Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
29
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG BALAI PEMASYARAKATAN,
PEMBINAAN DAN ANAK
2.1. Esensi Balai Pemasyarakatan
2.1.1. Pengertian Balai Pemasyarakatan
Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan memberikan pengertian bahwa ”Balai Pemasyarakatan yang
selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien
Pemasyarakatan.” Pengertian Klien Pemasyarakatan sendiri menurut Pasal 1
angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah
seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS.
Pembimbingan yang dilakukan oleh BAPAS merupakan bagian dari suatu
Sistem Pemasyarakatan yang diselenggarakan dalam rangka membentuk warga
binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab
(Pasal 2 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995).
Balai Pemasyarakatan didirikan di setiap ibukota Kabupaten atau
Kotamadya. Menurut Pasal 6 ayat (3) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, pembimbingan yang dilakukan oleh Balai
Pemasyarakatan dilakukan terhadap:
30
a. Terpidana bersyarat;
b. Narapidana, Anak Pidana dan Anak Negara yang mendapat pembebasan
bersyarat atau cuti menjelang bebas;
c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya
diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;
d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di
lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk.
Sedangkan menurut Purnianti, Mimik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini
Tinduk, Balai Pemasyarakatan adalah:“unit pelaksana teknis pemasyarakatan
yang mengenai pembinaan klien pemasyarakatan yang terdiri dari terpidana
bersyarat (Dewasa dan Anak), narapidana yang mendapat pembebasan
bersyarat, cuti menjelang bebas, serta anak Negara yang mendapat
pembebasan bersyarat atau diserahkan kepada keluarga asuh, anak Negara
yang mendapat cuti menjelang bebas serta anak Negara yang diputus oleh
Hakim dikembalikan kepada orang tuanya”.29
Bila diasumsikan, Balai Pemasyarakatan (BAPAS) adalah pranata untuk
melaksanakan bimbingan kemasyarakatan, dalam hal ini berbeda dengan Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) dimana LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan
pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.
2.1.2. Sejarah Singkat Balai Pemasyarakatan
Balai Pemasyarakatan yang disingkat BAPAS pada awalnya disebut dengan
Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (Balai BISPA) yang
merupakan unit pelaksana teknis di bidang bimbingan klien kemasyarakatan.
Bimbingan kemasyarakatan adalah bagian dari sistem pemasyarakatan yang
merupakan bagian dari tata peradilan pidana yang mengandung aspek penegakan
hukum berdasarkan pada Pancasila. Sistem pemasyarakatan ini merupakan
pembaharuan dari sistem kepenjaraan yang baku pada tanggal 27 April 1964.
29Purnianti, Mimik Sri Supatmi, Ni Made Martini Tinduk, 2004, Analisa Situas Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia,Unicef, Jakarta, h. 8.
31
Lahirnya sistem pemasyarakatan tersebut, kemudian terbentuk unit
pelaksana teknis bidang Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak
(BISPA) pada tahun 1966 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden
Kabinet tanggal 3 Nopember 1966 Nomor 75/4/Kep/1966. Oleh karena Balai
Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) menjadi bagian dari
sistem pembinaan tuna warga, maka tugasnya mencakup segala macam bentuk
pembinaan bagi tuna warga, termasuk anak nakal yang dianggap membahayakan
masyarakat.30
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor Y.S.4/2/23 tahun 1976, tanggal 11 Maret 1976 tentang Pembentukan
Kantor- Kantor Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga di Kabupaten/ Kota Madya
maka Kantor Balai BISPA Denpasar mulai didirikan pada tahun 1976 tanpa
upacara peresmian dengan diberikan tempat sementara diserabi depan sebelah
selatan pintu masuk Lembaga Pemasyarakatan (Kantor Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Denpasar) Jalan Diponogoro Nomor 98 yang dulunya bekas
ruangan jaga militer (penjagaan tahanan G.30 S/PKI) yang terdiri dari tiga
ruangan, yaitu ruangan kepala, ruangan tata usaha dan ruangan teknis pembinaan
dengan jumlah pegawai pertama kalinya sebelas orang.
Pada tahun 1997 Balai BISPA berubah nama menjadi Balai Pemasyarakatan
(BAPAS) berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman No. M.01.PR.07.03 tahun
1997. Demikian halnya Balai BISPA Kelas I Denpasar dengan sendiri berubah
menjadi Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Kelas I Denpasar. BAPAS Kelas I
30Aminah Aziz, 1998, Aspek Hukum Perlindungan Anak, USU Press, tt, h. 96 .
32
Denpasar merupakan Unit Pelaksana Teknis dibawah Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Bali yang dalam menunaikan tugas
pokok dan fungsinya bermitra dengan instansi pemerintah penegak hukum yaitu ;
Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri.31
2.1.3. Tugas, Fungsi dan Kedudukan Balai Pemasyarakatan
Balai Pemasyarakatan (BAPAS) mempunyai tugas untuk memberikan
bimbingan kemasyarakatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. ‘Tugas dari BAPAS salah satunya adalah membantu memperlancar tugas
penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara anak nakal, baik di dalam
maupun di luar sidang Anak dengan membuat Laporan Hasil Penelitian
Kemasyarakatan (Litmas/Case work).’32 Berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tugas pokok Balai
Pemasyarakatan adalah:
a. Membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum, dan hakim
dalam perkara anak nakal, baik di dalam maupun di luar sidang anak
dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan;
b. Membimbing, membantu, dan mengawasi anak nakal yang berdasar
putusan hakim dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana
denda diserahkan kepada negara dan harus mengikuti latihan kerja atau
anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari lembaga
pemasyarakatan.
Tugas-tugas tersebut merupakan suatu kegiatan pemberian bimbingan
terhadap orang-orang dan anak-anak yang dikenai suatu sanksi. Bimbingan
kemasyarakatan merupakan bagian dari sistem pemasyarakatan yang menjiwai
31 Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Kelas I Denpasar, tanpa tahun terbit, BAPAS (Balai
Pemasyarakatan) Kelas I Denpasar, Bali, h.2.
32Purnianti, Mimik Sri Supatmi, Ni Made Martini Tinduk, Op.Cit h. 8.
33
tata peradilan pidana dan mengandung aspek pelaksanaan bimbingan kepada para
pelanggar hukum.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, Balai Pemasyarakatan mempunyai
fungsi sebagai berikut:
1. Melaksanakan penelitian kemasyarakatan untuk sidang pengadilan anak
maupun untuk pembinaan dalam Lapas (asismilasi, cuti menjelang bebas
dan pembebasan bersyarat);
2. Melakukan registrasi klien pemasyarakatan;
3. Melakukan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak;
4. Mengikuti sidang peradilan di pengadilan negeri dan sidang TPP (Tim
Pengamat Pemasyarakatan) di lembaga pemasyarakatan sesuai dengan
peraturan perundang- undangan yang berlaku;
5. Memberikan bantuan bimbingan kepada bekas narapidana, anak negara
dan klien pemasyarakatan yang memerlukan;
6. Melakukan urusan tata usaha Balai Pemasyarakatan.33
1. Melaksanakan penelitian kemasyarakatan untuk sidang pengadilan anak
maupun untuk pembinaan dalam Lapas (asismilasi, cuti menjelang bebas dan
pembebasan bersyarat);
I Ketut Latera yang dalam hal ini menjabat sebagai Kepala Seksi
Pembimbingan Klien Anak, dimana beliau menyebutkan bahwa pembimbing
kemasyarakatan dalam melaksanakan fungsinya yaitu melakukan penelitian
kemasyarakatan sejak Tersangka anak ditangkap oleh polisi dan dibuatkan
berita acara pemeriksaan hingga setelah Terdakwa anak (klien) diputus oleh
hakim, pembimbing kemasyarakatan selalu dilibatkan oleh kepolisian.
Pembimbing kemasyarakatan melakukan penelitian guna menyusun penelitian
kemasyarakatan (litmas). Tanpa adanya hasil penelitian kemasyarakatan dari
pembimbing kemasyarakatan, berkas perkara klien dianggap belum lengkap
33Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar, Profil Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar, Balai
Pemasyarakatan Klas I Denpasar, 2015, hal. 2.
34
dan sidang dapat dibatalkan. Litmas ini berisi tentang latar belakang anak
secara keseluruhan, seperti data diri, keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar,
sampai dengan latar belakang kasus, seperti kronologi kejadian, motif,
gambaran mengenai kasus, kondisi tersangka. Begitu juga hal yang dilakukan
untuk pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan seperti asimilasi yaitu proses
pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dilaksanakan
dengan membaurkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan didalam
kehidupan masyarakat, cuti menjelang bebas yaitu proses pembinaan
narapidana dan anak pidana diluar lembaga pemasyarakatan setelah menjalani
2/3 (dua per tiga) masa pidana minimal sekurang- kurangnya 9 (Sembilan)
bulan berkelakuan baik, dan pembebasan bersyarat merupakan proses
pembinaan narapidana dan anak pidana diluar lembaga pemasyarakatan setelah
menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana minimal sekurang- kurangnya 9
(Sembilan) bulan, penelitian kemasyarakatan yang dilakukan oleh balai
pemasyarakatan berisi kesimpulan petugas Bapas tentang kasus yang
bersangkutan dan rekomendasi mengenai disposisi (untuk kasus dewasa
disebut vonis) apa yang terbaik bagi anak. Rekomendasi yang bisa diberikan
mulai dari kembali ke orang tua, pidana bersyarat, pidana dengan keringanan
hukuman, pidana sesuai perbuatan, anak negara, dan anak sipil. (Wawancara,
tanggal 09 April 2015).
I Made Suryadi, selaku anak yang dibimbing oleh Balai
Pemasyarakatan Klas I Denpasar karena melakukan tindak pidana
persetubuhan, mengungkapkan bahwa pada saat melaksanakan proses
35
pemeriksaan sampai pada saat proses peradilan ia selalu didampingi oleh
petugas bapas, dan petugas bapas menanyakan hal- hal yang berkaitan dengan
tindak pidana yang dilakukan, lingkungan tempat ia tinggal serta keluarganya,
namun ia tidak mengetahui bahwa yang dilakukan oleh bapas adalah
melakukan penelitian kemasyarakatan yang akan melakukan rekomendasi
terhadapan putusan hakim yang akan memberikan yang terbaik terhadapnya.
(Wawancara, tanggal 16 April 2015).
Sejalan dengan yang diungkapkan oleh I Made Suryadi, Putu Yoga
Widya Putra selaku anak yang dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan Klas I
Denpasar karena melakukan tindak pidana persetubuhan, juga mengatakan
bahwa pada saat melaksanakan proses pemeriksaan sampai pada saat proses
peradilan selalu didampingi oleh petugas bapas, dan selama proses
pemeriksaan petugas bapas menanyakan hal- hal yang berkaitan dengan tindak
pidana yang dilakukan, hal- hal yang menyebabkan ia ingin melakukan
perbuatan persetubuhan tersebut, bagaimanakah keadaan lingkungan tempat ia
tinggal serta keluarganya, namun ia tidak mengetahui bahwa yang dilakukan
oleh bapas adalah melakukan penelitian kemasyarakatan yang akan melakukan
rekomendasi terhadapan putusan hakim yang akan memberikan yang terbaik
terhadapnya. (Wawancara, tanggal 24 April 2015).
Kesimpulan yang dapat diambil dari wawancara dengan dua anak yang
sedang dibimbing di Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar adalah bahwa
dalam menjalankan fungsinya yaitu melaksanakan penelitian kemasyarakatan
untuk sidang pengadilan anak maupun untuk pembinaan dalam Lapas bahwa
36
diketahui Bapas menjalankan fungsinya dengan baik demi kelancaran proses
hukum terhadap anak tersebut dan demi memberikan hasil yang terbaik untuk
anak tersebut dimana anak adalah generasi penerus bangsa yang masa
depannya masih panjang.
2. Melakukan registrasi klien pemasyarakatan;
Registrasi klien pemasyarakatan dalam hal ini merupakan proses yang
dilakukan oleh petugas balai pemasyarakatan dalam rangka melakukan suatu
proses pencatatan data atau pendaftaran klien pemasyarakatan yang berupa
pencatatan yang diantaranya putusan atau penetapan pengadilan, atau
Keputusan Menteri dan jati diri, pembuatan pas foto, pengambilan sidik jari
dan pembuatan berita acara serah terima klien baik narapidana dewasa ataupun
narapidana anak yang akan dibimbing di balai pemasyarakatan, demikian
ternyata berdasarkan wawancara yang dilakukan di Balai Pemasyarakatan Klas
I Denpasar dengan I Putu Suwarsa, selaku seksi Bimbingan Kemasyarakatan di
Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar (Wawancara, tanggal 09 April 2015).
3. Melakukan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak;
Dalam menjalankan fungsinya, I Ketut Latera, selaku Kepala Seksi
Bimbingan Klien Anak mengungkapkan bahwa, balai pemasyarakatan
melakukan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak yang berkonflik
dengan hukum dengan cara melakukan bimbingan mental spiritual yang
bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan melalui kesadaran
beragama, melakukan bimbingan kesadaran hukum yang berupa penyuluhan
hukum baik perorangan maupun kelompok sebagai pedoman agar klien tidak
37
melanggar hukum lagi dan memahami norma- norma hukum. (Wawancara,
tanggal tanggal 09 April 2015).
I Made Suryadi, anak yang dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan Klas I
Denpasar karena melakukan tindak pidana persetubuhan, mengatakan bahwa ia
melakukan bimbingan di BAPAS Klas I Denpasar selama sebulan sekali. Serta
ia mengatakan banyak merasakan perubahan dalam dirinya setelah dibimbing
di bapas, perubahan tersebut yang paling jelas ia rasakan adalah dalam hal
spiritualnya, dan ia telah sadar bahwa perbuatan yang dahalu dilakukan tidak
akan ia ulangi kembali. (Wawancara, tanggal 16 April 2015).
Senada dengan yang diungkapkan oleh I Made Suryadi, Putu Yoga
Widya Putra selaku anak yang dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan Klas I
Denpasar karena melakukan tindak pidana persetubuhan, juga mengatakan
bahwa ia melakukan bimbingan selama sekali dalam sebulan. Serta ia
mengatakan banyak merasakan perubahan dalam dirinya setelah dibimbing di
bapas, perubahan tersebut yang paling jelas ia rasakan adalah dalam hal
spiritualnya serta pola hidup yang makin sehat, dan ia telah sadar bahwa
perbuatan yang dahulu dilakukan tidak akan ia ulangi kembali. (Wawancara,
tanggal 24 April 2015).
Hasil wawancara yang dilakukan dengan I Ketut Latera, selaku Kepala
Seksi Bimbingan Klien Anak mengatakan bahwa pelaksanaan bimbingan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan berdasarkan lamanya
masa pidana anak tersebut di Lapas Anak, selain dari alasan tersebut beliau
juga mengatakan bahwa kurangnya sumber daya manusia juga sebagai faktor
38
penghambat dijalankannya bimbingan yang cukup rutin. (Wawancara, tanggal
28 April 2015).
Hasil wawancara dengan dua anak yang sedang dibimbing di Balai
Pemasyarakatan Klas I Denpasar tersebut diatas, hemat penulis bahwa dalam
menjalankan fungsinya yaitu melakukan bimbingan kemasyarakatan dan
pengentasan anak diketahui bahwa Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar
telah melaksanakan fungsinya dengan baik, yaitu dengan melakukan
bimbingan yang dilakukan selama sebulan sekali walaupun ada kendala di
dalam hal sumber daya manusia yang kurang memadai.
4. Mengikuti sidang peradilan di pengadilan negeri dan sidang TPP (Tim
Pengamat Pemasyarakatan) di lembaga pemasyarakatan sesuai dengan
peraturan perundang- undangan yang berlaku;
I Ketut Latera, selaku Ketua Seksi Bimbingan Klien Anak beliau
menuturkan pelaksanakan mengikuti sidang peradilan di pengadilan negeri dan
sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) adalah petugas balai
pemasyarakatan yang ditunjuk secara khusus untuk mengikuti hal tersebut.
Dalam pelaksanaannya mengikuti sidang peradilan di pengadilan negeri dan
sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) lebih sering terjadi dalam
pembinaan terhadap klien narapidana dewasa, ini dikarenakan klien anak lebih
sering dilakukan proses diversi, penyelesaian perkara di luar pengadilan yang
melibatkan korban, pelaku, orang tua beserta petugas pemasyarakatan.
Lebih lanjut I Ketut Latera, selaku Ketua Seksi Bimbingan Klien Anak
mengatakan bahwa apabila ada anak yang berkonflik dengan hukum mengikuti
39
sidang peradilan di pengadilan negeri, maka bapas bertugas melakukan
pendampingan serta menyampaikan hasil penelitian serta melakukan
rekomendasi dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik untuk anak.
(Wawancara, tanggal 09 April 2015).
Sejalan dengan yang dikemukanan oleh I Made Suryadi, anak yang
dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar karena melakukan
tindak pidana persetubuhan bahwa ia mengatakan petugas balai
pemasyarakatan selalu mendampinginya dalam proses sidang di pengadilan
negeri dan ikut dalam melakukan rekomendasi dalam hal pemidanaan dengan
mempertimbangkan kepentingan yang terbaik untuknya. (Wawancara, tanggal
16 April 2015).
Senada dengan yang diungkapkan oleh I Made Suryadi, Putu Yoga
Widya Putra selaku anak yang dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan Klas I
Denpasar karena melakukan tindak pidana persetubuhan, juga mengatakan
bahwa petugas bapas selalu mendampinginya dalam proses sidang di
pengadilan negeri, menanyakan hal- hal apa saja yang berkaitan dengan tindak
pidana yang ia lakukan dan ikut dalam melakukan rekomendasi dalam hal
pemidanaan dengan mempertimbangkan kepentingan yang terbaik untuknya.
(Wawancara, tanggal 24 April 2015).
Hemat penulis dari wawancara dengan kedua anak yang sedang dibina di
Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar tersebut diatas bahwa dalam
menjalankan fungsinya yaitu mengikuti sidang peradilan di pengadilan negeri
dan sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) di lembaga pemasyarakatan
40
sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dapat di ketahui
bapas telah menjalankan fungsinya dengan baik. Dimana bapas turut serta
dalam proses sidang peradilan menyangkut mengenai anak yang berkonflik
dengan hukum serta turut memberikan rekomendasi kepada hakim terkait
dengan jatuhan pidana yang akan dikenakan terhadap anak tersebut dengan
pertimbangan- pertimbangan demi yang terbaik untuk anak tersebut.
5. Memberikan bantuan bimbingan kepada bekas narapidana, anak negara dan
klien pemasyarakatan yang memerlukan;
I Ketut Latera, selaku Kepala Seksi Bimbingan Klien Anak
mengungkapkan dalam hal ini memberikan bantuan bimbingan kepada bekas
narapidana, anak negara dan klien pemasyarakatan adalah bantuan bimbingan
yang dilakukan oleh petugas balai pemasyarakatan yang berupa datang ke
kediaman bekas narapidana, anak negara dan klien pemasyarakatan berada. Ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana keadaan bekas narapidana, anak negara
dan klien pemasyarakatan tersebut, apakah bekas narapidana, anak negara dan
klien pemasyarakatan tersebut telah menyadari kesalahannya, telah
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali di lingkungan masyarakat, serta menjadi anak yang aktif berperan
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.
Lebih lanjut ditambahkan, dalam prakteknya bapas belum pernah
melakukan bimbingan terhadap bekas narapidana, anak negara dan klien
pemasyarakatan karena selama ini bekas narapidana dan keluarganya belum
41
pernah ada meminta bimbingan kepada pihak bapas. Oleh karena itu bapas
tidak mempunyai kewenangan untuk membimbing kecuali mereka yang
meminta untuk dibimbing. (Wawancara, tanggal 09 April 2015).
6. Melakukan urusan tata usaha Balai Pemasyarakatan.
Sekti Pertiwi selaku Seksi Bimbingan Kerja di Balai Pemasyarakatan
Klas I Denpasar mengatakan bahwa urusan tata usaha yang dilakukan di balai
pemasyarakatan adalah penyelenggaraan urusan tulis menulis yang
berbuhungan dengan pelaksanaan administrasi balai pemasyarakatan.
(Wawancara, tanggal 09 April 2015).
Kedudukan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) adalah sebagai unit pelaksana
teknis (UPT) di bidang pembimbingan luar Lembaga Pemasyarakatan yang berada
di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Propinsi. Hal ini mengandung
pengertian bahwa Balai Pemasyarakatan masuk dalam naungan Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) yang secara teknis berada di
bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Balai pemasyarakatan merupakan suatu organisasi dengan mekanisme kerja
yang menggambarkan hubungan dan jalur-jalur perintah atau komando vertikal
maupun horizontal dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Dalam hal ini setiap
petugas harus mengerti dan dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan wewenang
dan tanggung jawab masing-masing. Oleh karena itu penerapan organisasi Balai
Pemasyarakatan telah diatur sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
42
Dalam struktur organisasi Balai Pemasyarakatan dibedakan dengan
klasifikasi berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor M.02.12.07.03 Tahun 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai
Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) dan Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1997
menghapus Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA)
menjadi Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Perihal klasifikasi tersebut didasarkan
atas lokasi, beban kerja, dan wilayah kerja. Berdasarkan hal tersebut, Balai
Pemasyarakatan diklasifikasikan menjadi dua kelas, yaitu:
1. Balai Pemasyarakatan Kelas 1;
2. Balai Pemasyarakatan Kelas 2.
2.2. Esensi Pembinaan Terhadap Anak
2.2.1. Pengertian Pembinaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa ‘pembinaan berarti
proses, cara, perbuatan membina, usaha, tindakan dan kegiatan yang diadakan
secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik’.34
‘Pembinaan juga dapat berarti suatu kegiatan yang mempertahankan dan
menyempurnakan apa yang telah ada sesuai dengan apa yang diharapkan’.35
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan
dan Pembimbingan Warga Binaan Masyarakat menyebutkan bahwa “Pembinaan
34Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, tanpa tahun terbit, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
Difa Publisher, tanpa tempat terbit, h. 168.
35Hendyat Soetopo dan Wanty Soemamto, 1982, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum,
Bina Aksara, Jakarta, h. 43.
43
adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan
rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”.
Berdasarkan definisi tersebut dapat diasumsikan bahwa pembinaan adalah
suatu usaha kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan apa yang sudah ada
kepada yang lebih baik (sempurna) baik dengan melalui pemeliharaan dan
bimbingan terhadap apa yang sudah ada (yang sudah dimiliki). Serta juga
mendapatkan hal yang belum dimilikinya yaitu pengetahuan dan kecakapan yang
baru.
Pasal 6 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
menyatakan bahwa ‘Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di
LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan oleh
BAPAS’. Jadi dalam uraian Pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
tugas BAPAS adalah sebagai pembimbing pemasyarakatan bukan sebagai
Pembina kemasyarakatan. Hal tersebut senada dengan ketentuan Pasal 1 angka 2
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Masyarakat yang menyatakan pembimbingan
adalah pemberian tuntutan untuk meningkatkan kualitas, ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan
jasmani dan rohani Klien Pemasyarakatan. Klien Pemasyarakatan adalah Warga
Binaan Pemasyarakatan yang dibimbing oleh BAPAS.
44
2.2.2. Pembinaan Klien Anak
Berdasarkan Pasal 42 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, klien anak merupakan Terpidana bersyarat, Narapidana, Anak
Pidana, dan Anak Negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat atau cuti
menjelang bebas, Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan,
pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial, Anak Negara
yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang
tua asuh atau badan sosial dan Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan,
bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya.
‘Bimbingan klien ialah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki
dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para klien pemasyarakatan di luar
tembok’.36 Pembinaan klien anak adalah suatu pelaksanaan dalam rangka
penegakan hukum yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan.
Bimbingan klien pemasyarakatan pada hakekatnya adalah pembinaan klien
di luar Lembaga sebagai salah satu sistem perlakuan terhadap warga binaan
pemasyarakatan. Untuk membimbing klien anak tidak lepas dari Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang bertujuan untuk membentuk
warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali di masyarakat.
36Keputusan Menteri Kehakiman Nomor:M.02-PK.04.10,Tahun 1990,Tentang Pola
Pembinaan Narapidana/Tahanan,From http://www.Departemen hukumdanham.Co.id DitjenPas=
Search , diakses pada tangal 10 April 2015.
45
Secara singkat bimbingan klien adalah daya upaya yang bertujuan untuk
memperbaiki klien dengan maksud secara langsung dapat menghindarkan diri atas
terjadinya pengulangan tingkah laku atau perbuatan yang melanggar norma atau
hukum yang berlaku. Menurut CM Marianti Soewandi ‘bimbingan klien ini
dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat, di dalam keluarga, tidak di dalam
Lapas. Bimbingan yang diberikan harus dapat mendorong dan memantapkan
hasrat klien untuk sembuh dan memiliki kedudukan sosial serta dapat
melaksanakan peran sosialnya secara wajar dalam masyarakat’. 37
Dalam menjalani masa pidanya di lapas, anak yang berkonflik dengan
hukum berhak mendapat binaan dari petugas lapas itu sendiri, pembinaan yang
diterapkan bagi seorang narapidana anak haruslah berbeda dengan pola-pola
pembinaan yang diterapkan bagi narapidana dewasa. Narapidana anak yang masih
mempunyai masa depan yang panjang dibandingkan orang dewasa.
I Ketut Latera, yang dalam hal ini menjabat sebagai Kepala Seksi
Pembimbingan Klien Anak di Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar,
mengatakan bahwa pembinaan yang dilakukan di lapas merupakan sepenuhnya
tanggung jawab oleh lapas, bapas hanya membimbing warga binaan yang telah
mendapat pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat. Bentuk-
bentuk Pola Pembinaan Narapidana Anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak
terbagi atas 3 (tiga) ruang lingkup pembinaan yaitu : pembinaan kepribadian,
pembinaan kemandirian dan upaya pemasyarakatan.
37CM Marianti Soewandi. 2003. Buku Materi Kuliah Akademi Ilmu Pemasyarakatan,
Bimbingan dan Penyuluhan Klien. : Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, Jakarta, h. 34.
46
a. Pembinaan Kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan
bernegara, kemampuan intelektual, kesadaran hukum, mengintegrasikan diri
dengan masyarakat. Pembinaan kepribadian di lembaga pemasyarakatan anak
terbagi atas 3 bagian yakni : 1. Pendidikan Keagamaan (diisi oleh rohaniawan
baik Islam, Kristen, Hindu dan Budha), 2.Pendidikan Umum 3.Pembinaan
kepramukaan yang bertujuan membentuk watak dan jiwa yang sportif serta
bertanggung jawab dalam diri anak pidana sehingga nantinya setelah mereka
keluar dari lembaga pemasyarakatan anak dapat diterima kembali di
masyarakat.
b. Pembinaan Kemandirian Kegiatannya terdiri atas: kerja/keterampilan seperti
mengolah tempurung, membuat sulaman, pertanian dan perkebunan.
c. Upaya Pemasyarakatan, Upaya pemasyarakatan maksudnya adalah pembinaan
narapidana guna dipersiapkan terjun kembali ketengah-tengah masyarakat.
(Wawancara, tanggal 16 April 2015).
Sejalan dengan yang dikemukanan oleh I Made Suryadi, anak yang
dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar karena melakukan tindak
pidana persetubuhan, bahwa ia mengatakan selama menjalani masa pidana di
lapas ia rutin mendapatkan pembinaan berupa bimbingan kerohanian serta
mendapatkan pelajaran ketrampilan seperti perkebunan serta membuat hiasan
rumah dari barang- barang bekas. Serta ia mengatakan banyak merasakan
perubahan dalam dirinya setelah melakukan pembinaan di lapas. (Wawancara,
tanggal 16 April 2015).
47
Seorang anak yang berkonflik dengan hukum yang masa pidananya akan
segera berakhir atau anak tersebut dalam yang telah mendapat pembebasan
bersyarat, cuti menjelang bebas atau cuti bersyarat, maka selanjutnya dilakukan
pembimbingan di Balai Pemasyarakaan dengan pelaksananya adanya Seksi
Bagian Klien Anak. Dalam melakukan bimbingan terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum, I Ketut Latera, menambahkan bahwa terdapat beberapa model
pembimbingan yang diterapkan di Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar, yaitu :
1. Bimbingan mental Spriritual, yang bertujuan meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan melalui kesadaran beragama. Memberi pengertian akibat dari
perbuatannya yang melanggar hukum.
2. Bimbingan kesadaran hukum, bimbingan ini merupakan memberikan
penyuluhan hukum baik perorangan maupun kelompok sebagai pedoman agar
klien anak tidak lagi melanggar hukum lagi dan memahami norma- norma
hukum.
3. Bimbingan kemandirian, bimbingan ini diberikan dalam rangka peningkatan
dan pengembangan bakat/ kemampuan yang dimiliki klien anak dengan
harapan nantinya mempunyai bekal dalam bidang- bidang ketrampilan yang
dapat diterapkan di masyarakat. Bimbingan ini memberikan berupa
penyuluhan- penyuluhan lapangan pekerjaan, dunia usaha, serta bidang
ketrampilan.
Lebih lanjut oleh I Made Suryadi, anak yang dibimbing oleh Balai
Pemasyarakatan Klas I Denpasar karena melakukan tindak pidana persetubuhan,
mengemukakan bahwa selama melakukan pembimbingan di Balai Pemasyakatan
48
Klas I Denpasar, ia telah mempelajari tentang spiritual keagamaan, penyuluhan
mengenai pentingnya hukum serta dibimbimbing agar menjadi anak yang lebih
mandiri dan tidak lagi mengulangi perbuatannya kembali.
Senada dengan yang diungkapkan oleh I Made Suryadi, Putu Yoga Widya
Putra selaku anak yang dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar
karena melakukan tindak pidana persetubuhan, juga mengatakan bahwa selama
melakukan pembimbingan di Balai Pemasyakatan Klas I Denpasar, ia telah
mempelajari tentang spiritual keagamaan, kesadaran bahwa perbuatan yang
dilakukan terdahulu merupakan suatu pelanggaran hukum, penyuluhan mengenai
pentingnya hukum serta dibimbimbing agar menjadi anak yang lebih mandiri dan
tidak lagi mengulangi perbuatannya kembali. (Wawancara, tanggal 24 April
2015).
2.3. Ensensi Anak
2.3.1. Pengertian Tentang Anak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak didefinisikan sebagai
‘keturunan pertama (sesudah ibu bapak) dan anak-anak adalah manusia yang
masih kecil belum dewasa’.38
Pengertian anak di sini mencakup batas usia anak. Batas usia anak
memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai
anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak adalah ‘pengelompokan usia
maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum’.39 Pengertian
38Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Op.Cit, h. 54.
39Maulana Hasan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
Grafindo, Jakarta., h.24.
49
anak selain di atur dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak juga diatur dalam peraturan- peraturan lainnya yang
merupakan hukum positif Indonesia. Apabila dijabarkan secara terperinci, maka
ada beberapa batasan umur dari hukum positif Indonesia tentang batasan umur
bagi anak, yaitu :
a. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang- undang ini tidak langsung mengatur tentang kapan seseorang
digolongkan anak, tetapi secara tersirat tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) yang
memuat mengenai perkawinan bagi seseorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Dalam Pasal 7 ayat (1) memuat batas
minimum usia untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 (sembilanbelas) tahun, dan
bagi wanita 16 (enambelas) tahun.40
Pasal 47 ayat (1) menyatakan, bahwa anak yang belum mencapai umur 18
(delapanbelas) tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada dibawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaaan orang tuanya.
Pasal 50 ayat (1) berbunyi anak yang belum mencapai umur 18 (delapanbelas)
tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua,
berada dibawah kekuasaan wali.
b. Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
40Irma Setyowati Soemitri, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, h.
18.
50
Menurut Pasal 171 KUHAP dinyatakan anak adalah mereka yang umurnya
yang belum cukup 15 (limabelas) tahun dan belum pernah kawin.
c. Kitab Undang- Undang Hukum Perdata
Anak adalah mereka yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun
dan belum kawin. Lebih lengkapnya di dalam Pasal 330 B.W. dinyatakan bahwa:
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap duapuluh
satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan,
sebelum umur mereka genap duapuluh satu tahun, maka mereka tidak
kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa
dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian.”
d. Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 45 KUHP, definisi anak yang belum dewasa ialah apabila belum
berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, ketika ia tersangkut dalam
perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan
kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya, atau memerintahkannya
supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.
Ketentuan Pasal 45, 46 dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Alasan
penghapusan Pasal 45 ini adalah karena tindak pidana tersebut merupakan tindak
pidana khusus yang dilakukan oleh anak yang berumur dibawah enambelas tahun,
maka dari itu dihapuskanlah pasal 45 ini dan digantikan oleh Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
51
e. Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 Angka 1 menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapanbelas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
f. Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Anak adalah anak didik pemasyarakatan yang terdiri dari Anak Pidana,
Anak Negara dan Anak Sipil. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan
pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18
(delapanbelas) tahun.
Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan
pada negara untuk didik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai
berumur 18 (delapanbelas) tahun.
Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama
sampai berumur 18 (delapanbelas) tahun.
g. Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Batasan umur menjadi sangat penting dalam perkara pidana anak, karena
dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan
termasuk kategori anak atau bukan. Adanya ketegasan dalam suatu peraturan
perundang- undangan tentang hal tersebut akan menjadi pegangan bagi para
52
petugas di lapangan, agar tidak salah tangkap, salah tahan, salah sidik, salah tuntut
maupun salah mengadili, karena menyangkut hak asasi seseorang.
Mengenai batas umur anak dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu anak adalah anak yang telah berumur
12 (duabelas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapanbelas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.
Pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan yang dilakukan di Balai
Pemasyarakatan Klas I Denpasar terhadap anak yang berkonflik dengan hukum,
dijadikan tolak ukur batasan umur anak yang berkonflik dengan hukum adalah
berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yaitu anak adalah anak yang telah berumur 12 (duabelas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapanbelas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.
2.3.2. Anak yang Berkonflik Dengan Hukum dan Anak Korban
Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang dimaksud dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang
selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (duabelas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapanbelas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana. Sedangkan menurut Davit Setyawan anak yang berkonflik dengan hukum
adalah ‘anak yang melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai
53
kenakalan anak, yaitu kejahatan pada umumnya dan perilaku anak yang
berkonflik dengan hukum atau anak yang melakukan kejahatan khususnya’. 41
Perspektif Konvensi Hak Anak (Convention The Rights of The Child/CRC),
anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi
khusus (children in need of special protection/CNSP). UNICEF menyebut ‘anak
dalam kelompok ini sebagai ‘children in especially difficult circumstances’
(CEDC) karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami
tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup
otoritas institusi negara), membutuhkan proteksi berupa regulasi khsusus, dan
membutuhkan perlindungan dan keamanan diri’.42 Kebutuhan-kebutuhan ini tidak
dapat dipenuhi karena anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan
perawatan yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat di
mana anak biasanya menjalani hidup.
Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak menyebutkan Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak
yang menjadi saksi tindak pidana.
41Davit Setyawan, 2014, Implementasi Restoratif Justice Dalam Penanganan Anak Yang
Bermasalah Dengan Hukum, URL : http://www.kpai.go.id/artikel/implementasi-restorasi-justice-
dalam-penanganan-anak-yang- bermasalah-dengan-hukum/ diakses tanggal 29 Maret 2015.
42Yayasan Pemantau Hak Anak, 2008, Praktek- praktek Penanganan Anak yang Berkonflik
dengan Hukum Dalam Kerangka Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di
Indonesia : Perspektif Hak Sipil dan Hak Politik ,URL : http://www.google.com/url?sa=t&r
ct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&cad=rja&uact=8&ved=0CGkQFjAJ&url=http%3A%2F%
2Fwww.ypha.or.id%2Fweb%2Fwp-content%2Fuploads%2F2010%2F06%2FPraktek-praktek-
sistem-peradilan-pidana-anak.doc&ei=33QqVYnBDsq7uATYiIDIAQ&usg=AFQ
jCNHMQHbleEZdNm5SsbeJ8X6XlM0YEg&sig2=mehQ5mvWQ06iRcyHdQ79NQ&bvm=bv.90
491159,d.c2E , diakses pada tanggal 09 April 2015
54
Apong Herlina menyebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum
dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontrak dengan sistem
pengadilan pidana, karena :
1. Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum;
atau
2. Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang
dilakukan orang/ kelompok orang/ lembaga, negara terhadapnya; atau
3. Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa
pelanggaran hukum.43
Melihat kecendrungan yang ada di media saat ini, baik media cetak
maupun media elektronik, jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak
(juvenile delinquency) semakin meningkat dan semakin beragam modusnya.
Masalah delinkuensi anak ini merupakan masalah yang semakin kompleks dan
perlu segera diatasi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Menurut Romli
Atmasasmita dalam Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari
kenakalan anak adalah sebagai berikut:44
1. Motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah intelegentia,
usia, kelamin serta kedudukan anak dalam keluarga.
2. Motivasi ekstrinsik adalah rumah tangga, pendidikan dan sekolah;
pergaulan anak dan media masa.
43Anonim, 2004, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku
Unuk Polisi, Unicef, Jakarta, h. 30.
44 Soetodjo, Wagiati, 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung, PT. Refika Aditama. h. 17
55
Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak untuk melakukan
kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka terpaksa
berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan. Anak yang melakukan tindak
pidana ini bisa disebut pula dengan anak yang berhadapan dengan hukum.
Perbedaan anak yang berkonflik dengan hukum dan anak yang berhadapan
dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah
berumur 12 (duabelas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapanbelas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana sedangkan anak yang berhadapan dengan hukum
adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Dalam hal ini, anak yang
berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan tindak pidana saja,
sedangkan anak yang berhadapan dengan hukum adalah tidak hanya anak yang
berkonflik dengan hukum saja melainkan anak yang menjadi korban tindak pidana
serta anak yang menjadi saksi tindak pidana tersebut.
Menurut Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, Anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapanbelas)
tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/ atau kerugian ekonomi
yang disebabkan oleh tindak pidana.
Pengertian korban termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah
“seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi
yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
56
“Arif Gosita menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang
lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Ini menggunakan istilah
penderitaan jasmaniah dan rohaniah (fisik dan mental) dari korban dan juga
bertentangan dengan hak asasi manusia dari korban”.45
Bila diasumsikan anak korban adalah mereka yang mengalami kerugian
berupa fisik, psikis maupun materi yang perbuatan tersebut dilakukan oleh orang
lain serta perbuatan tesebut bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia.
2.3.3. Hak- hak Anak
Anak sebagai generasi penerus bangsa telah mendapatkan kedudukan di
dunia internasional. Dengan memiliki kedudukan di dunia internasional bukan
berarti hak- hak anak telah terjamin adanya. Seperti yang kita ketahui, bahwa
banyaknya pelanggaran yang terjadi terhadap anak, yaitu seperti tidak meratanya
anak- anak yang mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan, kehidupan yang
layak, perbudakan, dan lain sebagainya. Dengan banyaknya pelanggaran terhadap
hak-hak anak maka terdapat berbagai macam peraturan yang melindungi hak-hak
anak agar perkembangan anak berjalan dengan baik. Namun, hak- hak anak
tersebut tidak hanya diperuntukan kepada anak- anak yang taat terhadap peraturan
hukum yang berlaku, melainkan terhadap anak- anak yang melanggarnya, ini
menandakan setiap anak mendapatkan haknya tanpa adanya diskriminasi.
Dalam dunia internasional terdapat beberapa peraturan yang mengatur
mengenai hak- hak anak tersebut, seperti diantaranya :
45 Arif Gosita, Op.Cit, h.75.
57
1. Hak Anak Menurut Konvensi Hak Anak (Child Right Convention)
Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa telah meratifikasi
Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Adapun hak-hak
anak menurut Konvensi Hak Anak jo Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
tentang Ratifikasi Hak Anak adalah sebagai berikut:
1. Hak Hidup (Survival Rights)
2. Hak Mendapatkan Perlindungan (Protection Rights)
3. Hak Untuk Tumbuh Kembang (Development Rights)
4. Hak Berpartisipasi (Participation Rights).
2. Convention on the Rights of the Child 1989
Memuat sejumlah ketentuan yang sangat tegas berkaitan dengan
penangkapan, yaitu tak seorang anakpun boleh dicabut kebebasannya secara tidak
sah atau sewenang-wenang. Dalam kaitannya dengan penangkapan anak
pelanggar hukum, para pejabat penegak hukum diharuskan mematuhi sejumlah
ketentuan pelengkap, antara lain:
a. Orang tua atau wali dari anak yang ditangkap harus diberitahukan
mengenai penangkapan tersebut dengan segera (Beijing Rules, Rule
10.1).
b. Hakim atau otoritas yang berwenang lainnya akan mempertimbangkan
persoalan pelepasannya tanpa penangguhan (Beijing Rules, Rule 10.2).
c. Anak yang ditahan menyusul penangkapannya akan dipisahkan dengan
orang dewasa di dalam tahanan (Beijing Rules, Rule 13.4).
58
d. Setiap orang pada saat penangkapan pada permulaan penangkapan atau
pemenjaraan atau segera setelah itu, harus diberikan keterangan dan
penjelasan mengenai hak-haknya dan caranya membantu dirinya sendiri.
3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138
tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja;
5. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
6. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 182
tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak;
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
8. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
9. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
10. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
Peraturan yang bersifat internasional ini selanjutnya diikuti oleh negara-
negara di dunia dengan meratifikasinya. Begitu juga dengan Indonesia sehingga
Indonesia juga mempunyai peraturan-peraturan hukum yang mengatur mengenai
perlindungan terhadap hak anak. Indonesia, sudah memiliki sederet aturan untuk
melindungi, mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak. Misalnya saja jauh
sebelum Ratifikasi Konvensi Hak Anak tahun 1990 Indonesia telah mengesahkan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
59
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak sudah
dapat menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan terhadap perlindungan anak,
namun, kondisi anak-anak di Indonesia masih mengalami berbagai masalah. Sampai
akhirnya Indonesia meratifikasi Konvensi International Mengenai Hak Anak
(Convention on the Raight of the Child), ‘Konvensi yang diratifikasi melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 ternyata belum mampu mengangkat
keterpurukan situasi anak-anak Indonesia. Kemudian setelah Ratifikasi Konvesi Hak
Anak, Indonesia mengesahkan undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak’.46
Indonesia sendiri, terdapat beberapa peraturan yang mengatur mengenai
hak- hak anak tersebut, seperti diantaranya
1. Dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa pasal 34 ayat (1), Fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipelihara oleh negara. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (ayat (2)). Negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak (ayat(3)).
Serta Batang Tubuh UUD 1945 secara garis besar hak-hak asasi
manusia tercantum dalam pasal 27 sampai 34 dapat dikelompokkan menjadi :
46Anonim, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, (Focal Point
Gender Kejaksaan Agung dan Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia),
focalpointgender.kejaksaan.go.id/.../Hak%20Anak%20-%20materi%20modul.doc,
diakses tanggal 05 April 2015, h.7
60
a) Hak dalam bidang politik (pasal 27 (1) dan 28),
b) Hak dalam bidang ekonomi (pasal 27 (2), 33, 34),
c) Hak dalam bidang sosial budaya (pasal 29, 31, 32),
d) Hak dalam bidang hankam (pasal 27 (3) dan 30).
e) Hak asasi manusia (Bab X A Pasal 28 A sampai dengan 28 J)
2. Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam
Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 mengatur secara khusus mengenai hak anak.
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyatakan bahwa setiap anak dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak
lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan
perlindungan dari perlakuan:
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya.
Memang disadari, dengan adanya Konvensi Hak-hak Anak tidak dengan
serta merta merubah situasi dan kondisi anak-anak di seluruh dunia. Namun
setidaknya ada acuan yang dapat digunakan untuk melakukan advokasi bagi
perubahan dan mendorong lahirnya peraturan perundangan, kebijakan ataupun
program yang lebih responsif anak.