Upload
chictopia-sweet
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Penyakit Kusta
1. Tinjauan Penyakit Kusta
a. Definisi Penyakit Kusta
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga
Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.
Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut
Morbus Hansen.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe
penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran
pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari
luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan
kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti
mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan
anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath yang
digambarkan dan sering disamakan dengan kusta (Daili, 1998).
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi,
kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan
sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana
6
7
mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu
inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya
kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak.
Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit
mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa
kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, dan mati rasa
karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak.
Justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka
tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka ditekan
dengan jari tidak terasa sakit.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal
di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang
tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya
penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.
Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita (Daili,
1998).
Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah
bilamana ada bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang
merasa, permukaan bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak
tumbuh rambut/bulu, bercak pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan
saraf tepi pada satu tempat, hasil pemeriksaan bakteriologis negatif (-),
Tipe kusta ini tidak menular.Sedangkan Kusta tipe Multi Bacillary atau
8
disebut juga kusta basah adalah bilamana bercak putih kemerahan yang
tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, terjadi penebalan dan
pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat,
kerusakan banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+).
Tipe seperti ini sangat mudah menular (Hasibuan, 1990).
b. Sejarah
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah
dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India.. Pada 1995,
Penyakit kusta atau lepra menjadi salah satu penyakit tertua yang hingga
kini awet bertahan di dunia. Dari catatan yang ditemukan di India,
penderita kusta sudah ditemukan sejak tahun 600 Sebelum Masehi. Dalam
buku City of Joy (Negeri Bahagia) karya Dominique, mantan reporter
untuk sejumlah penerbitan di Prancis pada dekade 1960-an hingga 1970-
an, kusta menjadi penyakit yang 'populer' dan menjadi bagian dari
kehidupan miskin di Calcutta, India. Namun, kuman penyebab kusta kali
pertama baru ditemukan pada tahun 1873 oleh Armauer Hansen di
Norwegia.Karena itu penyakit ini juga sering disebut penyakit Hansen.
Saat ini penyakit kusta banyak terdapat di Benua Afrika, Asia, Amerika
Tengah, dan Amerika Selatan.
Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita
bagi dalam 3 (tiga) zaman yaitu zaman purbakala, zaman pertengahan dan
zaman moderen. Pada zaman purbakala karena belum ditemukan obat yang
9
sesuai untuk pengobatan penderita kusta, maka penderita tersebut telah
terjadi pengasingan secara spontan karena penderita merasa rendah diri dan
malu, disamping itu masyarakat menjauhi mereka karena merasa jijik.
Pada zaman pertengan penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksa
tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta seumur hidup.
1) Zaman Purbakala
Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat
diketahui dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM,
istilah kusta yang sudah dikenal didalam kitab Weda, di Tiongkok 600
SM, di Nesopotamia 400 SM. Pada zaman purbakala tersebut telah
terjadi pengasingan secara spontan penderita merasa rendah diri dan
malu, disamping masyarakat menjauhi penderita karena merasa jijik
dan takut.
2) Zaman Pertengahan
Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan
ketatanegaraan dan sistem feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan
masyarakat sangat patuh dan takut terhadap penguasa dan hak azasi
manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada
penderita kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu
penyebab penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita
kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di
Leprosaria/Koloni Perkampungan penderita kusta untuk seumur hidup.
10
3) Zaman Modern.
Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H. Hansen pada
tahun 1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat
anti kusta dan usaha penanggulangannya. Pengobatan yang efektif
terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan
diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri
penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan
menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya
pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu
ditangani kembali. Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah
mempelopori perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan
secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan pengobatan jalan.
Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut :
a. Pada tahun 1951 dipergunakan DDS sebagai pengobatan penderita
kusta.
b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai
diintegrasikan di puskesmas.
c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat Kombinasi
Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan rekomendasi World
Health Organisation (Depkes RI, 2005).
11
c. Epidemiologi Penyakit Kusta
1) Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar
kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya
perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja.
2) Epidemiologi Kusta di Indonesia
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang
kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini
disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan
pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di
Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria
secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada
abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang
ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar
di Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar
ini membuat Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat
mencapai eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh World
Health Organisation yaitu tahun 2000.
d. Prevalensi Penderita Kusta
Pada akhir tahun 2000 di seluruh Indonesia terdaftar 17.539 kasus
yang mendapat pengobatan MDT. Gambaran ini menurun menjadi 17.137
12
kasus pada desember 2001, akan tetapi terjadi peningkatan pada tahun
2002 menjadi 19.100 kasus. Dengan sendirinya PR per 10.000 penduduk
menurun dari 0,99 menjadi 0,86 dan 0,84 yang kemudian meningkat lagi
menjadi 0,92.
Pada tahun 2001, Prevalensi Rate di tingkat propinsi mempunyai
variasi yang sangat lebar DI Yogyakarta (0,09) dan tertinggi di Propinsi
Papua (5,99). Sedangkan pada tahun 2002 Prevalensi Rate terendah di
propinsi DI Yogyakarta (0,0) dan terendah di Maluku utara (6,72). Dari
gambaran prevalensi di propinsi, terlihat bahwa kebanyakan propinsi yang
belum dapat mencapai eliminasi terletak di Kawasan Indonesia Timur dan
daerah yang sering terjadi konflik.
e. Angka Penemuan Penderita Baru
Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya
11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun
2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus
ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan
jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan
1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002.
Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000 adalah7,22 per
100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2001 turun manjadi 6,91 dan
naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per 100.000 penduduk. Di tingkat provinsi
pada tahun 2001 angka penemuan tertinggi terdapat di Provinsi Papua
13
(49,65) dan terendah di Provinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun
2002 tertinggi di Provinsi Papua (39,55) dan terendah di Provinsi Bengkulu
(0,250). Cakupan penderita dengan MDT 100%, sedangkan Puskesmas
yang melaporkan penderita kusta sebanyak 4900 dengan angka
kesembuhan lebih dari 90%
Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan
penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun
2002. Provinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah Provinsi
Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002.
Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta.
Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jawa Timur menyandang beban
sebagai daerah rawan bersama Irian Jaya bagian Barat, Papua, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara,
Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Yakarta (Depkes RI,
2005).
2. Bentuk-bentuk dan Gejala Penyakit Kusta
a. Klasifikasi Penyakit Kusta
1) Jenis klasifikasi yang umum
a. Klasifikasi Internasional (1953)
1. Indeterminate (I)
2. Tuberkuloid (T)
14
3. Borderline-Dimorphous (B)
4. Lepromatosa (L)
b. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling
(1962).
1. Tuberkoloid (TT)
2. Boderline tubercoloid (BT)
3. Mid-berderline (BB)
4. Borderline lepromatous (BL)
5. Lepromatosa (LL)
c. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO
(1981) dan modifikasi WHO (1988)
1. Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan
BTA negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan
T menurut klasifikasi Madrid.
2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT
menurut kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut
Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
15
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB
apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini.
2. Bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru
berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.
Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO
PB MB
1. Lesi kulit (makula yang datar, papul yang meninggi,infiltrat, plak eritem, nodus)
2. kerusakan saraf(menyebabkan hilangnya senasasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)
1-5 lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi yang jelas
Hanya satu cabang saraf
> 5 lesi Distribusi
lebih simetris
Hilangnya sensasi kurang jelas
Banyak cabang saraf
Sumber :Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta
Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang yang
akan menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi
Mycobacterium leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam spektrum
penyakit kusta.
16
Tabel 2. Gambaran klinis tipe PB
KarakteristikTuberkuloid
(TT)
Borderline tuberculoid
(BT)
Indeterminate (I)
LesiTipe
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Sensibilitas
BTAPada lesi kulitTes lepromin
Makula dibatasi infiltrat
Satu atau beberapa
Terlokalisasi & asimetris
Kering, skuama
Hilang
NegatifPositif kuat (3+)
Makula dibatasi infiltrat saja
Satu dengan lesi satelit
Asimetris
Kering, skuama
Hilang
Negatif atau 1 +Positif (2 +)
Makula
Satu atau beberapa
Bervariasi
Dapat halus agak berkilat
Agak terganggu
Biasanya negatif
Meragukan (1 +)
Sumber : Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta
17
Tabel 3. Gambaran klinis tipe MB
KarakteristikLepromatosa
(LL)Borderline
lepromatosa (BL)
Mid-borderline
(BB)
LesiTipe
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Sensibilitas
BTAPada lesi kulit
Pada hembusan
hidungTes lepromin
Makula, infiltrat difus, papul, nodus
Banyak, distribusi luas, praktis tidak ada kulit sehat
simetrisKering, skuama
Halus dan berkilap
Todak terganggu
Banyak (globi)Banyak (globi)
Negative
Makula, plak, papul
Banyak, tapi kulit sehat masih ada
Cenderung simetris
Halus dan berkilap
Sedikit berkurang
BanyakBiasanya tidak ada
Negatif
Plak, lesi berbntuk kubah, lesi punched-outBeberapa, kulit sehat (+)
asimetris
sedikit berkilap, beberapa lesi kering
berkurang
agak banyaktidak ada
biasanya negatif, dapat juga (±)
Sumber: Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit.Jen P2 dan PL. Jakarta
Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan
tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak
dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan
Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis.
18
Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk
pemberantasan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
1. Tipe tuberkoloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu
atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada
bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau cemntral healing.
Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat disertai
penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit
rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat
terhadap kuman kusta.
2. Tipe borderline tubercoloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau
plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau
beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama
tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe
tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak
dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe mid borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam
spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan
19
bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif.
Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi
yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi,
baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi
punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4. Tipe borderline lepromatosa
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam
jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula
lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul
dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan
beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian
tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas
dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti
punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,
hipipigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat
muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada
tempat predileksi.
5. Tipe lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak
ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah
mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang dibadan mengenai
20
bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan
ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit
yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan
cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis
dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat
dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat
menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala
stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif,
muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan
nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami
degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan
otot tangan dan kaki.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam
klasifikasi Ridley dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli
kusta yaitu tipe indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula
hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal.
Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka,
kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan
saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan
histopatologik.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari
tingkat atau tipe dari penyakit tersebut yaitu:
21
1) Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.
2) Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama
semakin melebar dan banyak.
3) Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus,
aulicularis magnus serta peroneus.
4) Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan
mengkilat.
5) Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada
kulit
6) Alis rambut rontok
7) Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka
singa).
Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :
1) Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
2) Noreksia
3) Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
4) Cephalgia
5) Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis
6) Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan
hepatospleenomegali.
7) Neuritis
22
Gambar 1. Jenis Kusta Tipe Paucibacilary
Sumber :Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakaerta.
Jenis Multibacillary
a. Tompok putih-kemerahan yang merebak di seluruh kulit badan
b. Tanda-tanda awal dari jenis ini sering terjadi pada cuping telinga dan
muka.
c. Kusta jenis ini boleh berjangkit
Gambar 2. Kusta Tipe Multibacilary
Sumber:Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta.
23
3. Transmisi Penularan Penyakit Kusta
a. Organisme Penyebab Penyakit Kusta
Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana
microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies
Mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun
jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol
sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain
banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan organisme patogen
(misalnya Mycrobacterium tuberculosis, Mycrobakterium leprae) yang
menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis
granuloma infeksion. Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada
laboratorium. Kuman Mycobacterium Leprae menular kepada manusia
melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan,
kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa
inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun. Setelah lima tahun, tandatanda
seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit
mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh
hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Melniek, 2001).
24
b. Patogenesis
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh
masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah
memperlihatkan bahwa tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian
tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh
Mycobacterium leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas
seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium leprae pada suhu tubuh yang
rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan
nontoksis (Hasibuan, 1990).
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler
yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah
superfisial pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman
Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi
mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear,
histiosit) untuk memfagositnya (Hasibuan, 1990)
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular,
dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga
kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak
jaringan (Depkes RI, 2002)
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular
tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya
setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel
25
epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk
sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi
berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan
jaringan disekitarnya (Hasibuan, 1990)
Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan
Mycobacterium lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai
demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila
terjadi gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan, kuman dapat bermigrasi
dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi
kerusakan saraf yang progresif (Depkes RI, 2000)
c. Reservoir
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui
berperan sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang Armadillo liar
diketahui secara alamiah dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta
seperti pada percobaan yang dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara
alamiah dapat terjadi penularan dari Armadilo kepada manusia. Penularan
kusta secara alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang
ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione.
d. Cara Penularan
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan
jelas penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam
waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta
26
basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe
lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7
hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta
lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme
kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit
yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun,
penularannya diduga melalui plasenta (Daili, 1998).
Dua pintu keluar dari Mycobacterium leprae dari tubuh manusia
diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa
kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis
kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme
tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan
bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit,
Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan
asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya
sejumlah Mycobacterium leprae yang besar di lapisan keratin
superfisialkulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah
pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar
keringat. Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada
1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa,
menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley
melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan
27
adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi
bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi
10.000.000 organisme per hari.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih
merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta
dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang
mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
1) Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita
yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
2) Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur
15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun
makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi
basiler kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang
pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa
penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1) Faktor Kuman kusta
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih
utuh (solid) bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan
penularan dari pada orang yang tidak utuh lagi Mycobacterium leprae
28
bersifat tahan asam, bermentuk batang dengan panjang 1-8 mikron dan
lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-
satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman
kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1 sampai 9 hari
tergantung suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh
(solid) saja dapat menimbulkan penularan (Depkes RI, 2002).
2) Faktor Imunitas
Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari
hasil penelitian menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95
0rang yang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2
orang menjadi sakit. Hal ini belum lagi mempertimbangkan pengaruh
pengobatan (Depkes RI, 2002).
3) Keadaan Lingkungan
Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan
kemiskinan, merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta.
Sebaliknya dengan meningkatnya taraf hidup dan perbaikan imunitas
merupakan faktor utama mencegah munculnya kusta.
4) Faktor Umur
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate
penyakit ini meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10
sampai 20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat
29
sesuai dengan umur dengan puncak umur 30 sampai 50 tahun dan
kemudian secara perlahan-lahan menurun (Hasibuan, 1990).
5) Faktor Jenis Kelamin
Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada
wanita, kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki.
Faktor fisiologis seperti pubertas, monopause, Kehamilan, infeksi dan
malnutrisi akan mengakibatkan perubahan klinis penyakit kusta
(Hasibuan, 1990).
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil
penelitian menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100 orang yang
terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat,
2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh
pengobatan. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman
Mycobacterium leprae menderita kusta (Depkes RI, 2005).
e. Masa inkubasi
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan.
Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi
minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus
kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30
tahun Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang
pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah
30
non-endemik. Dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan
dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa.
Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia
3 tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak
dibawah usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan. Secara
umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5
tahun (Nadesul, 1995).
4. Upaya Pencegahan Penyakit Kusta
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil
penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih
besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak
utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat
dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu
peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada
penderita untuk berobat secara teratur. Pengobatan kepada penderita kusta
adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman
kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat
sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia
tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal
ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya
tempat-tempat yang lembab.
31
Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi
kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat
mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas
untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta
memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta
kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa :
a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta
c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan
secara teratur (Depkes RI, 2005).
5. Penanggulangan Penyakit Kusta
Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana
dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang
berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. Metode penanggulangan ini
terdiri dari metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi
sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan
akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga
tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut merupakan suatu
sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia, tujuan
program pemberantasan penyakit kuista adalah menurunkan angka prevalensi
32
penyakit kusta menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000. Upaya yang
dilakukan untuk pemberantasan penyakit kusta melalui :
a) Penemuan penderita secara dini.
b) Pengobatan penderita.
c) Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.
d) Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta.
e) Rehabilitasi penderita kusta.
a) Penanggulangan Penyakit Kusta melalui Rehabilitasi
1) Rehabilitasi Medik
Kiranya tidak perlu diragukan lagi bahwa timbulnya cacat pada
penyakit kusta merupakan salah satu hal yang paling penting ditakuti.
Dari hasil penelitian pada bulan Maret 1996 di Rumah Sakit Kusta
Sitanala, menunjukkan bahwa lebih dari 73% pasien yang datang
berobat di poliklinik telah disertai cacat kusta. Walaupun dengan
pengobatan yang benar dan teratur penyakit kusta dapat disembuhkan,
akan tetapi cacat yang telah timbul atau mungkin yang akan timbul
merupakan persoalan yang cukup kompleks. Bila hal ini tidak ditangani
secara benar, maka akan berlanjut semakin parah serta berakhir fatal.
Makin berat keadaan suatu cacat, maka makin cepat pula keadaan
memburuk.
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai
pengelolaan yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan
33
rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi,
fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik,
pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi
okupasi. Penting pula diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu
rehabilitasi sosial (rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta
dapat siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun
negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu
pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan.
Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu kesatuan
kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna.
Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program
rehabilitasi medik yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan
pasien harus bekerjasama untuk mendapat hasil yang maksimal.
Pengetahuan medis dasar yang perlu dikuasai adalah anatomi anggota
gerak, prinsip dasar penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat
untuk pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terpai
secara dini, disusul dengan perawatan yang cermat, akan mencegah
pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan terhadap reaksi lepra
mempunyai 4 tujuan, yaitu :
a) Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan
sensorik, paralisis, dan kontraktur.
b) Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.
34
c) Kontrol nyeri.
d) Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan
keadaan penyakit.
Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat
pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan
pada pencegahan handicap dan mempertahankan kemampuan fungsi
yang tersisa. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah :
a) Pemeliharaan kulit harian
1) cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan sedikit
sabun (jangan detergen)
2) Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin
3) kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa agar kulit
kering terlepas.
4) kulit digosok dengan minyak.
5) secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot, nyeri,
luka dan lain-lain)
b) Proteksi tangan dan kaki
1) Tangan :
a) pakai sarung tangan waktu bekerja
b) stop merokok
c) jangan sentuh gelas/barang panas secara
langsung
35
d) lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan
bahan lembut
2) Kaki
a) selalu pakai alas kaki
b) batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan
c) meninggikan kaki bila berbaring
c) Latihan fisioterapi
Tujuan latihan adalah :
1) Cegah kontraktur
2) Peningkatan fungsi gerak
3) Peningkatan kekuatan otot
4) Peningkatan daya tahan (endurance)
a) Latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-jari
menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan orang
lain. Pertahankan 10 detik, lakukan 5 – 10 kali per hari untuk
mencegah kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk
mencegah kontraktur. Latihan lingkup gerak sendi juga
dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah gerak.
b) Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot
sendiri
36
c) Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian
belakang dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan
tubuh mendekati tembok, sementara kaki tetap berpijak.
d) Program latihan dapat ditingkatkan secara umum untuk
mempertahankan elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot, dan
daya tahan.
d) Bidai
Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan pergelangan
tangan agar tidak terjadi deformitas. Bidai dipasang pada anggiota
gerak fungsional saat timbul reaksi penyakit. Bidai dapat mengurangi
nyeri dan mencegah kerusakan saraf. Dianjurkan memakai bidai yang
ringan yang dipakai sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan
lingkup gerak sendi.
e) Dapat di buat sepatu khusus, sesuai dengan deformitas yang terjadi.
f) Program terapi okupasi merupakan program yang sangat penting
untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan menolong
diri, tetapi perlu diingat hal-hal yang harus diperhatikan untuk
melindungi alat gerak dari bahaya pekerjaan rumah tangga. Alat
bantu khusus dapat dibuat untuk kemudahan bekerja, sesuai dengan
deformitas pasien.
1) latihan redukasi motorik
37
a) diawali dengan latihan lingkup gerak sendi dan latihan
peregangan.
b) Memanfaatkan alat bantu kerja, dilakukan gerakan motorik
tangan dan jari-jari, sekaligus melatih koordinasi gerak dengan
bagian ekstremitas yang sehat.
c) Gerak terampil tangan dan jari
d) Latihan posisi dan postur pasif dan aktif.
2) Latihan redukasi sensorik
a) Latihan ini akan meningkatkan kualitas sensori pasien,
dan menolong pasien untuk mencari alternatif lain untuk
meningkatkan sensibilitas sehingga kapasitas fungsional juga
meningkat
b) Latihan sensorik bertahap, mulai dari sentuhan kasar,
sampai halus, dingin dan hangat.
c) Latihan pengenalan bentuk berbagai benda.
3) Latihan aktivitas menolong diri
4) Latihan aktivitas rumah tangga
5) Latihan aktivitas kerja
6. latihan daya tahan kerja
g) Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal
yang harus dilaksanakan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis dan
38
evaluasi kondisi sosial, dapat dijadikan titik tolak program terapi
psikososial.
2) Rehabilitasi Nonmedik
Meskipun penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, namun
penyakit ini termasuk penyakit yang paling ditakuti diseluruh dunia.
Penyakit ini sering kali menyebabkan permasalahan yang sangat
kompleks bagi penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan masyarakat.
Pada penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan
cacat fisik.
Seringkali penyakit kusta di identikkan dengan cacat fisk yang
menimbukan rasa jijik atau ngeri serta rasa takut yang berlebihan
terhadap mereka yang melihatnya. Akibat hal-hal tersebut di atas,
meskipun penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara
medis, akan tetapi bila fisinya cacat, maka predikat kusta akan tetap
melekat untuk seluruh sisa hidup penderita, sehingga ia dan keluarganya
akan dijauhi oleh masyarakat di sekitarnya.
Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali tida
dapat menerima keputusan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya aka
nada perubahan mendasar pada kepribadian dan tingkah laku penderita.
Ia akan selalu sedapat mungkin menyembunyikan keadaannya sebagai
seorang penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan
39
dan kesembuhan, sebaliknya kan memperbesar resiko timbulnya caca
bagi penderita itu sendiri. Tentu saja semua tersangka kasus kusta harus
diperiksa secara cermat dan hati-hati sekali untuk menghindari salah
diagnosis, karena setiap kesalahan dalam penegakkan diagnosis akan
dapat menimbulkan beban psikis dan dampak social yang tidak hanya
dapat dialami oleh penderita itu sendiri, tetapi juga terhadap
keluargannya.
Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih
menonjol dibandingkan dengan masalah medisnya sendiri. Hal ini
disebabkan oleh karena adanya stigma leprofobi yang banyak
dipengaruhi oleh berbagai paham keagamaan, serta informasi yang
keliru tentang penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang
negative terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan penderita
kusta tidak mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan masyarakat
lingkungannya.
Setelah diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus
segera dimulai sedini mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan kusta itu
dimulai dan dilakukan secara terus menerus secara paripurna sampai ia
dapat mencapai kemandirian dan hidup bermasyarakat seperti sediakala.
Dengan kata lain tujuan akhir rehabilitasi adalah resosialisasi penderita
itu sendiri.
40
Pengobatan penyakit kusta sangat penting untuk memutuskan
mata rantai penularan dan mencegah terjadinya cacat fisik. Bila
pengobatan tersebut tidak diimbangi oleh rehabilitasi mental, maka akan
sulit dicapai partisipasi aktif dari penderita agar berobat teratur dan
menyelesaikan secara tuntas program pengobatan yang telah dianjurkan.
Cacat psikososial ini mulai dirasakan oleh penderita sejak saat ia
dinyatakan menderita penyakit kusta dan bila hal tersebut mulai
diketahui oleh keluarganya maupun oleh masyarakar di sekitarnya. Hal
ini akan bertambah berat bila ia merupakan tumpuan hidup dan sumber
nafkah bagi keluarganya. Dalam banyak hal ia dapat kehilangan sumber
penghasilannya dan memperburuk keadaannya beserta keluarga.
Untuk mengindari terjadinya hal-hal tersebut, maka bila ada
keragu-raguan meskipun sedikit saja, sebaiknya segera merujuk
penderita kepada mereka yang dianggap lebih berpengalaman. Setelah
diagnosis kusta ditegakkan, maka pengobatan harus segera dimulai,
disertai upaya rehabilitasi mental terhadap penderita, keluarganya, dan
masyarakat sekitarnya.
Pengobatan penyakit kusta tidak boleh diberikan bila seseorang
belum dapat dipastikan menderita penyakit kusta atau penyakitnya
masih diragukan. Komplikasi antara lain seperti penyakit kusta, harus
ditangani sedini mungkin dan secara adekuat untuk mencegah terjadinya
41
cacat kusta. Andaikata cacat kusta te lah terjadi, maka upaya rehabilitasi
untuk mencegah berlanjutnya cacat harus segera dilakukan.
Bila tanda-tanda cacat kusta sudah sedemikian jelas, tetapi hasil
pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis menyatakan bahwa
penyakit kusta dalam keadaan inaktif, maka pengobatan tidak diperlukan
lagi dan hanya dilakukan upaya-upaya rehabilitasi. Pada penderita harus
ditekankan bahwa obat-obat kusta tidak dapat menyembuhkan cacat
fisik yang telah ada, supaya ia tidak mencari pengobatan di luar
ketentuan yang telah digariskan oleh Departemen Kesehatan.
Pengobatan hanya diberikan pada penderita kusta aktif, dengan atau
tanpa cacat kusta.
3) Rehabilitasi Mental
Seperti telah dijelaskan, setiap penderita yang dinyatakan
menderita penyakit kusta akan mengalami kegoncangan jiwa dan
masing-masing mempunyai cara sendiri untuk bereaksi terhadap
keadaan ini. Ada yang segera dapat menerima keadaan ini dan segera
mancari pertolongan medis, ada pula yang berusaha menolak kenyataan
dengan mencari pertolongan alternative termasuk berobat pada dukun,
tabib dan sebagainya. Dan adapula yang merasa rendah diri mengalami
depresi, menyendiri, menyembunyikan dirinya karena malu, dan ada
pula yang berfikir untuk melakukan tindakan bunuh diri.
42
Pada umumnya mereka dibayang-bayangi oleh ketakutan yang
sangat mendalam akan timbulnya cacat fisik akibat penyakit ini. Suatu
hal yang perlu kita sadari bahwa tidak seorang sehatpun ingin
mendapatkan cacat dalam kehidupannya. Hal ini merupakan dasar bagi
setiap petugas kesehatan dalam melakukan penyuluhan kusta. dengan
menekankan bahwa sebenarnya penyakit kusta bila diobati secara dini
dan benar akan dapat mengurangi risiko terjadinya cacat semaksimal
mungkin.
Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan mental, harus
diupayakan sedini mungkin pada setiap penderita, keluarganya, dan
masyarakat sekitarnya, untuk memberikan dorongan dan semangat agar
mereka dapat menerima kenyataan ini. Selain itu juga agar penderita
dapat segera mulai menjalani pengobatan dengan teratur dan benar
sampai dinyatakan sembuh secara medis. Informasi yang perlu
disampaikan antara lain sebagai berikut:
a) Hal-hal yang berkaitan dengan stigma dan leprofobi
b) Masalah psikososial kusta
c) Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi yang sering sekali timbul
selama proses pengobatan dan setelah pengobatan selesai.
d) Proses terjadinya cacat kusta dan berlanjutnya cacat tersebut.
e) Peran serta masyarakat pada penanggulangan penyakit kusta.
f) Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan.
43
g) Dan lain-lain yang dianggap perlu, misalnya rehabilitasi, berbagai
upaya kesehatan terhadap penyakit kusta.
Hal-hal ini harus disampaikan oleh petugas kesehatan kepada
penderita dan keluarganya sebelum pengobatan kusta dimulai, secara
sederhana dan mudah dimengerti oleh mereka. Hanya dengan demikian
kita dapat mengharapkan keberhasilan penanggulangan penyakit kusta
secara paripurna.
Petugas kesehatan, baik tenaga medis maupun paramedis harus
dibekali dengan pengatahuan kusta yang memadai supaya terampil
dalam memberikan penyuluhan kusta dengan baik dan bermanfaat.
Bimbingan mental ini harus didukung juga oleh partisipasi aktif dari
pemuka masyarakat dan pemuka agama pada setiap kesempatan yang
ada.
Tanpa dibekali informasi yang tepat tentang hal-hal tersebut,
maka penderita cenderung menjadi bosan menghadapi masa pengobatan
yang panjang dan itu-itu saja, sehingga ia akan berobat semaunya secara
tidak teratur. Lebih celaka lagi bila selama masa pengobatan timbul
komplikasi berupa neuritis atau reaksi yang memperburuk kondisi
tubuhnya, sehingga timbul pikiran negative untuk menghentikan saja
pengobatan yang telah berjalan dengan baik dan mencari pertolongan
pengobatan secara alternatif.
44
Ketidakteraturan berobat, dan menghilangnya penderita tanpa
melanjutkan pengobatannya menimbulkan banyak masalah dalam
keberhasilan upaya penanggulangan penyakit kusta. Hal ini akan
memperbesar risiko kecacatan dan resistensi terhadap obat kusta.
Dengan timbulnya cacat kusta, upaya penanggulangan penyakit kusta
akan menjadi bertambah berat karena diperlukan rehabilitasi medis dan
nonmedis yang lebih komleks dan biaya yang lebih besar. Hal ini akan
menjadi beban bagi negara dan bangsa.
Walaupun pengobatan medis kusta dan upaya rehabilitasi ini
berhasil dilakukan, tetapi dengan adanya stigma dan leprofobi akan
timbul banyak kendala dalam memasyarakatkan kembali penderita dan
bekas penderita kusta. Tetapi, dengan memberikan informasi yang benar
tentang penyakit kusta serta menanamkan pengertian yang baik, maka
stigma dan leprofobi dapat dikurangi dan ditekan hingga seminimal
mungkin.
Dengan demikian penyakit kusta dapat dianggap sama seperti
penyakit menular lainnya dan penderita kusta dapat diterima dan
diperlakukan secara wajar oleh masyarakat dengan hak yang sama
seperti orang sehat yang lain.
4) Rehabilitasi Karya
Tidak semua penderita kusta bila sembuh datang kembali
bekerja pada pekerjaan semula, apalagi bila pekerja terlanjur mengalam
45
cacat fisik. Walaupun telah diupayakan rehabilitasi medis dan
dinyatakan sembuh dari penyakitnya, mantan penderita tidak dapat
melakukan pekerjaan yang sama seperti sediakala. Dalam banyak hal
adanya stigma atau leprofobia akan menyebabkan penderita (mantan)
kerap kali menghadapi kendala sosial, sehungga perlu mengganti jenis
pekerjaan untuk memugkinkan mencari nafkah bagi diri dan
keluarganya. Adanya hilang rasa (anastesi) pada palmar atau plantar
menyebabkan pekerjaan tertentu harus dihindari.
Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang
sudah terlanjur cacat dapat kembali melakukan pekerjaan yang sama,
atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru sesuai dengan tingkat
cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja sebelumnya. Disampng itu
penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat akan mengurangi
risiko berlanjutnya cacat pada penderita kusta.
5) Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social
ekonomi pernderita. Hal ini sangat sulit dicapai oleh penderita sendiri
tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya. Rehabilitasi social
bukanlah bantuan social yang harus diberikan secara terus menerus,
melaikan upaya yang bertujuan untuk menunjang kemandirian
penderita. Upaya ini dapat berupa :
a) Memberikan bimbingan sosial.
46
b) Memberikan peralatan kerja.
c) Memberikan alat bantu cacat, misalnya kursi roda atau tongkat jalan.
d) Memberikan bantuan penempatan kerja yang lebih sesuai dengan
keadaan cacatnya.
e) Membantu membeli/memakai hasil-hasil usaha mereka
f) Membantu pemasaran hasil-hasil usaha mereka.
g) Memberikan bantuan kebutuhan pokok, misalnya pangan, sandang,
papan, jaminan kesehatan, dan sebagainya.
h) Memberikan permodalan bagi usaha wiraswasta.
i) Memberikan bantuan pemulangan ke daerah asal.
j) Memberikan bimbingan mental/spiritual.
k) Memberikan pelatihan ketrampilan/magang kerja dan sebagainya.
Dari segala upaya tersebut , sangat diharapkan peran serta
masyarakat dalam menunjang keberhasilan resosiaisasi mereka. Semua
akan dapat terlaksana dengan baik apabila stigma dan leprofobi dapat
ditekan hingga seminimal mungkin. Dengan demikian kehadiran mereka
dapat diterima oleh masyarakat, hasil karya dan usaha mereka mau
dibeli serta dipakai oleh masyarakat. Tanpa partisipasi, maka segala
usaha tersebut tidak akan berhasil (Depkes RI, 2005).
B. Tinjauan Umum Tentang Skrining
1. Pengertian Skrining
47
Penyaringan (skrining) adalah suatu usaha untuk mendeteksi mencari
penderita penyakit tertentu yang tampak gejala (tidak tampak) dalam suatu
masyarakat atau kelompok tertentu melalui suatu tes/pemeriksaan, yang
singkat dan sederhana dapat memisahkan mereka yang sehat terhadap mereka
yang kemungkinan besar menderita, yang selanjutnya diproses melalui
diagnosis dan pengobatan. Penyaringan bukan diagnosis, sehingga hasil yang
didapat betul-betul didasarkan pada hasil pemerikasaan tes tertentu sedangkan
kepastian diagnosis klinik yang dilakukan kemudian (Nasri, 1997).
2. Tujuan dan Sasaran Skrining
a) Mendapatkan mereka yang menderita sedini mungkin sehingga dapat
segera memperoleh pengobatan.
b) Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat.
c) Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri sedini
mungkin.
d) Mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan tentang
sifat penyakit dan untuk selalu waspada/melakukan pengamatan terhadap
setiap gejala dini.
e) Mendapat keterangan epidemiologis yang berguna bagi peneliti.
3. Berbagai Bentuk Pelaksanan Penyaringan (skrining)
a) Dapat dilakukan secara massal pada suatu penduduk tertentu.
b) Dapat dilakukan secara selektif maupun random terutama mereka dengan
risko yang lebih besar.
48
c) Dapat dilakukan untuk suatu penyakit atau serentak lebih dari satu
penyakit.
4. Keuntungan Skrining
a) Biaya dapat dilaksanakan sangat efektif.
b) Lebih cepat mendapatkan keterangan tentang penyakit dalam masyarakat.
c) Mempunyai fleksibilitas dalam pelaksanaannya.
d) Pelaksanaannya cukup sederhana dan mudah.
e) Hasilnya dapat dipercaya selama tetap memperhatikan nilai:
1) Rehabilitas
2) Validasi
3) Kekuataan tes berdasrkan sensivitas dan spesivitas
5. Kriteria Dalam Menyusun Program Skrining
a) Penyakit yang dituju harus merupakan masalah kesehatan yang berarti
b) Tersedianya obat yang potensial dan memungkinkan pengobatan bagi
mereka yang dinyatakan menderita.Tersedianya fasilitas dan biaya untuk
diagnosis pasti dan pengobatan.
c) Pemeriksaan skrining memenuhi syarat untuk tingkat sensivitas dan
spesivitas.
d) Teknik dan cara pemeriksaan harus dapat diterima masyarakat secara
umum.
e) Sifat perjalanan penyakit diketahui dengan pasti.
f) Ada standar yang disepakati tentang mereka yang menderita.
49
g) Biaya yang digunakan harus seimbang dengan resiko biaya tanpa skrining.
h) Harus dimungkinkan untuk diadakan follow up, dan kemungkinan
pencarian penderita secara berkesinambungan.
6. Bentuk- Bentuk Skrining/Penyaringan
Penyaringan dapat dilakukan dalam bentuk seri maupun parallel.
Bentuk seri yakni pad dua penyaringan, mereka dinyatakan positif bila
menghasilkan hasil positif pada kedua tes penyaringan yang dilakukan, untuk
selanjutnya diadakan pemeriksaan untuk diagnosis. Pada bentuk seri, positif
palsu akan lebih rendah, sedangkan negatif palsu meningkat.
Bentuk paralel yakni pada dua penyaringan, mereka yang positif
pada satu tes dinyatakan positif dan dilanjutkan pemeriksaan untuk diagnosis.
Pada bentuk bentuk paralel, jumlah positif palsu akan lebih besar dan negatif
palsu akan lebih kecil. Cara ini dapat digunakan tergantung tujuan
penyaringan, bentuk penyakit serta keadaan dana dan fasilitas yang tersedia.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Kusta
1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
mengindera terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan dapat terjadi melalui
indera penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang terhadap obyek diperoleh melalui
indra penglihatan. Pengetahuan mempunyai enam tingkatan :
50
a) Tahu (know) diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya.
b) Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, yang dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c) Aplikasi (aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi real (sebenarnya).
d) Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu
struktur organisasi tersebut atau masih ada kaitannya satu sama lain.
e) Sintesis (synthesis) menunjuk kepada sesuatu kemampuan untuk
meletakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam bentuk
keseluruhan yang baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f) Evaluasi (evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian suatu materi atau obyek (Notoatmojo, 1989).
2. Sikap
Sikap adalah bentuk evaluasi atau perasaan seseorang terhadap suatu
obyek yaitu perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak
mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu (Azwar,
2003).
3. Tindakan
51
Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud didalam suatu tindakan
(over behavior), karena untuk mewujudkan sikap menjadi perubahan nyata
diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Adapun
tahapan-tahapan tindakan adalah :
a) Persepsi, artinya mengenal atau memilih berbagai obyek dengan tindakan
yang akan di ambil adalah praktek tingkat pertama.
b) Respon terpimpin adalah melalui sesuatu dengan urutan yang besar sesuai
dengan contoh atau merupakan indikator tingkat kedua.
c) Mekanisme, apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar
maka secara otomatis akan menjadi kebiasaan dan pencapaian praktek
tingkat ketiga.
d) Adaptasi adalah suatu praktek atau tundakan yang sudah berkembang
dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi.
Sebelum seseorang mengadopsi suatu inovasi baru didalam diri
orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni :
a) Kesadaran (awareness), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui stimulus/obyek terlebih dahulu.
b) Ketertarikan (interest), ketika orang mulai tertarik terhadap stimulus yang
diberikan oleh subyek.
c) Penilaian (evaluation), sebelum aktifitas mental untuk menimbang-
nimbang baik tidaknya sebuah stimulus bagi dirinya.
52
d) Mencoba (trial), dimana orang telah mulai untuk mencoba sebuah perilaku
yang baru dan merasakan dampaknya.
e) Penerimaan (adaptasi), dimana subyek telah menerima inovasi sebagai
bagian dari perilakunya sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan
sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo, 1993).
D. Kerangka Konsep
Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang menyerang
manusia pada semua kelompok umur dan dapat menyebabkan kerusakan saraf
tepi serta menimbulkan kecacatan yang permanen pada manusia.
Di Wilayah Puskesmas Kulisusu pada tahun 2008 angka penemuan kasus
baru (CDR) sebesar 26 per 100.000 penduduk, sehingga tingkat penularan masih
tergolong tinggi bila dibandingkan dengan target program Penanggulangan
Penyakit Kusta CDR < 10 per 100.000 penduduk.
Kejadian penyakit kusta tersebut terkait dengan berbagai faktor dan
diantaranya termasuk kurangnya pengetahuan, sikap dan tindakan responden
yang kurang sehat, seperti kerangka acuan penelitian.
53
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Pengetahuan
Sikap
Tindakan
Pendidikan
RespondenKejadian
Penyalit Kusta
Sakit Kusta(Penderit)
Sehat(Bukan Penderita)
Skrining
Lingkungan
54
Keterangan : Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
Gambar 3. Bagan Kerangka Konseptual