39
28 BAB III BIOGRAFI DAN METODE ISTINBATH HUKUM IMAM NAWAWI DAN IBNU HAZM 3.1. Biografi dan Istinbath Hukum Imam Nawawi. 3.1.1. Biografi Imam Nawawi Imam An-Nawawi lahir pada pertengahan bulan Muharam tahun 631 H di kota Nawa (Nawawi 2006, 54). Nama lengkap beliau adalah Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husin bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al-Hizami An-Nawawi, panggilannya ialah Abu Zakaria. Imam An-Nawawi dijuluki Abu Zakaria karena namanya adalah Yahya. Orang arab sudah terbiasa memberi julukan Abu Zakaria kepada orang yang bernama Yahya Nabi Allah dan ayahnya Zakaria Alaihuma As-Salam, sebagaimana juga seorang yang bernama Yusuf dijuluki Ya’qub, seorang yang bernama Ibrahim dijuluki Abu Ishaq dan orang yang bernama Umar dijuluki Abu Hafsh. Pemberian julukan seperti di atas tidak dengan peraturan yang berlaku sebab Yahya dan Yusuf adalah anak bukan ayah, namun gaya pemberian julukan seperti itu sudah biasa didengar orang-orang Arab (Farid 2006, 756). Syaikh Imam An-Nawawi pernah bercerita bahwa sebagian kakeknya menyangka Al-Hizami merupakan nisbat pada Hiam Abu Hakim, salah seorang sahabat Rasullullah SAW. Hizam disini adalah kakeknya seorang yang mampir di Jaulan desa Nawa seperti kebiasaan orang-orang Arab. Lalu bermukim di sana dan diberikan keturunan oleh Allah SWT hingga manusia menjadi banyak. An- Nawawi adalah nisbat pada desa Nawa tersebut. Dia merupakan pusat kota Al-Jaulan, dan berada di kawasan Hauran di Provinsi Damaskus. Jadi Imam An-Nawawi adalah orang Damaskus karna menetap di sana selama kurang lebih delapan belas tahun. Abdullah bin Al-Mubarak

BAB III BIOGRAFI DAN METODE ISTINBATH HUKUM IMAM NAWAWI

  • Upload
    others

  • View
    76

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

28

BAB III

BIOGRAFI DAN METODE ISTINBATH HUKUM

IMAM NAWAWI DAN IBNU HAZM

3.1. Biografi dan Istinbath Hukum Imam Nawawi.

3.1.1. Biografi Imam Nawawi

Imam An-Nawawi lahir pada pertengahan bulan Muharam

tahun 631 H di kota Nawa (Nawawi 2006, 54). Nama lengkap beliau

adalah Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husin bin

Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al-Hizami An-Nawawi,

panggilannya ialah Abu Zakaria. Imam An-Nawawi dijuluki Abu

Zakaria karena namanya adalah Yahya. Orang arab sudah terbiasa

memberi julukan Abu Zakaria kepada orang yang bernama Yahya Nabi

Allah dan ayahnya Zakaria Alaihuma As-Salam, sebagaimana juga

seorang yang bernama Yusuf dijuluki Ya’qub, seorang yang bernama

Ibrahim dijuluki Abu Ishaq dan orang yang bernama Umar dijuluki

Abu Hafsh. Pemberian julukan seperti di atas tidak dengan peraturan

yang berlaku sebab Yahya dan Yusuf adalah anak bukan ayah, namun

gaya pemberian julukan seperti itu sudah biasa didengar orang-orang

Arab (Farid 2006, 756).

Syaikh Imam An-Nawawi pernah bercerita bahwa sebagian

kakeknya menyangka Al-Hizami merupakan nisbat pada Hiam Abu

Hakim, salah seorang sahabat Rasullullah SAW. Hizam disini adalah

kakeknya seorang yang mampir di Jaulan desa Nawa seperti

kebiasaan orang-orang Arab. Lalu bermukim di sana dan diberikan

keturunan oleh Allah SWT hingga manusia menjadi banyak. An-

Nawawi adalah nisbat pada desa Nawa tersebut. Dia merupakan pusat

kota Al-Jaulan, dan berada di kawasan Hauran di Provinsi Damaskus.

Jadi Imam An-Nawawi adalah orang Damaskus karna menetap di sana

selama kurang lebih delapan belas tahun. Abdullah bin Al-Mubarak

29

pernah berkata “Barang siapa yang menetap di suatu negeri selama

empat tahun, maka dia dinisbatkan kepadanya (Nawawi 2006, 7).

Imam An-Nawawi gelarnya adalah Muhyiddin. Namun, ia

sendiri tidak senang diberi gelar tersebut. Al-Lakhani mengatakan

bahwa Imam An-Nawawi tidak senang dengan julukan Muhyiddin

yang diberikan orang kepadanya (Ahmad Farid 2006, 756). Ketidak-

sukaan itu disebabkan karna adanya rasa tawadhu’ yang tumbuh pada

diri Imam An-Nawawi, meskipun sebenarnya dia pantas diberi

julukan tersebut karna dengan dia Allah SWT menghidupkan Sunnah,

mematikan bid’ah, menyuruh melakukan perbuatan yang ma’ruf,

mencegah perbuatan yang mungkar dan memberikan manfaat bagi

umat Islam dengan karya-karyanya (Farid 2006, 757).

Imam An-Nawawi adalah ulama yang paling banyak

mendapatkan cinta dan sanjungan makhluk. Orang yang mempelajari

biografinya akan melihat adanya Wira’i, zuhud, kesungguhan dalam

mencari ilmu yang bermanfaat, amal soleh, ketegasan dalam membela

kebenaran dan amar ma’ruf nahi munkar, takut dan cinta kepada Allah

SWT dan kepada Rasul nya. Semua itu menjelaskan rahasia mengapa

ia dicintai banyak orang. Imam An-Nawawi merupakan ulama yang

besar pada masanya Ia telah meninggalkan berkas-berkas, ketetapan-

ketetapan dan kitab-kitab ilmiah yang berbobot. Peninggalan-

peninggalan tersebut, ia telah menunjukan bahwa ia melebihi ulama-

ulama dan imam-imam pada masanya (Farid 2006, 755).

Adz-Dzabhi mensifati Imam An-Nawawi sebagai orang yang

berkulit sawo matang, berjenggot tebal, berperawakan tegak,

beribawa, jarang tertawa, tidak bermain-main, dan terus bersungguh-

sungguh dalam hidupnya. Ia selalu mengatakan yang benar, meskipun

hal itu sangat pahit baginya dan tidak takut terhadap hinaan orang

yang menghina dalam membela agama Allah SWT. Adz-Dzabhi

mengatakan di dalam kitab tarikh Al-Islam bahwa Imam An-Nawawi

30

mengenakan pakaian-pakaian sebagaimana para ahli fikih di Hauran

mengenakannya, namun ia tidak terlalu memperhatikan masalah

berpakaian (Farid 2006, 757).

حدثنا قتيبة حد ثنا عبد العزيز بن محمدعن العلاء بن عبد الرحمن عن أبيو عن الله صلى الله عليو و سلم قال ما نقصت صدقة من مال أبي ىريرة, أن رسول

وما زاد رجلا بعفو إلا عزا وما توا ضع أحد لله إلا رفعو اللهقال أبو عيسى وفي الباب عن عبد الرحمن بن عوف وابن عبا س وأبي كبشة الأ نما ري وسمو

عمر بن سعد وىذا حديث حسن صحيح )روه التر مذى( Artinya : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah

menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Al- Ala` bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda: "Sedekah itu, pada hakekatnya tidak akan mengurangi harta. Tidaklah seorang memberikan maaf, kecuali ia akan semakin bertambah mulia. Dan tidaklah seorang yang tawadhu' karena Allah SWT, kecuali Allah SWT akan meninggikan derajatnya." Abu Isa berkata; Hadits semakna juga diriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf, Ibnu Abbas, dan Ibnu Kasyabah Al-Anmari, namanya adalah Umar bin Sa'd. Hadits ini adalah hadits hasan Shahihh.(HR.At-Tirmidzi) (At-Tarmidzi 1962, 376).

3.1.2. Pendidikan

Syaikh Yasin bin Yusuf Al Marakisyai melihat Imam An-Nawawi

di kota Nawa, ketika itu umurnya masih sepuluh tahun. Anak-anak

kecil yang lain memaksanya untuk bermain bersama mereka, namun

Imam An-Nawawi lari dari mereka dan menangis karna dipaksa. Dia

membaca Al-Qur’an ketika itu, lalu hatinya menjadi senang kepada

Nawawi. Ayahnya menempatkannya di toko, namun kesibukannya

dengan Al-Qur’an tidak bisa dikalahkan oleh aktivitas jual beli (Farid

2006, 759).

Imam An-Nawawi tumbuh berkembang dalam penjagaan,

kebaikan, dan menghafalkan Al-Qur’an. Dia menghabiskan waktunya

31

ditoko bersama dengan ayahnya. Kemudian pada tahun 649 H

ayahnya memindahkannya ke Damaskus agar belajar di sana. Dia

bertempat diasrama para siswa. Imam An-Nawawi menghafal kitab

At-Tanbih dalam waktu kurang lebih empat bulan setengah dan ia

hafal seperempat pembahasan ibadah dari kitab Al Muhadzab dalam

sisa tahun itu, kemudian Mensyarahi, Mentashi dihadapan syaikhnya

yaitu seorang Imam, Ulama besar, zuhud, wara’, mempunyai

keutamaan dan pengetahuan-pengetahuan yakni Abu Ibrahim bin

Ahmad bin Usman Al-Maghribi asy-Syafi’i dan ia selalu bersama

dengannya.

Menurut Ustadz Ahmad Abdul Aziz Qasim, ada beberapa hal

yang biasa membentuk kepribadian yang besar pada Imam An-

Nawawi, pertama berupa kemauan sendiri yang muncul dari dirinya

seperti (Farid 2006, 762):

1. Melakukan perjalanan dalam mencari ilmu.

2. Keberadaannya di Madrasah Ar-Rawahiyah.

3. Bersungguh-sungguh dalam belajar.

4. Banyak menghafal dan menela’ah.

5. Belajar dari guru-guru besar dan mendapat perhatian dari

mereka.

6. Tersedianya kitab-kitab secara lengkap.

7. Sering mengajarkan ilmu yang telah didapatkan dari guru-

gurunya .

Kedua adalah faktor-faktor yang tidak biasa, seperti faktor

bakat yang diberikan Allah SWT kepada hamba yang dikehendakinya,

seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah Ayat 269:

را كرا وما يذكككرإلاك يؤ مة فؤقد أو ت ا مة من يشاء ومن يؤ ا يؤ أولو الألباب

32

Artinya: Allah SWT menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah) (QS Al-Baqarah, 269).

Namun, pemberian hikmah itu disyaratkan dengan taqwa dan

takut kepada Allah SWT. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah Ayat

282 :

ل شيء عليم ب واللك م اللك واتؤكقوا اللك ويؤعلمArtinya : Dan bertakwalah kepada Allah SWT, Allah SWT mengajarmu

dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Al- Baqarah, 282).

3.1.2.1. Guru-guru Imam An-Nawawi

Imam An-Nawawi dalam perjalanan mencari ilmunya telah

melibatkan beberapa ulama yang berjasa memberikan beliau

pelajaran dalam berbagai ilmu, antara lain:

1. Ilmu Fiqih

a) Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin Utsman Al-Maghribi Ad-

Dimasyiqi : dia adalah seorang Imam, yang diakui

keilmuannya, zuhudnya, wara’nya, banyak ibadahnya,

besar keutamaannya, dan kelebihan semuanya itu di atas

teman-temannya (Nawawi 2006, 12).

b) Abu Muhammad Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad

bin Ibrahim bin Musa Al-Maqdisi Ad-Dimasyqi : dia adalah

seorang Imam, orang yang arif, zuhud, ahli ibadah, wara’,

sangat teliti, dan mufti Damaskus pada masanya (Nawawi

2006, 13).

33

c) Syaikh Abu hafsh Umar bin As’ad bin Abi Ghalib Ar-Raba’i

Al-Irbili : dia adalah orang yang teliti dan menjadi seorang

mufti (Nawawi 2006, 14).

d) Abu Al-hasan bin Sallar bin Al-Hasan Al-Irbili Al-Halabi Ad-

Dimasyqi : dia adalah seorang Imam yang disepakati

keimamannya, keagungannya, kelebihannya, dibidang ilmu

mazhab di zamannya (Nawawi 2006, 15).

2. Ilmu Ushul Fiqih

Imam An-Nawawi mempelajari ilmu Ushul Fiqih kepada

sejumlah ulama. Yang paling masyur dan paling besar antara

lain : Al-Qadhi Abu Al Fath Umar bin Bundar bin Umar bin Ali

Muhammad At-Taflisi Asy-Syafi’i (Ahmad Farid 2006, 773).

Imam An-Nawawi belajar kepadanya Al-Muntajhob karya

Imam Fakhruddin Ar-Razi dan sebagian dari kitab Al-Mustashfa

karya Imam Al-Ghazali (Nawawi 2006, 16).

3. Ilmu Bahasa, Nahwu dan Sharaf

Adapun guru-gurunya dalam bidang Ilmu Bahasa, Nahwu dan

Sharaf adalah:

a) Fakhruddin al-Maliki, Imam An-Nawawi berkata “Aku

belajar kepadanya, tentang Sibawaih atau lainnya.

Keraguan ini adalah dari diri saya sendiri (Nawawi 2006,

16).

b) Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Malik

Jayyani, dengan kitab karya-karyanya.

c) Ahmad bin Salim Al-Mashari

d) Ibnu Malik (Farid 2006, 773).

4. Ilmu Hadits

Guru-gurunya dalam bidang Ilmu Hadits adalah :

a) Syaikh Al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa al-Muradi

al-Andalusia asy-Syafi’i. Dia telah mensyarahkan

34

kepadanya Shahih Muslim, sebagian besar dari Shahih Al-

Bukhari dan banyak hadits-hadits dari Al-Jam’u bain As-

Shalihin karya Al-Humaidi (Nawawi 2006, 17).

b) Abu Ishaq Ibrahim bin Abi Hafsah Umar bin Mudhar Al-

Wasithi

c) Zainuddin Abu Al-Baqa’ Khalid bin Yusuf bin Sa’ad Ar-

Ridha bin Al-Burhan.

d) Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin Al-Anshari

(Farid 2006, 773).

3.1.2.2. Murid Imam Nawawi

1. Alauddin bin Al-Aththar

2. Shadr Ar-Rais Al-Fadhil Abu Al-Abbas Ahmad binm Ibrahim bin

Mush’ah

3. As-Syamsi Muhammad bin Abi Bar bin Ibrahim bin Abdirrahman

bin An-Naqib.

4. Al-Nadar Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dillah bin Jum’ah.

5. Asy-Syihab Muhammad binAbdil Khaliq bin Utsman bin Munzhir

Al-Anshari Ad-Dimasyiqi Al-Muqri.

6. Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Abbas bin Ja’wan.

7. Al-Faqih Al-Muqir Abu Abbas Ahmad Adh-Dharir Al-Wasithi.

3.1.2.3. Kitab-kitab karya Imam An-Nawawi

1. Kitab-kitab karyanya dalam bidang hadits :

a) Syarah Muslim yang dinamakan Al-Minhaj Syarah Shahihh

Muslim Al-Hajjajj.

b) Riyadh Ash-Shalihin.

c) Al-Arbain An-Nawawi.

d) Khulashah Al-Ahkam min Muhammad As-Sunan Wa Qawa’id

Al-Islam.

35

e) Syarah Al-Bukhari.

f) Al-Adzkar yang dinamakan Hilyah Al-Abrar Al-Khiyar fi

Talkhish Ad-Da’awat wa Al-Adzkar (Nawawi 2006, 21).

2. Kitab-kitab karyanya dalam bidang ilmu hadits :

a) Al-Irsyad.

b) At-Taqrib.

c) Al-Irsyat Ila Bayan Al-Asma’ Al-Mubhamat.

3. Kitab-kitab karyanya dalam bidang fiqih :

a) Raudh Ath-Thalibin.

b) Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab (disempurnakan oleh As-

Subki kemudian Al-Muthi’)

c) Al-Minhaj.

d) Al-Idhah.

e) At-Tahqiq (Farid 2006, 776).

4. Kitab-kitabnya dalam bidang pendidikan dan etika :

a) Adab Hamalah Al-Qur’an.

b) Bustan Al-Arifin.

5. Kitab-kitab karyanya dalam bidang biografi dan sejarah:

a) Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat.

b) Thabaqat Al-Fuqoha.

6. Kitab-kitab karyanya dalam bidang bahasa

a) Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat bagian kedua.

b) Tahrir At-Tanbih.

3.1.3. Kondisi Sosial dan Politik

Imam An-Nawawi dilahirkan di kota Nawa. Ia menghabiskan

masa kanak-kanaknya ditempat kota kelahirannya dengan membaca

Al-Qur’an, hingga umurnya mencapai remaja, ia berbeda dengan anak-

anak yang lain. Umurnya sembilan belas tahun, ayahnya membawah

Imam An-Nawawi ke Damaskus pada tahun 649 H. Dia bertempat

tinggal di Madrasah Ar-Rawahiyah (Nawawi 2006, 66).

36

Ia banyak menuntut ilmu agama dari gurunya di madrasah Ar-

Rawahiyah namun mengambil sedikit dari kehidupan dunianya hingga

nyaris tidak meminum airnya. Nama harumnya selalu dikenang

sepanjang masa, begitu juga karya-karya dan ilmunya. Ketika Al-Malik

Azh-Zhahir tergila-gila dengan angan-angannya dan nafsunya

menyuruh berbuat zhalim, para ahli fiqih menjerumuskannya untuk

menjual akhiratnya dengan emas. Saat itu yang tersisa dalam

memberikan dukungan untuknya adalah Syaikh Muhyiddin An-

Nawawi .

Imam An-Nawawi datang kepadanya dan membuatnya takut.

Dia menyatakan fatwanya dan berkata, “Sungguh mereka telah

memberikan fatwa yang batil kepadamu. Kamu tidak berhak menarik

iuran (pajak) dari rakyat hingga kas di Baitul Mal habis, dan kamu

serta istri-istrimu, budak-budakmu dan para pejabatmu harus

mengembalikan apa yang telah kamu ambil dari hak mereka

sebenarnya, kamu kembalikan lagi ke Baitul Mal” (Nawawi 2006, 64).

Syaikh An-Nawawi mengucapkannya dengan tegas. Setelah dia

keluar, raja Azh-Zhahir berkata, “putuslah jabatan-jabatan dan gaji

ahli Fikih ini maka orang yang disekitar raja mengatakan,

“Sesungguhnya dia tidak punya jabatan, juga tidak mengambil gaji.”

Sang raja bertanya, darimana dia makan? “dari makanan yang dikirim

oleh ayahnya. ”Sang raja berkata, “demi Allah, aku hendak

membunuhnya, namun aku melihat seakan-akan singa sedang

membuka mulutnya di antara aku dan dia, jika aku mendekatinya,

maka singa itu akan memakanku.” Kemudian sang raja merasakan

sesuatu dalam hatinya ketika itu dan meminta perdamaian dengan

Syaikh An-Nawawi, sungguh dia tidaklah fakir.

Namun Syaikh An-Nawawi menjadi terkenal di belahan timur

dan barat, di tempat yang dekat maupun jauh, begitu juga karya-

37

karyanya yang menuangkan isi-isi yang jelas dan terang, yang pada

masa sekarang menjadi rujukan fatwa dan amal (Nawawi 2006, 65).

3.1.4. Metode Istinbath Hukum Imam An-Nawawi

Istinbath merupakan sistem atau metode para mujtahid yang

digunakan untuk menemukan atau menetapkan suatu hukum.

Istinbath erat kaitannya dengan fikih, karena sesungguhnya fikih dan

segala hal yang diberikan dengannya, merupakan hasil ijtihad para

mujtahid dalam menetapkan hukum dari sumbernya.

Metode istinbath hukum yang dipakai Imam An-Nawawi pada

dasarnya adalah sama dengan istinbath hukum yang dipergunakan

oleh Imam Syafi’i, hal ini disebabkan karna Imam An-Nawawi

merupakan salah satu ulama golongan Syafi’iyah. Selain itu tidak ada

pembahasan khusus mengenai metode istinbath hukum yang

dilakukan oleh Imam An-Nawawi, baik berupa buku yang ditulis

olehnya maupun oleh muridnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui

metode istimbath hukum yang dipergunakan Imam An-Nawawi

sangat perlu kiranya terlebih dahulu penulis paparkan metode

istinbath hukum Imam Syafi’i.

Mazhab Syafi’i ini dibangun oleh Imam Muhammad Ibnu Idris

Asy-Syafi’i seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib (Ash-

Shiddieqy 1997, 119). Pola pemikiran dalam memahami hukum Islam

Imam Syafi’i ini sama dengan Imam Mazhab lainnya dari Mazhab

Imam empat yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad ibnu

Hambal adalah termasuk golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.

Golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam bidang furu’ terbagi

kepada dua aliran di antaranya adalah aliran Ahlu al-Hadits dan aliran

Ahlu al-Raʹyi. Imam Syafi’i termasuk dalam aliran Ahlu al-Hadits. Oleh

karena itu, meskipun Imam Syafi’i digolongkan sebagai orang yang

beraliran Ahlu al-Hadits, namun pengetahuannya tentang fiqih Ahlu

38

Al-Raʹyi tentu akan memberi pengaruh kepada metodenya dalam

menetapkan hukum (Yanggo 1997, 124).

Imam Syafi’i menjelaskan kerangka dan dasar-dasar

madzhabnya dan juga beberapa contoh bagaimana merumuskan

hukum-hukum far’iyah di dalam kitabnya al-Risalah. Menurut Imam

Syafi’i, Al-Qur’an dan Hadits adalah berada dalamsatu tingkat, dan

bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan

teori istidlal seperti qiyas, istiḥsan, dan lainnya hanyalah merupakan

suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari

sumber utamanya tadi.

Pemahaman integral terhadap Al-Qur’an dan Hadits ini

merupakan karakteristik yang menarik dari pemikiran fiqh Syafi’i.

Menurut Imam Syafi’i, kedudukan Hadits dalam banyak hal adalah

sebagai penjelas dan penafsir sesuatu yang tidak dijelaskan oleh Al-

Qur’an. Oleh karena Sunnah Nabi tidak berdiri sendiri, tetapi punya

keterkaitan erat dengan Al-Qur’an. Imam Syafi’i juga mempunyai

pandangan yang dikenal dengan qaul al-qadim dan qaul al-jadid. Qaul

al-qadim juga terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Ḥujjah, yang

dicetuskan di Irak. Sedangkan qaul al-jadid nya terdapat dalam

kitabnya yang bernama al-Umm yang dicetuskan di Mesir.

Menurut Imam Syafi’i struktur hukum Islam dibangun di atas

sumber-sumber hukum yang terdiri atas Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan

Qiyas. Meskipun ulama sebelumnya juga menggunakan empat dasar di

atas, tetapi rumusan Imam Syafi’i punya nuansa dan paradigma baru,

penggunaan ijma’ misalnya tidak sepenuhnya mengikuti rumusan

Imam Malik yang sangat umum dan tanpa batas yang jelas. Bagi Imam

Syafi’i ijma’ merupakan metode dan prinsip dan karenanya ia

memandang konsensus orang-orang umum sebagaimana dinyatakan

Imam Malik dan ulama-ulama Madinah.

39

Satu hal yang perlu diketahui bahwa Imam Syafi’i tidak

bersikap fanatik terhadap pendapat-pendapatnya, hal ini nampak

pada suatu ketika ia pernah berkata: “Demi Allah aku tidak peduli

apakah kebenaran itu nampak melalui lidahku atau melalui lidah

orang lain” (al-Qardawi 2002, 190).

Adapun penjelasan dari masing-masing sumber hukum

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an

Sebagaimana imam-imam lainya Imam Syafi’i menempatkan

Al-Qur’an pada urutan pertama, karena tidak ada sesuatu kekuatan

pun yang dapat menolak keontetikan Al-Qur’an. Sekalipun sebagian

hukumnya harus diakui masih ada yang bersifat zanni, sehingga

dalam penafsirannya terdapat perbedaan pendapat.

Pemahaman Imam Syafi’i atas Al-Qur’an, ia memperkenalkan

konsep al-bayan. Melalui konsep al-bayan ini, ia kemudian

mengklafikasikan dilalah nas atas ‘amm dan khas. Sehingga ada

dilalah ‘amm dengan maksud ‘amm, ada pula dilalah ‘amm dengan

dua maksud ‘amm dan khas, dan ada pula dilalah ‘amm dengan

maksud khas.

Klasifikasi lain adalah dilalah tertentu yang maknanya

ditentukan oleh konteksnya, ada juga dilalah yang redaksinya

menunjuk arti implisit bukan eksplisit, bahkan ada pernyataan

‘amm yang secara spesifik ditunjukkan oleh sunnah bahwa

maksudnya khusus (Al-Syafi’i t.t, 21).

b. As-Sunnah

Menurut Imam Syafi`i yang dimaksud dengan As-sunnah

adalah Hadits (al-Qardawi 2002, 180). Sunnah selain sebagai

sumber yang kedua setelah Al-Qur’an juga sebagai pelengkap yang

40

menginterpretasikan isi kandungan Al-Qur’an, sehingga

kedudukan Sunnah atas Al-Qur’an sebagai berikut:

1) Ta`kid, menguatkan dan mengokohkan Al-Qur’an.

2) Tabyin, menjelaskan maksud nas Al-Qur’an

3) Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya

dalam Al-Qur’an.

4) Dilalah-dilalah al-Sunnah meskipun hukumnya berdiri sendiri

tidak ada yang bertentangan dengan dilalah nas Al-Qur’an,

karena Sunnah selain bersumber pada wahyu juga ada faktor

lain yang menyebabkan keotentikkan Sunnah yaitu

terpeliharanya Nabi dari dosa dan kekeliruan sejak kecil (al-

Qardawi 2002, 190).

Imam Syafi’i memakai metode, apabila di dalam Al-Qur’an

tidak ditemukan dalil yang dicari maka menggunakan hadits

mutawatir, tidak ditemukan dalam hadits mutawatir baru ia

menggunakan hadits ahad. Meskipun begitu, ia tidak menempatkan

hadits ahad sejajar dengan Al-Qur’an dan juga hadits mutawatir.

Imam Syafi’i menerima hadits ahad mensyaratkan harus

memenuhi beberapa hal sebagai berikut:

1) Perawi dapat dipercaya keagamaannya dan juga tidak

menerima hadits dari orang yang tidak dipercaya

2) Perawinya Dhabit.

3) Perawinya berakal dalam artinya bisa memahami apa yang

diriwayatkan.

4) Hadits yang diriwayatkan tidak menyalahi ahli hadits yang juga

meriwayatkan.

Masalah hadis mursal Imam Syafi’i menetapkan dua syarat:

1) Mursal yang disampaikan oleh tabi`in yang berjumpa dengan

sahabat.

41

2) Ada petunjuk yang menguatkan sanad mursal itu (Yanggo 1997,

130).

Imam al-Syafi’i menanggapi pertentangan Sunnah dengan

membagi kepada dua bagian:

Pertama: Ikhtilaf yang dapat diketahui nasikh-mansukhnya, maka

diamalkanlah yang nasikh.

Kedua: Ikhtilaf yang tidak diketahui nasikh-mansukhnya.

Ikhtilaf yang terakhir di atas, Imam Syafi’i membaginya

dalam dua kategori yaitu: Ikhtilaf yang dapat dipertemukan, Ikhtilaf

yang tidak dapat dipertemukan.

Adapun jika terjadi suatu pertentangan yang tidak dapat

dipertemukan, dalam hal ini, ia menempuh cara berikut ini:

1) Menentukan mana yang lebih dulu dan mana yang baru

kemudian, dan yang terdahulu dianggap mansukh, sehingga

harus dapat diketahui asbab al-wurudnya.

2) Jika tidak diketemukan maka harus dipilih salah satu yang

terkuat berdasarkan sanad-sanadnya.

c. Ijma’

Ijma’ menurut Imam Syafi’i adalah kesepakatan para ulama

diseluruh dunia Islam, bukan hanya di suatu negeri tertentu dan

bukan pula ijma’ kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi’i tetap

berpedoman bahwa ijma’ sahabat adalah ijma’ yang paling kuat.

Imam Syafi’i mendefinisikan ijma’ sebagai konsensus ulama dimasa

tertentu atas suatu perkara berdasarkan riwayat Rasul. Karena

menurutnya mereka tidak mungkin sepakat dalam perkara yang

bertentangan dengan al-Sunnah (al-Syafi’i t.t, 472)

Imam Syafi’i membagi ijma’ menjadi dua yaitu ijma’ sharih

dan ijma’ sukuti. Namum yang paling diterima olehnya adalah ijma’

sharih sebagai dalil hukum. Hal ini menurutnya, dikarenakan

42

kesepakatan itu disandarkan kepada nash, dan berasal dari secara

tegas dan jelas sehingga tidak mengandung keraguan. Sedangkan

Ijma’ sukuti ditolaknya karena tidak merupakan kesepakatan

semua mujtahid. Diamnya mujtahid menurutnya, belum tentu

mengindikasikan persetujuannya. Melihat kondisi kehidupan para

ulama dimasanya yang telah terjadi ikhtilaf dikalangan mereka,

maka menurutnya, ijma` hanya terjadi dalam pokok-pokok fardhu

dan yang telah mempunyai dasar atau sumber hukum (ash-

Shiddieqy 1997, 28).

d. Qiyas

Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama yang

pertama kali mengkaji qiyas (merumuskan kaidah-kaidah dan

dasar-dasarnya) adalah Imam Syafi’i (Zahrah 1997, 298). Dengan

demikian Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah ke empat

setelah Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ dalam menetapkan hukum

Islam (Yanggo 1997, 130).

Ia menempatkan qiyas setelah ijma’, karena ijma’ merupakan

ijtihad kolektif sedangkan qiyas merupakan ijtihad individual.

Syarat-syarat qiyas yang dapat diamalkan menurut Imam Syafi’i

adalah sebagai berikut:

1) Orang itu harus mengetahui dan mengusai bahasa arab.

2) Mengetahui hukum Al-Qur’an, faraid, ushul, nasikh-mansukh,

‘amm-khas, dan petunjuk dilalah nash.

3) Mengetahui Sunnah, Qaul Sahabat, Ijma` dan ikhtilaf dikalangan

ulama.

4) Mempunyai pikiran sehat dan prediksi bagus, sehingga mampu

membedakan masalah-masalah yang mirip hukumnya (al-

Syafi’i t.t, 510)

43

e. Istidlal

Apabila Imam Syafi’i tidak mendapatkan keputusan hukum

dari ijma` dan tidak ada jalan dari qiyas, maka barulah ia

mengambil dengan jalan istidlal, mencari alasan, bersandarkan atas

kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang terakhir yang

disebut “syar`u man qablana” dan tidak sekali-kali mempergunakan

pendapat atau buah pikiran manusia, juga ia tidak mau mengambil

hukum dengan cara istihsan, seperti yang biasa dikerjakan oleh

ulama dari pengikut Imam Abu Hanifah di Bagdad dan lain-lainnya

(Chalil 1995, 245)

3.2. Biografi Dan Metode Istinbath Ibnu Hazm

3.2.1. Biografi Ibnu Hazm

Nama lengkapnya adalah Ali Ibn Ahmad Ibn Sa’id Ibnu Hazm

Ibn Ghalib Ibn Ṣalih Ibn Sufyan Ibn Yazid. Kun-yahnya Abu

Muhammad, dan nama inilah yang sering dipergunakan dalam kitab-

kitabnya, akan tetapi dia lebih terkenal dengan nama Ibnu Hazm

(Shidieqy 1997, 545). Ibn Hazm lahir pada hari terakhir bulan

Ramadhan tahun 384 H/994 M di Manta Lisyam (Cordoba) (Syararah

t.t , 35).

Ayahnya, Ahmad bin Sa'id, termasuk golongan orang cerdas

yang memperoleh kemuliaan di bidang ilmu dan kebudayaan. Karena

kecerdasannya itulah, ia merasa heran terhadap orang yang kacau

dalam perkataannya, ia berkata "Sungguh saya heran terhadap orang

yang kacau balau dalam khithabah (pidato)-nya, atau tidak tepat

dalam penulisannya (Himayah 1983, 53). Karenanya, jika orang

tersebut ragu dalam sesuatu, ia harus meninggalkannya dan

berpindah pada hal yang tidak meragukannya, karena sesungguhnya

kalam lebih luas daripada ini (Hamidi 1966, 126).

Kakeknya bernama Yazid adalah berkebangsaan Persia,

Maulana Yazid ibn Abi Sufyan, saudara Mu’awiyah yang diangkat oleh

44

Abu Bakar menjadi panglima tentara yang dikerahkan untuk

mengalahkan negeri Syam. Dengan demikian Ibnu Hazm adalah

seorang yang berkebangsaan Persia yang dimasukkan kedalam

golongan Quraisy dengan jalan mengadakan sumpah setia dengan

Yazid ibn Abu Sufyan, karenanya Ibnu Hazm memihak kepada bani

Umayah (Shidieqy 1997, 545).

Leluhurnya yang bernama Khalat berdiam di Andalusia, dan

memeluk agama Islam melalui moyangnya yang bernama Yazid. Yazid

masuk agama Islam, setelah ia berhubungan dengan Yazid bin Abu

Sufyan (wafat di Damaskus 639 M/18 H, saudara kandung dari

khalῑfah pertama bani Umayah, Mu’awiyah bin Abu Sufyan) (Nasution

1992, 358).

Ibnu Hazm dibesarkan dalam keluarga kaya. Namun demikian

ia memusatkan perhatiannya mencari ilmu, bukan mencari harta dan

kemegahan. Ia menghafal al-Qur'an di rumahnya sendiri, diajarkan

oleh pengasuh yang merawatnya. Ayahnya memberi perhatian yang

penuh kepada pendidikannya dan memperhatikan bakat dan arah

kehidupannya. Oleh karena gerak-geriknya di dalam istana diawasi

dengan ketat oleh pengasuhnya, maka terpeliharalah dia dari sifat-

sifat anak muda. Ia mempelajari ilmu-ilmu yang biasa dipelajari oleh

pemuda-pemuda bangsawan dan penguasa, yaitu menghafal al-

Qur'an, menghafal sejumlah syair, dan menghadapi guru-guru utama

untuk memperoleh ilmu dan meneladani akhlak mereka.

Ibnu Hazm tumbuh berkembang dengan diliputi kenikmatan,

kesenangan dan kemewahan. Sebuah kondisi yang biasa dialami oleh

putra-putri para menteri dan para penguasa yang tidak pernah

kesulitan dalam rezeki dan pemenuhan harta benda. Ibnu Hazm

merasakan kenikmatan ini yang dilukiskan dalam karyanya Ṭauq al-

Hamamah yang menggambarkan tentang keluasan rumah yang

45

dipenuhi para pelayannya. Kenikmatan dan kekayaan telah terpenuhi

oleh ayah Ibnu Hazm (Himayah 1983, 56).

Kehidupan keluarga Ibn Hazm yang berbahagia dan

berkecukupan ini tidak berlangsung lama. ketika itu ayahnya sebagai

salah seorang menteri pada akhir pemerintahan umayyah yang

pertama di Andalus, bencana menimpanya ketika terjadinya

pergantian penguasa.Sebagai seorang pemangku kekuasaan Khalifah

Umawiyah, Hisyam, Abu Mansur al-Amiri telah bertindak sedemikian

jauh. Khalifah tidak lebih dari sebuah boneka belaka. Karena itu, tidak

aneh bila di sana-sini sering terjadi pemberontakan, yang dimulai

sejak tahun 398 H hingga waktu yang tidak ditentukan.

Para pemberontak menyerang, merampok dan mengobrak-

abrik Cordoba barat. Akibatnya, terjadi pengungsian besar-besaran.

Keluarga Ibn Hazm terpaksa mengungsi kekediaman lamanya

diCordoba timur tempatnya desa Bilat Magis pada tahun 399 H. Dalam

kondisi yang tidak menentu inilah Ahmad ayah Ibn Hazm dipanggil ke

hadirat Allah SWT pada tahun 402 H (Zahrah 1997, 29).

Ibnu Hazm pernah berdiam di suatu pulau mengepalai jama’ah

di tempat itu. Di pulau ini pula beliau mendapatkan kebebasan

berdiskusi untuk mengembangkan pendapatnya. Berbagai ilmu

keislaman sempat dikuasainya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, usul fiqh,

ilmu kalam, ilmu kedokteran, sejarah dan bahasa Arab. Dia menekuni

dan mendalami ilmu-ilmu keislaman, terutama setelah ia

meninggalkan suatu jabatan dalam pemerintahan waktu itu.

Dia dipandang kurang berwibawa, bahkan mendapat kecaman

dari berbagai ulama. Karena itu, jabatan itu ia tinggalkan dan

memutuskan untuk selanjutnya mendalami ilmu-ilmu keislaman,

terutama mengenai aliran-aliran hukum dalam Islam. Sehingga pada

akhirnya ia muncul sebagai seorang ulama yang kritis, baik terhadap

46

ulama pada massanya maupun ulama sebelumnya (Shidieqy 1997,

548).

Begitu mendalam kajian Ibnu Hazm terhadap ilmu yang

dikuasainya, sehingga diriwayatkan, jarang ada orang yang dapat

menandinginya di masa itu. Dan begitu tajam kritiknya terutama

terhadap ulama yang tidak sealiran dengannya sehingga ia mendapat

tantangan berat dari para ulama pada massanya. Beberapa kali ia

difitnah dan diajukan ke penguasa, sehingga pada akhirnya ia diusir

kesuatu perkampungan terpencil Mantalalsam, dan disana ia wafat

pada bulan Sya’ban 456 H (Shidieqy 1997, 359). Tepatnya pada

malam Senin tanggal 28 Sya’ban tahun 456 Hijriyah/15 Juli 1064

Masehi Ibnu Hazm meninggal dunia setelah memenuhi hidupnya

dengan produktifitas ilmu, perdebatan dalam membela kebenaran dan

jujur dalam keimanan. Ibnu Hazm meninggal dalam umurnya yang ke

72 tahun (Farid 2008, 664).

3.2.2. Pendidikan Ibnu Hazm

Selaku anak dari seorang wazir, pada masa kecilnya ia telah

diasuh dan dididik oleh para inang pengasuhnya. Setelah menginjak

dewasa ia mulai belajar menghafal “al-Furqatu al-Qur'an” yang

dibimbing oleh Abu al-Husain al-Fasi, seorang yang terkenal saleh,

zahid, dan tidak beristeri. Al-Fasi inilah guru yang pertama kali

membentuk dan mengarahkan Ibnu Hazm sehingga didikannya

tersebut sangat terkesan dan membekas pada diri Ibnu Hazm

(Shidieqy 1997, 556).

Guru pertama Ibnu Hazm adalah Abu Umar Ahmad bin

Muhammad bin al-Jaswar sebelum tahun 400 H. Sedangkan dibidang

logika adalah Muhammad al-Hasan al-Maẓhaji yang dikenal dengan

sebutan “Ibnu al-Kattanῑ” yang dikenal sebagai penyair, ahli sastra dan

dokter dengan beberapa karangannya. Dan meninggal setelah tahun

400 H. Ibnu Hazm ketika terkenal dengan karyanya, at-Tauq

47

bersahabat dengan Abu Ali al-Husein al-Fasi yang dikenal menjadi

panutan dibidang akhlak dan agama. Ia juga belajar ilmu fiqh dan

hadis dari Ali Abdullah al-Abdi yang dikenal dengan sebutan al-Farḍi.

Di Cordoba, gurunya yang satu ini tidak tertandingi di bidang keluasan

periwayatan dan hafalan hadis, pengetahuan tokoh-tokoh hadis,

kecenderungan pada ilmu pengetahuan dan sastra, dan kefasihan

(Himayah 1983, 59).

Pada mulanya Ibnu Hazm mempelajari fiqh maẓhab Maliki,

karena kebanyakan masyarakat Andalusia dan Afrika utara menganut

Maẓhab ini. Al-Muwatta’ sebagai kitab fiqh standar dalam maẓhab ini

dipelajari dari seorang guru yang bernama Ahmad bin Muhammad bin

Jasur. Tidak hanya al-Muwatta’, Ibnu Hazm juga mempelajari kitab

Ikhtilaf karya Imam Malik. Menurutnya, meskipun ia menyukai

maẓhab Maliki akan tetapi ada yang lebih disenanginya yaitu

kebenaran. Hasil pemahaman Ibnu Hazm dari kitab tersebut

mendorongnya untuk pindah kepada maẓhab Imam Syafi’iy (Anshori

1998, 148).

Ibnu Hazm memiliki jiwa dan pikiran yang bebas, tidak mau

terikat pada suatu maẓhab. Di samping beliau mengikuti mazhab

Imam Syafi’i, dia juga mempelajari mazhab ulama-ulama Iraq yaitu

mazhab Hanafi, meskipun maẓhab ini tidak berkembang di Andalusia,

namun di sana juga terdapat ulama-ulama selain mazhab Maliki.

Kepada merekalah Ibnu Hazm belajar, dengan mempelajari mazhab-

mazhab lain dan melakukan perbandingan terhadap mazhab-mazhab

tersebut menjadikan Ibnu Hazm tertarik kepada mazhab Dzahiri yang

dikembangkan oleh Abu Sulaiman Daud ibn Ali al-Asqalani. Mazhab

Dzahiri ini berprinsip hanya perpegang pada nas atau asar, dan

apabila tidak terdapat pada nas yang dapat ditemukan barulah

dipakai istinbat sebagai dalil pengganti.

48

Mazhab ini berkembang di Andalusia hingga abad ke-5

Hijriyah. Kemudian berangsur-angsur mundur, hingga lenyap sama

sekali di abad ke-8. Di antara ulama besar yang membela dan

mempertahankan prinsip-prinsip maẓhab ini adalah Abu Muhammad

Ali Ibnu Hazm al-Andalusia, wafat tahun 456 H. Beliau inilah yang

telah membukukan mazhab Dzahiri dan telah menulis beberapa buku

besar baik dalam bidang ushul maupun dalam bidang fiqih (Shidieqy

1997, 130).

Dalam perjalanan mencari dan memperdalam ilmunya Ibnu

Hazm mempunyai guru-guru yang memberikan pelajaran kepadanya

antara lain:

1. Yahya bin Mas’ud bin Wajh Al-Jannah.

2. Abu Umar bin Muhammad Al-Jasur.

3. Yunus bin Abdillah bin Mughits Al-Qadhi.

4. Hammam bin Ahmad Al-Qadhi.

5. Muhammad bin Said bin Banat.

6. Abdullah bin Rabi’ At-Tamimi.

7. Abdurrahman bin Abdillah bin Khalid.

8. Abdullah bin Muhammad bin Utsman.

9. Abu Umar Ahmad bin Muhammad Ath-Thalamkani.

10. Abdullah bin Yusuf bin Nami.

11. Ahmad bin Qasim bin Muhammad bin Ushbuqh (Farid 2006, 673).

Sebagai ulama yang besar Ibnu Hazm juga memiliki murid-

murid, dintara murid-muridnya adalah:

1. Abu Rafi’ Al-Fadhl (anaknya).

2. Abu Abdillah Al-Humaidi.

3. Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi.

4. Abu Al-Hasan Syuriah bin Muhammad (Farid 2006, 674).

Semasa hidupnya, Ibnu Hazm telah menyusun banyak karya

tulis yang berkaitan dengan masalah fiqh, usul fiqh, maupun ilmu

49

hadits , disamping ilmu-ilmu yang lain. Dr. Abdul Halim Uwais

mengatakan, “ terdapat kesepakatan di antara para sejarawan bahwa

Ibnu Hazm adalah ulama yang paling banyak karya-karyanya.

Kebenaran sejarah ini telah siperkuat oleh murid Ibnu hazm, Sha’id

dan Abu Rafi’(Farid 2006, 674).

Sha’id meriwayatkan dari Abu Safi’ bahwa ayahnya mempunyai

karya-karya dalam bidang fiqih, usul fiqih, hadits, mustalah hadits,

aliran-aliran agama-agama, sejarah sastra, silsilah dan karya-karya

apologetik yang berjumlah kurang lebih 80.000 lembar yang ditulis

dengan tangan sendiri. Karya-karya Ibn Hazm tidak dapat diketahui

semua. Antara lain karya-karya Ibnu Hazm yaitu:

a. Bidang Sastra

1) Diwan As-Syi’ri.

2) Tauq Al-Hamamah fi Al-Ifati wa Al-Ilaf.

3) Al-Akhlaq wa as-Siyar fi Mudawa an-Nufus.

b. Bidang Fiqih

1) Al-Isal ila Fahmi Al- Khisal.

2) Al- Khisal Al-Jami’ah.

3) Al-Muhalla (Farid 2006, 675).

c. Bidang usul Fiqh

1) Al-Ihkam fi Usul Al-Ahkam.

2) Manzhumah fi Qawa’id Ushul Fiqh Azh-Zhahiriyah.

3) Maratib Al-Ijma’au Mutaqa Al-Ijma’.

4) Kasy Al-Iltibas ma baina Ashab Az-Zahir.

d. Bidang Perbandingan Agama

1) Al-Fisal fi Al-Milal wa An-Nihal wa Al-Ahwa’

2) Izharu Tabdil Al-Yahudi wan An-Nasara li At-Taurah wa Al-Injil

wa bayani Tanaqud Ma bi Aidihim min Zalika mimma

LaYahtamil at-Ta’wil

e. Bidang Aliran-Aliran Agama

50

1) An-Nasha’ih Al-Munjiyah wa Al-Fadha’ih Al-Mukhziyah li Jami’

asy-Syi’ah wa Al-Khawarij wa Al-Mu’tazilah wa Al-Murji’ah.

2) Kitab Izhar Tabdil Al-Yahud wa An-Nashara li At-Taurat wa Al-

Injil wa Bayan Tanaqudhi ma bi Aidihim minha min ma la

Yahtamil At-Ta’wil.

3) As-Sadi’ wa ar-Radi’.

f. Bidang Hadits

1) Syarh Hadits Al-Muwattaa’ wa al-Kalam ala Masalih.

2) Kitab Al-Jami’ fi Sahih Al-Hadits.

g. Bidang Sejarah

1) Jamharah al-Ansab Al-Arab.

2) Al-Imamah wa Al-Khilafah.

3) Al-Fihrasah.

h. Bidang Filsafat

1) At-Tarib Li Hadd al-Mantiq.

2) Al-Maratib al-Ulum.

3) Kitab fi Ar-rad’ala Al-Khindi Al-Failusuf (Farid 2006, 676).

3.2.3. Kondisi Sosial dan Politik

3.2.3.1. Kondisi Sosial

Ibn Hazm seorang yang suka berdebat dengan para ahli

fikih dengan keras, sengit, dan gigih. Pada dirinya terhimpun

berbagai macam sifat saling berlawanan : tabiat lembut,

pandangan luas, dan kesegaran jiwa. Akan tetapi, ia juga

mempunyai sifat kepala sempit pikiran, emosional, fanatik pada

apa saja yang diyakini benar, dan menolak selain itu. Ia juga

memperdebatkan berbagai masalah dari berbagai sudut pandang.

Bila ia sampai kepada pendapat yang diyakini benar,

dengan serta-merta ia mengecam semua orang yang tidak

sependapat dengannya, mengolok-ngolok dan melontarkan

berbagai tuduhan; tidak peduli apakah orang yang dikecamnya itu

51

terhormat ataupun terpandang. Oleh karena itu, ia disenangi oleh

beberapa orang hingga berani menentang para penguasa pada

zamannya. Akan tetapi, ada juga orang-orang yang tidak

menyukainya hingga mereka mau mengorbankan ajaran-ajaran

agama dan prinsip-prinsip moral manakala menerima bujukan

penguasa (Syarqawi 2000, 569).

Ia suka menghadiri pertemuan-pertemuan yang bersifat

hiburan. Disana ia senang mendengarkan pembicaraan kaum

cerdik pandai pada zamannya sambil mendengarkan nyanyian-

nyanyian merdu hingga saat tedengar suara azan menjelang

subuh saat itu, baru ia pulang kerumah untuk menunaikan shalat.

Akan tetapi, dikemudian hari ia suka mengasingkan diri siang-

malam, menjauhi sering bergadang dan berbincang dengan kaum

cerdik pandai. Dia tekun membaca, menulis dan berolah pikir.

Kemudian ia keluar meninggalkan rumah untuk

mengahadiri pertemuan ilmiah. Disana ia mendengarkan dan

menerima, lalu berdialog dengan guru-guru dan kaum cerdik

pandai. Setelah itu ia mengajar muridnya (Syarqawi 2000, 570).

Ibnu Hazm lahir dan wafat di Andalusia- negeri kaum muslim

yang terindah dan paling sejahtera-selama kurun tertentu yang

sarat dengan keburukan sepanjang sejarah Islam (Farid 2006,

664). Ketika itu, negara Islam yang terbesar di Andalusia sudah

terkoyak-koyak menjadi negara yang merosot.

Zaman Khalifah besar yang bertekat kuat telah lampau,

diganti zaman berikutnya, yaitu zaman para penguasa yang

berbudi rendah. Satu sama lain saling menjatuhkan dan dengki;

yang satu berusaha mengulingkan yang lain dengan berbagai cara.

Negara yang satu menggerogoti negara yang lain, bahkan ada

diantara negara-negara gurem itu yang bersekutu dengan

52

kekuatan Eropa yang sangat berambisi mengembalikan seluruh

wilayah Andalus ke dalam gengamannya (Syarqawi 2000, 570).

Akibat kemerosotan moral para penguasa di Andalusia itu,

mercu suar pengetahuan di Cordova menjadi pudar dan akhirnya

padam. Padahal dimasa lalu, Cordova memancarkan sinar

pengetahuan ke daerah-daerah sekitar, bahkan sampai ke

kawasan-kawasan Eropa. Cordova yang semula merupakan ibu

kota besar pada zaman keemasan Andalus, akhirnya berubah

menjadi salah satu negara yang suka berpoya-poya. Sifat-sifat

penduduknya pun turut berubah, dari manusia-manusia yang giat

belajar dan bekerja menjadi manusiamanusia yang gemar

berpesta pora.

Khazanah buku-buku pengetahuan hilang di Cordova

hilang berantakan tak diketahui kemana perginya. Padahal

sebelum itu, Khazanah kepustakaan di Cordova demikian kaya,

sejarah tidak mengenal adanya khazanah kepustakaan kaya,

sekaya yang ada di Cordova pada zaman keemasan Andalusia.

Akan tetapi kemudian, penduduk berubah kebiasaan, dari semula

yang gemar membaca buku menjadi gemar hidup dikelilingi oleh

wanita yang cantik molek.

Kaum kaya yang dulunya berlomba-lomba membelanjakan

uang untuk membeli buku-buku baru, telah berubah pula menjadi

gemar menghamburkan uang untuk berfoya-foya, padahal dimasa

lalu, penulis buku dikawasan Arabia timur berpacu menerbitkan

karya-karyanya di Andalusia, sebelum terbit di negara mereka

sendiri, seperti yang dilakukan oleh penulis buku al-Aghni. Sejak

berubahnya Andalus menjadi negara yang suka berhura-hura dan

Cordova pun sudah kehilangan pamornya, orang bersaing

menghamburkan uang untuk membeli budak-budak kulit putih

53

berasal dari Perancis, Itali, dan dari kepulauan terdekat di

samudera atlantik dan di laut tengah (Syarqawi 2000, 571).

Pada masa itu, pemikiran orang Arab di Andalusia telah

meninggalkan tradisi Islam, seperti keberanaian berkelana serta

semangat mengungkapkan sesuatu yang belum diketahui, dan

memperkaya kehidupan dengan berbagai bentuk nilai tambah.

Pemikiran mereka pada saat itu sudah sangat merosot dan

terperosok ke dalam kejumudan serta taklid buta (Mursi 2013,

452). Banyak yang menganggap guru-guru Agama sebagai “

Waliyyullah”, lalu meminta tolong kepada mereka agar

keinginannya terkabul tanpa berbuat apa pun (Syarqawi 2000,

571).

Pada zaman itu juga terjadi musim kemarau, sebagian

wilayah Andalusia sangat kekurangan air. dalam waktu lama,

hujan tidak turun hingga penduduk dilanda kehausan dan

kekeringan. Akan tetapi kaum muslim di daerah bukannya

menyelengarakan salat Istisqa dan berharap agar Allah berkenan

mengabulkan permohonan mereka dengan menurunkan hujan,

mereka malah berbuat yang tidak semestinya dilakukan oleh

kaum beriman. Mereka beramai-ramai menghadapkan diri pada

sebuah peci (Qalansuwah) yang para orang tua mereka

mengambilnya dari Imam Malik. Dengan perantaran peci itu,

mereka memohon kepada Allah agar menurunkan hujan

(Syarqawi 2000, 572).

Di saat-saat pembendaharaan negara kosong dan tidak

sanggup mengeluarkan biaya pertahanan yang diminta angkatan

perang, salah seorang pengeran disebuah negara justru

membangun istana besar dan megah. Disekitarnya dibuat taman-

taman indah yang sarat dengan pepohonan, bunga warna warni,

dan jenis-jenis unggas yang langka. Dan selain itu ia juga

54

memerintahkan pembuatan sungai mini dari puncak sebuah

gunung untuk menyalurkan air ke parit dipertamanannya apabila

salju dipuncak gunung itu mencair pada waktu musim kemarau

tiba.

Air yang mengalir berkelok-kelok ditaman itu bermuara

disebuah kolam seluas telaga, yang lantai dasarnya terbuat dari

marmer berwarna kebiru-biruan yang sangat indah dan mahal

harganya. Sedangkan bagian-bagian dalam kolam raksasa itu

dihiasi dengan taburan batu permata dan batu manikam. Kolam

yang demikian indah dan mewah itu disediakan khusus bagi selir-

selir kulit putih yang berasal dari Perancis bagian selatan. Pada

siang hari musim kemarau, mereka bersantai, mandi sinar

matahari. Dimalam hari, mereka bercengkrama ditengah remang-

remang cahaya bulan dan lampu-lampu terang benderang

(Syarqawi 2000, 573).

Dalam suasana kemewahan melimpah-ruah yang lebih

diperindah lagi oleh panorama alam sekitar yang sangat romatis

dan ditengah kerusakan masyarakat yang terus bertambah parah,

dalam suasana itulah Ibnu Hazm tumbuh dan di besarkan.

Hidupnya sibuk dengan urusan-urusan politik, sastra, ilmu fikih,

dan puisi. Ia mengikuti berbagai cabang ilmu seperti filsafat,

semantik, sosial, astronomi, matematika dan psikologi. Dia yang

menamai cabang ilmu dan pengetahuan yang dikuasaianya itu, ia

kemudian berkecimpung ditengah kehidupan masyarakatnya.

Melalui cara itu, ia dapat menyaksikan kenyataan dengan

jelas dan dapat mengambarkan sekecil-kecilnya kerusakan dan

kezaliman yang sesungguhnya sedang melanda kehidupan

masyarakat dari lubuk hatinya. Timbullah reaksi untuk menolak

keadaan yang mewarnai masyarkat, lalu ia bertekat mendobrak

55

kenyataan lama hendak mengantikan dengan pembangunan yang

baru.

Ibnu Hazm meninggalkan buku-buku yang ditulisnya

sendiri, yang jumlahnya tidak kurang dari 400 buah (Mursi 2013,

452). Untuk mencapai tujuan itu, ia tidak membatasi kegiatannya

pada menekuni buku-buku ilmiah saja. Ia bahkan langsung

berkecimpung didalam pergolakan politik. Ia tidak ketingalan

mengikuti gerakan-gerakan bersenjata. Ia seorang yang mengenal

kasih sayang dan mengenal kesenangan hidup, tetapi ia juga

mengenal bebagai macam kebusukan yang sedang meracuni

kehidupan masyarakatnya.

Kendati ia seorang ahli fikih kenamaan yang diintai musuh-

musuhnya, namun ia tidak segan-segan menyatakan secara

terang-terangan semua yang dialami dan disaksikan sendiri. Ia

menguak semua itu dengan pernyataan yang jelas, gamblang dan

sedap didengar. Ia tidak mau menutupi kenyataan dengan

ungkapan-ungkapan semu atau kata-kata bersayap (Syarqawi

2000, 574).

Ibnu Hazm sering tidak mau keluar sama sekali dari kamar

kerjanya, dan sering pula menolak orang-orang yang hendak

menjenguk atau hendak menemuinya. Tabiat yang demikian itu

sangat menjengkelkan teman-teman dan tamu-tamunya. Akan

tetapi, bila sudah berhenti bekerja dan keluar meninggalkan

kamar, ia mendatangi mereka dan meminta maaf, lalu bersantai

bersama mereka. Ia berfikir, jika tidak keras mendisiplinkan

dirinya dalam bekerja, tentu tidak akan mnghasilkan apa-apa.

Baginya, bekerja adalah ibadah. Menurutnya, orang yang sedang

menyendiri untuk menekuni ibadah tidak boleh bergeser dengan

alasan atau desakan apa pun sebelum menyelesaikan ibadah yang

ditekuninya.

56

Ibn Hazm sempat beristeri dan beranak pinak. Ibn Hazm

memiliki 3 orang anak yang merupakan tokoh-tokoh ulama dan

cendekiawan serta penerus perjuangan yang telah dirintiskannya.

Mereka adalah Abu Rafi’ Fadl, Abu Sulaiman al-Mus’ab dan Abu

Salamah Ya’qub. Yang paling menguasai ilmu Ibn Hazm adalah

Abu Rafi’. Ia merupakan seorang ulama yang diperhitungkan

(Zahrah 1997, 54)

Ibn Hazm meninggal dunia pada 28 Sya’ban tahun 456 H/ 5

April 1064 di Manta Lisyam (Syararah t.t, 50).

3.2.3.2. Kondisi Politik

Pada masa kelahiran Ibnu Hazm, negeri Andalus bukan lagi

negeri Andalus yang kuat dan bersatu. Kekhalifahan di Andalus

pada saat itu berada ditangan Hisyam al-Mu’ayyad, salah seorang

khalifah terakhir di negeri itu. Pada masa itu negara Andalus

sudah terkoyak-koyak menjadi kepingan negara-negara atau

kesultanan-kesultanan yang saling bergontokan, jegal-menjegal

berebut kekuasaan atas negara gurem tetangganya (Syarqawi

2000, 561).

Dengan kata lain di masa Ibnu Hazm hidup, merupakan

gambaran hidup umat Islam Andalus mengalami puncak tragis,

dimulai dengan naiknya Hisyam al-Muayyad ke singgasana

kekuasaan dalam usia lebih kurang 11 tahun. Karena usianya yang

sangat muda ia belum mampu memerintah, maka untuk

melaksanakan pemerintahan diangkatlah ibunda ratu Subaihah

menjadi pemangku kerajaan. Dan ibunya itu mengangkat

Muhammad Ibn Abdullah Ibn Abi Amir yang terkenal dengan gelar

Ali Malikul Mansur menjadi perdana menteri dan kepadanya

diserahkan semua urusan pemerintah (Usman 1981, 31).

Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Ali Malikul Mansur

ini, dia berhasil melakukan revolusi dan perubahan status khalifah

57

Bani Umayyah ketangannya. Dengan keberhasilannya

memindahkan Khalifah kepada dirinya hanya dalam waktu yang

singkat. Dari sinilah ia membangun daulah atas dirinya sendiri

dan diberi nama daulah Amiriyyah (Halim 1990, 31).

Pada masa ini Negeri Andalus dilanda kemerosotan politik,

sosial, moral dan juga di bidang penghayatan agama. Ketika Ibnu

Hazm berumur 15 tahun, terjadi pemberontakan yang digerakkan

oleh sejumlah pangeran. Pemberontakan itu berhasil

menggulingkan Khalifah Hisyam al-Mu’ayyad berkat dukungan

orang-orang Arab sendiri, orang-orang Barbar, dan orang Eropa.

Oleh penguasa yang baru, ayah Ibnu Hazm dipecat sebagai

Menteri dan ditahan beberapa lama, kemudian dibebaskan

(Syarqawi 2000, 562).

Ketika Ibnu Hazm berumur 20 tahun dia ditinggal wafat

ayahnya. Ayahnya wafat hari Sabtu sore tanggal 28 Dzulhijjah 402

H. Setelah ditinggal wafat ayahnya, ia pergi meninggalkan Cordova

menuju Almeria, sebuah kota kecil di daerah Granada untuk

mencari ketenangan, di sana ia memanfaatkan waktunya untuk

menghadiri pelajaran-pelajaran di halaqah-halaqah dan membaca

buku-buku di rumah. Di Cordova pangeran-pangeran Bani

Umayyah bertarung terus berebut kekuasaan.

Pada akhirnya kekuasaan jatuh ketangan ‘Awaliyyin. Ibnu

Hazm khawatir akan dikejar-kejar penguasa, karena ia keturunan

orang Bani Umayyah yang datang pertama di Andalusia. Apa yang

dikhawatirkannya itu benar terjadi, ia dituduh berkomplot

dengan kaum yang menentang ‘Alawiyyin, lalu ia dijatuhi

hukuman pengucilan kemudian dilepaskan kembali. Ketika Ibnu

Hazm mengetahui bahwa Abdurrahman IV yang bergelar

Murtadha memproklamirkan diri sebagai Khalifah Umayyah di

58

Valencia, maka ia segera meninggalkan Ameria ke Valencia

(Syarqawi 2000, 563).

Ibnu Hazm kembali ke Cordova ketika al-Qasim Ibn Hamud

menjabat sebagai Khalifah, yaitu pada bulan Syawal 409 H, setelah

meninggalkan kota itu lebih kurang 6 (enam) tahun. Setelah

pemerintahan al-Qasi berakhir, kemudian digantikan oleh

Abdurrahnam V yang bergelar al-Muthazir, yaitu sahabat Ibnu

Hazm, kemudian mengangkat Ibnu Hazm sebagai Menteri.

Abdurrahman V dilantik sebagai Khalifah pada bulan Ramadhan

414 H, bertepatan dengan bulan Desember 1023 M.

Namun pemerintahannya berlangsung selama 7 (tujuh)

minggu. Karena Abdurrahman mati dibunuh oleh orang pada

bulan Dzulqaedah 414 H bertepatan bulan Januari 1024 M. Dan

Ibnu Hazm pun sempat ditahan, tetapi tidak ada ketentuan yang

pasti berapa lamanya. Namun yang jelas pada tahun 418 H, ia

sudah berada di Jativa. Pada masa kekuasaan Hisyam III yang

bergelar al- Mu’tadabillah 418-423 H ia diangkat lagi menjadi

Menteri, sampai ia mengundurkan diri dari percaturan politik dan

menekuni bidang ilmiah yaitu menulis dan mengajar (Dahlan

1996, 609).

Ibnu Hazm lari dari kehidupan politik dan menjadi sesosok

yang mencintai ilmu. Kesibukannya bergaul dengan manusia

diubahnya menjadi sibuk dengan buku-buku. Dia menemukan

sesuatu yang membuatnya tidak ragu, menemukan teman yang

tidak diragukan lagi kejujuran cintanya di dalam buku. Dia selalu

mempelajari buku yang ada di hadapannya (Jamal 2005, 120).

3.2.4. Metode Istinbath Hukum

Ibnu Hazm adalah seorang yang bermazhab zhahiriyyah, dalam

ber-istinbath hukum untuk menghadapi studi-studi ke-Islaman, Ibnu

59

Hazm menjelaskan dalam kitabnya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, bahwa

ia dalam ber-istinbath menggunakan empat dasar pokok yaitu :

الأ صول التى لايعرف شئ مذا لشرا نع إلامنهاو أ نها أربعة وىي : نص الق تعا ى ماا ان ونص كلا م رسول الله صلى الله عليو و سلم الذي إنما عن الله

صح عنو عليو اسلا م نقل القات اوالتو اتر وإجما ع جميع علما ءالأ مة اوالدليل منها ولايحتمل إلا وجها واحد

Artinya :Dasar-dasar hukum yang tidak diketahui sesuatu dari syara’

melainkan dari dasar-dasar itu ada empat, yaitu : bersarkan al-Qur’an, berdasarkan perkataan Rasulullah yang sebenarnya datang dari Allah juga yang sahih kita terima dari padanya dan dinukilnya oleh orang-orang kepercayaan atau yang mutawatir dan ijma’ oleh semua umat dan suatu dalil dari padanya yang tidak mungkin menerima selain dari pada satu cara saja (Hazm t.th, 71).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa sumber

dalam menetapkan hukum menurut ibnu hazm ada 4 yaitu:

a. Al-Qur’an

b. Al- Sunnah

c. Al-Ijma’

d. Dalil yang keluar dari nash dan mengandung makna satu.

Keempat dasar inilah yang kemudian dijadikan oleh Ibnu Hazm

sebagai sumber sekaligus metode (Ushul al-Fiqh) dalam menggali

hukum-hukum Allah. Karena memang kitabnya Al-Ihkam fi Ushul al-

Ahkam sendiri diyakini sebagai kitab yang membahas metodologi

yang digunakan Ibnu Hazm dalam menyimpulkan hukum-hukum

Islam.

a. Al-Quran

Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya

melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW dengan

lafadz bahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk

60

menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah,

menjadi peraturan bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan

menjadi qurbah di mana mereka beribadah dengan membacanya

(Khalaf 1994, 18).

Dalam memahami nash orang berselisih memahaminya, hanya

saja daya menanggapilah yang berbeda-beda karena sesuai dengan

daya menurut kekuatan pemahamannya, Ibn Hazm berkata :

ولبيان يختلف فى الوضوح فيون بعضو جلياو بعضو فيافيختلف الناس فى فهمو بعضهم ويتأر بعضهم عن فهمو كما قال على بن ابى طالب

الله رجلا فى دينورضى الله عنو: الا ان يوء Artinya: Penjelasan berbeda-beda keadaannya. Sebagiannya terang

dan sebagiannya tersembunyi. Karena itu manusia berselisih dalam memahaminya, sebagian mereka memahaminya, sedangkan sebagian yang lain tidak dapat memahaminya. Sebagaimana Ali bin Abi Talib mengatakan “terkecuali Allah memberikan kepada seseorang paham (kecerdasan) yang kuat tentang agamanya (Hazm t.th, 88).

Dalam memahami al-Qur’an Ibn Hazm menekankan adanya

kaidah-kaidah bahasa yang harus diketahui oleh Mujtahid dalam

memahami kandungan Al-Qur’an. Oleh karena itu Ibnu Hazm

sangat memperhatikan adannya istisna’, takhshis, taukid dan nasikh

mansukh. Ia menyebut hal itu sebagai bayan, seperti yang

dikatakannya :

إن التخصيص اوالإستناءنوعان من أنوا ع البيان

Artinya: Sesungguhnya takhsis dan istitsna adalah dua macam dari macam-macam al-Bayan (Hazm t.th, 80).

61

Dan perkataannya tentang taukid sebagai berikut:

والتاءكيد نو ع من انو اع البيانArtinya: Ta’kid adalah suatu macam penjelasan (al-Bayan)

(Hazm t.th, 88).

Ibnu Hazm terkadang memakai istilah makhasis sebagai

pengganti istilah nasikh. Ibnu Hazm dalam mengambil zhahir al-

Qur’an ia juga menggunakan makna majaz, karena majaz itu

termasuk bahagian zhahir nash, apabila sudah terkenal

pemakaiannya,atau ada qarinah yang menegaskan. Ibn Hazm selalu

mengambil zhahir nash, sehingga segala Amr untuk wajib, wajib

segera dikerjakan, kecuali ada hal lain yang menetapkan tidak

demikian. Lafadz ‘Am harus diambil umumnya,karena itulah yang

zhahir, terkecuali ada keterangan bahwa yang dimaksud bukan

zhahir (Hazm t.th, 79).

b. Sunnah

Dalam hal ini Ibn Hazm berkata :

لما بينا أن القران ىوالأصل المرجو ع إليو فى الشر انع نظر نافيو فو جدنا فيو جل إيجاب طا عة ماأمر نا بو رسول ىصلى الله عليو وسلم ووجدناه عزو

يقول فيو واصفالر سول ىصلى الله عليو وسلم وما ينطق عن الهوى . ان ىوإلاوىي يو حى. فصح لنا بذلك أن الوحي ينقسم من الله عزوجل اى رسو لو سلى الله عليو وسلم قسمين: أحد هما : وحى متلو م لف تأ ليفا

لف ولا مع جز معجز النظام وىوالقران, والانى وحي مروي منقول غر مصلى لله عليو النظم ولامتلو لنو مقروء, وىوا لخبر الواردعن رسول الله

وسلم

62

Artinya: Ketika kami telah menjelaskan bahwasanya al-Qur’an adalah pokok pangkal yang harus kepadanya kita kembali dalam menentukan hukum, maka kami memperhatikan isinya, kami mendapatkan didalamnya keharusan mentaati apa yang Rasulullah perintahkan kepada kita dan firman Allah menegaskan dalam memberikan sifat akan sabda Rasul (dan dia tidak menuturkan sesuatu dari hawa nafsunya, tidaklah yang disampaikan itu melainkan apa yang telah diwahyukan kepadanya). Maka shah bagi kami bahwasanya wahyu yang datang dari Allah terbagi dua; pertama, wahyu yang dibacakan yang merupakan mukjizat. Yang kedua, wahyu yang diriwayatkan dan dinukilkan tidak disyari’atkan kita membacanya sebagai ibadah. Namun demikian dia tetap dibacakan dan itulah hadits Rasulullah (Hazm t.th, 96).

Ibnu Hazm berpendapat dalam memandang al-Qur’an dan al-

Sunnah keduanya merupakan bagian yang satu sama lainnya saling

menyempurnakan. Ibn Hazm berkata :

والقران والخبر الصحيح بعضها مضا ف إى بعض. وهما شئ واحد أنهما من عند الله تعلى وحمهماحم واحد فى باب وجوب الطاعة لهما لماقد مناه انفا فى صدر ىذ االباب قال تعاى : ياايهاالذين امنو اأطيعوالله

عنا واطيعو اارسو ل ولا تولواعنو وأنتم تسمعون, ولا تون كالذين قالواسم وىم لايدعن

Artinya: Al-Qur’an dan hadits yang sahih, sebagiannya

disandarkan pada sebagiannya, keduanya dipandang satu dalam arti, kedua-duanya datang dari sisi Allah. Dan menetapkan hukum kepada keduanya sebagaimana firman Allah, “ Hai orang-orang yang

beriman taatlah kepada Allah, dan taatilah Rasul-Nya, jangan kamu berpaling dari padanya sedang kamu mendengar, dan janganlah kamu seperti orang yang mengatakan “kami telah mendengar” padahal mereka tidak mengetahui” (Hazm t.th, 98).

63

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa Ibn Hazm

memandang al-Qur’an dan al-Sunnah sama kedudukannya sebagai

jalan yang menyampaikan manusia ke syari’at Islam, karena

keduanya adalah wahyu Allah SWT. Ibn Hazm menetapkan bahwa

syari’at Islam hanya mempunyai sumber yang bercabang dua, dan

kedua cabang ini sama kekuatannya dalam menetapkan hukum,

walaupun cabang yang pertama merupakan pokok bagian cabang

yang kedua. Cabang yang kedua yaitu al-Sunnah yang sudah diakui

ke-sahihan-nya (ash- Shiddieqy 1997, 327).

Menurut Ibn Hazm, wajib diyakini kebenaran hadits ahad

sebagaimana wajib mengamalkannya. Untuk prinsip ini ia

mengemukakan beberapa syarat. Ibnu Hazm mensyaratkan para

perawi itu seorang yang adil terkenal sebagai orang yang benar,

kuat hafalannya, serta mencatat apa yang didengar dan dinukilkan,

harus terpercaya dan merupakan seorang yang faqih. Ia juga

mensyaratkan pula sanad hadits itu muttasil hingga sampai kepada

Nabi. Ibn Hazm tidak menerima hadits mursal, kecuali hadits

mursal itu mempunyai nilai-nilai tersendiri, umpamanya hadits itu

di-irsal-kan oleh tabi’in besar, dan hadits mursal itu diriwayatkan

yang semaknanya atau dikuatkan oleh hadits yang lain, atau oleh

pendapat sahabat, atau diterima oleh ahli ilmu (ash- Shiddieqy

1997, 331).

Karena al-Sunnah diletakkan pada martabat al-Qur’an maka

Ibn Hazm menetapkan dua buah dasar yaitu:

1) Al-Sunnah dapat mentakhsis al-Qur’an

2) Takhsis dipandang bayan, dan al-Sunnah adalah bayan bagi al-

Qur’an.

64

c. Ijma’

Ijma’ adalah Sumber yang ketiga menurut Ibn Hazm. Dalam hal

ijma’ Ibnu Hazm berkata:

إفقنا نحن وأكر المخا لفين لناعلى أنالا جماع من علماءاىل الإسلام حجة وحق مقطو ع بو دين الله عز وجل

Artinya: Kami telah sepakat dan kebanyakan orang yang menyalahi

kami, bahwasanya ijma’ dari segenap ulama Islam adalah hujjah dan suatu kebenaran yang pasti dalam agama Allah (Hazm t.th, 128).

Ijma’ yang ditetapkan Ibn Hazm ialah ijma’ yang berdasarkan

nash, Karenanya segala ijma’ yang tidak bersandarkan nash

bukanlah ijma’. Sandaran ijma’ menurut Ibn Hazm hanyalah nash

(ash- Shiddieqy 1997, 338).

فا علموارحمم الله ان من اتبع نص القران, وما أسند من ظريق القات اى رسول الله صلى الله عليو وسلم, فقد اتبع الا جماع يقينا. وان عاج

عن سيء من ذلك فلم يتبع الاجماع

Artinya:Maka ketahuilah olehmu mudah - mudahan Allah merahmatimu bahwa siapa yang mengikuti nash al-Qur’an dan sesuatu yang disandarkan dari jalan yang dipercayai kepada Rasulullah ( al-Sunnah) berarti dia mengikuti ijma’ secara yakin, dan siapa yang berpaling dari yang demikian maka tidaklah ia mengikuti ijma’ (Hazm t.th, 128).

Ijma’ menurut Ibnu Hazm dapat dipahami bahwa mengikuti

teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Ibnu Hazm mengatakan Ijma’ terbagi

kepada dua macam yaitu: 1) Semua masalah yang tidak diragukan lagi oleh setiap Muslim.

Misalnya membaca syahadat, kewajiban atas shalat lima waktu,

65

puasa di bulan Ramadhan. Haramnya bangkai, darah, daging

Babi, wajib membayar zakat dan lain sebagainya. Orang yang

tidak mengakui semua ini bukanlah Muslim. Inilah yang disebut

dengan Ijma’ seluruh ummat.

2) Perbuatan Nabi disaksikan sahabat, atau diyakini oleh sahabat

lainnya yang tidak hadir pada peristiwa itu. Misalnya

memberikan setengah dari hasil pertanian Khaibar kepada

orang Yahudi, padahal kalau ummat Islam mau, orang Islam

mampu mengusir kaum yahudi dari Khaibar.

Ibnu Hazm menerima Ijma’ pada masa Nabi, karena mereka

menyaksikan penjelasan Nabi, dan mereka orang-orang Mukmin

yang sesungguhnya oleh sebab itu Ijma’ mereka adalah Ijma’ yang

benar.

d. Al-Dalil

Dalam kitabnya Ibnu Hazm tidak ada secara jelas definisi al-

Dalil. Namun dibuku Amir Syarifuddin dikatakan bahwa al-Dalil

berasal dari kata dalala dengan bentuk masdar-nya dalil yang

secara etimologi berarti: suatu yang dapat menunjuki dalam

literatur ushul fikih kata ini sering disebut al-Dalilatu al-Syar’iyyatu.

Dan dalam literatur kontemporer untuk kata yang sama digunakan

kata yang lain yang dianggap semakna yaitu kata mashdar yang

jamaknya mashadir yang berarti sumber. Apabila dilihat dari segi

etimologi kata itu tidak sinonim, paling tidak apabila kata tersebut

dihubungkan dengan kata Syari’ah, kata mashdar berarti wadah

dari wadah itu ditimba suatu hukum, sedangkan kata dalil hukum

berarti: “suatu dalil yang memberikan petunjuk dalam menemukan

hukum Allah” (Syarifuddin 1994,43).

Al-Dalil tersebut tidak berbeda jauh dari qiyas. Hal ini telah

diungkapkan oleh al-Khatib al-Baqhdady zhahiriyah mengatakan

66

bahwa dasar yang mereka namakan al-Dalil itu tidak keluar dari

nash, seperti dalam penerapan qiyas. Sementara Ibn Hazm

menetapkan bahwa apa yang dinamakan dalil itu diambil dari ijma’

atau dari nash, bukan diambil dengan jalan mempertautkannya

kepada nash. al-Dalil menurut Ibn Hazm berbeda dengan qiyas

(ash- Shiddieqy 1997, 349).

Sebagaimana Ibnu Hazm menjelaskan:

ظن قوم يجلهلهم أن قولنا بالدليل روج منا عن النص والإ جماع وظن أرون أن القياس والد ليل وحد فأ طنو افي ظنهم أفحش طاء

Artinya: Orang-orang yang tidak tahu menduga bahwa pendapat

kami tentang “al-dalil” telah keluar (menyimpang) dari nash dan ijma’, dan sebagian lagi menduga bahwa qiyas dengan al-dalil adalah sama, dugaan mereka sangat keliru (Hazm t.th, 105).

Qiyas pada dasarnya ialah menyamakan sesuatu dengan

hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan ‘illat hukum

menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya (Dahlan, 2014,

161). Menurut Ibn Hazm al-Dalil dibagi menjadi dua macam yaitu

al-Dalil yang diambil dari nash dan yang diambil dari Ijma’:

الدليل مأ ذ من النص ومن الا جماع Artinya: Adapun al-Dalil ialah: al-Dalil yang diambil dari nash dan

yang diambil dari ijma’ (Hazm t.th, 106).