Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Seto (2013) tentang” Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Dalam
Pelayanan Publik Bidang Pendidikan dan Ketenagakerjaan Di Kota Surakarta”,
menyebutkan bahwa aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di perpustakaan
sangatlah terbatas. Aksesbilitas yang merupakan aspek penting penyandang
disabilitas, akan tetapi aksesibilitas bagi penyandang disabilitas bukan hanya soal
sarana fisik, penyandang disabilitas memerlukan penerimaan dari masyarakat
sekitar agar penyandang disabilitas tersebut dapat membaur dan menjadi satu
dengan masyarakat lainnya. Dalam penelitian tersebut juga mengungkapkan
bahwa masih ada kesenjangan yang dilakukan pemerintah dalam melakukan
pelayanan perpustakaan untuk kaum disabilitas. Padahal kaum disabilitas
mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan publik. Dalam asas
pelayanan publik juga sangat jelas dipaparkan tentang adanya keadilan dan
memberikan pelayanan. Oleh karena itu perlu dilakukan adanya upaya
pemaksimalan aksesibilitas pelayanan publik bagi penyandang disabilitas. Upaya
tesebut antara lain menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap para
penyandang cacat baik yang ada dalam peraturan atau persyaratan maupun dalam
perilaku birokrat, mengubah persepsi aparat pelayanan perpustakaan bahwa
pelayanan perpustakaan tidak hanya untuk orang-orang normal, tetapi juga
mengakomodir kepentingan penyandang disabilitas dalam setiap pembangunan
fisik khususnya fasilitas pelayanan publik dan fasilitas umum, alokasi anggaran
khusus bagi penyandang cacat yang pemanfaatan bersifat bottom up.
Menurut Utami Dewi dan Sugi Rahayu (2013) tentang Pelayanan Publik
bagi pemenuhan Hak-Hak Disabilitas di Kota Yogyakarta, Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis kebijakan dan pelayanan publik yang diterapkan kepada
masyarakat berkebutuhan khusus atau disabilitas. Penelitian ini sangat penting dan
menarik mengingat minimnya perhatian pemerintah dalam memenuhi hak kaum
disabilitas, padahal UU no 25 tahun 2009 telah jelas menyebutkan bahwa setiap
warga negara tidak terkecuali kaum disabilitas untuk mendapatkan pelayanan
publik yang adil dan tanpa pandang bulu. Di Yogyakarta sendiri, sudah ada
kebijakan yang mengatur kelompok rentan dan termarjinalkan ini yaitu perda No
4 tahun 2012 tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas. Selama ini, masyarakat berkebutuhan tersebut sangat sulit
mendapatkan pelayanan yang setara dengan masyarakat ”normal” atau bukan
penyandang disabilitas.
Dilihat dari pernyataan yang dibuat oleh penulis, dapat ditarik kesimpulan
pada perbedaan dan persamaan tentang penelitian yang terdahulu dengan
penelitian saat ini yaitu:
2.1.1. Persamaan Penelitian
Persamaan penelitian saat ini yaitu sama-sama yang menjadi fokus
penelitian adalah pelayanan dan fasilitas yang diberikan bagi penyandang
disabilitas.
2.1.2. Perbedaan Penelitian
Berbeda dengan penelitian terdahulu yang sudah disebutkan di atas,
penelitian ini menfokuskan pada akses penyandang disabilitas dalam pelayanan
perpustakaan yang berlokasi di tingkat kota.
2.2. Pengertian Fasilitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2002: 314), pengertian
fasilitas adalah sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi.
Sedangkan menurut Moenir (2001: 119) menyatakan bahwa “Fasilitas
adalah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja dan pelayanan yang berfungsi
sebagai alat utama/pembantu dalam melaksanakan pekerjaan, dan juga sosial
dalam rangka kepentingan orang-orang yang sedang berhubungan dengan
organisasi kerja itu atau segala sesuatu yang digunakan, dipakai, ditempati, dan
dinikmati oleh orang pengguna.”
2.3. Pengertian Pelayanan
Menurut Munir (1995: 26-27), pelayanan adalah usaha untuk memenuhi
suatu kepentingan yang seringkali tidak dapat dilakukan sendiri sehingga
membutuhkan orang lain. Perbuatan yang dilakukan atas permintaan ini apa yang
kemudian disebut pelayanan. Sedangkan pelayanan umum adalah kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material
melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi
kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.
Menurut Gronroos menjelaskan tentang pelayanan adalah suatu aktivitas
atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang
terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau
hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang
dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan (Gronroos
2014: 2)
Menurut Yusup menjelaskan tentang tugas perpustakaan adalah untuk
melayani kebutuhan informasi bagi segenap anggota yang terlibat dalam
organisasi tersebut. Contoh di sini adalah seluruh anggota perguruan tinggi dan
sekolah mereka membutuhkan informasi tertentu. Karena tugas intinya seperti itu
maka perpustakaan dianggap sebagai lembaga pelayanan (Yusup, 2009: 329).
2.4. Fasilitas dan Layanan Informasi bagi Disabilitas
Menurut Safrudin Aziz, Layanan informasi pada perpustakaan bagi
pemustaka disabilitas akan berjalan lancar manakala didukung oleh ketersediaan
fasilitas yang memadai ( Safrudin Aziz, 2014: 75).
Menurut IFLA (http://archive.ifla.org.), secara umum perpustakaan harus
memerhatikan akses fisik. Pemenuhan akses tersebut berdampak positif bagi
pemustaka disabilitas. Mereka sangat terbantu adanya akses fisik tersebut.
Kebutuhan layanan dapat terpenuhi sinergitas antara pengelola perpustakaan
dengan pemustaka sebagai pengguna berjalan baik. Adapun akses fisik yang perlu
disediakan pengelola perpustakaan meliputi:
Pertama, lingkungan dan seluruh area perpustakaan (termasuk tempat
parkir) diupayakan dapat dengan mudah dilalui atau dilewati masyarakat yang
hendak berkunjung ke perpustakaan. Seperti pengunjung yang menggunakan kursi
roda, alat bantu jalan, atau alat bantu mobilitas lainnya. Pemustaka disabilitas
tersebut perlu dibantu dalam menjangkau ruang-ruang perpustakaan secara
mandiri karena akses jalan yang mendukung. Demikian juga orang yang
mengalami gangguan penglihatan serta orang yang berjalan dengan tongkat atau
anjing pemandu bisa bergerak di sekitar perpustakaan. Bagi pemustaka tuna rungu
diupayakan dapat berkomunikasi dengan petugas perpustakaan. Untuk
menghindari salah pengertian, jangan sampai terjadi petugas perpustakaan tidak
memahami maksud pengunjung perpustakaan. Akses fisik ini perlu juga
memperhatikan pemustaka dengan intelektual yang terbatas (penurunan nilai),
supaya mereka mudah mendapatkan dan menemukan buku-buku dan bahan lain
sesuai yang diperlukan.
Kedua, pintu masuk yakni revolving pintu dibuat atau diupayakan
memudahkan pemustaka yang mengunakan kursi roda melewati pintu tersebut.
Sebaiknya pintu yang disediakan bisa terbuka secara otomatis. Penempatan
tombol lift disesuaikan pada ketinggian tertentu seukuran orang yang mengunakan
kursi roda. Ketika orang yang menggunakan kursi roda melalui pintu tersebut
tentu membutuhkan waktu. Untuk itu pintu otomatis hendaknya diprogram agar
terbuka cukup lama. Pada bagian pos pemeriksaan sebaiknya dibuat cukup lebar
sehingga bisa dilalui oleh kursi roda secara nyaman. Penggunaan Glassdoors
hendaknya diberi tanda pada bagian tengah sehingga pemustaka yang memiliki
gangguan penglihatan tidak berjalan menabrak pintu tersebut.
Ketiga, ruang perpustakaan Pengelola perpustakaan dalam mengatur ruang
perpustakaan hendaknya memperhatikan pemustaka disabilitas. Artinya, ruang
perpustakaan hendaknya diatur sedemikian rupa serta diberi tanda-tanda yang
jelas sehingga pemustaka disabilitas yang menggunakan kursi roda bisa
mengakses informasi secara leluasa. Ketika harus mengunakan kursi roda untuk
mencari buku-buku menelusuri lorong antara rak-rak buku memungkinkan kursi
roda melewatinya dengan nyaman.
Keempat, kamar kecil Bagian yang menunjang kenyamanan perpustakaan
yang tidak boleh kita sepelekan adalah kamar kecil atau toilet. Bagi pemustaka
yang berkunjung ke perpustakaan mungkin perlu waktu lama dalam mencari
informasi yang dibutuhkan. Tentu mereka perlu ke toilet. Setiap perpustakaan
usahakan memiliki setidaknya satu toilet disesuaikan untuk pemustaka disabilitas.
Khususnya yang menggunakan kursi roda berarti toilet yang dibuat ukurannya
cukup besar sehingga kursi roda bisa masuk dan bergerak dengan nyaman.
Kelima, meja sirkulasi. Penempatan meja sirkulasi sebaiknya dekat dengan
pintu masuk. Penempatan yang tepat meja sirkulasi hendaknya disesuaikan
dengan pemustaka disabilitas sehingga pustakawan dapat berkomunikasi dengan
pemustaka yang sedang duduk di kursi roda. Apabila perpustakaan memiliki
stasiun swalayan sirkulasi usahakan petugas yang melayani pengunjung
khususnya penyandang disabilitas dalam memberikan penjelasan secara sederhana
dan memungkinkan pemustaka disabilitas untuk tetap duduk di kursi roda.
Keenam, children department Pengelola perpustakaan sebaiknya
menyiapkan ruang khusus bagi pemustaka anak-anak yang memiliki berbagai
jenis gangguan, mereka seharusnya ditempatkan pada ruang layanan informasi
secara khusus. Di tempat ini mereka bisa memilih buku, mendengarkan cerita,
atau mengambil manfaat apa pun dari layanan dan program-program yang
disediakan oleh pustakawan. Rak buku juga harus dapat diakses oleh tiap anak
disabilitas. Pustakawan anak-anak harus memberikan pelayanan informasi kepada
semua anak, baik normal maupun disabilitas. Hak-hak anak penyandang
disabilitas terpenuhi dengan adanya ruang khusus ini.
Ketujuh, ruang baca dan dengar bagi pemustaka disabilitas. Pemustaka
dengan disabilitas membaca memerlukan perhatian khusus ketika mereka
mendatangi perpustakaan. Oleh sebab itu, pustakawan seharusnya memahami
bagaimana melayani mereka secara profesional. Misalnya, melalui sentuhan
hangat bagi pemustaka tunanetra, cahaya dan lampu baca yang nyaman, dan
sebagainya. Selanjutnya, perpustakaan harus memilih alat bantu pendukung bagi
kegiatan belajar mereka di perpustakaan, seperti lensa pembesar, tape recorder,
perangkat pembaca layar, keyboard braille, dan sebagainya.
Kedelapan, penyediaan layanan komputer dan penggunaan meja komputer
sebaiknya memperhatikan pemustaka yang menggunakan kursi roda. Komputer
pada perpustakaan hendaknya dapat digunakan oleh setiap pemustaka disabilitas.
Meja komputer sebaiknya disesuaikan dengan kondisi pemustaka yang
menggunakan kursi roda. Apabila perpustakaan membutuhkan alat bantu atau
peralatan lain yang diperuntukkan bagi pemustaka disabilitas, sebaiknya meminta
rekomendasi dari organisasi cacat nasional atau lokal sehingga terbantu dalam
menyediakan alat sesuai fungsi yang dipergunakan bagi penyandang disabilitas,
Pengelolaan perpustakaan yang baik bagi tidak hanya menekankan aspek fisik
saja. Apabila aspek fisik sudah terpenuhi bagi pemustaka disabilitas. Maka yang
perlu diperhatikan adalah pemberian layanan informasi dan komunikasi yang
efektif antara pustakawan dengan pemustaka. Inti dari layanan ini adalah mereka
saling memahami satu dengan yang lain. Petugas perpustakaan dapat membantu
pemustaka secara maksimal dan pemustaka yang hendak menggunakan layanan
perpustakaan terbantu dengan cepat. Hal ini akan memberikan kesan baik bagi
pemustaka disabilitas karena merasa diterima dan dihargai ketika mengunjungi
perpustakaan. Kesan positif yang muncul bagi pemustaka disabilitas karena
merasa dibutuhkan dan nyaman menggunakan jasa perpustakaan. Di kemudian
hari ada keinginan datang ke perpustakaan lagi bahkan dapat memberikan ajakan
kepada penyandang disabilitas lainnya untuk ke perpustakaan. Komunikasi yang
baik ini menjadikan sarana promosi perpustakaan menarik sebanyak mungkin
pemustaka disabilitas untuk berkunjung ke perpustakaan.
Keberhasilan proses pembelajaran di lingkungan sekolah dan perguruan
tinggi tidak luput dari tersedianya perpustakaan. Perpustakaan yang dapat
melayani kebutuhan pengguna pelajar atau mahasiswa tentu sangat dibutuhkan.
Peran perpustakaan dalam menunjang keberhasilan studi tak terabaikan lagi.
Penyediaan layanan informasi perpustakaan dalam mendukung proses
pembelajaran tentunya tidak lepas dari pengembangan lingkungan belajar dalam
hal ini perpustakaan secara terpadu. Pengembangan lingkungan secara terpadu
dimaksudkan dengan lingkungan yang mempunyai prinsip-prinsip umum dan
prinsip-prinsip khusus (Bandi Delphie, 2006: 46).
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan proses pelayanan
informasi kepada pemustaka menggunakan prinsip-prinsip umum yang harus
diperhatikan misalnya: tidak terlepas dari prinsip motivasi, konteks, keterarahan,
hubungan sosial, individualisasi, menemukan, dan prinsip pemecahan masalah.
Hal-hal tersebut menjadikan pustakawan dengan pemustaka disabilitas dapat
menjalin komunikasi dengan harmonis.
Sementara itu prinsip-prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik
khusus dari setiap pemustaka disabilitas. Pustakawan harus memperhatikan
pemustaka yang memiliki hambatan tertentu. Melalui pendekatan khusus sesuai
keterbatasan pemustaka. Misalnya, untuk anak dengan hambatan visual
diperlukan prinsip kekonkretan, pengalaman yang menyatu, dan belajar sambil
melakukan aktivitas meraba buku huruf Braille & mendengarkan audio.
Hal yang berbeda perlu dilakukan pustakawan dalam melayani pengunjung
dengan kesulitan berbicara dan mendengar. Perlu diperhatikan untuk anak yang
mengalami kesulitan mendengar dan berbicara diperlukan prinsip-prinsip
keterarahwajahan. Selain itu khusus anak yang mengalami kesulitan dalam
mengatasi masalah emosinya diperlukan prinsip-prinsip memenuhi kebutuhan dan
mendorong keaktifan, kebebasan yang mengarah, kekeluargaan, setia kawan dan
idola, perlindungan, minat dan kemampuan, disiplin dan kasih sayang. Bagi anak
yang mengalami kesulitan berpikir disebabkan adanya hambatan perkembangan
fungsionalnya, prinsip pelayanan yang diberikan, antara lain melalui model
pengulangan, pemberian contoh dan arahan, ketekunan, kasih sayang, pemecahan
materi menjadi beberapa bagian kecil atau task analysis (Bandi Delphie, 2006:
47).
Upaya yang dilakukan pustakawan dalam memberikan layanan informasi
diharapkan berdampak baik sesuai apa yang dibutuhkan pemustaka. Selanjutnya
dalam upaya mendapatkan layanan informasi secara optimal dan layanan belajar
yang efektif di perpustakaan, pemustaka disabilitas diharapkan atau dituntut:
Pertama, melalui seperangkat informasi dan pengetahuan yang telah
diperolehnya, mereka diharapkan mampu melakukan kegiatan belajar dan
menggali sumber-sumber informasi secara mandiri melalui kemampuan dirinya
dalam menggunakan persepsi, pendengaran, penglihatan, perabaan, kinestetik,
fine motor, dan gross motor.
Kedua, melalui informasi yang diperoleh setidaknya mereka memiliki
seperangkat pengetahuan yang akan menciptakan kematangan diri dan
kematangan sosial. Misalnya, pemustaka disabilitas dapat berinisiatif, dapat
memanfaatkan waktu luangnya, tekun serta menaruh perhatian terhadap
lingkungannya.
Ketiga, seperangkat informasi dan pengetahuan yang telah diperolehnya
diharapkan mampu menjadikan individu yang bertanggung jawab secara pribadi
dan sosial. Misalnya, dapat berhubungan dengan orang lain, dapat berperan serta,
dapat melakukan suatu peran tertentu di lingkungan kehidupannya.
Keempat, memiliki kematangan untuk melakukan penyesuaian diri dan
penyesuaian terhadap lingkungan sosial, seperti mampu berkomunikasi dengan
orang lain melalui kematangan berbahasa. Berikut akan dikaji tentang fasilitas dan
layanan perpustakaan yang berkaitan dengan karakteristik ketunaannya.
2.4.1. Fasilitas dan Layanan Informasi bagi Tunanetra
Salah satu keterbatasan fisik yang dialami seseotang adalah tunanetra.
Pemustaka disabilitas tunanetra tentu memiliki keterbatasan dalam membaca
informasi. Secara teori pengertian tunanetra adalah sebuah jenis kelainan pada
indra (sensori) seseorang, yakni pada indra penglihatan. Tunanetra secara umum
ditunjukkan pada seseorang yang memiliki kelainan penglihatan dari tingkatan
ringan sampai berat atau buta total.
Pemustaka tunanetra berarti mengalami gangguan penglihatan dan memiliki
keterbatasan pada individu tersebut untuk melihat suatu objek yang terdapat di
sekitarnya. Penyandang tunanetra tidak dapat mengontrol lingkungan dalam
hubungannya dengan alam sekitar. Maka dari itu, ketidakmampuan melihat secara
normal mengakibatkan seseorang tunanetra harus memperoleh pendidikan dan
mengakses informasi secara khusus, baik pada aspek layanan maupun sarana
penunjang lainnya. Dengan demikian, diharapkan pemustaka tunanetra mampu
memperoleh informasi secara luas dan optimal yang berdampak pada peningkatan
prestasi belajar layaknya pemustaka normal pada umumnya.
Salah satu panca indra manusia yang penting adalah mata. Mata berfungsi
untuk menuntun orang untuk bergerak dan memperoleh informasi. Dengan
membaca informasi yang diterima akan lebih mudah dicerna. Terlebih bagi
pemustaka baik normal ataupun pemustaka tunanetra informasi di perpustakaan
diperoleh dengan membaca guna mendapat informasi yang diinginkan.
Mata sebagai indra penglihatan merupakan pemadu segala rangsang yang
diterima individu (Heri Purwanto, 1998: 50). Fungsi indra pemadu ini secara
mekanis kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh indra yang lain. Namun, tidak
berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran
dan perabaan secara intensif. Kondisi demikian tentunya akan membawa
konsekuensi pada layanan dan penyediaan akses informasi di perpustakaan. Maka
dari itu, pengelolaan akses informasi ini sebaiknya ramah bagi pemustaka
tunanetra.
Pendapat umum sering menyatakan keterbatasan penglihatan (tunanetra)
memiliki intelegensi yang kurang dibanding orang dengan penglihatan normal.
Asumsi tersebut kemungkinan karena alasan tidak bisa memperoleh informasi,
tidak bisa membaca dan melihat segala sesuatu di sekitarnya. Hal demikian
dianggap penyandang tunanetra memiliki intelegensi rendah.
Padahal pendapat tersebut tidaklah benar, penyandang tunanetra pada
hakikatnya tidak secara otomatis memiliki inteligensi rendah dan tidak berprestasi
akademik maupun non akademik. Kondisi inteligensi tunanetra tidak berbeda
dengan orang normal pada umumnya. Berbagai sumber juga menyatakan bahwa
tidak ada hubungan antara IQ dan ketunanetraan. Akan tetapi, sangat disayangkan
bahwa salah satu sumber informasi bagi masyarakat yang berfungsi melayani
publik seperti perpustakaan masih terlihat belum memfasilitasi secara lengkap
bagi pemustaka tunanetra untuk mengakses informasi secara khusus. Pengelola
perpustakaan sebaiknya memperhatikan dan mencermati persoalan ini karena
bagaimanapun juga pemustaka tunannetra harus dilayani dengan maksimal
sebagai pelayan publik.
Begitu pula dengan koleksi dan layanan yang disediakan secara khusus oleh
pustakawan masih minim disediakan. Bahkan, menurut penelitian pusat studi dan
layanan disabilitas UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2010 yang melibatkan
mahasiswa disabilitas sebagai partisipan dari 11 perguruan tinggi di Yogyakarta
menyatakan bahwa hambatan yang dialami para mahasiswa disabilitas salah
satunya adalah belum tersedianya bahan ajar dan buku teks yang bisa diakses
mahasiswa disabilitas, seperti buku Braille, buku audio, ataupun buku digital
(Safrudin Aziz, 2014: 80)
Perihal di atas jelas sangat merugikan pemustaka tunanetra karena
pengetahuan dan akses informasi yang mereka dapatkan sangatlah sedikit. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, perlu disediakan fasilitas dan layanan secara khusus
bagi pemustaka tunanetra. Fasilitas penunjang proses penelusuran informasi dan
belajar untuk pemustaka tunanetra secara umum sama dengan pemustaka normal,
hanya memerlukan penyesuaian untuk informasi yang memungkinkan tidak dapat
dilihat, harus disampaikan dengan media perabaan atau pendengaran.
Sebagai lembaga pelayanan publik (sekolah, perguruan tinggi) ketika
hendak merancang dan membangun perpustakaan hendaknya memperhatikan
aspek fisik bangunan dan area sekitar perpustakaan yang memudahkan pemustaka
tunanetra. Perlu dihindari atau dibuat sedikit mungkin kanal, parit, saluran air
yang menyulitkan penyandang tunanetra ketika memasuki perpustakaan.
Demikian juga pemasangan keramik variasi tinggi rendah lantai tidak terlalu
banyak. Keramik untuk lantai yang dipasang hindari yang mempunyai sudut
lancip dan keras. Pemilihan mebelair untuk perabot perpustakaan sedapat
mungkin menggunakan sudut yang tumpul.
Menurut Annastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw (1995) fasilitas
penunjang yang diperlukan untuk anak tunanetra adalah braille dan peralatan
orientasi mobilitas, serta media pembelajaran yang memungkinkan anak untuk
memanfaatkan fungsi perabaan dengan optimal. Adanya fasilitas tersebut sangat
membantu anak tunanetra dalam mendapat informasi dan memudahkan proses
belajar.
Fasilitas penunjang berupa huruf braille merupakan fasilitas utama
penyelenggaraan pendidikan bagi pemustaka tunanetra. Munculnya huruf braille
ditemukan pertama kali oleh Louis Braille. Ia menyusun tulisan yang terdiri dari
enam titik dijajarkan vertikal tiga-tiga. Dengan menempatkan titik tersebut dalam
berbagai posisi, terbentuklah seluruh abjad. Dengan menggunakan tulisan
tersebut, akan mempermudah para tunanetra membaca dan menulis. Untuk
membaca, titik timbul positif yang dibaca. Cara membaca seperti pada umumnya,
yaitu dari kiri ke kanan. Sementara untuk menulis, prinsip kerjanya berbeda
dengan membaca. Cara menulis huruf braille tidak seperti umumnya, yaitu mulai
dari kanan ke kiri, biasanya sering disebut dengan menulis secara negatif. Jadi,
menulis braille secara negatif akan menghasilkan tulisan timbul positif dan yang
dibaca adalah tulisan timbulnya.
Ada tiga cara untuk menulis braille, yaitu dengan (1) reglet dan pen atau
stilus, (2) mesik tik braille, dan (3) komputer yang dilengkapi dengan printer
braille. Media yang digunakan berupa kertas tebal yang tahan lama (manila, atau
yang lain). Kertas standar untuk braille adalah kertas braillon. Untuk mendukung
pembelajaran anak tunanetra, buku-buku pelajaran seyogianya dialihtuliskan ke
huruf braille dan disimpan dengan rapi secara berdiri tidak ditumpuk. Berikut
alfabet huruf braille.
Gambar 2.1 Braille
Fasilitas penunjang lainya yaitu peralatan orientasi mobilitas dan media
pembelajaran yang memungkinkan untuk memanfaatkan fungsi perabaan dengan
optimal. Peralatan penunjang seperti tongkat putih merupakan fasilitas pendukung
bagi pemustaka tunanetra untuk orientasi dan mobilitas. Dengan tongkat putih,
anak tunanetra berjalan untuk mengenali lingkungan perpustakaan. Alat tersebut
menuntun pemustaka tunanetra menelusuri ruang-ruang di perpustakaan dalam
mencari informasi sumber bahan belajar. Berbagai media alat bantu mobilitas
selain tongkat putih dapat berupa, kacamata elektronik, tongkat elektronik.
Berikut gambar tongkat putih untuk penyandang tunanetra.
Gambar 2.2 Tongkat Elektronik
Selain itu pemustaka tunanetra dapat mengikuti program latihan orientasi
dan mobilitas di perpustakaan. Pelatihan ini meliputi: jalan dengan pendamping
orang normal, jalan mandiri, dan latihan bantu diri, seperti latihan di kamar mandi
dan WC, latihan orientasi di perpustakaan, dan sebagainya. Program orientasi di
atas membantu dalam proses adaptasi lingkungan dan membiasakan pemustaka
tunannetra berjalan di area perpustakaan. Setelah terbiasa pemustaka tunanetra
mampu berjalan sendiri mencari informasi yang dibutuhkan.
Kedua, laser cane (tongkat laser). Tongkat laser adalah tongkat penuntun
berjalan yang menggunakan sinar infra merah untuk mendeteksi rintangan yang
ada pada jalan yang akan dilalui dengan memberi tanda lisan (suara). Melalui alat
ini pemustaka tunanetra terbantu ketika memasuki perpustakaan bila dijumpai ada
rintangan atau penghalang di depannya. Tongkat laser yang dibawa memberi
tanda melalui suara. Berikut gambar tongkat laser.
Gambar 2.3 Tongkat Laser
Pihak pengelola perpustakaan dalam mendukung lingkungan belajar yang
kondusif bagi pemustaka tunanetra pada prinsipnya sama dengan pengelolaan
perpustakaan dan lingkungan belajar orang-orang non berkebutuhan khusus.
Meskipun begitu, tidak semua sarana dan alat yang tersedia di perpustakaan dapat
digunakan oleh pemustaka tunanetra. Dengan kata lain, terdapat hal-hal khusus
yang tidak menjadi kebutuhan orang pada umumnya, tetapi menjadi kebutuhan
pemustaka tunanetra. Oleh sebab itu, perpustakaan dan lingkungan belajar yang
pro disabilitas seharusnya dikelola dengan strategi khusus untuk pemustaka
tunanetra.
Strategi khusus yang dapat diterapkan pengelola perpustakaan agar di setiap
ruang perpustakaan berbagai sarana dan prasarana seperti tempat duduk, meja,
rak-rak buku, sesebaiknya perlu diberi tanda yang dapat diraba oleh pemustaka
tunanetra. Tanda ini dapat berupa tulisan huruf braille ataupun tanda-tanda
tertentu, misalnya gambar timbul yang tertempel pada berbagai sarana dan
fasilitas perpustakaan. Tanda-tanda tersebut sangat membantu pemustaka
tunanetra dalam mencari informasi dan berjalan di area perpustakaan.
Pengelola perpustakaan dalam merancang dan mengatur ruangan hendaknya
memerhatikan keleluasaan gerak pada pemustaka tunanetra agar tidak
mengganggu mobilitas mereka. Ruangan hendaknya tidak terlalu sempit dan jarak
antara rak satu dengan rak lainnya dapat dilalui oleh dua orang atau lebih.
Pengaturan ini membantu pemustaka tunannetra nyaman bilamana mencari buku-
buku sebagai bahan informasi pembelajaran.
Layanan berbasis teknologi diperlukan bagi pemustaka tunanetra untuk
mengaksesinformasi. Layanan perpustakaan bagi tunanetra yang mempunyai
keterbatasan penglihatan memerlukan berbagai alat yang dapat membantu
pemustaka tunanetra untuk dapat mengakses informasi. Berbagai alat bantu yang
telah dikembangkan oleh berbagai pihak yang menaruh minat pada teknologi
layanan bagi tunanetra. Telah menghasilkan alat-alat yang bersifat manual,
mekanis, sampai alat elektronik yang canggih.
Peralatan atau fasilitas lain yang digunakan pemustaka tunanetra untuk
dapat membantu mengakses informasi di perpustakaan sebagai berikut.
a. Komputer dengan Program JAWS
Komputer yang memudahkan pemustaka tunanetra mengakses informasi
dari internet maupun ketika mengetik adalah komputer yang memiliki aplikasi
screen reader yang disebut JAWS (Job Acces With Speech). Cara kerja aplikasi
screen reader, yaitu komputer menerangkan tampilan yang ada pada layar monitor
(screen) dengan suara. Mulai dari menu program yang tersedia, sampai
menginformasikan di mana letak kursor dan menerangkan tulisan apa saja yang
terbaca pada screen (membaca kata per kata maupun huruf demi huruf).
Suara yang dihasilkan oleh JAWS terkesan seperti robot yang berlogat
Barat. Kecepatannya pun dapat diatur, dipercepat maupun diperlambat. Program
JAWS dapat juga mentranslate kata dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Pem-
braille-annya pun menggunakan dua program, yaitu Duxbury dan MBC. Duxbury
merupakan program dari luar negeri, sedangkan MBC (Mitra Netra Braille
Conventer) berasal dari Indonesia.
Persamaan dari keduanya adalah dapat mengubah tulisan Braille ke tulisan
awas maupun sebaliknya. Namun, proses ini memiliki kelemahan, yaitu file yang
disimpan formatnya akan berubah dan simbol-simbol khusus (misal arab dan
matematika) tidak dapat dikonversikan langsung. Berikut gambar komputer bicara
dan keyboard khusus bagi pemustaka tunanetra.
Gambar 2.4 Komputer dengan Program JAWS
Gambar 2.5 Keyboard dengan Program JAWS
b. Printer Braille (Impact Printer)
Gambar 2.6 Printer Braille (Impact Printer)
Printer ini memiliki cara kerja yang mirip dengan printer dot matrix. Proses
pencetakan dilakukan dengan cara pengetukan pada kertas sehingga printer ini
lebih bersuara jika dibandingkan dengan printer tinta. Printer braille terdiri dari
dua tipe, yaitu Comet dan Bmillo Norway (tipe 200 dan 400). Perbedaan dari dua
tipe ini terletak pada hasil cetakannya. Printer Comet hanya dapat mencetak dari
dua sisi (satu muka), sedangkan Braillo Norway dapat mencetak dua sisi (bolak-
balik).
c. Open Book Scanner
Open book scanner memiliki cara kerja yang hampir sama dengan scanner
biasa. Hanya saja Open book scanner ini masih dapat membaca tulisan walaupun
dengan kertas yang terbalik (atas bawah). Hal ini memudahkan tunanetra untuk
meletakkan kertas di scanner tanpa harus khawatir tulisan tidak dapat terbaca
karena terbalik. Namun, Open Book Scaner ini memiliki kelemahan, yaitu tidak
dapat membaca tabel secara horisontal.
d. Buku Bicara (Digital Talking Book)
Buku bicara pada dasarnya memiliki cara kerja yang hampir sama dengan
buku bicara dalam bentuk compact disk (CD). Hanya saja, pengoperasian kaset
bicara harus menggunakan radio tape. Berikut gambar digital talking book bagi
pemustaka tunanetra.
Gambar 2.7 Buku Bicara (Digital Talking Book)
e. DAISY Player (Digital Ascesible System Player).
DAISY Player digunakan untuk mempermudah pemustaka tunanetra untuk
memperoleh informasi dari buku tertentu yang telah diubah menjadi bentuk suara.
Kecepatan dan volume suara dapat diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan.
Buku bicara yang digunakan untuk DAISY player ini berupa compact disk.
f. Termoform
Merupakan mesin pengganda bacaan pemustaka tunanetra dengan
penggunakan kertas khusus, yaitu braillon.
g. Telesensory
Suatu alat yang digunakan untuk memperbesar huruf awas agar terbaca oleh
penderita tunanetra low vision.
Selain fasilitas khusus di atas, fasilitas lain yang perlu disediakan dapat
berupa fasilitas koleksi multimedia, seperti VCD, DVD, tape recorder, dan
sebagainya yang terlayankan secara khusus dengan dilengkapi kaset atau rekaman
berbagai informasi yang bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan dan informasi
mereka sehingga SDM pemustaka tunanetra senantiasa berkembang dan
meningkat dengan lebih baik.
Hal yang perlu dipikirkan tidak hanya fasilitas dan koleksi berhuruf braille
saja yang harus diperhatikan oleh pengelola perpustakaan dalam memberikan
layanan kepada pemustaka tunanetra. Ruang lingkup lain yang harus diperhatikan
oleh perpustakaan, yaitu akses dan gedung. Akses tersebut dapat berupa suatu
ruangan khusus yang didesain dengan kenyamanan yang sesuai dengan psikologis
para pemustaka tunanetra. Sentuhan aspek psikologis dari pengelola perpustakan
kepada pemustaka tunanetra, membuat mereka nyaman dan senang berlama-lama
di perpustakan.
Desain ruangan perpustakaan yang nyaman menunjang aspek psikologis
bagi pengguna, pemustaka tunanetra dapat merasakan bahwa lingkungan dalam
ruangan tersebut mempunyai fungsi yang dirasakan sebagai rumah tinggal pribadi
maupun sebagai tempat untuk mengakses informasi.
Selanjutnya, pemustaka tunanetra di perpustakaan hendaknya juga
mendapatkan layanan pendidikan dan pendampingan secara khusus, seperti
latihan orientasi dan mobilitas, yakni jalan dengan pendamping awas, latihan jalan
mandiri di perpustakaan, serta penguasaan latihan bantu menuju tempat-tempat
yang ada di perpustakaan sehingga mampu mandiri dalam memperoleh informasi
di perpustakaan.
Perlu diperhatikan dalam proses pemberian layanan terhadap pemustaka
tunanetra, seorang pustakawan harus memahami ciri khusus atau karakter dari
pemustaka tunanetra yang biasanya memiliki karakteristik sosial, seperti
cenderung bersikap curiga terhadap orang lain, memiliki perasaan yang mudah
tersinggung, ketergantungan kepada orang lain secara berlebihan. Pustakawan
dalam melayani pemustaka tunanetra hendaknya menerapkan prinsip-prinsip
layanan dengan baik. Dengan mengetahui karakteristik yang terdapat dalam diri
seorang pemustaka tunanetra, hal ini dapat menjadi salah satu tolok ukur dalam
menyediakan pelayanan yang layak untuk dilayankan kepada mereka. Pendekatan
sesuai karakteristik pemustaka tunanetra menimbulkan hubungan timbal balik
yang harmonis. Sebagai insan manusia seorang pustakawan memanusiakan
pemustaka tunanetra, sebaliknya pemustaka tunanetra merasa dihargai dan
dimanusiakan.
Aqila Smart (2012: 83-87) menjelaskan mengenai prinsip-prinsip pelayanan
yang meliputi: Prinsip layanan secara individual yang berarti setiap pustakawan
harus memperhatikan perbedaan tingkat ketunanetraan pemustaka sebagai
pengguna perpustakaan yang harus dilayani. Pemustaka juga harus
memperhatikan aspek usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan serta latar
belakang sosial budaya setiap pemustaka tunannetra yang harus dilayani.
Prinsip pengalaman pengindraan artinya pemustaka tunanetra dikondisikan
supaya mendapat pengalaman secara nyata (langsung) dari apa yang
dilakukannya. Dengan kata lain, pemustaka tunanetra harus melakukan observasi
langsung terhadap ruang dan segala sarana yang tersedia serta koleksi
perpustakaan. Pustakawan dalam hal ini harus mampu membimbing dan
memperkenalkan kondisi perpustakaan, lokasi rak buku, lokasi layanan, dan
sebagainya.
Prinsip totalitas artinya pemustaka tunanetra yang memiliki keterbatasan
dalam hal indra penglihatan tersebut harus dapat melibatkan keseluruhan indra
yang masih berfungsi untuk mendapatkan informasi secara utuh serta mengetahui
letak sarana prasarana dan koleksi yang ada.
Prinsip aktivitas mandiri (self activity) berarti pemustaka tunanetra perlu
diberikan kebebasan untuk mengalami sendiri dalam menelusur sekaligus
menemukan informasi. Pustakawan dalam hal ini berperan sebagai fasilitator dan
motivator, information specialist serta pembimbing terhadap pemustaka tunanetra
dalam membantu pemustaka untuk belajar menemukan sebuah informasi.
Aktivitas menelusur dan menemukan informasi secara mandiri ini membantu
pemustaka tunanetra mengenali apa yang selama ini pemustaka normal lainnya
alami.
Pustakawan sebagai information specialist bagi pemustaka tunanetra
memiliki tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya. Pustakawan dalam
menjalankan tugasnya harus memperhatikan hal berikut ini. Pertama, memahami
dengan baik informasi yang dibutuhkan untuk mereka. Kedua, harus dapat
memahami dan kemudian mengevaluasi sumber-sumber informasi tersebut.
Ketiga, pustakawan harus menjadi promotor yang menentukan dalam organisasi
untuk pengadaan materi informasi perpustakaan, indeksnya, dan aktivitas lain
(Safrudin Aziz, 2010: 11).
Tugas dan tanggung jawab pustakawan di atas berkembang lebih luas
seiring dengan peran fungsinya sebagai tenaga kependidikan profesional dan
tenaga fungsional yang memerlukan seperangkat kompetensi, yakni dengan tugas
membimbing, khususnya melalui penyediaan dan penelusuran informasi. Hal ini
dinyatakan dalam UU No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Membimbing dalam hal ini dapat dirumuskan sebagai kegiatan menuntun
pemustaka (misalnya: user education) dan memandu dengan kemampuan
memberikan nasihat dan arahan yang tepat kepada pemustaka dalam memilih
informasi yang sesuai dengan kebutuhan informasi. Pengelola perpustakaan
dituntut menyediakan lingkungan yang kondusif dan menjaga suasana tenang.
Sehingga mendukung pemustaka memperoleh hasil maksimal dalam proses
pembelajaran. Pustakawan diharapkan membantu kebutuhan dan kesulitan yang
dihadapai pemustaka ketika mencari informasi yang dibutuhkan. Oleh karenanya,
dalam menuntun dan memandu tersebut, hendaknya sesuai dengan kaidah yang
baik dan mengarahkan mereka sesuai dengan kebutuhan informasi yang
diperlukan, termasuk dalam membantu memecahkan persoalan yang dihadapi
pemustaka terkait dengan tidak diketemukannya informasi atau koleksi yang
diperlukan.
Selain bimbingan informasi, pustakawan juga diharapkan mampu
memberikan konseling secara khusus melalui pendekatan psikologi guna
membentuk persepsi positif tentang ketunanetraannya. Pustakawan diharapkan
pula mengembalikan harga diri dengan merehabilitasi kompetensi yang pernah
dimilikinya atau membentuk kompetensi baru untuk mengkompetensikan
ketunanetraannya agar individu tersebut dapat memiliki self-efficacy (rasa
memiliki kemampuan yang terukur). Tugas lainnya adalah bagaimana dapat
menumbuhkan dan mengembangkan kemandirian. Sehingga pemustaka tunanetra
dapat mengarungi kehidupan dan membangun kehidupan yang bermakna, baik
bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Selanjutnya, pustakawan dalam
penyediaan layanan bimbingan juga harus mampu berperan tidak hanya sebagai
teacher library, tetapi juga menjadi konselor dalam membangun kesadaran dan
kemampuan diri untuk mandiri.
Hal tersebut dapat dilakukan oleh pengelola dan penangungjawab
perpustakaan, misalnya dengan memberikan keleluasaan kepada pemustaka
tunanetra untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang selintas tampak terlalu sulit
baginya sebagai seorang tunanetra. Misalnya, mengoperasikan peralatan
komputer, bepergian sendiri dengan tongkat di lingkungan perpustakaan yang
sudah ataupun belum dikenalnya dan sebagainya. Pemustaka tunanetra harus
memahami bahwa dia dapat belajar melakukan kegiatan-kegiatan tersebut atau
kegiatan-kegiatan lain yang penuh tantangan secara kompeten, dengan ataupun
tanpa penglihatan, bila dia menggunakan teknik yang tepat.
2.4.2. Fasilitas dan Layanan Informasi bagi Pemustaka Tunagrahita
Setiap manusia yang dilahirkan di bumi dari lahir sampai tua membutuhkan
pendidikan dan informasi. Melalui pendidikan dan informasi yang diperoleh taraf
kehidupannya dapat meningkat serta mendukung tercapainya tujuan hidup yang
dicita-citakan. Demikian juga seperti manusia pada umumnya, penyandang
tunagrahita pada hakikatnya membutuhkan pendidikan dan informasi. Melalui
pendidikan dan informasi yang memadai penyandang tunagrahita dapat
bertumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh individu
tersebut.
Penyandang tunagrahita layak dan perlu mendapatkan pendidikan dan
layanan informasi sebagaimana manusia lainnya. Landasan yang mendasari
pemikiran tersebut adalah, mereka pada prinsipnya bisa dididik maupun mendidik
dirinya sendiri dalam hal-hal yang sederhana. Misalnya, pada anak tunagrahita
ringan bisa melakukan makan dan minum, sedangkan tunagrahita berat dapat
dididik dengan mengaktualisasikan potensi yang mereka miliki, seperti pekerjaan
menggulung benang, mengamplas, dan sebagainya. Hal tersebut mengisyaratkan
bahwa pemustaka tunagrahita apabila diberikan layanan informasi dan pendidikan
yang baik, mereka akan dapat mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya guna
memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri dan kreatif.
Kedua, landasan nilai agama dan nilai peri kemanusiaan. Artinya, mengakui
bahwa setiap insan wajib bertakwa kepada Tuhan YME dan memiliki hak yang
sama dalam memperoleh pendidikan serta informasi apa pun yang mendukung
perkembangan intelektualnya.
Ketiga, landasan sosial ekonomi, yakni apabila penyandang tunagrahita
memperoleh pengetahuan dan informasi yang luas, mereka dapat
mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya guna memenuhi kebutuhan
hidupnya. Pada akhirnya dapat berproduksi dan tidak menjadi manusia konsumtif
semata (E. Rochyadi, tt: 31).
Fasilitas belajar di perpustakaan untuk pemustaka tunagrahita pada dasarnya
relatif sama dengan pemustaka non disabilitas. Begitu pula dengan sistem layanan
informasi yang disediakan tidaklah terpisah dan berbeda dengan layanan bagi
pemustaka normal pada umumnya. Namun, bobot dan jenis layanan disesuaikan
dengan berat dan ringannya kelainan pemustaka tunagrahita. Makin ringan
kelainan yang disandangnya, makin sedikit pula layanan informasi yang
diberikannya. Sebaliknya, makin berat kelainannya makin banyak pula layanan
yang harus diberikan.
Selain itu, perbedaan individual dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dan
informasi harus didasarkan pada karakteristik dan kebutuhan setiap pemustaka.
Namun, dalam pemberian layanan bagi penyandang tunagrahita tidak boleh
dimanjakan atau sebaliknya dibiarkan. Artinya, berikan pelayanan informasi
secara wajar agar mereka dapat berkembang optimal dan mendidik tidak
bergantung terus-menerus pada orang lain. Menumbuhkan kepercayaan diri dan
nilai diri yang tinggi yang akan membantu mereka menghadapi kehidupan
normal.
Berdasarkan pernyataan di atas, pihak pengelola perpustakaan sebaiknya
memperhatikan dengan cermat jenis layanan informasi untuk pemustaka
tunagrahita. Mereka perlu mendapat perhatian sesuai dengan kebutuhan. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam menyediakan layanan informasi bagi
pemustaka tunagrahita sebagai berikut.
2.4.2.1. Tempat dan Sistem Layanan
Tempat pelayanan informasi bagi pemustaka tunagrahita dapat lakukan pada
tempat secara khusus atau pada tempat layanan umum. Tempat atau ruang khusus
diperuntukkan bagi pemustaka tunagrahita yang tidak mampu belajar sendiri dan
menggunakan sumber-sumber informasi tanpa bantuan pendamping. Ruang
layanan khusus lebih tepatnya diperuntukkan bagi pemustaka tunagrahita sedang.
Bagi pemustaka tunagrahita ringan, jenis layanan informasi bisa dilakukan
pada layanan umum sebagaimana pemustaka lainnya. Artinya, ia diberikan
kebebasan untuk mengakses informasi secara mandiri, tanpa harus selalu
mendapatkan pendampingan pustakawan.
2.4.2.2. Ciri Khas Layanan
Pemustaka tunagrahita walaupun mengalami hambatan intelektual, akan
dapat mengaktualisasikan potensinya jika mendapatkan layanan informasi secara
optimal dengan pelayanan khusus. Hal yang paling penting dalam memberikan
layanan informasi bagi pemustaka tunagrahita adalah pustakawan hendaknya
mampu memunculkan harga diri sehingga mereka tetap tampil percaya diri dan
merasa diakui oleh masyarakat sekitarnya. Untuk mencapai harapan tersebut,
seorang pustakawan harus mampu melayani dengan menggunakan bahasa yang
sederhana, tidak berbelit-belit, jelas, dan menggunakan kata-kata yang sering
didengar oleh mereka.
Berikutnya, prinsip keperagaan juga dapat digunakan dalam melayani
sebuah informasi untuk anak tunagrahita. Mengingat mereka memiliki
keterbatasan dalam berpikir yang sulit dan abstrak. Oleh karenanya, pustakawan
dalam memberikan informasi ataupun menunjukkan prosedur menelusur
informasi dan berbagai jenis transaksi perpustakaan perlu diperagakan. Dengan
jenis layanan yang diperagakan tersebut, anak tunagrahita diharapkan lebih jelas
dan dapat menerima petunjuk dengan baik.
Pustakawan juga harus memperhatikan ciri khusus dalam memberikan
layanan informasi bagi pemustaka tunagrahita. Ketika bertugas melayani mereka
lakukan dengan cara berulang-ulang sampai mengerti benar informasi tersebut.
Penjelasan disertai contoh-contoh nyata. Hal ini dikarenakan mereka biasanya
sering lupa terhadap informasi yang sudah diterimanya. Misalnya, pengulangan
dalam menunjukkan letak koleksi.
2.4.3. Fasilitas dan Layanan Informasi bagi Pemustaka Tunarungu
Fasilitas penunjang bagi pemustaka tunarungu secara umum relatif sama
dengan pemustaka normal, seperti buku pelajaran, novel ataupun media internet
dan sebagainya. Namun, karena anak tunarungu mempunyai hambatan dalam
mendengar dan bicara, mereka memerlukan alat bantu khusus. Alat bantu khusus
tersebut, antara lain menurut Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996)
adalah audiometer, hearing aids, telephone-typewriter, mikro komputer,
audiovisual, tape recorder, spatel, cermin.
2.4.3.1. Audiometer
Audiometer adalah alat elektronik untuk mengukur taraf kehilangan
pendengaran seseorang. Alat ini berfungsi untuk mengetahui kondisi pendengaran
pemustaka tunarungu. Pustakawan dapat menggunakan alat ini dalam
memberikan layanan kepada pemustaka tunarungu. Fungsi dan manfaat dari
audiometer adalah untuk mengetahui kondisi pemustaka tunarungu yang meliputi:
- Apakah sisa pendengarannya difungsionalkan melalui konduksi tulang atau
konduksi udara.
- Berapa desibel anak tersebut kehilangan pendengarannya.
- Telinga mana yang mengalami kehilangan pendengaran, apakah telinga kiri,
telinga kanan, atau kedua-duanya.
-Pada frekuensi berapa pemustaka masih dapat menerima suara.
Setelah mengetahui fungsi dan manfaat audiometer, sebaiknya pihak
pengelola perpustakaan meyediakan alat ini berdasarkan jenisnya. Ada dua jenis
audiometer, yaitu audiometer oktaf dan audiometer kontinu. Audiometer okraf
untuk mengukur frekuensi pendengaran: 125 – 250 – 500 – 1000 – 2000 – 4000 –
8000 Hz. Audiometer kontinu mengukur pendengaran antara 125 – 12000 Hz.
Tersedianya audiometer secara lengkap tentu akan membantu tugas pustakawan
dalam melayani pemustaka tunarungu sesuai kondisi pendengarannya.
2.4.3.2. HearingAids
Hearing aids, adalah alat bantu dengar yang mempunyai tiga unsur utama.
Unsur-unsur tesebut terdiri dari microphone, amplifier, dan reciever. Alat ini
mempunyai prinsip kerja sebagai berikut: suara (energi akustik) diterima
microphone, kemudian diubah menjadi energi listrik dan dikeraskan melalui
amplifier, kemudian diteruskan ke reciever (telepon) yang mengubah kembali
energi listrik menjadi suara seperti alat pendengaran pada telepon dan diarahkan
ke gendang telinga (membrana tympany).
Penggunaan alat bantu dengar cukup bervariasi ada yang diselipkan di
belakang telinga, di dalam telinga, dipakai pada saku kemeja (pocket), atau yang
dipasang pada bingkai kaca mata. Dengan menggunakan alat bantu dengar
(hearingaids), penyandang tunarungu dapat berlatih mendengarkan, baik secara
individual maupun secara kelompok.
Alat bantu tersebut lebih tepat digunakan bagi tunarungu yang mempunyai
kelainan pendengaran konduktif. Pemustaka tunarungu yang menggunakan alat
bantu dengar diharapkan mampu memilih suara-suara mana yang diperlukan.
Dengan bantuan mimik dan gerak bibir dari pustakawan (speech therapist),
pemustaka tunarungu dapat berlatih menangkap arti dari apa yang diucapkan oleh
pustakawan atau orang lain.
2.4.3.3. Mikrokomputer
Mikrokomputer merupakan alat bantu khusus yang dapat memberikan
informasi secara visual. Alat bantu ini sangat membantu bagi penyandang
tunarungu yang mengalami kelainan pendengaran berat. Keefektifan penggunaan
mikrokomputer tergantung pada software dan materinya harus dapat dimengerti
oleh penyandang tunarungu. Di samping itu, penyandang tunarungu harus bisa
membaca atau paling tidak mampu mengintepretasikan simbol-simbol yang
digunakan. Manfaat penggunaan mikrokomputer bagi pemustaka tunarungu antara
lain:
- Pemustaka tunarungu dapat belajar mandiri secara bebas dan bertanggung
jawab.
- Pemustaka tunarungu belajar membuat program dan mendemonstrasikan hasil
karyanya.
- Pemustaka tunarungu dapat mengembangkan kreativitas berpikir dengan
menggunakan mikrokomputer.
- Pemustaka tunarungu dapat berkomunikasi interaktif dengan informasi yang
ada dalam program mikrokomputer.
2.4.3.4. Audiovisual
Alat bantu audiovisual dapat berupa film, video-tape, TV. Penggunaan
audiovisual tersebut sangat bermanfaat bagi pemustaka tunarungu. Sebab mereka
dapat memerhatikan sesuatu yang ditampilkan sekalipun dalam kemampuan
mendengar yang terbatas. Sebagai contoh, penayangan film-film pendidikan, film
ilmiah populer, film kartun, dan siaran berita TV dengan bahasa isyarat pada
institusi perpustakaan.
Seorang pustakawan profesional hendaknya tidak membedakan antara
pemustaka normal dan pemustaka berkriteria tunarungu. Pada saat memberikan
pelayanan informasi kepada pemustaka tunarungu, seorang pustakawan harus
memerhatikan model komunikasi yang dilakukan. Model ini tentunya berbeda
ketika melayani pemustaka normal pada umumnya. Misalnya, melayani dengan
model berkomunikasi isyarat atau ejaan jari, ungkapan badaniah meliputi:
keseluruhan ekspresi badan, seperti sikap badan, ekspresi muka (mimik),
pantomimic, dan gesti yang dilakukan orang secara wajar dan alamiah. Ungkapan
badaniah tidak dapat digolongkan sebagai suatu bahasa dalam arti sesungguhnya,
walaupun lambang atau isyaratnya dapat berfungsi sebagai media komunikasi.
Bahasa isyarat lokal, yaitu suatu ungkapan manual dalam bentuk isyarat
konvensional berfungsi sebagai pengganti kata. Bahasa isyarat lokal berkembang
di antara para tunarungu melalui konvensi (kesepakatan). Bahasa isyarat formal
adalah bahasa nasional dalam isyarat yang biasanya menggunakan kosakata
isyarat dan dengan struktur bahasa yang sama persis dengan bahasa lisan.
Selain itu, sarana penunjang dalam berkomunikasi pemustaka tunarungu
dengan pustakawan dengan ejaan jari. Ejaan jari adalah penunjang bahasa isyarat
yang dipergunakan pemustaka tunarungu dengan menggunakan ejaan jari. Ejaan
jari secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu (1) ejaan jari
dengan satu tangan (onehanded), (2) ejaan jari dengan kedua tangan (twobanded),
dan (3) ejaan jari campuran dengan menggunakan satu tangan atau dua tangan.
Bentuk komunikasi lain yang dapat dipergunakan antara pustakawan dengan
pemustaka tunarungu adalah dengan mengunakan komunikasi total. Komunikasi
total merupakan cara berkomunikasi dengan menggunakan salah satu modus atau
semua cara komunikasi. Cara ini meliputi penggunaan sistem isyarat, ejaan jari,
bicara, baca ujaran, amplifikasi, gesti, pantomimik, menggambar dan menulis.
Cara lainnya yaitu dengan memanfaatkan sisa pendengaran pemustaka tunarungu
sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Pustakawan dalam memberikan layanan
kepada pemustaka tunarungu menggunakan cara komunikasi total hendaknya
melakukan dengan pelan dan lugas. Sebaiknya dilakukan dengan berhadapan dan
usahakan tidak terlalu jauh jaraknya dengan pemustaka tunarungu.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh pustakawan dalam memberikan
layanan kepada pemustaka tunarungu menyadari bahwa penyandang tunarungu
memiliki kecenderungan pendiam dan sulit diajak bicara. Meskipun demikian,
kesulitan berbicara bukan berarti mereka tidak mampu berkomunikasi. Pihak
pengelola perpustakaan hendaknya melatih dan menyiapkan seorang pustakawan
yang memiliki kcmampuan berkomunikasi dengan baik dan santun sehingga
mengetahui keinginan dan kebutuhan informasi yang diperlukan pemustaka
tunarungu.
Ketika pustakawan cenderung diam dalam melayani pemustaka tunarungu
dan menunjukkan respon tidak antusias dalam memberikan layanan kepada
pemustaka tunarungu. Bagi mereka perpustakaan sama saja seperti ruang
terisolasi. Pemustaka tunarungu merasa tidak dihargai dan dilayani dengan baik.
Tujuan dari perpustakaan untuk melayani publik gagal dan pemustaka tuna rungu
yang bermaksud mencari informasi di perpustakaan tidak mencapai hasil yang
diharapkan. Pemasalahan demikian perlu dihindari, untuk itu pustakawan dengan
pemustaka tunarungu ataupun tunawicara tetap dapat menjalin komunikasi.
Namun model dan pola yang diterapkan dalam berkomunikasi tidak melalui
bahasa lisan dan suara tetapi menggunakan tatapan penuh kasih sayang serta
sapaan melalui bahasa isyarat. Model komunikasi tersebut merupakan salah satu
bahasa yang cukup efektif untuk menyampaikan kepada mereka betapa seorang
pustakawan sangat peduli dan memberikan apresiasi kepada mereka.
Pustakawan juga harus memahami begitu sensitif pemustaka tunarungu
dalam hal emosi. Pemustaka tunarungu kurang memiliki pemahaman akan bahasa
lisan sehingga dalam berkomunikasi sering kali menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan seperti terjadi kesalahpahaman. Penyebab persoalan tersebut adalah
komunikasi yang tidak dimengerti orang lain dan anak tunarungu pun sukar
memahami orang lain. Bila pengalaman demikian terus berlanjut akan
menimbulkan tekanan pada emosi. Yang berdampak menghambat perkembangan
kepribadian dengan menampilkan sikap-sikap negatif seperti menutup diri,
bertindak secara agresif atau sebaliknya, menampakkan kebimbangan dan keragu-
raguan.
Sikap pustakawan dalam hal ini adalah berusaha untuk dapat memahami
kehendak dan kebutuhan informasi apa yang diperlukan oleh pemustaka
tunarungu. Di samping itu, jadikan pemustaka tunarungu sebagai teman, sahabat
dalam institusi perpustakaan atau menjadikan mereka sebagai sebuah keluarga
yang saling membutuhkan satu sama lain. Pada akhirnya mereka senantiasa
merasa nyaman dan mendapat persamaan hak dalam memperoleh informasi.
Sikap familier pustakawan terhadap pemustaka tunarungu juga mampu
menghilangkan perasaan rendah diri mereka sehingga pemustaka tunarungu
memiliki perasaan yang sama dengan pemustaka normal lainnya. Sikap seperti ini
juga membangkitkan setiap pemustaka tunarungu tidak merasa diasingkan, tidak
memiliki perasaan dicurigai, dan sebagainya. Mereka menjadi percaya diri dan
mampu mngembangkan diri secara maksimal dengan memanfaatkan sarana dan
informasi yang tersedia di perpustakaan, pada gilirannya mereka mampu hidup
mandiri dalam menghadapi tantangan hidup.
2.4.4 Fasilitas dan Layanan Informasi bagi Pemustaka Tunadaksa
Pustakawan dalam menjalankan tugasnya tidaklah ringan setiap hari
menghadapi pemustaka yang beraneka ragam. Khususnya yang memiliki
keterbatasan tertentu, selain pemustaka yang telah disebutkan di atas, pustakawan
juga akan menghadapi pemustaka tunadaksa.
Pemustaka tunadaksa memiliki penyimpangan dalam penglihatan dan
gangguan ketajaman pendengaran. Masalah lain yang dihadapi oleh pemustaka
tunadaksa diantaranya kelainan bicara yang terdiri dari: dysarthria (gangguan
bicara pada bagian artikulasinya akibat lemahnya pengontrolan gerak), delayed
speech (gangguan bicara karena keterbelakangan mental dan disfungsinya otak),
voice disorder (gangguan pita suara), stuttering (gagap), serta aphasia (gangguan
bahasa verbal). Sementara gangguan lain yang bersifat psikologis dari pemustaka
tunadaksa adalah gangguan persepsi. Persepsi yang dimaksud menurut beberapa
referensi mencakup pendengaran (auditory), penglihatan (visual), sentuhan
(tactile), serta kepekaan modalitas yang lain.
Memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi fisik dan psikologi
pemustaka tunadaksa, pustakawan sebaiknya dalam memberikan layanan kepada
pemustaka tunadaksa perlu perhatian khusus atau ekstra. Pustakawan harus
mampu melayani dengan empati serta ketulusan. Sikap ini dapat diterapkan
dengan memerhatikan mereka melalui tatapan mata, mendengarkan keluhan dan
kebutuhan informasi yang diperlukan serta berusaha memahami apa yang
diharapkannya. Jangan sampai pemustaka tunadaksa memiliki persepsi bahwa
pustakawan mempersepsikan dirinya sebagai manusia yang tidak berguna,
manusia cacat, dan merepotkan. Akibat dari persepsi tersebut mengakibatkan
kondisi pemustaka tunadaksa enggan mempergunakan jasa perpustakaan, benci
terhadap informasi, bahkan menganggap pustakawan sebagai orang yang enggan
melayani dirinya. Oleh karena itu, pustakawan dalam hal ini harus mampu
menjadi figur dan partner bagi mereka, senantiasa bersikap terbuka, tersenyum,
dan pandai mengambil hatinya melalui komunikasi yang hangat dan
menyejukkan.
Demi menunjang hasil maksimal dalam memberikan layanan informasi
kepada pemustaka tunadaksa. Mereka juga mampu berkembang dalam pemikiran
dan kemandirian ada baiknya dilakukan kerja sama yang baik antara pustakawan
dan peran orang tua. Artinya, sikap dan reaksi positif senantiasa dicurahkan
sehingga pemustaka tunadaksa mampu bersikap dan berprasangka positif terhadap
lingkungan dan terhadap kecacatannya. Dengan demikian, pada hakikatnya
layanan informasi untuk pemustaka tunadaksa bukan saja sebatas memerhatikan
kondisi fisiknya yang berkelainan, melainkan juga masalah sosial dan psikologis
pun harus turut diperhatikan.
2.4.5. Fasilitas dan Layanan Informasi bagi Pemustaka Tunalaras
Pustakawan yang melayani pemustaka yang memiliki keterbatasan tertentu
harus cermat dan pandai menggunakan pendekatan tertentu. Supaya tugas
melayani publik khususnya memberikan layanan informasi berhasil. Layanan lain
yang harus dilakukan pemustaka adalah melayani pemustaka tunalaras.
Pemustaka tunalaras dilihat pada aspek perkembangan memiliki kepribadian
antara lain: mereka kurang percaya diri, sering menunjukkan sikap curiga pada
orang lain, selalu dihinggapi perasaan rendah diri atau sebaliknya, selalu
menunjukkan permusuhan terhadap orang lain, suka melawan otoritas, suka
mengisolasi diri, kecemasan atau ketakutan yang berlebihan, tidak memiliki
ketenangan jiwa, beberapa di antaranya hiperaktif dan sering kali melakukan
bentrokan atau perkelahian (Mohammad Efendi, 2006: 156).
Mencermati perkembangan kepribadian pemustaka tunalaras di atas, tugas
pustakawan adalah memberikan bimbingan untuk memotivasi mereka betapa
pentingnya informasi dan pengetahuan bagi kehidupan mereka. Melalui informasi
yang dipahami dan dikuasai oleh pemustaka tunalaras diolah menjadi sebuah
pengetahuan. Dengan bekal pengetahuan tersebut pemustaka tunalaras akan
memiliki kepercayaan diri dalam bergaul dan beradaptasi dengan lingkungannya.
Mereka juga memiliki sikap lebih terbuka dan memahami pentingnya mengikuti
norma-norma dan peraturan untuk ditaati serta diikuti.
Bimbingan terhadap pemustaka tunalaras dapat dilakukan melalui
pendekatan religius yang bersifat teknis aplikatif. Dengan harapan, mereka
memiliki ketenangan jiwa dan dapat mengendalikan perilaku yang bersifat
negatif. Sementara pada aspek perkembangan sosial, penyandang tunalaras
mengalami kesulitan dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau
lingkungannya. Hal ini bukan berarti mereka sama sekali tidak memiliki
kemampuan untuk membina hubungan sosial dengan semua orang. Dalam banyak
kejadian, mereka ternyata dapat menjalin hubungan sosial yang sangat erat dengan
teman-temannya. Mereka mampu membentuk suatu kelompok yang kompak dan
akrab serta membangun keterikatan antara yang satu dengan lainnya.
Ketidakmampuan penyandang tunalaras dalam melakukan interaksi sosial
yang baik dengan lingkungan disebabkan oleh pengalaman-pengalaman yang
tidak/ kurang menyenangkan. Artinya, ketika ia memasuki tahapan perkembangan
baru, penyandang tunalaras sebaiknya dihadapkan pada tantangan yang timbul
dari lingkungannya agar egonya menyesuaikan diri.
Pendekatan yang dapat dilakukan pustakawan dalam memberikan layanan
informasi kepada pemustaka tunalaras seyogyanya memperhatikan aspek
perkembangan sosial mereka. Pustakawan harus mampu menciptakan lingkungan
perpustakaan yang kondusif dan bersifat kekeluargaan. Sikap ini dapat
dikembangkan melalui sapaan yang hangat, mengajak mereka berinteraksi dengan
petugas perpustakaan, menyediakan ruangan hiburan secara khusus, seperti
ruangan multimedia dengan menyediakan film pendidikan, sejarah dunia, dan
sebagainya. Pustakawan bersama pemustaka tunalaras menikmati tontonan
bersama, selanjutnya ulasan pelajaran dan hikmah tayangan film tersebut
disampaikan secara komunikatif guna membangkitkan semangat mereka.
Seringkali pemustaka tunalaras memiliki penilaian yang keliru, baik
terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sosial. Mereka menganggap
dirinya tidak berguna bagi orang lain dan merasa bahwa orang lain tidak peduli
dengan dirinya. Anggapan demikian menjadikan pemustaka tunalaras mengalami
kesulitan apabila hendak menjalin hubungan dengan orang lain.Untuk
menghindari hal demikian pustakawan usahakan melakukan pendekatan secara
pribadi dan mencoba menunjukkan rasa sayang kepada mereka. Bila upaya ini
berhasil rasa percaya diri mereka tumbuh. Secara sosial pemustaka tunalaras
merasa senang karena karena merasa diperhatikan dan dianggap oleh orang lain.
Dengan begitu pemustaka tunalaras akan mampu dan berupaya berinteraksi sosial
dengan pihak lain. Diharapkan pemustaka tunalaras menemukan citra diri yang
positif sebagai bekal menghadapi kehidupan.
Berdasarkan pengamatan biasanya pengendalian emosi penyandang
tunalaras memiliki emosi yang tidak stabil atau naik turun berdasarkan suasana
hati. Ketidakmampuan mengekspresikan emosi secara tepat dan pengendalian diri
yang rendah, mengakibatkan mereka sering kali menjadi sangat emosional. Emosi
yang tidak stabil ini berdampak penyandang tunalaras tidak mampu berinteraksi
dengan lingkungan. Padahal, lingkungan merupakan bagian penting untuk
mengekspresikan emosi tersebut.
Pustakawan perlu menyadari bahwa penyandang tunalaras kurang mampu
untuk belajar mengelola dengan baik setiap emosi yang dirasakan dan dihayati.
Penyandang tunalaras juga memiliki kehidupan emosi yang monoton atau kurang
bervariasi. Mereka pun memiliki keterbatasan dan kepekaan yang kurang dalam
memahami, mengerti, menghayati bagaimana perasaan orang lain.
Penyandang tunalaras kurang mampu mengendalikan emosinya dengan baik
sehingga sering kali terjadi peledakan emosi. Ketidakstabilan emosi ini
menimbulkan penyimpangan tingkah laku, seperti mudah marah, mudah
tersinggung, kurang mampu memahami perasaan orang lain, berperilaku agresif,
menarik diri, dan sebagainya (Sutjihati Somantri, 2006: 152).
Berdasarkan penjelasan di atas demi menunjang keberhasilan tugas
melayani pemustaka tunalaras dalam mencari informasi di perpustakaan. Hal
yang dapat dilakukan yaitu. Pustakawan berupaya bersahabat dengan pemustaka
tunalaras. Bila diperlukan pustakawan dapat menyediakan hadiah kejutan yang
bermanfaat bagi mereka. Melalui hadiah tersebut, mereka secara bertahap akan
menerima pustakawan sebagai teman bahkan sahabat.
Pustakawan perlu menyadari bahwa langkah tersebut sebagai tahap
pengendalian emosi dan pembentukan kepribadian. Setelah pustakawan diterima
dan dianggap sebagi teman oleh pemustaka tunalaras, langkah berikutnya berikan
nila-nilai positif. Melalui penanaman nilai-nilai positif tersebut pemustaka
tunalaras mulai terbangun kepribadian dan kemandiriannya. Sikap manja dan
selalu tergantung pada bantuan orang lain dapat diubah melalui memberikan
kepercayaan dari yang sederhana hingga mengikuti aturan-aturan di perpustakaan.
Misalnya, menelusur informasi secara bebas dan mandiri sesuai dengan kesukaan
pemustaka, memberikan tanggung jawab terhadap koleksi yang dipinjam, dan
sebagainya.