Upload
hoangkhuong
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
Dalam sub bab ini diuraikan beberapa hasil penelitian terdahulu yang
dianggap relevan dengan penelitian ini.
2.1 Tinjauan Pustaka
Kajian-kajian terdahulu yang menunjang penelitian ini dan dijabarkan dalam
penulisan ini, yaitu penelitian Panglipur (2012), Tunjung Sari (2012), Heny Urmila
Dewi, dkk (2013), Sutanto (2013) dan Sri Widari (2015).
Penelitian Panglipur (2012) mengkaji tentang pariwisata dan masyarakat lokal
dengan menerapkan pendekatan berbasis masyarakat dalam situs warisan dunia
Sangiran untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan. Kegiatan pariwisata yang
dikembangkan di situs warisan dunia Sangiran adalah pariwisata yang berwawasan
pelestarian dan edukasi. Pembatasan tersebut mempertimbangkan esensi Situs
Sangiran sebagai Situs Manusia Purba yang kaya akan kandungan data arkeologis,
yang harus dilindungi dari segala kegiatan yang merusak integrasi situs dan
menghambat kepentingan studi evolusi di masa mendatang. Oleh karena itu
Panglipur (2012) menyarankan pendekatan pembangunan pariwisata di situs
warisan dunia Sangiran adalah pariwisata berkelanjutan berbasis masyarakat karena
lebih sesuai dengan kondisi masyarakat dan lingkungan situs Sangiran. Selain itu,
Situs Sangiran tidak memungkinkan untuk dikelola sebagai sebuah industri dan
atau bisnis pariwisata berskala sedang atau besar, yang menuntut adanya fasilitas
penunjang pariwisata yang lebih lengkap. Alasan lainnya adalah segmentasi pasar
15
16
situs warisan dunia Sangiran juga lebih banyak adalah pelajar dan peneliti serta
wisatawan minat khusus yang hanya tertarik pada jenis wisata pengetahuan sejarah
dan atau budaya.
Relevansi penelitian Panglipur (2012) dengan penelitian ini adalah dari aspek
pendekatan pengembangan pariwisata yang sama-sama menggunakan pendekatan
berbasis masyarakat. Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat sangatlah
sesuai dalam pengelolaan kawasan subak sebagai sebuah situs warisan budaya
sehingga akan memberi manfaat bagi masyarakat lokal serta terjaganya kelestarian
kawasan atau situs. Masyarakat dapat berperan aktif dalam pengelolaan dan
pemanfaatan kawasan. Peran pemerintah lebih diposisikan sebagai fasilitator dan
mediator yang bersifat netral agar kepentingan semua pihak dapat terakomodasi.
Regulasi harus memberikan ruang yang lebih luas bagi masyarakat untuk
terlibat, karena dapak positif akan dapat lebih dirasakan oleh masyarakat sejalan
dengan berkurangnya dampak negatif yang mungkin muncul. Hal tersebut akan bisa
diperoleh melalui pembangunan pariwisata yang terintegrasi dan sejalan dengan
pengembangan pelestarian budaya yang melibatkan masyarakat setempat.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Panglipur (2012) adalah dari objek
penelitian. Penelitian ini dilakukan di kawasan situs Warisan Budaya Dunia (WBD)
Provinsi Bali, yang memiliki karakteristik dan ekologis lingkungan yang berbeda
dengan penelitian Panglipur (2012). Situs warisang dunia Sangiran adalah situs
peninggalan prasejarah yang memiliki data arkeologi penting bagi ilmu
pengetahuan, sedangkan situs WBD Provinsi Bali merupakan lansekap budaya Bali
yang meliputi situs pura, kawasan konservasi hutan, gunung, danau dan sawah serta
17
sosial budaya yang terkait dengan budaya dan ekosistem subak. Subak sebagai
sebuah budaya pertanian masyarakat Bali yang berlandaskan filosofi Tri Hita
Karana sebagian besar masih bertahan dan berjalan dengan baik sehingga diakui
oleh dunia, melalui penetapan subak sebagai WBD oleh UNESCO pada tahun 2012.
Adanya predikat WBD membawa pengaruh dan dampak yang berbeda-beda
ditiap kawasan WBD, seperti kawasan WBD lainnya yaitu di Jatiluwih. Kunjungan
wisatawan meningkat signifikan, dan berpengaruh bagi pendapatan masyarakat dan
Pemerintah Daerah. Desa Mengesta, yang juga menjadi bagian dari kawasan atau
situs WBD diharapkan akan membawa pengaruh dan manfaat penting untuk
pengembangan pariwisata di desa tersebut. Hasil penelitian Panglipur (2012)
sebagai acuan dan informasi penting di dalam membahas penelitian ini lebih lanjut,
serta untuk melengkapi pemahaman tentang keterkaitan dan manfaat WBD dalam
pengembangan pariwisata.
Selanjutnya hasil penelitian Sri Widari (2015) menunjukan bahwa terjadi
perkembangan sosial budaya dan ekonomi Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan
subak sebagai WBD dari aspek Tri Hita Karana. Aktivitas dan ritual pertanian
masih berjalan dan terpelihara, meskipun ada pergeseran dalam sistem tanam padi
dan pola tanam. Kesenian tradisional dan organisasi sosial semakin dilestarikan dan
dijaga keberadaannya. Partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam
perkembangan Desa Wisata Jatiluwih dari aspek Tri Hita Karana bersifat
manipulatif dan fungsional terlihat pada tahap perencanaan, dan pada tahap
pengembangan masyarakat untuk berpartisipasi aktif. Sri Widari (2015) juga
melihat persepsi wisatawan terhadap perkembangan desa wisata Jatiluwih setelah
18
penetapan subak sebagai WBD dari aspek Tri Hita Karana. Hasil penelitiannya
menunjukan bahwa, penetapan subak sebagai WBD telah memberikan dampak
yang positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, terutama yang memiliki
peluang untuk menjual jasa pariwisata, seperti membuka kios di kawasan wisata
Jatiuwih. Selain memberikan dampak positif tersebut, juga terjadi dampak yang
kurang menguntungkan karena terjadinya kesemerawutan lalu lintas, akibat
terbatasnya lahan parkir. Banyak kendaraan wisata yang harus parkir di pinggir
jalan yang mengganggu arus lalu lintas, terutama saat terjadi pick season kunjungan
wisatawan ke Jatiluwih.
Kesamaan penelitian ini dengan penelitian Sri Wedari (2015) terletak pada
aspek kajian perkembangan pariwisata setelah adanya penetapan Warisan Budaya
Dunia oleh UNESCO dengan melihat aspek sosial budaya dan ekonomi
masyarakat. Sri Wedari (2015) menyatakan bahwa penetapan subak sebagai
Warisan Budaya Dunia telah membawa pergeseran pola tanam pertanian, seperti
dalam hal penggunaan traktor untuk mengolah lahan sawah, pemanfaatan pupuk
anorganik. Sebagian besar petani mengganti ternak sapi sebagai tenaga kerja
dengan traktor dalam mengolah lahan sawah. Demikian juga dalam penggunaan
pupuk organik, tergantikan dengan pupuk anorganik. Selain itu hasil penelitian Sri
Wedari (2015) juga menunjukan bahwa penetapan subak sebagai WBD beranfaat
dalam peningkatan pendapatan Desa Jatiluwih, serta meningkatnya lapangan kerja
dan kesempatan berusaha, serta investasi.
Desa Mengesta sekalipun memiliki status yang sama dengan Jatiluwih
sebagai bagian WBD dalam situs Catur Angga Batukaru, namun sektor pariwisata
19
belum berkembang dengan baik, sehingga memerlukan berbagai upaya untuk
menjadikan sebagai DTW yang diminati wisatawan seperti halnya kawasan Desa
Jatiluwih. Sebagai bagian dari WBD diharapkan dapat mendorong pembangunan
sektor pariwisata Desa Mengesta yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat serta tetap terjaganya pelestarian warisan budaya. Perbedaan penelitian
Sri Widari (2015) dengan penelitian ini adalah dari metode penelitian yang
digunakan dan permasalahan yang dibahas.
Hasil penelitian Sri Widari (2015) tentang perkembangan Desa Wisata
Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai WBD, juga dijadikan acuan dalam
penelitian ini. Karena hal yang sama sangat memungkinkan akan terjadi di Desa
Mengesta sebagai bagian dari WBD Provinsi Bali. Keterlibatan masyarakat dalam
mengelola potensi dan daya tarik wisata secara baik dan terintegrasi di Desa
Mengeta sangat diperlukan untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang
terarah dan memberi manfaat bagi masyarakat setempat.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan Heny Urmila Dewi, dkk (2013) yang
mengkaji tentang pengembangan desa wisata berbasis partisipasi masyarakat
lokal di Desa Jatiluwih, Tabanan-Bali, menyimpulkan bahwa keterlibatan
masyarakat sangat dibutuhkan dalam setiap tahap pengembangan pariwisata
berkelanjutan, mulai tahap perencanaan, implementasi, dan pengawasan. Akan
tetapi, dalam realitas sering terjadi pengabaian partisipasi masyarakat karena peran
pemerintah yang masih dominan dalam pengelolaan dan pemanfaatan Jatiluwih.
Penelitian Heny Urmila Dewi, dkk (2013) di kawasan WBD tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat lokal belum terlibat dalam pengembangan
20
pariwisata, peran pemerintah masih dominan dalam pengelolaan dan pemanfaatan
kawasan wisata Jatiluwih. Padahal seharusnya partisipasi masyarakat dalam
pengembangan desa wisata diperlukan partisipasi aktif masyarakat dalam
mengelola berbagai potensi dan sumber daya pariwisata. Oleh karena itu, model
yang dirumuskan dan digunakan sebagai pendekatan harus merepresentasikan
partisipasi masyarakat dalam setiap aspek kegiatan.
Hasil penelitian Heny Urmila Dewi, dkk (2013) juga menunjukkan partisipasi
masyarakat dalam pengembangan pariwisata di Jatiluwih yang dimulai dari tahap
perencanaan, tahap implementasi hingga tahap pengawasan secara nyata belum
berpihak kepada masyarakat. Pembangunan pariwisata yang berbasis partisipasi
masyarakat belum terwujud di wilayah ini. Masyarakat belum menjadi subyek
pembangunan, tetapi masih menjadi obyek pembangunan, melalui dominasi peran
pemerintah dalam pengelolaan sumber daya pariwisata.
Perbedaan penelitian Heny Urmila Dewi, dkk (2013) dengan penelitian ini
adalah dari aspek pendekatan kondisi sosiologis dan ekonomi. Desa Jatiluwih sudah
berjalan lebih dahulu sebagai destinasi wisata alam pertanian, sehingga sudah
banyak dikenal dan dikunjungi wisatawan. Sedangkan pariwisata Desa Mengesta
belum berkembang dan banyak dikenal wisatawan. Pemanfaatan daya tarik wisata
masih dikelola secara parsial oleh perorangan. Penelitian Heny Urmila Dewi, dkk
(2013) sebagai acuan dan data pendukung dalam penelitian ini, karena oenelitian
tersebut telah mengungkapkan dua hal penting dalam pengembangan destinasi
pariwisata yaitu keterlibatan atau partisipasi masyarakat lokal dan peran
pemerintah.
21
Penelitian lain yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah hasil
penelitian Sutanto (2013) tentang pariwisata sebagai agen transformasi sawah
tradisional di Bali: Antara Kehancuran dan Pelestarian. Hasil penelitian tersebut
mengungkapkan perkembangan pariwisata di Bali telah merubah fungsi sawah
tradisional menjadi akomodasi pariwisata. Pariwisata membawa dampak negatif
bagi lingkungan, sosial dan budaya masyarakat. Di sisi lain pariwisata membawa
peningkatan ekonomi yang pada akhirnya juga merubah sikap tradisional
masyarakat.
Penelitian Sutanto (2013) yang hanya melihat dampak yang ditimbulkan dari
pariwisata, berbeda dengan penelitian ini yang ingin melihat atau mengetahui posisi
subak sebagai basis pengembangan pariwisata, serta peran pemerintah dalam
mengelola pariwisata dan persepsi dalam pengembangan pariwisata. Hasil
penelitian Sutanto (2013) yang menunjukan bahwa tuntutan ekonomi masyarakat
atau petani yang tidak dapat terbendung akibat globalisasi yang semakin meluas
berdampak nyata terhadap perubahan gaya hidup tradisional masyarakat sehingga
banyak lahan pertanian yang beralih fungsi. Tidak tertutup kemungkinan hal yang
sama akan terjadi di kawasan Desa Mengesta, apabila perkembangan sektor
pariwisata tidak atau kurang dikelola dengan baik dan benar.
Persamaan penelitain Sutanto (2013) dengan penelitian ini adalah dalam hal
latar belakang penelitian yaitu banyaknya alih fungsi lahan pertanian karena
pembangunan pariwisata akan mempengaruhi keberlanjutan pertanian atau
ekosistem subak. Padahal subak sebagai WBD harus dilestarikan. Untuk itu
diperlukan peran pemerintah, pengusaha atau swasta serta masyarakat dalam
22
menemukan solusi agar pariwisata tidak hanya memberi keuntungan ekonomi
semata, akan tetapi perlu adanya upaya pelestarian, pengaturan tata ruang dan
lingkungan agar keindahan dan keaslian sumberdaya yang dimiliki tidak tercemar
atau bahkan menimbulkan kehancuran, khususnya pertanian di Desa Mengesta.
Sebagai acuan karena hasil penelitian Sutanto (2013) memberi informasi
penting dan berharga untuk mengkaji dan membahas penelitian ini lebih lanjut.
Informasi tersebut terkait dengan pengembangan pariwisata, globalisasi dan
tuntutan ekonomi yang dapat menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan budaya
dalam masyarakat atau petani. Salah satu dampak tersebut adalah terjadinya alih
fungsi lahan pertanian, yang sesungguhnya harus dihindari dalam pelestarian
system subak dalam kawasan WBD.
2.2 Konsep
2.2.1 Pengembangan Pariwisata
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:538) pengembangan
merupakan suatu proses, cara, perbuatan menjadikan sesuatu menjadi lebih baik,
maju, sempurna dan berguna. Pengembangan merupakan suatu proses atau aktivitas
untuk memajukan sesuatu yang dianggap perlu melalui peremajaan atau
memelihara yang sudah berkembang agar menjadi lebih menarik dan berkembang.
Swarbrooke (1996:99) menyatakan bahwa pengembangan pariwisata merupakan
suatu upaya membangun sektor pariwisata dengan jalan mengintegrasikan segala
aspek di luar sektor pariwisata yang berkaitan secara langsung maupun tidak
langsung untuk kelangsungan pengembangan pariwisata. Terkait dengan hal
tersebut maka terdapat beberapa jenis pengembangan pariwisata, antara lain:
23
1) Pengembangan pariwisata secara keseluruhan dengan tujuan baru, yaitu
membangun atraksi wisata pada situs yang sebelumnya tidak digunakan sebagai
atraksi. Tujuan baru tersebut seperti; membangun atraksi wisata pertanian pada
situs yang sebelumnya telah digunakan sebagai atraksi wisata.
2) Pengembangan baru secara keseluruhan, pada atraksi yang baru dibangun untuk
menarik pengunjung lebih banyak dan membuat atraksi tersebut mencapai
pangsa pasar baru yang lebih luas.
3) Pengembangan baru pada keberadaan atraksi bertujuan meningkatkan fasilitas
pengunjung atau mengantisipasi meningkatnya pengeluaran sekunder oleh
pengunjung.
4) Penciptaan kegiatan-kegiatan baru atau tahapan dari kegiatan yang berpindah
dari satu tempat ke tempat lain, dimana kegiatan tersebut memerlukan
modifikasi bangunan dan struktur.
Menurut Sunaryo (2013:159) pengembangan pariwisata harus mencakup
komponen-komponen utama sebagai berikut:
1. Objek dan daya tarik (attraction) yang mencakup daya tarik yang biasa berbasis
utama pada kekayaan alam, budaya, maupun buatan/artificial, seperti event atau
yang sering disebut sebagai minat khusus (special interest).
2. Aksesibilitas (accessibility), yang mencakup dukungan sistem transportasi yang
meliputi: rute atau jalur transportasi, fasilitas terminal, bandara, pelabuhan,
moda transportasi lain.
3. Amenitas (amenities), yang mencakup fasilitas penunjang dan pendukung
wisata yang meliputi: akomodasi, rumah makan (food and beverage), retail,
24
toko cinderamata, fasilitas penukaran uang, biro perjalanan, pusat informasi
wisata, dan fasilitas kenyamanan lainnya.
4. Fasilitas pendukung (ancillary service), yaitu ketersediaan fasilitas pendukung
yang digunakan oleh wisatawan, seperti bank, rumah sakit, dan sebagainya.
5. Kelembagaan (institution), yaitu keterkaitan dengan keberadaan dan peran
masing-masing unsur dalam mendukung terlaksananya kegiatan pariwisata
termasuk masyarakat setempat sebagai tuan rumah (host).
Pengembangan pariwisata dalam suatu destinasi wisata dengan
memperhatikan komponen-komponen diatas, harus dipahami secara holistik
sebagai suatu keterkaitan antar objek dan daya tarik beserta unsur-unsur
pendukungnya seperti: aksesibilitas, amenitas, masyarakat setempat dan unsur-
unsur penunjang lainnya yang bekerja secara sinergis dalam satu kesatuan sistem
yang saling menunjang dan melengkapi.
2.2.2 Pariwisata Berkelanjutan
Pembangunan pariwisata berkelanjutan pada intinya berkaitan dengan usaha
menjamin agar sumber daya alam, sosial dan budaya yang dimanfaatkan untuk
pembangunan pariwisata pada generasi ini agar dapat dinikmati untuk generasi
yang akan datang. “Pembangunan pariwisata harus didasarkan pada kriteria
keberlanjutan yang artinya bahwa pembangunan dapat didukung secara ekologis
dalam jangka panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial
terhadap masyarakat” (Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995)
Pembangunan pariwisata berkelanjutan, seperti disebutkan dalam Piagam
Pariwisata Berkelanjutan (1995) tersebut adalah pembangunan yang dapat
25
didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan
sosial terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan berkelanjutan adalah upaya
terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara
mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya
secara berkelanjutan.
Hal tersebut hanya dapat terlaksana dengan sistem penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif dan
seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian,
pembangunan berkelanjutan tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi
juga isu demokrasi, hak asasi manusia dan isu lain yang lebih luas.
Secara ringkas, pembangunan pariwisata berkelanjutan pada prinsipnya
merekomendasikan keberhasilan pembangunan pariwisata paling tidak harus
mampu berlanjut secara lingkungan (environmentally sustainable), dapat diterima
oleh lingkungan sosial dan budaya setempat (socially and culturally acceptable),
layak dan menguntungkan secara ekonomi (economically viable) dan
memanfaatkan teknologi yang layak/pantas untuk diterapkan di wilayah lingkungan
tersebut (technologically appropriate) (Sunaryo, 2013:45).
Pembangunan pariwisata berkelanjutan setidaknya harus memperhatikan
kelestarian lingkungan (alam maupun sosial, ekonomi dan budaya), dan seminimal
mungkin menghindarkan dampak negatif yang dapat menurunkan kualitas
lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekologi. Terganggunya keseimbangan
ekologis, akan dapat menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan secara
keseluruhan, karena subuah ekosistem, tidak dapat berdiri sendiri, namun saling
26
tergantung dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu
pembangunan yang berkelanjutan termasuk pembangunan sektor pariwisata harus
memperhatikan semua aspek atau faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sebuah
ekosistem, sehingga pembangunan tersebut selain tidak merusak ekosistem fisik,
juga harus dapat diterima atau tidak mengganggu sistem sosial dan budaya
masyarakat setempat.
Dapat diterima secara sosial dan budaya oleh masyarakat setempat, maka
pembangunan yang dilaksanakan harus memperhatikan nilai-nilai sosial budaya
dan kearifan lokal masyarakat yang ada di destinasi. Layak secara ekonomi dan
menguntungkan bagi negara, daerah dan masyarakat setempat. Oleh karena itu
pembangunan pariwisata harus dilaksanakan secara efektif, efisien dan akuntabel
sehingga memberi manfaat ekonomi, khususnya bagi kesejahteraan dan
pemberdayaan masyarakat setempat. Menekankan jenis teknologi ramah
lingkungan, dengan memanfaatan sebesar-besarnya sumber daya lokal dan dapat
diadopsi oleh masyarakat setempat serta berorientasi jangka panjang.
Tujuan pembangunan pariwisata berkelanjutan seperti uraian diatas, pada
dasarnya harus selalu diupayakan agar dapat berkinerja dan bermuara pada
pencapaian sasaran dan tujuan utama yaitu:
a. Untuk membangun pemahaman dan kesadaran yang semakin tinggi bahwa
pariwisata dapat berkontribusi secara signifikan bagi pelestarian lingkungan
dan pembangunan ekonomi.
b. Untuk meningkatkan keseimbangan dalam pembangunan.
c. Untuk meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat setempat.
27
d. Untuk meningkatkan kualitas pengalaman bagi pengunjung dan wisatawan.
e. Untuk meningkatkan kualitas pengalaman bagi pengunjung dan wisatawan
(Sunaryo, 2013: 47).
Dalam paparan Dubes Makmur Widodo pada Konfrensi Tingkat Tinggi
(KTT) Dunia Pembangunan Berkelanjutan terdapat 4 (empat) indikator yang
dikembangkan pemerintah Republik Indonesia (RI) tentang pembangunan
pariwisata berkelanjutan menurut Agenda 21 tahun 2000. Ke-empat indikator
tersebut antara lain:
1. Kesadaran tentang tanggung jawab terhadap lingkungan, bahwa strategi
pembangunan pariwisata berkelanjutan harus menempatkan pariwisata
sebagai green industry (industri yang ramah lingkungan), yang menjadi
tanggungjawab pemerintah, industri pariwisata, masyarakat dan wisatawan.
2. Peningkatan peran pemerintah daerah dalam pembangunan pariwisata.
3. Kemantapan/keberdayaan industri pariwisata yaitu mampu menciptakan
produk pariwisata yang bisa bersaing secara internasional, dan mensejahterakan
masyarakat di tempat tujuan wisata.
Kemitraan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata
bertujuan menghilangkan atau menekan sekecil mungkin perbedaan tingkat
kesejahteraan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan wisata. Hal tersebut
sangat penting untuk menghindari konflik dan dominasi satu sama lain. Oleh karean
itu perlu dukungan dan perhatian dalam pengembangan usaha skala kecil oleh
masyarakat lokal. Melalui upaya tersebut diharapkan akan tebangun partisipasi
masyarakat untuk mengembangkan pariwisata secara berkalanjutan.
28
2.2.3 Warisan Budaya Dunia
Warisan budaya merupakan peninggalan yang melalui suatu proses dalam
kehidupan manusia, yang dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan
jaman. Pemanfaatannya perlu diperhatikan agar dapat diwariskan kepada generasi
mendatang. Sesuai dengan Yoeti (2006) heritage didefinisikan sebagai ”something
transferred from one generation to another” atau dapat diterjemahkan sebagai segala
sesuatu yang diwariskan dari masa lalu oleh generasi terdahulu, yang dihadapi dalam
kehidupan masa kini dan apa yang akan diturunkan ke generasi berikutnya.
Cultural heritage dapat diartikan sebagai representasi dari karya agung yang
memiliki nilai yang amat tinggi selama kurun waktu seiring dengan area budaya dunia,
dalam hal perkembangan arsitektur atau teknlogi, monumen seni, perencanaan kota
atau design landsekap. Dalam Konvensi Warisan Dunia pada tahun 1972, UNESCO
mengartikan warisan kebudayaan dunia meliputi monumen, bangunan arsitektur, arca
dan 25 lukisan besar, unsur-unsur atau bangunan yang bersifat purbakala, prasasti, goa
yang dijadikan rumah tinggal serta campuran sifat-sifat dengan nilai istimewa secara
keseluruhan dari pandangan sejarah, kesenian atau pengetahuan. Sekelompok
bangunan: berkelompok atau terpisah-pisah atau bangunan yang berhubungan yang
karena bentuk arsiteknya, kebersamaan atau tempatnya di dalam pemandangan,
merupakan nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, kesenian atau
pengetahuan. Situs: buatan manusia atau campuran buatan manusia dan alam, serta
daerah-daerah termasuk situs purbakala yang memiliki nilai luar biasa secara universal
dari sudut pandangan sejarah, estetika, etnologi atau antropologi (Boniface, 1999:33).
Warisan Dunia baik alam maupun budaya, dicanangkan oleh UNESCO
secara resmi sejak tahun 1972, melalui konvensi tentang perlindungan warisan
29
budaya dan alam dunia (Convention Concerning the Protection of World Cultural
and Natural Heritage). Hal tersebut bertujuan untuk melindungi situs-situs budaya
dan alam yang bernilai penting (outstanding) sebagai warisan bersama umat
manusia. Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut
melalui pengesahan Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 26 tahun 1989.
Warisan Budaya Dunia (WBD) adalah tinggalan berupa karya budaya
manusia yang mempunyai nilai atau keunggulan (kekhasan) yang sangat menonjol
atau luar biasa dan diakui secara universal di dunia. Budaya “subak” telah
ditetapkan sebagai WBD oleh UNESCO. Predikat WBD adalah status atau label
yang melekat atau dimiliki suatu situs atau kawasan yang telah ditetapkan sebagai
WBD. Melalui predikat Warisan Budaya Dunia, suatu kawasan memiliki peluang
untuk dikembangkan menjadi sebuah destinasi wisata secara berkelanjutan.
Windia dan Wiguna (2012: 158) menyatakan beberapa alasan ditetapkannya
subak sebagaia WBD. Alasan tersebut antara lain: terkait dengan nilai-nilai yang
dimiliki sistem subak di Bali, seperti nilai keaslian (authenticity value), nilai
universal (universal value), nilai-nilai luar biasa (monumental value). Salain itu,
nilai-nilai philosophy Tri Hita Karana selalu terimplementasikan dalam kehudupan
subak sehari-hari. sistem pengelolaannya.
Konsep keaslian dan keberlanjutan (authenticity and sustainability) dalam
kepariwisataan, akan menciptakan kepariwisataan yang berkualitas bila diterapkan
dengan ideal. Namun keaslian yang dimaksud dalam kontek pengembangan
pariwisata adalah adanya pengalaman khas dan satu-satunya yang dialami dan
dinikmati oleh wisatawan terhadap obyek atau daya tarik wisata. Pengalaman khas
30
tersebut, akan memiliki potensi bagi wisatawan untuk kembali lagi ke destinasi
pariwisata tersebut. Hal tersebut akan membawa keberlanjutan dalam siklus
kepariwisataan di suatu destinasi pariwisata (Sunaryo, 2013:49). Peluang tersebut
akan terjadi apabila potensi atau destinasi wisata tersebut dikelolang dengan baik
melalui peran masyarakat dan pemerintah
Terkait dengan hal tersebut, Windia dan Wiguna (2012:158) menyatakan
bahwa subak sebagai salah satu inti kebudayaan Bali, dapat dikembangkan menjadi
daya tarik pariwisata dalam meraih devisa bagi daerah dan masyarakat Bali. Namun
perlu dipikirkan, agar peranan subak dalam menarik wisatawan juga dapat
dinikmati oleh petani sebagai pelaku utama dalam pelestarian sistem subak,
sehingga terjadi hubungan yang harmonis antara pengembangan sektor pariwisata
dengan upaya pelestarian sistem subak sebagai salah satu kebudayaan Bali. Hal
tersebut sejalan dengan Wiguna dan Kaler (2008), yang menyatakan bahwa subak
memiliki peluang yang cukup besar dalam menghasilkan devisa negara dan
meningkatkan pendapatan masyarakat, melalui pengembangan pariwisata berbasis
pertanian (agrowisata).
Sebagai bagian WBD dengan sumber daya yang dimiliki, Desa Mengesta
akan sangat berpeluang untuk mengembangkan pariwisata berbasis subak, yang
akan memberikan manfaat ekonomi, sosial budaya masyarakat serta pelestarian
alam dan budaya secara berkelanjutan. Pemikiran tersebut dilandasi bahwa Desa
Mengesta memiliki sistem subak yang sangat baik dengan pemandangan sawah
berteras yang sangat indah. Selain itu Desa Mengesta juga memiliki berbagai
31
potensi pariwisata alam dan budaya yang perlu dikembangkan melalui pemanfaatan
predikat Subak sebagai Warisan Budaya Dunia di bawah UNESCO.
Pariwisata berbasis masyarakat merupakan pemberdayaan yang melibatkan
dan meletakkan masyarakat sebagai pelaku penting dalam konteks paradigma baru
pembangunan berkelanjutan (sustainable development paradigm). Pendekatan
tersebut sejalan dengan tujuan penetapan WBD oleh UNESCO yaitu terjaganya
keaslian dan keberlanjutan suatu situs WBD. Hal tersebut merupakan komitmen
dan tanggungjawab pemilik warisan budaya, yaitu pemerintah dan masyarakat.
Menjaga lansekap budaya Provinsi Bali sangatlah rentan dan bukanlah hal yang
mudah. Maka dari itu sangat penting untuk memberikan dukungan positif bagi
pengelolaan pariwisata berbasis subak, terutama di kawasan WBD.
Pengelolaan yang baik dan terarah bertujuan untuk meningkatkan kualitas
pariwisata dan mampu menarik minat wisatawan. Selain itu akan menumbuhkan
pemahaman dan kesadaran dalam menjaga dan memanfaatkan situs WBD tersebut.
Strategi ini memiliki beberapa tujuan antar lain: melindungi warisan budaya,
meningkatkan pendapatan masyarakat dan meningkatkan sektor pariwisata.
Peran pemerintah lebih diposisikan sebagai fasilitator sekaligus mediator.
Sebagai fasilitator pemerintah berkewajiban untuk menyediakan kemudahan-
kemudahan serta wadah atau forum untuk berdialog bagi setiap pihak yang terkait
dengan warisan budaya, sehingga semua lapisan masyarakat dapat terlibat. Sebagai
mediator, pemerintah harus mampu bertindak sebagai manajer konflik yang
“netral” sehingga dapat mencarikan jalan keluar yang terbaik agar kepentingan
berbagai pihak sedapat mungkin dapat terakomodasi (Tanudirjo. 2003:10).
32
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Persepsi
Penggunaan teori persepsi dalam penelitian ini terkait dengan upaya
pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, khususnya masyarakat petani
sebagai pengelola sistem subak. Mengetahui persepsi masyarakat akan lebih
memudahkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pengembangan pariwisata di
Desa Mengesta. Untuk melibatkan dan memerankan masyarakat secara baik dan
benar harus dilandasi dengan persepsi dan keinginan masyarakat, sehingga
dihasilkan sebuah model pengembangan pariwisata yang sejalan dengan
kepentingan dan keinginan masyarakat.
Persepsi merupakan suatu proses dimana individu memilih,
mengorganisasikan serta mengartikan stimulus yang diterima melalui inderanya
menjadi suatu makna. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu
faktor personal dan faktor struktural. Faktor personal antara lain adalah proses
belajar, motif, dan kebutuhan, sedangkan faktor struktural meliputi lingkungan, dan
nilai sosial dalam masyarakat (Rangkuti, 2003:52)
Persepsi juga berkaitan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus
tentang kejadian pada waktu tertentu. Persepsi dapat terjadi kapan saja, yaitu saat
stimulus menggerakkan indra. Persepsi mencakup penerimaan stimulus,
pengorganisasian stimulus, penafsiran stimulus yang telah diorganisasikan dengan
cara mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap (Rangkuti, 2003:53).
Farsari (2005:3) memberikan penjelasan bahwa persepsi adalah suatu proses
dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indra mereka
33
untuk memberikan makna terhadap lingkungannya. Faktor-faktor berikut
menjelaskan bahwa pihak pelaku persepsi (perceiver), dalam objeknya atau target
yang dipersepsikan, atau dalam konteks situasi di mana persepsi itu dilakukan akan
dapat mempengaruhi terbentuknya suatu persepsi. Irianto (2011:190) menjelaskan
persepsi yaitu bila seorang individu memandang pada satu obyek dan mencoba
menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh
karakteristik dari pribadi ke perilaku persepsi individu itu. Diantara karakteristik
pribadi yang lebih relevan yang mempengaruhi persepsi adalah sikap, motif,
kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan pengharapan (expectation).
Unsur-unsur lingkungan sekitar mempengaruhi persepsi. Waktu adalah
dimana suatu obyek atau peristiwa itu dilihat agar dapat mempengaruhi perhatian,
seperti juga lokasi, cahaya, panas, atau setiap jumlah faktor situasional.
Mengemukakan persepsi sebagai proses yang digunakan seorang individu untuk
memilih, mengorganisasikan, dan menginterpretasi masukan-masukan informasi
guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti. Persepsi tidak hanya
tergantung pada rangsangan fisik, tetapi juga pada rangsangan yang berhubungan
dengan lingkungan sekitar dan keadaan individu yang bersangkutan (Ramadhan,
2009:7).
Berdasarkan definisi persepsi yang tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
persepsi merupakan tindakan yang diberikan seseorang terhadap sesuatu yang
berada di sekitar lingkungannya baik persepsi yang diberikan positif ataupun
negatif. Persepsi memegang peranan penting dalam konsep positioning karena
manusia menafsirkan suatu kejadian. Proses persepsi merupakan serangkaian
34
kegiatan yang melalui beberapa tahapan terlebih dahulu. Persepsi merupakan hasil
dari pengamatan terhadap keadaan oleh indrawi manusia yang merupakan
pandangan manusia mengenai sesuatu. Mengacu pada berbagai definisi tentang
persepsi, maka mengetahui persepsi masyarakat secara baik dan benar, menjadi
demikian penting dalam sebuah proses perencanaan, termasuk dalam perencanaan
pengembangan pariwisata berkelanjutan berbasis subak di Desa Mengesta, sebagai
bagian dari Warisan Budaya Dunia Provinsi Bali.
2.3.2 Teori Pariwisata Berbasis Masyarakat
Pariwisata berbasis masyarakat yang dikenal dengan CBT (Community Based
Tourism) sangat populer dilakukan dalam membentuk sebuah strategi
pembangunan dalam bidang pariwisata. Konsep ini memiliki tujuan untuk
melakukan suatu peningkatan intensitas partisipasi masyarakat, sehingga dapat
memberikan peningkatan dalam bidang ekonomi serta masyarakat memiliki
kekuatan dalam pengambilan keputusan untuk mengelola suatu pembangunan
dalam bidang pariwisata.
Pariwisata berbasis masyarakat merupakan pendekatan pemberdayaan yang
melibatkan dan meletakkan masyarakat sebagai pelaku penting dalam konteks
paradigma baru pembangunan berkelanjutan (sustainable development paradigm).
Melalui pendekatan ini diharapkan pembangunan kepariwisataan menjadi dapat
lebih diterima dan mampu memberikan nilai manfaat yang tinggi kepada
masyarakat.
Menurut Jain (2000:5) tujuan yang diinginkan dengan berlakunya konsep
pariwisata yang berbasis masyarakat, yaitu:
35
1. Pariwisata berbasis masyarakat harus berkontribusi untuk meningkatkan dan
atau memperbaiki konservasi alam atau sumber daya budaya, termasuk
keanekaragaman hayati.
2. Pariwisata berbasis masyarakat harus berkontribusi terhadap pembangunan
ekonomi lokal sehingga meningkatkan pendapatan dan keuntungan bagi
masyarakat.
3. Pariwisata berbasis masyarakat harus melibatkan partisipasi masyarakat lokal
4. Pariwisata berbasis masyarakat mempunyai tanggung jawab kepada wisatawan
untuk memberikan produk yang peduli terhadap lingkungan alam, sosial
maupun budaya.
Pariwisata yang berbasis masyarakat harus memperhatikan keterlibatan
masyarakat lokal yang merupakan syarat mutlak untuk tercapainya pembangunan
pariwisata yang berkelanjutan. Masyarakat lokal adalah masyarakat yang memiliki
pengetahuan terhadap lingkungannya berdasarkan pengalaman yang diturunkan
dari generasi ke generasi. Atas pengetahuan dan pengalaman tersebut maka
masyarakat setempat memiliki kesadaran untuk mengembangkan berbagai hal yang
ramah lingkungan dan dapat diterima secara sosial budaya dan religi.
Salah satu strategi dalam pengembangan pariwisata yang berbasis masyarakat
secara konseptual memiliki ciri yang unik serta sejumlah karakter dikemukakan
oleh Nasikun (2000:27), yaitu sebagai berikut:
1. Oleh karena karakternya yang lebih mudah diorganisasi di dalam skala yang
kecil, jenis pariwisata ini pada dasarnya merupakan suatu jenis pariwisata yang
bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman dan tidak menimbulkan
36
banyak dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata
konvensional yang berskala massif.
2. Pariwisata berbasis masyarakat memiliki peluang lebih mampu
mengembangkan obyek-obyek dan atraksi-atraksi wisata berskala kecil dan
oleh karena itu dapat dikelola oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-
pengusaha lokal, menimbulkan dampak sosial-kultural yang minimal, sehingga
memiliki peluang yang lebih besar untuk diterima masyarakat.
3. Masyarakat sebagai komunitas lokal melibatkan diri dalam menikmati
keuntungan perkembangan pariwisata, dan oleh karena itu pariwisata berbasis
masyarakat lebih memberdayakan masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa prinsip dasar CBT adalah membuka ruang dan
peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam
pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata didaerahnya sehingga mereka
ikut mendapatkan keuntungan secara ekonomi serta ikut bertanggung jawab secara
moral dalam menjaga dan melestarikan sumber daya pariwisata tersebut beserta
fasilitasnya.
Suansri (2003:14) mendefinisikan Pariwisata Berbasis Masyarakat
(Community Based Tourism) sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek
keberlanjutan lingkungan dan budaya di dalam mewujudkan pembangunan
pariwisata yang berkelanjutan, melalui hubungan yang lebih seimbang antara
wisatawan dan masyarakat lokal dalam industri pariwisata. Keseimbangan yang
dimaksud antara lain dalam hal status kepemilikan komunitas, pembagian
37
keuntungan yang adil, hubungan faktor budaya yang didasari sikap saling
menghargai, dan upaya bersama untuk menjaga lingkungan.
Tingkat keterlibatan masyarakat lokal dalam suatu tempat wisata dengan
daerah wisata lain relatif berbeda, hal ini disebabkan karena bervariasinya
kompetensi sumber daya manusia (SDM) masyarakat lokal. Untuk itu peningkatan
SDM dan pemberdayaan masyarakat lokal merupakan upaya strategis untuk
melatih kemandirian masyarakat lokal agar dapat terlibat dalam pengembangan
pariwisata.
2.3.3 Teori Perencanaan
Untuk mengelola kegiatan pariwisata yang lebih profesional, dibutuhkan
adanya perencanaan yang terpadu dan berkesinambungan. Definisi umum
perencanaan adalah pengorganisasian masa depan untuk mencapai tujuan tertentu,
mempunyai rentang yang sangat kuat dan beragam mulai dari skala individu sampai
skala regional hingga nasional. Suatu proses untuk menentukan tindakan masa
depan yang tepat, melalui urutan pilihan dengan memperhitungkan sumberdaya
yang tersedia. (Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan)
Proses perencanaan adalah rangkaian kegiatan berpikir (rasional) secara
bersistem dalam usaha menyusun rencana untuk masa depan, dapat dikembangkan
sesuai dengan kendala dan keterbatasan sehingga rangkaian kegiatan itu dapat
dilaksanakan secara efisien dan efektif.
Menurut Paturusi (2008:26) perencanaan adalah suatu proses pembuatan
keputusan yang berkaitan dengan masa depan suatu destinasi atau atraksi wisata.
38
Ini merupakan suatu proses dinamis dalam penentuan tujuan, yang secara bersistem
mempertimbangkan berbagai alternatif tindakan untuk mencapai tujuan serta
implementasinya terhadap alternatif yang dipilih dan evaluasinya. Proses
perencanaan mempertimbangkan lingkungan politik, fisik, sosial, dan ekonomi
sebagai suatu komponen yang saling terkait dan tergantung dengan yang lainnya.
Syarat-syarat perencanaan menurut Paturusi (2008:10)
1) Logis, bisa dimengerti dan sesuai dengan kenyataan yang berlaku.
2) Luwes (fleksibel) dan tanggap mengikuti dinamika perkembangan.
3) Objektif, didasari tujuan dan sasaran yang dilandasi pertimbangan yang
bersistem dan ilmiah.
4) Realitas, dapat dilaksanakan, memiliki rentang rencana: jangka panjang,
menengah dan pendek.
Untuk mengoptimalkan keuntungan dari pengembangan pariwisata
dibutuhkan suatu perencanaan yang baik dan matang. Tujuan ini hanya dapat
dicapai jika direncanakan dengan baik dan terintegrasi dengan perencanaan
pembangunan secara keseluruhan. Dengan perencanaan, pariwisata dapat
dikembangkan sebagai pariwisata yang berkelanjutan. Ada delapan model
pendekatan perencanaan pariwisata menurut Inskeep (1991:29), yaitu:
1. Pendekatan berkesinambungan, inkremental dan fleksibel (continuous,
incremental and flexible approach). Pendekatan ini didasarkan pada kebijakan
dan rencana pemerintah, baik secara nasional maupun regional. Perencanaan
pariwisata dilihat sebagai suatu proses berkesinambungan yang perlu dievaluasi
39
berdasarkan pemantauan dan umpan balik dalam kerangka pencapaian tujuan
dan kebijakan pengembangan pariwisata.
2. Pendekatan sistem (system approach). Pariwisata dilihat sebagai suatu sistem
yang saling berhubungan (interrelated system), demikian halnya dalam
perencanaan dan teknik analisisnya.
3. Pendekatan menyeluruh (comprehensive approach). Pendekatan ini bisa juga
disebut pendekatan holistik. Seperti pada pendekatan sistem seluruh aspek yang
terkait dalam perencanaan pariwisata mencakup institusi, lingkungan dan
implikasi sosial ekonominya dianalisis dan direncanakan secara menyeluruh.
4. Integrated approach. Mirip dengan pendekatan sistem dan pendekatan
menyeluruh. Pariwisata dikembangkan dan direncanakan sebagai suatu sistem
yang terintegrasi baik ke dalam maupun ke luar.
5. Pendekatan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
(environmental and sustainable development approach). Pariwisata
direncanakan, dikembangkan dan dikelola memperhatikan kelestarian
lingkungan fisik dan sosial budaya. Analisis daya dukung merupakan bagian
yang paling penting dalam pendekatan ini.
6. Pendekatan swadaya masyarakat (community approach). Pendekatan yang
melibatkan yang sebesar-besarnya masyarakat mulai dari proses perencanaan,
membuat keputusan, pelaksanaan dan pengelolaan pengembangan pariwisata.
7. Pendekatan implementasi (implementable approach). Kebijakan, rencana,
rekomendasi dan rumusan pengembangan pariwisata dibuat serealistis mungkin
40
dan dapat diterapkan. Rumusan perencanaan dibuat sejelas mungkin sehingga
bisa dilaksanakan.
8. Penerapan proses perencanaan yang sistematik (application of systematic
planning process). Pendekatan yang dilakukan berdasarkan logika tahapan
kegiatan.
Menurut Rangkuti (2005:3), perencanaan strategi merupakan kegiatan
perusahaan untuk mencari kesesuaian antara kekuatan-kekuatan internal
perusahaan dan kekuatan-kekuatan eksternal (peluang dan ancaman) suatu pasar.
Adapun kegiatannya meliputi pengamatan secara hati hati terhadap persaingan,
peraturan tingkat inflasi, siklus bisnis, keungulan, dan harapan konsumen serta
faktor–faktor lain yang dapat mengindentifikasi peluang dan ancaman. Suatu
perusahaan dapat mengembangkan strategi untuk mengatasi ancaman eksternal dan
berebut peluang yang ada. Proses analisis, perumusan dan evaluasi-eveluasi strategi
itu disebut perencanaan strategis. Tujuan utama perencanaan strategis, agar
perusahaan dapat melihat kondisi-kondisi eksternal dan internal, sehingga
perusahaan dapat mengantisipasi perubahaan lingkungan eksternal.
Menurut Sunaryo (2013:163) perencanaan pariwisata pada dasarnya adalah
mencari titik temu antara sisi permintaan (demand side) dan sisi penawaran (supply
side) atau dengan kata lain terwujudnya kesesuaian antara kebutuhan dari sisi
permintaan/pasar dan dukungan pengembangan dari sisi penawaran/produk wisata
atau destinasi wisata. Terkait dengan prinsip keseimbangan tersebut maka aspek
pasar memiliki posisi yang sangat strategis yang akan menjadi dasar pijakan
pengembangan produk atau destinasi.
41
2.4 Model Penelitian
Kerangka model penelitian tentang Pengembangan Pariwisata
Berkelanjutan Berbasis Subak Sebagai Bagian Warisan Budaya Dunia di Desa
Mengesta Kabupaten Tabanan ditunjukan dalam Gambar 2.1. Dari Gambar 2.1
nampak bahwa Desa Mengesta sebagai bagian Warisan Budaya Dunia yang telah
ditetapkan oleh UNESCO, termasuk dalam situs Catur Angga Batukaru.
Sebagai bagian dari WBD diharapkan dapat memberi pengaruh positif
didalam pengembangan pariwisata Desa Mengesta yang dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat dengan tetap terjaga pelestarian dan keberlanjutan situs.
Menjadi bagian dari WBD memerlukan suatu penanganan yang serius agar keaslian
dan keberlanjutan kawasan WBD tetap terjaga. Untuk itu keterlibatan masyarakat
lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi dan daya tarik wisata
merupakan salah satu cara di dalam memberikan peluang kepada masyarakat lokal
untuk mendapatkan manfaat serta akan terjaga pelestarian dan keberlanjutan WBD.
Penelitian difokuskan untuk mengetahui bagaimana pengembangan
pariwisata berkelanjutan di Desa Mengesta sebagai bagian dari WBD, manfaat
WBD bagi masyarakat serta peran pemerintah dalam pengembangan pariwisata di
Desa Mengesta pasca penetapan WBD serta. Dengan menggunakan teori yang
relevan untuk menganalisis permasalahan bertujuan untuk memberikan arahan bagi
peneliti dalam membahas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Teori yang digunakan untuk membahas permasalahan pertama adalah teori
perencanaan pariwisata. Teori persepsi digunakan untuk membahas permasalahan
kedua dan ketiga, dan teori pariwisata berbasis masyarakat digunakan untuk
42
membahas permasalahan kedua. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
sumbangan informasi dan rekomendasi kepada instansi berwenang atau stakeholder
yang bergerak dalam bidang kepariwisataan, didalam usaha mengembangkan
pembangunan kepariwisataan di kawasan warisan budaya dunia khususnya di Desa
Mengesta.
Gambar 2.1
Kerangka Model Penelitian Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Berbasis
Subak sebagai Bagian Warisan Budaya Dunia di Desa Mengesta
Kabupaten Tabanan.