Upload
nguyennhi
View
228
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
16
BAB II
TINJAUAN UMUM PONDOK MODERN GONTOR DAN
PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
A. Gambaran Umum Tentang Pondok Modern Gontor
1. Pengertian Pondok Modern Gontor
Kata Pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti ruang
tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat
penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya.1
Menurut Imam Zarkasyi pondok adalah lembaga pendidikan
agama Islam dengan sistem asrama, dimana kyai sebagai figur sentralnya,
masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama
Islam dibawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan
utamanya.2
Menurut Mastuhu, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan
Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral
keagamaan sebagai pedoman sehari-hari.3 Nurcholis Madjid
mendefinisikan pondok pesantren adalah lembaga yang mewujudkan
proses wajar perkembangan sistem pendidikan Nasional.4
H.M Arifin mengungkapkan bahwa pondok pesantren adalah
sebuah lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh
masyarakat sekitar dengan sistem asrama (kampus) dimana santri-santri
menerima pendidikan agama Islam melalui sistem pengajaran atau
madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership
1Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 99. 2Tim Penyusun, Biografi KH Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern,
(ponorogo: Gontor Prss, 2006), hlm. 56. 3Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 55. 4Nurcholis Madjid, Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren, dalam Dawam
Raharjo (ed) Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 3
17
seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat
karismatik serta in dependen dalam segala hal.5
Sedangkan modern adalah hal yang baru yang sifatnya mutakhir,6
Nurcholis Madjid mengatakan modern adalah zaman kekinian.7 Modern di
pondok modern Gontor adalah metode dan sistem pendidikan yang
diterapkan menganut sistem pendidikan klasikal yang terorganisisir dalam
bentuk perjenjangan dengan jangka waktu yang ditetapkan dan
diperkenalkan sistem ekstrakulikuler.8
Jadi pondok modern Gontor, adalah pondok modern yang
menggunakan sistem dan metodenya serta prasarananya sudah memakai
alat-alat mutakhir seperti komputer dan sebagainya yang menitik beratkan
pada masalah efisiensi dan efektifitas pendidikan.
2. Ciri-ciri Pondok Modern Gontor
Pembaharuan pondok modern Gontor yang dilakukan oleh Imam
Zarkasyi juga didasarkan pada hasil penelitian para ahli yang melihat
bahwa pondok modern Gontor dapat dibedakan dengan pesantren
tradisional.
Adapun pondok modern Gontor memiliki ciri-ciri kemodernannya
sebagai berikut: Pertama, dalam bidang metode dan sistem yang
diterapkan menganut sistem pendidikan klasikal yang terorganisir dalam
bentuk perjenjangan yang ditetapkan disamping secara klasikal juga
diperkenalkan sistem ekstra kurikuler, dan untuk terlaksananya kegiatan
tersebut diadakan sistem asrama, dengan sistem asrama ini dimaksudkan
agar tujuan dan asas pendidikan dapat dibina dan dikembangkan secara
efektif dan efisien.
5HM. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Islam dan Umum), Jakarta: Bumi Aksara,
1991), hlm. 240 6Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm.
652. 7Nurcholish Madjid, KH. Imam Zarkasyi: Peran dan Kertokohannya, dalam KH. Imam
Zarkasyi di Mata Ummat, (Ponorogo: Gontor Press, 1996), hlm. 965 8Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja grafindo Persada, 2001), hlm. 203.
18
Kedua, dalam bidang kurikulum, kurikulum pondok modern
Gontor adalah seratus persen pendidikan umum dan seratus persen
pendidikan agama, antara keduanya mempunyai muatan seimbang,
disamping pelajaran di kelas juga diajarkan itikad dan tatakrama yang
berupa kesopanan batin dan diberikan pelajaran keterampilan.
Ketiga, dalam bidang metodologi, pondok modern Gontor dalam
menggunakan metodenya adalah dengan menggunakan metode direct
method atau metode langsung yang diarahkan kepada penguasaan bahasa
secara aktif dengan cara memperbanyak latihan (drill) baik lisan maupun
tulisan. Dengan demikian, tekanan banyak diarahkan pada pembinaan
kemampuan anak untuk memfungsikan kalimat secara sempurna dan
bukan pada gramatika tanpa mampu berbahasa dengan baik.
Keempat, dalam bidang manajemen, demi kepentingan pendidikan
dan pengajaran Islam, lembaga pendidikan tidak dipegang oleh kyai
secara turun temurun akan tetapi sudah dipegang oleh badan wakaf,
struktur kepengurusan seluruhnya diserahkan kepada badan wakaf. Dalam
hal ini badan wakaf mempunyai program yang berkenaan dengan
pendidikan dan pengajaran, bidang peralatan dan pergedungan, bidang
perwakafan dan sumber dana, bidang kaderisasi serta bidang
kesejahteraan dengan demikian pengaturan jalannya organisasi pendidikan
menjadi dinamis, terbuka dan obyektif.
Sedangkan ciri pondok tradisional adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam bidang kurikulum pesantren tradisional hanya
mengerjakan pengetahuan agama, sehingga lulusannya tidak dapat
memasuki lapangan kerja yang mensyaratkan memiliki pengetahuan
umum, pengetahuan teknologi dan ketrampilan.
Kedua, dalam bidang metodologi pengajaran, pesantren tradisional
kurang dapat memberdayakan lulusannya. Para pelajar pesantren
tradisional diajari dengan berbagai macam ilmu bahasa arab dengan susah
payah dan menjelimet, tapi mereka tidak dapat berbicara dan menulis
19
bahasa arab dengan baik. Mereka terlihat minder dan kurang rasa percaya
diri.
Ketiga, dalam bidang manajemen, pesantren tradisional
menerapkan sistem manajemen yang sentralistik, tertutup, emosional dan
tidak demokratis. Semua hal yang berkaiatan dengan pesantren
sepenuhnya berada ditangani kiai yang memiliki otoritas penuh sampai ia
merasa tidak sanggup lagi atau meninggal dunia.9
3. Tujuan Pondok Modern Gontor
Pondok modern Gontor dalam proses perkembangannya masih
tetap disebut suatu lembaga keagamaan yang mengembangkan dan
mengajarkan ilmu agama Islam. Dengan segala dinamikanya pondok
modern Gontor dipandang sebagai lembaga yang merupakan pusat dari
perubahan-perubahan masyarakat lewat kegiatan dakwah Islam.
Pondok modern Gontor adalah lembaga pendidikan Islam yang
pada umumnya menyatakan tujuan pendidikannya dengan jelas, berbeda
dengan pesantren terutama pesantren-pesantren lama biasanya tidak
merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikannya. Namun
bukan berarti bahwa pendidikan pesantren itu berlangsung tanpa arah
yang dituju, hanya saja tujuan itu tidak dirumuskan secara sistematis dan
dinyatakan secara eksplisit.
Hal tersebut ada hubungannya dengan sifat kesederhanaan pondok
modern yang sesuai dengan dorongan berdirinya di mana kyai mengajar
dan santri belajar adalah semata-mata untuk ibadah dan tidak pernah
dikaitkan dengan orientasi tertentu dalam lapangan penghidupan atau
tingkatan dan jembatan tertentu dalam hirarki sosial atau birokrasi
kepegawaian.10
9Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Isalm di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Press, 2005), 205-211. 10Ahmad Maghfurin, Pesantren Model Pendidikan Alternatif Masa Depan, dalam Ismail
SM (ed) Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 145
20
Tujuan pondok pesantren menurut Zamakhsari Dhofier adalah
untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, untuk
meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai
nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku
yang jujur dan bermoral serta menyiapkan murid untuk hidup sederhana
dan bersih hati.11
Menurut Hasbullah tujuan pondok pesantren adalah membimbing
manusia menuju kepribadian muslim, mengarahkan masyarakat melalui
ilmu dan amal dan untuk mempersiapkan santri menjadi alim ilmu agama,
bermanfaat bagi diri dan lingkungannya.12 Yusuf Faisal berpendapat
bahwa tujuan pondok pesantren ada tiga: Pertama, mencetak ulama yang
menguasai ilmu-ilmu agama. Kedua, mendidik muslim yang dapat
melaksanakan syari’at agama untuk mengisi, membina dan
mengembangkan peradaban Islam. Ketiga, mendidik santri agar memiliki
ketrampilan dasar yang relevan dengan masyarakat religius.13
Matsuhu mengungkapkan tujuan pondok pesantren adalah
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu kepribadian
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat
bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi
kaula atau abdi masyarakat sekaligus menjadi rasul, yaitu menjadi pelayan
masyarakat sebagaimana kepribadian nabi Muhammad Saw (mengikuti
sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian,
menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam
ditengah-tengah masyarakat (‘izzul Islam wal Muslimin), dan mencintai
ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya
pengembangan kepribadian yang ingin dituju ialah kepribadian muhsin,
11Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1994), hlm. 21. 12Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1985), hlm. 24-25 13Jusup Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995,
hlm. 183-184
21
bukan sekedar muslim.14 Nurcholis Madjid, merumuskan tentang tujuan
pondok pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki keteladanan
tinggi bahwa ajaran agama weltanschauung yang menyeluruh.15
Sedangkan tujuan pondok modern Gontor adalah mencetak santri
menjadi ulama intelek, intelek ulama, menjadi orang muttaqin, mu'min,
muslim, muhsin bahagia di dunia dan akhirat, pendidikan agama dan
umum seimbang, menjadikan manusia pembangunan rohani dan jasmani,
menjadi manusia serba guna dan serba bisa seperti pendidik, guru, ulama,
pegawai, wiraswasta, ABRI, petani dan lain-lain serta berkhidmat pada
bangsa dan negara.16
4. Elemen-elemen Pondok Modern Gontor
Sebagai komunitas tersendiri, pondok modern Gontor terdiri dari
kyai, santri dan pengurus pondok yang hidup bersama dalam satu kampus
berdasarkan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan
kebiasaan-kebiayasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan
masyarakat umum yang mengitarinya.17
Menurut Nurchalis Madjid pada mulanya pondok terdiri atas
seorang kyai dan seorang atau beberapa orang santri yang ditampung di
rumah kyai. Mereka bekerja untuk kyai di sawah atau di ladang dan
menggembalakan ternaknya. Ketika bekerja kehidupan mereka
ditanggung oleh kyai. Lama kelamaan semakin besar jumlah santri
mulailah para santri mendirikan bangunan-bangunan kecil tempat mereka
tinggal.
Dengan demikian lembaga pendidikan Islam yang disebut pondok,
sekurangnya ada empat elemen diantaranya kyai, santri, masjid, pondok18.
14Matsuhu, op.cit., hlm. 56 15Nurcholis Madjid, Belik-Belik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, 1997), hlm. 18 16Ali Murtadlo, Gontor Masa Lampau dan KH. Imam Zarkasyi Sebagai Figur
Pengajarnya, dalam KH. Imam Zarkasyi di Mata Umat, (Ponorogo: Gontor Press, 1996), 734. 17Nurcholis Madjid, op.cit., hlm. 571 18Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam Studi Tentang Daya Tahan
Pesantren Tradisional, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hlm. 89
22
Mestuhu berpendapat bahwa elemen pondok itu terbagi menjadi tiga:
Pertama, kyai, ustadz, santri, dan pengurus. Kedua, masjid, rumah kyai,
rumah ustadz, pondok, gedung. Ketiga, tujuan, kurikulum, sumber belajar,
yaitu kitab, buku-buku, dan sumber belajar lainnya.19 Sementara
Zamaksari Dhofir menyebutkan, bahwa pesantren mempunyai lima
elemen yaitu kyai, masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab Islam.20
a. Kyai
Keberadaan Kyai dalam pondok sangat urgen dan esensial
karena dia adalah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin
dan terkadang juga pemilik pondok. Seorang guru di suatu pondok,
kata Geertz, dan setiap sarjana dalam ilmu keislaman pada umumnya
dapat disebut kyai.
Keterangan Geertz yang sangat dikenal dengan teorinya
mengenai verian santri, abangan, dan priyayi dalam budaya jawa.21
Secara sepintas saja sudah menunjukkan pada kekurangan, tidak setiap
guru dalam pondok, sekalipun guru agama, dapat disebut kyai. Banyak
syarat yang harus ditambahkan pada seorang guru di pondok untuk
disebut kyai, antara lain dari segi ilmu, kualitas kepribadian atau
kepemimpinan.22
Menurut asal usulnya, perkataan kyai dalam bahasa Jawa
dipakai untuk 3 jenis gelar yang saling berbeda diantaranya:
1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-arang yang dianggap
keramat misalnya, Kyai Garuda Kencana, dipakai untuk sebutan
kereta Emas yang ada di Kraton Yogyakarta.
2. Gelar kehormatan untuk orang tua pada umumnya.
19Mastuhu, op.cit., hlm. 58 20Zamakhsari Dhofier, op-cit., hlm. 44. 21Clifford Geertz, The Religion of Java, (New York: Thr Free Press, 1960), hlm. 134 22Dawam Raharjo, Intelektual Intelligensi dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung:
Mizan, 1993, hlm. 171
23
3. Gelar yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam
yang memimpin pesantren dan mengajar kepada santrinya.23
Kyai dalam pembahasan ini mengacu kepada pengertian
ketiga, walaupun sebenarnya predikat kyai saat ini tidak lagi hanya
diperuntukkan bagi yang memiliki pesantren saja, sudah banyak juga
predikat kyai digunakan oleh ulama yang tidak memiliki pondok.24
Dalam sebuah pondok kyai seringkali mempunyai power dan
authority yang mutlak. Tidak seorangpun santri atau orang lain yang
dapat melawan otoritas kyai kecuali kyai yang lebih besar
pengaruhnya.
Para santri selalu mengharap dan berpikir bahwa kyai yang
dianutnya merupakan orang yang penuh self confident, baik dalam
pengetahuan Islam, maupun dalam otoritas dan manajemen pondok.25
Oleh Karena itu perkembangan dan maju mundurnya pondok salah
satunya ditentukan oleh kapabilitas kyainya. Banyak pondok yang
gulung tikar karena ditinggal kyainya, sementara itu dia tidak
memiliki penerus yang dapat meneruskan perjuangannya. Disamping
itu, seorang kyai menguasai atas diri para santrinya, tidak hanya waktu
di pondok, untuk seumur hidupnya akan senantiasa terikat dengan
kyainya, minimal sebagai inspirasi dan sebagai penunjang moral
dalam kehidupan dirinya. Dalam urusan menentukan pekerjaan,
membagi harta pusaka, bahkan dalam memilih jodoh seorang santri
merasakan kewajiban moral untuk konsultasi dan mengikuti petunjuk-
petunjuk kyainya.26
b. Santri
Santri adalah siswa yang belajar di pondok, santri dapat
digolongkan menjadi dua kelompok: a). Santri mukim yaitu santri
23Zamakhsari Dhofir, op.cit., hlm. 55 24Haidar Putra Daulay, Historitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 14-15 25Zamakhsari, op.cit., hlm. 56 26Abdurahman Wahid, Menggerakan Tradisi, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 7
24
yang berasal dari daerah jauh yang tidak memungkinkan untuk pulang
kerumahnya, maka dia mondok di pesantren. b). Santri kalong yaitu
santri yang berasal dari desa di sekeliling pondok yang biasanya tidak
menetap di pondok, mereka pulang pergi dari rumahnya sendiri.27
Seorang santri pergi dan menetap di pondok karena berbagai
alasan diantaranya:
a. Ia ingin mempelajari kitab-kitab yang membahas Islam secara
mendalam di bawah bimbingan kyai.
b. Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan di pondok.
c. Ia ingin memusatkan studinya di pondok tanpa disibukkan oleh
tugas sehari-hari di rumah.28
c. Pondok
Pondok pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan
dimana para santri tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan
Kyai. Pondok untuk para santri tersebut berada dalam lingkungan
komplek dimana Kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan
masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan untuk kegiatan
keagamaan lainnya. Komplek pondok biasanya dikelilingi oleh
tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri.29
Ada beberapa alasan kenapa pondok harus menyediakan
asrama bagi para santri, pertama, kemasyhuran seorang kyai dan
kedalaman pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri dari
jauh. Untuk tafaqquh al-Din dari kyai tersebut, para santri harus
meninggalkan rumahnya dan menetap di pondok. Kedua, hampir
semua pondok berada di desa dimana tidak ada akomodasi yang cukup
untuk menampung para santri dengan demikian perlulah adanya
asrama bagi para santri, hubungan timbal balik ini ibarat seorang anak
dengan orang tuanya. Hubungan ini menggerakkan hati kyai untuk
27Zamakhsari, op.cit., hlm. 51-52 28Ibid 29Zamakhasari Dhofir, Tradisi Pesantren op. Cit. hal. 44
25
mendirikan pondok sebagai manifestasi rasa tanggung jawab terhadap
santrinya.30 Dengan adanya pondok, memungkinkan kyai dan para
ustadznya melakukan controlling selama 24 jam, ini berarti
pendidikan di pondok tidak hanya meliputi domain kognitif tetapi juga
afektif dan psikomotorik.31
d. Masjid
Kalau diruntut dari awal mulanya pada zaman nabi
Muhammad Saw. masjid tidak hanya dijadikan untuk melakukan
ibadah fardiyah tetapi juga berfungsi sosial yakni mempererat
hubungan antar umat Islam. Disamping itu juga dimanfaatkan untuk
menjelaskan wahyu yang telah diterima Nabi kepada sahabat dan
memberikan jawaban atas pertanyaan para sahabat dalam berbagai
masalah. Sedangkan masa khalifah masjid digunakan sebagai pusat
pemerintahan, mengatur strategi, menyelenggarakan administrasi
negara.
Begitu urgen dan esensi masjid, maka tidak salah jika
Zamakhsari dalam Magnum Opusnya, tradisi pesantren menetapkan
masjid sebagai salah satu pilar pondok.
Fungsi masjid tidak hanya untuk shalat, tapi juga memiliki
fungsi lain seperti pendidikan dan sebagainya. pondok mutlak
memerlukan masjid, tetapi difungsikan sebagai tempat
berlangsungnya proses belajar mengajar, hingga saat ini, kyai sering
mempergunakan masjid sebagai tempat membaca kitab-kitab Islam, di
samping itu para santri memfungsikan masjid sebagai tempat
menghafalkan, mengulang pelajaran dan juga tempat istirahat para
santri.32
30Ibid. hal. 46-47 31Abdullah Faqih, makalah, Pesantren sekolah dan sekolah pesantren. Tp, hal 17 32Hadair, Historisitas, op. cit., hal 17
26
e. Pengajian Kitab-kitab Islam
Martin Van Brunessen mengakui bahwa salah satu Great
Tradition di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama Islam yang ada
di pondok Jawa. Alasan pokok munculnya pondok ini adalah untuk
mentransmisikan pendidikan agama Islam sebagaimana yang telah
ditulis berabad-abad yang lalu.33
Substansi kitab-kitab Islam yang diajarkan di pondok
umumnya berkisar pada teologi Asya’riyah, fiqih madzhab Syafi’i dan
ajaran etika dan tasawuf al-Ghazali, disamping itu pelajaran ilmu alat
yang berupa gramatika berbahasa arab (nahwu sorof) menjadi unsur
penting.34 Pada umumnya kitab-kitab yang dijadikan rujukan adalah
kitab yang sudah ada sebelum masuknya Islam ke Indonesia. Dengan
demikian proses transmisi ilmu-ilmu Islam dalam arti rujukan kepada
kitab berbahasa Arab telah ditemukan pada pondok di Indonesia.35
Sejalan dengan itu, Martin Van Brunessen menegaskan bahwa:
Tradisi kitab-kitab Islam jelas dilakukan di Indonesia dengan
berbahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum Islam terbesar di
Indonesia.36 Kitab-kitab bahasa Arab yang menjadi rujukan dalam
proses transmisi ilmu-ilmu Islam di pondok pada umumnya di bawa
oleh Wandering Santries dan jamaah haji yang sengaja mengunjungi
timur tengah, khususnya Makkah dan Madinah, disamping mereka
menunaikan ibadah haji juga berkesempatan mengunjungi pusat-pusat
keilmuan untuk menggali ilmu keislaman. Dalam jaringan ulama abad
17 dan 18 terdapat sejumlah murid Jawi yang menuntut ilmu di Timur
Tengah khususnya Makkah dan Madinah, setelah mereka menuntut
ilmu tersebut sebagian besar dari mereka kembali ke Nusantara. Disini
33Martin Van Brunnessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan,
1995), hlm. 17 34Nurchalis Madjid, Belik-Belik Pesantren, op.cit., hlm. 91 35Ibid., hlm. 19 36Martin Van Brunessen, op.cit., hlm. 17
27
mereka menjadi transmisi utama tradisi intelektual keagamaan tradisi
Islam dari pusat keislaman di timur Tengah ke Nusantara.37
5. Fungsi Pondok Modern Gontor
Pondok modern Gontor tidak hanya berfungsi sebagai lembaga
pendidikan tetapi juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran
agama. Sebagai lembaga pendidikan, pondok modern Gontor
menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum dan
perguruan tinggi), dan pendidikan non formal yang secara khusus
mengajarkan agama yang sangat kuat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran
ulama fiqih, hadits, tafsir, tauhid dan tasawuf.38
Sebagai sebuah lembaga sosial, pondok modern Gontor memiliki
kelenturan dan resistensi dalam menghadapi setiap perubahan zaman.
Untuk menentang kolonialisme, pondok modern Gontor melakukan uzlah
(menghindari atau menutup diri) terhadap sistem yang dibawa oleh
kolonialisme termasuk pendidikan. dan kini, agar tetap relevan bagi
kehidupan masyarakat, pondok modern Gontor membuka diri dengan
mengadopsi sistem sekolah.
Pondok modern Gontor melakukan perubahan secara bertahap,
perlahan, dan hampir sulit untuk diamati. Para kyai berlapang dada
mengadakan modernisasi lembaga ditengah perubahan masyarakat Jawa,
tanpa meninggalkan sisi positif sistem pendidikan Islam tradisional. Selain
itu perubahan yang memang perlu dilakukan dijaga agar tidak merusak
segi positif yang dimiliki oleh kehidupan pedesaan. 39
Dengan demikian sejauh menyangkut fungsinya, pondok modern
Gontor jelas mempunyai peran penting dalam peningkatan kualitas SDM.
Sesuai dengan cirinya sebagai pendidikan agama, secara ideal pondok
modern Gontor berfungsi dalam menyiapkan SDM yang berkualitas
tinggi, baik dalam penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi
37Ayumardi Azra, Jaringan Ulama, hlm. 17 38Mastuhu, op. cit., hlm. 59. 39Nurcholis Madjid, Belik-Belik Pesantren, op. cit., hlm. 124.
28
maupun dalam hal karakter, sikap moral, penghayatan dan pengamalan
ajaran agama, sehingga pondok modern secara ideal berfungsi membina
dan menyiapkan anak didik yang berilmu, berteknologi, berketrampilan
tinggi sekaligus beriman dan beramal saleh.
Efektifitas pondok modern Gontor yang berfungsi sebagai lembaga
penyiaran agama menjadikan agen of change sebenarnya terbentuk karena
sejak awal keberadaannya pondok modern Gontor juga menempatkan diri
sebagai pusat belajar masyarakat, community learning center. Seperti
dicontohkan oleh Gus Dur tentang pondok pesantren Denanyar Jombang.
Seminggu sekali kaum ibu dari daerah sekitar pondok, dan desa-desa lain
datang ke masjid pesantren untuk mengikuti pengajian yang diberikan
oleh kyai yang diundang pesantren. Kegiatan ini sudah bertahun-tahun dan
tidak pernah surut.40
Sehubungan dengan fungsi pesantren tersebut, maka pondok modern
Gontor memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat umum.
Masyarakat umum memandang pondok modern Gontor sebagai komunitas
khusus yang ideal terutama dalam bidang kehidupan moral keagamaan.
Sehingga pondok modern Gontor tampak memiliki semacam daerah
pengaruh sendiri yaitu komunitas-komunitas dalam masyarakat, sesuai
dengan aliran yang dibawanya.
B. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam
11.. KKuurriikkuulluumm
aa.. Pengertian Kurikulum dan Fungsi Kurikulum
Kurikulum secara sederhana adalah semua yang secara nyata
terjadi dalam proses pendidikan di sekolah,,4411 dapat juga diartikan an
organized set of formal education and // or training intention4422
40Norcholis Madjid, Belik-Belik Pesantren, op.cit., hlm. 125 4411AAhhmmaadd TTaaffssiirr,, IIllmmuu PPeennddiiddiikkaann ddaallaamm PPeerrssppeekkttiiff IIssllaamm,, ((BBaanndduunngg:: RReemmaajjaa RRoossddaa
KKaarryyaa,, 11999944)),, cceett.. IIII,, hhllmm.. 5533.. 4422DDaavviidd PPrraatttt,, CCuurrrriiccuulluumm;; DDeessiiggnn aanndd DDeevveellooppmmeenntt,, ((FFlloorriiddaa:: HHaarrccoouurrtt BBrraaccee
JJoovvaannoovviicchh IInncc..,, 11998800)),, hhllmm.. 44..
29
pengorganisasian komponen pendidikan formal dan // atau rancangan
komponen belajar.. Lebih jelasnya kurikulum adalah suatu rencana
yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah
bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan
beserta staf pengajarnya..4433
Oemar Hamalik mendefinisikan bahwa kurikulum merupakan
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan
pengajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.44
Adapun fungsi kurikulum terbagi dalam beberapa sudut
pandang:
a. Kurikulum bagi tujuan pendidikan maka fungsi kurikulum sebagai
alat atau jembatan untuk mencapai tujuan pendidikan.
b. Kurikulum bagi peserta didik maka fungsi kurikulum merupakan
konsumsi bagi mereka (peserta didik) sehingga diharapkan peserta
didik mempunyai tambahan ilmu pengetahuan
c. Kurikulum bagi pendidik (guru)
a) Menjadi pedoman kerja dalam menyusun dan
mengorganisasikan pengalaman belajar para anak didik
b) Menjadi pedoman untuk mengadakan evaluasi terhadap
perkembangan anak dalam rangka menyerap sejumlah
pengalaman yang diberikan.45
Dengan fungsi-fungsi kurikulum diatas, sangat penting para
pemikir pendidikan dan pemerhati pendidikan untuk mereformulasikan
kurikulum yang bisa diharapkan menjawab persoalan pendidikan
terlebih negara. Karena maju mundurnya negara juga disebabkan oleh
mundurnya mutu pendidikan dan mutu pendidikan mengalami
4433NNaassuuttiioonn,, KKuurriikkuulluumm ddaann PPeennggaajjaarraann,, ((BBaanndduunngg:: BBuummii AAkkssaarraa,, 11999999)),, hhllmm.. 55.. 44Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta, PT Bumi Aksara, 1995, hlm
18. 45Hendyat Saetopo, Pembinaandan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara,
1986), hlm. 18
30
kemunduran disebabkan oleh beberapa hal diantaranya “kurikulum
yang selalu berubah secara erratic.46
b. Asas-asas Kurikulum
Untuk menjadikan kurikulum yang berbobot maka jangan
sampai meninggalkan asas-asas kurikulum. Dimana asas-asas
kurikulum mempunyai fleksibelitas sesuai dengan kemajuan zaman
yang setiap saat berubah.
Secara garis besar ada empat hal yang mendasari kurikulum
adalah sebagai berikut:
1. Asas Filosofis: berangkat dari tujuan pendidikan suatu negara
sesuai dengan falsafah negara
2. Asas Psikologis: anak (peserta didik) yang berperan sebagai objek
sekaligus subyek tentang psikologis perkembangan dan belajar
peserta didik
3. Asas sosiologis: masyarakat merupakan faktor penting penunjang
dunia pendidikan namun, jangan dijadikan society centered
education
4. Asas organisatoris: kurikulum hendaknya bisa di organisasikan
dengan baik dan tepat.47
Satu hal yang patut kita cermati setelah mengetahui asas-asas
kurikulum, bahwa kurikulum hanyalah mungkin baik untuk suatu
masyarakat tertentu dan masa tertentu, sebanding dengan
perkembangan IPTEK yang mengubah masyarakat, dengan sendirinya
kurikulum harus disesuaikan dengan tuntutan zaman.
c. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi pada dasarnya adalah proses penentuan nilai sesuatu
berdasarkan kriteria tertentu. Dalam proses tersebut tercakup usaha
46Mochtar Buchari, Transformasi Pendidikan, (Jakarta: IKIP Muhamadiyah Press, 1995),
hlm. 24. 47Nasution, M.A, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 11.
31
mencari dan mengumpulkan data atau informasi, yang diperlukan
sebagai dasar dalam menentukan nilai sesuatu yang menjadi obyek
evaluasi seperti: program, prosedur, cara, pendekatan dan sebagainya.
Evaluasi merupakan usaha yang sulit dan kompleks karena
banyaknya aspek yang harus di evaluasi, banyaknya orang yang
terlibat dan luasnya kurikulum yang harus diperhatikan. Itulah
sebabnya evaluasi kurikulum memerlukan ahli-ahli dalam
mengembangkannya48. Demikian pula komponen-komponen
kurikulum yang di Evaluasi sangat luas, program evaluasi kurikulum
bukan hanya mengevaluasi hasil belajar siswa dan proses
pembelanjaannya, tetapi desain dan implementasi kurikulum,
kemampuan kerja guru, kemajuan siswa, sumber belajar dan lain
sebagainya49.
Sejalan dengan pengertian dan lingkup evaluasi di atas,
evaluasi kurikulum akan menjadi tugas dan tanggung jawab semua
pihak mulai dari unsur rencana, pelaksanaan, pembinaan, dan
pengembangan kurikulum pada setiap tahap ataupun tingkatan, mulai
tingkat pusat, daerah sampai ditingkat sekolah50. Ini berarti para
kepala sekolah dan guru sebagai unsur pelaksana kurikulum di sekolah
harus terlibat dalam evaluasi di sekolah.
2. Pendidikan Islam
a. Pengertian Pendidikan Islam
Dalam bahasa Indonesia kata pendidikan merupakan kata jadian
yang berasal dari kata didik yang diberi awalan pe dan akhiran an yang
48Nasution. MA., Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Citra Aditea Bakti, 1993),
hlm: 130. 49Nana Syaudih. S., Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung, PT. Remaja
Rosdja Karya, 2000), hlm: 173. 50Nana Sujana., Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Di Sekolah, (Bandung, PT.
Sinar Baru, 1991), hlm.129.
32
berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok dalam usaha mendewasakan manusia.51
Hamdani Ali menyatakan bahwa pendidikan adalah segala usaha
dan perubahan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya,
pengetahuannya serta ketrampilannya kepada generasi muda untuk
memungkinkan melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan dengan
sesama manusia dengan sebaik-baiknya. Dalam definisi ini terlihat
jelas bahwa pendidikan harus mampu mempersiapkan generasi muda
agar dapat melakukan fungsi hidupnya di tengah-tengah masyarakat.52
Menurut F. J. McDonald pendidikan adalah ”a process or an
activity which is directed at producting desireable changes in the
behavior of human beings”53 (pendidikan adalah sebuah proses atau
aktivitas yang menunjukkan pada proses perubahan yang diinginkan di
dalam tingkah laku manusia)
Syaikh Mustafa al-Ghulayani mengatakan bahwa pendidikan
adalah:
التربية هى غرس األخلاق الفاضلة ىف نفوس الناشـئين وسقـيها بماء الإرشاد حىت تصبح ملكة من ملكات النفس مث تكون ثمراتها الفضيلة واخلير , والنصيحة
. وحب العمل لنـفع الوطنPendidikan adalah penanaman akhlak yang mulia dalam jiwa anak didik serta mengarahkannya dengan petunjuk dan nasihat, sehingga menjadi suatu kecenderungan dari beberapa kecenderungan jiwa yang akan membutuhkan keutamaan, kebaikan dan cinta beramal agar berguna bagi tanah air.54
Dalam bahasa Arab paling tidak ada tiga kata yang dipakai untuk
menunjukan kepada konotasi pendidikan yaitu ta’lim, ta’dib dan
tarbiyah. Kata ta’lim berarti memberikan pelajaran, pengetahuan dan
sebagainya. Sementara itu kata ta’dib berarti mendidik, dalam bahasa
51Purwadarminta, op.cit., hlm. 204 52 Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1987), hlm. 8. 53F. J. McDonald, Educational Psychology, (San Fransisco: Wadsworth Publishing
Company, Inc., 1959), hlm. 4. 54Syaikh Mustofa al-Ghulayani, Idhatun an-Nasihin, (Bairut: al-Maktabah al-Asyriyah
littaba’ati wa an-Nasr, 1953), hlm. 185.
33
Arab, kata ini lebih ditunjukan kepada pembinaan akhlak dan budi
pekerti. Dan istilah tarbiyah ini mencakup pengertian mendidik,
mengajar, mengasuh dan sebagainya.55
Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam yang meliputi
unsur-unsur memelihara dan mengembangkan potensi atau fitrah anak
didik secara bertahap sesuai dengan perkembangan.
Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan Islam ditinjau
dari tiga pendekatan, yaitu; (1) menganggap pendidikan sebagai
pengembangan potensi (2) cenderung melihatnya sebagai pewarisan
budaya (3) menganggapnya sebagai interaksi antara potensi dan
budaya.56
Berbeda dengan Jalaludin dalam bukunya “Teologi Pendidikan”
mengemukakan bahwa konsep pendidikan dalam Islam itu dapat
dilihat dari dua sudut pandang, yaitu konsep pendidikan Islam secara
umum dan konsep pendidikan Islam secara khusus. Konsep pendidikan
Islam secara umum adalah usaha pembinaan dan pengembangan
potensi manusia secara optimal sesuai dengan statusnya, dengan
berpedoman kepada syariat Islam dan disampaikan oleh Rasul Allah
agar manusia dapat berperan sebagai pengabdi Allah yang setia dengan
segala aktivitasnya guna tercipta suatu kondisi kehidupan Islami yang
ideal, selamat, aman, sejahtera dan berkualitas, serta memperoleh
jaminan (kesejahteraan) hidup di dunia dan jaminan bagi kehidupan
yang baik di akhirat. Sedangkan pendidikan Islam secara khusus
adalah usaha untuk membimbing dan mengembangkan potensi
manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk
sosial secara bertahap sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan
55Erwati Aziz, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,
2003), hlm. 24-25. 56Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Al-Husna,
1988), hlm. 59.
34
perkembangannya, jenis kelamin, bakat, tingkat kecerdasan serta
potensi spiritual yang dimiliki masing-masing secara maksimal.57
Zuhairini dalam bukunya “Filsafat Pendidikan Islam”
mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan
kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran
Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikirkan, memutuskan
dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam serta bertanggung jawab
sesuai dengan nilai-nilai Islam.58
Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa pendidikan Islam lebih
mengarah kepada penanaman akhlak, fadhilah, kesopanan, serta
kejujuran bagi peserta didik, disamping transfer of knowledge.59
b. Dasar Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang dipahami dan
dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung
dalam sumber dasarnya, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. 60 Di
samping itu pendidikan Islam dipandang sebagai suatu model
transformasi nilai-nilai Islam yang bertujuan mendidik manusia secara
transparan supaya hidup dalam jati diri Islami, tentu memerlukan dasar
dan landasan kerja untuk memberi arah dan pedoman ke arah mana
transformasi dilakukan. Kecuali landasan tersebut bisa diletakkan pada
posisi sebagai sumber inspirasi untuk lebih mengukuhkan jalannya
proses pendidikan.61
57Jalaluddin, Teknologi Pendidikan, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 72-
75. 58Zuhaerini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 152. 59M. Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Falasafatuha, (Beirut: Dar al-
Fikr, t.t.), hlm. 22. 60Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Upaya Mengaktifkan PAI Di Sekolah),
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 29. 61Ahmad, Warid Khan, Membebaskan Pendidikan Islam, Istimewa Dan Wacana,
(Yogyakarta, 2002), hlm. 166.
35
Banyak dijumpai di beberapa literatur,62 dasar pendidikan
Islam selalu diidentikkan dengan dasar Islam, yakni Al Qur’an dan Al
Hadits. Kemudian landasan tersebut dapat dikembangkan dengan
ijtihad, al maslahah al mursalah, istihsan, qiyas dan sebagainya.63
Dalam hal ini Marimba mengibaratkan bahwa pendidikan bagaikan
bangunan, maka isi Al Qur’an dan Al Haditslah yang menjadi
fundamennya.64
Ketiga landasan tersebut ditetapkan dan diaplikasikan secara
hirarki sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Al Turmudzi
berikut ini:
نرو عمن عارث بالح نع ن الثقفيوأبي ع نة عبعش نع كيعا وثندح ادنا هثندحرجال من أصحاب معاذ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث معاذا إلى اليمن
ضي فقال أقضي بما في كتاب الله قال فإن لم يكن في كتاب الله فقال كيف تق قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم يكن في سنة رسول الله
قال أج لمسه وليع لى اللهول الله صسول رسر فقلله الذي و دمأيي قال الحر هدت لمسه وليع لى اللهرواه الترمذى ىف كتاب األحكام (ص(
“Rasulullah saw. mengutus Muadz ke Yaman. Kemudian, beliau bertanya “Bagaimana kamu memutuskan suatu masalah ?”. Ia (Muadz) menjawab,”Ya Rasulallah saya memutuskan dengan apa yang ada dalam al-Qur'an”, Rasulallah saw. kembali bertanya, “Apabila suatu masalah tidak dijelaskan oleh al-Qur'an ?”. Muadz menjawab, ”Saya akan memutuskan dengan sunah Rasulallah saw.” Rasulallah saw. kembali bertanya ”Apabila persoalan tidak dijelaskan pada sunah Rasulallah saw. Muadz menjawab “ saya berijtihad dengan ra’yu (rasio). Kemudian, Rasulallah saw. bersabda,”segala puji bagi Allah SWT yang telah membearikan taufik kepada utusan Rasul-Nya”. (HR. At Turmudzi).65
62Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994), hlm. 37. 63Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), cet. II, hlm.
19. 64Ahmad D. Marimba, op.cit.,hlm. 35. 65Imam Turmudzi, Sunan Turmudzi, Juz. III, (Libanon: Darul Fikr, 1994), hlm. 616.
36
1) Al-Qur'an
Al-Qur’an merupakan bentuk mashdar dari qara’a qira’atan
qur’ana ( yang makna sinonimnya dengan kata ( قرأنا- قراءة –فرأ
qira’ah (قراءة), yang secara etimologi berarti bacaan. Secara
terminologis menurut Syekh Ali al-Shabuni yang penulis kutip dari
Abdul Djalal al-Qur’an adalah kalam Allah yang mu’jiz, diturunkan
kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat
terpercaya Jibril tertulis dalam mushhaf yang dinukilkan kepada kita
secara mutawattir, yang aktivitas membacanya merupakan ibadah,
yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.66
Pendidikan dan pembelajaran merupakan usaha atau tindakan
untuk membentuk manusia yang utuh, oleh karena itu dapatlah
dikategorikan dalam ruang lingkup muamalah. Pendidikan sangat
penting karena itu menentukan corak dan bentuk moral dalam
kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun secara kolektif.67
Di dalam al-Qur'an banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip
yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu. Sebagai
contoh dapat dibaca kisah Luqman mengajari anaknya dalam surat
Luqman ayat 12-19, cerita ini menggariskan prinsip materi pendidikan
yang terdiri dari masalah iman, akhlak, ibadah sosial dan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus menggunakan
sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai teori tentang
pendidikan Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam harus
berlandaskan ayat-ayat al-Qur'an yang penafsirannya dapat dilakukan
berdasarkan ijtihad disesuaikan dengan perubahan dan pembaharuan.68
66H. Abdul Djalal, H.A., Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 11. 67Irfan Abdul Gahfar dan Muhammad Jamil, Reformulasi Rancangan Pembelajaran PAI,
(Jakarta: Nur Insani, 2003), hlm. 78 68Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit., hlm. 20.
37
2) Al-Hadits
Setelah al-Qur'an, pendidikan Islam menjadikan al-Hadits
sebagai dasar dan sumber kurikulum. Seperti al-Qur'an, al-Hadits juga
berisi akidah dan syari’ah. Sunnah berisi petunjuk untuk kemaslahatan
hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina manusia
menjadi manusia seutuhnya.
Dalam dunia pendidikan, al-Hadits memiliki dua manfaat
pokok. Manfaat pertama, al-Hadits mampu menjelaskan konsep dan
kesempurnaan pendidikan Islam sesuai dengan konsep al-Qur'an, serta
lebih terinci. Kedua al-Hadits dapat menjadi contoh yang tepat dalam
penentuan metode pendidikan, misalnya, kita dapat menjadikan
kehidupan Rasulallah saw. dengan para sahabat ataupun anak-anak
sebagai sarana penanaman keimanan.69
3) Ijtihad
Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berfikir dengan
menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmu syari’at Islam
untuk menetapkan atau menentukan sesuatu syariat Islam dalam hal-
hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur'an dan al-
Hadits. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek
kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman dan
mengikuti al-Qur'an dan al-Hadits.70
Karena itu ijtihad dipandang sebagai salah satu sumber hukum
yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah Rasulallah saw. wafat.
Dari pengertian di atas dapat dianalogikan dalam ruang lingkup
pendidikan bahwa yang dijadikan sebagai landasan pendidikan Islam
adalah “suatu kreatifitas pikiran, perenungan, penalaran dan penelitian
dari para pakar (ilmuwan) pendidikan dan pembelajaran”. dengan kata
69Abdurahmanan-Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah sekolah Dan Masyarakat, Ter.
Shihabuddin, (Jakarta: Gema InsaniPress, 1995), hlm. 32. 70Ibid
38
lain, temuan teori-teori pendidikan dan pembelajaran dari pakar-pakar
pendidikan yang dilandasi jiwa-jiwa Qur’an.
Ijtihad bidang pendidikan sejalan dengan perkembangan zaman
yang semakin maju, terasa semakin urgen dan mendesak, tidak saja di
bidang materi atau isi, melainkan juga di bidang sistem dalam artinya
yang luas. Di samping itu ijtihad semakin perlu sebab ajaran Islam
yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits adalah bersifat pokok-
pokok dan prinsip-prinsipnya saja.
4) Ra’yu
Masyarakat selalu mengalami perubahan, baik mengenai nilai-
nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola tingkah laku, organisasi,
susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam
masyarakat, kekuasaan dan kewenangan, maupun interaksi sosial, dan
lain sebagainya.
Pendidikan sebagai lembaga sosial akan turut mengalami
perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat.71 Pendidikan ini dianggap sebagai asas terkuat dalam
pembentukan manusia seutuhnya, yang menunaikan hak setiap orang
yang memiliki hak dalam kehidupan, termasuk mendorongnya untuk
menunaikan tanggung jawab dan kewajibannya secara sempurna.
Melalui upaya tersebut akan tercipta manusia seutuhnya, sebagai
bantuan pertama untuk membangun pondasi Islam, dan dengan
mengendalikan dirinya, akan berdiri daulah Islamiyah yang kuat dan
kokoh. Dengan kultur, posisi dan eksistensinya, maka bangsa lain akan
tunduk kepadanya.72
Menurut an-Nahlawi sebagai salah seorang intelektual muslim
yang mengambil konklusi bahwa pendidikan berarti:
71Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 46. 72Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiatul aulad fi al-Islam terj. Saefullah Kamalie Pedoman
Pendidikan Anak dalam Islam, (Bandung: Asy-Syifa, 1981), hlm. 123.
39
1. Proses yang mempunyai tujuan, sasaran dan objek
2. Secara mutlak, pendidik yang hakiki hanyalah Allah, Pencipta
fitrah dan Pemberi berbagai potensi. Dia-lah yang memberlakukan
hukum dan tahapan perkembangan serta tahapan interaksinya, dan
hukum-hukum untuk mewujudkan kesempurnaan, kebaikan serta
kebahagiaan
3. Menuntut adanya langkah-langkah yang secara gradual harus
dilalui oleh berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran, sesuai
dengan urutan yang telah disusun secara sistematis
4. Pendidik harus mengikuti hukum-hukum penciptaan dan syari’at
yang telah ditetapkan oleh Allah. 73
Perubahan-perubahan seperti dikemukakan di atas merupakan
perkembangan baru di dunia pendidikan yang tidak dijumpai di masa
Rasulullah saw., tetapi memerlukan jawaban untuk kepentingan
pendidikan di masa sekarang. Untuk itu diperlukan ijtihad dari para
pendidik muslim. Ijtihad pada dasarnya merupakan usaha sungguh-
sungguh orang muslim untuk berperilaku berdasarkan ajaran Islam.
Untuk itu manakala tidak ditemukan petunjuk yang jelas dari al-
Qur’an atau pun sunnah tentang suatu perilaku, orang muslim untuk
mengerahkan segenap kemampuannya untuk menemukannya dengan
memperhatikan prinsip-prinsip al-Qur’an ataupun Sunnah.
Dalam lingkungan pendidikan Islam, pernyataan al-Qur’an dan
Sunnah hendaknya dipilah mana yang bernilai normatif dan mana yang
bernilai teknis praktis, sehingga tidak terjadi salah perlakuan, tidak
membuktikan secara empiris apa yang seharusnya diyakini. Sementara
hasil fikiran para ulama seperti Ibnu Sina, al-Ghazali, dan ibnu
Khaldun masih terbuka untuk di kaji ulang guna di cari kemungkinan
penerapannya di masa sekarang.74
73Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, (Bandung:
Diponwegoro, 1992), hlm. 32. 74Hery Noer Aly, op.cit., hlm. 48-49.
40
c. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan ialah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah usaha
atau kegiatan selesai, maka pendidikan merupakan suatu usaha atau
kegiatan yang prosesnya melalui tahapan-tahapan dan tingkatan-
tingkatan. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk
tetap statis, dan merupakan sesuatu keseluruhan dari kepribadian
seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.
Melihat posisi sentral, manusia dalam proses pendidikan yang
melibatkan potensi fitrah, cita rasa ke-tuhan-an dan hakekat serta
wujud manusia menurut pandangan Islam, maka tujuan pendidikan
Islam sesungguhnya adalah aktualisasi dari potensi-potensi tersebut.
Karena potensi yang ada merupakan nilai-nilai ideal dalam
mewujudkan dan membentuk pribadi manusia secara utuh dan
mandiri. Merujuk hasil kongres sedunia tentang pendidikan Islam yang
telah merumuskan tujuan pendidikan: “pendidikan harus bertujuan
mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara
seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional,
perasaan dan indra. Karena itu pendidikan harus mencapai
pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual,
imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara
kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan
mencapai kesempurnaan pada tujuan akhir pendidikan Islam yang
terletak dalam perwujudan ketertundukan yang sempurna kepada
Allah, baik secara pribadi, komunitas maupun seluruh umat manusia.75
Jalaludin dan Zakiyah Daradjat menjelaskan bahwa tujuan
akhir pendidikan Islam adalah menyerahkan diri kepada penciptanya.76
Dari beberapa rumusan tujuan akhir pendidikan Islam ini tampaknya
memiliki tujuan yang sama yaitu mengarahkan pada penghambaan diri
75Ali Asraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Terj. Suri Seregar, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993), hlm. 107. 76Jalaluddin dan Usman Said, op.cit., hlm. 39.
41
atau beribadah kepada Allah dalam semua aspek kehidupan. Kemudian
tujuan akhir dari proses pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari
tujuan luhur diciptakannya manusia, karena tujuan pendidikan Islam
adalah tujuan hidup diciptakannya manusia itu sendiri.77 Dan
pendidikan itu sendiri sebagai alat yang digunakan oleh manusia untuk
memelihara kelanjutan hidup agar tetap survival, baik sebagai individu
maupun sebagai masyarakat. Dengan demikian tujuan hidup manusia
di atas bumi ini merupakan pangkal dari tujuan pendidikan Islam yaitu
membentuk insan yang senantiasa berhamba kepada Allah, dalam
semua aspek kehidupannya. Perbuatan, pikiran dan perasaannya.78
Allah SWT berfirman:
) 56: الذرية(جن والإنس إلا ليعبدون وما خلقت ال
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku). (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Sedangkan menurut Omar Muhammad at-Taumy as-
Syaibany, konsep dasar tujuan pendidikan Islam adalah perubahan
yang diinginkan dan diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada
tingkah laku individu maupun tingkah laku masyarakat. Berdasarkan
konsep yang dirumuskan, at-Toumy memberikan ketegasan, bahwa
perubahan-perubahan yang diinginkan haruslah menyentuh tiga bidang
utama., yaitu tujuan-tujuan individual, sosial dan profesionalitas.79
Formulasi tujuan pendidikan Islam semua di atas akan
mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan bahwa tujuan ideal
pendidikan Islam adalah berusaha mengantarkan manusia mencapai
keseimbangan pribadi secara menyeluruh. Dengan perkataan lain,
pendidikan Islam berusaha membentuk manusia yang shalih pribadi
77Hasan Langgulung, op.cit., hlm. 305. 78Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, Rahama, Jakarta,
1995, hlm. 35. 79Jalaluddin, Teologi Pendidikan, op.cit., hlm. 90.
42
dan shalih sosialnya, yang padanya terpahat aqlun shalih wa qalbun
salim.80
Penjelasan dari berbagai versi mengenai tujuan pendidikan
Islam memang tidak menganut prinsip pertahapan tujuan seperti,
tujuan sementara, tujuan akhir, atau tujuan umum atau khusus. Hal ini
karena prinsip pertahapan bisa disesuaikan dengan bentuk kurikulum
yang akan disajikan. Tetapi untuk mencapai tujuan-tujuan itu memang
memerlukan tahapan pada tujuan, dan keluasan program studi dalam
lembaga pendidikan Islam menjadi suatu keharusan. Sebab,
pendidikan Islam bukanlah monopoli institusi yang berformalitas
Islam saja, tetapi mencakup semua proses edukatif yang digerakkan
oleh iman dan amal shaleh.
Idealnya, di dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam yaitu
jangan sampai mengabaikan nilai-nilai moral- transcendental, sehingga
jati diri manusia tetap utuh. Dan sebaliknya tujuan pendidikan tidak
hanya terpaku pada ide-ide statis yang biasanya terdapat pada rumusan
tujuan akhir, yakni kepribadian muslim, tetapi juga menyediakan
tuntutan riil dari kondisi sosial budaya yang berkembang sebagai
acuan proses kontekstualisasi pendidikan Islam.
3. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam
Ilmu pengetahuan akan mendukung struktur kehidupan yang
seimbang dan setabil. Dengan ilmu pengetahuan, etika, tata hidup, dan
pola bermasyarakat akan terjaga. Dengan ilmu pengetahuan pula,
kebutuhan hidup terpenuhi, dengan fungsinya potensi-potensi alam
menjadi pendukung bagi langkah maju manusia.
Secara kontinyu, ilmu pengetahuan berkembang dipengaruhi oleh
aspek-aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, juga apresiasi
intelektual masyarakat. Namun proses perkembangan tersebut sangat
80Abdul Munir Mulkham, Nalar Spiritual Pendidikan Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 366.
43
bergantung pada kurikulum lembaga pendidikan, sebagai indikator
partisipasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan bentuk khas
sebagai proyeksi totalitas kepribadiannya. Secara mendasar sistem
pendidikan yang dipilihnya memberikan kebebasan bagi pesantren untuk
menentukan pola dinamis kebijaksanaan pendidikannya. Sehingga setiap
tawaran pengembangan, berupa transfer ilmu dari luar (non pesantren)
maupun atas prakarsa sendiri. Yaitu pertimbangan tata nilai yang berlaku
dalam pesantren.
Secara filosofis, perkembangan pendidikan pesantren tidak
mungkin datang dengan sendirinya, tetapi secara mutlak harus di
upayakan. Secara filosofis fenomena perkembangan ini bila di
konsultasikan dengan al-Qur’an relevan dengan firman Allah SWT dalam
surat ar-Ra’du: 11
فسهما بأنوا مريغى يتم حا بقوم ريغلا ي 11: الرعد(إن الله(
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri". (ar-Ra’du: 11).81
Ada beberapa alasan mendasar mengapa pengembangan
pendidikan Islam terus urgen dan mendesak untuk dilakukan. Dalam
kaitan ini Sudirman Tabba, seorang peneliti pesantren mengemukakan
alasannya:
a. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, dakwah dan sosial
dirasakan oleh banyak pihak oleh banyak pihak memiliki potensi yang
besar untuk memberikan sumbangan pemikiran ke dalam bidang
pendidikan dan pengembangan masyarakat.
b. Jumlah pesantren potensial terbukti telah melaksanakan usaha kreatif
yang bersifat rintisan.
81Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT.
Bumi Restu, 1978), hlm. 370.
44
c. Usaha ini perlu dikembangkan sambil terus melakukan upaya
pembenahan terhadap masalah utama yang dihadapi pesantren, baik
yang bersifat internal maupun eksternal.82
Sedangkan menurut Steenbrink ada empat faktor yang mendorong
munculnya pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia:
1. Sejak tahun 1900 telah banyak pemikiran untuk kembali ke al-Qur’an
dan Sunnah yang dijadikan titik tolak menilai kebiasaan agama dan
budaya yang ada.
2. Sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda.
3. Adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk memperkuat organisasinya
dalam bidang sosial dan ekonomi.
4. Banyak orang dan organisasi Islam tidak puas dengan metode
pendidikan tradisional di dalam mempelajari al-Qur’an dan studi
agama.83
Ada empat pokok yang diperbaharui, Pertama, materi pelajaran
dalam hal ini kurikulumnya tidak hanya sekedar pendalaman ilmu-ilmu
agama yang tetapi juga di ajarkan ilmu pengetahuan umum, seperti al-
Jabar, ilmu ukur, ilmu alam, bahasa Inggris, dan sebagainya. Kedua,
pembaharuan metode tidak hanya tertumpu pada metode sorogan,
wetonan dan mudzakarah, tetapi telah dikembangkan kepada metode
pembelajaran lain. Ketiga, sistemnya klasikal, peserta didik telah dibagi
kepada kelas-kelas berdasarkan urutan tahun masuknya dan lamanya
belajar. Keempat, manajemen pendidikan, harus sesuai dengan prinsip-
prinsip dasar manajemen pendidikan.84
Mulanya falsafah pendidikan pesantren bertujuan pada
pendalaman ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
keagamaan. Dalam perkembangan selanjutnya untuk mencetak santri
menjadi tenaga-tenaga trampil yang mampu terjun ke bidang
82Ismail SM, op.cit., hlm. 61. 83Karel A. Streenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1974), hlm. 24. 84Azyumadi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekontruksi dan Demokrasi,
(Jakarta: Kompas: 2002), hlm. 84.
45
kemasyarakatan dengan baik, harus dibekali dengan pengetahuan yang
luas. Kebutuhan masyarakat akan pengetahuan yang luas. Kebutuhan
masyarakat akan pengetahuan semakin berkembang, sehingga apresiasi
terhadap ilmu menjadi lebih tinggi. Ini mendorong pesantren secara
bertahap, mengubah struktur dan sistem pendidikan.
Transformasi ini tidak secara radikal mengubah dan menghapus
sistem dan struktur pendidikan yang telah menjadi dinamika pesantren,
namun lebih menekankan pemeliharaan cara lama yang masih relevan dan
mengembangkan sesuai dengan cara baru yang lebih baik “al-
Muhafadzatu ‘ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-
Ashlah” karena sesuai dengan fungsi pesantren yaitu; sebagai lembaga
pendidikan dan lembaga penyiaran agama. Kendatipun kini telah banyak
perubahan yang terjadi, namun inti fungsi utama itu masih melekat pada
pesantren.85 Lambat laun misi kepesantrenan terhadap pengetahuan
menjadi semakin mantap. Dan sebagai lembaga pendidikan Agama,
pondok modern pun tidak hanya berorientasi pada pengetahuan
keagamaan, melainkan lebih luas pada bidang-bidang pengetahuan
umum.86
85Muhammad Daud Ali, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1995), hlm. 146. 86Sahal Mahfudh, KH., Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKIS, 1994, hlm. 289-291.