Upload
others
View
76
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
28
BAB III
BIOGRAFI DAN METODE ISTINBATH HUKUM
IMAM NAWAWI DAN IBNU HAZM
3.1. Biografi dan Istinbath Hukum Imam Nawawi.
3.1.1. Biografi Imam Nawawi
Imam An-Nawawi lahir pada pertengahan bulan Muharam
tahun 631 H di kota Nawa (Nawawi 2006, 54). Nama lengkap beliau
adalah Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husin bin
Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al-Hizami An-Nawawi,
panggilannya ialah Abu Zakaria. Imam An-Nawawi dijuluki Abu
Zakaria karena namanya adalah Yahya. Orang arab sudah terbiasa
memberi julukan Abu Zakaria kepada orang yang bernama Yahya Nabi
Allah dan ayahnya Zakaria Alaihuma As-Salam, sebagaimana juga
seorang yang bernama Yusuf dijuluki Ya’qub, seorang yang bernama
Ibrahim dijuluki Abu Ishaq dan orang yang bernama Umar dijuluki
Abu Hafsh. Pemberian julukan seperti di atas tidak dengan peraturan
yang berlaku sebab Yahya dan Yusuf adalah anak bukan ayah, namun
gaya pemberian julukan seperti itu sudah biasa didengar orang-orang
Arab (Farid 2006, 756).
Syaikh Imam An-Nawawi pernah bercerita bahwa sebagian
kakeknya menyangka Al-Hizami merupakan nisbat pada Hiam Abu
Hakim, salah seorang sahabat Rasullullah SAW. Hizam disini adalah
kakeknya seorang yang mampir di Jaulan desa Nawa seperti
kebiasaan orang-orang Arab. Lalu bermukim di sana dan diberikan
keturunan oleh Allah SWT hingga manusia menjadi banyak. An-
Nawawi adalah nisbat pada desa Nawa tersebut. Dia merupakan pusat
kota Al-Jaulan, dan berada di kawasan Hauran di Provinsi Damaskus.
Jadi Imam An-Nawawi adalah orang Damaskus karna menetap di sana
selama kurang lebih delapan belas tahun. Abdullah bin Al-Mubarak
29
pernah berkata “Barang siapa yang menetap di suatu negeri selama
empat tahun, maka dia dinisbatkan kepadanya (Nawawi 2006, 7).
Imam An-Nawawi gelarnya adalah Muhyiddin. Namun, ia
sendiri tidak senang diberi gelar tersebut. Al-Lakhani mengatakan
bahwa Imam An-Nawawi tidak senang dengan julukan Muhyiddin
yang diberikan orang kepadanya (Ahmad Farid 2006, 756). Ketidak-
sukaan itu disebabkan karna adanya rasa tawadhu’ yang tumbuh pada
diri Imam An-Nawawi, meskipun sebenarnya dia pantas diberi
julukan tersebut karna dengan dia Allah SWT menghidupkan Sunnah,
mematikan bid’ah, menyuruh melakukan perbuatan yang ma’ruf,
mencegah perbuatan yang mungkar dan memberikan manfaat bagi
umat Islam dengan karya-karyanya (Farid 2006, 757).
Imam An-Nawawi adalah ulama yang paling banyak
mendapatkan cinta dan sanjungan makhluk. Orang yang mempelajari
biografinya akan melihat adanya Wira’i, zuhud, kesungguhan dalam
mencari ilmu yang bermanfaat, amal soleh, ketegasan dalam membela
kebenaran dan amar ma’ruf nahi munkar, takut dan cinta kepada Allah
SWT dan kepada Rasul nya. Semua itu menjelaskan rahasia mengapa
ia dicintai banyak orang. Imam An-Nawawi merupakan ulama yang
besar pada masanya Ia telah meninggalkan berkas-berkas, ketetapan-
ketetapan dan kitab-kitab ilmiah yang berbobot. Peninggalan-
peninggalan tersebut, ia telah menunjukan bahwa ia melebihi ulama-
ulama dan imam-imam pada masanya (Farid 2006, 755).
Adz-Dzabhi mensifati Imam An-Nawawi sebagai orang yang
berkulit sawo matang, berjenggot tebal, berperawakan tegak,
beribawa, jarang tertawa, tidak bermain-main, dan terus bersungguh-
sungguh dalam hidupnya. Ia selalu mengatakan yang benar, meskipun
hal itu sangat pahit baginya dan tidak takut terhadap hinaan orang
yang menghina dalam membela agama Allah SWT. Adz-Dzabhi
mengatakan di dalam kitab tarikh Al-Islam bahwa Imam An-Nawawi
30
mengenakan pakaian-pakaian sebagaimana para ahli fikih di Hauran
mengenakannya, namun ia tidak terlalu memperhatikan masalah
berpakaian (Farid 2006, 757).
حدثنا قتيبة حد ثنا عبد العزيز بن محمدعن العلاء بن عبد الرحمن عن أبيو عن الله صلى الله عليو و سلم قال ما نقصت صدقة من مال أبي ىريرة, أن رسول
وما زاد رجلا بعفو إلا عزا وما توا ضع أحد لله إلا رفعو اللهقال أبو عيسى وفي الباب عن عبد الرحمن بن عوف وابن عبا س وأبي كبشة الأ نما ري وسمو
عمر بن سعد وىذا حديث حسن صحيح )روه التر مذى( Artinya : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Al- Ala` bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda: "Sedekah itu, pada hakekatnya tidak akan mengurangi harta. Tidaklah seorang memberikan maaf, kecuali ia akan semakin bertambah mulia. Dan tidaklah seorang yang tawadhu' karena Allah SWT, kecuali Allah SWT akan meninggikan derajatnya." Abu Isa berkata; Hadits semakna juga diriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf, Ibnu Abbas, dan Ibnu Kasyabah Al-Anmari, namanya adalah Umar bin Sa'd. Hadits ini adalah hadits hasan Shahihh.(HR.At-Tirmidzi) (At-Tarmidzi 1962, 376).
3.1.2. Pendidikan
Syaikh Yasin bin Yusuf Al Marakisyai melihat Imam An-Nawawi
di kota Nawa, ketika itu umurnya masih sepuluh tahun. Anak-anak
kecil yang lain memaksanya untuk bermain bersama mereka, namun
Imam An-Nawawi lari dari mereka dan menangis karna dipaksa. Dia
membaca Al-Qur’an ketika itu, lalu hatinya menjadi senang kepada
Nawawi. Ayahnya menempatkannya di toko, namun kesibukannya
dengan Al-Qur’an tidak bisa dikalahkan oleh aktivitas jual beli (Farid
2006, 759).
Imam An-Nawawi tumbuh berkembang dalam penjagaan,
kebaikan, dan menghafalkan Al-Qur’an. Dia menghabiskan waktunya
31
ditoko bersama dengan ayahnya. Kemudian pada tahun 649 H
ayahnya memindahkannya ke Damaskus agar belajar di sana. Dia
bertempat diasrama para siswa. Imam An-Nawawi menghafal kitab
At-Tanbih dalam waktu kurang lebih empat bulan setengah dan ia
hafal seperempat pembahasan ibadah dari kitab Al Muhadzab dalam
sisa tahun itu, kemudian Mensyarahi, Mentashi dihadapan syaikhnya
yaitu seorang Imam, Ulama besar, zuhud, wara’, mempunyai
keutamaan dan pengetahuan-pengetahuan yakni Abu Ibrahim bin
Ahmad bin Usman Al-Maghribi asy-Syafi’i dan ia selalu bersama
dengannya.
Menurut Ustadz Ahmad Abdul Aziz Qasim, ada beberapa hal
yang biasa membentuk kepribadian yang besar pada Imam An-
Nawawi, pertama berupa kemauan sendiri yang muncul dari dirinya
seperti (Farid 2006, 762):
1. Melakukan perjalanan dalam mencari ilmu.
2. Keberadaannya di Madrasah Ar-Rawahiyah.
3. Bersungguh-sungguh dalam belajar.
4. Banyak menghafal dan menela’ah.
5. Belajar dari guru-guru besar dan mendapat perhatian dari
mereka.
6. Tersedianya kitab-kitab secara lengkap.
7. Sering mengajarkan ilmu yang telah didapatkan dari guru-
gurunya .
Kedua adalah faktor-faktor yang tidak biasa, seperti faktor
bakat yang diberikan Allah SWT kepada hamba yang dikehendakinya,
seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah Ayat 269:
را كرا وما يذكككرإلاك يؤ مة فؤقد أو ت ا مة من يشاء ومن يؤ ا يؤ أولو الألباب
32
Artinya: Allah SWT menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah) (QS Al-Baqarah, 269).
Namun, pemberian hikmah itu disyaratkan dengan taqwa dan
takut kepada Allah SWT. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah Ayat
282 :
ل شيء عليم ب واللك م اللك واتؤكقوا اللك ويؤعلمArtinya : Dan bertakwalah kepada Allah SWT, Allah SWT mengajarmu
dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Al- Baqarah, 282).
3.1.2.1. Guru-guru Imam An-Nawawi
Imam An-Nawawi dalam perjalanan mencari ilmunya telah
melibatkan beberapa ulama yang berjasa memberikan beliau
pelajaran dalam berbagai ilmu, antara lain:
1. Ilmu Fiqih
a) Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin Utsman Al-Maghribi Ad-
Dimasyiqi : dia adalah seorang Imam, yang diakui
keilmuannya, zuhudnya, wara’nya, banyak ibadahnya,
besar keutamaannya, dan kelebihan semuanya itu di atas
teman-temannya (Nawawi 2006, 12).
b) Abu Muhammad Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad
bin Ibrahim bin Musa Al-Maqdisi Ad-Dimasyqi : dia adalah
seorang Imam, orang yang arif, zuhud, ahli ibadah, wara’,
sangat teliti, dan mufti Damaskus pada masanya (Nawawi
2006, 13).
33
c) Syaikh Abu hafsh Umar bin As’ad bin Abi Ghalib Ar-Raba’i
Al-Irbili : dia adalah orang yang teliti dan menjadi seorang
mufti (Nawawi 2006, 14).
d) Abu Al-hasan bin Sallar bin Al-Hasan Al-Irbili Al-Halabi Ad-
Dimasyqi : dia adalah seorang Imam yang disepakati
keimamannya, keagungannya, kelebihannya, dibidang ilmu
mazhab di zamannya (Nawawi 2006, 15).
2. Ilmu Ushul Fiqih
Imam An-Nawawi mempelajari ilmu Ushul Fiqih kepada
sejumlah ulama. Yang paling masyur dan paling besar antara
lain : Al-Qadhi Abu Al Fath Umar bin Bundar bin Umar bin Ali
Muhammad At-Taflisi Asy-Syafi’i (Ahmad Farid 2006, 773).
Imam An-Nawawi belajar kepadanya Al-Muntajhob karya
Imam Fakhruddin Ar-Razi dan sebagian dari kitab Al-Mustashfa
karya Imam Al-Ghazali (Nawawi 2006, 16).
3. Ilmu Bahasa, Nahwu dan Sharaf
Adapun guru-gurunya dalam bidang Ilmu Bahasa, Nahwu dan
Sharaf adalah:
a) Fakhruddin al-Maliki, Imam An-Nawawi berkata “Aku
belajar kepadanya, tentang Sibawaih atau lainnya.
Keraguan ini adalah dari diri saya sendiri (Nawawi 2006,
16).
b) Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Malik
Jayyani, dengan kitab karya-karyanya.
c) Ahmad bin Salim Al-Mashari
d) Ibnu Malik (Farid 2006, 773).
4. Ilmu Hadits
Guru-gurunya dalam bidang Ilmu Hadits adalah :
a) Syaikh Al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa al-Muradi
al-Andalusia asy-Syafi’i. Dia telah mensyarahkan
34
kepadanya Shahih Muslim, sebagian besar dari Shahih Al-
Bukhari dan banyak hadits-hadits dari Al-Jam’u bain As-
Shalihin karya Al-Humaidi (Nawawi 2006, 17).
b) Abu Ishaq Ibrahim bin Abi Hafsah Umar bin Mudhar Al-
Wasithi
c) Zainuddin Abu Al-Baqa’ Khalid bin Yusuf bin Sa’ad Ar-
Ridha bin Al-Burhan.
d) Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin Al-Anshari
(Farid 2006, 773).
3.1.2.2. Murid Imam Nawawi
1. Alauddin bin Al-Aththar
2. Shadr Ar-Rais Al-Fadhil Abu Al-Abbas Ahmad binm Ibrahim bin
Mush’ah
3. As-Syamsi Muhammad bin Abi Bar bin Ibrahim bin Abdirrahman
bin An-Naqib.
4. Al-Nadar Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dillah bin Jum’ah.
5. Asy-Syihab Muhammad binAbdil Khaliq bin Utsman bin Munzhir
Al-Anshari Ad-Dimasyiqi Al-Muqri.
6. Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Abbas bin Ja’wan.
7. Al-Faqih Al-Muqir Abu Abbas Ahmad Adh-Dharir Al-Wasithi.
3.1.2.3. Kitab-kitab karya Imam An-Nawawi
1. Kitab-kitab karyanya dalam bidang hadits :
a) Syarah Muslim yang dinamakan Al-Minhaj Syarah Shahihh
Muslim Al-Hajjajj.
b) Riyadh Ash-Shalihin.
c) Al-Arbain An-Nawawi.
d) Khulashah Al-Ahkam min Muhammad As-Sunan Wa Qawa’id
Al-Islam.
35
e) Syarah Al-Bukhari.
f) Al-Adzkar yang dinamakan Hilyah Al-Abrar Al-Khiyar fi
Talkhish Ad-Da’awat wa Al-Adzkar (Nawawi 2006, 21).
2. Kitab-kitab karyanya dalam bidang ilmu hadits :
a) Al-Irsyad.
b) At-Taqrib.
c) Al-Irsyat Ila Bayan Al-Asma’ Al-Mubhamat.
3. Kitab-kitab karyanya dalam bidang fiqih :
a) Raudh Ath-Thalibin.
b) Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab (disempurnakan oleh As-
Subki kemudian Al-Muthi’)
c) Al-Minhaj.
d) Al-Idhah.
e) At-Tahqiq (Farid 2006, 776).
4. Kitab-kitabnya dalam bidang pendidikan dan etika :
a) Adab Hamalah Al-Qur’an.
b) Bustan Al-Arifin.
5. Kitab-kitab karyanya dalam bidang biografi dan sejarah:
a) Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat.
b) Thabaqat Al-Fuqoha.
6. Kitab-kitab karyanya dalam bidang bahasa
a) Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat bagian kedua.
b) Tahrir At-Tanbih.
3.1.3. Kondisi Sosial dan Politik
Imam An-Nawawi dilahirkan di kota Nawa. Ia menghabiskan
masa kanak-kanaknya ditempat kota kelahirannya dengan membaca
Al-Qur’an, hingga umurnya mencapai remaja, ia berbeda dengan anak-
anak yang lain. Umurnya sembilan belas tahun, ayahnya membawah
Imam An-Nawawi ke Damaskus pada tahun 649 H. Dia bertempat
tinggal di Madrasah Ar-Rawahiyah (Nawawi 2006, 66).
36
Ia banyak menuntut ilmu agama dari gurunya di madrasah Ar-
Rawahiyah namun mengambil sedikit dari kehidupan dunianya hingga
nyaris tidak meminum airnya. Nama harumnya selalu dikenang
sepanjang masa, begitu juga karya-karya dan ilmunya. Ketika Al-Malik
Azh-Zhahir tergila-gila dengan angan-angannya dan nafsunya
menyuruh berbuat zhalim, para ahli fiqih menjerumuskannya untuk
menjual akhiratnya dengan emas. Saat itu yang tersisa dalam
memberikan dukungan untuknya adalah Syaikh Muhyiddin An-
Nawawi .
Imam An-Nawawi datang kepadanya dan membuatnya takut.
Dia menyatakan fatwanya dan berkata, “Sungguh mereka telah
memberikan fatwa yang batil kepadamu. Kamu tidak berhak menarik
iuran (pajak) dari rakyat hingga kas di Baitul Mal habis, dan kamu
serta istri-istrimu, budak-budakmu dan para pejabatmu harus
mengembalikan apa yang telah kamu ambil dari hak mereka
sebenarnya, kamu kembalikan lagi ke Baitul Mal” (Nawawi 2006, 64).
Syaikh An-Nawawi mengucapkannya dengan tegas. Setelah dia
keluar, raja Azh-Zhahir berkata, “putuslah jabatan-jabatan dan gaji
ahli Fikih ini maka orang yang disekitar raja mengatakan,
“Sesungguhnya dia tidak punya jabatan, juga tidak mengambil gaji.”
Sang raja bertanya, darimana dia makan? “dari makanan yang dikirim
oleh ayahnya. ”Sang raja berkata, “demi Allah, aku hendak
membunuhnya, namun aku melihat seakan-akan singa sedang
membuka mulutnya di antara aku dan dia, jika aku mendekatinya,
maka singa itu akan memakanku.” Kemudian sang raja merasakan
sesuatu dalam hatinya ketika itu dan meminta perdamaian dengan
Syaikh An-Nawawi, sungguh dia tidaklah fakir.
Namun Syaikh An-Nawawi menjadi terkenal di belahan timur
dan barat, di tempat yang dekat maupun jauh, begitu juga karya-
37
karyanya yang menuangkan isi-isi yang jelas dan terang, yang pada
masa sekarang menjadi rujukan fatwa dan amal (Nawawi 2006, 65).
3.1.4. Metode Istinbath Hukum Imam An-Nawawi
Istinbath merupakan sistem atau metode para mujtahid yang
digunakan untuk menemukan atau menetapkan suatu hukum.
Istinbath erat kaitannya dengan fikih, karena sesungguhnya fikih dan
segala hal yang diberikan dengannya, merupakan hasil ijtihad para
mujtahid dalam menetapkan hukum dari sumbernya.
Metode istinbath hukum yang dipakai Imam An-Nawawi pada
dasarnya adalah sama dengan istinbath hukum yang dipergunakan
oleh Imam Syafi’i, hal ini disebabkan karna Imam An-Nawawi
merupakan salah satu ulama golongan Syafi’iyah. Selain itu tidak ada
pembahasan khusus mengenai metode istinbath hukum yang
dilakukan oleh Imam An-Nawawi, baik berupa buku yang ditulis
olehnya maupun oleh muridnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui
metode istimbath hukum yang dipergunakan Imam An-Nawawi
sangat perlu kiranya terlebih dahulu penulis paparkan metode
istinbath hukum Imam Syafi’i.
Mazhab Syafi’i ini dibangun oleh Imam Muhammad Ibnu Idris
Asy-Syafi’i seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib (Ash-
Shiddieqy 1997, 119). Pola pemikiran dalam memahami hukum Islam
Imam Syafi’i ini sama dengan Imam Mazhab lainnya dari Mazhab
Imam empat yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad ibnu
Hambal adalah termasuk golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam bidang furu’ terbagi
kepada dua aliran di antaranya adalah aliran Ahlu al-Hadits dan aliran
Ahlu al-Raʹyi. Imam Syafi’i termasuk dalam aliran Ahlu al-Hadits. Oleh
karena itu, meskipun Imam Syafi’i digolongkan sebagai orang yang
beraliran Ahlu al-Hadits, namun pengetahuannya tentang fiqih Ahlu
38
Al-Raʹyi tentu akan memberi pengaruh kepada metodenya dalam
menetapkan hukum (Yanggo 1997, 124).
Imam Syafi’i menjelaskan kerangka dan dasar-dasar
madzhabnya dan juga beberapa contoh bagaimana merumuskan
hukum-hukum far’iyah di dalam kitabnya al-Risalah. Menurut Imam
Syafi’i, Al-Qur’an dan Hadits adalah berada dalamsatu tingkat, dan
bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan
teori istidlal seperti qiyas, istiḥsan, dan lainnya hanyalah merupakan
suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari
sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral terhadap Al-Qur’an dan Hadits ini
merupakan karakteristik yang menarik dari pemikiran fiqh Syafi’i.
Menurut Imam Syafi’i, kedudukan Hadits dalam banyak hal adalah
sebagai penjelas dan penafsir sesuatu yang tidak dijelaskan oleh Al-
Qur’an. Oleh karena Sunnah Nabi tidak berdiri sendiri, tetapi punya
keterkaitan erat dengan Al-Qur’an. Imam Syafi’i juga mempunyai
pandangan yang dikenal dengan qaul al-qadim dan qaul al-jadid. Qaul
al-qadim juga terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Ḥujjah, yang
dicetuskan di Irak. Sedangkan qaul al-jadid nya terdapat dalam
kitabnya yang bernama al-Umm yang dicetuskan di Mesir.
Menurut Imam Syafi’i struktur hukum Islam dibangun di atas
sumber-sumber hukum yang terdiri atas Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan
Qiyas. Meskipun ulama sebelumnya juga menggunakan empat dasar di
atas, tetapi rumusan Imam Syafi’i punya nuansa dan paradigma baru,
penggunaan ijma’ misalnya tidak sepenuhnya mengikuti rumusan
Imam Malik yang sangat umum dan tanpa batas yang jelas. Bagi Imam
Syafi’i ijma’ merupakan metode dan prinsip dan karenanya ia
memandang konsensus orang-orang umum sebagaimana dinyatakan
Imam Malik dan ulama-ulama Madinah.
39
Satu hal yang perlu diketahui bahwa Imam Syafi’i tidak
bersikap fanatik terhadap pendapat-pendapatnya, hal ini nampak
pada suatu ketika ia pernah berkata: “Demi Allah aku tidak peduli
apakah kebenaran itu nampak melalui lidahku atau melalui lidah
orang lain” (al-Qardawi 2002, 190).
Adapun penjelasan dari masing-masing sumber hukum
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Sebagaimana imam-imam lainya Imam Syafi’i menempatkan
Al-Qur’an pada urutan pertama, karena tidak ada sesuatu kekuatan
pun yang dapat menolak keontetikan Al-Qur’an. Sekalipun sebagian
hukumnya harus diakui masih ada yang bersifat zanni, sehingga
dalam penafsirannya terdapat perbedaan pendapat.
Pemahaman Imam Syafi’i atas Al-Qur’an, ia memperkenalkan
konsep al-bayan. Melalui konsep al-bayan ini, ia kemudian
mengklafikasikan dilalah nas atas ‘amm dan khas. Sehingga ada
dilalah ‘amm dengan maksud ‘amm, ada pula dilalah ‘amm dengan
dua maksud ‘amm dan khas, dan ada pula dilalah ‘amm dengan
maksud khas.
Klasifikasi lain adalah dilalah tertentu yang maknanya
ditentukan oleh konteksnya, ada juga dilalah yang redaksinya
menunjuk arti implisit bukan eksplisit, bahkan ada pernyataan
‘amm yang secara spesifik ditunjukkan oleh sunnah bahwa
maksudnya khusus (Al-Syafi’i t.t, 21).
b. As-Sunnah
Menurut Imam Syafi`i yang dimaksud dengan As-sunnah
adalah Hadits (al-Qardawi 2002, 180). Sunnah selain sebagai
sumber yang kedua setelah Al-Qur’an juga sebagai pelengkap yang
40
menginterpretasikan isi kandungan Al-Qur’an, sehingga
kedudukan Sunnah atas Al-Qur’an sebagai berikut:
1) Ta`kid, menguatkan dan mengokohkan Al-Qur’an.
2) Tabyin, menjelaskan maksud nas Al-Qur’an
3) Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya
dalam Al-Qur’an.
4) Dilalah-dilalah al-Sunnah meskipun hukumnya berdiri sendiri
tidak ada yang bertentangan dengan dilalah nas Al-Qur’an,
karena Sunnah selain bersumber pada wahyu juga ada faktor
lain yang menyebabkan keotentikkan Sunnah yaitu
terpeliharanya Nabi dari dosa dan kekeliruan sejak kecil (al-
Qardawi 2002, 190).
Imam Syafi’i memakai metode, apabila di dalam Al-Qur’an
tidak ditemukan dalil yang dicari maka menggunakan hadits
mutawatir, tidak ditemukan dalam hadits mutawatir baru ia
menggunakan hadits ahad. Meskipun begitu, ia tidak menempatkan
hadits ahad sejajar dengan Al-Qur’an dan juga hadits mutawatir.
Imam Syafi’i menerima hadits ahad mensyaratkan harus
memenuhi beberapa hal sebagai berikut:
1) Perawi dapat dipercaya keagamaannya dan juga tidak
menerima hadits dari orang yang tidak dipercaya
2) Perawinya Dhabit.
3) Perawinya berakal dalam artinya bisa memahami apa yang
diriwayatkan.
4) Hadits yang diriwayatkan tidak menyalahi ahli hadits yang juga
meriwayatkan.
Masalah hadis mursal Imam Syafi’i menetapkan dua syarat:
1) Mursal yang disampaikan oleh tabi`in yang berjumpa dengan
sahabat.
41
2) Ada petunjuk yang menguatkan sanad mursal itu (Yanggo 1997,
130).
Imam al-Syafi’i menanggapi pertentangan Sunnah dengan
membagi kepada dua bagian:
Pertama: Ikhtilaf yang dapat diketahui nasikh-mansukhnya, maka
diamalkanlah yang nasikh.
Kedua: Ikhtilaf yang tidak diketahui nasikh-mansukhnya.
Ikhtilaf yang terakhir di atas, Imam Syafi’i membaginya
dalam dua kategori yaitu: Ikhtilaf yang dapat dipertemukan, Ikhtilaf
yang tidak dapat dipertemukan.
Adapun jika terjadi suatu pertentangan yang tidak dapat
dipertemukan, dalam hal ini, ia menempuh cara berikut ini:
1) Menentukan mana yang lebih dulu dan mana yang baru
kemudian, dan yang terdahulu dianggap mansukh, sehingga
harus dapat diketahui asbab al-wurudnya.
2) Jika tidak diketemukan maka harus dipilih salah satu yang
terkuat berdasarkan sanad-sanadnya.
c. Ijma’
Ijma’ menurut Imam Syafi’i adalah kesepakatan para ulama
diseluruh dunia Islam, bukan hanya di suatu negeri tertentu dan
bukan pula ijma’ kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi’i tetap
berpedoman bahwa ijma’ sahabat adalah ijma’ yang paling kuat.
Imam Syafi’i mendefinisikan ijma’ sebagai konsensus ulama dimasa
tertentu atas suatu perkara berdasarkan riwayat Rasul. Karena
menurutnya mereka tidak mungkin sepakat dalam perkara yang
bertentangan dengan al-Sunnah (al-Syafi’i t.t, 472)
Imam Syafi’i membagi ijma’ menjadi dua yaitu ijma’ sharih
dan ijma’ sukuti. Namum yang paling diterima olehnya adalah ijma’
sharih sebagai dalil hukum. Hal ini menurutnya, dikarenakan
42
kesepakatan itu disandarkan kepada nash, dan berasal dari secara
tegas dan jelas sehingga tidak mengandung keraguan. Sedangkan
Ijma’ sukuti ditolaknya karena tidak merupakan kesepakatan
semua mujtahid. Diamnya mujtahid menurutnya, belum tentu
mengindikasikan persetujuannya. Melihat kondisi kehidupan para
ulama dimasanya yang telah terjadi ikhtilaf dikalangan mereka,
maka menurutnya, ijma` hanya terjadi dalam pokok-pokok fardhu
dan yang telah mempunyai dasar atau sumber hukum (ash-
Shiddieqy 1997, 28).
d. Qiyas
Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama yang
pertama kali mengkaji qiyas (merumuskan kaidah-kaidah dan
dasar-dasarnya) adalah Imam Syafi’i (Zahrah 1997, 298). Dengan
demikian Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah ke empat
setelah Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ dalam menetapkan hukum
Islam (Yanggo 1997, 130).
Ia menempatkan qiyas setelah ijma’, karena ijma’ merupakan
ijtihad kolektif sedangkan qiyas merupakan ijtihad individual.
Syarat-syarat qiyas yang dapat diamalkan menurut Imam Syafi’i
adalah sebagai berikut:
1) Orang itu harus mengetahui dan mengusai bahasa arab.
2) Mengetahui hukum Al-Qur’an, faraid, ushul, nasikh-mansukh,
‘amm-khas, dan petunjuk dilalah nash.
3) Mengetahui Sunnah, Qaul Sahabat, Ijma` dan ikhtilaf dikalangan
ulama.
4) Mempunyai pikiran sehat dan prediksi bagus, sehingga mampu
membedakan masalah-masalah yang mirip hukumnya (al-
Syafi’i t.t, 510)
43
e. Istidlal
Apabila Imam Syafi’i tidak mendapatkan keputusan hukum
dari ijma` dan tidak ada jalan dari qiyas, maka barulah ia
mengambil dengan jalan istidlal, mencari alasan, bersandarkan atas
kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang terakhir yang
disebut “syar`u man qablana” dan tidak sekali-kali mempergunakan
pendapat atau buah pikiran manusia, juga ia tidak mau mengambil
hukum dengan cara istihsan, seperti yang biasa dikerjakan oleh
ulama dari pengikut Imam Abu Hanifah di Bagdad dan lain-lainnya
(Chalil 1995, 245)
3.2. Biografi Dan Metode Istinbath Ibnu Hazm
3.2.1. Biografi Ibnu Hazm
Nama lengkapnya adalah Ali Ibn Ahmad Ibn Sa’id Ibnu Hazm
Ibn Ghalib Ibn Ṣalih Ibn Sufyan Ibn Yazid. Kun-yahnya Abu
Muhammad, dan nama inilah yang sering dipergunakan dalam kitab-
kitabnya, akan tetapi dia lebih terkenal dengan nama Ibnu Hazm
(Shidieqy 1997, 545). Ibn Hazm lahir pada hari terakhir bulan
Ramadhan tahun 384 H/994 M di Manta Lisyam (Cordoba) (Syararah
t.t , 35).
Ayahnya, Ahmad bin Sa'id, termasuk golongan orang cerdas
yang memperoleh kemuliaan di bidang ilmu dan kebudayaan. Karena
kecerdasannya itulah, ia merasa heran terhadap orang yang kacau
dalam perkataannya, ia berkata "Sungguh saya heran terhadap orang
yang kacau balau dalam khithabah (pidato)-nya, atau tidak tepat
dalam penulisannya (Himayah 1983, 53). Karenanya, jika orang
tersebut ragu dalam sesuatu, ia harus meninggalkannya dan
berpindah pada hal yang tidak meragukannya, karena sesungguhnya
kalam lebih luas daripada ini (Hamidi 1966, 126).
Kakeknya bernama Yazid adalah berkebangsaan Persia,
Maulana Yazid ibn Abi Sufyan, saudara Mu’awiyah yang diangkat oleh
44
Abu Bakar menjadi panglima tentara yang dikerahkan untuk
mengalahkan negeri Syam. Dengan demikian Ibnu Hazm adalah
seorang yang berkebangsaan Persia yang dimasukkan kedalam
golongan Quraisy dengan jalan mengadakan sumpah setia dengan
Yazid ibn Abu Sufyan, karenanya Ibnu Hazm memihak kepada bani
Umayah (Shidieqy 1997, 545).
Leluhurnya yang bernama Khalat berdiam di Andalusia, dan
memeluk agama Islam melalui moyangnya yang bernama Yazid. Yazid
masuk agama Islam, setelah ia berhubungan dengan Yazid bin Abu
Sufyan (wafat di Damaskus 639 M/18 H, saudara kandung dari
khalῑfah pertama bani Umayah, Mu’awiyah bin Abu Sufyan) (Nasution
1992, 358).
Ibnu Hazm dibesarkan dalam keluarga kaya. Namun demikian
ia memusatkan perhatiannya mencari ilmu, bukan mencari harta dan
kemegahan. Ia menghafal al-Qur'an di rumahnya sendiri, diajarkan
oleh pengasuh yang merawatnya. Ayahnya memberi perhatian yang
penuh kepada pendidikannya dan memperhatikan bakat dan arah
kehidupannya. Oleh karena gerak-geriknya di dalam istana diawasi
dengan ketat oleh pengasuhnya, maka terpeliharalah dia dari sifat-
sifat anak muda. Ia mempelajari ilmu-ilmu yang biasa dipelajari oleh
pemuda-pemuda bangsawan dan penguasa, yaitu menghafal al-
Qur'an, menghafal sejumlah syair, dan menghadapi guru-guru utama
untuk memperoleh ilmu dan meneladani akhlak mereka.
Ibnu Hazm tumbuh berkembang dengan diliputi kenikmatan,
kesenangan dan kemewahan. Sebuah kondisi yang biasa dialami oleh
putra-putri para menteri dan para penguasa yang tidak pernah
kesulitan dalam rezeki dan pemenuhan harta benda. Ibnu Hazm
merasakan kenikmatan ini yang dilukiskan dalam karyanya Ṭauq al-
Hamamah yang menggambarkan tentang keluasan rumah yang
45
dipenuhi para pelayannya. Kenikmatan dan kekayaan telah terpenuhi
oleh ayah Ibnu Hazm (Himayah 1983, 56).
Kehidupan keluarga Ibn Hazm yang berbahagia dan
berkecukupan ini tidak berlangsung lama. ketika itu ayahnya sebagai
salah seorang menteri pada akhir pemerintahan umayyah yang
pertama di Andalus, bencana menimpanya ketika terjadinya
pergantian penguasa.Sebagai seorang pemangku kekuasaan Khalifah
Umawiyah, Hisyam, Abu Mansur al-Amiri telah bertindak sedemikian
jauh. Khalifah tidak lebih dari sebuah boneka belaka. Karena itu, tidak
aneh bila di sana-sini sering terjadi pemberontakan, yang dimulai
sejak tahun 398 H hingga waktu yang tidak ditentukan.
Para pemberontak menyerang, merampok dan mengobrak-
abrik Cordoba barat. Akibatnya, terjadi pengungsian besar-besaran.
Keluarga Ibn Hazm terpaksa mengungsi kekediaman lamanya
diCordoba timur tempatnya desa Bilat Magis pada tahun 399 H. Dalam
kondisi yang tidak menentu inilah Ahmad ayah Ibn Hazm dipanggil ke
hadirat Allah SWT pada tahun 402 H (Zahrah 1997, 29).
Ibnu Hazm pernah berdiam di suatu pulau mengepalai jama’ah
di tempat itu. Di pulau ini pula beliau mendapatkan kebebasan
berdiskusi untuk mengembangkan pendapatnya. Berbagai ilmu
keislaman sempat dikuasainya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, usul fiqh,
ilmu kalam, ilmu kedokteran, sejarah dan bahasa Arab. Dia menekuni
dan mendalami ilmu-ilmu keislaman, terutama setelah ia
meninggalkan suatu jabatan dalam pemerintahan waktu itu.
Dia dipandang kurang berwibawa, bahkan mendapat kecaman
dari berbagai ulama. Karena itu, jabatan itu ia tinggalkan dan
memutuskan untuk selanjutnya mendalami ilmu-ilmu keislaman,
terutama mengenai aliran-aliran hukum dalam Islam. Sehingga pada
akhirnya ia muncul sebagai seorang ulama yang kritis, baik terhadap
46
ulama pada massanya maupun ulama sebelumnya (Shidieqy 1997,
548).
Begitu mendalam kajian Ibnu Hazm terhadap ilmu yang
dikuasainya, sehingga diriwayatkan, jarang ada orang yang dapat
menandinginya di masa itu. Dan begitu tajam kritiknya terutama
terhadap ulama yang tidak sealiran dengannya sehingga ia mendapat
tantangan berat dari para ulama pada massanya. Beberapa kali ia
difitnah dan diajukan ke penguasa, sehingga pada akhirnya ia diusir
kesuatu perkampungan terpencil Mantalalsam, dan disana ia wafat
pada bulan Sya’ban 456 H (Shidieqy 1997, 359). Tepatnya pada
malam Senin tanggal 28 Sya’ban tahun 456 Hijriyah/15 Juli 1064
Masehi Ibnu Hazm meninggal dunia setelah memenuhi hidupnya
dengan produktifitas ilmu, perdebatan dalam membela kebenaran dan
jujur dalam keimanan. Ibnu Hazm meninggal dalam umurnya yang ke
72 tahun (Farid 2008, 664).
3.2.2. Pendidikan Ibnu Hazm
Selaku anak dari seorang wazir, pada masa kecilnya ia telah
diasuh dan dididik oleh para inang pengasuhnya. Setelah menginjak
dewasa ia mulai belajar menghafal “al-Furqatu al-Qur'an” yang
dibimbing oleh Abu al-Husain al-Fasi, seorang yang terkenal saleh,
zahid, dan tidak beristeri. Al-Fasi inilah guru yang pertama kali
membentuk dan mengarahkan Ibnu Hazm sehingga didikannya
tersebut sangat terkesan dan membekas pada diri Ibnu Hazm
(Shidieqy 1997, 556).
Guru pertama Ibnu Hazm adalah Abu Umar Ahmad bin
Muhammad bin al-Jaswar sebelum tahun 400 H. Sedangkan dibidang
logika adalah Muhammad al-Hasan al-Maẓhaji yang dikenal dengan
sebutan “Ibnu al-Kattanῑ” yang dikenal sebagai penyair, ahli sastra dan
dokter dengan beberapa karangannya. Dan meninggal setelah tahun
400 H. Ibnu Hazm ketika terkenal dengan karyanya, at-Tauq
47
bersahabat dengan Abu Ali al-Husein al-Fasi yang dikenal menjadi
panutan dibidang akhlak dan agama. Ia juga belajar ilmu fiqh dan
hadis dari Ali Abdullah al-Abdi yang dikenal dengan sebutan al-Farḍi.
Di Cordoba, gurunya yang satu ini tidak tertandingi di bidang keluasan
periwayatan dan hafalan hadis, pengetahuan tokoh-tokoh hadis,
kecenderungan pada ilmu pengetahuan dan sastra, dan kefasihan
(Himayah 1983, 59).
Pada mulanya Ibnu Hazm mempelajari fiqh maẓhab Maliki,
karena kebanyakan masyarakat Andalusia dan Afrika utara menganut
Maẓhab ini. Al-Muwatta’ sebagai kitab fiqh standar dalam maẓhab ini
dipelajari dari seorang guru yang bernama Ahmad bin Muhammad bin
Jasur. Tidak hanya al-Muwatta’, Ibnu Hazm juga mempelajari kitab
Ikhtilaf karya Imam Malik. Menurutnya, meskipun ia menyukai
maẓhab Maliki akan tetapi ada yang lebih disenanginya yaitu
kebenaran. Hasil pemahaman Ibnu Hazm dari kitab tersebut
mendorongnya untuk pindah kepada maẓhab Imam Syafi’iy (Anshori
1998, 148).
Ibnu Hazm memiliki jiwa dan pikiran yang bebas, tidak mau
terikat pada suatu maẓhab. Di samping beliau mengikuti mazhab
Imam Syafi’i, dia juga mempelajari mazhab ulama-ulama Iraq yaitu
mazhab Hanafi, meskipun maẓhab ini tidak berkembang di Andalusia,
namun di sana juga terdapat ulama-ulama selain mazhab Maliki.
Kepada merekalah Ibnu Hazm belajar, dengan mempelajari mazhab-
mazhab lain dan melakukan perbandingan terhadap mazhab-mazhab
tersebut menjadikan Ibnu Hazm tertarik kepada mazhab Dzahiri yang
dikembangkan oleh Abu Sulaiman Daud ibn Ali al-Asqalani. Mazhab
Dzahiri ini berprinsip hanya perpegang pada nas atau asar, dan
apabila tidak terdapat pada nas yang dapat ditemukan barulah
dipakai istinbat sebagai dalil pengganti.
48
Mazhab ini berkembang di Andalusia hingga abad ke-5
Hijriyah. Kemudian berangsur-angsur mundur, hingga lenyap sama
sekali di abad ke-8. Di antara ulama besar yang membela dan
mempertahankan prinsip-prinsip maẓhab ini adalah Abu Muhammad
Ali Ibnu Hazm al-Andalusia, wafat tahun 456 H. Beliau inilah yang
telah membukukan mazhab Dzahiri dan telah menulis beberapa buku
besar baik dalam bidang ushul maupun dalam bidang fiqih (Shidieqy
1997, 130).
Dalam perjalanan mencari dan memperdalam ilmunya Ibnu
Hazm mempunyai guru-guru yang memberikan pelajaran kepadanya
antara lain:
1. Yahya bin Mas’ud bin Wajh Al-Jannah.
2. Abu Umar bin Muhammad Al-Jasur.
3. Yunus bin Abdillah bin Mughits Al-Qadhi.
4. Hammam bin Ahmad Al-Qadhi.
5. Muhammad bin Said bin Banat.
6. Abdullah bin Rabi’ At-Tamimi.
7. Abdurrahman bin Abdillah bin Khalid.
8. Abdullah bin Muhammad bin Utsman.
9. Abu Umar Ahmad bin Muhammad Ath-Thalamkani.
10. Abdullah bin Yusuf bin Nami.
11. Ahmad bin Qasim bin Muhammad bin Ushbuqh (Farid 2006, 673).
Sebagai ulama yang besar Ibnu Hazm juga memiliki murid-
murid, dintara murid-muridnya adalah:
1. Abu Rafi’ Al-Fadhl (anaknya).
2. Abu Abdillah Al-Humaidi.
3. Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi.
4. Abu Al-Hasan Syuriah bin Muhammad (Farid 2006, 674).
Semasa hidupnya, Ibnu Hazm telah menyusun banyak karya
tulis yang berkaitan dengan masalah fiqh, usul fiqh, maupun ilmu
49
hadits , disamping ilmu-ilmu yang lain. Dr. Abdul Halim Uwais
mengatakan, “ terdapat kesepakatan di antara para sejarawan bahwa
Ibnu Hazm adalah ulama yang paling banyak karya-karyanya.
Kebenaran sejarah ini telah siperkuat oleh murid Ibnu hazm, Sha’id
dan Abu Rafi’(Farid 2006, 674).
Sha’id meriwayatkan dari Abu Safi’ bahwa ayahnya mempunyai
karya-karya dalam bidang fiqih, usul fiqih, hadits, mustalah hadits,
aliran-aliran agama-agama, sejarah sastra, silsilah dan karya-karya
apologetik yang berjumlah kurang lebih 80.000 lembar yang ditulis
dengan tangan sendiri. Karya-karya Ibn Hazm tidak dapat diketahui
semua. Antara lain karya-karya Ibnu Hazm yaitu:
a. Bidang Sastra
1) Diwan As-Syi’ri.
2) Tauq Al-Hamamah fi Al-Ifati wa Al-Ilaf.
3) Al-Akhlaq wa as-Siyar fi Mudawa an-Nufus.
b. Bidang Fiqih
1) Al-Isal ila Fahmi Al- Khisal.
2) Al- Khisal Al-Jami’ah.
3) Al-Muhalla (Farid 2006, 675).
c. Bidang usul Fiqh
1) Al-Ihkam fi Usul Al-Ahkam.
2) Manzhumah fi Qawa’id Ushul Fiqh Azh-Zhahiriyah.
3) Maratib Al-Ijma’au Mutaqa Al-Ijma’.
4) Kasy Al-Iltibas ma baina Ashab Az-Zahir.
d. Bidang Perbandingan Agama
1) Al-Fisal fi Al-Milal wa An-Nihal wa Al-Ahwa’
2) Izharu Tabdil Al-Yahudi wan An-Nasara li At-Taurah wa Al-Injil
wa bayani Tanaqud Ma bi Aidihim min Zalika mimma
LaYahtamil at-Ta’wil
e. Bidang Aliran-Aliran Agama
50
1) An-Nasha’ih Al-Munjiyah wa Al-Fadha’ih Al-Mukhziyah li Jami’
asy-Syi’ah wa Al-Khawarij wa Al-Mu’tazilah wa Al-Murji’ah.
2) Kitab Izhar Tabdil Al-Yahud wa An-Nashara li At-Taurat wa Al-
Injil wa Bayan Tanaqudhi ma bi Aidihim minha min ma la
Yahtamil At-Ta’wil.
3) As-Sadi’ wa ar-Radi’.
f. Bidang Hadits
1) Syarh Hadits Al-Muwattaa’ wa al-Kalam ala Masalih.
2) Kitab Al-Jami’ fi Sahih Al-Hadits.
g. Bidang Sejarah
1) Jamharah al-Ansab Al-Arab.
2) Al-Imamah wa Al-Khilafah.
3) Al-Fihrasah.
h. Bidang Filsafat
1) At-Tarib Li Hadd al-Mantiq.
2) Al-Maratib al-Ulum.
3) Kitab fi Ar-rad’ala Al-Khindi Al-Failusuf (Farid 2006, 676).
3.2.3. Kondisi Sosial dan Politik
3.2.3.1. Kondisi Sosial
Ibn Hazm seorang yang suka berdebat dengan para ahli
fikih dengan keras, sengit, dan gigih. Pada dirinya terhimpun
berbagai macam sifat saling berlawanan : tabiat lembut,
pandangan luas, dan kesegaran jiwa. Akan tetapi, ia juga
mempunyai sifat kepala sempit pikiran, emosional, fanatik pada
apa saja yang diyakini benar, dan menolak selain itu. Ia juga
memperdebatkan berbagai masalah dari berbagai sudut pandang.
Bila ia sampai kepada pendapat yang diyakini benar,
dengan serta-merta ia mengecam semua orang yang tidak
sependapat dengannya, mengolok-ngolok dan melontarkan
berbagai tuduhan; tidak peduli apakah orang yang dikecamnya itu
51
terhormat ataupun terpandang. Oleh karena itu, ia disenangi oleh
beberapa orang hingga berani menentang para penguasa pada
zamannya. Akan tetapi, ada juga orang-orang yang tidak
menyukainya hingga mereka mau mengorbankan ajaran-ajaran
agama dan prinsip-prinsip moral manakala menerima bujukan
penguasa (Syarqawi 2000, 569).
Ia suka menghadiri pertemuan-pertemuan yang bersifat
hiburan. Disana ia senang mendengarkan pembicaraan kaum
cerdik pandai pada zamannya sambil mendengarkan nyanyian-
nyanyian merdu hingga saat tedengar suara azan menjelang
subuh saat itu, baru ia pulang kerumah untuk menunaikan shalat.
Akan tetapi, dikemudian hari ia suka mengasingkan diri siang-
malam, menjauhi sering bergadang dan berbincang dengan kaum
cerdik pandai. Dia tekun membaca, menulis dan berolah pikir.
Kemudian ia keluar meninggalkan rumah untuk
mengahadiri pertemuan ilmiah. Disana ia mendengarkan dan
menerima, lalu berdialog dengan guru-guru dan kaum cerdik
pandai. Setelah itu ia mengajar muridnya (Syarqawi 2000, 570).
Ibnu Hazm lahir dan wafat di Andalusia- negeri kaum muslim
yang terindah dan paling sejahtera-selama kurun tertentu yang
sarat dengan keburukan sepanjang sejarah Islam (Farid 2006,
664). Ketika itu, negara Islam yang terbesar di Andalusia sudah
terkoyak-koyak menjadi negara yang merosot.
Zaman Khalifah besar yang bertekat kuat telah lampau,
diganti zaman berikutnya, yaitu zaman para penguasa yang
berbudi rendah. Satu sama lain saling menjatuhkan dan dengki;
yang satu berusaha mengulingkan yang lain dengan berbagai cara.
Negara yang satu menggerogoti negara yang lain, bahkan ada
diantara negara-negara gurem itu yang bersekutu dengan
52
kekuatan Eropa yang sangat berambisi mengembalikan seluruh
wilayah Andalus ke dalam gengamannya (Syarqawi 2000, 570).
Akibat kemerosotan moral para penguasa di Andalusia itu,
mercu suar pengetahuan di Cordova menjadi pudar dan akhirnya
padam. Padahal dimasa lalu, Cordova memancarkan sinar
pengetahuan ke daerah-daerah sekitar, bahkan sampai ke
kawasan-kawasan Eropa. Cordova yang semula merupakan ibu
kota besar pada zaman keemasan Andalus, akhirnya berubah
menjadi salah satu negara yang suka berpoya-poya. Sifat-sifat
penduduknya pun turut berubah, dari manusia-manusia yang giat
belajar dan bekerja menjadi manusiamanusia yang gemar
berpesta pora.
Khazanah buku-buku pengetahuan hilang di Cordova
hilang berantakan tak diketahui kemana perginya. Padahal
sebelum itu, Khazanah kepustakaan di Cordova demikian kaya,
sejarah tidak mengenal adanya khazanah kepustakaan kaya,
sekaya yang ada di Cordova pada zaman keemasan Andalusia.
Akan tetapi kemudian, penduduk berubah kebiasaan, dari semula
yang gemar membaca buku menjadi gemar hidup dikelilingi oleh
wanita yang cantik molek.
Kaum kaya yang dulunya berlomba-lomba membelanjakan
uang untuk membeli buku-buku baru, telah berubah pula menjadi
gemar menghamburkan uang untuk berfoya-foya, padahal dimasa
lalu, penulis buku dikawasan Arabia timur berpacu menerbitkan
karya-karyanya di Andalusia, sebelum terbit di negara mereka
sendiri, seperti yang dilakukan oleh penulis buku al-Aghni. Sejak
berubahnya Andalus menjadi negara yang suka berhura-hura dan
Cordova pun sudah kehilangan pamornya, orang bersaing
menghamburkan uang untuk membeli budak-budak kulit putih
53
berasal dari Perancis, Itali, dan dari kepulauan terdekat di
samudera atlantik dan di laut tengah (Syarqawi 2000, 571).
Pada masa itu, pemikiran orang Arab di Andalusia telah
meninggalkan tradisi Islam, seperti keberanaian berkelana serta
semangat mengungkapkan sesuatu yang belum diketahui, dan
memperkaya kehidupan dengan berbagai bentuk nilai tambah.
Pemikiran mereka pada saat itu sudah sangat merosot dan
terperosok ke dalam kejumudan serta taklid buta (Mursi 2013,
452). Banyak yang menganggap guru-guru Agama sebagai “
Waliyyullah”, lalu meminta tolong kepada mereka agar
keinginannya terkabul tanpa berbuat apa pun (Syarqawi 2000,
571).
Pada zaman itu juga terjadi musim kemarau, sebagian
wilayah Andalusia sangat kekurangan air. dalam waktu lama,
hujan tidak turun hingga penduduk dilanda kehausan dan
kekeringan. Akan tetapi kaum muslim di daerah bukannya
menyelengarakan salat Istisqa dan berharap agar Allah berkenan
mengabulkan permohonan mereka dengan menurunkan hujan,
mereka malah berbuat yang tidak semestinya dilakukan oleh
kaum beriman. Mereka beramai-ramai menghadapkan diri pada
sebuah peci (Qalansuwah) yang para orang tua mereka
mengambilnya dari Imam Malik. Dengan perantaran peci itu,
mereka memohon kepada Allah agar menurunkan hujan
(Syarqawi 2000, 572).
Di saat-saat pembendaharaan negara kosong dan tidak
sanggup mengeluarkan biaya pertahanan yang diminta angkatan
perang, salah seorang pengeran disebuah negara justru
membangun istana besar dan megah. Disekitarnya dibuat taman-
taman indah yang sarat dengan pepohonan, bunga warna warni,
dan jenis-jenis unggas yang langka. Dan selain itu ia juga
54
memerintahkan pembuatan sungai mini dari puncak sebuah
gunung untuk menyalurkan air ke parit dipertamanannya apabila
salju dipuncak gunung itu mencair pada waktu musim kemarau
tiba.
Air yang mengalir berkelok-kelok ditaman itu bermuara
disebuah kolam seluas telaga, yang lantai dasarnya terbuat dari
marmer berwarna kebiru-biruan yang sangat indah dan mahal
harganya. Sedangkan bagian-bagian dalam kolam raksasa itu
dihiasi dengan taburan batu permata dan batu manikam. Kolam
yang demikian indah dan mewah itu disediakan khusus bagi selir-
selir kulit putih yang berasal dari Perancis bagian selatan. Pada
siang hari musim kemarau, mereka bersantai, mandi sinar
matahari. Dimalam hari, mereka bercengkrama ditengah remang-
remang cahaya bulan dan lampu-lampu terang benderang
(Syarqawi 2000, 573).
Dalam suasana kemewahan melimpah-ruah yang lebih
diperindah lagi oleh panorama alam sekitar yang sangat romatis
dan ditengah kerusakan masyarakat yang terus bertambah parah,
dalam suasana itulah Ibnu Hazm tumbuh dan di besarkan.
Hidupnya sibuk dengan urusan-urusan politik, sastra, ilmu fikih,
dan puisi. Ia mengikuti berbagai cabang ilmu seperti filsafat,
semantik, sosial, astronomi, matematika dan psikologi. Dia yang
menamai cabang ilmu dan pengetahuan yang dikuasaianya itu, ia
kemudian berkecimpung ditengah kehidupan masyarakatnya.
Melalui cara itu, ia dapat menyaksikan kenyataan dengan
jelas dan dapat mengambarkan sekecil-kecilnya kerusakan dan
kezaliman yang sesungguhnya sedang melanda kehidupan
masyarakat dari lubuk hatinya. Timbullah reaksi untuk menolak
keadaan yang mewarnai masyarkat, lalu ia bertekat mendobrak
55
kenyataan lama hendak mengantikan dengan pembangunan yang
baru.
Ibnu Hazm meninggalkan buku-buku yang ditulisnya
sendiri, yang jumlahnya tidak kurang dari 400 buah (Mursi 2013,
452). Untuk mencapai tujuan itu, ia tidak membatasi kegiatannya
pada menekuni buku-buku ilmiah saja. Ia bahkan langsung
berkecimpung didalam pergolakan politik. Ia tidak ketingalan
mengikuti gerakan-gerakan bersenjata. Ia seorang yang mengenal
kasih sayang dan mengenal kesenangan hidup, tetapi ia juga
mengenal bebagai macam kebusukan yang sedang meracuni
kehidupan masyarakatnya.
Kendati ia seorang ahli fikih kenamaan yang diintai musuh-
musuhnya, namun ia tidak segan-segan menyatakan secara
terang-terangan semua yang dialami dan disaksikan sendiri. Ia
menguak semua itu dengan pernyataan yang jelas, gamblang dan
sedap didengar. Ia tidak mau menutupi kenyataan dengan
ungkapan-ungkapan semu atau kata-kata bersayap (Syarqawi
2000, 574).
Ibnu Hazm sering tidak mau keluar sama sekali dari kamar
kerjanya, dan sering pula menolak orang-orang yang hendak
menjenguk atau hendak menemuinya. Tabiat yang demikian itu
sangat menjengkelkan teman-teman dan tamu-tamunya. Akan
tetapi, bila sudah berhenti bekerja dan keluar meninggalkan
kamar, ia mendatangi mereka dan meminta maaf, lalu bersantai
bersama mereka. Ia berfikir, jika tidak keras mendisiplinkan
dirinya dalam bekerja, tentu tidak akan mnghasilkan apa-apa.
Baginya, bekerja adalah ibadah. Menurutnya, orang yang sedang
menyendiri untuk menekuni ibadah tidak boleh bergeser dengan
alasan atau desakan apa pun sebelum menyelesaikan ibadah yang
ditekuninya.
56
Ibn Hazm sempat beristeri dan beranak pinak. Ibn Hazm
memiliki 3 orang anak yang merupakan tokoh-tokoh ulama dan
cendekiawan serta penerus perjuangan yang telah dirintiskannya.
Mereka adalah Abu Rafi’ Fadl, Abu Sulaiman al-Mus’ab dan Abu
Salamah Ya’qub. Yang paling menguasai ilmu Ibn Hazm adalah
Abu Rafi’. Ia merupakan seorang ulama yang diperhitungkan
(Zahrah 1997, 54)
Ibn Hazm meninggal dunia pada 28 Sya’ban tahun 456 H/ 5
April 1064 di Manta Lisyam (Syararah t.t, 50).
3.2.3.2. Kondisi Politik
Pada masa kelahiran Ibnu Hazm, negeri Andalus bukan lagi
negeri Andalus yang kuat dan bersatu. Kekhalifahan di Andalus
pada saat itu berada ditangan Hisyam al-Mu’ayyad, salah seorang
khalifah terakhir di negeri itu. Pada masa itu negara Andalus
sudah terkoyak-koyak menjadi kepingan negara-negara atau
kesultanan-kesultanan yang saling bergontokan, jegal-menjegal
berebut kekuasaan atas negara gurem tetangganya (Syarqawi
2000, 561).
Dengan kata lain di masa Ibnu Hazm hidup, merupakan
gambaran hidup umat Islam Andalus mengalami puncak tragis,
dimulai dengan naiknya Hisyam al-Muayyad ke singgasana
kekuasaan dalam usia lebih kurang 11 tahun. Karena usianya yang
sangat muda ia belum mampu memerintah, maka untuk
melaksanakan pemerintahan diangkatlah ibunda ratu Subaihah
menjadi pemangku kerajaan. Dan ibunya itu mengangkat
Muhammad Ibn Abdullah Ibn Abi Amir yang terkenal dengan gelar
Ali Malikul Mansur menjadi perdana menteri dan kepadanya
diserahkan semua urusan pemerintah (Usman 1981, 31).
Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Ali Malikul Mansur
ini, dia berhasil melakukan revolusi dan perubahan status khalifah
57
Bani Umayyah ketangannya. Dengan keberhasilannya
memindahkan Khalifah kepada dirinya hanya dalam waktu yang
singkat. Dari sinilah ia membangun daulah atas dirinya sendiri
dan diberi nama daulah Amiriyyah (Halim 1990, 31).
Pada masa ini Negeri Andalus dilanda kemerosotan politik,
sosial, moral dan juga di bidang penghayatan agama. Ketika Ibnu
Hazm berumur 15 tahun, terjadi pemberontakan yang digerakkan
oleh sejumlah pangeran. Pemberontakan itu berhasil
menggulingkan Khalifah Hisyam al-Mu’ayyad berkat dukungan
orang-orang Arab sendiri, orang-orang Barbar, dan orang Eropa.
Oleh penguasa yang baru, ayah Ibnu Hazm dipecat sebagai
Menteri dan ditahan beberapa lama, kemudian dibebaskan
(Syarqawi 2000, 562).
Ketika Ibnu Hazm berumur 20 tahun dia ditinggal wafat
ayahnya. Ayahnya wafat hari Sabtu sore tanggal 28 Dzulhijjah 402
H. Setelah ditinggal wafat ayahnya, ia pergi meninggalkan Cordova
menuju Almeria, sebuah kota kecil di daerah Granada untuk
mencari ketenangan, di sana ia memanfaatkan waktunya untuk
menghadiri pelajaran-pelajaran di halaqah-halaqah dan membaca
buku-buku di rumah. Di Cordova pangeran-pangeran Bani
Umayyah bertarung terus berebut kekuasaan.
Pada akhirnya kekuasaan jatuh ketangan ‘Awaliyyin. Ibnu
Hazm khawatir akan dikejar-kejar penguasa, karena ia keturunan
orang Bani Umayyah yang datang pertama di Andalusia. Apa yang
dikhawatirkannya itu benar terjadi, ia dituduh berkomplot
dengan kaum yang menentang ‘Alawiyyin, lalu ia dijatuhi
hukuman pengucilan kemudian dilepaskan kembali. Ketika Ibnu
Hazm mengetahui bahwa Abdurrahman IV yang bergelar
Murtadha memproklamirkan diri sebagai Khalifah Umayyah di
58
Valencia, maka ia segera meninggalkan Ameria ke Valencia
(Syarqawi 2000, 563).
Ibnu Hazm kembali ke Cordova ketika al-Qasim Ibn Hamud
menjabat sebagai Khalifah, yaitu pada bulan Syawal 409 H, setelah
meninggalkan kota itu lebih kurang 6 (enam) tahun. Setelah
pemerintahan al-Qasi berakhir, kemudian digantikan oleh
Abdurrahnam V yang bergelar al-Muthazir, yaitu sahabat Ibnu
Hazm, kemudian mengangkat Ibnu Hazm sebagai Menteri.
Abdurrahman V dilantik sebagai Khalifah pada bulan Ramadhan
414 H, bertepatan dengan bulan Desember 1023 M.
Namun pemerintahannya berlangsung selama 7 (tujuh)
minggu. Karena Abdurrahman mati dibunuh oleh orang pada
bulan Dzulqaedah 414 H bertepatan bulan Januari 1024 M. Dan
Ibnu Hazm pun sempat ditahan, tetapi tidak ada ketentuan yang
pasti berapa lamanya. Namun yang jelas pada tahun 418 H, ia
sudah berada di Jativa. Pada masa kekuasaan Hisyam III yang
bergelar al- Mu’tadabillah 418-423 H ia diangkat lagi menjadi
Menteri, sampai ia mengundurkan diri dari percaturan politik dan
menekuni bidang ilmiah yaitu menulis dan mengajar (Dahlan
1996, 609).
Ibnu Hazm lari dari kehidupan politik dan menjadi sesosok
yang mencintai ilmu. Kesibukannya bergaul dengan manusia
diubahnya menjadi sibuk dengan buku-buku. Dia menemukan
sesuatu yang membuatnya tidak ragu, menemukan teman yang
tidak diragukan lagi kejujuran cintanya di dalam buku. Dia selalu
mempelajari buku yang ada di hadapannya (Jamal 2005, 120).
3.2.4. Metode Istinbath Hukum
Ibnu Hazm adalah seorang yang bermazhab zhahiriyyah, dalam
ber-istinbath hukum untuk menghadapi studi-studi ke-Islaman, Ibnu
59
Hazm menjelaskan dalam kitabnya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, bahwa
ia dalam ber-istinbath menggunakan empat dasar pokok yaitu :
الأ صول التى لايعرف شئ مذا لشرا نع إلامنهاو أ نها أربعة وىي : نص الق تعا ى ماا ان ونص كلا م رسول الله صلى الله عليو و سلم الذي إنما عن الله
صح عنو عليو اسلا م نقل القات اوالتو اتر وإجما ع جميع علما ءالأ مة اوالدليل منها ولايحتمل إلا وجها واحد
Artinya :Dasar-dasar hukum yang tidak diketahui sesuatu dari syara’
melainkan dari dasar-dasar itu ada empat, yaitu : bersarkan al-Qur’an, berdasarkan perkataan Rasulullah yang sebenarnya datang dari Allah juga yang sahih kita terima dari padanya dan dinukilnya oleh orang-orang kepercayaan atau yang mutawatir dan ijma’ oleh semua umat dan suatu dalil dari padanya yang tidak mungkin menerima selain dari pada satu cara saja (Hazm t.th, 71).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa sumber
dalam menetapkan hukum menurut ibnu hazm ada 4 yaitu:
a. Al-Qur’an
b. Al- Sunnah
c. Al-Ijma’
d. Dalil yang keluar dari nash dan mengandung makna satu.
Keempat dasar inilah yang kemudian dijadikan oleh Ibnu Hazm
sebagai sumber sekaligus metode (Ushul al-Fiqh) dalam menggali
hukum-hukum Allah. Karena memang kitabnya Al-Ihkam fi Ushul al-
Ahkam sendiri diyakini sebagai kitab yang membahas metodologi
yang digunakan Ibnu Hazm dalam menyimpulkan hukum-hukum
Islam.
a. Al-Quran
Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya
melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW dengan
lafadz bahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk
60
menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah,
menjadi peraturan bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan
menjadi qurbah di mana mereka beribadah dengan membacanya
(Khalaf 1994, 18).
Dalam memahami nash orang berselisih memahaminya, hanya
saja daya menanggapilah yang berbeda-beda karena sesuai dengan
daya menurut kekuatan pemahamannya, Ibn Hazm berkata :
ولبيان يختلف فى الوضوح فيون بعضو جلياو بعضو فيافيختلف الناس فى فهمو بعضهم ويتأر بعضهم عن فهمو كما قال على بن ابى طالب
الله رجلا فى دينورضى الله عنو: الا ان يوء Artinya: Penjelasan berbeda-beda keadaannya. Sebagiannya terang
dan sebagiannya tersembunyi. Karena itu manusia berselisih dalam memahaminya, sebagian mereka memahaminya, sedangkan sebagian yang lain tidak dapat memahaminya. Sebagaimana Ali bin Abi Talib mengatakan “terkecuali Allah memberikan kepada seseorang paham (kecerdasan) yang kuat tentang agamanya (Hazm t.th, 88).
Dalam memahami al-Qur’an Ibn Hazm menekankan adanya
kaidah-kaidah bahasa yang harus diketahui oleh Mujtahid dalam
memahami kandungan Al-Qur’an. Oleh karena itu Ibnu Hazm
sangat memperhatikan adannya istisna’, takhshis, taukid dan nasikh
mansukh. Ia menyebut hal itu sebagai bayan, seperti yang
dikatakannya :
إن التخصيص اوالإستناءنوعان من أنوا ع البيان
Artinya: Sesungguhnya takhsis dan istitsna adalah dua macam dari macam-macam al-Bayan (Hazm t.th, 80).
61
Dan perkataannya tentang taukid sebagai berikut:
والتاءكيد نو ع من انو اع البيانArtinya: Ta’kid adalah suatu macam penjelasan (al-Bayan)
(Hazm t.th, 88).
Ibnu Hazm terkadang memakai istilah makhasis sebagai
pengganti istilah nasikh. Ibnu Hazm dalam mengambil zhahir al-
Qur’an ia juga menggunakan makna majaz, karena majaz itu
termasuk bahagian zhahir nash, apabila sudah terkenal
pemakaiannya,atau ada qarinah yang menegaskan. Ibn Hazm selalu
mengambil zhahir nash, sehingga segala Amr untuk wajib, wajib
segera dikerjakan, kecuali ada hal lain yang menetapkan tidak
demikian. Lafadz ‘Am harus diambil umumnya,karena itulah yang
zhahir, terkecuali ada keterangan bahwa yang dimaksud bukan
zhahir (Hazm t.th, 79).
b. Sunnah
Dalam hal ini Ibn Hazm berkata :
لما بينا أن القران ىوالأصل المرجو ع إليو فى الشر انع نظر نافيو فو جدنا فيو جل إيجاب طا عة ماأمر نا بو رسول ىصلى الله عليو وسلم ووجدناه عزو
يقول فيو واصفالر سول ىصلى الله عليو وسلم وما ينطق عن الهوى . ان ىوإلاوىي يو حى. فصح لنا بذلك أن الوحي ينقسم من الله عزوجل اى رسو لو سلى الله عليو وسلم قسمين: أحد هما : وحى متلو م لف تأ ليفا
لف ولا مع جز معجز النظام وىوالقران, والانى وحي مروي منقول غر مصلى لله عليو النظم ولامتلو لنو مقروء, وىوا لخبر الواردعن رسول الله
وسلم
62
Artinya: Ketika kami telah menjelaskan bahwasanya al-Qur’an adalah pokok pangkal yang harus kepadanya kita kembali dalam menentukan hukum, maka kami memperhatikan isinya, kami mendapatkan didalamnya keharusan mentaati apa yang Rasulullah perintahkan kepada kita dan firman Allah menegaskan dalam memberikan sifat akan sabda Rasul (dan dia tidak menuturkan sesuatu dari hawa nafsunya, tidaklah yang disampaikan itu melainkan apa yang telah diwahyukan kepadanya). Maka shah bagi kami bahwasanya wahyu yang datang dari Allah terbagi dua; pertama, wahyu yang dibacakan yang merupakan mukjizat. Yang kedua, wahyu yang diriwayatkan dan dinukilkan tidak disyari’atkan kita membacanya sebagai ibadah. Namun demikian dia tetap dibacakan dan itulah hadits Rasulullah (Hazm t.th, 96).
Ibnu Hazm berpendapat dalam memandang al-Qur’an dan al-
Sunnah keduanya merupakan bagian yang satu sama lainnya saling
menyempurnakan. Ibn Hazm berkata :
والقران والخبر الصحيح بعضها مضا ف إى بعض. وهما شئ واحد أنهما من عند الله تعلى وحمهماحم واحد فى باب وجوب الطاعة لهما لماقد مناه انفا فى صدر ىذ االباب قال تعاى : ياايهاالذين امنو اأطيعوالله
عنا واطيعو اارسو ل ولا تولواعنو وأنتم تسمعون, ولا تون كالذين قالواسم وىم لايدعن
Artinya: Al-Qur’an dan hadits yang sahih, sebagiannya
disandarkan pada sebagiannya, keduanya dipandang satu dalam arti, kedua-duanya datang dari sisi Allah. Dan menetapkan hukum kepada keduanya sebagaimana firman Allah, “ Hai orang-orang yang
beriman taatlah kepada Allah, dan taatilah Rasul-Nya, jangan kamu berpaling dari padanya sedang kamu mendengar, dan janganlah kamu seperti orang yang mengatakan “kami telah mendengar” padahal mereka tidak mengetahui” (Hazm t.th, 98).
63
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa Ibn Hazm
memandang al-Qur’an dan al-Sunnah sama kedudukannya sebagai
jalan yang menyampaikan manusia ke syari’at Islam, karena
keduanya adalah wahyu Allah SWT. Ibn Hazm menetapkan bahwa
syari’at Islam hanya mempunyai sumber yang bercabang dua, dan
kedua cabang ini sama kekuatannya dalam menetapkan hukum,
walaupun cabang yang pertama merupakan pokok bagian cabang
yang kedua. Cabang yang kedua yaitu al-Sunnah yang sudah diakui
ke-sahihan-nya (ash- Shiddieqy 1997, 327).
Menurut Ibn Hazm, wajib diyakini kebenaran hadits ahad
sebagaimana wajib mengamalkannya. Untuk prinsip ini ia
mengemukakan beberapa syarat. Ibnu Hazm mensyaratkan para
perawi itu seorang yang adil terkenal sebagai orang yang benar,
kuat hafalannya, serta mencatat apa yang didengar dan dinukilkan,
harus terpercaya dan merupakan seorang yang faqih. Ia juga
mensyaratkan pula sanad hadits itu muttasil hingga sampai kepada
Nabi. Ibn Hazm tidak menerima hadits mursal, kecuali hadits
mursal itu mempunyai nilai-nilai tersendiri, umpamanya hadits itu
di-irsal-kan oleh tabi’in besar, dan hadits mursal itu diriwayatkan
yang semaknanya atau dikuatkan oleh hadits yang lain, atau oleh
pendapat sahabat, atau diterima oleh ahli ilmu (ash- Shiddieqy
1997, 331).
Karena al-Sunnah diletakkan pada martabat al-Qur’an maka
Ibn Hazm menetapkan dua buah dasar yaitu:
1) Al-Sunnah dapat mentakhsis al-Qur’an
2) Takhsis dipandang bayan, dan al-Sunnah adalah bayan bagi al-
Qur’an.
64
c. Ijma’
Ijma’ adalah Sumber yang ketiga menurut Ibn Hazm. Dalam hal
ijma’ Ibnu Hazm berkata:
إفقنا نحن وأكر المخا لفين لناعلى أنالا جماع من علماءاىل الإسلام حجة وحق مقطو ع بو دين الله عز وجل
Artinya: Kami telah sepakat dan kebanyakan orang yang menyalahi
kami, bahwasanya ijma’ dari segenap ulama Islam adalah hujjah dan suatu kebenaran yang pasti dalam agama Allah (Hazm t.th, 128).
Ijma’ yang ditetapkan Ibn Hazm ialah ijma’ yang berdasarkan
nash, Karenanya segala ijma’ yang tidak bersandarkan nash
bukanlah ijma’. Sandaran ijma’ menurut Ibn Hazm hanyalah nash
(ash- Shiddieqy 1997, 338).
فا علموارحمم الله ان من اتبع نص القران, وما أسند من ظريق القات اى رسول الله صلى الله عليو وسلم, فقد اتبع الا جماع يقينا. وان عاج
عن سيء من ذلك فلم يتبع الاجماع
Artinya:Maka ketahuilah olehmu mudah - mudahan Allah merahmatimu bahwa siapa yang mengikuti nash al-Qur’an dan sesuatu yang disandarkan dari jalan yang dipercayai kepada Rasulullah ( al-Sunnah) berarti dia mengikuti ijma’ secara yakin, dan siapa yang berpaling dari yang demikian maka tidaklah ia mengikuti ijma’ (Hazm t.th, 128).
Ijma’ menurut Ibnu Hazm dapat dipahami bahwa mengikuti
teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Ibnu Hazm mengatakan Ijma’ terbagi
kepada dua macam yaitu: 1) Semua masalah yang tidak diragukan lagi oleh setiap Muslim.
Misalnya membaca syahadat, kewajiban atas shalat lima waktu,
65
puasa di bulan Ramadhan. Haramnya bangkai, darah, daging
Babi, wajib membayar zakat dan lain sebagainya. Orang yang
tidak mengakui semua ini bukanlah Muslim. Inilah yang disebut
dengan Ijma’ seluruh ummat.
2) Perbuatan Nabi disaksikan sahabat, atau diyakini oleh sahabat
lainnya yang tidak hadir pada peristiwa itu. Misalnya
memberikan setengah dari hasil pertanian Khaibar kepada
orang Yahudi, padahal kalau ummat Islam mau, orang Islam
mampu mengusir kaum yahudi dari Khaibar.
Ibnu Hazm menerima Ijma’ pada masa Nabi, karena mereka
menyaksikan penjelasan Nabi, dan mereka orang-orang Mukmin
yang sesungguhnya oleh sebab itu Ijma’ mereka adalah Ijma’ yang
benar.
d. Al-Dalil
Dalam kitabnya Ibnu Hazm tidak ada secara jelas definisi al-
Dalil. Namun dibuku Amir Syarifuddin dikatakan bahwa al-Dalil
berasal dari kata dalala dengan bentuk masdar-nya dalil yang
secara etimologi berarti: suatu yang dapat menunjuki dalam
literatur ushul fikih kata ini sering disebut al-Dalilatu al-Syar’iyyatu.
Dan dalam literatur kontemporer untuk kata yang sama digunakan
kata yang lain yang dianggap semakna yaitu kata mashdar yang
jamaknya mashadir yang berarti sumber. Apabila dilihat dari segi
etimologi kata itu tidak sinonim, paling tidak apabila kata tersebut
dihubungkan dengan kata Syari’ah, kata mashdar berarti wadah
dari wadah itu ditimba suatu hukum, sedangkan kata dalil hukum
berarti: “suatu dalil yang memberikan petunjuk dalam menemukan
hukum Allah” (Syarifuddin 1994,43).
Al-Dalil tersebut tidak berbeda jauh dari qiyas. Hal ini telah
diungkapkan oleh al-Khatib al-Baqhdady zhahiriyah mengatakan
66
bahwa dasar yang mereka namakan al-Dalil itu tidak keluar dari
nash, seperti dalam penerapan qiyas. Sementara Ibn Hazm
menetapkan bahwa apa yang dinamakan dalil itu diambil dari ijma’
atau dari nash, bukan diambil dengan jalan mempertautkannya
kepada nash. al-Dalil menurut Ibn Hazm berbeda dengan qiyas
(ash- Shiddieqy 1997, 349).
Sebagaimana Ibnu Hazm menjelaskan:
ظن قوم يجلهلهم أن قولنا بالدليل روج منا عن النص والإ جماع وظن أرون أن القياس والد ليل وحد فأ طنو افي ظنهم أفحش طاء
Artinya: Orang-orang yang tidak tahu menduga bahwa pendapat
kami tentang “al-dalil” telah keluar (menyimpang) dari nash dan ijma’, dan sebagian lagi menduga bahwa qiyas dengan al-dalil adalah sama, dugaan mereka sangat keliru (Hazm t.th, 105).
Qiyas pada dasarnya ialah menyamakan sesuatu dengan
hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan ‘illat hukum
menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya (Dahlan, 2014,
161). Menurut Ibn Hazm al-Dalil dibagi menjadi dua macam yaitu
al-Dalil yang diambil dari nash dan yang diambil dari Ijma’:
الدليل مأ ذ من النص ومن الا جماع Artinya: Adapun al-Dalil ialah: al-Dalil yang diambil dari nash dan
yang diambil dari ijma’ (Hazm t.th, 106).