33
BAB II TINJAUAN UMUM A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang di ancam dengan sanksi pidana. Kata tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar feit, kadang-kadang juga menggunakan istilah delict, yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana negara-negara Angxlo-Saxon menggunakan istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama. 1 Oleh karena kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) bersumber pada W.v.S Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu strafbaar feit (Perbuatan yang dilarang oleh undang- undang yang di ancam dengan hukuman). Dalam hal ini Satochid Kartanegara cenderung untuk menggunakan istilah delict yang telah lazim dipakai. 2 Istilah offence, criminal act, yang oleh Negara-negara Eropa Kontinental dikenal dengan istilah strafbaar feit atau delict, ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tampaknya mengalami keberagaman istilah. Keberagaman ini baik dalam Perundang- undangan maupun dalam berbagai literatur hukum yang ditulis oleh 1 Nurul Irfan Muhammad. “Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah”, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 31. 2 Irfan Muhammad. “Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah”, 45.

BAB II TINJAUAN UMUM A. Pengertian Tindak Pidana

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang

diatur oleh aturan hukum yang di ancam dengan sanksi pidana.

Kata tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda, yaitu strafbaar feit, kadang-kadang juga

menggunakan istilah delict, yang berasal dari bahasa latin delictum.

Hukum pidana negara-negara Angxlo-Saxon menggunakan istilah

offense atau criminal act untuk maksud yang sama.1

Oleh karena kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia

(KUHP) bersumber pada W.v.S Belanda, maka istilah aslinya pun

sama yaitu strafbaar feit (Perbuatan yang dilarang oleh undang-

undang yang di ancam dengan hukuman). Dalam hal ini Satochid

Kartanegara cenderung untuk menggunakan istilah delict yang telah

lazim dipakai.2

Istilah offence, criminal act, yang oleh Negara-negara Eropa

Kontinental dikenal dengan istilah strafbaar feit atau delict, ketika

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tampaknya mengalami

keberagaman istilah. Keberagaman ini baik dalam Perundang-

undangan maupun dalam berbagai literatur hukum yang ditulis oleh

1 Nurul Irfan Muhammad. “Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Dalam Perspektif Fiqh Jinayah”, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat

Departemen Agama RI, 2009), 31. 2 Irfan Muhammad. “Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam

Perspektif Fiqh Jinayah”, 45.

para pakar. Keberagaman istilah para ahli ini meliputi tindak

pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang

boleh dihukum, dan perbuatan pidana.3

Pada dasarnya, istilah strafbaar feit jika dijabarkan secara

harfiah, terdiri dari tiga kata. Straf yang diterjemahkan dengan

pidana dan hukum. Kata baar diterjemahkan dengan dapat dan

boleh. Kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa,

pelanggaran dan perbuatan. Jadi, istilah strafbaar feit secara singkat

bisa diartikan perbuatan yang boleh di hukum. Namun dalam kajian

selanjutnya tidak sesederhana ini, karena yang bisa dihukum itu

bukan perbuatannya melainkan orang yang melakukan sesuatu

perbuatan yang melanggar aturan hukum.

Selanjutnya beberapa rumusan tentang tindak pidana menurut

para pakar hukum pidana perlu dikemukakan bahwa menurut

Simons, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, strafbaar feit atau

tindak pidana adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang

bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan

kelakuan orang yang mampu bertanggung jawab. Hal ini berkaitan

erat dengan dua aliran monisme dan dualisme dalam hukum pidana.

Dalam mengomentari perbedaan pendapat antara aliran

dualisme dan monisme ini, Andi Hamzah mengatakan bahwa

pemisahan tersebut hanya penting diketahui oleh para penuntut

umum dalam menyusun surat dakwaan. Karena surat dakwaan

cukup berisi bagian inti (bestanddelen) delik dan perbuatan nyata

3Irfan Muhammad. “Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam

Perspektif Fiqh Jinayah”, 50.

terdakwa, jadi cukup menyebut unsur actus reusnya saja, tidak

perlu dimuat dalam surat dakwaan bahwa terdakwa dapat di

pertanggungjawabkan (tidak menderita sakit jiwa). Ini penting juga

dalam putusan hakim, jika perbuatan yang didakwakan (bagian inti

delik) tidak terbukti, putusan bebas, jika ada kesalahan, putusan

lepas dari segala tuntunan. Pemaparan rumusan dan definisi para

ahli mengenai tindak pidana dengan berbagai keragamannya,

termasuk pembahasan tentang dua aliran hukum pidana, dualisme

dan monisme di atas, dianggap sangat perlu karena akan berkaitan

dengan masalah unsur-unsur tindak pidana seperti yang akan

diuraikan pada subbab berikutnya.4

B. Pengertian Tindak Pidana Umum dan Khusus

1. Pengertian Tindak Pidana Umum

Tindak pidana umum ini ialah suatu perbuatan pidana yang

pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana yang terdiri dari:

a. Tindak Pidana Umum

Tindak pidana umum ialah suatu perbuatan pidana yang

pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana.

b. Kejahatan

Kejahatan adalah perbuatan yang melanggar dan

bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah

4 Nurul Irfan Muhammad. “Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Dalam Perspektif Fiqh Jinayah”, 59-60.

dan tegasnya, perbuatan yang melanggar larangan yang

ditetapkan dalam kaidah hukum dan tidak memenuhi

atau melawan perintah yang telah ditetapkan dalam

kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.

c. Pelanggaran

Dalam KUHP yang mengatur tentang pelanggaran

adalah Pasal 489-59/BAB I-IX. Pelanggaran adalah

“Wetsdelichten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat

hukumnya baru dapat diketahui setelah ada Wet yang

menentukan demikian. Maka pembunuhan, pencurian,

penganiayaan, dan peristiwa-peristiwa semacam itu

merupakan kejahatan (Rechtsdelicten) karena terpisah

dari aturan pidana yang tegas, dirasakan sebagai

perbuatan yang tidak adil. Sedangkan peristiwa seperti

bersepeda di atas jalan yang dilarang, berkendara tanpa

lampu atau ke jurusan yang dilarang merupakan

kejahatan/Undang-undang/ pelanggaran (Wetsdelicten),

karena kesadaran hukum kita tidak menganggap bahwa

hal-hal itu dengan sendirinya dapat dipidana, tetapi baru

dirasakan sebagai demikian, karena oleh Undang-

undang di ancam degan pidana.5

2. Pengertian Tindak Pidana Khusus

Tindak pidana khusus adalah suatu perbuatan pidana

atau tindak pidana yang diatur di luar kitab Undang-

Undang Pidana dasar pemberlakuan tindak pidana khusus

5 Renggong Ruslan. “Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-

Delik di Luar KUHP”, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), 26-27.

adalah KUHP diatur dalam pasal 103 yaitu: ketentuan-

ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga

berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan

perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana

kecuali jika oleh Undang-undang ditentukan lain, misal:

tindak pidana korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Tindak Pidana Korupsi), Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2003 Tentang Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2003 Tentang Terorisme, Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2003 Terorisme, Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1997 Tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Kejahatan terhadap anak

(Undang-Undang Nomor 23 Tahun2003 Tentang

Perlindungan Anak), Pelanggaran HAM (Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia).

Tindak Pidana Khusus maksudnya ditinjau dari

peraturan yang menurut Undang-undang bersifat khusus

baik jenis tindak pidananya, penyelesaiannya, sanksinya

bahkan hukum acaranya sebagian diatur secara khusus

dalam Undang-undang tersebut dan secara umum tetap

berpedoman pada kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP).6

6Renggong Ruslan. “Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-

Delik di Luar KUHP”, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), 31-32.

C. Pengertian Terorisme

Secara etimologis, terorisme terdiri dari dua kata, yaitu “Teror”

dan “Isme” kata “teror” memiliki arti kekejaman, tindak kekerasan,

dan kengerian, sedangkan kata “Isme” berarti suatu paham. Ada

juga yang mengatakan bahwa kata “teroris” dan terorisme berasal

dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar

atau menggentarkan. Kata teror juga bermakna menimbulkan

kengerian.7

Beberapa pengertian atau definisi terorisme yang dikemukakan

baik oleh beberapa lembaga maupun beberapa ahli antara lain

sebagai berikut:

1. Purdawarminta, mengartikan terorisme sebagai praktek

praktek tindakan teror dengan menggunakan kekerasan

untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai

sesuatu. Terorisme juga diartikan sebagai suatu penggunaan

kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha

mencapai suatu tujuan tertentu, terutama tujuan politik dan

tindakan-tindakan keras yang dipraktekkan oleh pihak

tertentu.

2. James Adams, pengertian terorisme dalam rumusan yang

panjang yaitu penggunaan atau ancaman kekerasan fisik

oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk

tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk

melawan kekuasaan yang ada apabila tindakan-tindakan

terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan,

7 Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,

(Jakarta: Gramata Publishing, 2012), 2.

melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran

yang lebih besar dari pada korban-korban secara langsung.8

3. US Central Inteligence Agency (CIA).

Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan

dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau

diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah

asing.

4. US Faderal Bureau of Investigation (FBI).

Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau

kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi

sebuah pemerintah, penduduk sipil elemen-elemennya

untuk mencapai tujuan sosial atau politik.

5. US Departments of State and Defense

Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan

oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap

sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud

untuk mempengaruhi audien.9

E. V. Walter, Proses teror memiliki tiga unsur, yaitu:

1. Tindakan atau ancaman kekerasan.

2. Reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat

sangat dari pihak korban atau calon korban.

8 Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,

(Jakarta: Gramata Publishing, 2012), 5-6. 9 Wahid Abdul dan Sunardi, “Kejahatan Terorisme Perspektif

Agama, HAM dan Hukum”, (Bandung: Refika Aditama, 2011), 24.

3. Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau

ancaman kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul

kemudian.10

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme:

Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang

memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan

dalam undang-undang ini. Terorisme adalah perbuatan yang

menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang

menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang

dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau

menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang

strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas

internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan

keamanan.11

Terorisme dalam sudut pandang Fiqh Jinayah termasuk ke

dalam Jarimah Hirabah. Hirabah mengandung unsur perampokan,

penteroran, pembegalan, serta istilah-istilah lainnya. Hirabah

merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang kepada pihak lain untuk menguasai harta orang

lain dengan cara menakut-nakuti dan kadang-kadang disertai

dengan pembunuhan. Dalam hal ini, pelaku menakut-nakuti korban

dengan gertakan, ancaman, kecaman, dan kekerasan. Dengan

10

Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,

(Jakarta: Gramata Publishing, 2012), 5-6. 11

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

demikian untuk konteks saat ini, merakit bom dan meledakkannya

termasuk Hirabah. Termasuk ke dalam unsur-unsur hirabah yaitu:

1. menimbulkan rasa takut di jalanan, tetapi tidak merampas harta

dan tidak membunuh.

2. mengambil harta tetapi tidak membunuh korbannya.

3. membunuh korbannya tetapi tidak mengambil hartanya.

4. merampas harta sekaligus membunuh korbannya.12

D. Bentuk-Bentuk Terorisme

Menurut Wilson, sebagaimana diikuti oleh Permadi, secara

umum terdapat tiga bentuk terorisme:

1. Terorisme Revolusioner, yaitu penggunaan kekerasan secara

sistematis dengan tujuan akhir untuk mewujudkan perubahan

radikal dalam tatanan politik.

2. Terorisme Subrevolusioner, yaitu penggunaan kekerasan

teroristik untuk menimbulkan perubahan dalam kebijakan

publik tanpa mengubah tatanan politik.

3. Terorisme Represif, yaitu penggunaan kekerasan teroristik

untuk menekan atau membelenggu individu atau kelompok

dari bentuk-bentuk prilaku yang dianggap tidak berkenan oleh

negara.

Dengan mengutip National Advisory Committe dalam the

Report of the Task Force on Disorder and Terrorism, Muladi

membagi terorisme ke dalam lima bentuk, yaitu:

12

Nurul Irfandan Musyrofah, “Fiqh Jinayah”, (Jakarta:

AMZAH, 2015), 27.

1. Terorisme Politik, yaitu tindakan kriminal yang dilakukan

dengan kekerasan yang didesain terutama untuk menimbulkan

ketakutan di lingkungan masyarakat dengan tujuan politis.

2. Terorisme Non-Politik, yaitu terorisme yang dilakukan untuk

tujuan keuntungan pribadi, termasuk aktivitas-aktivitas

kejahatan terorganisasi.

3. Quasi Terorisme, yaitu tindakan yang menggambarkan

aktivitas yang bersifat insidental untuk melakukan kejahatan

kekerasan yang bentuk dan caranya menyerupai terorisme,

tetapi tidak mempunyai unsur esensialnya.

4. Terorisme Politik Terbatas, yaitu tindakan yang menunjuk

kepada perbuatan terorisme yang dilakukan untuk tujuan atau

motif politik, tetapi tidak merupakan bagian dari suatu

kampanye bersama untuk menguasai pengendalian negara.

5. Terorisme Penjabat atau Negara, yaitu suatu tindakan

terorisme yang terjadi di suatu bangsa yang tatanannya

didasarkan atas penindasan.13

Jika dilihat dari motif yang melatarbelakangi terjadinya

terorisme atau tujuan yang hendak dicapai oleh pelaku, terdapat tiga

bentuk terorisme.

1. Pertama, Political Terorism, yaitu suatu terorisme yang

dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara

sistematik, menggunakan pola-pola kekerasan, intimidasi, dan

ditujukan terutama untuk menumbuhkan ketakutan dalam

13

Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,

(Jakarta: Gramata Publishing, 2012), 9.

suatu masyarakat demi mencapai tujuan-tujuan yang bersifat

politik.

2. Kedua, Criminal Terrorism, yaitu terorisme yang diarahkan

untuk tujuan-tujuan politik, tetapi dilakukan berdasarkan

kepentingan suatu kelompok atau suatu komunitas tertentu

dalam memperjuangkan tujuan kelompok atau organisasinya.

Kelompok yang termasuk dalam pengertian ini adalah

kelompok yang bermotif ideologi, agama, aliran atau yang

mempunyai paham-paham tertentu.

3. Ketiga, state terrorism, yaitu kegiatan terorisme yang

disponsori oleh negara atau dilakukan atas nama negara yang

berupa aksi teror yang dilakukan oleh negara terhadap individu

atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu ataupun

terhadap bangsa-bangsa atau negara-negara tertentu.14

E. Karakteristik Terorisme

Loudewijk F. Paulus mengemukakan bahwa terorisme

memiliki empat karakteristik ditinjau dari empat macam

pengelompokannya. Pertama, karakter organisasi yang meliputi

Organisasi, rekrutmen, pendanaan, dan hubungan internasional.

Kedua, karakteristik operasi yang meliputi perencanaan, waktu,

taktik, dan kolusi. Ketiga, karakteristik prilaku yang meliputi

motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh dan keinginan

menyerah hidup-hidup. Ketiga karakteristik sumber daya yang

14

Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,

(Jakarta: Gramata Publishing, 2012), 15-16.

meliputi latihan/kemampuan pengalaman perorangan di bidang

teknologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi.

Hasana Hasbi mengatakan bahwa karakteristik terorisme

antara lain:

1. Pengeksploitasian teror sebagai salah satu kelemahan manusia

secara sistematik.

2. Penggunaan unsur-unsur pendadakan/kejutan dalam

perencanaan setiap aksi teror.

3. Mempunyai tujuan-tujuan strategi untuk mencapai tujuan

politik dan sasaran-sasaran spesifik pada umumnya.15

Karakteristik juga dikemukakan oleh Paul Wilkinson.

Menurutnya, pengertian terorisme adalah aksi teror yang sistematis,

rapi dan dilakukan oleh organisasi tertentu dan terorisme politis

dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Merupakan intimidasi yang memaksa.

2. memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis

sebagai sarana untuk suatu tujuan tertentu.

3. Korban bukan tujuan melainkan sarana untuk menciptakan

perang urat syaraf, yakni “bunuh satu orang untuk menakuti

seribu orang”

4. Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, tetapi

tujuannya adalah publisitas

5. Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu

menyatakan secara personal.16

15

Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,

(Jakarta: Gramata Publishing, 2012), 20 .

F. Pembebasan Bersyarat

1. Pengertian Pembebasan Bersyarat

Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan Narapidana

di luar Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan setelah

menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa

pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana

tersebut minimal 9 (sembilan) bulan. Pembebasan bersyarat

tersebut merupakan bagian dari fungsi Rumah

Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah

satu dari bagian sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu

Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.17

Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam

peraturan perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya

termuat dengan istilah pelepasan bersyarat di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di mana

penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van

straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu

sendiri. Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam

Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie terpengaruh

oleh sistem pidana penjara di Inggris (progressive system), di

mana pembebasan bersyarat tersebut dimaksudkan sisa pidana

terakhir dalam rangka pengembalian terpidana dengan baik ke

masyarakat.

16

Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,

(Jakarta: Gramata Publishing, 2012),23-24. 17

Lihat Pada Penjelasan Peraturan Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Nomor 3 tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara

Pemberian Pembebasan Bersyarat.

Dasar hukum yang utama mengenai pembebasan

bersyarat adalah tertuang dalam Pasal 15 dan Pasal 16

KUHP, di samping itu terdapat pula aturan pelaksanaan

yang lain dalam berbagai bentuk peraturan perundang-

undangan.

Dalam Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP tersebut terdapat syarat-

syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat bagi narapidana.

Pasal 15 KUHP :

(1) Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya

pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-

kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat

dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus

menjalani beberapa pidana berturut- turut, pidana itu

dianggap sebagai satu pidana.

(2) Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan

pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-

syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.

(3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu

pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu

tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah,

maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.18

Pasal 15 a KUHP :

(1) Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum

bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana

dan perbuatan lain yang tidak baik.

(2) Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus

mengenai kelakuan terpidana, asal saja tidak

mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan

berpolitik.

(3) Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat

dipenuhi ialah pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1.

18

Lihat pada KUHAP dan KUHP Pasal 15

(4) Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan

pengawasan khusus yang semata- mata harus bertujuan

memberi bantuan kepada terpidana.

(5) Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah

atau di hapus atau dapat diadakan syarat-syarat khusus

baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus.

Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada orang

lain daripada orang yang semula diserahi.

(6) Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat

pas yang memuat syarat-syarat yang harus

dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di

atas dijalankan, maka orang itu diberi surat pas baru.19

Pasal 15 b KUHP :

(1) Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama

masa percobaan melakukan hal-hal yang melanggar

syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka

pelepasan bersyarat dapat dicabut. Jika ada sangkaan

keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri

Kehakiman dapat menghentikan pelepasan bersyarat

tersebut untuk sementara waktu.

(2) Waktu selama terpidana dilepaskan bersyarat sampai

menjalani pidana lagi, tidak waktu pidananya.

(3) Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan

bersyarat tidak dapat dicabut kembali, kecuali jika

sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut

karena melakukan tindak pidana pada masa percobaan,

dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang

menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut

dalam waktu tiga bulan bersyarat masih dapat dicabut

dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap

berdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan

tindak pidana selama masa percobaan.20

19

Lihat pada KUHAP dan KUHP Pasal 15 a 20

Lihat Pada KUHAP dan KUHP Pasal 15 b

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 KUHP

tersebut di atas dapat dilihat tentang syarat pemberian

pembebasan bersyarat. Dalam hal tersebut terdakwa harus

telah menjalani hukuman sekurang-kurangnya dua pertiga

dari hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atau sekurang

kurangnya Sembilan (9) bulan dan dalam jangka waktu

yang telah ditentukan tidak boleh melakukan perbuatan-

perbuatan yang dapat dihukum.

2. Faktor Pemberian Pembebasan Bersyarat

Faktor pemberian pembebasan bersyarat bagi

narapidana disebabkan oleh faktor (over capacity) penghuni

Lapas melebihi kapasitas. Dalam lembaga pemasyarakatan.

Dengan adanya pemberian pembebasan bersyarat bagi

narapidana bertujuan untuk membangkitkan motivasi atau

dorongan diri narapidana dan anak didik pemasyarakatan ke

arah pencapaian tujuan pembinaan.21

Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, jadi

mereka menjadi narapidana bukan lagi dibuat jera, tetapi

dibina kemudian di masyarakat. Pembinaan dalam

pemasyarakatan dapat dibagi dalam tiga hal yaitu:

a. Setelah keluar dari lembaga kemasyarakatan tidak lagi

melakukan tindak pidana.

21

Ririn Aprianti, “Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Pelaksanaan

Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana Pelaku Kejahatan Pembunuhan

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Di LAPAS KELAS 1

PALEMBANG” Skripsi ini untuk meraih gelar S1 fakultas Syariah dan

hukum universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang tahun 2017, di

akses pada tanggal 21 Oktober 2019, Pukul 05:14 WIB.

b. Menjadi manusia yang berguna dan berperan aktif dan

kreatif dalam membangun bangsa dan negara.

c. Mampu mendekatkan diri kepada tuhan yang maha Esa

dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.22

Selain itu juga pemberian pembebasan bersyarat

dapat memberikan kesempatan terhadap narapidana untuk

mempersiapkan diri hidup mandiri di tengah masyarakat

setelah bebas menjalani pidana dan mendorong masyarakat

untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan

pemasyarakatan melalui pendidikan dan keterampilan di

lembaga kemasyarakatan.

G. Hukum Pidana

Beberapa pendapat Pakar hukum Indonesia mengenai Hukum

Pidana, antara lain sebagai berikut:

1. Moeljatno, mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian

dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara,

yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,

yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang

berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar

larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka

yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat

22

Dilihat Pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan.

dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah

dicantumkan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu

dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah

melanggar larangan tersebut.

2. Satochid Kartanegara, bahwa hukum pidana dapat

dipandang dari beberapa sudut, yaitu:

a. Hukum Pidana dalam arti Objektif, yaitu sejumlah

peraturan yang mengandung larangan-larangan atau

keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam

dengan hukuman.

b. Hukum Pidana dalam arti Subjektif, yaitu sejumlah

peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum

seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.

Berdasarkan pendapat ahli dan pakar hukum di atas penulis

membuat kesimpulan, dan menyatakan Hukum Pidana adalah

sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya

berupa larangan maupun keharusan sedangkan bagi pelanggar

terhadap larangan maupun keharusan tersebut dikenakan sanksi

yang dapat dipaksakan oleh negara.

Pengertian Hukum Pidana Islam, istilah hukum islam berasal dari

tiga kata dasar, yaitu Hukum, Pidana, Islam. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia kata hukum diartikan dengan peraturan atau adat

yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh

penguasa, pemerintah, atau otoritas, Undang-undang, peraturan dan

sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, (patokan

kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa, keputusan (pertimbangan)

yang ditetapkan oleh hakim dalam (pengadilan). Kata kedua yaitu

pidana, yang berarti Kejahatan, tentang pembunuhan, perampokan,

korupsi dan lain sebagainya, adapun kata ketiga yaitu islam yang

didefinisikan agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad

Saw. Untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga

mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak mereka

untuk memeluknya. Dari gabungan ketiga kata di atas muncul istilah

Hukum Pidana Islam merupakan seperangkat Norma atau peraturan

yang bersumber dari Allah dan Nabi Muhammad Saw. Untuk

mengatur kejahatan manusia di tengah-tengah masyarakat. Dengan

kalimat yang lebih singkat, Hukum Pidana Islam dapat diartikan

Hukum tentang kejahatan yang bersumber dari ajaran Islam. Tujuan

hukum islam sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi yang

ada dalam dirinya dan tidak menyimpang dari cita-cita nasional

republik Indonesia, hal ini dapat dicapai dengan cara mengambil

segala hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala hal yang

merusak dalam rangka menuju keridhoan Allah sesuai prinsip tauhid.23

H. Sanksi Pidana

1. Pengertian Sanksi Pidana

Pengertian sanksi menurut hukum pidana, sanksi

dalam kamus besar bahasa Indonesia, berarti hukuman atas

pelanggaran. Dalam hukum pidana, sanksi disebut dengan

tindakan (straf) atau disebut juga pidana (maatregel).

23

Https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/adi

mpiero/makalah-hukum-pidaanaislam-sebagai-solusi-kebuntuan-hukum-

pidana-nasiona., diakses Pada Tanggal 18 Desember Pukul 05:40.

Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat,

sebab adalah kasusnya dan akibat akan memperoleh sanksi

baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak

berwajib. Sanksi pidana merupakan suatu jenis sanksi yang

bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap

perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana

yang dapat mengganggu atau membahayakan kepentingan

hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu

penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan

tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan

sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri.

Sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang

menaati norma-norma yang berlaku.

2. Macam-Macam Sanksi

Menurut ketentuan Pasal 10 KUHP terdapat beberapa

jenis hukuman yang dapat dijatuhkan pada seseorang yang

telah melakukan tindak pidana, di mana hukuman akan

dijatuhkan itu dapat berupa:24

a. Pidana Pokok:

Pidana pokok merupakan jenis pidana wajib yang

dijatuhkan manakala seseorang terbukti secara sah dan

meyakinkan menurut hakim telah melakukan suatu

tindak pidana yang telah diatur sebelumnya dalam suatu

perundang-undangan.

1) Pidana Mati

24

KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), 5-6.

Sebagai mana yang ditentukan dalam pasal 11 KUHP

yaitu:

“pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat

gantungan pada leher terpidana kemudian

menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.

Di dalam negara Indonesia tindak pidana yang

diancam pidana mati semakin banyak yaitu

pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111

ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140

ayat (4) KUHP, Pasal 340 KUHP, 43 Pasal 365 ayat

(4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2)

KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP, pasal 2 ayat

(2) UU No.31 tahun 1999 yang telah diubah dan

ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pelaksanaan

pidana mati harus diiringi dengan Keputusan

Presiden, terpidana yang dijatuhi hukuman mati

sekalipun tidak bisa menolak untuk memohon

pengampunan atau grasi dari Presiden. Pidana mati

ditunda jika terpidana sakit jiwa atau wanita yang

sedang hamil, ini sesuai dengan ketentuan dalam

Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang

mengatakan pelaksanaan pidana mati dilakukan

dengan memperhatikan kemanusiaan.

2) Pidana Penjara

Menurut A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah

menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan

bentuk pidana yang berupa kehilangan

kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana

kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam

bentuk pidana penjara tetapi juga berupa

pengasingan. Pidana penjara bervariasi dari penjara

sementara minimal satu hari sampai penjara seumur

hidup.25

3) Kurungan

Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama

dengan pidana penjara, keduanya merupakan jenis

pidana perampasan kemerdekaan. Pidana kurungan

membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang

terpidana dengan mengurung orang tersebut di dalam

sebuah lembaga kemasyarakatan.

Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan

dibandingkan dengan pidana penjara, ini ditentukan

oleh Pasal 69 (1) KUHP, bahwa berat ringannya

pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10

KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati

urutan ketiga. Lama hukuman pidana kurungan

adalah sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama

satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam

Pasal 18 KUHP, bahwa :

“Paling sedikit satu hari dan paling lama

setahun, dan jika ada pemberatan karena

25

Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia,

(Bandung: Alfabeta, 2010), 91.

gabungan atau pengulangan atau karena

ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu

tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali

tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan”.

4) Denda

Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua

bahkan lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua

dengan pidana mati. Pidana denda adalah kewajiban

seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut

oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah

uang tertentu oleh karena ia telah melakukan suatu

perbuatan yang dapat dipidana. Menurut P.A.F.

Lamintang bahwa:26

Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan

Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi

kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-

pelanggaran. Pidana denda ini juga diancamkan

baik baik satu-satunya pidana pokok maupun

secara alternatif dengan pidana penjara saja, atau

alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut

secara bersama-sama.

b. Pidana Tambahan:

Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat

menambah pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah

dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu

dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana

tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan

26

P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung:

Armico,1988), 69.

tetapi tidaklah harus. Menurut Hermin Hadiati Koeswati

bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan

ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok, ketentuan

tersebut adalah:27

1) Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di

samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan

tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya.

2) Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di

dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan

dengan tegas sebagai ancaman, ini berarti bahwa

pidana tambahan tidak diancamkan.

3) Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi

hanya diancamkan kepada beberapa perbuatan

pidana tertentu.

4) Walaupun diancamkan secara tegas di dalam

perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun

sifat pidana tambahan ini adalah fakultatif. Artinya,

diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya

atau tidak.

1) Pencabutan Hak-Hak Tertentu

Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38

ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim menentukan

lamanya pencabutan hak sebagai berikut :

1) Dalam hal pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup, maka lamanya pencabutan

adalah seumur hidup.

2) Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu

atau pidana kurungan, lamanya pencabutan

paling sedikit dua tahun dan paling banyak

lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.

27

Hermin Hadiati, Asas-asas Hukum Pidana, (Ujung Pandang:

Lembaga Percetakan dan Penerbitan Universitas Muslim Indonesia, 1995),

45.

3) Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan

paling sedikit dua tahun dan paling banyak

lima tahun.

Pencabutan hak itu mulai berlaku pada hari putusan

hakim dapat dijalankan. Dalam hal ini hakim tidak

berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya

jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa

lain untuk pemecatan itu.

2) Perampasan Barang-Barang Tertentu

Pidana perampasan barang-barang tertentu

merupakan jenis pidana harta kekayaan, seperti

halnya dengan pidana denda. Ketentuan mengenai

perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam

Pasal 39 KUHP yaitu :

1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang

diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja

dipergunakan untuk melakukan kejahatan,

dapat dirampas;

2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang

tidak dilakukan dengan sengaja atau karena

pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan

perampasan berdasarkan hal-hal yang telah

ditentukan dalam undang-undang;

3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang

yang bersalah yang diserahkan kepada

pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang

yang telah disita.

Perampasan atas barang-barang yang tidak disita

sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila

barang-barang itu tidak diserahkan atau harganya

menurut taksiran dalam putusan hakim tidak dibayar.

Kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan

paling lama enam bulan. Kurungan pengganti ini

juga dihapus jika barang-barang yang dirampas

diserahkan.

3) Pengumuman Putusan Hakim

Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43

KUHP yang mengatur bahwa:

“Apabila hakim memerintahkan supaya putusan

diumumkan berdasarkan kitab undang-undang

ini atau aturan umum yang lainnya, harus

ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan

perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan

pengumuman putusan hakim hanya dapat

dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan

undang-undang”.

3. Sanksi Menurut Hukum Pidana Islam

Sanksi di dalam hukum Pidana Islam disebut hukum

atau uqubah. „uqubah yang artinya yaitu balasan bagi

seseorang yang melanggar ketentuan syara’ yang

ditetapkan Allah dan Rasul-Nya demi kemaslahatan

manusia. Dalam menetapkan hukuman, seorang hakim

menggunakan prinsip ikhtiyath: hindari hukuman had

terhadap perkara subhat, dan lebih baik salah memaafkan

daripada salah menjatuhkan hukuman.28

Hukuman harus mempunyai dasar baik dari Al-Quran,

maupun Hadits. Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh

28

Mugiyono, Fiqh Islam, (Palembang: UIN Raden Fatah, 2017),

227.

Islam dalam upaya menyelamatkan manusia baik

perseorangan maupun masyarakat dari kerusakan dan

menyingkirkan hal-hal yang menimbulkan kejahatan. Islam

mengamankan dengan berbagai ketentuan baik berdasarkan

Al-Quran, Hadits, maupun berbagai ketentuan ulil amri.

Semua itu pada hakikatnya dalam menyelamatkan umat

manusia dari ancaman kejahatan yang dapat

membahayakan manusia itu sendiri.

Adapun dasar-dasar pemberian hukuman atau sanksi

adalah sebagai berikut:

a. Surah Shad ayat 2629

:

Artinya: Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu

khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah

keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil

dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,

karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan

Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat

darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat,

karena mereka melupakan hari perhitungan.

29

Al-Quran, Surah Shad Ayat 26.

b. Surah An-Nisa ayat 13530

:

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu

orang yang benar-benar penegak keadilan,

menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap

dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum

kerabatmu. Jika ia Kaya ataupun miskin, Maka

Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka

janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena

ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika

kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan

menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah

adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu

kerjakan.

Sanksi hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai

dengan tindak pidananya, antara lain:

a. Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat

nashnya dalam Al-Quran dan al-Hadist. Maka hukuman

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishas,

diyat, dan kaffarat. Misalnya hukuman bagi pezina,

perampok, pencuri, pemberontak, pembunuh dan orang

yang mendzihar istrinya. Adapun penjelasan dari

30

Al-Quran, Surah An-Nisa Ayat 135.

macam-macam sanksi hukum hudud, qishas, diyat, dan

kaffarat yaitu:

a) Hudud

Hudud adalah kosa kata dalam bahasa Arab yang

merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata had yang

asal artinya pembatas antara dua benda. Dinamakan

had karena mencegah bersatunya sesuatu dengan

yang lainnya. Ada juga yang menyatakan bahwa

kata had berarti al-man‟u (pencegah), sehingga

dikatakan hudud Allah adalah perkara-perkara yang

dilarang oleh Allah untuk dilakukan atau dilarang

untuk dilanggar.31

b) Qishas

Qishas adalah pembalasan yang serupa dengan

perbuatan pembunuhan melukai merusakkan

anggota badan atau menghilangkan manfaatnya,

sesuai pelanggarannya. Qishas dibagi dua macam

yaitu:

1) Qishas jiwa, hukum bunuh bagi tindak pidana

pembunuhan.

2) Qishas anggota badan, yakni hukum qishas atau

tindak pidana melukai, merusakkan anggota

badan, atau menghilangkan manfaat anggota

badan.

31

A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1997), 29.

c) Diyat

Diyat adalah harta yang wajib dikeluarkan karena

tindakan pidana dan diberikan kepada korban atau

keluarganya. Diyat tersebut terdapat pada tindak

pidana yang mengharuskan qishas di dalamnya,

juga pada tindak pidana yang tidak terdapat qishas

di dalamnya.32

Diyat terbagi dalam dua macam

yaitu:

1) Diyat mughalladzah (denda yang berat) yaitu

disebabkan karena membunuh seorang yang

merdeka Islam secara sengaja.

2) Diyat mukhaffafah (diyat ringan) yaitu

disebabkan karena pembunuhan seorang Islam

tanpa sengaja.33

d) Kaffarat

Kaffarat adalah tebusan dengan melakukan

perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan oleh

syari’at Islam karena melakukan kesalahan atau

pelanggaran yang diharamkan oleh Allah SWT.

Adapun macam-macam kaffarat adalah :

1) Kafarat karena pembunuhan

2) Kaffarat karena melanggar sumpah

3) Kaffarat karena membunuh binatang pada waktu

melaksanakan ihram

32

Zulkarnain Lubis dan Bakti Ritonga, Dasar-Dasar Hukum

Acara Jinayah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), 3. 33

Rahmad Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka

Setia, 2010), 157.

4) Kaffarat karena zihar

5) Kaffarat karena melakukan hubungan intim

suami istri pada waktu puasa

2) Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini

disebut dengan hukuman ta‟zir, seperti percobaan

melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan

amanah, sanksi palsu, dan melanggar aturan lalu

lintas.34

b. Hukuman ditinjau dari segi hubungannya antara suatu

hukuman dengan hukuman lain, dapat dibagi empat:

1) Hukuman pokok, yaitu hukuman yang asal bagi suatu

kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan

hukuman jilid bagi pezina ghair muhsan.

2) Hukuman pengganti, yaitu hukuman yang menempati

hukuman pokok, apabila hukuman pokok itu tidak

dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum, seperti

hukuman denda bagi pembunuh yang disengaja yang

dimaafkan qishasnya oleh keluarga korban.

3) Hukuman tambahan, yaitu hukuman yang dijatuhkan

kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok,

seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk

mendapatkan warisan dari harta terbunuh.

4) Hukuman pelengkap, yaitu hukuman yang dijatuhkan

sebagai pelengkap terhadap hukuman yang telah

dijatuhkan, seperti mengalungkan tangan pencuri yang

34

Hakim, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2009),

165.

telah dipotong di lehernya. Hukuman ini harus

berdasarkan keputusan hakim tersendiri. Sedangkan

hukuman pengganti tidak memerlukan keputusan

hakim tersendiri.

c. Hukuman ditinjau dari segi kekuasaan hakim yang

menjatuhkan hukuman, maka hukuman dapat dibagi

menjadi dua, yaitu:

1) Hukuman yang memiliki satu batas tertentu, di mana

hakim tidak dapat menambah atau mengurangi batas

itu, seperti hukuman had.

2) Hukuman yang memiliki dua batas yaitu batas

tertinggi dan batas terendah, di mana hakim dapat

memilih hukuman yang paling adil dijatuhkan kepada

terdakwa, seperti dalam kasus-kasus maksiat yang

diancam dengan ta‟zir.

d. Hukuman ditinjau dari sasaran hukum, hukuman dibagi

menjadi empat:

1) Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan

kepada badan manusia, seperti hukuman jilid.

2) Hukuman yang dikenakan kepada jiwa, yaitu hukuman

yang mati.

3) Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan

manusia, seperti hukuman penjara atau pengasingan.

4) Hukuman harta, yaitu hukuman yang dikenakan

kepada harta, seperti diyat, denda, dan perampasan.35

35

A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan

dalam Islam), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 28-29.