organization) juga
turut mengkategorikan batasan usia remaja akhir (late adolescence)
yang berkisar antara usia 18-21 tahun (Sarwono, 2006). Hal ini
sejalan dengan pendapat Steinberg (1993) yang menyatakan bahwa
masa remaja akhir dimulai pada usia 18 tahun dan berakhir pada
usia 21 tahun. Maka, dapat disimpulkan bahwa masa remaja akhir
merupakan suatu fase akhir dari rangkaian perkembangan masa
remaja dan merupakan masa konsolidasi atau peneguhan menuju
periode dewasa yang dimulai pada usia 18 tahun dan berakhir pada
usia 21 tahun.
2. Religiusitas pada Remaja Akhir
Masa remaja merupakan tahap yang penting dalam
perkembangan religiusitas (Crapps, 1994). Stanley Hall (dalam
Nelson, 2009) juga mengakui bahwa masa kanak-kanak hingga
remaja merupakan periode penting dalam perkembangan religius
seorang individu karena masa ini dilihat sebagai prediksi akan
kehidupan masa dewasa yang akan datang.
Dilihat dari perkembangan kognitif yang dikemukakan
Piaget, pada masa remaja terjadi suatu gerak peralihan dari cara
berpikir kongkrit menuju cara berpikir yang lebih proporsional.
Goldman (1964) telah menerapkan pemikiran Piaget tersebut dalam
bidang agama dengan menguraikan kemampuan yang makin
berkembang dalam membentuk konsep-konsep religius. Pada usia
6-11 tahun, cara berpikir anak terbatas pada situasi, perbuatan dan
29
data konkret. Tetapi setelah usia 11 atau 12 tahun, cara berpikir
logis dalam lambang dan gagasan abstrak mulai nampak dan
berfungsi. Namun penggunaannya yang efektif baru berkembang
pada usia 17-18 tahun, itupun tidak sama efektif bagi remaja dalam
rentang usia yang sama.
Penelitian Goldman mengenai „abstraksi pemikiran religius‟
turut menunjukkan bahwa tahap demi tahap, anak semakin
mencapai efisiensi dalam menggali penafsiran hipotesis dan dapat
melihat relevansi kebenaran abstrak bagi pengalaman mereka. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Elkind (1970) yang
mengungkapkan bahwa kapasitas mental pada masa remaja
memampukan remaja untuk membangun teori dan mencari
pemahaman. Perkembangan kognitif yang bertahap tersebut
memungkinkan terjadinya transisi atau perpindahan dari “agama
lahiriah ke agama batiniah” (Loomba dalam Crapps, 1994).
3. Kelekatan Orangtua dan Anak di Masa Remaja
Allen dan Land (1999) menyatakan bahwa masa remaja
merupakan masa transisi utama dalam proses perkembangan
kelekatan karena selama masa ini berlangsung, remaja memulai
fase dimana ia menginginkan otonomi lebih dari figur lekatnya
(orangtua).
Kelekatan yang terjalin antara anak dan orangtua mengalami
perubahan bentuk di masa remaja. Pada masa kanak-kanak, anak
menangis dan memberontak ketika berada dalam situasi terpisah
dari orangtua sebagai figur lekat. Perilaku tersebut dimunculkan
untuk mencari dan mendekatkan diri dengan orangtua (Ainsworth,
30
1982). Namun demikian, remaja tidak menunjukkan perilaku-
perilaku tersebut dalam relasinya yang lekat dengan orangtua.
Kelekatan yang terjalin antara orangtua dan remaja akan
mengaktifkan kembali ingatan remaja pada pola kelekatan yang
terjalin selama masa kanak-kanak, khususnya ketika remaja
dihadapkan pada kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam
(Bowlby 1988, dalam Holmes, 1993).
D. PERNIKAHAN BEDA AGAMA (ISLAM-KRISTIANI)
1. Pengertian Pernikahan Beda Agama (Islam-Kristiani)
Pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing berbeda
agamanya dan mempertahankan perbedaannya itu sebagai suami
istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa (Mandra &
Artadi dalam Eoh, 1996). Pengertian tersebut mengandung
substansi bahwa dalam pernikahan beda agama, suami - istri tetap
mempertahankan agamanya ketika menikah dan berkeluarga.
Agama sendiri merujuk pada suatu sistem perilaku, kebiasaan,
ritual, upacara, dan kepercayaan yang berisi rangkaian nilai-nilai
dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok dalam
membangun hubungan dengan Tuhan (English & English, 1958).
Jadi, dapat dilihat bahwa dalam pernikahan beda agama
terdapat perbedaan mendasar yang dialami orangtua dalam hal
menjalankan kewajiban agamanya. Perbedaan tersebut mencakup
nilai-nilai yang dianut, pemaknaan konsep Tuhan, dan ritual
31
keagamaan yang dianut. Pada penelitian ini, peneliti memberi
batasan tersendiri mengenai agama yang dianut oleh pasangan yang
menikah beda agama, yakni Islam dan Kristiani. Berikut ini adalah
gambaran mengenai keyakinan dalam dua agama tersebut:
a) Agama Islam
Kata Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Islam atau
Aslama yang artinya menerima, menyerah, tunduk, atau
berserah diri kepada Tuhan. Islam adalah nama yang diberikan
oleh Allah SWT yang dikehendaki Tuhan atas segala
ciptaannya. Ajaran agama Islam disebarkan oleh nabi
Muhammad. Nabi Muhammad ialah Rasul terakhir yang dipilih
Allah SWT, yang diberikan wahyu atau petunjuk ayat Al
Qur‟an ketika ia sedang berada di Gua Hira, Arab Saudi. Ajaran
Islam meyakini satu Tuhan, yakni Allah Yang Maha Esa dan
pemeluknya disebut dengan Muslim (Utoma,1994).
At-Tuwajiri (2003) mengemukakan bahwa rukun Islam
merupakan ajaran yang harus dilaksanakan oleh umat Muslim,
terdiri dari:
1. Shahadad, yaitu La illaha illa‟I-lah Muhammad rasul Allah.
Artinya, tiada Tuhan selain Allah atau hanya Allah satu-
satunya Tuhan, dan Muhammad adalah rasul utusan Allah.
Setiap umat muslim harus bisa mengucapkan kalimat
shahadad.
2. Shalat, yaitu sembahyang di dalam ibadah. Waktu shalat
ada 5 waktu, yaitu 1) Shalat al-zuhr atau shalat waktu johor
yakni pada waktu matahari condong ke arah Barat kira-kira
jam 12.15 sampai jam 15.00, 2) Shalat al-„asr, mulai waktu
32
lohor sampai matahari terbenam, jam 15.30 sampai 18.00, 3)
Shalat al-magrib, waktu tenggelamnya matahari sampai
terbenamnya matahari, 18.15 sampai 19.00, 4) Shalat al-isya
pada waktu 19.45 sampai 04.00, 5) Shalat al-subuh pada
waktu jam 4 pagi sampai 5.30
3. Zakat; yakni bea atau pajak yang harus dibayar oleh umat
muslim, biasanya dilakukan pada bulan puasa, artinya
adalah tumbuh. Secara konkrit, diterapkan untuk mengatur
sumbangan atau pemberian setiap orang muslim baik laki-
laki maupun perempuan.
4. Sawm atau puasa di bulan Romadhon, yakni beistirahat,
menahan seperti menahan tidur, menahan bicara, menahan
makan, dan lain sebagainya.
5. Haji atau pergi mengunjungi rumah Allah untuk melakukan
ibadah yang harus dilakukan yaitu untuk beribadah dan
melakukan upacara-upacara agama di dalam Bait Allah atau
Ka‟bah.
b) Agama Kristiani
Agama Kristiani adalah agama yang penganutnya
mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat,
sesuai dengan penyataan Allah yang tertulis dalam Alkitab.
Tempat ibadah agama Kristen ialah Gereja dan pada umumnya
umat Kristen beribadah pada hari Minggu. Kata Gereja berasal
dari kata “igreya” dari bahasa Portugis yang berarti kawanan
domba, yang dikumpulkan oleh seorang gembala. Dalam bahasa
Yunani dipakai kata kuriake yang artinya milik kurios (Kristus).
Jadi, gereja adalah persekutuan orang-orang yang menjadi milik
33
Tuhan Yesus Kristus. Secara berabad-abad, beberapa aspek
kepercayaan Kristen yang menonjol telah muncul, di antaranya
(Keene, 2006):
1. Trinitas, merupakan satu Allah tiga pribadi yaitu Allah
Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Kepercayaan
dalam Trinitas memperkuat Iman Kristen yang secara
implisit terdapat dalam Kredo Para Rasul dan Kredo Nicea.
2. Penjelmaan merujuk pada Allah yang lahir menjadi daging
dalam diri Yesus dan menekankan bahwa Yesus benar-
benar Allah dan manusia.
3. Penebusan dosa merupakan rekonsiliasi antara Allah dengan
manusia yang didapatkan melalui kematian dan kebangkitan
Yesus. Yesus adalah teladan paling agung bagi dunia
tentang pengorbanan diri serta persembahan kepada Allah
dengan mengorbankan jiwa supaya dosa dunia dapat
diampuni. Segala sesuatu yang disempurnakan oleh
kematian Yesus, dimateraikan oleh kebangkitan-Nya.
4. Roh Kudus adalah salah satu pribadi dari Trinitas dan kuasa
Allah yang ada di dunia sekarang ini. Roh Kudus menolong
manusia untuk berdoa dan memberikan semangat kepada
mereka untuk membangun kerajaan Allah di dunia.
5. Alkitab adalah wahyu tanpa cacat yang mempunyai
kewenangan dalam segala hal tentang iman dan tingkah laku
manusia dan juga sebagai Firman Allah.
34
2. Dampak yang Muncul dalam Pernikahan Beda Agama
Ada beberapa dampak yang muncul sebagai konsekuensi
dari pernikahan beda agama, yakni:
a) Penentuan agama anak
Bossard & Boll (1957) menyebutkan bahwa ketika anak lahir,
penentuan anak akan dibesarkan dalam agama apa dapat
menjadi masalah. Selain itu, keluarga besar dari masing-masing
pasangan umumnya terlibat dalam memperebutkan agama anak.
b) Kebingungan identitas
Beranjak usia, anak yang telah menjadi remaja dapat mengalami
kebingungan dalam menentukan agamanya. Apabila kedua
orang tua adalah figur yang sama baik di mata anak, anak akan
merasa bersalah bila harus memilih salah satu dari agama yang
dianut orang tuanya (Viemilawati, 2002).
c) Kurangnya pembinaan agama dari orangtua
Thomas (dalam Blood, 1969) melaporkan bahwa kebanyakan
anak dari pernikahan beda agama hanya sedikit yang
mendapatkan ajaran keagamaan dari orangtua atau bahkan tidak
mendapatkan pendidikan agama dan identitas agama dari kedua
orang tuanya.
D. HUBUNGAN ANTARA PERILAKU SECURE-BASE REMAJA-
ORANGTUA DENGAN RELIGIUSITAS REMAJA AKHIR DARI
PERNIKAHAN BEDA AGAMA (ISLAM-KRISTIANI)
Perilaku secure-base merupakan prinsip utama dalam teori
kelekatan. Remaja yang merasa aman belajar bahwa figur lekatnya
adalah sosok yang mudah diakses, dapat melindungi dan responsif
35
ketika dibutuhkan. Remaja yang secure dapat mengembangkan
representasi mental mereka dengan menjadikan orangtua sebagai
sumber dukungan yang membuat individu merasa aman untuk
mengeksplorasi dunianya.
Rasa aman tersebut kemudian diteliti oleh Kirkpatrick
(1992) dalam Nelson (2009) dengan melihat keterkaitan antara
berbagai pola kelekatan di masa kanak-kanak dengan
perkembangan religiusitas individu di masa remaja. Bowlby
(1988) menyatakan bahwa kelekatan yang terjalin di masa kanak-
kanak akan tetap direpresentasikan di masa remaja bahkan dewasa,
meskipun dengan perubahan struktur perilaku secure-base yang
dimunculkan.
Pada masa remaja, kelekatan yang dapat diamati melalui
perilaku secure-base terlihat lebih menonjol ketika remaja sedang
dihadapkan pada kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam
(Bowlby 1988, dalam Holmes, 1993). Ketersediaan orangtua
sebagai figur yang mudah diakses dan melindungi di saat kesulitan
dapat mengembangkan religiusitas remaja. Hal ini dapat dijelaskan
melalui pernyataan Kirkpatrick (1992) yang meyakini bahwa
konsep Tuhan yang diyakini dalam setiap agama dianggap sebagai
figur lekat yang responsif. Figur tersebut dianggap dapat memenuhi
kebutuhannya, memberikan rasa aman dan dapat dipercaya
sehingga individu berdoa kepada figur tersebut.
Berkenaan dengan hal tersebut, sosok orangtua yang
mencintai dan melindungi ternyata memberikan kontribusi akan
terbentuknya figur Tuhan yang mencintai dan dapat dipercayai.
Hal ini sejalan dengan prinsip secure attachment yang
36
dikemukakan oleh Kirkpatrick dan Shaver (1990). Penelitian yang
dilakukan oleh Granqvist dan Hagekull (2000) juga menemukan
bahwa motivasi dalam mengembangkan insting religius di masa
dewasa memiliki hubungan positif dengan rasa aman yang
diterima individu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pada
kasus anak dari pernikahan beda agama (Islam-Kristiani), ada
hubungan positif antara perilaku secure-base (baik secure-base use
remaja maupun secure-base support orangtua) dengan religiusitas
anak di masa remaja akhir.
F. HIPOTESIS PENELITIAN
Pada kasus pernikahan beda agama (Islam-Kristiani),
penelitian ini memiliki dua hipotesa, dengan hipotesa pertama ialah:
H1 : Adanya hubungan positif antara perilaku secure-base use
remaja dan religiusitas remaja.
H0 : Tidak adanya hubungan positif antara perilaku secure-base use
remaja dan religiusitas remaja.
Sedangkan, hipotesa kedua pada penelitian ini ialah sebagai berikut:
H2 : Adanya hubungan positif antara perilaku secure-base support
orangtua dan religiusitas remaja.
H0 : Tidak adanya hubungan positif antara perilaku secure-base
support orangtua dan religiusitas remaja.