Upload
doanmien
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Kemiskinan
Kemiskinan merupakan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
dan memperbaiki keadaan. kemiskinan dapat diartikan secara lebih luas dengan
menambahkan faktor faktor lain seperti faktor sosial dan moral. Secara konvensional,
kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan individu atau masyarakat yang
berada di bawah garis tertentu. Secara umum pengertian dari kemiskinan sangat
beragam, tergantung dasar pemikiran dan cara pandang seseorang. Namun kemiskinan
identik dengan ketidakmampuan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang
diterapkan oleh suatu pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat
lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural).
Pada umumnya kemiskinan diidentikkan dengan ketidakmampuan seorang
individu untuk memenuhhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup
secara layak. Pembahasan ini dimaksud dengan kemiskinan material. Definisi
kemiskinan mengalami perkembangan sesuai dengan penyebabnya yaitu pada awal
tahun 1990. Definisi diperluas tidak hanya berdasarkan pada tingkat pendapatan, tetapi
juga mencakup ketidakmampuan dibidang kesehatan, pendidikan dan perumahan.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan
9
seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, seperti
sandang, papan, kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.
Kemiskinan juga dapat didefinisikan menurut dua pendekatan. Kemiskinan
absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut diukur dengan suatu standar
tertentu, sementara kemiskinan relatif bersifat kondisional, biasanya membandingkan
pendapatan sekelompok orang dengan pendapatan kelompok lain. Sedang kemiskinan
absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan
riil minimum tertentu- atau mereka berada di bawah garis kemiskinan internasional.
Kemiskinan menurut Edi Suharto dalam Abdul Hakim (2002) adalah
ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Basis
kekuasaan sosial meliputi:
1. Sumber keuangan (mata pencaharian, kredit, modal)
2. Modal produktif atau asset (tanah, perumahan, kesehatan, alat produksi)
3. Jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa.
4. Organisasi sosial dan politik yang digunakan untuk mencapai kepentingan
bersama.
5. Informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.
6. Pengetahuan dan keterampilan.
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir ditengah
masyarakat. Kemiskinan sebagai fenomena sosial yang telah lama ada, berkembang
10
sejalan dengan peradaban manusia. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam
kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga
seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi tinggi.
Substansi kemiskinan adalah kondisi deprevasi tehadap sumber-sumber pemenuhan
kebutuhan dasar yang berupa sandang, pangan, papan, dan pendidikan dasar (Sudibyo,
1995).
Kemiskinan juga sering disandingkan dengan kesenjangan sosial, karena
masalah kesenjangan mempunyai kaitan erat dengan masalah kemiskinan. Substansi
kesenjangan sosial adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi.
Sudibyo (1995) mengatakan bahwa apabila berbicara mengenai kemiskinan maka
kemiskinan dinilai secara mutlak, sedangkan penilaian terhadap kesenjangan
digunakan secara relatif. Dalam suatu masyarakat mungkin tidak ada yang miskin, tapi
kesenjangan masih dapat terjadi di dalam masyarakat tersebut.
Sebagian besar dari penduduk miskin ini tinggal diperdesaan dengan mata
pencaharian pokok dibidang-bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat
hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional tersebut. Kehidupan mereka
bergantung pada pola pertanian yang subsistem, baik petani kecil atau pun buruh tani
yang berpenghasilan rendah, ataupun bekerja dalam sektor jasa kecil-kecilan dan
berpenghasilan pas-pasan. Fenomena banyaknya urbanisasi penduduk desa ke kota
menunjukkan bahwa adanya ketidakmerataan pembangunan di perdesaan. Terbatasnya
fasilitas umum, kecilnya pendapatan, dan terbatasnya pekerjaan dan dalih mencari
11
kehidupan lebih baik menjadi alasan urbanisasi ini. Permasalahan tersebut menyiratkan
adanya ketidakmerataan dan kesenjangan antara perdesaan dan perkotaan.
2.1.2 Integrated Microfinance Management
Integrated Microfinance Manajement (IMM) adalah konsep pembangunan
terpadu yang dikembangkan oleh Slikkerveer (2007, 2012) dalam Ambaretnani (2012)
dari Program Leiden Ethnosystem and Development (LEAD), Universitas Leiden
Belanda. Konsep ini memberikan perspektif yang komprehensif dalam melihat
kemiskinan dan pengembangan masyarakat. Masalah kemiskinan tidak harus
dievaluasi dari perspektif keuangan saja, tetapi juga harus menganalisis faktor-faktor
yang saling terkait lainnya di masyarakat, seperti pelayanan kesehatan, akses
pendidikan, dan dimensi sosial-budaya lain dalam masyarakat. Pemberdayaan
masyarakat akan berhasil jika ada integrasi lima layanan (keuangan, pendidikan,
kesehatan, komunikasi, dan sosial-budaya) melalui inisiatif yang dilakukan oleh
masyarakat itu sendiri, sumber, proses konsistensi, dan kualitas output, dalam rangka
mencapai tujuan akhir dari pembangunan masyarakat: pengentasan kemiskinan dan
pemberdayaan.
Pengembangan masyarakat untuk pengembangan kemiskinan diupayakan
menggunakan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) masyarakat sebagai modal
sosial (social capital) untuk mencapai kesinambungan (sustainability) dan
pelaksanaanya.
12
2.1.3 Keuangan mikro sebagai Pengentas Kemiskinan
Keuangan mikro merupakan suatu langkah dalam mengentaskan kemiskinan.
Microfinance menyediakan layanan keuangan bagi masyarakat miskin yang tidak
dapat menyentuh institusi keuangan formal yang membutuhkan persyaratan yang rumit
dan sulit untuk dipenuhi. Slikkerveer (2014) menjelaskan bahwa keuangan mikro dapat
menjadi solusi untuk menekan angka kemiskinan, dengan cara mengembangkan
komunitas, pemberdayaan masyarakat dan khususnya pemberdayaan perempuan. Oleh
karena itu, untuk mengentaskan kemiskinan diperlukan institusi keuangan mikro yang
dapat melayani kebutuhan keuangan mikro. Ravicz (1999) menjelaskan mengenai
bagaimana seharusnya sebuah institusi pemberi kredit mikro dalam menjalankan
kegiatannya, yaitu sebagai berikut:
1. Menyediakan layanan keuangan yang dibutuhkan oleh masyarakat yang
berpenghasilan rendah.
2. Meningkatkan kinerja keuangan yang tinggi dengan menggunakan insentif bagi
karyawan.
3. Mengurangi, atau menghapus kebutuhan subsidi lainnya jika membuat bunga
pinjaman menjadi tinggi.
4. Merancang sistem pengawasan yang baik
5. Menjangkau klien didaerah terpencil dengan menggunakan unit berbasis
kecamatan dan staff lapangan.
13
6. Melayani peminjam perempuan tanpa menargetkan mereka dalam upaya
pemasaran.
Keuangan mikro dan pemberdayaan perempuan menjadi suatu hal yang
melekat erat dalam upaya pengentasan kemiskinan. Pemberdayaan perempuan terbukti
dapat menjadi salah satu cara pengentasan kemiskinan yang efektif. Pitt (2003)
menjelaskan mengenai pemberdayaan perempuan melalui kredit mikro di Bangladesh
memiliki dampak positif terhadap pengentasan kemiskinan. Hasil penelitian Pitt
menunjukkan adanya indikasi perbedaan penggunaan dan hasil yang diperoleh dari
pinjaman yang dilakukan perempuan dengan pria. Pitt (2003) juga meneliti mengenai
efek dari pinjaman yang dilakukan oleh perempuan dan pria di Bangladesh. Pada
perempuan, peminjaman kredit memiliki dampak terhadap peningkatan kesehatan dan
nutrisi anak-anak, sedangkan pada pinjaman yang dilakukan pria tidak memiliki efek
apa-apa. Hasilnya adalah peminjaman yang dilakukan oleh perempuan pada kredit
mikro membantu dalam pemberdayaan perempuan. Dengan demikian, perempuan
dapat memberikan peranan dalam pengambilan keputusan rumah tangga, mendapatkan
akses terhadap akses keuangan dan ekonomi, jaringan sosial yang luas, dan
perencanaan sumber daya keluarga dan kontrol orang tua.
Karlan dan Valdivia (2006) juga menjelaskan bagaimana pentingnya
pemberian ilmu kewirausahaan (entrepreneurship skill) kepada para klien dan institusi
keuangan mikro. Pemberian entrepreneurship skill kepada klien membuat klien dapat
mengorganisir atau mengelola keuangan mereka dengan baik, serta membedakan
14
keuangan usaha dengan kebutuhan keluarga, menginvestasikan keuntungan usaha
(profit) untuk mengembangkan usaha, mengawasi catatan penjualan dan pengeluaran,
serta secara aktif mencari peluang usaha baru dan kesempatan untuk mendapatkan
keuntungan. Dengan kemampuan tersebut, efek yang didapat kepada institusi
keuangan mikro itu sendiri adalah berkurangnya pengembalian kredit yang macet, serta
peningkatan penghasilan klien membuat klien mengajukan kredit yang lebih besar lagi
kepada institusi tersebut. Sehingga baik klien dan institusi keuangan mikro tersebut
dapat berkembang secara bersamaan.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Sapovadia (2007), yang menjelaskan bahwa
kekurangan pengusaha kecil dan mikro adalah ketidaktahuan mereka dalam mengelola
keuangan yang baik, kreativitas, dan skill yang dibutuhkan untuk dapat
mengembangkan usahanya. Pembangunan kapasitas (capacity building) penting untuk
menjadikan pengusaha kecil dan mikro sebagai pebisnis yang berkompeten. Capacity
building adalah sebuah proses dari seseorang, grup, institusi, dan organisasi dalam
mengembangkan kemampuan mereka untuk mengidentifikasi dan menghadapi
tantangan perkembangan dengan cara yang berkelanjutan (CIDA, 1996). Oleh karena
itu capacity building harus dijadikan bagian dari kegiatan keuangan mikro untuk
seluruh perkembangan ekonomi insititusi keuangan mikro, pengusaha, dan Negara.
15
2.1.4 Pembangunan Masyarakat (Community Development)
Konsep Community Development telah banyak dirumuskan di dalam berbagai
definisi. Perserikatan Bangsa -Bangsa mendefinisikannya:
" as the process by which the efforts of the people themselves are united with
those of governmental authorities to improve the economic, social and cultural
conditions of communities, to integrade these communities into the life of the
nations, and to enable them to contribute fully to national progress". (Luz. A.
Einsiedel, 1968) dalam Abdurroup (2012).
Definisi di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat, merupakan
suatu "proses" dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang di miliki masyarakat
diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah, untuk memperbaiki
kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan mengintegrasikan masyarakat di dalam
konteks kehidupan berbangsa, serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan
kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional. US
International Cooperation Administration mendeskripsikan Community Development
itu sebagai :
"A process of social action in which the people of a community organized
themselves for planning action; define their common and individual needs and
problems; make group and individual plans with a maximum of reliance upon
community resources; and supplement the resources when necessary with
service and material from government and non-government agencies outside
the community". (The Community Development Guidlines of the International
Cooperation Administration, Community Development Review,
December,1996) dalam Abdurroup (2012).
Definisi di atas lebih menekankan bahwa konsep pembangunan masyarakat,
merupakan suatu proses "aksi sosial" dimana masyarakat mengorganiser diri mereka
16
dalam merencanakan yang akan dikerjakan; merumuskan masalah dan kebutuhan-
kebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk
kepentingan bersama; membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan
yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan bilamana perlu
dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari pemerintah dan badan-
badan nonpemerintah di luar masyarakat.
Menurut Cox (1993) dalam Abdurroup (2012), tujuan community development
adalah memberantas kemiskinan, merealisasi keadilan distributif dan peningkatan
partisipasi masyarakat secara nyata. Sasaran program Community Development adalah
meningkatkan pendapatan ekonomi rakyat khususnya masyarakat miskin / tertinggal.
Community Development sifatnya fungsional, yaitu mendorong masyarakat menjadi
swakarsa.
Rumusan di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat merupakan
usaha-usaha yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan
masyarakat, dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan
diri sendiri. Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari
organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-individu di
dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan teknis baik dari pemerintah
maupun organisasi-organisasi sukarela.
17
2.1.5 Pemberdayaan Masyarakat (Community empowerment)
Pemberdayaan adalah sebuah konsep yang fokusnya adalah kekuasaan atau
kekuatan (power). Pemberdayaan secara substansial merupakan proses memutus
(break down) dari hubungan antara subjek dan objek. Proses ini mementingkan
pengakuan subjek akan kemampuan atau daya yang dimiliki objek. Secara garis besar
proses ini melihat pentingnya mengalirkan daya dari subjek ke objek. Hasil akhir dari
pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula objek menjadi subjek
(yang baru), sehingga relasi sosial yang nantinya hanya akan dicirikan dengan relasi
sosial antar subyek dengan subyek lain.
Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang
bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat
bersangkutan. Masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental,
terdidik dan kuat serta inovatif, tentu memiliki keberdayaan tinggi. Keberdayaan
masyarakat adalah unsur –unsur yang memungkinkan masyarakat untuk bertahan
(survive) dan dalam pengertian dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan.
(Wrihatnolo, 2007).
Usman dalam Huraerah (2008) dalam “pengorganisasian dan pengembangan
masyarakat”, mengatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah sebuah proses
dalam bingkai usaha memperkuat apa yang lazim disebut community self-reliance atau
kemandirian. Dalam proses ini masyarakat didampingi untuk membuat analisis
18
masalah yang dihadapi, dibantu untuk menemukan alternatif solusi masalah tersebut,
serta diperlihatkan strategi memanfaatkan berbagai kemampuan yang dimiliki.
Pemberdayaan, yang berasal dari kata empowerment, bermakna sebagai
pemberian power atau kemampuan kepada pihak yang selama ini lemah atau
dilemahkan secara politis dan strukural. Setidaknya ada tiga kata kuncinya, yaitu: peran
serta, partisipasi, transparansi, dan demokrasi. Pemberdayaan mensayaratkan peran
serta yang setara antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan partsipasi yang
penuh, dan dalam suasana yang demokratis, maka diharapkan akan terjadi alokasi-
alokasi sumberdaya ekonomi, distribusi manfaat, dan akumulasi, sehingga dicapai
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan lapisan terbawah.
Pemberdayaan terkait dengan penggalian dan pengembangan potensi
masyarakat. Kemudian Kartasasmita (1997) mengatakan bahwa : “setiap manusia dan
masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan, sehingga pemberdayaan
adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi
dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta untuk
mengembangkannya “. Untuk memberdayakan masyarakat diperlukan pendekatan
utama adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan sebagai obyek melainkan subyek dari
berbagai upaya pembangunan oleh karena itu Kartasasmita (1997) mengatakan
pemberdayaan harus mengikuti pendekatan-pendekatan sebagai berikut :
19
1. Upaya pemberdayaan harus terarah ( targeted )
2. Program pemberdayaan harus langsung mengikutsertakan atau bahkan
dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran.
3. Menggunakan pendekatan kelompok
Kemudian Kartasasmita (1997) mengatakan upaya memberdayakan masyarakat
dapat dilihat dari tiga sisi yaitu : pertama, menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). kedua, memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). ketiga,
memberdayakan mengandung pula arti melindungi.
Program pelatihan yang dilakukan pada para pengusaha UKM di Meksiko
menunjukan bahwa terjadi peningkatan produktifitas usaha apabila pelatihan
kewirausahaan dan pelatihan bisnis dilakukan secara terpadu dan juga difasilitasi
dalam hal konsultasi serta pendampingan secara umum maupun teknis. Dijelaskan pula
dengan adanya pendampingan secara teknis maka usaha mikro, kecil & menengah
memiliki kinerja yang meningkat dan lebih efektif (Tan & Avecedo, 2005).
Pelatihan menyebabkan bisnis menjadi lebih baik dan meningkatkan pendapatan
serta keuntungan bagi para pelaku usaha. Para peserta pelatihan melaporkan hal
menarik di dalam beberapa kegiatan yang diajarkan dalam program pelatihan bisnis.
Salah satunya adalah bagaimana cara memisahkan keuangan untuk modal kerja dan
keuangan rumah tangga, bagaimana cara menginvestasikan kembali keuntungan
kedalam bisnis, mencatat seluruh catatan penjualan dan pengeluaran, dan berpikir
20
proaktif tentang pangsa pasar baru dan mengambil peluang untuk meraih keuntungan.
Pelaksanaan strategi ini tampaknya telah membantu peserta untuk meningkatkan
pendapatan atau penghasilan dari bisnisnya (Frisancho, Karlan, & Valdivia, 2008).
Pengukuran efektifitas lebih baik jika dilihat dari hasil yang didapatkan dari
setiap program yang hendak diteliti. Dalam contoh pengukuran keuntungan perusahaan
dan pendapatan telah membuktikan tantangan nyata bagi banyak penelitian, dan
bahkan terdapat kendala yaitu kurangnya data dan fakta yang tersedia tentang
bagaimana sebenarnya pelatihan kewirausahaan itu berdampak pada kehidupan para
pengusaha UMKM. Untuk mengetahui segala informasi atau data yang dihasilkan dari
sebuah program pemberdayaan maka penilaian harus dilakukan setelah program yang
diterapkan selesai dilakukan (McKenzie & Woodruff, 2012).
2.1.6 Corporate Social Responsibility (CSR)
Bowen (1953) merupakan bapak CSR yang dikenal melalui bukunya Social
Responsibility of The Businessman. Ide dasar yang dikemukakan Bowen mengenai
kewajiban perusahaan dalam menjalankan usahanya agar sejalan dengan nilai-nilai dan
tujuan yang hendak dicapai masyarakat bersama perusahaan. Nilai akan kegiatan
sosial dihitung melalui kebermanfaatannya di dalam masyarakat. Kegiatan CSR yang
diberikan oleh perusahaan akan terasa percuma apabila hanya bersifat sementara.
Sehingga proses kegiatan ini harus dilakukan secara keberlanjutan hingga masyarakat
tersebut telah mandiri dan mampu menjaring orang-orang disekitarnya untuk dapat
saling mensejahterakan.
21
Menurut The World Bussiness Council for Sustainable Development (WBCSD)
dalam Rudito (2007), Corporate Social Resposibility (CSR) adalah komitmen bisnis
untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para
karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitas -komunitas
setempat (lokal) dan komunitas secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan
kualitas kehidupan.
Dengan demikian, CSR merupakan suatu bentuk kepedulian perusahaan yang
tidak hanya berupa sumbangan financial kepada masyarakat yang bersifat sesaat
melainkan terhadap semua stakeholders termasuk lingkungan dan masyarakat
disekitarnya, dengan cara perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya yang
digunakan untuk kepentingan pembangunan manusia dan lingkungan secara
berkelanjutan berdasarkan prosedur yang tepat dan profesional sehingga tercipta
keseimbangan dan kesejahteraan bersama.
Terkait itu semua, kebijakan CSR ini dianggap pula harus memperhitungkan
aspek-aspek keberlanjutan. Elkington (1997) menemukan dua poin penting dari
hubungan antara tanggung jawab sosial perusahaan dan filantropi. Pertama, poin yang
mengasumsikan sebuah dunia dimana perusahaan dan nilai yang saling berhubungan
ini berevolusi dengan cara yang dapat diprediksi. Asumsi beberapa isu sosial dan
lingkungan seperti perubahan iklim, akan mendorong gelombang kehancuran kreatif
dan nilai akan bergeser dari tidak ramah lingkungan menjadi ramah lingkungan. Kedua,
22
berpikir mengenai aspek lingkungan sosial yang menghambat produktivitas bisnis di
lokasi di mana ia beroperasi.
Konsep Triple Bottom Lines yang dipopulerkan oleh Elkington (1997)
mendeskripsikan tiga rantai yang saling berhubungan pada kegiatan
pertanggungjawaban perusahaan yaitu profit, people, dan planet.
Gambar 2.1
Triple Bottom Lines CSR
Pertama adalah profit. Profit disini merupakan tujuan utama dari dibentuknya
sebuah perusahaan yaitu mencari keuntungan demi memajukan perusahaan itu sendiri.
Keuntungan disini bisa diraih apabila masing-masing dari tenaga pegawai ini bekerja
sesuai dengan tugasnya masing-masing. Porter dalam Budi (2008) (The Competitive
Advantage of Corporate Philanthrophy) mengkaji dan menunjukan adanya hubungan
positif antara profit dan CSR, atau tujuan finansial dan tujuan sosial perusahaan. Para
perusahaan yang memiliki profit tertinggi adalah perusahaan yang menjalankan
kegiatan CSR. Melalui hal ini bisa dikatakan, konsumen sekarang tidak lagi bodoh dan
Profit
(Keuntungan ekonomi)
People
(Kesejahteraan masyarakat)
Planet
(Keberlangsungan lingkungan
hidup / Integrated)
23
semakin melihat peran serta tanggung jawab perusahaan dalam menentukan pilihan
konsumsi mereka (Budi, 2008).
Kedua adalah people. Orang yang menjadi bagian dari tanggung jawab
perusahaan tersebut bukan hanya para pekerja yang turut mengambil alih dalam
memasukan laba perusahaan. Penguatan kapasitas pula bukan hanya melalui energi
yang ada secara internal saja, tetapi juga harus dibangun melalui kegiatan eksternal
yang ada diluar perusahaan.
Ketiga adalah planet. Keberlanjutan lingkungan hidup juga menjadi tolok ukur
dalam tanggung jawab perusahaan. Seperti misalnya pengeboran minyak yang
mengakibatkan lubang di bumi ataupun pengambilan sumber daya alam lainnya yang
sebelumnya itu merupakan milik bersama.
2.1.6.1. Penerapan CSR di Indonesia
Elkington (1997) Perusahaan yang ingin menyusun Sustainability report harus
mengadopsi metode akuntansi triple bottom line yang merupakan perluasan dari
konsep akuntansi tradisional yang hanya memuat bottom line tunggal yakni hasil-hasil
keuangan dari aktivitas ekonomi perusahaan. Suharto dalam (Maulana, 2009) ada
empat model atau pola CSR yang umum diterapkan oleh perusahaan di Indonesia yaitu:
1. Keterlibatan langsung
Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan
sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa
perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan
24
salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager
atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation.
2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan
Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau grupnya. Model
ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan
di negara maju. Biasanya perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana
abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan.
3. Bermitra dengan pihak lain
Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial atau
organisasai non-pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa,
baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya.
4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium
Perusahaan turut mendirikan menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga
sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model
lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat
hibah pembangunan. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercaya
oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara pro aktif mencari mitra
kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan
program yang disepakati bersama.
Oleh karena itu perusahaan harus lebih mengembangakan kembali penerapan
CSR dalam perusahaan supaya mendapatkan laba yang maksimal serta tidak
25
merugikan lingkungan sekitarnya. Perusahaan juga harus memberikan peluang–
peluang di masa yang akan datang untuk pertumbuhan perusahaan dengan tentunya
memprhitungkan keuntungan dan tingkat pengembalian financial yang optimal.
Perusahaan juga berkewajiban memberikan kualitas lingkungan bagi masyarakat untuk
kedepannya dalam jangka panjang bagi generasi sekarang maupun bagi generasi
penerus.
2.1.6.2. CSR Sebagai Pengentas Kemiskinan
Kemiskinan tidak dapat diselesaikan dengan peran pemerintah saja, namun
membutuhkan semua aspek masyarakat yang ada termasuk perusahaan swasta. Salah
satu peran perusahaan swasta adalah dengan memanfaatkan dana CSR untuk program
pemberdayaan masyarakat miskin dan program-program lainnya yang dapat membantu
meningkatkan status sosial ekonomi masyarakat miskin. Hal ini dibuktikan dengan
penjelasan Dompet Dhuafa Corpora, yang mengatakan bahwa CSR telah banyak
membantu dalam mendorong pengentasan kemiskinan dan menguatkan kapasitas
masyarakat diberbagai jenis bidang. Program CSR yang diselaraskan atau di
integrasikan dengan program pemerintah setempat akan mampu menghasilkan hasil
yang lebih baik, dengan demikian peran kedua pihak dapat lebih efektif dalam
mengentaskan kemiskinan (Ismail, 2014).
26
2.1.6.3 Manfaat CSR bagi Perusahaan dan Masyarakat
2.1.6.3.1 Manfaat CSR bagi Perusahaan
Bagi perusahaan, CSR merupakan investasi dan program untuk pengembangan
berkelanjutan (sustainable development). Dengan progam CSR tersebut perusahaan
akan mendapatkan 2 manfaat, yaitu secara internal dan eksternal. Manfaat internal
adalah perusahaan dapat melakukan inovasi dalam mengembangkan bisnisnya,
meningkatkan kerja sama dengan para investor, serta menonjolkan keunggulan
kompetitif perusahaan terhadap para pesaingnya. Sedangkan manfaat eksternal adalah
perusahaan mendapatkan pengaman sosial (social security), menguatkan brand atau
merk perusahaan di mata masyarakat, dan membentuk citra perusahaan yang baik
dimata konsumen maupun masyarakat.
2.1.6.3.2 Manfaat CSR bagi Masyarakat
Bagi masyarakat, CSR perusahaan dapat memberikan manfaat seperti
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan program-program pemberdayaan
(pelatihan skill), bantuan beasiswa bagi anak-anak miskin yang membutuhkan dan
berprestasi, serta pembangunan infrastruktur di daerah masyarakat yang dapat berguna
dan mendukung aktivitas masyarakat sekitar seperti pemberian pupuk bagi petani,
perbaikan jalan, bantuan kesehatan, khususnya bagi yang kurang mampu / miskin.
27
2.1.6.4 Ukuran Keberhasilan Program CSR
Menurut Wibisono (2007), untuk melihat sejauh mana efektivitas program
CSR, diperlukan parameter atau indikator untuk mengukurnya. Setidaknya, ada dua
indikator keberhasilan yang dapat digunakan, yaitu:
A. Indikator Internal
1) Ukuran Primer
a) Minimize, yaitu meminimalkan perselisihan, konflik, atau potensi konflik
antara perusahaan dengan masyarakat dengan harapan terwujudnya hubungan
yang harmonis dan kondusif.
b) Asset, yaitu aset perusahaan yang terdiri dari pemilik, pemimpin perusahaan,
karyawan, pabrik, dan fasilitas pendukungnya terjaga dan terpelihara dengan
aman.
c) Operational, yaitu seluruh kegiatan perusahaan berjalan aman dan lancar.
2) Ukuran Sekunder
a) Tingkat penyaluran dan kolektibilitas (umumnya untuk PKBL BUMN).
b) Tingkat complience pada aturan yang berlaku.
B. Indikator Eksternal
1) Indikator Ekonomi
a) Tingkat pertambahan kualitas sarana dan prasarana umum.
b) Tingkat peningkatan kemandirian masyarakat secara ekonomis.
c) Tingkat peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat secara berkelanjutan.
28
2) Indikator Sosial
a) Frekuensi terjadinya gejolak atau konflik sosial
b) Tingkat kualitas hubungan sosial antara perusahaan dengan masyarakat.
c) Tingkat kepuasan masyarakat.
2.1.7 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat sebagai sebuah institusi merupakan
bentukan masyarakat yang muncul atas prakarsa masyarakat dan dikelola oleh
masyarakat sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam bidang
pendidikan. Di samping itu, keberadaan PKBM juga berfungsi sebagai institusi
pemberdaya masyarakat untuk membantu kelompok-kelompok masyarakat
terpinggirkan agar mereka memiliki posisi seimbang dengan kelompok masyarakat
lainnya yang lebih mapan dalam kehidupan sosial maupun ekonominya.
Komposisi dan fungsi kelembagaan juga dimiliki oleh PKBM sebagai lembaga
masyarakat, antara lain: PKBM berfungsi sebagai prasarana bagi terselenggaranya
kegiatan belajar di masyarakat yang tentunya memiliki karakteristik berbeda dengan
pembelajaran dalam sekolah-sekolah formal di mana peserta didiknya adalah anak-
anak yang lebih homogen, PKBM juga berfungsi sebagai wadah partisipasi aktif bagi
anggota masyarakat dalam kegiatan pembelajaran, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan sampai evaluasi. Disamping itu, PKBM juga memiliki banyak fungsi, di
samping memberdayakan masyarakat dengan menyelenggarakan pendidikan setara
pendidikan formal, PKBM juga menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan
29
masyarakat berbasis pada peningkatan ekonomi masyarakat, salah satunya adalah
pendirian kelompok belajar usaha.
Menurut Sihombing (2000) PKBM merupakan suatu wadah dimana seluruh
kegiatan belajar masyarakat dalam rangka peningkatan pengetahuan,
keterampilan/keahlian, hobi, atau bakatnya yang dikelola dan diselenggarakan sendiri
oleh masyarakat. PKBM adalah sebagai wahana untuk mempersiapkan warga
masyarakat agar bisa lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk
dalam hal meningkakan pendapatannya. Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta masalah-masalah pendidikan masyarakat serta
kebutuhan akan pendidikan masyarakat, definisi PKBM terus disempurnakan terutama
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan lembaga, sasaran,
kondisi daerah serta model pengelolaan.
Pusat kegiatan Belajar Masyarakat yang merupakan tindak lanjut dari gagasan
Community Learning Center yang telah dikenal di Indonesia sejak tahun enam
puluhan. Secara kelembagaan, perintisannya di Indonesia dengan nama PKBM baru
dimulai pada tahun 1998 sejalan dengan upaya untuk memperluas kesempatan
masyarakat memperoleh layanan pendidikan (Sudjana, 2003).
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa PKBM adalah sebuah
lembaga pendidikan yang dikembangkan dan dikelola oleh masyarakat serta
diselenggarakan di luar sistem pendidikan formal baik di perkotaan maupun di
pedesaan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan belajar kepada seluruh lapisan
30
masyarakat agar mereka mampu membangun dirinya secara mandiri. Untuk itulah
PKBM berperan sebagai tempat pembelajaran masyarakat terhadap berbagai
pengetahuan atau keterampilan dengan memanfaatkan sarana, prasarana dan potensi
yang ada di sekitar lingkungannya.
Keberadaan PKBM memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai koordinasi
program-program pembelajaran di masyarakat. Tersedianya pengelola dan tenaga
pengajar yang berkualitas, merupakan daya pikat tersendiri bagi masyarakat untuk
datang ke PKBM. Tujuan PKBM adalah memberdayakan masyarakat untuk
kemandirian, melalui program-program yang dapat membentuk manusia yang
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap, sedangkan fungsi PKBM sendiri
adalah sebagai wadah pembelajaran artinya tempat warga masyarakat dapat menimba
ilmu dan memperoleh berbagai jenis keterampilan dan pengetahuan fungsional yang
dapat didayagunakan secara cepat dan tepat dalam upaya perbaikan kualitas hidup dan
kehidupannya. (Sihombing, 1999).
2.2 Penelitian-penelitian Terkait
Ada banyak penelitian yang sudah dipublikasikan baik di Indonesia maupun di
luar negeri dan meneliti mengenai konstribusi perusahaan melalui program CSR dalam
pemberdayaan masyarakat, sebagaimana tabel dibawah ini:
31
Tabel 2.1 Penelitian sebelumnya
No Nama Judul Tujuan Model Hasil
1 Mulyadi,Hersona,
dan May
(2013)
Analisis
pelaksanaan
Corporate Social Responsibility
(CSR)
Pada PT. Pertamina gas area JBB distrik
Cilamaya bagi
masyarakat
Untuk mengetahui,
menjelaskan dan
menganalisis Program CSR apa saja yang
telah dilaksanakan
oleh PT Pertamina Gas Area JBB Distrik
Cilamaya dan
respon/tanggapan masyarakat terhadap
program tersebut.
Metode yang
digunakan adalah
analisis kluster, skala likert, rentang skala,
analisis deskriptif, uji
validitas dan uji reliabilitas dan diolah
menggunakan alat
bantu SPSS 16.
Hasilnya responden
menyatakan baik/setuju
terhadap pelaksanaan CSR PT Pertamina Gas
Area JBB Distrik
Cilamaya
2 Prayogo (2013) “Measuring Corporate Social
Responsibility for
Local Communities in Mining, Oil and
Gas Industries, The
Case of Indonesia
menguji metode untuk mengukur CSR dalam
dua perusahaan di
Kalimantan dan Sumatera
Menggunakan kuantitatif (survei dan
data sekunder) dan
kualitatif metode (wawancara
mendalam dan
observasi). Sampel berjumlah 150
responden, yang
dipilih secara acak dari populasi
penerima manfaat
program.
- Metode pengukuran
CSR perlu mempertimbangkan dua
aspek proporsional,
masyarakat dan perusahaan.
- CSR tidak hanya soal
filantropi, tetapi sebenarnya merupakan
kewajiban, sebagai
bagian dari cara produksi, dalam rangka
untuk mendapatkan
legitimasi sosial, yang berlaku keadilan sosial
dan kesetaraan dalam
praktek pertambangan dan industri minyak di
Indonesia.
3 Partini (2013)
“CSR dan
Pemberdayaan Masyarakat (Studi
Implementasi
CSRPTBA di Muara Enim, Sumatera
Selatan).
Untuk mencari tahu
apakah program CSR yang diberikan oleh
perusahaan dapat
memberdayakan masyarakat atau
tidak?
Kuantitaif dan
kualitatif, dengan sampel kuantitatif
diambil sebanyak 101
responden dengan teknik proporsional
dan multi stage
random sampling.
CSR yang diberikan
dapat memberdayakan sekaligus membangun
masyarakat mandiri yang
berkeadilan sosial.
4 Konaah (2013) The Contribution of
Kopontren Al-
Ishlah to the Sustainability of
Community
Development through Gunung
Kuda’s mining of
Bobos Village
Cirebon West Java
Mendeskripsikan
model pengembangan
masyarakat yang dilakukan Yayasan Al
Ishlah yang memiliki
karakteristik sebuah institusi IMM dan
mencari tahu faktor-
faktor yang
mempengaruhi
keberlanjutan
kontribusi keuangan galian c terhadap
kinerja keuangan
kopontren sehingga berlanjutnya
kontribusi kopontren
kepada masyarakat.
Metode penelitian
mixed method
research untuk mendeskripsikan
persoalan
berkelanjutan
Kinerja unit usaha galian
c kopontren al-ishlah
belum stabil, tetapi profitability-nya
memiliki nilai positif
sehingga konstribusi keuangan kopontren tidak
terganggu. Selain itu unit
usaha selain galian c
berpotensi untuk
ditingkatkan dengan
mempertimbangkan ketersedian sumberdaya.
32
Tabel 2.1 Penelitian sebelumnya
2.3 Kerangka Pemikiran
Dalam menunjang proses penelitian agar tetap terarah pada fokus penelitian
maka disusun suatu kerangka dalam penelitian ini yang bertujuan untuk menggali
berbagai informasi yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat berbasis lembaga
yang didukung oleh program CSR sebuah perusahaan dalam rangka memberikan
rekomendasi dan evalusi untuk pengembangan masyarakat yang berkelanjutan. Tujuan
akhir dari penelitian ini adalah ingin mengetahui seberapa besar dampak CSR terhadap
PKBM dalam upaya pengembangan masyarakat.
5 Naqvi, Ishtiaq,
Nousheen,
Kanwal, Ali & Inderyas (2013)
Impact of Corporate
Social responsibility
on Brand image in Different FMCGs of
Pakistan
Untuk mengetahui
Bagaimana citra
merek dari produk serta citra umum
perusahaan jika
melakukan aktifitas sosial atau CSR pada
masyarakat.
Penelitian ini
menggunakan
pendekatan Kualitatif dengan responden 180
siswa dari 22
universitas yang ada di Pakistan.
(Results showed that
socially responsible
activities of a firm enhance the brand image
of the firms’ goods as well
as the general image of the firm).
(Hasil menunjukkan bahwa aktivitas
perusahaan yang
bertanggung jawab secara
sosial, meningkatkan
citra merek dari produk
serta citra umum perusahaan).
33
Gambar 2.2 Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: mempengaruhi
: berhubungan
2.4 Hipotesis
Berdasarkan program yang diberikan, seperti bantuan fasilitas pendidikan,
beasiswa dan infrastruktur lainnya, maka dapat diketahui bahwa program corporate
social responsibility berdampak terhadap pusat kegiatan belajar masyarakat dalam
melakukan pemberdayaan masyarakat.
Kebijakan Perusahaan Kebijakan Pemerintah
Implementasi Program CSR:
- Perusahaan terlibat langsung - Membentuk yayasan sosial
- Bermitra dengan pihak lain
- Mendukung atau membuat konsorsium
PKBM
Pemberdayaan masyarakat
Standar indikator keberhasilan CSR
secara sosial & ekonomi
- Peningkatan taraf hidup masyarakat
- Kelembagaan berkelanjutan