Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas mengenai teori dan konsep yang terkait
dengan masalah penelitian. Uraian tinjauan pustaka meliputi konsep cedera
kepala, rujukan pasien gawat darurat dan teori interpersonal nursing dari
Heldegrad E. Peplau.
2.1 Cedera Kepala
2.1.1 Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala merupakan suatu keadaan dimana bagian kepala
mengalami gangguan baik berupa fungsi dan strukturnya, setelah mengalami
trauma tumpul atau penetrasi. Cedera kepala menimbulkan kelainan struktural
dan atau fungsional pada jaringan otak, bahkan dapat mengganggu kesadaran
dan menimbulkan kerusakan pada kepala bukan bersifat konginetal ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi
dan mengubah kesadaran serta menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
yang permanen. Dimana resiko kerusakan tersebut lebih besar apabila
pertolongan awal yang diberikan 3 jam (Brain Injury Assosiation of America,
2012).
Beberapa kondisi pasien dengan cedera kepala dapat diukur
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Kasus cedera kepala yang parah
biasanya memiliki nilai GCS kurang dari atau sama dengan 8, sehingga dapat
mengalami kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam,
dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intrakranial. Ada
beberapa kasus cedera kepala yang parah tetapi skor GCS 8 ketika terdapat
perburukan neurolois, fraktur tengkorak, pupil atau motorik tidak ekual, cedera
12
kepala disertai keluarnya cairan cerebro spinal (CSS) atau tampak jaringan otak
dan perdarahan intrakranial (Mary, 2011; Hadi, 2014).
Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak
dan otak (Smeltzer et al, 2010).
2.1.2 Macam-macam Cedera Kepala
Menurut, Smeltzer et al (2010) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak
atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa
dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/tembakan, cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki akses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,
kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala
tertutup meliputi: (commotio) gagar otak, (contusion) memar, dan laserasi.
Selain klasifikasi diatas, dapat digunakan juga penilaian GCS untuk
menentukan beratnya cedera kepala yang dialami pasien menurut, sebagai
berikut :
a. Cedera Kepala Ringan (CKR)
1) GCS = 13 – 15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi < 30 menit.
3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
13
1) GCS = 9 – 12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
1) GCS = 3 – 8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
2.1.3 Manifestasi Klinik Cedera Kepala
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak menurut Hammond and Zimmermann (2013), sebagai berikut :
a. Cedera Kepala Ringan
1) Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
2) Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
3) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
4) Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu
atau lebih lama setelah (contusio) cedera otak akibat trauma ringan.
b. Cedera Kepala Sedang
1) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan
atau bahkan koma.
2) Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologis, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
14
c. Cedera Kepala Berat
1) Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
2) Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
3) Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
4) Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
2.1.4 Etiologi
Menurut Hammond and Zimmermann (2013), etiologi cedera kepala
dibagi menjadi beberapa penyebab, yaitu :
1) Kecelakaan lalu lintas
Pasien cedera kepala yang masuk ke IGD rumah sakit sebesar 13%
disebabkan karena kecelakaan lalu lintas.
2) Jatuh
Pasien cedera kepala yang masuk ke IGD rumah sakit sebesar 40%
karena jatuh
3) Trauma Benda Tumpul
Trauma benda tumpul menyebabkan substansi otak rusak karena energi
yang diteruskan ke subtansio diserap lapisan pelindung yaitu rambut, kulit
kepala dan tengkorak.
4) Trauma Benda Tajam
Trauma ini dapat menyebabkan trauma area setempat dan menimbulkan
cedera lokal.
15
5) Kecelakaan Rumah Tangga
Pasien cedera kepala yang disebabkan karena kekerasan rumah tangga
yang masuk ke IGD adalah sebesar 20%.
6) Cedera Lahir
Cedera lahir merupakan cedera mekanik yang disebabkan karena proses
persalinan atau kelahiran.
2.1.5 Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
terkena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil
atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat
gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi
badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau perdarahan.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
16
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi.
Cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala
berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal
diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom
intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan
massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan
dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk
yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena
cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya
(Smeltzer et al, 2010)..
2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang tepat sangat menentukan proses penyembuhan
pasien cedera kepala dan terhindar dari kecacatan yang permanen. Tindakan
tersebut antara lain :
1) Tatalaksana Airway, Breathing dan Circulation, serta resusitasi
2) Hindari hipotensi dan pertahankan tekanan darah sistolik lebih dari 90
mmHg. Terkadang mean arterial preasure (MAP) juga perlu
dipertahankan lebih tinggi.
3) Pertahankan oksigenasi yang adekuat, hindari hipoksemia.
4) Pertahankan posisi kepala dan leher sedemikian rupa untuk mencegah
terjadinya kompresi vena jugularis.
17
5) Pertahankan elevasi kepala 300 – 450 kecuali jika pasien dalam keadaan
syok. Elevasi ini akan menjaga aliran balik darah dan cairan
cerebroserebral.
6) Pertahankan PaCO2 35-40 mmHg.
7) Hindarkan cairan yang hanya mengandung dextrose, kecuai apabila
pasien mengalami hipoglikemia. Demikian juga halnya dengan caira
hipertonik.
8) Atasi hipertermi dan pertahankan suhu tubuh normal.
9) Sedasi mungkin diperlukan untuk mencegah efek buruk agitasi.
10) Pertahankan hemeostasis dan kadar gula darah.
11) Nilai dan perbaiki gangguan koagulasi
12) Berikan nutrisi yang adekuat.
13) Profilaksis anti kejang, hal ini tidak dianjurkan untuk mencegah kejang
pasca trauma fase lanjut.
14) Manitol (0,25-1 gr/kgBB via IV) harus diberikan apabila ada tanda herniasi
atau jika terjadi gangguan neurologik yang bukan disebabkan faktor lain.
15) Steroid tidak dianjurkan untuk pasien cedera kepala.
16) Monitor tekanan intrakranial dilakukan pada :
a. GCS 2 – 8 setelah resusitasi dan ada kelainan pada CT Scan
Kepala
b. CT Scan Kepala normal tetapi minimal 2 faktor berikut :
- Usia > 40 tahun
- Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
- Deselebrasi atau kedortikasi unilateral atau bilateral
17) Induksi koma dengan pentobarbital hanya dilakukan bila tekanan
intrakranial tidak dapat diatasi dengan manuver-manuver lain.
18
18) Pertahankan CPP 50-70 mmHg. CPP yang ideal adalah tekanan yang
dijaminnya perfusi dan oksigenasi cerebri dengan mengusahakan TIK <
20 mmHg (Cline et al., 2012).
2.1.7 Komplikasi
Menurut Hammond and Zimmermann (2013), cedera kepala dibagi dapat
menyebabkan komplikasi, yaitu hemorrhagie, koma, kejang, infeksi, edema,
disabilitas, herniasi, kemampuan kognitif menurun, alzeimer dan parkinson.
2.2 Proses Rujukan Pasien
2.2.1 Definisi Sistem Rujukan
Menurut Fanara et al., (2010)., sistem rujukan adalah suatu sistem jaringan
fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan
tanggungjawab secara timbal-balik atas masalah yang timbul baik secara vertikal
(komunikasi antara unit yang sederajat) mauapun horizontal (komunikasi inti
yang lebih tinggi ke unit yang ebih rendah) ke fasilitas pelayanan yang lebih
kompeten, terjangkau, rasional dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi.
Adapun yang dimaskud dengan sistem rujukan di Indonesia, seperti yang
telah dirumuskan dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 001 Tahun 2012 adalah
suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan untuk
pelimpahan wewenang dan tanggungjawab terhadap suatu kasus penyakit atau
masalah kesehatan secara vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan
kurang kapada unit yang lebih mampu atau secara horizontal dalam arti antar
unit-unit yang setingkat kemampuannya.
Rujukan pasien merupakan perpindahan pasien ke rumah sakit lain untuk
mendapatkan perawatan dan managemen lanjutan (Francis, 2015).
19
2.2.2 Macam-macam Sistem Rujukan
Sesuai dengan jenis upaya kesehatan yang diselenggarakan, ada dua
macam sistem rujukan yang sering dikenal yaitu (Brito el al., 2013).
1) Rujukan Upaya Kesehatan Perorangan
Cakupan rujukan pelayanan kesehatan perorangan adalah kasus penyakit.
Apabila suatu instansi kesehatan tidak mampu menanggulangi satu kasus
penyakit tertentu, maka instansi tersebut wajib melakukan rujukan ke sarana
pelayanan kesehatan yang lebih mampu (baik horizontal maupun secara
vertikal). Sebaliknya pasien pasca rawat inap yang hanya memerlukan rawat
jalan sederhana, bisa dirujuk kembali ke instansi kesehatan awal tadi.
Rujukan upaya kesehatan perorangan dibedakan atas tiga macam, yaitu :
a. Rujukan kasus untuk keperluan diagnostik, pengobatan, tindakan medis
(misalnya : operasi).
b. Rujukan bahan pemeriksaan atau spesimen untuk pemeriksaan
laboratorium yang lebih lengkap.
c. Rujukan ilmu pengetahuan antara lain mendatangkan tenaga yang lebih
kompeten atau melakukan bimbingan tenaga instansi kesehatan dan
atau menyelenggarakan pelayanan medik spesialis.
2) Cakupan rujukan pelayanan kesehatan masyarakat adalah masalah
kesehatan masyarakat, misalnya kejadian luar biasa, pencemaran
lingkungan dan bencana. Rujukan pelayanan kesehatan masyarakat juga
dilakukan apabila satu instansi kesehatan tidak mampu menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat wajib dan pengembangan, padahal upaya
kesehatan masyarakat tersebut telah menjadi kebutuhan masyarakat.
Apabila suatu instansi kesehatan tidak mampu menanggulangi masalah
kesehatan masyarakat, maka instansi tersebut wajib melakukan rujukan ke
20
pelayanan kesehatan yang lebih baik. Rujukan upaya kesehatan
masyarakat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (Mubarak & Chayatin,
2009; Blakeman & Branson, 2013) :
a. Rujukan sarana dan logistik, antara lain peminjaman peralatan
laboratorium, peminjaman alat audio visual, bantuan obat-obatan, vaksin
dan bahan-bahan habis pakai dan bahan makanan.
b. Rujukan tenaga, antara lain dukungan tenaga ahli untuk penyidikan
kejadian luar biasa, bantuan penyelesaian masalah hukum kesehatan,
penanggulangan gangguan kesehatan karena bencana alam.
c. Rujukan operasional, yaitu dengan menyerahkan sepenuhnya
kewenangan dan tanggungjawab penyelesaian masalah kesehatan
masyarakat. Misalnya, usaha kesehatan sekolah, usaha kesehatan kerja,
usaha kesehatan jiwa, pemeriksaan air bersih.
2.2.3 Tujuan Rujukan
Menurut ACEM (2010), beberapa tujuan dilakukannya rujukan adalah
sebagai berikut :
1) Emergency prehospital transport
Untuk gawat darurat yang mengancam kelangsungan hidup pasien dengan
segera berkaitan kurangnya fasilitas diagnostik, kurangnya petugas atau
fasilitas yang aman dan terapi yang efektif di rumah sakit rujukan.
2) Semi-urgent prehospital transport
Untuk rujukan pada pasien dengan penyakit kritis untuk mendapatkan
layanan keperawatan yang lebih tinggi atau untuk layanan khusus.
21
2.2.4 Keuntungan Sistem Rujukan
Diantara keuntungan sistem rujukan adalah (Mubarak & Chayatin. 2009) :
1) Pelayanan yang diberikan sedekat mungkin ke tempat pasien, berarti bahwa
pertolongan dapat diberikan menjadi lebih cepat, murah dan secara
psikologis memberi rasa aman pada pasien dan keluarga.
2) Penataan yang teratur diharapkan pengetahuan dan ketrampilan petugas
daerah makin meningkat sehingga banyak kasus yang dapat dikelola di
daerah masing-masing.
3) Memudahkan masyarakat didaerah terpencil atau desa dapat memperoleh
dan menikmati tenaga ahi dan fasilitas kesehatan dari jenjang yang lebih
tinggi.
2.2.5 Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan
Pesien yang akan dirujuk harus sudah diperiksa dan dinyatakan layak
untuk dirujuk. Terdapat beberapa kriteria pada pasien yang akan dilakukan
rujukan, pasien akan dirujuk apabila memenuhi syarat dari salah satu diantara :
1) Hasil pemeriksaan fisik sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi
2) Hasil pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis ternyata tidak
mampu diatasi.
3) Memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi
pemeriksaan harus disertai pasien yang bersangkutan.
4) Apabila telah diobati dan dirawat ternyata memerlukan pemeriksaan,
pengobatan dan perawatan di sarana kesehatan yang lebih mampu.
22
Dalam prosedur merujuk dan menerima rujukan pasien ada dua pihak yang
terlibat, yaitu pihak pertama yang merujuk dan pihak kedua yang menerima
rujukan dengan rincian beberapa prosedur rujukan sebai berikut :
1) Prosedur standar merujuk pasien
a. Prosedur Klinis
(1) Melakukan anamnesa, melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang medik untuk menentukan diagnosa utama dan diagnosa
banding.
(2) Memberikan tindakan pra-rujukan sesuai kasus.
(3) Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan.
(4) Pasien gawat darurat harus didampingi petugas medis/para medis yang
berkompeten dibidangnya dan mengetahui kondisi pasien.
(5) Apabila pasien diantar dengan kendaraan instansi kesehatan keliling
atau ambulans, agar petugas dan kendaraan tetap menunggu pasien di
UGD dengan tujuan sampai ada kepastian tersebut mendapat
pelayanan dan kesimpulan dirawat inap atau rawat jalan.
b. Prosedur Administratif
(1) Dilakukan setelah pasien diberikan tindakan pra-rujukan
(2) Membuat catatan rekam medis
(3) Memberikan informed concent.
(4) Membuat surat rujukan
(5) Menyiapkan sarana dan prasarana transportasi dan sedapat mungkin
menjalin komunikasi dengan tempat tujuan rujukan.
(6) Pengiriman pasien sebaiknya dilaksanakan setelah menyelesaikan
administrasi pada instansi yang bersangkutan.
23
2) Prosedur Standar Menerima Rujukan Pasien
a. Prosedur Klinis
(1) Segera menerima dan melakukan stabilisasi pasien rujukan.
(2) Setelah stabil, meneruskan pasien keruang perawatan yang elektif untuk
perawatan selanjutnya atau meneruskan ke sarana kesehatan yang
lebih mampu untuk dirujuk lebih lanjut.
(3) Melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan keadaan klinis pasien.
b. Prosedur Admisintrasi
(1) Menerima, meneliti dan mendatangani surat rujukan pasien yang telah
diterima untuk ditempelkan pada rekam medis pasien.
(2) Apabila pasien tersebut diterima kemudian membuat tanda terima
pasien sesuai aturan masing-masing pada sarana kesehatan.
(3) Mengisi hasil pemeriksaan dan pengobatan serta perawatan pada kartu
catatan medis dan diteruskan ke tempat perawatan selanjutnya sesuai
kondisi pasien.
(4) Membuat informed consent
(5) Segera memberikan informasi terkait keputusan tindakan/perawatan
yang akan dilakukan kepada petugas atau keluarga pasien yang
mengantar.
(6) Apabila tidak sanggup memberikan pelayanan merujuk ke RS yang lebih
mempu dengan membuat surat rujukan.
(7) Mencatat identitas pasien
3) Presedur Standar Membalas Rujukan Pasien
(1) Prosedur Klinis
24
(2) Rumah sakit atau Puskesmas yang menerima rujukan pasien wajib
mengembalikan pasien ke rumah sakit/Puskesmas pengirim setelah
dilakukan proses antara lain :
a) Sesudah memeriksa medis, menjalani pengobatan dan perawatan
tetapi proses penyembuhan selanjutnya perlu di pantau secara
berkesinambungan oleh rumah sakit/Puskesmas.
b) Setelah pemeriksaan medis, diselesaikan tindakan kegawatdaruratan
klinis, tetapi proses pengobatan dan perawatan selanjutnya dapat
dilakukan di rumah sakit/Puskesmas pengirim.
(3) Melakukan pemeriksaan fisik dan mendiagnosa bahwa kondisi pasien
sudah memungkinkan untuk keluar dari perawatan di rumah
sakit/Puskesmas dalam keadaan :
a) Sehat atau sembuh
b) Sudah ada kemajuan klinis dan boleh rawat jalan.
c) Belum ada kemajuan klinis dan harus dirujuk ke instansi pelayanan
kesehatan yang lebih baik.
d) Pasien sudah meninggal.
(4) Rumah sakit/Puskesmas yang menerima rujukan pasien harus
memberikan informasi laporan dan informasi medis berupa balasan
rujukan kepada rumah sakit/Puskesmas pengirim pasien mengenai
kondisi klinis tarakhir pasien apabila pasien mengalami kemajuan
keadaan klinisnya.
25
a. Prosedur Administratif :
(1) Puskesmas yang merawat pasien berkewajiban memberi surat balasan
rujukan untuk setiap pasien rujukan yang pernah diterima kepada rumah
sakit/Puskesmas yang mengirim pasien yang bersangkutan.
(2) Surat balasan rujukan boleh diberikan kepada keluarga pasien yang
bersangkutan dan untuk memastikan informasi balik tersebut diterima
petugas kesehatan yang dituju.
4) Prosedur Standar Menerima Balasan Rujukan Pasien
a. Prosedur Klinis
(1) Melakukan kunjungan rumah pasien dan melakukan pemeriksaan fisik.
(2) Memperhatikan anjuran tindakan yang disampaikan oleh rumah
sakit/Puskesmas yang terakhir merawat pasien.
(3) Melakukan tindak lanjut atau perawatan kesehatan masyarakat dan
memantau kondisi klinis pasien sampai sembuh.
b. Prosedur Administrasi
(1) Meneliti isi surat balasan rujukan dan mencatat informasi tersebut di buku
register pasien rujukan, kemudian didokumentasikan pada rekam medis
pasien tersebut.
(2) Segera memberikan informasi kepada rekan pengirim pasien yang dirujuk
bahwa surat balasan rujukan sudah diterima.
2.2.6 Persiapan Rujukan
Menurut Mubarak & Chayatin (2009), persiapan yang harus dilakukan
sebelum merujuk pasien adalah sebagai berikut :
1) Persiapan tenaga kesehatan, memastikan pasien dan keluarga didampingi
oleh tenaga kesetahan yang kompeten.
26
2) Persiapan keluarga dengan memberi informasi keluarga pasien terkait
kondisi terakhir pasien, serta mamberi informasi terkait faktor yang
menyebabkan pasien dirujuk. Anggota keluarga yang lain harus ikut
mengantar pasien ke tempat rujukan.
3) Persiapan surat, memberi surat pengantar rujukan ke tempat tujuan rujukan.
4) Persiapan alat, membawa perlengkapan, peralatan dan bahan yang
diperlukan.
5) Persiapan obat, membawa obat-obatan esensial yang diperlukan selama
proses perjalanan.
6) Persiapan kendaraan, persiapan kendaraan yang cukup baik, yang selama
perjalanan memungkinkan pasien berada dalam kondisi yang nyaman dan
dapat mencapai tempat rujukan secepatnya. Kelengkapan ambulans, alat
dan bahan yang diperlukan.
7) Persiapan donor darah, siapkan kantung darah sesuai golongan darah
pasien atau caon pendonor darah dari keluarga.
2.2.7 Komponen Rujukan
2.2.7.1 Persiapan Pasien Sebelum Rujukan
Menurut AAGBI (2009); Blakeman & Branson (2013), Persiapan pasien
sangat tergantung dari diagnosis pasien dan kondisinya. Bila memungkinkan
pasien harus stabil terlebih dahulu, sehingga memungkinkan kondisi pasien stabil
selama merujuk bahkan sampai datang ke rumah sakit rujukan. Tindakan
stabilisasi ini meliputi:
1) Tindakan invasif seperti pembedahan bila diperlukan harus dikerjakan
terlebih dahulu untuk memelihara kestabilan keadaan umum pasien selama
evakuasi berlangsung. Pengecualian apabila harus segera mungkin
27
diberangkatkan untuk mendapatkan intervensi medis darurat di rumah sakit
tujuan rujukan.
2) Sebelum dilakukan prosedur evakuasi, jalan nafas pasien harus sudah aman
bila perlu dilakukan intubasi, ventilasi dan akses intravena.
3) Mengontrol perdarahan eksternal jika terjadi dengan menjahit (hatcing) atau
menekan perdarahan
4) Pemeriksaan penujang tambahan harus sudah dikerjakan sesuai indikasi
pasien (misalnya x-ray dan analisa gas darah).
5) Pasien harus dalam keadaan aman diatas stretcher (usungan medis)
6) Pasien terkoneksi dengan ventilator serta alat monitor elektronik sesuai
dengan derajat stabilitas keadaannya dengan keterbatasan waktu yang
tersedia
7) Cairan infuse harus sudah diperhitungkan dengan tepat dan obat sedasi
diberikan saat perjalanan.
8) Apabila terpasang thoraks drain intercosta harus sudah terkoneksi dengan
katup tipe Heimlich.
9) Apabila nutrisi parenteral dihentikan, maka harus diberikan infus dextrose
sebagai penggantinya dengan control gula darah yang ketat.
2.2.7.2 Penyediaan Peralatan Medis
Menurut PACT (2011), pengambilan keputusan untuk merujuk pasien
adalah proses yang dinamis, karena kondisi pasien bisa berubah sewaktu-waktu
berdasarkan kondisi kegawatan daruratan pasien dan proses selama merujuk.
Mengantisipasi kemungkinan kondisi yang tidak diinginkan selama merujuk
pasien akan membantu proses perawatan pra-rujukan, dengan tujuan
meminimalkan intervensi selama transportasi. Pemantauan secara berkala
28
sangat penting untuk mendapatkan hasil rujukan yang optimal. Untuk itu
diperlukan alat-alat penunjang untuk menstabilkan fisiologi tubuh.
Alat-alat yang harus dipersiapkan antara lain:
a. Alat bantu pernafasan
1) Intubasi, meliputi:
a) Pipa endotrakeal dan konektornya untuk dewasa dan anak-anak
b) Introducer, bougie, forcep margiil.
c) Laringoskop, bilah laringoskop, lampu laringoskop dan baterai.
d) Alat tambahan: syrange untuk mengembangkan cuff, manometer, forcep
klip, pipa endotrakeal leher angsa, jelly untuk pelican, plester, filter
penyerap cairan.
2) Alat bantu nafas lain
a) Sederhana: nasafaringeal tube dan orofaringeal tube
b) Supraglotik: laryngeal mask dan combitube
c) Infraglotik: krikotirotomi set dan pipa krikotiroid
d) Masker oksigen: (termasuk masker oksigen untuk FiO2 bertekanan tinggi,
tubing dan nebulizer.
e) Alat suction
(1) Sistem utama: biasanya terpasang pada kendaraan transport
(2) Portable suction
(3) Suction tubing, alat pemegang suction, kateter, cadangan alat tersebut
f) Self inflating hand ventilator, mask dan PEEP (positive end expiratory
pressure) valve
g) Ventilator portabel dengan alarm (alarm disconnect and overpressure)
h) Sirkuit ventilator dan cadangannya.
i) Spirometer dan manometer cuff (pengukur tekanan cuff pipa endotrakeal)
29
j) Capnograf (pengukur kadar karbondikosida)
k) Alat drainase pleura:
(1) Kateter interkosta dan kanula
(2) Set alat bedah beserta alat dan benang jarit
(3) Heimlich type valve dan drainage bags
l) Sistem oksigen utama (biasanya sudah ada di ambulans) yang sudah
cukup terisi oksigen dengan flowmeter dengan outlet dinding yang standar
m) Tabung oksigen cadangan dengan flowmeter dan outlet standar.
3) Alat bantu sirkulasi
a) Defibrillator/memonitor/pacu jantung eksterna beserta dengan leads,
elektroda dan pads.
b) Peralatan pemberian cairan intravena:
(a) Berbagai cairan infus: kristaloid isotonic, dekstrose, koloid
(b) Infus set dan blood set
(c) Kanula intravena berbagai ukuran: perifer dan sentral
(d) Ekstensi intravena set (three way dan needle free injection system)
(e) Syringe, jarum
(f) Alcohol swipes (untuk desinfeksi kulit), plester dan peralatan dressing
intravena.
(g) Pressure infusion bag
(h) Arteri line
4) Peralatan monitoring tekanan darah
a) Kanula arteri beserta arteri tubing dan transdusernya
b) Monitor tekanan darah invasif dan non invasif
c) Sphygmomanometer aneroid (non merkuri) dan cuff berbagai macam
ukuran dengan monitor elektrolit atau manual
30
d) Oksimeter jari dengan berbagai macam jenis serta ukurannya
5) Syringe/ infusion pump (minimal 2 buah) dan tubing yang sesuai
6) Peralatan lainnya
a) Kateter urine dan drainase/bag penampung urine
b) Gastric tube beserta bag penampungnya.
c) Peralatan bedah minor:
(a) Kateter interkostal, kateter vena sentral, krikotirotomi
(b) Instrument steril: scalpel, gunting, forcep, tempat jarum
(c) Peralatan menjahit dan jarum jahit.
(d) Antiseptic, peralatan desinfeksikulit dan perawatan pasca tindakan
(e) Sarung tangan steril (berbagai macam ukuran), gaun steril dan drapes
d) Cervical collar, peralatan immobilisasi tulang belakang, splints
e) Baju pneumatic anti syok (military antisyok trouser/MAST)
f) Temometer (non merkuri) dan atau probe temperature/ monitor
g) Selimut reflektif dan kain penutup yang berfungsi sebagai penahan panas
(thermal insulation drapes)
h) Perban, plester, gunting heavyduty
i) Sarung tangan dan kacamata proteksi
j) Wadah penampungan benda tajam dan terkontaminasi
k) Perban, plester, gunting heavyduty
l) Lampu senter
m) Label untuk memberi tanda pada obat dan bolpoin marker
n) Dekongestan nasal (untuk pencegahan barotitis).
7) Agen farmakologi
a) Obat-obatan susunan saraf pusat:
(a) Golongan narkotika dan non-narkotika analgetika
31
(b) Ansiotik/sedative
(c) Trankuiliser mayor
(d) Antikonvusan
(e) Hipnotika intravena/ obat anastetik
(f) Antiemetic
(g) Anastetik lokal
b) Obat-obatan jantung:
(a) Antiaritmia
(b) Antikolinergik
(c) Inotropik/ vasokontriktor
(d) Nitrat
(e) dan bloker dan obat hipotensif
c) Elektrolit dan obat-obatan renal:
(a) Sodium bikarbonat
(b) Kalsium klorida
(c) Magnesium
(d) Antibiotika
(e) Oksitosin
(f) Potassium
(g) Loop diuretika
(h) Osmotic diuretika
d) Obat-obatan metabolic dan endokrin:
(a) Glucose (konsentrat) dan glucagon
(b) Insulin
(c) Steroid
32
e) Obat-obatan lain:
(a) Blok neuromuscular: depolarisasi dan non depolarisasi
(b) Anti kolinesterase (untuk reverse obat blok neuromuscular)
(c) Antagonis narkotika dan benzodiazepine
(d) Bronkodilator
(e) Antihistamin
(f) Penghambat reseptor H2 dan penghambat pompa proton
(g) Antikoagulan atau trombolitik
(h) Vitamin K
(i) Tokolitik
f) Cairan: saline dan air steril
2.2.7.3 Dokumentasi Dan Hand Over
Menurut AAGBI (2009), dokumentasi yang lengkap harus disertakan pada
saat merujuk pasien prehospital yang terdiri dari:
a. Kondisi klinis dan vital sign pasien sebelumnya, selama dan sesudah
melaksanakan rujukan.
b. Terapi yang sudah diberikan
c. Hasil pemeriksaan penunjang: x-ray, scan dan pemeriksaan laboratorium
dan lain-lain
Sedangkan timbang terima/hand over menyampaikan informasi terkait isi
dokumentasi pasien oleh petugas baik perawat atau dokter kepada petugas yang
menerima baik dokter atau perawat
2.2.7.4 Pengawasan Pasien Selama Perjalanan (Transportasi)
Menurut Duun et al., (2007), pengawasan pasien pada saat merujuk
sangat penting, untuk mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan dan
33
memastikan pasien aman sampai di rumah sakit tujuan. Perlu dilakukan tindakan
sebagai berikut:
a. Kewaspadaan penuh harus dilakukan saat awal pemberangkatan, karena
pada saat itu terlihat dekompensasi tubuh dan masalah teknis seperti
diskonektifitas peralatan transportasi evakuasi akan terlihat.
b. Saat berada di dalam kendaraan transportasi perlu diperiksa ulang
kelengkapan dan kesiapan pakai alat-alat harus dilakukan
c. Terapi, monitoring dan kelengkapan dokumentasi harus dilakukan saat
transportasi. Monitoring meliputi observasi ketat tanda vital pasien dengan
menggunakan EKG, Saturasi O2, pemantauan tekanan darah invasif dan
non invasif, kapnografi dan temperature.
d. Apabila ada masalah kegawatdaruratan yang mengharuskan anggota tim
meninggalkan tempat duduknya maka hal tersebut harus diinformasikan
pada sopir kendaraan
2.2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sistem Rujukan Pasien
Merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi lancar tidaknya proses
rujukan pasien gawat darurat prehospital, yang terdiri dari:
1) Perencanaan
Menurut Duun (2007), perencanaan merupakan hal yang sangat penting
untuk mendukung pada saat merujuk pasien prehospital. Perencanaan ini
dilakukan oleh rumah sakit yang akan merujuk pasien yang diwakilli oleh dokter
senior atau konsultan yang dianggap mampu untuk melakukan pertimbangan
dan pengambilan keputusan terkait merujuk pasien yang meliputi (Brokalaki &
Alamanou, 2014):
a. Pertimbangan kondisi pasien cedera kepala yang membutuhkan perawatan
lanjutan di rumah sakit rujukan
34
Berat cedera kepala bisa dibagi berdasarkan skor yang didapatkan dari
Glasgow Coma Scale (GCS). Sistem penilaian ini merupakan sistem penilaian
fisiologis pertama dan diperkenalkan oleh Teasdale dan Jennet pada tahun 1974.
Nilai membuka mata (eye), respon verbal dan motorik yang selanjutnya
dijumlahkan, nilai berkisar antara 3-15. Perhitungan GCS cepat dan sederhana,
jika dilakukan pengulangan penghitungan akan dapat memberikan informasi
perkembangan atau perburukan pasien. Penilaian ini bersifat subjektif pada
beberapa kasus. respon verbal pasien yang dilakukan intubasi dan trakeostomi
atau respon membuka mata pasien dengan pembengkaan wajah berat sehingga
tidak dapat dinilai dan masalah inilah yang membatasi penggunaan GCS. Berikut
ini tabel panduan untuk penilaian skor menggunakan GCS menurut Grote,
Bocker, Mutschler, Boulillon dan Lefering (2011) :
Tabel 2.1 Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)
Respon Penilaian Nilai
Membuka Mata
Spontan Membuka mata dengan diberikan stimulus Membuka mata dengan diberikan stimulus nyeri Tidak ada respon
4321
Verbal
Orientasi baik Orientasi terganggu (bingung) Orientasi tidak jelas Suara tidak jelas Tidak ada respon
54321
Motorik
Mampu bergerak Melokalisir nyeri Menarik anggota badan yang diberikan stimulus nyeri Fleksi ketika diberi stimulus nyeri Ekstensi ketika diberi stimulus nyeri Tidak ada respon
654321
b. Petugas kesehatan yang mendampingi rujukan pasien gawat darurat.
Menurut Eizanberg (2013) pasien kritis dan gawatdarurat seharusnya
ditemani oleh pendamping. Ketentuan petugas kesehatan yang menemani
rujukan pasien tergantung dari kondisi pasien. Seorang dokter senior atau
konsultan hendaknya mengambil keputusan tentang siapa yang harus
35
menemani pasien yang dirujuk ke rumah sakit rujukan atau pun perawat
yang sudah ahli dan mahir dalam mendampingi rujukan pasien.
Persyaratan kebutuhan petugas kesehatan yang mendapingi rujukan
pasien prehospital berdasarkan kondisi kegawatdaruratan pasien. Tidak
jarang pula, jika dalam keadaan yang benar-benar mendesak tenaga
kesehatan lainnya juga mendampingi rujukan pasien gawat darurat.
c. Proses rujukan pasien sudah mendapat persetujuan pasien (informed
consent).
Informed consent didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
medik yang akan dilakukan terhadap pasien. Hak-hak pasien adalah hak
atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik. Tujuan
dari surat persetujuan tindakan medis. Informed consent bagi petugas
kesehatan adalah membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis
dan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dan sebagai
pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari
pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki, bagi
pasien mampu memahami informasi yang diberikan, sebagai pedoman
membuat keputusan serta merupakan penghargaan terhadap hak pasien
dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila
terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya persetujuan
pelayanan kesehatan, bagi dokter gigi adalah membuat rasa aman dalam
menjalankan tindakan medis pada pasien dan sebagai pembelaan diri
terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau
keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki (Soelistyawatie,
2011).
36
2) Kompetensi Petugas Kesehatan yang Mendampingi Rujukan Pasien
Menurut Dunn et al., (2007), Bahaya selama transportasi memiliki
kontribusi lancar tidaknya rujukan pasien prehospital. Bahaya selama
transportasi ini diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
a. Tingkat Pendidikan tenaga kesehatan yang mendampingi dan mengirim
pasien rujukan.
Pendidikan merupakan salah satu karakteristik seorang individu, hal
yang sama juga dirasakan oleh profesi kesehatan terlebih lagi sebagai
perawat dimana tingkat pendidikannya sangatlah bervariasi. Pengetahuan
seorang tenaga kesehatan dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
formal yang telah ditempuhnya. Kompetensi yang ditetapkan pada setiap
jenjang pendidikan pastinya juga akan berbeda, dimulai dari tingkat
pendidikan D3, S1, S2 ataupun jenjang Spesialis.jenjang pendidikan yang
bervariasi ini dapat menyebabkan perbedaan cara pandang dalam menilai,
menghadapi dan memutuskan sesuatu masalah yang dituntut secara cepat
dan tepat (Andrayani, 2014).
Menurut Eizanberg (2013), didapatkan hubungan yang signifikan
antara pendidikan dengan praktik dan aplikasi keperawatan. Bila ditelusuri
lebih lanjut lagi mengenai karakteristik pendidikan keperawatan, kategori
tertinggi dalam pelaksanaan ketrampilan dan aplikasi keperawatan
didominasi pendidikan S1, sementara yang berlatar belakang pendidikan
D3 mayoritas memiliki kompetensi sedang.
Strategi peningkatan dan pengembangan jenjang karir perawat
adalah dengan peningkatan tingkat pendidikan, dimana telah terbukti
mendukung perawat dalam mengaplikasikan praktek keperawatan
37
profesional yang berkualitas khususnya dalam bidang pelayanan dan
penanganan kondisi gawat darurat dan rujukan (Arindika, 2014)
b. Pelatihan
Perawat yang mendampingi rujukan pasien gawat darurat dapat
memberikan tindakan pertolongan di prehospital, dimana tindakan tersebut
sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan ketrampilan. Perawat tersebut
perlu meningkatkan kemampuan kompetensi dengan terus mengikuti
pelatihan-pelatihan secara berkesinambungan dan selalu berinteraksi
dengan kasus gawat darurat untuk meningkatkan pengalaman dalam
mendampingi rujukan pasien cedera kepala (Andrayani, 2014).
Peningkatan kompetensi perawat dapat dilihat dari beberapa pelaksanaan
pelatihan yang dilakukan sesuai dengan profesionalisme, khususnya dalam
menangani rujukan pasien. Pelatihan perawat untuk menunjang kemahiran
dalam mendapingi rujukan merupakan suatu program yang terstandart
seperti ATLS, ACLS, EMS dan Basic Ambulance Protocols. Aplikasi
program pelatihan yang dilaksanakan dapat diaplikasikan pada kondisi
lingkungan yang ada di daerah masing-masing, sehingga mampu
meningkatkan ketrampilan perawat dalam menangani kasus rujukan
(ACEM, 2010).
c. Pengalaman Melakukan dan Mendampingi Rujukan
Faktor lainnya yang berpengaruh adalah pengalaman, kesadaran,
percaya diri dan pilihan dalam menggunakan protokol yang berlaku.
Kondisi pasien cedera kepala yang parah, tidak jarang menimbulkan
keraguan, kepanikan dan kurang percaya diri dari seorang perawat saat
memberikan tindakan asuhan keperawatan. Panik dan tidak percaya diri ini
mempengaruhi keterlambatan dalam pengambilan keputusan dalam
38
melakukan tindakan (Arindika, 2014). Selain kompetensi berdasarkan
tingkat pendidikan formal, terdapat karateristik lain yang juga berpotensi
menetukan kompetensi perawat dalam melakukan dan mendampingi
rujukan adalah seperti pengalaman yang diukur dengan lamanya bekerja.
Berdasarkan karakteristik lamanya bekerja perawat dalam ketrampilan dan
pengalaman didapatkan bahwa perawat memiliki masa kerja antara 1-5
tahun memiliki kompetensi pemula, 6-10 tahun berkompetensi sedang dan
diatas 10 tahun berkarakter profesional dalam praktik dan aplikasi dalam
mendampingi rujukan (Eizanberg, 2013).
3) Bahaya Selama Transportasi
Bahaya selama transportasi memiliki kontribusi untuk menjaga
kelancaran rujukan pasien prehospital. Bahaya selama transportasi ini meliputi:
a. Pendampingan Saat Rujukan
Layanan pendapingan ini tidak hanya diperuntukkan bagi pasien
dengan jaminan kesehatan dan pembiayaan tertentu saja, melainkan untuk
semua pasien. Tenaga kesehatan yang mendampingi adalah perawat atau
dokter yang sudah mampu dan berpengalaman saat menangani kasus
gawat darurat, dalam hal ini bergantung pada jenis masalah kesehatan
yang diderita (Luti dan Hasanbasri, 2012). Pendampingan harus dilakukan
pada saat transport ke rumah sakit yang telah ditentukan kualitas,
kapasitas dan fasilitasnya. Pada beberapa kasus rujukan, keluarga
mengaku telah mambawa pasien cedera kepala di layanan kesehatan
terdekat, namun meski fasilitas yang menunjang untuk pertolongan cedera
kepala sangat terbatas petugas kesehatan tidak segera merujuk ke rumah
sakit yang memiliki pelayanan dan fasilitas lebih baik karena kemampuan
39
petugas kesehatan dalam melakukan komunikasi dengan keluarga yang
kurang baik (ACEM, 2010).
Adapun beberapa prosedur pokok yang harus dilakukan oleh perawat
adalah sebagai berikut :
1) Dokter jaga IGD memeriksa pasien dan menegakkan diagnosa
2) Dokter menentukan apakah ada fasilitas atau tenaga dokter ahli untuk
kasus tersebut, jika tidak ada dilakukan kerumah sakit yang
mempunyai fasilitas lebih baik.
3) Rujukan kerumah sakit, dilakukan jika keadaan pasien sudah stabil.
4) Dokter menulis pada rekam medis pasien bahwa pasien dirujuk ke
rumah sakit lain disertai alasan rujukan.
5) Dokter membuat surat rujukan dan lembar persetujuan dari keluarga.
6) Lengkapi persiapan untuk dipindahkan dengan peralatan penunjang
hidup dan peralatan lainnya, obat dan bahan yang akan diperlukan
selama rujukan sesuai dengan kondisi dan status pasien.
7) Menghubungi rumah sakit yang sudah ditentukan.
8) Pasien rujukan harus didampingi oleh 1 orang perawat senior yang
telah menguasai bantuan hidup dasar (BLS).
9) Semua hal terjadi terkait perubahan kondisi pasien dan tindakan yang
telah dilakukan dicatat yang selanjutnya disampaikan kepada petugas
rumah sakit rujukan.
10) Petugas yang mendampingi melakukan serah terima pasien kepada
rumah sakit rujukan.
40
b. Jarak Wilayah Kerja Perawat saat menangani pasien gawat darurat ke
rumah sakit rujukan
Pelayanan tindakan gawat darurat yang profesional misalkan perawat
dan sopir ambulans dengan pengalaman pelatihan minimal BLS dan PPGD
dapat lebih mempersingkat durasi response time. Ketersediaan informasi
lokasi rumah sakit, fasilitas dan layanan yang tersedia di rumah sakit dan
tempat kejadian dapat tersedia secara jelas dan terkini. Sehingga,
penentuan respon panggilan gawat darurat dan pengiriman ambulans
untuk menjemput pasien gawat darurat dapat lebih cepat dan tepat. Oleh
karena itu, kasus pelayanan transport gawat darurat dapat menghindari
penundaan dan keterlambatan pada semua kasus gawat darurat terutama
cedera kepala (Andrayani, 2014).
Hal yang mempengaruhi kecepatan tindakan saat merujuk adalah
lokasi demografi, semakin jauh lokasi dari rumah sakit rujukan semakin
besar pula kesempatan pasien untuk kehilangan golden periode cedera
kepala. Jarak mulai dari pertama kali diberikan pertolongan hingga
kecepatan masuk rumah sakit rujukan saling berhubungan untuk
meminimalkan kecacatan atau bahkan kematian pasien cedera kepala.
Semakin dekat lokasi pasien pertama kali diberikan pertolongan dengan
layanan rumah sakit rujukan maka akan dimungkinkan pasien mampu
memanfaatkan waktu dan meminimalkan kecacatan dan kematian
(Sekoranja et al., 2009). Andrayani (2014) mengungkapkan bahwa
demografi untuk rujukan pasien antara pertama kali kejadian dengan
layanan rujukan dibagi menjadi 2 kategori yaitu jarak > 7km tanpa
kemacetan akan mengalami keterlambatan penanganan cedera kepala 3
kali dibanding < 7km.
41
c. Waktu yang Ditempuh Selama Rujukan
ACEM (2010) menjelaskan bahwa kecepatan dan kemampuan tim
gawat darurat dalam memberikan layanan pananganan sangat
dipengaruhi oleh sistem pelayanan yang terkait oleh penanganan
sebelum di rumah sakit. Peralatan yang lengkap serta layanan yang
mendukung dalam penanganan gawat darurat. Karena jangan sampai
pasien kehilangan golden periode. Terlebih lagi untuk pasien cedera
kepala yang memiliki golden periode sangat pendek yaitu 3 jam.
Perawatan awal adekuat yang diberikan kepada pasien cedera kepala
lebih dari 3 jam, maka akan dapat menimbukan resiko kecacatan dan
kematian lebih besar (Brain Injury Assosiation of America, 2012).
d. Peralatan dan Obat-obatan Gawat Darurat
Menurut PACT (2011), pengambilan keputusan untuk merujuk pasien
adalah proses yang dinamis, karena kondisi pasien bisa berubah sewaktu-
waktu berdasarkan kondisi kegawatan daruratan pasien dan selam
melakukan rujukan. Mengantisipasi kemungkinan kondisi yang tidak
diinginkan pada saat merujuk pasien akan membantu perawatan selama
rujukan, dengan tujuan meminimalkan intervensi selama transportasi.
Pemantauan terus-menerus sangat penting untuk rujukan yang optimal.
Untuk itu diperlukan alat-alat penunjang untuk menstabilkan fisiologis tubuh
yang berada di dalam ambulans Adapun beberapa prosedur pokok yang
harus dilakukan oleh perawat adalah sebagai berikut :
1) Ruangan pasien terhubung langsung (tidak ada sekat penghalang)
dengan tempat pengemudi.
2) Tempat duduk bagi petugas dan keluarga tersedia didekat pasien
3) Terdapat sabuk pengaman untuk petugas kesehatan dan pasien
42
4) Stop kontak khusus 12 V DC di ruang pasien
5) Lampu ruangan secukupnya dan lampu sorot yang dapat digerakkan
6) Tabung oksigen lengkap dengan isi dan canule, masker, NRBM dan
RBM
7) Gantungan infus terletak sekuangnya 90cm diatas tempat tidur pasien
8) Tensimeter dengan manset anak dan dewasa
9) Stetoskop
10) Obat-obatan gawat darurat
11) Cairan infus
Dengan kriteria penilaian kelangkapan peralatan dan obat-obatan
gawat darurat didalam ambulans antara lain;
1). Tipe ambulans standart beserta peralatan dan obat-obatan lengkap
(76-100%)
2). Tipe ambulans kurang standart beserta peralatan dan obat-obatan
lengkap (51-75%)
3). Tipe ambulans kurang standart dengan peralatan dan obat-obatan
tidak lengkap(26-50%)
4). Tipe ambulans tidak standart dengan peralatan dan obat-obatan tidak
lengkap (1-26%).
(AAGBI Safety Guideline, 2009)
2.3 Teori Interpersonal Nursing dari Heldegrad E. Peplau
2.3.1 Dasar Filosofi
Teori Hildegard Peplau berfokus pada individu, perawat, dan proses
interaktif yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien.
Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan perasaan, dan
keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Tujuan
43
keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga, dan untuk membantu
klien mencapai kematangan perkembangan kepribadian (Fawcett, 2005).
Oleh sebab itu perawat berupaya mengembangkan hubungan antara perawat
dan klien dimana perawat bertugas sebagai narasumber, konselor, dan wali.
Pada saat klien mencari bantuan, pertama perawat mendiskusikan
masalah dan menjelaskan jenis pelayanan yang tersedia. Dengan
berkembangnya hubungan antara perawat dan klien, perawat dan klien
bersama-sama mendefinisikan masalah dan kemungkinan penyelesaian
masalahnya. Dari hubungan ini klien mendapatkan keuntungan dengan
memanfaatkan pelayanan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya dan
perawat membantu klien dalam hal menurunkan kecemasan yang
berhubungan dengan masalah kesehatannya. Teori Peplau merupakan teori
yang unik dimana hubungan kolaborasi perawat-klien membentuk suatu
“kekuatan mendewasakan” melalui hubungan interpersonal yang efektif
dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien. Ketika kebutuhan dasar telah
diatasi kebutuhan yang baru mungkin muncul. Hubungan interpersonal
perawat-klien, digambarkan sebagai fase-fase yang saling tumpang tindih
perti berikut ini : orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi (Fawcett,
2005).
Teori dan gagasan Peplau dikembangkan untuk memberikan bentuk
praktik keperawatan psikiatri. Penelitian keperawatan tentang kecemasan,
empati, instrumen perilaku, dan instrumen untuk mengevaluasi respon verbal
dihasilkan dari model konseptual Peplau (Alligood & Tomey, 2010).
2.3.2 Asumsi Dasar Teori Interpersonal
Menurut Peplau dalam keperawatan dapat diartikan sebagai seni
penyembuhan juga merupkan suatu proses interpersonal, karena melibatkan
44
interaksi antara dua atau lebih individu yang mempunyai tujuan bersama, dimana
tujuan ini akan memacu proses terapeutik antara perawat dan klien mempunyai
rasa menghargai untuk mencapai tujuan tersebut melalui tahap-tahap dengan
pola tertentu yang merupakan rangkain proses keperawatan (Alligood & Tomey,
2010).
Beberapa pemikiran yang melandasi konsep keperawatan menurut
Peplau adalah :
a. Keperawatan
Disiplin praktek untuk menghasilkan transformasi energi untuk pencapaian
kematangan kepribadian
b. Manusia
Merupakan sistem mandiri yang terdiri dari fisik, biokimia, karakteristik,
fisiologi dengan mengutamakan psikologi yang dalam posisi tak stabil
c. Kesehatan
Tingkat produktif konstruktif dan kreatif dari individu sebagai aktifitas
interpersonal dan perkembangan tugas yang dapat dilakukan.
d. Lingkungan
Beserta hal-hal lainnya yang penting dengan siapa klien berinteraksi.
2.3.3 Proses Interpersonal Nursing
Dalam ilmu komunikasi, proses interpersonal didefinisikan sebagai proses
interaksi secara simultan dengan orang lain dan saling mempengaruhi satu
dengan lainnya, biasanya dengan tujuan untuk membina suatu hubungan
(Alligood & Tomey, 2010). Berkaitan dengan hal tersebut, maka proses
interpersonal yang dimaksud antara perawat dan klien ini menggambarkan
metode transpormasi energi atau ansietas klien oleh perawat yang terdiri dari 4
fase yaitu :
45
1) Fase Orientasi
Lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan bantuan
dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara
efektif dalam pemberian askep pada klien. Tahap ini ditandai dimana perawat
melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi
pengumpulan data.
2) Fase Identifikasi
Terjadi ketika perawat memfasilitasi ekspresi perilaku pasien dan
memberikan asuhan keperawatan yang tanpa penolakan diri perawat
memungkinkan pengalaman menderita sakit sebagai suatu kesempatan
untuk mengorientasi kembali perasaan dan menguatkan bagian yang positif
dan kepribadian pasien. Respon pasien pada fase identifikasi dapat berupa :
a. Pasrtisipan mandiri dalam hubungannya dengan perawat
b. Individu mandiri terpisah dari perawat.
c. Individu yang tak berdaya dan sangat tergantung pada perawat.
3) Fase Eksploitasi
Memungkinkan suatu situasi dimana pasien dapat merasakan nilai
hubungan sesuai pandangan/persepsinya terhadap situasi. Fase ini
merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini
perawat membantu klien dalam memberikan gambaran kondisi klien dan
seluruh aspek yang terlibat didalamnya.
4) Fase Resolusi
Secara bertahap pasien melepaskan diri dari perawat. Resolusi ini
memungkinkan penguatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri dan menyalurkan energi kearah realisasi potensi.
46
Keempat fase tersebut merupakan rangkaian proses pengembangan
dimana perawat membimbing pasien dari rasa ketergantungan yang tinggi
menjadi interaksi yang saling tergantung dalam lingkungan sosial. Artinya
seorang perawat berusaha mendorong kemandirian pasien. Pemaparan ini
menunjukkan bahwa teori Hildegard E. Peplau berfokus pada individu, perawat
dan proses interaktif yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien.
Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan perasaan, dan
keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Artinya suatu hasil
proses kerja sama manusia dengan manusia lainnya supaya menjadi sehat atau
tetap sehat (hubungan antar manusia). Tujuan keperawatan adalah untuk
mendidik klien dan keluarga dan untuk membantu klien mencapai kematangan
perkembangan kepribadian. Oleh sebab itu, perawat berupaya mengembangkan
hubungan perawat dan klien melalui peran yang diembannya (narasumber,
konselor, dan wali).
Adapun kerangka kerja praktik dari teori Peplau memaparkan bahwa
keperawatan adalah proses yang penting, terapeutik, dan interpersonal.
Keperawatan berpartisipasi dalam menyusun struktur system asuhan kesehatan
untuk menfasilitasi kondisi yang alami dari kecenderungan manusia untuk
mengembangkan hubungan interpersonal (Berntsson & Hildingh, 2012).
2.3.4 Peran Perawat dalam Hubungan Interpersonal
Peplau membagi 6 peranan berbeda dari perawat yang timbul pada
bermacam-macam fase hubungan perawat-pasien.
a. Peranan Orang Asing (Stranger)
Antara perawat dan pasien disini adalah sebagai orang asing/tidak
mengenal satu sama lain. Perawat harus bersikap ramah dan emosi yang
47
wajar, tidak mendikte pasien tapi dapat menerima keadaan pasien apa
adanya.
b. Peranan Sebagai Narasumber (Resource Person)
Perawat harus mengemukakan jawaban yang spesifik, khususnya yang
berkenaan dengan informasi kesehatan dan interpretasi (penilaian)
pasien terhadap rencana perawatan dan pengobatan.
c. Peranan Sebagai Pendidik (Teaching Role)
Peplau memisahkan teaching role ini ke dalam dua kategori :
1) Instruksioal : berisi pemberian informasi dan penjelasan dalam
ruang lingkup pendidikan.
2) Eksprerensial: Menggunakan pengalaman sebagai dasar dari
kemajuan hasil pengarahan.
d. Peranan Sebagai Pemimpin (Leadership Role)
Ini melibatkan proses demokratis. Perawat membantu pasien menghadapi
masalahnya dengan cara bekerjasama dan partisipasi aktif.
e. Peranan Sebagai Pengganti (Surrogate Role)
Disini pasien berperan seperti perawat. Sikap dan perilaku perawat tentu
menciptakan perasaan tertentu bagi pasien dan ini akan direspon dalam
hubungan perawat dan klien.
f. Peranan Sebagai Konseling (Conseling Role)
Perawat memberi respon bagi pasien yang memerlukan. Bimbingan untuk
menolong pasien mengingat dan memahami secara utuh apa yang terjadi
(Alligood & Tomey, 2010).
48
2.3.5 Implementasi Teori Interpersonal Nursing dalam Proses Rujukan
Keperawatan Gawat Darurat
Pada awalnya, Peplau mengembangkan teorinya sebagai bentuk
keprihatinannya terhadap praktik keperawatan “custodial care”, sehingga sebagai
perawat jiwa, melalui tulisannya ia kemudian mempublikasikan teorinya
mengenai hubungan interpersonal dalam keperawatan. Dimana dalam
memberikan asuhan keperawatan ditekankan pada perawatan yang bersifat
terapeutik.
Aplikasi yang dapat kita lihat secara nyata yaitu pada saat klien mencari
bantuan, pertama perawat mendiskusikan masalah dan menjelaskan jenis
pelayanan yang tersedia. Dengan berkembangnya hubungan antara perawat dan
klien memungkinkan langkah selanjutnya bersama-sama mendefinisikan
masalah dan kemungkinan penyelesaian masalahnya. Dari hubungan ini klien
mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan pelayanan yang tersedia untuk
memenuhi kebutuhannya dan perawat membantu klien dalam hal menurunkan
kecemasan yang berhubungan dengan masalah kesehatannya.
Teori peplau merupakan teori yang unik dimana hubungan kolaborasi
perawat klien membentuk suatu “kekuatan mendewasakan” melalui hubugan
interpersonal yang efektif dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien. Ketika
kebutuhan dasar telah diatasi, kebutuhan yang baru mungkin muncul. Hubungan
interpesonal perawat klien digambarkan sebagai fase-fase yang saling tumpang
tindih seperti berikut ini orientasi, identifikasi, penjelasan dan resolusi.
Tabel 2.2 : Implementasi Teori Interpersonal Nursing dalam Proses Rujukan Keperawatan Gawat Darurat.
Fase Fokus
Orientasi Keputusan pasien memanggil perawat gawat darurat untuk meminta bantuan sampai dengan petugas tiba di lokasi kejadian dan
49
beradaptasi dengan situasi yang terjadi
Identifikasi Dilakukan pengkajian terhadap apa yang pasien butuhkan pada saat itu, termasuk pemberian bantuan oleh perawat terampil terkait airway, breathing dan circulation
Eksploitasi Dimuai saat pasien berada di dalam ambulans dan selama proses perjalanan pasien mendapatkan pendampingan perawat secara penuh hingga tiba di rumah sakit rujukan.
Resolusi Pasien sampai di rumah sakit dan menjalani perawatan yang selanjutnya berhubungan dengan masalah kesehatan yang terjadi pada dirinya
(Berntsson & Hildingh, 2012).
2.4 Outcome Rujukan Pasien Cedera Kepala yang Dirujuk
Menenutukan outcome pada rujukan pasien cedera kepala seringkali
mengalami kesulitan. Hal ini dikarenaka keterbatasan penilaian klinik awal,
lamanya penyembuhan pada pasien cedera kepala dan banyaknya variabel yang
mempengaruhi prognosis pasien cedera kepala. Outcome merupakan suatu
perubahan menjadi situasi tertentu yang dihasilkan dari sebuah aksi atau
tindakan yang terjadi. Kata outcome digunakan untuk sequale, konsekuensi dan
hasil akhir atau temuan spesifik lain yang terjadi akibat rujukan pasien cedera
kepala (Ponsford et al., 2014). Ada skala pengukuran outcome pasien rujukan
cedera kepala yang biasa digunakan yaitu glasgow outcome scale (GOS).
Perkiraan outcome setelah terjadinya rujukan cedera kepala merupakan
suatu masalah besar, terutama pada pasien dengan cedera kepala. Evaluasi
outcome fungsional setelah keluar dari rumah sakit pada individu menjadi bagian
penting suatu program rehabilitasi. Evaluasi juga menjadi langkah terbaik untuk
mengukur keefektifak penatalaksanaan yang diberikan ketika manjalani rujukan
(Locker & Morris, 2003; Ponsford et al., 2014).
Glasgow outcome scale (GOS) merupakan parameter yang sudah
diterima secara menyeluruh sebagai suatu standart untuk menjelasknan outcome
50
pada rujukan pasien cedera kepala. Glasgow outcome scale (GOS)
dikembangkan pertama kali oleh Jannet dan Bond pada tahun 1975. Merekan
mengembangkan GOS dengan tujuan mengklarifikasi bermacam-macam kondisi
outcome yang terdapat pada pasien cedera kepala. Penilaian outcome pada
pasien cedera kepala menggunakan GOS dilakukan saat pasien tiba di IGD
rumah sakit pusat rujukan (Leon-Carrion, 2006).
GOS terdiri dari 5 komponen yang digunakan untuk menentukan outcome
pasien cedera kepala, yaitu death (meninggal), vegetative state (sadar tanpa
respon), savere disability (cacat berat), moderate disability (cacat sedang) dan
good recovvery (baik). Tingkatan ini dikelompokkan menjadi outcome baik (GOS
= 4-5) dan outcome buruk (GOS = 1-3).
Tabel 2.3 Glasgow Outcome Scale (GOS)
No. Skala Singkatan Keterangan
1 Death D Meninggal
2 Vegetative State VS Koma, aktifitas dibantu total oleh keluarga dan perawat
3 Savere Disability SD
Sadar tetapi aktifitas tergantung oleh orang lain, aktifitas sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain, tidak mampu mandiri.
4 ModerateDisability MD Mampu beraktifitas disertai dengan kehilangan beberapa atau
sebagian anggota tubuh atau kemampuannya.
5 GoodRecovvery GR Baik
Skala pengkajian GOS diatas menggambarkan disabilitas dan kecacatan
dibandingkan gangguan yang difokuskan pada bagaimana trauma
mempengaruhi fungsi pada kehidupan dibanding hanya defisit dan manifestasi
klinis yang ditimbulkan oleh trauma (Leon-Carrion, 2006; Thais et al., 2014).
4.5 Kerangka Teori
Pasien Cedera Kepala
Komplikasi : - Hemorrhagie - Koma - Kejang - Infeksi - Edema - Herniasi - Disabilitas - Parkinson
Alzeimer
Etiologi : Kecelakaan Lalu Lintas Jatuh Trauma Benda Tumpul Trauma Benda Tajam Kecelakaan Rumah Tangga Cedera Lahir
Penatalaksanaan : - Observasi 24 jam - Puasakan terlebih dahulu. - Terapi intravena - Profilaksi sesuai ndikasi - Obat-obat vaskulasisasi. - Pemberian analgetik. - Pembedahan bila ada indikasi. - Rujuk ke layanan yang lebih
lengkap