Upload
tranquynh
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKSANAAN PEMBERIAN
KREDIT MODAL KERJA PT. BANK CIMB NIAGA TBK
A. Tinjauan Umum Tentang Pelaksanaan Pemberian Kredit
Kata kredit berasal dari bahasa latin yaitu “credere”, yang artinya percaya. Oleh
karena itu, dasar pemikiran persetujuan pemberian kredit oleh bank pada seseorang atau
badan usaha adalah kepercayaan. Menurut Pasal 1 butir (11) UU No.10 Tahun 1998, kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia
adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dalam
menjalankan fungsinya tersebut, maka bank melakukan usaha menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito,
tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini bank juga
menyalurkan dana yang berasal dari masyarakat dengan cara memberikan berbagai macam
kredit.
Ketegasan Pemerintah dalam upaya penyaluran dana kredit kepada masyarakat
didalam usaha perbankan dituangkan dalam aturan terbaru Peraturan Bank Indonesia Nomor.
17/12/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor.14/22/PBI/2012
tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Tekhnis dalam
Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.1 Upaya Pemerintah melalui Bank
Indonesia membuktikan akan kepedulian terhadap perkembangan usaha bagi kalangan
UMKM sehingga kebutuhan modal untuk usaha dapat terpenuhi. Kebutuhan modal yang
terpenuhi akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan turut mengembangkan
pemerataan ekonomi di masyarakat.
Perjanjian kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah bukanlah tanpa
resiko.Resiko yang umum terjadi adalah resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan.
Keadaan tersebut sangatlah berpengaruh kepada kesehatan bank, karena uang yang
dipinjamkan kepada debitur bersumber dari masyarakat yang disimpan pada bank itu
sehingga resiko tersebut sangat berpengaruh atas kepercayaan masyarakat kepada bank yang
sekaligus kepada keamanan dana masyarakat tersebut.
Mengingat dalam pelaksanaan pemberian kredit oleh bank mengandung resiko,
sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang
sehat.Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang
diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap
watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur (5C).Apabila unsur-unsur
yang ada telah dapat meyakinkan kreditur atas kemampuan debitur maka jaminan cukup
hanya berupa jaminan pokok saja dan bank tidak wajib meminta jaminan tambahan.
Jaminan pokok yang dimaksud dalam pemberian kredit tersebut adalah jaminan yang
berupa sesuatu atau benda yang berkaitan langsung dengan kredit yang dimohon.Sesuatu
yang dimaksud disini adalah proyek atau prospek usaha yang dibiayai dengan kredit yang
1Peraturan Bank Indonesia Nomor. 17/12/PBI/2015
dimohon, sementara yang dimaksud benda disini adalah sesuatu yang dibiayai atau dibeli
dengan kredit yang dimohon.Jenis tambahan yang dimaksud adalah jaminan yang tidak
bersangkutan langsung dengan kredit yang dimohon.Jaminan ini berupa jaminan kebendaan
yang objeknya adalah benda milik debitur maupun perorangan, yaitu kesanggupan pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur.
Kita mengenal dua jenis hak jaminan kredit dalam praktik di masyarakat, yaitu:
1. Hak-hak jaminan kredit perorangan (personal guarantly), yaitu jaminan seorang pihak
ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur.
Termasuk dalam golongan ini antara lain “borg” yaitu pihak ketiga yang menjamin
bahwa utang orang lain pasti dibayar;
2. Hak-hak jaminan kredit kebendaan (persoonlijke en zakelijke zekerheid), yaitu
jaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya, ataupun antara kreditur
dengan seseorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban
debitur. Termasuk golongan ini apabila yang bersangkutan didahulukan terhadap
kreditur-kreditur lainnya dalam hal pembagian penjualan hasil harta benda debitur,
meliputi: previlege (hak istimewa), gadai dan hipotek.
Praktik jaminan yang sering digunakan pada Perbankan Indonesia, adalah jaminan
kebendaan yang meliputi:
1. Hipotek, yaitu suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk
mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan (Pasal 1162
KUHP);
2. Credietverband, yaitu suatu jaminan atas tanah berdasarkan Koninklijk Besluit (KB)
tanggal 6 Juli Tahun 1908 No. 50 (Stbl 1908 No. 542);
3. Fidusia, (fiduciare eigendomsoverdracht), yaitu pemindahan milik secara
kepercayaan.
Lembaga Jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang
yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan.
Dengan berlakukan Undang-Undang Hak Tanggungan tahun 1996, maka Hipotek yang diatur
KUH Perdata dan credietverband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai
jaminan utang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk
mengikat tanah. Pengikatan objek jaminan utang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui
lembaga Jaminan Hak Tanggungan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan, yaitu untuk selanjutnya disebut UUHT memberikan definisi “Hak Tanggungan
atas tanah serta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak
Tanggungan”, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT sebagai berikut: “Hak
Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”
Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan semua perjanjian baik
yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu
tunduk pada peraturan-peraturan umum. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian kredit
merupakan perjanjian yang tiak dikenal didalm Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
namun perjanjian kredit juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang terdapat
didalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berakhirnya atau hapusnya
perjanjian terdapat pada Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa
berakhirnya perjanjian disebabkan oleh peristiwa-peristiwa sebagai berikut:2
a. Pembayaran
Pembayaran adalah kewajiban debitur secara sukarela untuk memenuhi perjanjian
yang telah diadakan.Adanya pembayaran oleh seorang debitur atau pihak yang berhutang
berarti debitur telah melakukan prestasi sesuai perjanjian.Melalui pembayaran yang
dilakukan debitur maka perjanjian kredit atau utang menjadi lunas atau berakhir.
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Prestasi debitur dengan melakukan pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan
dapat mengakhiri atau menghapus perjanjian. Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus
dilakukan apabila kreditur menolak pembayaran.
c. Pembaruan utang/novasi
Novasi adalah suatu perjanjian baru yang menghapus perjanjian lama dan pada saat
yang sama memunculkan perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama.
d. Kompensasi atau perjumpaan utang
Kompensasi atau perjumpaan utang adalah suatu cara untuk mengakhiri perjanjian
dengan cara memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang antara kreditur dan
debitur, yaitu dengan percampuran utang dan pembebasan utang.
2M Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal.52-58
e. Pembatalan perjanjian
Suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang
dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak bisa dihapus, apabila
salah satu pihak membatalkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif.
f. Kadaluwarsa
Menurut pasal 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka segala tuntutan
hukum baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perorangan terhapus karena
kadaluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh (30) tahun, sedangkan yang menunjuk adanya
kadaluwarsa itu tidak berdasarkan atas suatu hak.
Berakhirnya perjanjian tidak diatur secara tersendiri didalam Undang-Undang, tetapi
hal itu dapat disimpulkan dari beberapa ketentuan yang ada dalam Undang-Undang tersebut.
Berakhirnya suatu perjanjian tersebut disebabkan oleh:3
1) Ditentukan terlebih dahulu oleh para pihak, misalnya dengan menetapkan batas waktu
tertentu, maka jika sampai pada batas waktu yang ditentukan mengakibatkan
perjanjian berakhir;
2) Undang-Undang yang menetapkan batas waktunya suatu perjanjian;
3) Karena terjadinya peristiwa tertentu selama perjanjian dilaksanakan;
4) Salah satu pihak meninggal dunia;
5) Adanya pernyataan untuk mengakhiri perjanjian yang diadakan oleh salah satu pihak
atau pernyataan tersebut sama-sama adanya kesepakatan untuk mengakhiri perjanjian;
6) Putusan hakim yang mengakhiri perjanjian yang dilaksanakan;
3Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004, hal.43
7) Telah tercapainya tujuan dari perjanjian yang diadakan oleh para pihak.
B. Tinjauan Umum Tentang Aspek Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit pada hakikatnya sama halnya dengan perjanjian secara umum yang
diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu Perjanjian Pinjam
Meminjam yang diatur dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sampai
dengan Pasal 1769 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pinjam meminjam ialah
persetujuan dengan mana yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang
sama pula (Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Salah satu pihak
menyerahkan kepada pihak lain sejumlah uang atau barang-barang yang diganti, dengan janji
dari pihak lain yang itu untuk kemudian hari mengembalikan kepada pihak pertama sejumlah
uang yang sama atau barang yang sama jenis dan nilainya.
Perjanjian pinjam meminjam adalah adalah suatu perjanjian konsensuil dan riil
artinya apabila dua pihak telah mufakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian maka
tidak berarti bahwa perjanjian pinjam meminjam itu telah terjadi, melainkan diikuti adanya
perjanjian baru untuk mengadakan perjanjian pinjam meminjam.Apabila uang telah
diserahkan kepada peminjam, lahirlah perjanjian pinjam meminjam dalam pengertian
Undang-Undang menurut Bab XIII Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.4Pada asasnya peminjam uang adalah persetujuan yang berbentuk bebas, namun
demikian terdapat juga pengecualian khusus mengenai besarnya suku bunga yang
diperjanjikan ini harus dinyatakan secara tertulis (Pasal 1767 ayat 2 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata).
4Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit, Alumni, Bandung, 1983, hal.24
Perjanjian kredit yang dibuat mengikat para pihak mengenai hak dan kewajiban
masing-masing yang harus dipenuhi, dimana debitur sebagai penerima pinjaman mempunyai
hak untuk mendapat fasilitas kredit sejumlah uang yang telah disepakati dan untuk
menggunakannya sesuai dengan tujuan kredit sedangkan bank sebagai pemberi pinjaman
mempunyai hak untuk memperoleh pembayaran kembali uang yang dipinjamkannya beserta
bunga, administrasi, provisi dan sebagainya. Disamping itu para pihak juga mempunyai
kewajiban yaitu bank berkewajiban menyediakan kredit sesuai dengan tujuan kredit dan tidak
dapat diminta kembali untuk melunasi pinjaman sebelum jatuh tempo kredit sesuai
perjanjian, namun demikian bank berhak menyimpanginya dalam hal penerimaan kredit tidak
memenuhi syarat-syarat perjanjian sedangkan debitur berkewajiban untuk mengembalikan
pinjaman dan memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam perjanjian termasuk
menyerahkan jaminan kredit.
Dari uraian diatas mengenai Perjanjian Kredit merupakan kesepakatan antara bank
selaku pemberi pinjaman uang (kreditur) dengan debitur selaku penerima pinjaman yang
mengatur mengenai hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh kreditur dan debitur dan
juga sebagai dasar dibuatkan akad Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sebagai
jaminan kredit hak atas tanah untuk pelunasan pinjaman debitur sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Perjanjian Jaminan Hak Tanggungan tidak berdiri
sendiri melainkan adanya karena adanya perjanjian kredit.
Dalam hal adanya perubahan mengenai hal yang telah disepakati dalam perjanjian
terdahulu sebagaimana disebut perjanjian kredit, seperti perubahan jangka waktu, jaminan
kredit maka dengan perubahan tersebut dibuatlah addendum (perubahan) Perjanjian Kredit
tersebut.Dengan demikian Perjanjian Kredit yang merupakan perjanjian pokok tersebut
dilakukan perubahan (addendum) khusus mengenai hal-hal yang dirubah tersebut.
Ada beberapa asas yang penting dalam perjanjian yaitu :
1. Asas Konsensualisme
Asas yang dikenal dengan asas terjadinya perjanjian.Konsensualisme berasal dari kata
Latin consensus yang berarti sepakat.Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian
atau perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya
kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai
hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.5
Perjanjian itu pada umumnya tidak dibuat secara formal tetapi konsensual. Jadi
perjanjian sudah ada dan memiliki akibat hukum apabila sudah ada kata sepakat tentang hal-
hal yang pokok dalam perjanjian tersebut, untuk itu tidak diperlukan formalitas tertentu
kecuali apabila tegas-tegas ditentukan, bahwa untuk beberapa macam perjanjian harus
dituangkan dalam formalitas tertentu, misalnya pemberian kuasa memasang hak tanggungan,
harus dilakukan dengan akta Notaris. Perjanjian perdamaian harus diadakan secara tertulis
dan lain sebagainya.
Asas konsensualisme ini terdapat didalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang berbunyi untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:
1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
Sepakat adalah kehendak dua pihak atau persesuaian kehendak, dimana kehendak
pihak yang satu saling tergantung dengan kehendak pihak yang lain. Persesuaian kehendak
tersebut ditujukan kepada pihak lain untuk saling terikat dan ditujukan pada akibat hukum
yang dikehendaki. Akibat persesuaian kehendak tersebut terjadilah kesepakatan dan
hubungan hukum yang dikehendaki.Kehendak dari para pihak yang sampai pada suatu
5Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, hal. 15
kesepakatan tersebut haruslah kehendak yang bebas tanpa suatu paksaan dari salah satu
pihak.Paksaan bisa berupa ancaman baik fisik maupun kejiwaan seseorang sehingga ada
pihak yang tertekan.Hal-hal yang demikian tidaklah diperkenankan sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
Setiap orang yang membuat perjanjian harus bertanggungjawab atau menyadari akibat
dari perjanjian yang dibuatnya.Untuk itu dalam membuat perjanjian disyaratkan para pihak
cakap dalam membuat perjanjian.Pada dasarnya setiap manusia adalah subjek hukum, maka
setiap manusia memiliki hak keperdataan termasuk dalam membuat perjanjian.Untuk itu
semua orang dianggap cakap membuat perjanjian, kecuali Undang-Undang menentukan
seseorang tidak cakap (onbekwaam).Ketidakcakapan ditujukan bagi mereka yang menurut
Undang-Undang tidak dapat mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya,
sehingga Undang-Undang memberikan perlindungan bagi mereka terhadap diri mereka
sendiri.
Kategori orang yang tidak cakap yaitu:
a. Anak belum dewasa
b. Orang dibawah pengampunan.
Orang yang cakap adalah orang yang telah dewasa dan tidak dibawah
pengampunan.Dewasa menurut Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan
mereka yang berumur 21 tahun atau telah kawin.Hal ini mengenai onbekwaam ada
onbevoegd atau ketidakwenangan, yaitu larangan Undang-Undang terhadap orang tertentu
untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
3) Suatu hal tertentu;
Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) sebagai syarat ketiga syarat sah perjanjian
adalah pokok atau objek penelitian, yaitu prestasi yang harus ditentukan paling tidak jenisnya
seperti Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa objek perjanjian menjadi
penting dalam memberi kepastian pada saat dilaksanakan, agar tidak menimbulkan masalah
bagi para pihak karena ketidakjelasan objeknya.
4) Suatu sebab yang halal
Syarat sahnya perjanjian selanjutnya adalah sebab yang halal (geoorloofde
oorzak).Sebab (oorzak) tidak ada kaitannya dengan penyebab orang membuat perjanjian, atau
sebab terjadinya perjanjian, tetapi „sebab‟ yang dimaksud adalah kausa yang menurut
yurisprudensi sebagai isi atau maksud dari perjanjian.
Dengan demikian sebab (oorzak)beda dengan sebab orang membuat perjanjian
(motief) atau alasan. „Sebab‟ memiliki arti penting berkaitan dengan kekuatan perjanjian,
sebagaimana Pasal 1335 ditentukan, bahwa perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau sebab
yang palsu atau sebab yang dilarang adalah tidak mempunyai kekuatan. Perjanjian yang tidak
memiliki kekuatan dapat juga dianggap tidak sah.Mengenai sebab yang terlarang adalah
apabila dilarang oleh Undang-Undang atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban
umum (Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Bertalian dengan uraian syarat sah perjanjian tersebut dikelompokkan kedalam dua
kelompok, yaitu:
a. Syarat subjektif, yang dimaksud adalah subjek dari perjanjian atau pihak-pihak dalam
perjanjian. Syarat ini terdiri dari kata sepakat mereka yang mengikat diri dan
kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Tidak dipenuhinya syarat subjektif, maka
akibatnya perjanjian dapat dibatalkan namun perjanjian tersebut tetap ada
(vernietigbaar). Untuk pembatalan suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat
objektif harus meminta kepada hakim agar memberikan keputusan yang membatalkan
perjanjian tersebut. Yang dapat meminta pembatalan dalam hal ketidakcakapan adalah
wali, pengampu dan dua orang yang bersangkutan (belum dewasa) setelah ia menjadi
dewasa. Permintaan pembatalan perjanjian menurut Pasal 1454 adalah dengan
tenggang waktu 5 (lima) tahun jika tidak dibatasi oleh Undang-Undang secara khusus.
b. Syarat objektif, yang dimaksud adalah objek dari perjanjian yang harus ada dan halal
atau tidak dilarang. Perjanjian yang tidak ada sebab atau tidak adanya objek
perjanjian, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Demikian pula bila objek
perjanjian tersebut tidak halal atau dilarang, maka akibatnya perjanjian tersebut batal
demi hukum. Akibat dari perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat yaitu batal
demi hukum, maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini dikenal sebagai asas pembuatan perjanjian atau kekuatan mengikat
perjanjian.Kebebasan dimaksud dalam hal bentuk maupun isi perjanjian, sehingga orang
bebas membuat perjanjian baik perjanjian bernama yang telah diatur oleh Undang-Undang
maupun perjanjian tidak bernama sebagai hal yang baru yang belum diatur dalam Undang-
Undang. Asas hukum itu bersifat dinamis, berkembang mengikuti kaedah hukumnya,
sedangkan kaedah hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat sehingga
terpengaruh waktu dan tempat. Asas kebebasan berkontrak pada mulanya adanya cerminan
dari paham individualisme dimana setiap orang bebas memperoleh apa yang dikehendakinya.
Kebebasan individu adalah mutlak, namun perkembangannya tidak mencerminkan keadilan
karena pihak yang kuat menentukan pihak yang lemah.Untuk melindungi yang lemah, maka
kebebasan berkontrak tidak diartikan secara mutlak tetapi diberi arti relatif yang dikaitkan
dengan kepentingan umum.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Maksud asas ini adalah perjanjian yang dibuat secara sah, akan mengikat para pihak
yang membuatnya sebagai Undang-Undang. Para pihak terikat perjanjian layaknya terikat
dengan Undang-Undang. Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
menyebutkan: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang
bagi mereka yang membuatnya.” Kata „semua‟ dalam huruf pertama Pasal 1338 ayat (1)
mengandung makna:
a. Setiap orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian;
b. Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa yang dikehendakinya;
c. Setiap orang bebas untuk menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuatnya;
d. Setiap orang bebas untuk menentukan bentuk perjanjian yang dibuatnya;
e. Setiap orang bebas untuk menentukan ketentuan hukum yang akan berlaku bagi
perjanjian yang dibuatnya.
Perjanjian yang dibuat hanya berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian
sebagai Undang-Undang. Asas ini ditujukan untuk mencapai kepastian hukum dalam
membuat perjanjian, yaitu dengan berlakunya perjanjian sebagai Undang-Undang bagi para
pihak yang membuat, maka akan dipatuhi dan perjanjian tersebut mempunyai kepastian.
Untuk mengubah atau menarik perjanjian yang telah dibuat tidak dapat dilakukan oleh salah
satu pihak saja.Tetapi harus dilakukan berdasarkan dengan sepakat kedua belah pihak,
sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pada dasarnya perjanjian mengikat para pihak yang membuat perjanjian, untuk itu
perjanjian yang membawa kerugian atau manfaat bagi pihak ketiga dilarang.Namun dalam
Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, memberikan suatu pengecualian yaitu
tentang janji untuk pihak ketiga.
4. Asas Itikad Baik (goeder trouw)
Perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik (goeder trouw), sesuai yang
dikehendaki dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Yang
dimaksud dengan itikad baik tersebut adalah perjanjian harus dilaksanakan menurut (ukuran)
secara pantas dan kepatutan.Dalam pelaksanaan perjanjian suatu itikad baik dapat diketahui,
namun itikad lebih condong pada niat yang sulit untuk dibuktikan pada saat dibuatnya suatu
perjanjian. Karena sulit untuk membuktikan adanya itikad baik pada saat dibuat perjanjian
dan baru diketahui pada saat pelaksanaan, maka pembuat Undang-Undang memberikan jalan
keluar dengan melindungi hak yang diperoleh dengan itikad baik, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1341 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian “suatu hubungan hukum
kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu
pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk
menunaikan prestasi.6Menurut CH Gatot Wardoyo dalam tulisannya berjudul “Sekitar
Klausula-Klausula Perjanjian Kredit Bank”, bahwa perjanjian kredit mempunyai beberapa
fungsi, yaitu:7
a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit
merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang
mengikutinya;
b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan
kewajiban diantara debitur dan kreditur;
c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat monitoring kredit.
6M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal.6
7Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hal.228
Setiap pemberian kredit harus dituangkan kedalam Perjanjian Kredit secara tertulis.
Bentuk dan formatnya diserahkan oleh Bank Indonesia kepada masing-masing bank untuk
menetapkannya, namun sekurang-kurangnya harus memperhatikan hal-hal berikut:
a) Judul
Dunia perbankan masih belum terdapat kesepakatan tentang judul atau penamaan
perjanjian kredit bank ini.
b) Komparisi
Komparisi menjelaskan secara rinci tentang identitas, dasar hukum, dan kedudukan
subjek hukum perjanjian kredit bank. Sebuah perjanjian kredit bank akan dianggap
sah bila ditandatangani oleh subjek hukum yang berwenang untuk melakukan
perbuatan hukum yang demikian itu.
c) Substansi
Sebuah perjanjian kredit bank berisikan klausula-klausula yang merupakan ketentuan
dan syarat pemberian kredit seperti maksimal kredit, suku bunga dan denda, jangka
waktu kredit, cara pembayaran kembali dan sebagainya.
Prestasi selalu diukur dengan nilai sejumlah uang karena itu pihak yang berkewajiban
membayar sejumlah uang itu berkedudukan sebagai debitur, sedangkan pihak yang berhak
menerima sejumlah uang itu berkedudukan sebagai kreditur.8Berarti dalam hal hubungan
pinjam meminjam, pihak yang meminjam disebut dengan debitur, sedangkan pihak yang
memberikan pinjaman disebut dengan kreditur.Secara khusus belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian kredit, sekalipun dalam Undang-
Undang Nomor 10 tahun 1988 tentang Perbankan. Namun istilah perjanjian kredit ditemukan
dalam Instruksi Presiden Nomor: 15/EK/10/1966 tanggal 3 Oktober 1966 Nomor 1 angka 5
yang menyebutkan bahwa “dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk
8Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hal.8
tanpa adanya Perjanjian Kredit (Akad Perjanjian Kredit) yang jelas antara nasabah atau antara
Bank Sentral dengan bank-bank lain.”
Didalam perkreditan antara si Pemberi kredit dengan si Penerima kredit terkandung
adanya kepercayaan, dengan demikian seseorang yang memperoleh kredit pada dasarnya
memperoleh kepercayaan. Pemberian kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang,
barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) yang terjadi pada waktu mendatang atau suatu
waktu tertentu di masa yang akan datang. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, memberi pengertian yang dimaksud dengan kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Dari ketentuan tersebut adanya “kewajiban untuk mengembalikan pinjaman”, dalam
arti kata yang lebih luas adanya suatu kewajiban untuk memenuhi perikatan, dengan adanya
kewajiban ini jelas bahwa kredit hanya diberikan kepada pihak-pihak yang dipercaya mampu
dapat mengembalikan kreditnya dibelakang hari, pemenuhan kewajiban mengembalikan
pinjaman itu sama artinya dengan kemampuan memenuhi prestasi suatu perikatan.
Dari uraian tersebut diatas terdapat beberapa unsur didalam pemberian kredit yaitu:
a. Kepercayaan
Kredit yang diberikan pihak bank yaitu bank mempunyai keyakinan terhadap prestasi
(uang, jasa, atau barang) yang diberikan kepada debitur akan diselesaikan atau dilunasi
kreditnya tersebut dengan jangka waktu sesuai yang diperjanjikan.
b. Jangka waktu
Jangka waktu disini yaitu batasan waktu kredit antara pemberi kredit dengan
penerima kredit yang disepakati bersama terlebih dahulu dan untuk pelunasannya dalam
jangka waktu tertentu.
c. Resiko
Kemungkinan terjadinya resiko dalam jangka waktu yang disepakati antara pemberi
kredit dengan penerima kredit dalam pelunasannya tersebut, maka guna mencegah terjadinya
resiko tersebut (berupa wanprestasi), maka diadakan perjanjian kredit dimana masa tenggang
adalah masa yang abstrak dan adanya resiko yang timbul bagi pemberi kredit karena uang
atau jasa barang yang berupa prestasi telah lepas atau diberikan kepada orang lain.
d. Prestasi
Adanya objek perjanjian dapat berupa prestasi dan kontraprestasi pada saat
tercapainya kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian kredit antara bank dengan
nasabah/debitur, berupa bunga atau imbalan.
Dalam pemberian kredit diperlukan suatu alat bukti yang dituangkan dalam perjanjian
berupa surat dalam bentuk alat bukti tertulis yaitu segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksud untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan
sebagai pembuktian. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi 2 (dua) yaitu surat yang
merupakan akta dan surat-surat yang bukan akta. Sedangkan akta dibagi menjadi akta otentik
dan akta dibawah tangan.9 Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan yang
memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat dengan sengaja
9Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2009, hal.17
untuk pembuktian. Perjanjian kredit dapat dibuat baik dalam bentuk akta dibawah tangan atau
akta otentik, hal ini tidak satu ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan bentuk
perjanjian kredit dalam bentuk salah satu akta tersebut.
Akta dibawah tangan diatur dalam ketentuan Pasal 1874 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yaitu akta yang dibuat oleh para pihak dan ditandatangani sendiri oleh para
pihak tanpa ikut sertanya pejabat umum dan akta perjanjian ini memiliki kekuatan hukum
pembuktian, apabila diakui oleh pihak-pihak yang menandatangani dalam akta perjanjian
tersebut, agar akta tersebut tidak mudah dibantah maka diperlukan pelegalisasian oleh pejabat
umum yaitu Notaris, agar memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat seperti akta
otentik.
Sedangkan akta otentik diatur dalam ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yaitu akta yang bentuknya ditentukan oleh Undang-Undang dan dibuat oleh
dan/atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu (Notaris) ditempat akta tersebut
dibuatnya. Akta perjanjian ini memiliki kekuatan hukum pembuktian yang sempurna karena
ditandatangani langsung oleh pejabat pembuat akta yaitu Notaris dan akta ini dianggap sah
dan benar tanpa perlu membuktikan keabsahannya dari tanda tangan pihak lain.
Perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dengan debitur, mempunyai sifat-sifat
yang umum antara lain merupakan:
a. Perjanjian pendahuluan
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan sebelum uang/objek dari
perjanjian diserahkan terlebih dahulu harus ada persesuaian kehendak antara kredit dan
debitur yang disepakati dalam perjanjian kredit.
b. Perjanjian bernama
Perjanjian yang dibuat sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.Jika perjanjian ada diatur dalam peraturan perundang-undangan disebut dengan
perjanjian bernama, demikian sebaliknya.
c. Perjanjian standar
Perjanjian yang dibuat dimana bentuk dan isinya tersebut telah ditetapkan terlebih
dahulu, sehingga pihak debitur dalam perjanjian hanya diminta untuk menyetujui apa-apa
saja yang tercantum dalam perjanjian kredit.
Perjanjian kredit mempunyai fungsi sebagai perjanjian pokok, yang akan
dipergunakan alat bukti mengenai batasan hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur dan
sebagai alat monitoring kredit. Perjanjian kredit dapat dibuat di luar negeri dan pihak-pihak
yang melakukan perjanjian dapat dilakukan oleh orang perseorangan atau badan hukum atau
badan hukum asing, sepanjang kredit digunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah
Republik Indonesia.
C. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya,
sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang.Selain itu perlindungan
juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang
lebih lemah.
Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen atau UUPK), yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut cukup memadai.Kalimat yang menyatakan
“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk
meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk
kepentingan perlindungan konsumen.10
Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain
adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi
tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkan sikap pelaku usaha yang jujur dan
bertanggungjawab.11
Tujuan yang ingin dicapai dalam perlindungan konsumen umumnya dapat dibagi
dalam tiga bagian utama, yaitu:12
a. Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan/atau jasa
kebutuhannya, dan menuntut hak-haknya (Pasal 3 huruf c).
b. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsur-unsur kepastian
hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan informasi itu (Pasal 3
huruf d).
c. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap jujur dan bertanggungjawab (Pasal 3 huruf e).
Pada hakekatnya, perlindungan konsumen menyiratkan keberpihakan kepada
kepentingan-kepentingan (hukum) konsumen. Adapun kepentingan konsumen menurut
10
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal.1 11
Adrian Sutedi, Tanggungjawab Produk Dalam Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hal.9 12
Ibid, hal.9
resolusi perserikatan bangsa-bangsa nomor 39/284 tentang Guidelines for Customer
Protection, sebagai berikut:
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.
b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen.
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan
mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi.
d. Pendidikan konsumen.
e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang
relevan dan memberikan kesempatan pada organisasi tersebut untuk menyuarakan
pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan
mereka.
Bentuk perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi salah satunya
yaitu perlindungan hukum.Adanya benturan kepentingan didalam masyarakat harus dapat
diminimalisasi dengan kehadiran hukum dalam masyarakat.Adanya perlindungan hukum
bagi seluruh rakyat Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), oleh karena itu maka setiap produk yang dihasilkan
oleh Legislatif harus mampu memberikan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat.
Terdapat beberapa pendapat para sarjana mengenai perlindungan hukum, antara lain:
a. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi
kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan sesuatu kekuasaan kepadanya
untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.13
13
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, hal.121
b. Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi
masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan
aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga
memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.
c. Menurut Philipus M Hadjon, perlindungan hukum diartikan sebagai tindakan
melindungi atau memberikan pertolongan kepada subjek hukum dengan perangkat-
perangkat hukum. Bila melihat pengertian perlindungan hukum diatas, maka dapat
diketahui unsur-unsur dari perlindungan hukum yaitu; subjek yang melindungi, objek
yang akan dilindungi alat, instrumen maupun upaya yang akan digunakan untuk
tercapainya perlindungan tersebut.14
Dari beberapa pengertian dari perlindungan hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa
perlindungan hukum sebagai suatu upaya untuk melindungi kepentingan individu atas
kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai hak untuk menikmati martabatnya, dengan
memberikan kewenangan padanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, asas perlindungan
konsumen adalah: Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima)
asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:15
14
Philipus M Hadjon,dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2011, hal.10 15
Penjelasan Pasal 2, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamankan bahwa segala upaya dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen,
serta negara menjamin kepastian hukum.
Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen demikian
pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan
nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
bangsa negara Republik Indonesia.16
Kelima asas yang disebutkan dalam Pasal tersebut, bila
diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas, yaitu:
a. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanaan dan keselamatan
konsumen
b. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
c. Asas kepastian hukum.
16
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.,Cit, hal.26
Asas-asas hukum perlindungan konsumen yang dikelompokkan kedalam 3 (tiga)
kelompok diatas yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan dan kepastian hukum.Dalam hukum
ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan
asas maksimalisasi, dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian
hukum yang disejajarkan dengan asas efisien karena menurut Himawan bahwa: “hukum yang
berwibawa adalah hukum yang efisien, dibawah naungan mana seseorang dapat
melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa
penyimpangan”.17
Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
eksen negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan
konsumen.
17
Ibid, hal.33
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan
nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan
konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan
pembangunan dibidang hukum perlindungan konsumen.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas bila
dikelompokkan kedalam 3 tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk
mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c dan huruf e. Sementara tujuan untuk
memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, huruf d, dan huruf f.
Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan
huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat dilihat
dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang harus dikualifikasi
sebagai tujuan ganda.
D. Tinjauan Umum Tentang PT Bank CIMB Niaga Tbk
Perusahaan perbankan yang didirikan menurut hukum Indonesia, PT. Bank CIMB
Niaga Tbk berkedudukan di Jakarta Selatan, Jalan Jendral Sudirman Kaveling 58, yang
didirikan sejak tanggal 26 September 1955 dan sejak berdirinya Bank CIMB Niaga telah
mengalami 4 (empat) kali penggabungan usaha yaitu:
1. Tanggal 22 Oktober 1973 dengan PT. Bank Agung;
2. Tanngal 30 November 1978 dengan PT. Bank Tabungan Bandung;
3. Tanggal 17 Oktober 1983 dengan PT. Bank Amerta; dan
4. Tanggal 1 November 2008 dengan PT. Bank Lippo.
Bank CIMB Niaga cabang Pekanbaru, ruang lingkup kegiatan usaha meliputi kegiatan
usaha dibidang Perbankan sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku serta
melakukan kegiatan Perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah. Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 249544/U.M.II tanggal 11
November 1955, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor: 7/116/Kep/Dir/UD
tanggal 22 November 1974 dan Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor:
6/71/KEP.GBI/2004 tanggal 16 September 2004, Bank CIMB Niaga Tbk sebagai Bank
Umum, Bank Devisa dan Bank yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Dalam
kegiatan perbankan, prinsip syariah ini baru mulai pada tanggal 27 September 2004.
Bank CIMB Niaga sampai dengan tahun 2012 telah membuka 155 kantor cabang, 597
kantor cabang pembantu, 24 kantor pembayaran dan 561 kantor layanan syariah. Sedangkan
dalam wilayah Kota Pekanbaru Bank CIMB Niaga terdapat 1 kantor cabang, 2 kantor cabang
pembantu dan 1 kantor layanan syariah. Sebagai Bank Umum salah satu kegiatan dalam
menjalankan usahanya adalah memberikan pinjaman kepada nasabahnya.
Bank CIMB Niaga cabang Pekanbaru dalam kegiatan usaha menghimpun dana dari
masyarakat yang berasal dari dana tabungan, rekening giro maupun deposito nasabah dan
dalam jangka waktu tertentu akan diambil/ditarik kembali oleh nasabah serta menyalurkan
kembali dana masyarakat kepada masyarakat dalam bentuk pemberian fasilitas kredit atau
pinjaman sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku serta melakuka kegiatan
perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah.
Fasilitas pinjaman yang diberikan oleh Bank CIMB Niaga ada 2 jenis :
1. Fasilitas Pinjaman Langsung yaitu pinjaman yang diberikan kepada nasabah,
dimana bank menanggung resiko secara langsung saat fasilitas diberikan (ada aliran
dananya). Atas transaksi tersebut terdapat dana yang keluar dan mempengaruhi
neraca.
Misalnya: pemberian kredit dengan tujuan untuk tambahan modal kerja, untuk
investasi, untuk penggunaan khusus, jenis fasilitas pinjaman dapat berupa Pinjaman
Rekening Koran, Pinjaman Transaksi Khusus, Pinjaman Investasi dan lainnya.
2. Fasilitas Pinjaman Tidak Langsung yaitu pinjaman yang diberikan kepada nasabah,
dimana bank tidak menanggung resiko secara langsung. Tidak ada aliran dana yang
keluar secara langsung mempengaruhi neraca, hanya dicatat sebagai contingent
Account/rekening administratif (off balance sheet transaction).
Misalnya: jenis fasilitas Pinjaman Bank Garansi, Dealer Lines, dan Letter of Credit.
Dalam menjalankan kegiatan usahanya tersebut Bank CIMB Niaga senantiasa
melindungi dan memelihara kepentingan dan kepercayaan masyarakat dalam mengelola dana
tersebut baik menghimpun dana masyarakat maupun menyalurkan dana tersebut kepada
masyarakat. Untuk lebih menjamin dalam pengembalian dana masyarakat yang disalurkan
dalam bentuk kredit atau pinjaman tersebut, maka Bank CIMB Niaga meminta adanya suatu
jaminan yang diberikan oleh calon debitur.
Pemberian jaminan dimaksud guna menjamin kepastian pembayaran kembali
pinjaman yang akan diberikan kreditur, sehingga kreditur akan mendapat perlindungan
hukum atas jaminan hak-haknya untuk memperoleh kembali pembayaran pinjamannya dalam
jangka waktu tertentu dari debitur. Dalam hal kredit untuk modal kerja dan investasi, bank
meminta sebagai jaminan utama kepada debitur adalah tanah atau tanah dan bangunan
sedangkan jaminan lainnya berupa mesin-mesin dan barang dagangan sebagai jaminan
tambahan.
Kota Pekanbaru merupakan ibukota Provinsi Riau yang tingkat pertumbuhan
ekonominya berkembang cukup pesat. Hal ini dapat diketahui dengan tumbuhnya kantor-
kantor perbankan yang berkantor pusat di Jakarta membuka kantor-kantor cabang di