32
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Fisiologi Servikal 2.1.1 Servikal I-VII Vertebra servikal I juga disebut atlas, pada dasarnya berbeda dengan lainnya karena tidak mempunyai corpus vertebra oleh karena pada atlas dilukiskan adanya arcus anterior terdapat permukaan sendi, fovea, vertebralis, berjalan melalui arcus posterior untuk lewatan arcus posterior untuk lewatnya arteri vertebralis. Vertebra servikal II juga disebut aksis, berbeda dengan vertebra servikal ke-3 sampai ke-6 karena adanya dens atau processus odontoid. Pada permukaan cranial corpus aksis memiliki tonjolan seperti gigi, dens yang ujungnya bulat, aspek dentis. Vertebra servikal III-V processus spinosus bercabang dua. Foramen transversarium membagi processus transversus menjadi tuberculum anterior dan posterior. Lateral foramen transversarium terdapat sulcus nervi spinalis, didahului oleh nervi spinalis. Vertebra servikal VI perbedaan dengan vertebra servikal I sampai dengan servikal V adalah tuberculum caroticum, karena dekat dengan arteri carotico.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 10 vertebrae cervicalis II (yang meluas ke kepala pada os occipitale pars basilaris dan tuberculum anterior atlantis ) dan memanjang

Embed Size (px)

Citation preview

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Servikal

2.1.1 Servikal I-VII

Vertebra servikal I juga disebut atlas, pada dasarnya berbeda

dengan lainnya karena tidak mempunyai corpus vertebra oleh karena

pada atlas dilukiskan adanya arcus anterior terdapat permukaan sendi,

fovea, vertebralis, berjalan melalui arcus posterior untuk lewatan arcus

posterior untuk lewatnya arteri vertebralis.

Vertebra servikal II juga disebut aksis, berbeda dengan vertebra

servikal ke-3 sampai ke-6 karena adanya dens atau processus odontoid.

Pada permukaan cranial corpus aksis memiliki tonjolan seperti gigi,

dens yang ujungnya bulat, aspek dentis.

Vertebra servikal III-V processus spinosus bercabang dua.

Foramen transversarium membagi processus transversus menjadi

tuberculum anterior dan posterior. Lateral foramen transversarium

terdapat sulcus nervi spinalis, didahului oleh nervi spinalis.

Vertebra servikal VI perbedaan dengan vertebra servikal I

sampai dengan servikal V adalah tuberculum caroticum, karena dekat

dengan arteri carotico.

9

Vertebra servikal VII merupakan processus spinosus yang besar,

yang biasanya dapat diraba sebagai processus spinosus columna

vertebralis yang tertinggi, oleh karena itu dinamakan vertebra

prominens (Syaifuddin, 2003).

Gambar 2.1.1 Vertebra Servikal I-VII

(Sumber: Syaifuddin, 2003)

2.1.2 Ligamentum.

Ligamentum adalah pita jaringan fibrosa yang kuat dan berfungsi

untuk mengikat serta menyatukan tulang atau bagian lain atau untuk

menyangga suatu organ (Snell, 2006).

a. Ligamentum longitudinal anterior

Ligamentum longitudinal anterior merupakan suatu serabut

yang membentuk pita lebar dan tebal serta kuat, yang melekat pada

bagian corpus vertebra, dimulai dari sebelah anterior corpus

10

vertebrae cervicalis II (yang meluas ke kepala pada os occipitale

pars basilaris dan tuberculum anterior atlantis) dan memanjang ke

bawah sampai bagian atas depan fascies pelvina os sacrum. Ligamen

longitudinal anterior ini lebih tebal pada bagian depan corpus karena

mengisi kecekungan corpus. Ligamen longitudinal anterior ini

berfungsi untuk membatasi gerakan extensi columna vertebralis.

Dimana daerah lumbal akibat berat tubuh akan mengalami

penambahan lengkungan pada vertebra columna didaerah lumbal.

Gambar a. Ligamentum Longitudinal Anterior

(Sumber: Syaifuddin, 2003)

b. Ligamentum longitudinal posterior

Ligamentum longitudinal posterior berada pada permukaan

posterior corpus vertebrae sehingga dia berada di sebelah depan

11

canalis vertebralis. Ligamentum ini melekat pada corpus vertebra

servikal II dan memanjang kebawah os sacrum. Ligamentum ini

diatas discus intervertebralis diantara kedua vertebra yang

berbatasan akan melebar, sedangkan dibelakang corpus vertebra

akan menyempit sehingga akan membentuk rigi. Ligamentum ini

berfungsi seperti ligamentum-ligamentum lain pada bagian posterior

vertebra colum, yaitu membatasi gerakan ke arah fleksi dan

membantu memfiksasi dan memegang dalam posisi yang betul dari

suatu posisis reduksi ke arah hyperextensi, terutama pada daerah

thorakal.

Gambar b. Ligamentum Longitudinal Posterior

(Sumber: Syaifuddin, 2003)

12

c. Ligamentum intertransversarium

Ligamentum intertransversarium melekat antara processus

transversus dua vertebra yang berdekatan. Ligamentum ini

berfungsi mengunci persendian sehingga membentuk membuat

stabilnya persendiaan.

Gambar c. Ligamentum Intertransversarium

(Sumber: Syaifuddin, 2003)

d. Ligamentum flavum

Ligamentum flavum merupakan suatu jaringan elastis dan

berwarna kuning, berbentuk pita yang melekat mulai dari permukaan

anterior tepi bawah suatu lamina, kemudian memanjang ke bawah

melekat pada bagian atas permukaan posterior lamina yang

13

berikutnya. Ligamentum flavum ini di daerah servikal tipis akan

tetapi di daerah thorakal ligamentum ini agak tebal. Ligamentum ini

akan menutup foramen intervertebral untuk lewatnya arteri, vena

serta nervus intervertebral. Adapun fungsi ligamentum ini adalah

untuk memperkuat hubungan antara vertebra yang berbatasan.

Gambar d. Ligamentum Flavum

(Sumber: Syaifuddin, 2003)

e. Ligamentum interspinale

Ligamentum interspinale merupakan suatu membran yang

tipis melekat pada tepi bawah processus suatu vertebra menuju ke

tepi atas processus vertebra yang berikutnya. Ligamentum ini

14

berhubunganm dengan ligamentum supra spinosus dan ligamentum

ini didaerah lumbal semakin sempit.

Gambar e. Ligamentum Interspinale

(Sumber: Syaifuddin, 2003)

2.1.3 Otot pada Leher

Otot yang terdapat pada leher terdiri dari otot

sternocleidomastoideus origonya terletak pada processus mastoideus

dan linea nuchae superior, insersio Pada incisura jugularis sterni dan

articulation sternoclavicularis, fungsi rotasi, lateral flexi, kontraksi

bilateral mengangkat kepala dan membantu pernapasan bila kepal

difixasi inervasi nervus accessorius dan plexus servikal (C1 dan C2)

(Daniel, S. Wibowo, 2005).

15

Gambar 2.1.3 Otot Sternocleidomastoideus

(Sumber: Daniel, 2005)

Otot scaleni terbagi atas 3 serabut, yang pertama otot scalenus

anterior, origo pada tuberculum anterius processus transversus

vertebra cervicalis III sampai VI, insersio pada tuberculum scaleni

anterior, inervasi plexus brachialis (C5-C7) dan berfungsi menarik costa

I, menekuk leher ke latero anterior dan menekuk leher ke anterior. Yang

kedua otot scalenus medius origo terletak pada tuberculum posterior

processus transversus vertebra cervicalis II sampai dengan VII, insersio

pada costa I di belakang sulcus a.subclavicula dan kedalam membran

intercostalis externa dari spatium intercostalis I, inervasi plexus

cervicalis dan brachialis (C4-C8) dan berfungsi mengangkat costa I dan

16

menekuk leher ke lateral costa I. Yang terakhir otot scalenus posterior

origo terletak pada processus transversus vertebra cervicalis V sampai

VII, insersio pada permukaan lateral costa II, inervasi plexus brachialis

( C7-C8) dan berfungsi fleksi leher, membantu rotasi leher dan kepala

serta mengangkat costa I (Daniel, S. Wibowo, 2005).

Gambar 2.1.3 Otot Scaleni

(Sumber: Daniel, 2005)

Otot trapezius dibagi menjadi 3 serabut yaitu yang pertama pars

descendens origo berasal dari linea nuchae superior, protuberantia

occipitalis externa dan ligamentum nuchea, insersio pada sepertiga

lateral clavicula, berfungsi untuk melakukan gerakan adduksi dan

retraksi dan menginervasi nervus accessorius dan rami trapezius (C2-

C4). Otot pars tranversa origo berasal dari servikal, insersio pada

17

sepertiga lateral clavicula, berfungsi untuk melakukan gerakan adduksi

dsn retraksi. dan menginervasi nervus accessorius dan rami trapezius

(C2-C4). Yang ketiga pars ascendens origo berasal dari vertebra

thoracalis III sampai XII, dari processus spinosus dan ligamentum

supraspinasum, insersio pada trigonum spinale dan bagian spina

scapulae yang berdekatan, berfungsi untuk menarik ke bawah (depresi)

dan menginervasi nervus accessorius dan rami trapezius (C2-C4)

(Daniel, S. Wibowo, 2005).

Gambar 2.1.3 Otot Trapezius

(Sumber: Daniel, 2005)

18

Otot levator scapula origo terletak pada tuberculum posterior

processus transversus vertebra cervicalis I sampai IV, insersio pada

angulus superior scapula, berfungsi mengangkat scapula sambil

memutar angulus inferior ke medial dan menginervasi nervus dorsalis

scapulae (C4-C8). Otot ini difungsikan untuk mengangkat pinggir medial

scapula. Bila bekerja sama dengan serabut tengah otot trapezius dan

rhomboideus, otot ini menarik scapula ke medial dan atas, yakni pada

gerakan menjepit bagu ke belakang (Daniel, S. Wibowo, 2005).

Gambar 2.1.3 Otot Levator Scapula

(Sumber: Daniel, 2005)

19

Otot longus colli kira-kira membentuk segitiga karena terdiri atas

tiga kelompok serabut. Fungsinya : untuk membengkokkan servikal ke

depan dan ke samping. Inervasinya plexus cervicalis dan brachialis (C2-

C8). Otot longus colli terdiri dari 3 serabut, yang pertama serabut

oblique superior origonya berasal dari tuberculum anterius processus

transversus vertebra cervicalis II sampai V dan insersio pada

tuberculum anterior atlas. Yang kedua serabut oblique inferior, origo

berjalan dari corpus vertebra thoracalis I sampai III dan insersio pada

tuberculum anterius vertebra cervicalis VI. Dan yang terakhir serabut

medial, origo terbentang dari corpus vertebra thoracalis bagian atas dan

vertebra cervicalis bagian bawah insersio pada corpus vertebra

cervicalis bagian atas (Daniel, S. Wibowo, 2005).

Gambar 2.1.3 Otot Longus Colli

(Sumber: Daniel, 2005)

20

Otot longus capitis origo terletak pada tuberculum anterius

processus transversus vertebra cervicalis III sampai VI, insersio pada

bagian basal os occipital berfungsi membentuk gerakan flexi, Lateral

flexi dan menginervasi plexus cervicalis (C1-C4) (Daniel, S. Wibowo,

2005).

Gambar 2.1.3 Otot Longus Capitis

(Sumber: Daniel, 2005)

2.2 Biomekanik

2.2.1. Regio Servikal

Disusun oleh 3 sendi penyusun yaitu atlanto-occipital joint (C0-

C1), atlanto-axial joint (C1-C2) dan vertebra joints (C2-C7). Regio ini

merupakan regio yang paling sering bergerak dari seluruh bagian tulang

vertebra. Hal itu dapat terlihat dari peranannya yaitu untuk mengatur

21

sendi dan memfasilitasi posisi dari kepala, termasuk penglihatan (vision),

pendengaran, penciuman dan keseimbangan tubuh. Adapun gerakan yang

dihasilkan pada regio ini yaitu fleksi-ektensi, rotasi dan lateral fleksi

cervical (Neuman, 2002).

a. Atlanto-occipital Joint (C0-C1)

Atlanto-occipital Joint berperan dalam gerakan fleksi-

ekstensi dan lateral fleksi cervical. Arthrokinematika pada gerakan

fleksi condylus yang conveks akan slide ke arah belakang terhadap

facet articularis yang concaf sebesar 10 derajat. Sedangkan pada

gerakan ekstensi condylus yang conveks akan slide ke arah depan

terhadap facet articularis yang concaf sebesar 17derajat.

Pada gerakan lateral fleksi cervical akan terjadi roll dari sisi-

sisi pada jumlah yang kecil pada condylis occipital yang conveks

terhadap facet articularis(atlas) yang concaf sebesar 5derajat.

b. Atlanto-axial Joint (C1-C2)

Gerakan utama pada atlanto-axial joint adalah gerakan rotasi

cervical ditambah dengan gerakan fleksi dan ekstensi. Pada gerakan

fleksi akan terjadi gerakan pivot kedepan dan sedikit berputar pada

atlas terhadap axis (C2) sebesar 15 derajat sedangkan pada gerakan

ekstensi gerakan pivot kebelakang dan sedikit berputar pada atlas

terhadap axis (C2).

22

Gerakan rotasi pada sendi ini sebesar 45 derajat dimana atlas

yang berbentuk cincin akan berputar disekitar procesus odonthoid

bagian procesus articularis inferior atlas yang sedikit concaf akan

slide dengan arah sirkuler (melingkar) terhadap procesus articularis

superior axis.

c. Vertebra joints (C2-C7)

Pada vertebra joint terjadi gerakan fleksi-ekstensi, rotasi dan

lateral fleksi cervical. Pada gerakan fleksi permukaan procesus

articularis inferior vertebra superior yang berbentuk concaf akan slide

ke arah atas dan depan terhadap procesus articularis superior vertebra

inferior sebesar 40 derajat, sedangkan pada gerakan ekstensi

permukaan procesus articularis inferior vertebra superior yang

berbentuk concaf akan slide ke arah bawah dan belakang terhadap

procesus articularis superior vertebra inferior sebesar 70 derajat.

Pada gerakan rotasi akan terjadi slide pada procesus articularis

inferior vertebra superior ke arah belakang dan bawah pada ipsilateral

arah rotasi dan akan terjadi slide ke arah depan atas pada sisi

contralateral terhadap procesus articularis superior vertebra inferior

sebesar 45 derajat.

Gerakan lateral fleksi cervical, procesus articularis inferior

vertebra superior pada sisi ipsilateral slide ke arah bawah dan sedikit

ke belakang dan pada sisi contralateral akan slide ke arah atas dan

23

sedikit kedepan sebesar 35 derajat. Inlinasi pada bentuk facet joint

akan menghasilkan gerakan coupling yang searah dimana selama

gerakan rotasi akan disertai dengan lateral fleksi yang juga searah.

Mekanisme gerakan lateral fleksi ditunjukan seperti gambar 2.2.1

dibawah ini.

Gambar 2.2.1 Gerakan Lateral Fleksi Leher

(Sumber: Neumann, 2002)

2.3 Lingkup Gerak Sendi Leher

Lingkup gerak sendi atau Range Of Motion (ROM) adalah luasnya

gerakan sendi yang terjadi pada saat sendi bergerak dari satu posisi ke posisi

lain, baik secara pasif maupun aktif. Lingkup gerak sendi dapat juga

diartikan sebagai ruang gerak/batas-batas gerakan dari suatu kontraksi otot

dalam melakukan gerakan, apakah otot tersebut dapat memendek atau

memanjang secara penuh atau tidak (Deuster et al., 2007).

muscle stretch

muscle contraction

24

Lingkup gerak sendi berhubungan dengan fleksibilitas. Fleksibilitas

adalah kemampuan suatu jaringan atau otot untuk memanjang semaksimal

mungkin sehingga tubuh dapat bergerak dengan lingkup gerak sendi yang

penuh, tanpa disertai rasa nyeri. Gerakan leher yang utama adalah fleksi

yaitu membawa dagu kearah dada, ekstensi yaitu memutar kepala

kebelakang untuk melihat langit-langit, dan lateral fleksi yaitu membawa

telinga kearah bahu. Stabilitas tulang belakang cervical disediakan oleh

kombinasi sendi zygapophyseal, banyak ligament dan otot. Ekstensi, fleksi,

gerakan lateral, dan rotasi diinduksi oleh orientasisendi zygapophyseal

(Weerapong et al., 2005).

Pengukuran dari lingkup gerak sendi leher tersebut dapat diukur

dengan menggunakan alat berupa goniometer. Dengan cara meletakan axis

(fulcrum) di posisi ataupun di suatu titik pengukuran kemudian lengan

proksimal (stationary arm) posisi diam dan lengan distal (moving arm)

bergerak mengikuti gerakan sendi. Sudut yang ditunjukan pada goniometer

diinterpretasikan sebagai lingkup gerak sendi dari sendi tersebut

(Reese,2002). Berikut adalah gambar dari alat ukur goniometer.

25

Gambar 2.3 Goniometer

(Sumber: Reese,2002)

2.4 Patofisiologi Penurunan Lingkup Gerak Sendi Leher

Masalah penurunan lingkup gerak sendi pada tubuh manusia salah satunya

sering terjadi pada otot upper trapezius karena otot ini sering ditemukan

mengalami gangguan (Lestari, 2010). Otot upper trapezius adalah tot tipe I atau

tonik dan juga merupakan otot postural yang berfungsi melakukan gerakan

elevasi bahu, ekstensi dan lateral fleksi servikal. Kelainan yang terjadi pada tipe

otot ini cenderung tegang dan memendek. Itu sebabnya jika otot upper trapezius

berkontraksi dalam jangka waktu lama, maka jaringan ototnya menjadi tegang,

timbul nyeri dan dalam waktu lama mengakibatkan penurunan lingkup gerak

sendi. Kerja otot upper trapezius akan bertambah berat dengan adanya postur

yang buruk, mikro dan makro trauma (Makmuriyah & Sugijanto, 2013).

Kondisi kontraksi pada otot yang berlangsung dalam waktu lama

mengakibatkan keadaaan yang dikenal sebagai kelelahan otot. Hal ini disebabkan

karena menurunnya jumlah ATP, sehingga tidak adanya ketersediaan energi

untuk menggeser aktin dan miosin. Kontraksi yang terjadi semakin lama akan

26

semakin lemah, walaupun saraf masih bekerja dengan baik dan potensial aksi

masih menyebar pada serabu-serabut otot (Guyton & Hall, 2008).

Pada penelitian ini akan digunakan gerakan lateral fleksi servikal sebagai

interpretasi lingkup gerak sendi dimana otot upper trapezius berperan sebagai

main muscle atau otot yang paling dominan bekerja pada gerakan tersebut.

Lingkup gerak sendi lateral fleksi servikal yang normal adalah lebih dari 45º. Otot

upper trapezius terdiri dari dua bagian yaitu kanan dan kiri dimana pelatihan otot

dapat dioptimalkan dengan memberikan intervensi dengan gerakan yang spesifik

seperti lateral fleksi (Neuman, 2002).

2.5 Infrared

2.5.1 Definisi

Infrared adalah pancaran gelombang elektromagnetik dengan

panjang gelombang 7700-4 Juta Ao. Sinar infrared dapat menghasilkan

panas lokal yang bersifat superfisial dan direkomendasikan untuk kondisi

yang subakut untuk mengurangi nyeri dan inflamasi. Pemanasan supefisial

akan berpengaruh pada suhu jaringan di bawahnya yang mengalami

cedera, dan penignkatan suhu pada jaringan superfisial akan menghasilkan

efek analgesia. Efek panas yang ditimbulkan menyebabkan terjadinya

vasodilatasi pada pembuluh darah, dan meningkatkan sirkulasi pada

jaringan (Prentice, 2002).

27

Berdasarkan panjang gelombangnya, infrared dibagi menjadi dua

yaitu: (1) Gelombang panjang (non penetrating) yang merupakan infrared

dengan panjang gelombang 12.000 Ao – 150.000 Ao. Daya penetrasi dari

gelombang ini hanya sampai pada lapisan superfisial epidermis yaitu

sekitar 0,5 mm. (2) Gelombang pendek (penetrating) yang memiliki

panjang gelombangnya mencapai 7.700 Ao – 150.000 Ao. Gelombang ini

mempunyai daya penetrasi yang lebih dalam dari pada gelombang

panjang. Daya penetrasi dari gelombang ini mencapai jaringan subkutan

dan dapat berpengaruh langsung terhadap pembuluh darah kapiler,

pembuluh limfe, ujung-ujung saraf, dan jaringan lain yang ada di bawah

kulit.Selain memiliki efek fisiologis dan terapeutik, infrared menimbulkan

bahaya seperti : (1) Adanya luka bakar yang terjadi pada daerah

superfisial epidermis, (2) Electric shock yang terjadi akibat dari adanya

kabel yang terbuka dan disentuh oleh pasien, (3) Meningkatkan keadaan

gangrene, (4) Sakit kepala (Headache) yang terjadi pada saat pemberian

terapi, (5) Kaitnessyang terjadi pada saat diberikan terapi dimana pasien

menjadi pingsan atau tidak sadarkan diri secara tiba-tiba, (6) Kerusakan

pada mata, sinar infrared dapat menyebabkan terjadinya katarak jika

mengenai mata (Prasetyo, 2013).

Dalam infrared terdapat indikasi dan kontraindikasi pemberian

intervensi tersebut. Indikasi dari modalitas infrared adalah kondisi

28

peradangan setelah fase akut, seperti kuntusio, muscle strain, muscle

sprain, trauma sinovitis, arthritis seperti rhematoid arthritis, osteoarthritis,

myalgia, neuralgia, neuritis, gangguan sirkulasi darah, penyakit kulit,

persiapan exercise dan massage. Sedangkan, kontraindikasi dari modalitas

infrared adalah daerah dengan insufiensi pada darah, gangguan

sensibilitas kulit dan adanya kecenderungan terjadinya pendarahan

(Prentice, 2002).

2.5.2 Teknik Aplikasi Infrared

Posisikan pasien 20 inchi dari lampu infrared. Lepaskan bahan-

bahan logam atau pakaian pada bagian yang akan di terapi. Posisikan

lampu infrared tegak lurus dengan daerah yang diterapi. Durasi waktu saat

pelakasanaan terapi terapi adalah 10-15 menit. Selama proses terapi, perlu

dilakukan kontrol untuk memeriksa rasa hangat pada kulit (Prentice,

2002).

2.5.3 Efek Pemberian Infrared

Pemberian modalitas infrared, dapat memberikan efek fisiologis

dan efek terapeutik pada tubuh, yaitu (Prentice, 2002):

1. Efek fisiologis

a. Meningkatkan proses metabolisme

Suatu reaksi kimia akan dapat dipercepat dengan adanya panas

atau kenaikan temperatur pada jaringan. Proses metabolisme yang

terjadi pada lapisan superficial kulit akan meningkat sehingga

29

sirkulasi oksigen dan nutrisi ke jaringan menjadi lebih baik, dan

pengeluaran zat sisa metabolisme juga lancar.

b. Vasodilatasi pembuluh darah

Efek panas yang dihasilkan oleh sinar infrared akan menyebabkan

dilatasi pembuluh darah kapiler dan artiole. Kulit akan

mengadakan reaksi dan berwarna kemerah-merahan yang disebut

erythema. Untuk ini mekanisme vasomotor mengadakan reaksi

dengan jalan pelebaran pembuluh darah sehingga jumlah panas

daratakan keseluruh jaringan lewat sirkulasi darah. Dengan

sirkulasi darah yang miningkat, maka pemberian nutrisi dan

oksigen kepada jaringan akan ditingkatkan, sehingga pemeliharaan

jaringan menjadi lebih baik dan perlawanan terhadap radang juga

baik.

c. Pigmentasi

Penyinaran yang berulang-ulang dengan sinar infrared dapat

menimbulkan pigmentasi pada tempat yang disinari. Hal tersebut

disebabkan oleh karena adanya perubahan sel-sel darah merah di

tempat tersebut.

d. Pengaruh terhadap jaringan otot

Kenaikan temperatur pada jaringan mempengaruhi terjadinya

relaksasi otot, pemanasan juga akan membantu proses

pembuangan zat-zat metabolisme.

30

e. Distruksi Jaringan

Penyinaran yang berlebihan dapat menimbulkan kenaikan

temperatur jaringan yang cukup tinggi dan berlangsung dalam

waktu yang lama sehingga menyebabkan kerusakan pada jaringan.

f. Meningkatkan temperatur tubuh

Peningkatan temperatur jaringan superfisial akan diteruskan ke

seluruh tubuh, maka disamping terjadi pemerataan panas juga akan

terjadi penurunan tekanan darah sistemik. Hal ini karena adanya

panas yang akan merangsang pusat pengatur panas tubuh untuk

meratakan panas yang terjadi dengan jalan dilatasi yang bersifat

general.

g. Mengaktifkan kerja kelenjar keringat

Pengaruh rangsangan panas yang dibawa ujung-ujung saraf

sensoris dapat mengaktifkan kerja kelenjar keringat.

2. Efek terapeutik

a. Mengurangi rasa nyeri

Panas ringan memberikan efek sedatif pada superficial sensoris

nerve ending, Sedangkan panas kuat dapat menghasilkan counter

iritation yang akan menimbulkan pengurangan nyeri. Deangan

sirkulasi darah yang lancar maka zat ”P” yang merupakan salah

satu penyebab nyeri akan ikut terbuang.

31

b. Relaksasi otot

Relaksasi otot akan dicapai jika rasa nyeri berkurang dan jaringan

otot dalam keadaan hangat.

c. Meningkatkan sirkulasi darah

Kenaikan temperatur yang terjadi, akan menimbulkan vasodilatasi

pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya

peningkatan sirkulasi darah pada jaringan yang diterapi.

d. Membuang zat-zat sisa hasil metabolisme

Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan glandula

gudoifera diseluruh badan, sehingga dengan demikian akan

meningkatkan pembuangan sisa-sisa hasil metabolisme melalui

keringat

Menurut hasil penelitian dari Usuba, et al., (2006) bahwa efek

panas yang dihasilkan oleh infrared dapat meningkatkan lingkup gerak

sendi pada area yang mengalami keterbatasann lingkup gerak sendi.

Penelitian lainnya yang dilakukan Anjas Wichaksono (2014) efek

pemberian intervensi infrared pada bagian leher dapat memberikan

vasodilatasi dan relaksasi pada otot untuk dapat mengurangi spasme dan

meningkatkan lingkup gerak sendi leher. Hal ini diperkuat oleh Prentice

(2002) dalam bukunya yang berjudul Therapeutic Modalities for Physical

Therapists, bahwa infrared dapat memberikan efek relaksasi pada otot

32

yang mengalami spasme sehingga akan berdampak pada peningkatan

fleksibilitas pada otot.

2.6 Slow Reversal

2.6.1 Definisi

Slow reversal adalah salah satu metode dalam PNF untuk

menambah fleksibilitas pada otot yang melibatkan kontraksi otot agonis

dan antagonis untuk menambah lingkup gerak sendi. Dalam

pelaksanaannya terapis memberikan tahanan sedangkan pasien

mengkontraksikan otot agonis sebagai otot yang lebih kuat hingga ROM

yang diinginkan dan setelah itu tanpa adanya pengurangan kontraksi atau

relaksasi otot dilanjutkan dengan memberi tahanan kontraksi pada otot

yang antagonis. Adanya kontraksi yang terus menerus tanpa diselingi oleh

jeda akan memberikan relaksasi maksimal yang dapat membantu dalam

penguluran dan peningkatan lingkup gerak sendi. Kontraksi maksimal

pada otot yang dipanjangkan akan memprovokasi perubahan struktur dari

aktin-miosin. Gerakan yang pelan akan memastikan setiap otot yang

diinginkan berkontraksi secara maksimal (Alder et al., 2007).

Dalam slow reversal terdapat indikasi dan kontraindikasi

pemberian intervensi tersebut. Indikasi dilakukannya slow reversal adalah

keterbatasan lingkup gerak sendi akibat adanya perlengketan,

33

pembentukan jaringan parut, yang berperan untuk menimbulkan

ketegangan otot, jaringan ikat dan kulit, gerakan yang terbatas akibat

deformitas struktural, kelemahan otot dan pemendekan dari jaringan

antagonis.

Sedangkan, kontraindikasi dilakukannya slow reversal adalah

fraktur yang masih baru, tulang menonjol yang membatasi gerakan sendi,

infeksi akut, perdarahan, terdapat penyatuan tulang yang belum komplit

dan nyeri akut yang tajam pada gerakan sendi atau elongasi otot (Kisner &

Colby, 2007).

2.6.2 Teknik Aplikasi Slow Reversal

Teknik aplikasi slow reversal adalah sebagai berikut (Alder et al., 2007) :

a. Terapis memberikan tahanan pada subjek untuk bergerak dalam satu

arah (biasanya arah yang lebih kuat) sebanyak 5 kali repetisi.

b. Pada akhir ROM yang diinginkan tercapai, ubah manual kontak

sementara memberikan persiapan perintah verbal.

c. Perintah verbal mengawali gerakan untuk bergerak ke arah sebaliknya

tanpa relaksasi dan berikan penahanan pada arah gerakan baru mulai

dari distal.

d. Aplikasi teknik inidilakukan dengan frekuensi 3x dalam satu minggu

sebanyak 6x perlakuan.

34

2.6.3 Mekanisme Peningkatan Lingkup Gerak Sendi Leher Melalui Slow

Reversal

Konsep dari teknik slow reversal pada dasarnya terjadi pada

komponen elastik (aktin dan miosin) yang menyebabkan ketegangan

dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer akan memanjang dan bila

hal ini dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi.

Saat pengaplikasian teknik intervensi dynamic reversals akan

terjadi mekanisme yang disebut reciprocal innervations/inhibition.

Reciprocal inhibition mengacu pada inhibisi otot antagonist ketika

kontraksi isotonik yang terjadi dalam otot agonis. Hal ini terjadi karena

reseptor strecth dalam serabut otot agonis muscle spindle. Muscle spindle

bekerja untuk mempertahankan panjang otot secara tetap dengan

memberikan umpan balik pada perubahan kontraksi, dalam hal ini arah

muscle spindle memainkan bagian dalam proprioceptif. Dalam respon

untuk peregangan, muscle spindle menghentikan impuls saraf yang

meningkatkan kontraksi, hingga mencegah over stretching (Alder et al.,

2007).

Pada slow reversal juga terjadi penguluran komponen elastik pada

otot. sehingga akan mempengaruhi komponen elastik sarkomer pada otot

dimana melepaskan perlengketan ataupun taut band aktin dan moisin

sehingga akan mempengaruhi dari pemanjangan otot (Alder et al., 2007).

35

Menurut penelitian yang dilakukan Sherrington tahun 2004 teknik slow

reversal dapat meningkatkan lingkup gerak sendi pada regio leher

sebanyak 10%-20% dilakukan selama enam kali perlakuan dalam 2

minggu. Hal ini diperkuat oleh penelitian Candra Prayoga (2014) bahwa

slow reversal pada otot upper trapezius dapat meningkatkan lingkup gerak

sendi pada leher.

2.7 Contract Relax Stretching

2.7.1 Definisi

Contract relax stretching merupakan suatu teknik yang

menggunakan kontraksi isometrik pada otot yang mengalami pemendekan

dilanjutkan dengan relaksasi kemudian kembali diulur. Contract relax

stretching merupakan suatu teknik yang menggabungkan antara tipe

stretching isometrik dengan tipe stretching pasif. Teknik tersebut

bertujuan untuk memanjangkan / mengulur struktur jaringan lunak seperti

ligament, otot, fascia dan tendon yang mengalami pemendekan secara

patologis. Penguluran tersebut dapat meningkatkat lingkup gerak sendi

(LGS) dan mengurangi nyeri yang disebabkan oleh spasme, pemendekan

otot atau akibat fibrosis (Azizah & Hardjono, 2006).

Teknik contract relax stretching dimulai dengan terapis

memberikan kontraksi isometrik pada otot yang mengalami pemendekan

36

kemudian dilanjutkan dengan relaksasi. Setelah relaksasi terapis

memberikan penguluran pada otot tersebut. Contract relax stretching

dikatakan sebagai kombinasi dari tipe stretching isometrik dan stretching

pasif karena pada pelaksanaannya teknik ini dilakukan dengan dengan

mengkontraksikan otot yang memendek kemudian relaksasi, setelah itu

dilakukan penguluran (Azizah & Hardjono, 2006).

Manfaat dari teknik contract relax stretching adalah untuk

mengurangi ketegangan dan rasa sakit pada otot, membuat tubuh menjadi

lebih relaks, fleksibilitas meningkat, mencegah terjadinya strain otot,

mempersiapkan diri untuk melakukan aktifitas agar terasa lebih mudah

seperti berlari, berenang, dan memberikan sinyal kepada otot agar otot

mengetahui bahwa mereka akan dipakai untuk melakukan aktifitas

(Nelson 2007).

Dalam contract relax stretching terdapat indikasi dan

kontraindikasi pemberian intervensi tersebut. Indikasi dilakukannya

contract relax stretching yakni Range Of Motion (ROM) terbatas akibat

dari kontraktur adhesive dan terbentuknya scar tissue (jaringan parut)

yang memicu pemendekan pada otot dan kulit, adanya keterbatasan gerak

akibat dari deformitas yang bersifat structural, adanya kontraktur otot dan

kelemahan otot, digunakan untuk mencegah cedera musculoskeletal

(Kisner & Colby, 2007).

37

Kontraindikasi dilakukannya contract relax stretching adalah

fraktur yang baru, dislokasi atau subluksasi, terdapat gejala peradagangan

atau infeksi akut pada daerah sekitar sendi, trauma akut pada otot dan

ruptur tendon dan otot (Kisner & Colby, 2007).

2.7.2 Teknik Aplikasi Contract Relax Stretching

Contract relax stretching merupakan suatu teknik stretching yang

bertujuan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi, menghilangkan

spasme otot serta meningkatkan panjang jaringan lunak. Adapun

pelaksanannya adalah sebagai berikut (Kisner & Colby, 2007):

a. Posisikan pasien pada posisi yang nyaman dan jelaskan prosedur,

tujuan dan efek contract relax stretching yang dirasakan.

b. Fisioterapis berada dibelakang pasien dengan tangan kanan

memfiksasi bagian lateral leher pasien sedangkan tangan kiri diatas

bahu pasien.

c. Pasien melakukan gerakan melawan arah dorongan tangan kiri

fisioterapis dan ditahan selama 7 detik diikuti inspirasi

maksimal,kemudian relaksasi diikuti ekspirasi dan fisioterapis

melakukan stretching selama 9 detik.

2.7.3 Mekanisme Peningkatan Lingkup Gerak Sendi Leher Melalui

Contract Relax Stretching

Contract relax stretching dilakukan untuk mendapatkan efek

relaksasi dan pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Motor unit

38

yang ada pada seluruh serabut otot akan teraktifasi akibat dari adanya

kontraksi isometrik yang diikuti dengan inspirasi maksimal. Hal tersebut

juga akan menstimulus golgi tendon organ yang dapat membantu

terjadinya relaksasi pada otot setelah kontraksi (reverse innervation)

sehingga akan terjadi pelepasan adhesi pada otot tersebut (Azizah &

Hardjono, 2006).

Kontraksi otot yang kuat akan mempermudah mekanisme pumping

action sehingga proses metabolisme dan sirkulasi lokal dapat berlangsung

dengan baik sebagai akibat dari vasodilatasi dan relaksasi setelah

kontraksi maksimal dari otot tersebut. Dengan demikian maka

pengangkutan sisa-sisa metabolisme ( substance) dan asetabolic yang

diproduksi melalui proses inflamasi dapat berjalan dengan lancar sehingga

rasa nyeri dapat berkurang (Azizah & Hardjono, 2006).

Relaksasi yang dilakukan setelah kontraksi isometrik maksimal

selama 9 detik dimana dalam proses ini diperoleh relaksasi maksimal yang

difasilitasi Reverse Innervation. Proses relaksasi yang diikuti ekspirasi

maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot. Apabila

dilakukan peregangan secara bersamaan pada saat relaksasi dan ekspiresi

maksimal maka diperoleh pencapaian panjang otot yang

tightness/kontraktur lebih maksimal karena contract relax melalui

mekanisme stretch relax, autogenic inhibition sehingga dapat dikatakan

bahwa stretching pada maksimal range of motion (ROM) akan

39

merangsang golgi tendon organ sehingga timbul relaksasi pada otot

antagonis (Risal, 2010).

Dengan adanya komponen stretching maka panjang otot dapat

dikembalikan dengan mengaktifasi golgi tendon organ sehingga relaksasi

dapat dicapai karena nyeri akibat ketegangan otot dapat diturunkan dan

mata rantai viscous circle dapat diputuskan. Jika contract relax stretching

diaplikasikan pada kondisi tersebut maka dapat mengurangi iritasi pada

saraf Aδ dan C yang menimbulkan nyeri akibat dari abnormal cross link.

Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan intervensi contract relax

stretchingserabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh.

Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa

serabut atau abnormalcross link pada ketegangan. (Azizah & Hardjono,

2006). Penelitian yang telah dilakukan 3 kali seminggu selama 2 minggu

dengan sample 20 orang mengahasilkan peningkatan lingkup gerak sendi

leher 63,3% ( Zuriatum Faizah, 2011 ). Hal ini diperkuat oleh penelitian

Somprasong, et al., (2011) bahwa pemberian contract relax stretching

pada upper trapezius dapat meningkatkan lingkup gerak sendi pada leher.