40
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas mengenai teori dan konsep yang terkait dengan masalah penelitian. Uraian tinjauan pustaka meliputi konsep cedera kepala, rujukan pasien gawat darurat dan teori interpersonal nursing dari Heldegrad E. Peplau. 2.1 Cedera Kepala 2.1.1 Definisi Cedera Kepala Cedera kepala merupakan suatu keadaan dimana bagian kepala mengalami gangguan baik berupa fungsi dan strukturnya, setelah mengalami trauma tumpul atau penetrasi. Cedera kepala menimbulkan kelainan struktural dan atau fungsional pada jaringan otak, bahkan dapat mengganggu kesadaran dan menimbulkan kerusakan pada kepala bukan bersifat konginetal ataupun degeneratif, tetapi disebabkan benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi dan mengubah kesadaran serta menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif yang permanen. Dimana resiko kerusakan tersebut lebih besar apabila pertolongan awal yang diberikan 3 jam (Brain Injury Assosiation of America, 2012). Beberapa kondisi pasien dengan cedera kepala dapat diukur menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Kasus cedera kepala yang parah biasanya memiliki nilai GCS kurang dari atau sama dengan 8, sehingga dapat mengalami kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intrakranial. Ada beberapa kasus cedera kepala yang parah tetapi skor GCS 8 ketika terdapat perburukan neurolois, fraktur tengkorak, pupil atau motorik tidak ekual, cedera

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas mengenai teori dan konsep yang terkait

dengan masalah penelitian. Uraian tinjauan pustaka meliputi konsep cedera

kepala, rujukan pasien gawat darurat dan teori interpersonal nursing dari

Heldegrad E. Peplau.

2.1 Cedera Kepala

2.1.1 Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala merupakan suatu keadaan dimana bagian kepala

mengalami gangguan baik berupa fungsi dan strukturnya, setelah mengalami

trauma tumpul atau penetrasi. Cedera kepala menimbulkan kelainan struktural

dan atau fungsional pada jaringan otak, bahkan dapat mengganggu kesadaran

dan menimbulkan kerusakan pada kepala bukan bersifat konginetal ataupun

degeneratif, tetapi disebabkan benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi

dan mengubah kesadaran serta menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif

yang permanen. Dimana resiko kerusakan tersebut lebih besar apabila

pertolongan awal yang diberikan 3 jam (Brain Injury Assosiation of America,

2012).

Beberapa kondisi pasien dengan cedera kepala dapat diukur

menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Kasus cedera kepala yang parah

biasanya memiliki nilai GCS kurang dari atau sama dengan 8, sehingga dapat

mengalami kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam,

dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intrakranial. Ada

beberapa kasus cedera kepala yang parah tetapi skor GCS 8 ketika terdapat

perburukan neurolois, fraktur tengkorak, pupil atau motorik tidak ekual, cedera

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

12

kepala disertai keluarnya cairan cerebro spinal (CSS) atau tampak jaringan otak

dan perdarahan intrakranial (Mary, 2011; Hadi, 2014).

Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak

dan otak (Smeltzer et al, 2010).

2.1.2 Macam-macam Cedera Kepala

Menurut, Smeltzer et al (2010) cedera kepala ada 2 macam yaitu:

a. Cedera kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak

atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa

dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak

menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,

jaringan sel otak akibat benda tajam/tembakan, cedera kepala terbuka

memungkinkan kuman pathogen memiliki akses langsung ke otak.

b. Cedera kepala tertutup

Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan

yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,

kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala

tertutup meliputi: (commotio) gagar otak, (contusion) memar, dan laserasi.

Selain klasifikasi diatas, dapat digunakan juga penilaian GCS untuk

menentukan beratnya cedera kepala yang dialami pasien menurut, sebagai

berikut :

a. Cedera Kepala Ringan (CKR)

1) GCS = 13 – 15

2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi < 30 menit.

3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

b. Cedera Kepala Sedang (CKS)

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

13

1) GCS = 9 – 12

2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang

dari 24 jam.

3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.

c. Cedera Kepala Berat (CKB)

1) GCS = 3 – 8

2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

2.1.3 Manifestasi Klinik Cedera Kepala

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi

cedera otak menurut Hammond and Zimmermann (2013), sebagai berikut :

a. Cedera Kepala Ringan

1) Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah

cedera.

2) Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.

3) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku

4) Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu

atau lebih lama setelah (contusio) cedera otak akibat trauma ringan.

b. Cedera Kepala Sedang

1) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan

atau bahkan koma.

2) Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit

neurologis, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,

disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan

pergerakan.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

14

c. Cedera Kepala Berat

1) Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah

terjadinya penurunan kesehatan.

2) Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera

terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

3) Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.

4) Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area

tersebut.

2.1.4 Etiologi

Menurut Hammond and Zimmermann (2013), etiologi cedera kepala

dibagi menjadi beberapa penyebab, yaitu :

1) Kecelakaan lalu lintas

Pasien cedera kepala yang masuk ke IGD rumah sakit sebesar 13%

disebabkan karena kecelakaan lalu lintas.

2) Jatuh

Pasien cedera kepala yang masuk ke IGD rumah sakit sebesar 40%

karena jatuh

3) Trauma Benda Tumpul

Trauma benda tumpul menyebabkan substansi otak rusak karena energi

yang diteruskan ke subtansio diserap lapisan pelindung yaitu rambut, kulit

kepala dan tengkorak.

4) Trauma Benda Tajam

Trauma ini dapat menyebabkan trauma area setempat dan menimbulkan

cedera lokal.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

15

5) Kecelakaan Rumah Tangga

Pasien cedera kepala yang disebabkan karena kekerasan rumah tangga

yang masuk ke IGD adalah sebesar 20%.

6) Cedera Lahir

Cedera lahir merupakan cedera mekanik yang disebabkan karena proses

persalinan atau kelahiran.

2.1.5 Patofisiologi

Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat

ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera

percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur

kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena

terkena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila

kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil

atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat

gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi

badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan

pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan

robekan pada substansi alba dan batang otak.

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar

pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau perdarahan.

Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi

serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi

hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas

kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi

intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

16

kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,

hiperkarbia, dan hipotensi.

Cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala

berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal

diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom

intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan

massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan

dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk

yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak

menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini

menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena

cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya

(Smeltzer et al, 2010)..

2.1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang tepat sangat menentukan proses penyembuhan

pasien cedera kepala dan terhindar dari kecacatan yang permanen. Tindakan

tersebut antara lain :

1) Tatalaksana Airway, Breathing dan Circulation, serta resusitasi

2) Hindari hipotensi dan pertahankan tekanan darah sistolik lebih dari 90

mmHg. Terkadang mean arterial preasure (MAP) juga perlu

dipertahankan lebih tinggi.

3) Pertahankan oksigenasi yang adekuat, hindari hipoksemia.

4) Pertahankan posisi kepala dan leher sedemikian rupa untuk mencegah

terjadinya kompresi vena jugularis.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

17

5) Pertahankan elevasi kepala 300 – 450 kecuali jika pasien dalam keadaan

syok. Elevasi ini akan menjaga aliran balik darah dan cairan

cerebroserebral.

6) Pertahankan PaCO2 35-40 mmHg.

7) Hindarkan cairan yang hanya mengandung dextrose, kecuai apabila

pasien mengalami hipoglikemia. Demikian juga halnya dengan caira

hipertonik.

8) Atasi hipertermi dan pertahankan suhu tubuh normal.

9) Sedasi mungkin diperlukan untuk mencegah efek buruk agitasi.

10) Pertahankan hemeostasis dan kadar gula darah.

11) Nilai dan perbaiki gangguan koagulasi

12) Berikan nutrisi yang adekuat.

13) Profilaksis anti kejang, hal ini tidak dianjurkan untuk mencegah kejang

pasca trauma fase lanjut.

14) Manitol (0,25-1 gr/kgBB via IV) harus diberikan apabila ada tanda herniasi

atau jika terjadi gangguan neurologik yang bukan disebabkan faktor lain.

15) Steroid tidak dianjurkan untuk pasien cedera kepala.

16) Monitor tekanan intrakranial dilakukan pada :

a. GCS 2 – 8 setelah resusitasi dan ada kelainan pada CT Scan

Kepala

b. CT Scan Kepala normal tetapi minimal 2 faktor berikut :

- Usia > 40 tahun

- Tekanan darah sistolik < 90 mmHg

- Deselebrasi atau kedortikasi unilateral atau bilateral

17) Induksi koma dengan pentobarbital hanya dilakukan bila tekanan

intrakranial tidak dapat diatasi dengan manuver-manuver lain.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

18

18) Pertahankan CPP 50-70 mmHg. CPP yang ideal adalah tekanan yang

dijaminnya perfusi dan oksigenasi cerebri dengan mengusahakan TIK <

20 mmHg (Cline et al., 2012).

2.1.7 Komplikasi

Menurut Hammond and Zimmermann (2013), cedera kepala dibagi dapat

menyebabkan komplikasi, yaitu hemorrhagie, koma, kejang, infeksi, edema,

disabilitas, herniasi, kemampuan kognitif menurun, alzeimer dan parkinson.

2.2 Proses Rujukan Pasien

2.2.1 Definisi Sistem Rujukan

Menurut Fanara et al., (2010)., sistem rujukan adalah suatu sistem jaringan

fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan

tanggungjawab secara timbal-balik atas masalah yang timbul baik secara vertikal

(komunikasi antara unit yang sederajat) mauapun horizontal (komunikasi inti

yang lebih tinggi ke unit yang ebih rendah) ke fasilitas pelayanan yang lebih

kompeten, terjangkau, rasional dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi.

Adapun yang dimaskud dengan sistem rujukan di Indonesia, seperti yang

telah dirumuskan dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 001 Tahun 2012 adalah

suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan untuk

pelimpahan wewenang dan tanggungjawab terhadap suatu kasus penyakit atau

masalah kesehatan secara vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan

kurang kapada unit yang lebih mampu atau secara horizontal dalam arti antar

unit-unit yang setingkat kemampuannya.

Rujukan pasien merupakan perpindahan pasien ke rumah sakit lain untuk

mendapatkan perawatan dan managemen lanjutan (Francis, 2015).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

19

2.2.2 Macam-macam Sistem Rujukan

Sesuai dengan jenis upaya kesehatan yang diselenggarakan, ada dua

macam sistem rujukan yang sering dikenal yaitu (Brito el al., 2013).

1) Rujukan Upaya Kesehatan Perorangan

Cakupan rujukan pelayanan kesehatan perorangan adalah kasus penyakit.

Apabila suatu instansi kesehatan tidak mampu menanggulangi satu kasus

penyakit tertentu, maka instansi tersebut wajib melakukan rujukan ke sarana

pelayanan kesehatan yang lebih mampu (baik horizontal maupun secara

vertikal). Sebaliknya pasien pasca rawat inap yang hanya memerlukan rawat

jalan sederhana, bisa dirujuk kembali ke instansi kesehatan awal tadi.

Rujukan upaya kesehatan perorangan dibedakan atas tiga macam, yaitu :

a. Rujukan kasus untuk keperluan diagnostik, pengobatan, tindakan medis

(misalnya : operasi).

b. Rujukan bahan pemeriksaan atau spesimen untuk pemeriksaan

laboratorium yang lebih lengkap.

c. Rujukan ilmu pengetahuan antara lain mendatangkan tenaga yang lebih

kompeten atau melakukan bimbingan tenaga instansi kesehatan dan

atau menyelenggarakan pelayanan medik spesialis.

2) Cakupan rujukan pelayanan kesehatan masyarakat adalah masalah

kesehatan masyarakat, misalnya kejadian luar biasa, pencemaran

lingkungan dan bencana. Rujukan pelayanan kesehatan masyarakat juga

dilakukan apabila satu instansi kesehatan tidak mampu menyelenggarakan

upaya kesehatan masyarakat wajib dan pengembangan, padahal upaya

kesehatan masyarakat tersebut telah menjadi kebutuhan masyarakat.

Apabila suatu instansi kesehatan tidak mampu menanggulangi masalah

kesehatan masyarakat, maka instansi tersebut wajib melakukan rujukan ke

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

20

pelayanan kesehatan yang lebih baik. Rujukan upaya kesehatan

masyarakat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (Mubarak & Chayatin,

2009; Blakeman & Branson, 2013) :

a. Rujukan sarana dan logistik, antara lain peminjaman peralatan

laboratorium, peminjaman alat audio visual, bantuan obat-obatan, vaksin

dan bahan-bahan habis pakai dan bahan makanan.

b. Rujukan tenaga, antara lain dukungan tenaga ahli untuk penyidikan

kejadian luar biasa, bantuan penyelesaian masalah hukum kesehatan,

penanggulangan gangguan kesehatan karena bencana alam.

c. Rujukan operasional, yaitu dengan menyerahkan sepenuhnya

kewenangan dan tanggungjawab penyelesaian masalah kesehatan

masyarakat. Misalnya, usaha kesehatan sekolah, usaha kesehatan kerja,

usaha kesehatan jiwa, pemeriksaan air bersih.

2.2.3 Tujuan Rujukan

Menurut ACEM (2010), beberapa tujuan dilakukannya rujukan adalah

sebagai berikut :

1) Emergency prehospital transport

Untuk gawat darurat yang mengancam kelangsungan hidup pasien dengan

segera berkaitan kurangnya fasilitas diagnostik, kurangnya petugas atau

fasilitas yang aman dan terapi yang efektif di rumah sakit rujukan.

2) Semi-urgent prehospital transport

Untuk rujukan pada pasien dengan penyakit kritis untuk mendapatkan

layanan keperawatan yang lebih tinggi atau untuk layanan khusus.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

21

2.2.4 Keuntungan Sistem Rujukan

Diantara keuntungan sistem rujukan adalah (Mubarak & Chayatin. 2009) :

1) Pelayanan yang diberikan sedekat mungkin ke tempat pasien, berarti bahwa

pertolongan dapat diberikan menjadi lebih cepat, murah dan secara

psikologis memberi rasa aman pada pasien dan keluarga.

2) Penataan yang teratur diharapkan pengetahuan dan ketrampilan petugas

daerah makin meningkat sehingga banyak kasus yang dapat dikelola di

daerah masing-masing.

3) Memudahkan masyarakat didaerah terpencil atau desa dapat memperoleh

dan menikmati tenaga ahi dan fasilitas kesehatan dari jenjang yang lebih

tinggi.

2.2.5 Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan

Pesien yang akan dirujuk harus sudah diperiksa dan dinyatakan layak

untuk dirujuk. Terdapat beberapa kriteria pada pasien yang akan dilakukan

rujukan, pasien akan dirujuk apabila memenuhi syarat dari salah satu diantara :

1) Hasil pemeriksaan fisik sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi

2) Hasil pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis ternyata tidak

mampu diatasi.

3) Memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi

pemeriksaan harus disertai pasien yang bersangkutan.

4) Apabila telah diobati dan dirawat ternyata memerlukan pemeriksaan,

pengobatan dan perawatan di sarana kesehatan yang lebih mampu.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

22

Dalam prosedur merujuk dan menerima rujukan pasien ada dua pihak yang

terlibat, yaitu pihak pertama yang merujuk dan pihak kedua yang menerima

rujukan dengan rincian beberapa prosedur rujukan sebai berikut :

1) Prosedur standar merujuk pasien

a. Prosedur Klinis

(1) Melakukan anamnesa, melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang medik untuk menentukan diagnosa utama dan diagnosa

banding.

(2) Memberikan tindakan pra-rujukan sesuai kasus.

(3) Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan.

(4) Pasien gawat darurat harus didampingi petugas medis/para medis yang

berkompeten dibidangnya dan mengetahui kondisi pasien.

(5) Apabila pasien diantar dengan kendaraan instansi kesehatan keliling

atau ambulans, agar petugas dan kendaraan tetap menunggu pasien di

UGD dengan tujuan sampai ada kepastian tersebut mendapat

pelayanan dan kesimpulan dirawat inap atau rawat jalan.

b. Prosedur Administratif

(1) Dilakukan setelah pasien diberikan tindakan pra-rujukan

(2) Membuat catatan rekam medis

(3) Memberikan informed concent.

(4) Membuat surat rujukan

(5) Menyiapkan sarana dan prasarana transportasi dan sedapat mungkin

menjalin komunikasi dengan tempat tujuan rujukan.

(6) Pengiriman pasien sebaiknya dilaksanakan setelah menyelesaikan

administrasi pada instansi yang bersangkutan.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

23

2) Prosedur Standar Menerima Rujukan Pasien

a. Prosedur Klinis

(1) Segera menerima dan melakukan stabilisasi pasien rujukan.

(2) Setelah stabil, meneruskan pasien keruang perawatan yang elektif untuk

perawatan selanjutnya atau meneruskan ke sarana kesehatan yang

lebih mampu untuk dirujuk lebih lanjut.

(3) Melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan keadaan klinis pasien.

b. Prosedur Admisintrasi

(1) Menerima, meneliti dan mendatangani surat rujukan pasien yang telah

diterima untuk ditempelkan pada rekam medis pasien.

(2) Apabila pasien tersebut diterima kemudian membuat tanda terima

pasien sesuai aturan masing-masing pada sarana kesehatan.

(3) Mengisi hasil pemeriksaan dan pengobatan serta perawatan pada kartu

catatan medis dan diteruskan ke tempat perawatan selanjutnya sesuai

kondisi pasien.

(4) Membuat informed consent

(5) Segera memberikan informasi terkait keputusan tindakan/perawatan

yang akan dilakukan kepada petugas atau keluarga pasien yang

mengantar.

(6) Apabila tidak sanggup memberikan pelayanan merujuk ke RS yang lebih

mempu dengan membuat surat rujukan.

(7) Mencatat identitas pasien

3) Presedur Standar Membalas Rujukan Pasien

(1) Prosedur Klinis

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

24

(2) Rumah sakit atau Puskesmas yang menerima rujukan pasien wajib

mengembalikan pasien ke rumah sakit/Puskesmas pengirim setelah

dilakukan proses antara lain :

a) Sesudah memeriksa medis, menjalani pengobatan dan perawatan

tetapi proses penyembuhan selanjutnya perlu di pantau secara

berkesinambungan oleh rumah sakit/Puskesmas.

b) Setelah pemeriksaan medis, diselesaikan tindakan kegawatdaruratan

klinis, tetapi proses pengobatan dan perawatan selanjutnya dapat

dilakukan di rumah sakit/Puskesmas pengirim.

(3) Melakukan pemeriksaan fisik dan mendiagnosa bahwa kondisi pasien

sudah memungkinkan untuk keluar dari perawatan di rumah

sakit/Puskesmas dalam keadaan :

a) Sehat atau sembuh

b) Sudah ada kemajuan klinis dan boleh rawat jalan.

c) Belum ada kemajuan klinis dan harus dirujuk ke instansi pelayanan

kesehatan yang lebih baik.

d) Pasien sudah meninggal.

(4) Rumah sakit/Puskesmas yang menerima rujukan pasien harus

memberikan informasi laporan dan informasi medis berupa balasan

rujukan kepada rumah sakit/Puskesmas pengirim pasien mengenai

kondisi klinis tarakhir pasien apabila pasien mengalami kemajuan

keadaan klinisnya.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

25

a. Prosedur Administratif :

(1) Puskesmas yang merawat pasien berkewajiban memberi surat balasan

rujukan untuk setiap pasien rujukan yang pernah diterima kepada rumah

sakit/Puskesmas yang mengirim pasien yang bersangkutan.

(2) Surat balasan rujukan boleh diberikan kepada keluarga pasien yang

bersangkutan dan untuk memastikan informasi balik tersebut diterima

petugas kesehatan yang dituju.

4) Prosedur Standar Menerima Balasan Rujukan Pasien

a. Prosedur Klinis

(1) Melakukan kunjungan rumah pasien dan melakukan pemeriksaan fisik.

(2) Memperhatikan anjuran tindakan yang disampaikan oleh rumah

sakit/Puskesmas yang terakhir merawat pasien.

(3) Melakukan tindak lanjut atau perawatan kesehatan masyarakat dan

memantau kondisi klinis pasien sampai sembuh.

b. Prosedur Administrasi

(1) Meneliti isi surat balasan rujukan dan mencatat informasi tersebut di buku

register pasien rujukan, kemudian didokumentasikan pada rekam medis

pasien tersebut.

(2) Segera memberikan informasi kepada rekan pengirim pasien yang dirujuk

bahwa surat balasan rujukan sudah diterima.

2.2.6 Persiapan Rujukan

Menurut Mubarak & Chayatin (2009), persiapan yang harus dilakukan

sebelum merujuk pasien adalah sebagai berikut :

1) Persiapan tenaga kesehatan, memastikan pasien dan keluarga didampingi

oleh tenaga kesetahan yang kompeten.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

26

2) Persiapan keluarga dengan memberi informasi keluarga pasien terkait

kondisi terakhir pasien, serta mamberi informasi terkait faktor yang

menyebabkan pasien dirujuk. Anggota keluarga yang lain harus ikut

mengantar pasien ke tempat rujukan.

3) Persiapan surat, memberi surat pengantar rujukan ke tempat tujuan rujukan.

4) Persiapan alat, membawa perlengkapan, peralatan dan bahan yang

diperlukan.

5) Persiapan obat, membawa obat-obatan esensial yang diperlukan selama

proses perjalanan.

6) Persiapan kendaraan, persiapan kendaraan yang cukup baik, yang selama

perjalanan memungkinkan pasien berada dalam kondisi yang nyaman dan

dapat mencapai tempat rujukan secepatnya. Kelengkapan ambulans, alat

dan bahan yang diperlukan.

7) Persiapan donor darah, siapkan kantung darah sesuai golongan darah

pasien atau caon pendonor darah dari keluarga.

2.2.7 Komponen Rujukan

2.2.7.1 Persiapan Pasien Sebelum Rujukan

Menurut AAGBI (2009); Blakeman & Branson (2013), Persiapan pasien

sangat tergantung dari diagnosis pasien dan kondisinya. Bila memungkinkan

pasien harus stabil terlebih dahulu, sehingga memungkinkan kondisi pasien stabil

selama merujuk bahkan sampai datang ke rumah sakit rujukan. Tindakan

stabilisasi ini meliputi:

1) Tindakan invasif seperti pembedahan bila diperlukan harus dikerjakan

terlebih dahulu untuk memelihara kestabilan keadaan umum pasien selama

evakuasi berlangsung. Pengecualian apabila harus segera mungkin

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

27

diberangkatkan untuk mendapatkan intervensi medis darurat di rumah sakit

tujuan rujukan.

2) Sebelum dilakukan prosedur evakuasi, jalan nafas pasien harus sudah aman

bila perlu dilakukan intubasi, ventilasi dan akses intravena.

3) Mengontrol perdarahan eksternal jika terjadi dengan menjahit (hatcing) atau

menekan perdarahan

4) Pemeriksaan penujang tambahan harus sudah dikerjakan sesuai indikasi

pasien (misalnya x-ray dan analisa gas darah).

5) Pasien harus dalam keadaan aman diatas stretcher (usungan medis)

6) Pasien terkoneksi dengan ventilator serta alat monitor elektronik sesuai

dengan derajat stabilitas keadaannya dengan keterbatasan waktu yang

tersedia

7) Cairan infuse harus sudah diperhitungkan dengan tepat dan obat sedasi

diberikan saat perjalanan.

8) Apabila terpasang thoraks drain intercosta harus sudah terkoneksi dengan

katup tipe Heimlich.

9) Apabila nutrisi parenteral dihentikan, maka harus diberikan infus dextrose

sebagai penggantinya dengan control gula darah yang ketat.

2.2.7.2 Penyediaan Peralatan Medis

Menurut PACT (2011), pengambilan keputusan untuk merujuk pasien

adalah proses yang dinamis, karena kondisi pasien bisa berubah sewaktu-waktu

berdasarkan kondisi kegawatan daruratan pasien dan proses selama merujuk.

Mengantisipasi kemungkinan kondisi yang tidak diinginkan selama merujuk

pasien akan membantu proses perawatan pra-rujukan, dengan tujuan

meminimalkan intervensi selama transportasi. Pemantauan secara berkala

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

28

sangat penting untuk mendapatkan hasil rujukan yang optimal. Untuk itu

diperlukan alat-alat penunjang untuk menstabilkan fisiologi tubuh.

Alat-alat yang harus dipersiapkan antara lain:

a. Alat bantu pernafasan

1) Intubasi, meliputi:

a) Pipa endotrakeal dan konektornya untuk dewasa dan anak-anak

b) Introducer, bougie, forcep margiil.

c) Laringoskop, bilah laringoskop, lampu laringoskop dan baterai.

d) Alat tambahan: syrange untuk mengembangkan cuff, manometer, forcep

klip, pipa endotrakeal leher angsa, jelly untuk pelican, plester, filter

penyerap cairan.

2) Alat bantu nafas lain

a) Sederhana: nasafaringeal tube dan orofaringeal tube

b) Supraglotik: laryngeal mask dan combitube

c) Infraglotik: krikotirotomi set dan pipa krikotiroid

d) Masker oksigen: (termasuk masker oksigen untuk FiO2 bertekanan tinggi,

tubing dan nebulizer.

e) Alat suction

(1) Sistem utama: biasanya terpasang pada kendaraan transport

(2) Portable suction

(3) Suction tubing, alat pemegang suction, kateter, cadangan alat tersebut

f) Self inflating hand ventilator, mask dan PEEP (positive end expiratory

pressure) valve

g) Ventilator portabel dengan alarm (alarm disconnect and overpressure)

h) Sirkuit ventilator dan cadangannya.

i) Spirometer dan manometer cuff (pengukur tekanan cuff pipa endotrakeal)

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

29

j) Capnograf (pengukur kadar karbondikosida)

k) Alat drainase pleura:

(1) Kateter interkosta dan kanula

(2) Set alat bedah beserta alat dan benang jarit

(3) Heimlich type valve dan drainage bags

l) Sistem oksigen utama (biasanya sudah ada di ambulans) yang sudah

cukup terisi oksigen dengan flowmeter dengan outlet dinding yang standar

m) Tabung oksigen cadangan dengan flowmeter dan outlet standar.

3) Alat bantu sirkulasi

a) Defibrillator/memonitor/pacu jantung eksterna beserta dengan leads,

elektroda dan pads.

b) Peralatan pemberian cairan intravena:

(a) Berbagai cairan infus: kristaloid isotonic, dekstrose, koloid

(b) Infus set dan blood set

(c) Kanula intravena berbagai ukuran: perifer dan sentral

(d) Ekstensi intravena set (three way dan needle free injection system)

(e) Syringe, jarum

(f) Alcohol swipes (untuk desinfeksi kulit), plester dan peralatan dressing

intravena.

(g) Pressure infusion bag

(h) Arteri line

4) Peralatan monitoring tekanan darah

a) Kanula arteri beserta arteri tubing dan transdusernya

b) Monitor tekanan darah invasif dan non invasif

c) Sphygmomanometer aneroid (non merkuri) dan cuff berbagai macam

ukuran dengan monitor elektrolit atau manual

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

30

d) Oksimeter jari dengan berbagai macam jenis serta ukurannya

5) Syringe/ infusion pump (minimal 2 buah) dan tubing yang sesuai

6) Peralatan lainnya

a) Kateter urine dan drainase/bag penampung urine

b) Gastric tube beserta bag penampungnya.

c) Peralatan bedah minor:

(a) Kateter interkostal, kateter vena sentral, krikotirotomi

(b) Instrument steril: scalpel, gunting, forcep, tempat jarum

(c) Peralatan menjahit dan jarum jahit.

(d) Antiseptic, peralatan desinfeksikulit dan perawatan pasca tindakan

(e) Sarung tangan steril (berbagai macam ukuran), gaun steril dan drapes

d) Cervical collar, peralatan immobilisasi tulang belakang, splints

e) Baju pneumatic anti syok (military antisyok trouser/MAST)

f) Temometer (non merkuri) dan atau probe temperature/ monitor

g) Selimut reflektif dan kain penutup yang berfungsi sebagai penahan panas

(thermal insulation drapes)

h) Perban, plester, gunting heavyduty

i) Sarung tangan dan kacamata proteksi

j) Wadah penampungan benda tajam dan terkontaminasi

k) Perban, plester, gunting heavyduty

l) Lampu senter

m) Label untuk memberi tanda pada obat dan bolpoin marker

n) Dekongestan nasal (untuk pencegahan barotitis).

7) Agen farmakologi

a) Obat-obatan susunan saraf pusat:

(a) Golongan narkotika dan non-narkotika analgetika

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

31

(b) Ansiotik/sedative

(c) Trankuiliser mayor

(d) Antikonvusan

(e) Hipnotika intravena/ obat anastetik

(f) Antiemetic

(g) Anastetik lokal

b) Obat-obatan jantung:

(a) Antiaritmia

(b) Antikolinergik

(c) Inotropik/ vasokontriktor

(d) Nitrat

(e) dan bloker dan obat hipotensif

c) Elektrolit dan obat-obatan renal:

(a) Sodium bikarbonat

(b) Kalsium klorida

(c) Magnesium

(d) Antibiotika

(e) Oksitosin

(f) Potassium

(g) Loop diuretika

(h) Osmotic diuretika

d) Obat-obatan metabolic dan endokrin:

(a) Glucose (konsentrat) dan glucagon

(b) Insulin

(c) Steroid

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

32

e) Obat-obatan lain:

(a) Blok neuromuscular: depolarisasi dan non depolarisasi

(b) Anti kolinesterase (untuk reverse obat blok neuromuscular)

(c) Antagonis narkotika dan benzodiazepine

(d) Bronkodilator

(e) Antihistamin

(f) Penghambat reseptor H2 dan penghambat pompa proton

(g) Antikoagulan atau trombolitik

(h) Vitamin K

(i) Tokolitik

f) Cairan: saline dan air steril

2.2.7.3 Dokumentasi Dan Hand Over

Menurut AAGBI (2009), dokumentasi yang lengkap harus disertakan pada

saat merujuk pasien prehospital yang terdiri dari:

a. Kondisi klinis dan vital sign pasien sebelumnya, selama dan sesudah

melaksanakan rujukan.

b. Terapi yang sudah diberikan

c. Hasil pemeriksaan penunjang: x-ray, scan dan pemeriksaan laboratorium

dan lain-lain

Sedangkan timbang terima/hand over menyampaikan informasi terkait isi

dokumentasi pasien oleh petugas baik perawat atau dokter kepada petugas yang

menerima baik dokter atau perawat

2.2.7.4 Pengawasan Pasien Selama Perjalanan (Transportasi)

Menurut Duun et al., (2007), pengawasan pasien pada saat merujuk

sangat penting, untuk mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan dan

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

33

memastikan pasien aman sampai di rumah sakit tujuan. Perlu dilakukan tindakan

sebagai berikut:

a. Kewaspadaan penuh harus dilakukan saat awal pemberangkatan, karena

pada saat itu terlihat dekompensasi tubuh dan masalah teknis seperti

diskonektifitas peralatan transportasi evakuasi akan terlihat.

b. Saat berada di dalam kendaraan transportasi perlu diperiksa ulang

kelengkapan dan kesiapan pakai alat-alat harus dilakukan

c. Terapi, monitoring dan kelengkapan dokumentasi harus dilakukan saat

transportasi. Monitoring meliputi observasi ketat tanda vital pasien dengan

menggunakan EKG, Saturasi O2, pemantauan tekanan darah invasif dan

non invasif, kapnografi dan temperature.

d. Apabila ada masalah kegawatdaruratan yang mengharuskan anggota tim

meninggalkan tempat duduknya maka hal tersebut harus diinformasikan

pada sopir kendaraan

2.2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sistem Rujukan Pasien

Merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi lancar tidaknya proses

rujukan pasien gawat darurat prehospital, yang terdiri dari:

1) Perencanaan

Menurut Duun (2007), perencanaan merupakan hal yang sangat penting

untuk mendukung pada saat merujuk pasien prehospital. Perencanaan ini

dilakukan oleh rumah sakit yang akan merujuk pasien yang diwakilli oleh dokter

senior atau konsultan yang dianggap mampu untuk melakukan pertimbangan

dan pengambilan keputusan terkait merujuk pasien yang meliputi (Brokalaki &

Alamanou, 2014):

a. Pertimbangan kondisi pasien cedera kepala yang membutuhkan perawatan

lanjutan di rumah sakit rujukan

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

34

Berat cedera kepala bisa dibagi berdasarkan skor yang didapatkan dari

Glasgow Coma Scale (GCS). Sistem penilaian ini merupakan sistem penilaian

fisiologis pertama dan diperkenalkan oleh Teasdale dan Jennet pada tahun 1974.

Nilai membuka mata (eye), respon verbal dan motorik yang selanjutnya

dijumlahkan, nilai berkisar antara 3-15. Perhitungan GCS cepat dan sederhana,

jika dilakukan pengulangan penghitungan akan dapat memberikan informasi

perkembangan atau perburukan pasien. Penilaian ini bersifat subjektif pada

beberapa kasus. respon verbal pasien yang dilakukan intubasi dan trakeostomi

atau respon membuka mata pasien dengan pembengkaan wajah berat sehingga

tidak dapat dinilai dan masalah inilah yang membatasi penggunaan GCS. Berikut

ini tabel panduan untuk penilaian skor menggunakan GCS menurut Grote,

Bocker, Mutschler, Boulillon dan Lefering (2011) :

Tabel 2.1 Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)

Respon Penilaian Nilai

Membuka Mata

Spontan Membuka mata dengan diberikan stimulus Membuka mata dengan diberikan stimulus nyeri Tidak ada respon

4321

Verbal

Orientasi baik Orientasi terganggu (bingung) Orientasi tidak jelas Suara tidak jelas Tidak ada respon

54321

Motorik

Mampu bergerak Melokalisir nyeri Menarik anggota badan yang diberikan stimulus nyeri Fleksi ketika diberi stimulus nyeri Ekstensi ketika diberi stimulus nyeri Tidak ada respon

654321

b. Petugas kesehatan yang mendampingi rujukan pasien gawat darurat.

Menurut Eizanberg (2013) pasien kritis dan gawatdarurat seharusnya

ditemani oleh pendamping. Ketentuan petugas kesehatan yang menemani

rujukan pasien tergantung dari kondisi pasien. Seorang dokter senior atau

konsultan hendaknya mengambil keputusan tentang siapa yang harus

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

35

menemani pasien yang dirujuk ke rumah sakit rujukan atau pun perawat

yang sudah ahli dan mahir dalam mendampingi rujukan pasien.

Persyaratan kebutuhan petugas kesehatan yang mendapingi rujukan

pasien prehospital berdasarkan kondisi kegawatdaruratan pasien. Tidak

jarang pula, jika dalam keadaan yang benar-benar mendesak tenaga

kesehatan lainnya juga mendampingi rujukan pasien gawat darurat.

c. Proses rujukan pasien sudah mendapat persetujuan pasien (informed

consent).

Informed consent didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan

oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan

medik yang akan dilakukan terhadap pasien. Hak-hak pasien adalah hak

atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik. Tujuan

dari surat persetujuan tindakan medis. Informed consent bagi petugas

kesehatan adalah membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis

dan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dan sebagai

pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari

pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki, bagi

pasien mampu memahami informasi yang diberikan, sebagai pedoman

membuat keputusan serta merupakan penghargaan terhadap hak pasien

dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila

terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya persetujuan

pelayanan kesehatan, bagi dokter gigi adalah membuat rasa aman dalam

menjalankan tindakan medis pada pasien dan sebagai pembelaan diri

terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau

keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki (Soelistyawatie,

2011).

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

36

2) Kompetensi Petugas Kesehatan yang Mendampingi Rujukan Pasien

Menurut Dunn et al., (2007), Bahaya selama transportasi memiliki

kontribusi lancar tidaknya rujukan pasien prehospital. Bahaya selama

transportasi ini diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:

a. Tingkat Pendidikan tenaga kesehatan yang mendampingi dan mengirim

pasien rujukan.

Pendidikan merupakan salah satu karakteristik seorang individu, hal

yang sama juga dirasakan oleh profesi kesehatan terlebih lagi sebagai

perawat dimana tingkat pendidikannya sangatlah bervariasi. Pengetahuan

seorang tenaga kesehatan dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan

formal yang telah ditempuhnya. Kompetensi yang ditetapkan pada setiap

jenjang pendidikan pastinya juga akan berbeda, dimulai dari tingkat

pendidikan D3, S1, S2 ataupun jenjang Spesialis.jenjang pendidikan yang

bervariasi ini dapat menyebabkan perbedaan cara pandang dalam menilai,

menghadapi dan memutuskan sesuatu masalah yang dituntut secara cepat

dan tepat (Andrayani, 2014).

Menurut Eizanberg (2013), didapatkan hubungan yang signifikan

antara pendidikan dengan praktik dan aplikasi keperawatan. Bila ditelusuri

lebih lanjut lagi mengenai karakteristik pendidikan keperawatan, kategori

tertinggi dalam pelaksanaan ketrampilan dan aplikasi keperawatan

didominasi pendidikan S1, sementara yang berlatar belakang pendidikan

D3 mayoritas memiliki kompetensi sedang.

Strategi peningkatan dan pengembangan jenjang karir perawat

adalah dengan peningkatan tingkat pendidikan, dimana telah terbukti

mendukung perawat dalam mengaplikasikan praktek keperawatan

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

37

profesional yang berkualitas khususnya dalam bidang pelayanan dan

penanganan kondisi gawat darurat dan rujukan (Arindika, 2014)

b. Pelatihan

Perawat yang mendampingi rujukan pasien gawat darurat dapat

memberikan tindakan pertolongan di prehospital, dimana tindakan tersebut

sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan ketrampilan. Perawat tersebut

perlu meningkatkan kemampuan kompetensi dengan terus mengikuti

pelatihan-pelatihan secara berkesinambungan dan selalu berinteraksi

dengan kasus gawat darurat untuk meningkatkan pengalaman dalam

mendampingi rujukan pasien cedera kepala (Andrayani, 2014).

Peningkatan kompetensi perawat dapat dilihat dari beberapa pelaksanaan

pelatihan yang dilakukan sesuai dengan profesionalisme, khususnya dalam

menangani rujukan pasien. Pelatihan perawat untuk menunjang kemahiran

dalam mendapingi rujukan merupakan suatu program yang terstandart

seperti ATLS, ACLS, EMS dan Basic Ambulance Protocols. Aplikasi

program pelatihan yang dilaksanakan dapat diaplikasikan pada kondisi

lingkungan yang ada di daerah masing-masing, sehingga mampu

meningkatkan ketrampilan perawat dalam menangani kasus rujukan

(ACEM, 2010).

c. Pengalaman Melakukan dan Mendampingi Rujukan

Faktor lainnya yang berpengaruh adalah pengalaman, kesadaran,

percaya diri dan pilihan dalam menggunakan protokol yang berlaku.

Kondisi pasien cedera kepala yang parah, tidak jarang menimbulkan

keraguan, kepanikan dan kurang percaya diri dari seorang perawat saat

memberikan tindakan asuhan keperawatan. Panik dan tidak percaya diri ini

mempengaruhi keterlambatan dalam pengambilan keputusan dalam

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

38

melakukan tindakan (Arindika, 2014). Selain kompetensi berdasarkan

tingkat pendidikan formal, terdapat karateristik lain yang juga berpotensi

menetukan kompetensi perawat dalam melakukan dan mendampingi

rujukan adalah seperti pengalaman yang diukur dengan lamanya bekerja.

Berdasarkan karakteristik lamanya bekerja perawat dalam ketrampilan dan

pengalaman didapatkan bahwa perawat memiliki masa kerja antara 1-5

tahun memiliki kompetensi pemula, 6-10 tahun berkompetensi sedang dan

diatas 10 tahun berkarakter profesional dalam praktik dan aplikasi dalam

mendampingi rujukan (Eizanberg, 2013).

3) Bahaya Selama Transportasi

Bahaya selama transportasi memiliki kontribusi untuk menjaga

kelancaran rujukan pasien prehospital. Bahaya selama transportasi ini meliputi:

a. Pendampingan Saat Rujukan

Layanan pendapingan ini tidak hanya diperuntukkan bagi pasien

dengan jaminan kesehatan dan pembiayaan tertentu saja, melainkan untuk

semua pasien. Tenaga kesehatan yang mendampingi adalah perawat atau

dokter yang sudah mampu dan berpengalaman saat menangani kasus

gawat darurat, dalam hal ini bergantung pada jenis masalah kesehatan

yang diderita (Luti dan Hasanbasri, 2012). Pendampingan harus dilakukan

pada saat transport ke rumah sakit yang telah ditentukan kualitas,

kapasitas dan fasilitasnya. Pada beberapa kasus rujukan, keluarga

mengaku telah mambawa pasien cedera kepala di layanan kesehatan

terdekat, namun meski fasilitas yang menunjang untuk pertolongan cedera

kepala sangat terbatas petugas kesehatan tidak segera merujuk ke rumah

sakit yang memiliki pelayanan dan fasilitas lebih baik karena kemampuan

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

39

petugas kesehatan dalam melakukan komunikasi dengan keluarga yang

kurang baik (ACEM, 2010).

Adapun beberapa prosedur pokok yang harus dilakukan oleh perawat

adalah sebagai berikut :

1) Dokter jaga IGD memeriksa pasien dan menegakkan diagnosa

2) Dokter menentukan apakah ada fasilitas atau tenaga dokter ahli untuk

kasus tersebut, jika tidak ada dilakukan kerumah sakit yang

mempunyai fasilitas lebih baik.

3) Rujukan kerumah sakit, dilakukan jika keadaan pasien sudah stabil.

4) Dokter menulis pada rekam medis pasien bahwa pasien dirujuk ke

rumah sakit lain disertai alasan rujukan.

5) Dokter membuat surat rujukan dan lembar persetujuan dari keluarga.

6) Lengkapi persiapan untuk dipindahkan dengan peralatan penunjang

hidup dan peralatan lainnya, obat dan bahan yang akan diperlukan

selama rujukan sesuai dengan kondisi dan status pasien.

7) Menghubungi rumah sakit yang sudah ditentukan.

8) Pasien rujukan harus didampingi oleh 1 orang perawat senior yang

telah menguasai bantuan hidup dasar (BLS).

9) Semua hal terjadi terkait perubahan kondisi pasien dan tindakan yang

telah dilakukan dicatat yang selanjutnya disampaikan kepada petugas

rumah sakit rujukan.

10) Petugas yang mendampingi melakukan serah terima pasien kepada

rumah sakit rujukan.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

40

b. Jarak Wilayah Kerja Perawat saat menangani pasien gawat darurat ke

rumah sakit rujukan

Pelayanan tindakan gawat darurat yang profesional misalkan perawat

dan sopir ambulans dengan pengalaman pelatihan minimal BLS dan PPGD

dapat lebih mempersingkat durasi response time. Ketersediaan informasi

lokasi rumah sakit, fasilitas dan layanan yang tersedia di rumah sakit dan

tempat kejadian dapat tersedia secara jelas dan terkini. Sehingga,

penentuan respon panggilan gawat darurat dan pengiriman ambulans

untuk menjemput pasien gawat darurat dapat lebih cepat dan tepat. Oleh

karena itu, kasus pelayanan transport gawat darurat dapat menghindari

penundaan dan keterlambatan pada semua kasus gawat darurat terutama

cedera kepala (Andrayani, 2014).

Hal yang mempengaruhi kecepatan tindakan saat merujuk adalah

lokasi demografi, semakin jauh lokasi dari rumah sakit rujukan semakin

besar pula kesempatan pasien untuk kehilangan golden periode cedera

kepala. Jarak mulai dari pertama kali diberikan pertolongan hingga

kecepatan masuk rumah sakit rujukan saling berhubungan untuk

meminimalkan kecacatan atau bahkan kematian pasien cedera kepala.

Semakin dekat lokasi pasien pertama kali diberikan pertolongan dengan

layanan rumah sakit rujukan maka akan dimungkinkan pasien mampu

memanfaatkan waktu dan meminimalkan kecacatan dan kematian

(Sekoranja et al., 2009). Andrayani (2014) mengungkapkan bahwa

demografi untuk rujukan pasien antara pertama kali kejadian dengan

layanan rujukan dibagi menjadi 2 kategori yaitu jarak > 7km tanpa

kemacetan akan mengalami keterlambatan penanganan cedera kepala 3

kali dibanding < 7km.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

41

c. Waktu yang Ditempuh Selama Rujukan

ACEM (2010) menjelaskan bahwa kecepatan dan kemampuan tim

gawat darurat dalam memberikan layanan pananganan sangat

dipengaruhi oleh sistem pelayanan yang terkait oleh penanganan

sebelum di rumah sakit. Peralatan yang lengkap serta layanan yang

mendukung dalam penanganan gawat darurat. Karena jangan sampai

pasien kehilangan golden periode. Terlebih lagi untuk pasien cedera

kepala yang memiliki golden periode sangat pendek yaitu 3 jam.

Perawatan awal adekuat yang diberikan kepada pasien cedera kepala

lebih dari 3 jam, maka akan dapat menimbukan resiko kecacatan dan

kematian lebih besar (Brain Injury Assosiation of America, 2012).

d. Peralatan dan Obat-obatan Gawat Darurat

Menurut PACT (2011), pengambilan keputusan untuk merujuk pasien

adalah proses yang dinamis, karena kondisi pasien bisa berubah sewaktu-

waktu berdasarkan kondisi kegawatan daruratan pasien dan selam

melakukan rujukan. Mengantisipasi kemungkinan kondisi yang tidak

diinginkan pada saat merujuk pasien akan membantu perawatan selama

rujukan, dengan tujuan meminimalkan intervensi selama transportasi.

Pemantauan terus-menerus sangat penting untuk rujukan yang optimal.

Untuk itu diperlukan alat-alat penunjang untuk menstabilkan fisiologis tubuh

yang berada di dalam ambulans Adapun beberapa prosedur pokok yang

harus dilakukan oleh perawat adalah sebagai berikut :

1) Ruangan pasien terhubung langsung (tidak ada sekat penghalang)

dengan tempat pengemudi.

2) Tempat duduk bagi petugas dan keluarga tersedia didekat pasien

3) Terdapat sabuk pengaman untuk petugas kesehatan dan pasien

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

42

4) Stop kontak khusus 12 V DC di ruang pasien

5) Lampu ruangan secukupnya dan lampu sorot yang dapat digerakkan

6) Tabung oksigen lengkap dengan isi dan canule, masker, NRBM dan

RBM

7) Gantungan infus terletak sekuangnya 90cm diatas tempat tidur pasien

8) Tensimeter dengan manset anak dan dewasa

9) Stetoskop

10) Obat-obatan gawat darurat

11) Cairan infus

Dengan kriteria penilaian kelangkapan peralatan dan obat-obatan

gawat darurat didalam ambulans antara lain;

1). Tipe ambulans standart beserta peralatan dan obat-obatan lengkap

(76-100%)

2). Tipe ambulans kurang standart beserta peralatan dan obat-obatan

lengkap (51-75%)

3). Tipe ambulans kurang standart dengan peralatan dan obat-obatan

tidak lengkap(26-50%)

4). Tipe ambulans tidak standart dengan peralatan dan obat-obatan tidak

lengkap (1-26%).

(AAGBI Safety Guideline, 2009)

2.3 Teori Interpersonal Nursing dari Heldegrad E. Peplau

2.3.1 Dasar Filosofi

Teori Hildegard Peplau berfokus pada individu, perawat, dan proses

interaktif yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien.

Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan perasaan, dan

keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Tujuan

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

43

keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga, dan untuk membantu

klien mencapai kematangan perkembangan kepribadian (Fawcett, 2005).

Oleh sebab itu perawat berupaya mengembangkan hubungan antara perawat

dan klien dimana perawat bertugas sebagai narasumber, konselor, dan wali.

Pada saat klien mencari bantuan, pertama perawat mendiskusikan

masalah dan menjelaskan jenis pelayanan yang tersedia. Dengan

berkembangnya hubungan antara perawat dan klien, perawat dan klien

bersama-sama mendefinisikan masalah dan kemungkinan penyelesaian

masalahnya. Dari hubungan ini klien mendapatkan keuntungan dengan

memanfaatkan pelayanan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya dan

perawat membantu klien dalam hal menurunkan kecemasan yang

berhubungan dengan masalah kesehatannya. Teori Peplau merupakan teori

yang unik dimana hubungan kolaborasi perawat-klien membentuk suatu

“kekuatan mendewasakan” melalui hubungan interpersonal yang efektif

dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien. Ketika kebutuhan dasar telah

diatasi kebutuhan yang baru mungkin muncul. Hubungan interpersonal

perawat-klien, digambarkan sebagai fase-fase yang saling tumpang tindih

perti berikut ini : orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi (Fawcett,

2005).

Teori dan gagasan Peplau dikembangkan untuk memberikan bentuk

praktik keperawatan psikiatri. Penelitian keperawatan tentang kecemasan,

empati, instrumen perilaku, dan instrumen untuk mengevaluasi respon verbal

dihasilkan dari model konseptual Peplau (Alligood & Tomey, 2010).

2.3.2 Asumsi Dasar Teori Interpersonal

Menurut Peplau dalam keperawatan dapat diartikan sebagai seni

penyembuhan juga merupkan suatu proses interpersonal, karena melibatkan

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

44

interaksi antara dua atau lebih individu yang mempunyai tujuan bersama, dimana

tujuan ini akan memacu proses terapeutik antara perawat dan klien mempunyai

rasa menghargai untuk mencapai tujuan tersebut melalui tahap-tahap dengan

pola tertentu yang merupakan rangkain proses keperawatan (Alligood & Tomey,

2010).

Beberapa pemikiran yang melandasi konsep keperawatan menurut

Peplau adalah :

a. Keperawatan

Disiplin praktek untuk menghasilkan transformasi energi untuk pencapaian

kematangan kepribadian

b. Manusia

Merupakan sistem mandiri yang terdiri dari fisik, biokimia, karakteristik,

fisiologi dengan mengutamakan psikologi yang dalam posisi tak stabil

c. Kesehatan

Tingkat produktif konstruktif dan kreatif dari individu sebagai aktifitas

interpersonal dan perkembangan tugas yang dapat dilakukan.

d. Lingkungan

Beserta hal-hal lainnya yang penting dengan siapa klien berinteraksi.

2.3.3 Proses Interpersonal Nursing

Dalam ilmu komunikasi, proses interpersonal didefinisikan sebagai proses

interaksi secara simultan dengan orang lain dan saling mempengaruhi satu

dengan lainnya, biasanya dengan tujuan untuk membina suatu hubungan

(Alligood & Tomey, 2010). Berkaitan dengan hal tersebut, maka proses

interpersonal yang dimaksud antara perawat dan klien ini menggambarkan

metode transpormasi energi atau ansietas klien oleh perawat yang terdiri dari 4

fase yaitu :

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

45

1) Fase Orientasi

Lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan bantuan

dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara

efektif dalam pemberian askep pada klien. Tahap ini ditandai dimana perawat

melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi

pengumpulan data.

2) Fase Identifikasi

Terjadi ketika perawat memfasilitasi ekspresi perilaku pasien dan

memberikan asuhan keperawatan yang tanpa penolakan diri perawat

memungkinkan pengalaman menderita sakit sebagai suatu kesempatan

untuk mengorientasi kembali perasaan dan menguatkan bagian yang positif

dan kepribadian pasien. Respon pasien pada fase identifikasi dapat berupa :

a. Pasrtisipan mandiri dalam hubungannya dengan perawat

b. Individu mandiri terpisah dari perawat.

c. Individu yang tak berdaya dan sangat tergantung pada perawat.

3) Fase Eksploitasi

Memungkinkan suatu situasi dimana pasien dapat merasakan nilai

hubungan sesuai pandangan/persepsinya terhadap situasi. Fase ini

merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini

perawat membantu klien dalam memberikan gambaran kondisi klien dan

seluruh aspek yang terlibat didalamnya.

4) Fase Resolusi

Secara bertahap pasien melepaskan diri dari perawat. Resolusi ini

memungkinkan penguatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya

sendiri dan menyalurkan energi kearah realisasi potensi.

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

46

Keempat fase tersebut merupakan rangkaian proses pengembangan

dimana perawat membimbing pasien dari rasa ketergantungan yang tinggi

menjadi interaksi yang saling tergantung dalam lingkungan sosial. Artinya

seorang perawat berusaha mendorong kemandirian pasien. Pemaparan ini

menunjukkan bahwa teori Hildegard E. Peplau berfokus pada individu, perawat

dan proses interaktif yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien.

Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan perasaan, dan

keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Artinya suatu hasil

proses kerja sama manusia dengan manusia lainnya supaya menjadi sehat atau

tetap sehat (hubungan antar manusia). Tujuan keperawatan adalah untuk

mendidik klien dan keluarga dan untuk membantu klien mencapai kematangan

perkembangan kepribadian. Oleh sebab itu, perawat berupaya mengembangkan

hubungan perawat dan klien melalui peran yang diembannya (narasumber,

konselor, dan wali).

Adapun kerangka kerja praktik dari teori Peplau memaparkan bahwa

keperawatan adalah proses yang penting, terapeutik, dan interpersonal.

Keperawatan berpartisipasi dalam menyusun struktur system asuhan kesehatan

untuk menfasilitasi kondisi yang alami dari kecenderungan manusia untuk

mengembangkan hubungan interpersonal (Berntsson & Hildingh, 2012).

2.3.4 Peran Perawat dalam Hubungan Interpersonal

Peplau membagi 6 peranan berbeda dari perawat yang timbul pada

bermacam-macam fase hubungan perawat-pasien.

a. Peranan Orang Asing (Stranger)

Antara perawat dan pasien disini adalah sebagai orang asing/tidak

mengenal satu sama lain. Perawat harus bersikap ramah dan emosi yang

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

47

wajar, tidak mendikte pasien tapi dapat menerima keadaan pasien apa

adanya.

b. Peranan Sebagai Narasumber (Resource Person)

Perawat harus mengemukakan jawaban yang spesifik, khususnya yang

berkenaan dengan informasi kesehatan dan interpretasi (penilaian)

pasien terhadap rencana perawatan dan pengobatan.

c. Peranan Sebagai Pendidik (Teaching Role)

Peplau memisahkan teaching role ini ke dalam dua kategori :

1) Instruksioal : berisi pemberian informasi dan penjelasan dalam

ruang lingkup pendidikan.

2) Eksprerensial: Menggunakan pengalaman sebagai dasar dari

kemajuan hasil pengarahan.

d. Peranan Sebagai Pemimpin (Leadership Role)

Ini melibatkan proses demokratis. Perawat membantu pasien menghadapi

masalahnya dengan cara bekerjasama dan partisipasi aktif.

e. Peranan Sebagai Pengganti (Surrogate Role)

Disini pasien berperan seperti perawat. Sikap dan perilaku perawat tentu

menciptakan perasaan tertentu bagi pasien dan ini akan direspon dalam

hubungan perawat dan klien.

f. Peranan Sebagai Konseling (Conseling Role)

Perawat memberi respon bagi pasien yang memerlukan. Bimbingan untuk

menolong pasien mengingat dan memahami secara utuh apa yang terjadi

(Alligood & Tomey, 2010).

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

48

2.3.5 Implementasi Teori Interpersonal Nursing dalam Proses Rujukan

Keperawatan Gawat Darurat

Pada awalnya, Peplau mengembangkan teorinya sebagai bentuk

keprihatinannya terhadap praktik keperawatan “custodial care”, sehingga sebagai

perawat jiwa, melalui tulisannya ia kemudian mempublikasikan teorinya

mengenai hubungan interpersonal dalam keperawatan. Dimana dalam

memberikan asuhan keperawatan ditekankan pada perawatan yang bersifat

terapeutik.

Aplikasi yang dapat kita lihat secara nyata yaitu pada saat klien mencari

bantuan, pertama perawat mendiskusikan masalah dan menjelaskan jenis

pelayanan yang tersedia. Dengan berkembangnya hubungan antara perawat dan

klien memungkinkan langkah selanjutnya bersama-sama mendefinisikan

masalah dan kemungkinan penyelesaian masalahnya. Dari hubungan ini klien

mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan pelayanan yang tersedia untuk

memenuhi kebutuhannya dan perawat membantu klien dalam hal menurunkan

kecemasan yang berhubungan dengan masalah kesehatannya.

Teori peplau merupakan teori yang unik dimana hubungan kolaborasi

perawat klien membentuk suatu “kekuatan mendewasakan” melalui hubugan

interpersonal yang efektif dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien. Ketika

kebutuhan dasar telah diatasi, kebutuhan yang baru mungkin muncul. Hubungan

interpesonal perawat klien digambarkan sebagai fase-fase yang saling tumpang

tindih seperti berikut ini orientasi, identifikasi, penjelasan dan resolusi.

Tabel 2.2 : Implementasi Teori Interpersonal Nursing dalam Proses Rujukan Keperawatan Gawat Darurat.

Fase Fokus

Orientasi Keputusan pasien memanggil perawat gawat darurat untuk meminta bantuan sampai dengan petugas tiba di lokasi kejadian dan

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

49

beradaptasi dengan situasi yang terjadi

Identifikasi Dilakukan pengkajian terhadap apa yang pasien butuhkan pada saat itu, termasuk pemberian bantuan oleh perawat terampil terkait airway, breathing dan circulation

Eksploitasi Dimuai saat pasien berada di dalam ambulans dan selama proses perjalanan pasien mendapatkan pendampingan perawat secara penuh hingga tiba di rumah sakit rujukan.

Resolusi Pasien sampai di rumah sakit dan menjalani perawatan yang selanjutnya berhubungan dengan masalah kesehatan yang terjadi pada dirinya

(Berntsson & Hildingh, 2012).

2.4 Outcome Rujukan Pasien Cedera Kepala yang Dirujuk

Menenutukan outcome pada rujukan pasien cedera kepala seringkali

mengalami kesulitan. Hal ini dikarenaka keterbatasan penilaian klinik awal,

lamanya penyembuhan pada pasien cedera kepala dan banyaknya variabel yang

mempengaruhi prognosis pasien cedera kepala. Outcome merupakan suatu

perubahan menjadi situasi tertentu yang dihasilkan dari sebuah aksi atau

tindakan yang terjadi. Kata outcome digunakan untuk sequale, konsekuensi dan

hasil akhir atau temuan spesifik lain yang terjadi akibat rujukan pasien cedera

kepala (Ponsford et al., 2014). Ada skala pengukuran outcome pasien rujukan

cedera kepala yang biasa digunakan yaitu glasgow outcome scale (GOS).

Perkiraan outcome setelah terjadinya rujukan cedera kepala merupakan

suatu masalah besar, terutama pada pasien dengan cedera kepala. Evaluasi

outcome fungsional setelah keluar dari rumah sakit pada individu menjadi bagian

penting suatu program rehabilitasi. Evaluasi juga menjadi langkah terbaik untuk

mengukur keefektifak penatalaksanaan yang diberikan ketika manjalani rujukan

(Locker & Morris, 2003; Ponsford et al., 2014).

Glasgow outcome scale (GOS) merupakan parameter yang sudah

diterima secara menyeluruh sebagai suatu standart untuk menjelasknan outcome

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Brawijaya

50

pada rujukan pasien cedera kepala. Glasgow outcome scale (GOS)

dikembangkan pertama kali oleh Jannet dan Bond pada tahun 1975. Merekan

mengembangkan GOS dengan tujuan mengklarifikasi bermacam-macam kondisi

outcome yang terdapat pada pasien cedera kepala. Penilaian outcome pada

pasien cedera kepala menggunakan GOS dilakukan saat pasien tiba di IGD

rumah sakit pusat rujukan (Leon-Carrion, 2006).

GOS terdiri dari 5 komponen yang digunakan untuk menentukan outcome

pasien cedera kepala, yaitu death (meninggal), vegetative state (sadar tanpa

respon), savere disability (cacat berat), moderate disability (cacat sedang) dan

good recovvery (baik). Tingkatan ini dikelompokkan menjadi outcome baik (GOS

= 4-5) dan outcome buruk (GOS = 1-3).

Tabel 2.3 Glasgow Outcome Scale (GOS)

No. Skala Singkatan Keterangan

1 Death D Meninggal

2 Vegetative State VS Koma, aktifitas dibantu total oleh keluarga dan perawat

3 Savere Disability SD

Sadar tetapi aktifitas tergantung oleh orang lain, aktifitas sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain, tidak mampu mandiri.

4 ModerateDisability MD Mampu beraktifitas disertai dengan kehilangan beberapa atau

sebagian anggota tubuh atau kemampuannya.

5 GoodRecovvery GR Baik

Skala pengkajian GOS diatas menggambarkan disabilitas dan kecacatan

dibandingkan gangguan yang difokuskan pada bagaimana trauma

mempengaruhi fungsi pada kehidupan dibanding hanya defisit dan manifestasi

klinis yang ditimbulkan oleh trauma (Leon-Carrion, 2006; Thais et al., 2014).

4.5 Kerangka Teori

Pasien Cedera Kepala

Komplikasi : - Hemorrhagie - Koma - Kejang - Infeksi - Edema - Herniasi - Disabilitas - Parkinson

Alzeimer

Etiologi : Kecelakaan Lalu Lintas Jatuh Trauma Benda Tumpul Trauma Benda Tajam Kecelakaan Rumah Tangga Cedera Lahir

Penatalaksanaan : - Observasi 24 jam - Puasakan terlebih dahulu. - Terapi intravena - Profilaksi sesuai ndikasi - Obat-obat vaskulasisasi. - Pemberian analgetik. - Pembedahan bila ada indikasi. - Rujuk ke layanan yang lebih

lengkap