Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, BPOM, PELANGGARAN
HUKUM, DAN KOSMETIK
2.1 Tindakan Hukum
Pengertian tindakan hukum dalam buku Pengantar Ilmu Hukum adalah tindakan yang
diatur oleh hukum, yaitu1 :
Tindakan menurut hukum, misalnya jual beli, membuat testamen, melangsungkan
perkawinan dan lain – lain;
Tindakan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang – undang,
misalnya jual beli narkoba, menghilangkan nyawa orang lain, dan lain – lain;
Tindakan yang melanggar hukum, misalnya perbuatan merugikan oramg lain,
persaingan curang, dan lain – lain;
Tindakan karena tidak memenuhi kewajiban yang di dalam hukum hal itu disebut
wanprestasi ( default ), misalnya tidak membayar utang, tidak mengirim barang
yang dipesan oleh pembeli, dan lain – lain.
1 Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Kencana, h. 246
Disamping itu juga pengertian tindakan hukum terdapat juga di dalam buku Hukum
Administrasi Negara yaitu Tindakan Hukum (Recht Handelingen) adalah tindakan yang
dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban, penciptaan hubungan hukum baru atau
perubahan atau pengakhiran hubungan hukum yang ada2. Tindakan Hukum Pemerintahan
adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organ pemerintahan. Unsur-unsur tindakan
hukum pemerintah sebagai berikut :3
1) Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai
penguasa maupun sebagai alat kelengkapan pemerintah dengan prakarsa dan
tanggungjawab sendiri.
2) Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan.
3) Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat
hukum administrasi.
4) Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan
Negara dan rakyat.
2 HR, Ridwan, 2010, Hukum Adminitrasi Negara, Jakarta, Rajawali Pers, h. 110 3 Ibid, h. 112
2.2 Badan Pengawas Obat dan Makanan
a. Pengertian Badan Pengawas Obat dan Makanan
Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah lembaga pemerintah yang bertugas
melakukan regulasi, standardisasi, dan sertifikasi produk makanan dan obat yang
mencakup keseluruhan aspek pembuatan, penjualan, penggunaan, dan keamanan
makanan, obat-obatan, kosmetik, dan produk lainnya.
b. Sejarah Badan Pengawas Obat dan Makanan
Sebelum berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia pada masa
penjajahan Belanda dikenal dengan apoteker yang berperan dalam pelayanan
kesehatan di bidang kefarmasian yang membantu pemerintah dalam melindungi
masyarakat dalam pengawasan obat yang beredar di masyarakat. Berikut ini adalah
sejarah terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan :
Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaan
Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan
pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.
Pendidikan asisten apoteker semula dilakukan di tempat kerja yaitu di
apotik oleh apoteker yang mengelola dan memimpin sebuah apotek.
Setelah calon apoteker bekerja dalam jangka waktu tertentu di apotek dan
dianggap memenuhi syarat, maka diadakan ujian pengakuan yang
diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari buku verzameling
Voorschriften tahun 1936 yang dikeluarkan oleh Devanahalli
Venkataramanaiah Gundappa (DVG) yang merupakan seorang penulis
dan jurnalis. Dapat diketahui bahwa Sekolah Asisten Apoteker didirikan
dengan surat Keputusan Pemerintah Nomor 38 tanggal 7 Oktober 1918,
yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan Nomor 15 (Stb No.
50) tanggal 28 Januari 1923 dan Nomor. 45 (Stb. No. 392) tanggal 28 Juni
1934 dengan nama Leergang voor de opleleiding van apotheker-
bedienden onder den naam van apothekersassistenschool”. Peraturan
ujian asisten apoteker dan persyaratan izin kerja diatur dalam Surat
Keputusan Kepala DVG Nomor 8512/F tanggal 16 Maret 1933 yang
kemudian diubah lagi dengan Surat Keputusan No. 27817/ F tanggal
8 September 1936 dan Nomor 11161/F tanggal 6 April 1939. Dalam
peraturan tersebut, antara lain dinyatakan bahwa persyaratan untuk
menempuh ujian apoteker harus berijazah MULO bagian B, memiliki
surat keterangan bahwa calon telah melakukan pekerjaan kefarmasian
secara terus menerus selama 20 bulan di bawah pengawasan seorang
apoteker di Indonesia yang memimpin sebuah apotek, atau telah
mengikuti pendidikan asisten apoteker di Jakarta.
Periode Setelah Perang Kemerdekaan Sampai dengan Tahun 1958 Pada
periode tahun 1950an jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten
apoteker mulai bertambah dalam jumlah yang relatif besar. Namun pada
tahun 1953 tenaga apoteker kekurangan sehingga pemerintah
mengeluarkan Undang - Undang Nomor 3 tentang Pembukuan Apotek.
Sebelum dikeluarkannya undang - undang ini, untuk membuka apotek
boleh dilakukan dimana saja dan tidak memerlukan izin dari pemerintah.
Dengan adanya undang-undang ini, maka pemerintah dapat melarang
kota-kota tertentu untuk mendirikan apotek baru karena jumlahnya sudah
cukup dianggap memadai. Izin pembukaan apotek hanya diberikan untuk
daerah -daerah yang belum ada atau belum memadai jumlah apoteknya.
Undang -Undang Nomor 3 ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1953 tentang apotek darurat, yang
membenarkan seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek.
Undang - undang tentang apotek darurat ini sebenarnya harus berakhir
pada tahun 1958 karena klausula yang termasuk dalam undang-undang
tersebut yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak berlaku
lagi 5 tahun setelah apoteker pertama dihasilkan oleh Perguruan Tinggi
Farmasi di Indonesia. Akan tetapi, karena lulusan apoteker ternyata sangat
sedikit, undang-undang ini diperpanjang sampai tahun 1963 dan
perpanjangan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 770/Ph/63/b tanggal 29 Oktober 1983.
Periode Tahun 1958 Sampai dengan 1967
Pada periode ini meskipun usaha untuk memproduksi obat telah banyak
dirintis dalam kenyataan industri-industri farmasi menghadapi hambatan
dan kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan devisa dan
terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang
dapat bertahan hanyalah industri yang dapat jatah atau mereka yang
mempunyai relasi dengan luar negeri. Oleh karena itu, penyediaan obat
menjadi sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari import. Sementara
itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik, banyak terjadi
kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi standar.
Periode Orde Baru
Pada masa orde baru stabilitas politik, ekonomi dan keamanan telah
semakin mantap sehingga pembangunan di segala bidang telah dapat
dilaksanakan dengan lebih terarah dan terencana. Pembangunan
kesehatan sebagai bagian integral Pembangunan Nasional, dilaksanakan
secara bertahap baik pemenuhan sarana pelayanan kesehatan maupun
mutu pelayanan yang semakin baik serta jangkauan yang semakin luas.
Hasil-hasil pembangunan kesehatan yang telah dicapai selama orde baru
ini dapat diukur dengan indikator-indikator penting, antara lain kematian,
umur harapan hidup dan tingkat kecerdasan yang semakin menunjukkan
perbaikan dan kemajuan yang sangat berarti.
Pada periode Orde Baru pula, pengaturan, pengendalian dan pengawasan
di bidang kefarmasian telah dapat ditata dan dilaksanakan dengan baik.
Sehingga pada tahun 1975 institusi pengawasan farmasi dikembangkan
dengan adanya perubahan Direktorat Jenderal Farmasi menjadi
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Berbagai peraturan
perundang-undangan telah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan
sebagai basis dan kerangka landasan untuk melanjutkan pembangunan di
masa-masa mendatang. Terhadap distribusi obat telah
dilakukan penyempurnaan, terutama penataan kembali fungsi apotek
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 19804.
Periode Tahun 2000
Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap obat dan makanan tersebut
maka pemerintah mengambil kebijakan dengan mengadakan perubahan
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, yang mana dahulu
Direktorat Jenderal Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada
Departemen Kesehatan, namun sekarang setelah terjadinya perubahan
makaBadan Pengawasan Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada
Presiden. Badan Pengawasan Obat dan Makanan sekarang merupakan
Lembaga Pemerintah Non Departemen berdasarkan Keputusan Presiden
4 Midian, Sirait, 2001. Tiga Dimensi Farmasi, Instansi Darma Mahardika, Jakarta, h. 2-12.
Nomor 103 Tahun 2000 dan telah mengalami perubahan melalui
Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2003.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan mempunyai Visi dan Misi dalam
melaksanakan tugas pokoknya yaitu :
Visi dari Badan POM : Menjadikan sebuah institusi terpercaya secara
nasional maupun internasional dalam rangka melindungi kesehatan
masyarakat. Secara efektif dan pemahaman tentang konsep dasar sistem
pengawasan produk obat dan makanan secara nasional dan internasional5.
c. Kedudukan, Tugas , Fungsi, dan Wewenang Badan Pengawas Obat dan Makanan
Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Kewenangan, Susunan Organisasi Lembaga Pemerintah Non Departemen
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Presiden RI
Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden
Nomor 103 Tahun 2001 tersebut, bahwa dalam melaksanakan tugasnya
BPOM dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan, khususnya dalam
perumusan kebijakan yang berkaitan dengan instansi pemerintah lainnya
serta penyelesaian permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan
yang dimaksud tugas BPOM yaitu melaksanakan tugas Pemerintahan di bidang
5 Profile Badan POM National Agency of Drugs and Food Control Republik of Indonesia Badan
Pengawasan Obat dan Makanan : http://www.landasanteori.com/2015/10/badan-pengawas-obat-dan-
makanan-bpom.html ( diakses pada tanggal 25 Januari 2017 )
pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugasnya Balai
POM RI melakukan fungsinya yang meliputi berbagai kegiatan sebagai
berikut :
Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan
obat dan makanan.
Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan.
Koordinasi kegiatan fungsional dalam melaksanakan tugas BPOM.
Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan
instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan obat dan
makanan.
Dalam menyelenggarakan fungsinya, Balai POM RI memiliki kewenangan
sebagai berikut :
Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang pengawasan obat
dan makanan.
Perumusan kebijakan di bidang pengawasan obat dan makanan
untuk mendukung pengobatan secara makro.
Penetapan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan.
Penetapan persyaratan penggunaan bahan makanan tambahan (zat
aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengemasan
peredaran obat dan makanan.
Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri
farmasi.
Penetapan pedoman penggunaan, konservasi dan pengembangan tanaman
obat.
Badan POM secara hukum sudah mempunyai kedudukan yang kuat di dalam
membuat suatu kebijakan di bidang obat dan makanan dalam rangka pelaksanaan
pengawasan obat dan makanan yang beredar di wilayah Indonesia. Kedudukan
Badan POM sebagai lembaga Pemerintah Non Departemen bila ditinjau dari
segi pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia maka sebagai
Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden, diperintahkan oleh Undang - Undang untuk mengajukan prakarsa
kepada Presiden dalam hal pengajuan pembentukan peraturan perundang-
undangan sepanjang menyangkut di bidang pemerintah, di bidang obat dan
makanan dalam rangka mengambil suatu kebijakan yang mengacu kepada
peraturan perundang - undangan yang berlaku.
2.3 Pelanggaran Hukum
Pengertian pelanggaran
Menurut tata bahasa pelanggaran adalah suatu kata jadian atau kata sifat yang berasal dari
kata langgar yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an”. Kata pelanggaran sendir adalah
suatu kata benda yang berasal dari kata langgar yang menunjukan orang yang melakukan
delik itu atau subjek pelaku. Jadi pelanggaran adalah merupakan kata keterangan bahwa ada
sesorang yang melakukan suatu hal yang bertentangan dari ketentuan undang - undang yang
berlaku. Di dalam buku Hukum Pidana I juga menjelaskan pengertian Pelanggaran adalah
suatu delik yang lebih ringan dari pada kejahatan6.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat menunjukan bahwa pelanggaran adalah menyalahi
aturan undang - undang hukum atau melawan hak perjanjian dan sebagainya misalnya
seorang pelaku usaha yang menjual produk kosmetik namun dalam produk tersebut terdapat
memiliki kandungan bahan yang digunakan mengandung bahan kimia ini sudah jelas
melanggar aturan dalam menjual atau mengedar produk kosmetik yang sudah diatur dalam
pertauran pemerintah.
Moeljanto (1979:71) mengemukakan bahwa pelanggaran adalah perbuatan yang bersifat
melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada undang-undang yang menentukan
demikian. Jadi pelanggaran identik dengan adanya ketentuan peraturan peruindang-
undangan yang berlaku. Tidak dapat dikatakan pelanggaran bilamana tidak aturan yang
6 E. Utrech, 1994. Hukum Pdana I, Penerbit : Pustaka Tinta Mas, Surabaya, h. 92
melarang. Hal ini dapat dibedakan dengan kejahatan yang tidak identik dengan peraturan
melainkan rasa keadilan atau hokum yang hidup dalam masyarakat.
Sedangkan menurut Bawengan (1979:20-21) mengemukakan bahwa pelanggaran atau
delik undang-undang adalah peristiwa-peristiwa yang untuk kepentingan dinyatakan oleh
undang-undang sebagai hal yang teran atau pelanggaran merupakan perbuatannya oleh
undang-undang dicap sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hokum.
Berdasarkan keterangan tersebut dapat menunjukan bahwa pelanggaran atau delik
undang-undang adalah peristwa-peristiwa yang untuk kepentingan dinyatakan oleh undang-
undang sebagai hal yang terang atau pelanggaran merupakan perbuatan oleh undang - undang
atau dicap sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum. Jadi,
pelanggaran adalah delik undang - undang bukan delik hukum. timbulnya pelanggaran
hokum maka akan diberi sanksi atau hukuman ringan maupun berat lainnya. Terjadinya
pelanggaran hukum disebabkan karena perangkat hukum yang tidak tegas dan jelas sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum yang memberikan celah hukum untuk para pelanggar.
Selain itu, struktur sosial dan politik yang timpang menyebabkan seseorang dengan
mudahnya melanggar hukum7.
7 http://umbangs.blogspot.co.id/2012/06/pelanggaran.html ( diakses pada tanggal 26 januari 2017 )
2.4 Kosmetik
Pengertian Kosmetik
Kosmetik berasal dari kata Yunani “kosmetikos” yang berarti keterampilan
menghias, mengatur. Definisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
445/MenKes/Permenkes/1998 adalah sebagai berikut : “ kosmetik adalah sediaan
atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis,
rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk
membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya
tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk
mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit”8. Dan juga dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1175 / MenKes / PER / VIII / 2010 tentang
Notifikasi Kosmetika, menyebutkan juga mengenai pengertian kosmetik yaitu:
Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian
luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar)
atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan,
mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau
memelihara tubuh pada kondisi baik.
Dalam definisi kosmetik diatas, yang dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk
mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit” adalah sediaan tersebut seyogianya
tidak mempengaruhi struktur dan faal tubuh. Namum bila bahan kosmetik tersebut
adalah bahan kimia meskipun berasal dari alam dan organ tubuh yang dikenai
(ditempeli) adalah kulit, maka dalam hal tertentu kosmetik itu akan mengakibatkan
8 Tranggono Retno Iswari dan Latifah Fatma, 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik,
Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, h. 6
reaksi-reaksi dan perubahan faal kulittersebut. Tidak ada bahan kimia yang bersifat
indeferens (tidak menimbulkan efek apa-apa) jika dikenakan pada kulit. Karena itu,
pada tahun 1955 Lubowe menciptakan istilah “Cosmedics” yang merupakan
gabungan dari kosmetik dan obat yang sifatnya dapat mempengaruhi faal kulit secara
positif, namun bukan obat. Pada tahun 1982 Faust mengemukakan istilah “Medicated
Cosmetics”. Untuk memperbaiki dan mempertahankan kesehatan kulit diperlukan
jenis kosmetik tertentu bukan hanya obat. Selama kosmetik tidak mengandung bahan
berbahaya secara farmakologis aktif mempengaruhi kulit, penggunaan kosmetik jenis
ini menguntungkan dan bermanfaat untuk kulit itu sendiri.
Tujuan utama penggunaan kosmetik pada masyarakat modern adalah untuk
kebersihan pribadi, meningkatkan daya tarik melalui make-up, meningkatkan rasa
percaya diri dan perasaan tenang, melindungi kulit dan rambut dari kerusakan sinar
UV, polusi dan factor lingkungan yang lain, mencegah penuaan, dan secara umum,
membantu seseorang lebih menikmati dan menghargai hidup9.
Sejarah Kosmetika
sejarah kosmetologi dan kosmetika, ilmu kedokterantelah ikut mengambil peranan
sejak zaman kuno. Data - data diperoleh ,dari penyelidikan antropologi, aerkologi,
dan etno-logi di Mesir dan India dengan ditemukannya salep –salep aromatik, bahan
- bahan pengawet mayat dan lain - lain yang dapat dianggap sebagai bentuk awal dari
9 Ibid, h. 7
kosmetika. Seorang bapak ilmu kedokteran HIPPOCRATES (460 — 370S.M.) dan
kawan - kawan telah membuat resep-resep kosmetika dan menghubungkannya
dengan ilmu kedokteran. Ilmu Kedokteran bertambah luas dan kosmetologi terus
berkembang, maka diadakan pemisahan kosmetologi dari Ilmu Kedokteran (HENRI
de NODEVILI 1260 — 1325), dikenal 2 bentuk kosmetika :
1) Kosmetika untuk merias (decoratio)
2) Kosmetika untuk pengobatan kelainan patologi kulit.
Peredaran Kosmetik
Yang menjadi payung hukum atas konsumen dalam peredaran produk kosmetika
adalah Undang - Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK), didukung pula Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK.00.05.42.2995
Tahun 2008 tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10052
Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika serta eputusan
Kepala BPOM Nomor HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik.
Peredaran kosmetik merupakan kegiatan yang meliputi pihak - pihak yang terkait
dalam produksi dan distribusi produk - produk kosmetik, yaitu produsen,
distributor, konsumen dan pemerintah. Sampainya suatu produk kosmetik dari
produsen ke konsumen dapat melalui penyalur atau distributor.
1. Pelaku Usaha
Menurut UUPK menggunakan istilah pelaku usaha adalah setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik sendiri maupun bersama - sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam penjelasan
UUPK yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, koorporasi,
BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain - lain. Dalam mata
rantai bisnis, suatu produk yang dihasilkan oleh pabrik akan menempuh
proses dari pihak - pihak tertentu hingga sampai di pasar dan akhirnya jatuh
ke tangan konsumen. Dalam praktiknya ada beragam jenis dan nama
dalam mata rantai bisnis, yang secara yuridis sulit untuk mencari padanan
istilah yang tepat ke dalam bahasa Indonesia. Pelaku usaha akan terdiri
dari banyak pihak, antara lain yaitu :10
Produsen ( produser );
Importir;
Agen ( agent );
Kantor Cabang ( branch office );
Kantor Perwakilan ( representatives office ) ;
10 Wahyu Sasongko, 2007. Ketentuan - Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen,
Penerbit Universitas Lampung, Bandar Lampung.h. 61
Perantara ( broker );
Pedagang ( trader );
Dealer;
Penyalur ( distributor );
Grosir ( wholeseller )
Istilah pelaku usaha dalam praktiknya memiliki banyak bentuk
perwujudan sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Namun dalam hal ini
(peredaran kosmetik) pelaku usaha yang terlibat secara langsung antara
lain adalah produsen kosmetik, importer kosmetik, dan pedagang kosmetik
antara lain :
Produsen Kosmetik
Secara harfiah produsen mempunyai pengertian penghasil atau yang
menghasilkan barang - barang11. Sehingga dapat dipahami produsen
kosmetik adalah setiap orang atau badan usaha yang menghasilkan
produk kosmetik. Sebagai pelaku usaha produsen kosmetik dirasa terlibat
secara langsung dengan peredaran kosmetik karena dalam hal ini produsen
adalah pihak yang membuat produk kosmetik, seharusnya sangat
memahami khasiat maupun efek samping bahan baku produk kosmetik
tersebut serta tidak menggunakan bahan baku yang dapat membahayakan
11 Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, h. 897
kesehatan pengguna kosmetik atau memberikan informasi yang tidak
sesuai dan atau tidak benar mengenai khasiat produk kosmetik tersebut.
Importir Kosmetik
Importir adalah orang atau serikat dagang (perusahaan) yang memasukan
barang - barang dari luar negeri12. Atau dapat dipahami pula importir
adalah orang atau perusahaan yang melakukan impor.
Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara
ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Maka
importir kosmetik dapat kita pahami sebagai orang atau perusahaan
yang memasukan produk - produk kosmetik dari luar negeri secara legal.
Keterlibatan importir secara langsung sebagai pelaku usaha dalam
peredaran kosmetik disebabkan peran importir yang menjembatani
masuknya produk kosmetik asing kedalam negeri secara legal sehingga
produk kosmetik asing tersebut dapat diedarkan di dalam negeri.
Pedagang Kosmetik
Pedagang adalah orang yang melakukan perdagangan, memperjual belikan
barang yang tidak diproduksi sendiri, untuk memperoleh suatu keuntungan.
Di dalam KUHD ( Kitab Undang – Undang Hukum Dagang ) pasal 2 ( lama
) juga menjelaskan pengertian pedagang yaitu pedagang adalah mereka yang
12 Ibid., h. 427
melakukan perbuatan perniagaan ( daden van koophandel ) sebagai pekerjaan
sehari – hari13. Pedagang dapat dikategorikan menjadi :
a) Pedagang grosir, beroperasi dalam rantai distribusi antara
produsendan pedagang eceran.
b) Pedagang eceran, disebut juga pengecer, menjual produk komoditas
langsung ke konsumen. Pemilik toko atau warung adalah pengecer.
Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa pedagang kosmetik
adalah orang yang memperjualbelikan kosmetik bukan dari hasil
produksi sendiri guna memperoleh suatu keuntungan. Selain itu dapat
dipahami pula bahwa pedagang grosir kosmetik adalah orang yang
memperjual belikan kosmetik dalam jumlah besar kepada pedagang eceran
kosmetik. Pedagang eceran kosmetik yaitu yang memerjual belikan
kosmetik dalam jumlah kecil kepada konsumen kosmetik langsung. Dalam
keterlibatannya dengan peredaran kosmetik, pedagang merupakan pelaku
usaha yang berhubungan secara langsung dengan konsumen kosmetik
tersebut. Oleh sebab itu, seharusnya pedagang produk kosmetik tidak
menjual produk kosmetik yang telah di informasikan oleh pemerintah
dilarang peredarannya karena mengandung bahan berbahaya.
13 Hasyim, Farida, 2015. Hukum Dagang, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h. 2
2. Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri maupun untuk
kepentingan pihak lain. Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata
consumer, secara harifiah arti kata consumer adalah ( lawan dari produsen )
setiap orang yang menggunakan barang14. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris
– Indonesia yang memberi kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.
Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan konsumen sebagai lawan
produsen, yakni pemakai barang – barang hasil industry, bahan makanan, dan
sebagainya. Dalam berhadapan dengan produsen, konsumen dianggap
sebagai pihak yang lemah, adapun factor - faktor yang menyebabkan
konsumen berada pada posisi yang lemah yaitu15:
a) Kurangnya pengetahuan teknik (barang yang dibelinya, konstruksi
mana yang baik mana yang cacat, pemakaian yang tepat);
b) Kurangnya pengetahuan yang nyata (isinya, susunannya);
c) Kurangnya pengetahuan dari segi hukum (hak dan kewajiban);
jalan mana terbuka baginya sebagai pembeli dalam keadaan
darurat juga dimana para konsumen setiap kali dihadapkan
14 Zulham, 2013. Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit Kencana Prenada Media Grup, Jakarta,
h. 15 15 Agnes M. Toar, 1989, Tanggung Jawab Produk dan Sejarahnya di Beberapa Negara, Proyek
Hukum Perdata,Yogyakarta,h. 28
dengan syarat kontrak baku, yang sering tidak diketahui tentang
adanya juga tidak dapat dimengerti atau dicoba mengerti.
Penjelasan mengenai pengertian konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 2
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Knsumen
menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul
Hukum Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa :
Dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara.
Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk,
sedangkan Konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu
produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian
konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Dapat diketahui
pengertian konsumen dalam UUPK lebih luas daripada pengertian konsumen
pada Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena dalam
UUPK juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup
lain. Hal ini berarti bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan kepada
konsumen yang bukan manusia (hewan, maupun tumbuh-tumbuhan).
Pengertian yang luas seperti itu, sangat tepat dalam rangka memberikan
perlindungan seluas-luasnya kepada konsumen16.
Dengan kaitannya dalam peredaran kosmetik konsumen yang menggunakan
atau memakai produk kosmetik merupakan konsumen akhir, dimana
konsumen tersebut sebagai pengguna akhir dalam suatu produk. Meskipun
konsumen dalam berhadapan dengan produsen dipandang sebagai pihak
yang lemah, tetapi pada dasarnya konsumen mempunyai hak - hak
yang dapat dipergunakan untuk melindungi diri sendiri atas suatu
16 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Rajawali
Pers, h. 4-6.
produk yang dapat membahayakan kesehatan atau yang dapat menimbulkan
kerugian.
3. Pemerintah / BPOM RI
Sudah menjadi ketentuan UUPK bahwa pemerintah bertanggung
jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang
menjamin diperolehnya hak - hak bagi konsumen dan pelaku usaha, serta
dilaksanakannya kewajiban terhadap keduanya17. Dalam hal perlindungan
konsumen kosmetik dari peredaran kosmetik tanpa yang mengandung bahan
berbahaya, Menteri Kesehatan RI berkoordinasi dengan Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) RI yang dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 166 tahun 2000 sebagai pelaksana dalam implementasi
perlindungan hukum dan upaya hukumnya. BPOM RI atau yang lebih akrab
disebut dengan Badan POM atau BPOM saja merupakan pelaksana dari
Sistem Pengawasan Obat dan Makanan ( SISPOM ) yang efektif dan
efisien yang mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk -
produk termaksud untuk melindungi keamanan, keselamatan dan
kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri. Adapun
kerangka konsep SISPOM sebagai berikut :
a) Sub – Sistem Pengawasan Produsen
Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan
cara - cara produksi yang baik atau good manufacturing practices
agar setiap bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat
dideteksi sejak awal. Secara hukum
produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan
produk yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan
pelanggaran terhadap standar yang telah ditetapkan maka
produsen dikenakan sanksi, baik administratif maupun diproses
sampai ke pengadilan.
b) Sub – Sistem Pengawasan Konsumen
Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui
peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai
kualitas produk yang digunakannya dan cara - cara penggunaan
produk yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat
penting dilakukan karena pada akhirnya masyarakatlah yang
mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu
produk. Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang
tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu produk, di satu sisi dapat
membentengi dirinya sendiri terhadap penggunaan produk - produk
yang tidak memenuhi syarat dan tidak dibutuhkan sedang pada sisi
lain akan mendorong produsen untuk ekstra hati - hati dalam menjaga
kualitasnya.
c) Sub – Sistem Pengawasan Pemerintah/BPOM
Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan standardisasi; penilaian
keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di Indonesia; inspeksi,
pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan
kepada publik yang didukung penegakan hukum. Untuk meningkatkan kesadaran dan
pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk maka
pemerintah juga melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi