Upload
ngodung
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
BAB III
FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM
HUTANG-PIUTANG
Pembahasan dua fatwa terkait bunga dalam hutang piutang ini kendati
memiliki tema kajian yang sama, namun secara materi isi dan argumentasi yang
dibangun berbeda. Kedua fatwa memaparkan berbagai pertimbangan terlebih
dahulu, termasuk tentang dalil yang melandasinya, kemudian tersimpulkan dalam
ringkasan jawaban. Untuk itu, menelisik mengenai kedua fatwa tersebut paling
tidak akan terbagi menjadi 2 bagian. Pertama, Fata MUI tentang Bunga Bank, dan
kedua, Fatwa NU tentang hutang piutang di Koperasi. Kedua fatwa beserta
argumentasi yang sudah terdokumentasikan dalam serangkaian keputusan fatwa
akan dipaparkan setelah memberikan selayang pandang (overview) mengenai
masing-masing lembaga dan metode memutuskan fatwa.
A. Fatwa MUI Terkait Bungan dalam Hutang Piutang
1. Sekilas Rekam Biografi MUI1
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat
yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk
membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan
dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia. Gedung MUI Jl. Proklamasi
No. 51 Menteng Jakarta Pusat Telp. 062-21-31902666 Fax. 062-21-31905266.
1 Penjelasan mengenai sekilas rekam biografis MUI ini disaripatikan dari laman resmi MUI dalam
www.mui.or.id (15 Januari 2015)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama,
cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain
meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia
pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam
tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah,
Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari
Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan
POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk
membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan
cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,”
yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut
Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah
berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi
bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang
peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama
dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para
ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah
Subhanahu wa Ta’ala;
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
72
2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan
kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat
beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;
3. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan
penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan
pembangunan nasional;
4. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam
dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan
kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi
dan informasi secara timbal balik.
Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima
fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar
Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali musyawarah nasional, dan
mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, yaitu:
1. Prof. Dr. Hamka (1977-1981)
2. KH. Syukri Ghozali (1981-1983)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
73
3. KH. Hasan Basri (1983-1990)
4. Prof. KH. Ali Yafie (1990-2000)
5. KH. M. Sahal Mahfudz (2000-2014)
6. Prof. Din Syamsuddin (2014- sekarang)
Di antara beberapa produk MUI adalah Sertifikasi Halal, Hasil Kajian,
Rekomendasi, Buku Terbitan MUI dan Majalah. Selain itu, MUI memiliki
beberapa lembaga di antaranya adalah: Komisi-Komisi Fatwa MUI, LPPOM
(Lembaga Pengkajian Pangan, obat-obatan, dan Kosmetika ) MUI, Basyarnas
(Badan Arbitrase Syariah Nasional), LPLH SDA MUI (Lembaga Pemuliaan
Lingkungan Hidup Dan Sumber Daya Alam), DSN (Dewan Syariah Nasional).
Sebagai lembaga yang membidangi banyak hal terkait dengan kegiatan
keagamaan, MUI memliki komisi-komisi yang membantu mewujudkan MUI
menjadi lembaga komprehensif. Komisi-komisi MUI di antaranya adalah Komisi
Fatwa, Komisi Ukhuwah Islamiyah, Komisi Dakwah dan Pengembangan
Masyarakat, Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat, Komisi Informasi dan
Komunikasi, Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga Komisi Hukum dan
Perundang-undangan, Komisi Pengkajian dan Penelitian, Komisi Kerukunan
Antar Umat Beragama, Komisi Pembinaan Seni Budaya Islam, Komisi Hubungan
Luar Negeri Dan Kerjasama Internasional.
2. Metode penetapan Fatwa MUI
Dalam hal pedoman penetapan fatwa MUI, ada beberapa hal yang perlu
digarisbawahi. Di antaranya adalah dasar, prosedur penetapan fatwa, mekanisme,
format fatwa, serta kewenangan dan wilayah fatwa, yang kesemuanya termaktub
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
74
dalam (1) Keputusan MUI no. U -596/ MUI/ X/ 1997tentang pedoman penetapan
fatwa, (2) Keputusan MAJELIS ULAMA INDONESIA no. U - 634/ MUI/ X/
1997 tentang mekanisme kerja komisi fatwa, dan (3) Keputusan MUI tanggal 12
April 2000 tentang pedoman dan prosedur penetapan fatwa MUI.2
a. Dasar-Dasar Umum Penetapan Fatwa
MUI memiliki dasar-dasar umum dalam penetapan fatwa yang tertuang dalam
bab 2 pasal 2, terdiri atas tiga ayat, sebagi berikut:3
1. Setiap fatwa harus mempunyai dasar dari Al-Qur’an dan sunnah yang
mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
Ketentuan ayat ini merupakan kesepakatan dan keyakinan umat Islam bahwa
setiap fatwa harus berdasarkan pada kedua sumber hukum yang telah disepakati
tersebut. Fatwa yang bertentangan atau tidak berdasarkan pada keduanya
dipandang tidak sah, bahkan dipandang sebagai tah }akkum dan perbuatan dusta
atas nama Allah yang dilarang agama. Allah dalam firman-Nya secara tegas,
melarang tah{akkum.
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan
2 Muhyidin, Dzari’ah sebagai metode penetapan hukum (antara yang sadd dan fath }), Jurnal al –
Ahkam Semarang : Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Vol XV, 2004. 3 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011, 945-947.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
75
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung. (QS. Al nah }l [16]: 116).4
Dalam penetapan fatwa yang dilakukan MUI hanyalah menggunakan sunnah
mu’tabarah, yaitu sunnah yang dapat dijadikan hujjah. Sedangkan kemaslahatan
yang dimaksud di atas adalah yang sejalan dengan pensyari’atan hukum Islam.
2. Jika tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadith, sebagaimana
ditentukan dalam pasal 2 ayat 1, fatwa hendaklah tidak bertentangan
dengan ijma >’, qiya>s yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain,
seperti istih }sa>n, mas}a>lih} al-mursalah, dan saddu al dhari >’ah.
Setiap permasalahan yang akan difatwakan hukumnya terlebih dahulu harus
merujuk pada Al-Qur’an dan sunnah. Selanjutnya, jika permasalahan yang akan
difatwakan hukumnya tidak ditemukan dalam kedua sumber hukum itu, maka
harus diteliti apakah masalah tersebut sudah pernah ada pada ijma >’ dari ulama
terdahulu atau belum, jika sudah ada, maka fatwa harus sejalan dan tidak boleh
bertentangan dengan ijma >’. Kemudian jika tidak terdapat pada ijma >’, fatwa
dikeluarkan setelah melalui proses ijtihad menggunakan perangkat-perangkat
ijtihad yang memadai serta berpegang pada dalil-dalil hukum lain, seperti qiya >s,
dan sebagainya.
3. Sebelum pengambilan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para
imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum
maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang
berbeda pendapat, serta pandangan penasehat ahli yang dihadirkan.
4 Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, 280
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
76
Sebelum pengambilan fatwa hendaklah didengar terlebih dahulu keterangan
para ahli mengenai bidang yang akan difatwakan hukumnya. Jika masalah yang
dihadapi MUI merupakan masalah-masalah kontemporer, misalnya masalah
kedokteran, masalah perekonomian dan sebagainya, MUI harus mendengarkan
penjelasan terlebih dahulu dari para ahlinya, sehingga jelas permasalahannya.
Setelah itu dilakukan ijtihad untuk menentukan hukumnya. Dengan demikian,
diharapkan fatwa yang dikeluarkan mempunyai dasar dan landasan yang benar
secara ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan.
b. Metode Penetapan Fatwa5
Sebelum menetapkan sebuah fatwa tertentu, MUI akan melakukan beberapa
langkah sebagai berikut:
1. Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau terlebih dahulu pendapat
para imam madzab tentang masalah yang akan difatwakan tersebut, secara
seksama berikut dalil-dalilnya.
2. Masalah yang telah jelas hukumnya (al-ah}ka>m al-qat }’iyya>t) hendaklah
disampaikan sebagaimana adanya.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan madzab, maka:
a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu diantara
pendapat-pendapat madzab melalui metode al-jam’u wa al-taufi >q.
b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa
didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqa>ranat al-madha>hib
dengan menggunakan kaidah-kaidah us }u>l fiqh muqa >ran.
5 Ma’ruf Amin dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, (Surabaya: Erlangga,
2011), 5
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
77
4. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya dikalangan
madzab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif)
melalui metode bayani, ta’lili (qiya>si, istih }sa>ni, ilh}a>qi), istis}la >hi dan sadd
al-dhari >’ah.
5. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum
(mas}a>lih} ‘ammah) dan maqa >s }id shari >’ah6.
Dalam masalah terjadi khilafiyah di kalangan madzhab, maka yang
difatwakan adalah hasil tarjih melalui metode muqaranah (perbandingan) dengan
menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh Muqaran yang berhubungan dengan
pentarjihan.
Dari uraian di atas kiranya dapat diketahui bagaimana proses dan mekanisme
penetapan fatwa yang dilakukan oleh MUI. Jika dirincikan proses dan mekanisme
tersebut adalah sebagai berikut7:
1. Pengkajian masalah. Dalam hal ini anggota komisi harus terlebih dahulu
mengetahui dengan jelas hakikat dan masalahnya. Jika masalahnya merupakan
masalah baru dan memerlukan penjelasan dari ahlinya, maka ahli yang
bersangkutan didengarkan penjelasannya.
2. Selanjutnya, setelah jelas permasalahannya, ditentukan apakah ia termasuk
ke dalam kategori hukum qat’iyat atau bukan. Jika termasuk kategori qat’iyat,
demikian juga jika telah ada ijma’ mu’tabar, MUI menetapkan fatwa sebagaimana
adanya. Jika tidak termasuk dalam kategori qat’iyat, MUI selanjutnya melakukan
ijtihat.
6 Ibid, MUI, 937-938.
7 Ma’ruf Amin dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, (Surabaya: Erlangga,
2011), 17-18
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
78
3. Dalam melakukan ijtihad, MUI dapat menempuh ijtihad insya’i dan dapat
pula melakukan ijtihad intiqa’i, dalam hal ijtihad terakhir ini, MUI menggunakan
pendekatan muqaranah al-mazahib. Baik ijtihad insya’i maupun ijtihad intiqa’i
MUI melakukannya secara jama’i (ijtihad jama’i).
Demikian uraian singkat tentang mekanisme dan prosedur penetapan fatwa
secara umum yang dilakukan oleh MUI.
c. Prosedur Penetapan Fatwa Halal
MUI juga memiliki prosedur atau cara untuk mengambil sebuah penetapan
terhadap masalah tertentu. Sedangkan prosedur penetapan fatwa dilakukan dengan
langkah-langkah berikut:8
Pertama, setiap masalah yang diajukan (dihadapi) MUI dibahas dalam rapat
komisi untuk mengetahui substansi dan duduk masalahnya;
Kedua, dalam rapat komisi, dihadirkan ahli yang berkaitan dengan masalah
yang akan difatwakan untuk didengarkan pendapatnya dan untuk
dipertimbangkan.
Ketiga, setelah pendapat ahli didengar dan dipertimbangkan, ulama
melakukan kanjian terhadap pendapat para imam madzhab dan fuqaha >’ dengan
memperhatikan dalil-dalil yang digunakan dengan berbagai cara Istiqla >l-nya dan
kemaslahatannya bagi umat. Apabila pendapat-pendapat ulama seragam atau ada
satu ulama yang memiliki pendapat, komisi dapat menjadikan pendapat tersebut
sebagai fatwa.
8 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2002, 170-171.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
79
Keempat, jika fuqaha >’ memiliki ragam pendapat, komisi melakukan
pemilihan pendapat melalui tarji >h} (ijtiha >d yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai
masalah-masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam berbagai kitab fiqih yang
kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan dengan
kondisi sekarang ini)9 dan memilih salat satu pendapat untuk difatwakan.
Kelima, jika tarji >h} tidak menghasilkan produk yang diharapkan, komisi dapat
melakukan ilh}a>q al masa >il bi naz}a>iriah > (menyamakan hukum suatu masalah yang
belum dijawab oleh kitab dengan masalah yang serupa yang telah dijawab oleh
kitab)10
dengan memperhatikan mulh}aq bih (al-as }l dalam konteks qiya >s), mulh }aq
ilayh (al-far’u dalam konteks qiya>s), dan wajh al ilha >q (persamaan antara
keduanya).
Keenam, apabila cara ilh }aq tidak menghasilkan produk yang memuaskan,
komisi dapat melakukan ijtihad jama’i dengan menggunakan al qawa >’id} al
us }uliyya >t dan al qawa >’id} al fiqhiyya >t.
2. Fatwa MUI Terkait Bunga dalam Hutang-Piutang
Bunga (fa>idah atau interest) bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1
Tahun 2004 tentang bunga, setelah menimbang:
1. Bahwa umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga
(interest/fa >idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qard }) atau
9 Yu>suf Qard }awi >, al-Ijtiha>d fi> al-Shari >’ah al-Isla>niyah, Kuwait: Da >r al-Qalam, 1985, 115.
10 PBNU, Ah }ka >m al-Fuqaha>’: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar,
Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010), LTN PBNU (ed.) Surabaya: Khalista, 2011,
470.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
80
utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan,
individu atau lainnya.
2. Bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada Tanggal 22 Syawal
1424 H/16 Desember 2003 telah memfatwakan tentang status hukum
bunga
3. Bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu
menetapkan fatwa tentang bunga dimaksud untuk dijadikan pedoman.
Mengingat:
1. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275-280
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
81
(275) orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (276) Allah
memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai
Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (277)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (278) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. (279) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),
Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (280) dan jika (orang yang
berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia
berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui”.11
Serta firman Allah dalam Surat Ali Imra >n ayat 130:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”12
2. Hadis-hadis Nabi di antaranya:
a. Hadis Riwayat Abdullah
11
Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, 47 12
Ibid., 66
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
82
قال إسحاق -واللفظ لعثمان -شيبة وإسحاق بن إبراهيم حدثنا عثمان بن أبى
أخبرنا وقال عثمان حدثنا جرير عن مغيرة قال سأل شباك إبراهيم فحدثنا عن
قال لعن رسول الل با ومؤكله -ملسو هيلع هللا ىلص- علقمة عن عبد الل قال قلت . آكل الر
ث بما سمعنا وكاتبه وشاهديه قال إنما نحد 13
“dari Abdullah ia berkata : Rasulullah melaknat orang yang memakan riba
dan memberikan riba. Rawi berkata: saya bertanya (apakah Allah dan
Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskannya dan dua orang yang
menjadi saksinya? Ia (Abdullah menjawab, “Kami hanya menceritakan apa
yang kami dengar” (HR. Muslim).
b. Hadis riwayat Jabir
باح وزهير بن حرب وعثمان د بن الص بن أبى شيبة قالوا حدثنا حدثنا محم
بير عن جابر قال لعن رسول الل با وموكله -ملسو هيلع هللا ىلص-هشيم أخبرنا أبو الز آكل الر
.وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء 14
“Dari Jabir berkata, Rasulullah melaknat orang yang memakan (mengambil)
riba, memberikan, menuliskan, dan 2 orang yang menyaksikannya”. Ia
berkata: “mereka berstatus huku sama” (HR Muslim).
c. Hadis Riwayat Abi Hurayrah
هند عن سعيد بن أبي أخبرنا قتيبة قال حدثنا بن أبي عدي عن داود بن أبي
خيرة عن الحسن عن أبي هريرة قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم قال
15يأتي على الناس زمان يأكلون الربا فمن لم يأكله أصابه من غباره:
“Dari Abi Hurayrah RA, ia berkata, Rasulullah bersabda: “akan datang
kepada umat manusia suatu masa di mana mereka (terbiasa) memakan riba,
Barang siapa tidak memakan (mengambilnya) ia akan terkena debunya (HR.
Al-Nasa>i).
13
Abu> al-H }usayn Muslim bin al-H }ajja >j bin Muslim al-Qushayry al-Naysa >bu>ry, Al-Ja >mi’ al-S }ah}i>h} al-Musamma > bi S}ah }i>h } Muslim Juz 5, (Beirut: Da >r al-Ji>l Beirut, t.th), 50. Hadis Nomor 2994 14
Ibid. Hadis Nomor 2995 15
Ah}mad bin Shu’aib Abu > Abdirrah }ma >n al-Nasa >i, Al-Mujtaba> min al-Sunan, cet. (t.t: Maktab al-
mat }bu>’a >t al-Isla >miyyah, 6891), 641
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
83
d. Hadis Riwayat Abu > Hurayrah
حدثنا عبد هللا بن سعيد ، حدثنا عبد هللا بن إدريس ، عن أبي معشر ، عن
، عن أبي هريرة ، قال : قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم : سعيد المقبري
با ه الر جل أم سبعون حوبا ، أيسرها أن ينكح الر16
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah bersabda: “ Riba adalah tujuh
puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang
yang berzina dengan ibunya”. (HR. Ibnu Majah).
e. Hadis Riwayat Abdullah
الص ، عن شعبة حدثنا عمرو بن علي يرفي أبو حفص ، حدثنا ابن أبي عدي
صلى هللا ، عن زبيد ، عن إبراهيم ، عن مسروق ، عن عبد هللا ، عن النبي
با ثالثة وسبعون بابا: عليه وسلم قال الر 17
“Dari Abdullah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “ Riba mempunyai tujuh
puluh tiga pintu (cara, macam).” (HR. Ibnu Majah).
f. Hadis Riwayat Abdullah bin Mas’ud
د بن جعفر ، حدثنا شعبة ، حدثنا سماك د بن بشار ، حدثنا محم حدثنا محم
ث عن عبد هللا بن : بن حرب ، قال حمن بن عبد هللا يحد سمعت عبد الر
با ، وموكله ، مسع ود ، أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم لعن آكل الر
18وشاهديه ، وكاتبه
“Dari Abdullah bin mas’ud: “ Rasulullah saw melaknat orang yang memakan
(mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikan, dan orang
yang menuliskannya.” (HR. Ibnu Majah)”.
16
Ibnu Ma >jah Abu Abdillah Muhammad bin Yazi >d al-Qazwi >ny, Sunan Abnu Ma >jah, Juz III (t.t:
Maktabah Abi > al-Ma’a >t}y, t.th), 377. Hadis Nomor 2265. 17
Ibnu Ma >jah Abu Abdillah Muhammad bin Yazi >d al-Qazwi >ny, Sunan Abnu Ma >jah, Juz III (t.t:
Maktabah Abi > al-Ma’a >t}y, t.th), 378. 18
Ibnu Ma >jah Abu Abdillah Muhammad bin Yazi >d al-Qazwi >ny, Sunan Abnu Ma >jah, Juz III (t.t:
Maktabah Abi > al-Ma’a >t}y, t.th), 381
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
84
g. Hadis Riwayat Abu > Hurayrah
نا إسماعيل ابن علية ، حدثنا داود بن أبي هند ، حدثنا عبد هللا بن سعيد ، حدث
قال رسول هللا : عن سعيد بن أبي خيرة ، عن الحسن ، عن أبي هريرة ، قال
ى منهم أحد ، إال أكل ليأتين على الناس زمان ال يبق : صلى هللا عليه وسلم
با ، فمن لم يأكل ، أصابه من غباره الر 19
“Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan
dating pada umat manusia suatu masa di mana tak ada seorangpun di antara
mereka kecuali (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan
(mengambilnya), ia akan terkena debunya.” (HR. Ibnu Majah)”.
3. Ijma’ tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar
(kaba>’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, [t.t.:
Dar al-Fikr, t.th], juz 9, h. 391).
Memperhatikan:
1. Pendapat para ulama ahli fikih bahwa bunga yang dikenakan dalam
transaksi pinjaman (utang-piutang, al-qard }, al-qard } wa al-iqtira>d}) telah
memenuhi kriteria riba yang telah diharamkan oleh Allah seperti dikemukakan
oleh
a. Imam Nawawi dalam Kitab al-Majmu >’
قال الماوردى اختلف أصحابنا فيما جاء به القرآن من تحريم الربا على وجهين
أنه مجمل فسرته السنة وكل ما جاءت به السنة من أحكام الربا فهو بيان ( أحدهما)
أن التحريم الذي في القرآن انما تناول ما كان ( والثاني)لمجمل القرآن نقدا كان أو نسيئة
نساء وطلب الزيادة في المال بزيادة االجل وكان أحدهم إذا معهودا للجاهلية من ربا ال
حل أجل دينه ولم يوفه الغريم أضعف له المال وأضعف االجل ثم يفعل كذلك عند االجل
قال ثم وردت السنة ( ال تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة)اآلخر وهو معنى قوله تعالى
بزيادة الربا في النقد مضافا إلى ما جاء به القرآن
19
Ibnu Ma >jah Abu Abdillah Muhammad bin Yazi >d al-Qazwi >ny, Sunan Abnu Ma >jah, Juz III (t.t:
Maktabah Abi > al-Ma’a >t}y, t.th), 381
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
85
“Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata, Sahabat-sahabat kami (Ulama
mazhab Syafi’i) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan
oleh Al-Qur’an, atas dua pandangan. Pertama, pengharaman tersebut bersifat
mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunah. Setiap hukum tentang riba yang
dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap ke-
mujmal-an Al-Qur’an, baik riba naqd maupun riba nasi’ah. Kedua, bahwa
pengharaman riba dalam Al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba
nasa’ yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas
harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di
antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihak
berutang tidak membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan
menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada
saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah: “... janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda…”. Kemudian sunah menambahkan
riba dalam pertukaran mata uang (naqd) terhadap bentuk riba yang terdapat
dalam Al-Qur’an.
b. Ibn ‘Araby dalam Ahkam Al-Qur’an:
(أحكام القرأن)و المراد به في القرأن كل زيادة لم يقابلها عوض , و الربا في اللغة هو الزيادة
“Riba dalam arti bahasa adalah kelebihan (tambahan). Sedangkan yang
dimaksud dengan riba dalam Al-Qur’an adalah setiap kelebihan (tambahan) yang
tidak ada imbalannya”
b. Al-‘Aini dalam ‘Umdah Al-Qari’:
أصل مال من غير عقد تباي و هو في الشرع الزيادة على, الزيادة( الربا)األصل فيه
(عمدة القارئ على شرح البخاري)
Arti dasar riba adalah kelebihan (tambahan). Sedangkan arti riba dalam
hukum islam (syara’) adalah setiap kelebihan (tambahan) pada harga pokok tanpa
melalui akad jual beli.
c. Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth:
(608ص 61المبسوط ج ) الربا هو الفضل الخالي عن العوض المشروط في البي
Riba adalah kelebihan (tambahan) tanpa imbalan yang disyaratkan dalam jual
beli.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
86
d. Ar-Raghib al-Isfahani dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an:
(المفردات في عريب القرأن) س المال هو الربا الزيادة على رأ
“Riba adalah kelebihan (tambahan) pada harta pokok”
e. Muhammad ali al-Shabuni dalam Rawa’i bayan:
روائ البيان في تفسير ) الربا هو زيادة ياخذه المقرض من المستقرض مقابل األجل
(أيات القرأن
“Riba adalah kelebihan (atas pokok utang) yang diambil oleh kreditur (orang
yang memberikan utang) dari debitur ( orang yang berutang) sebagai imbalan atas
masa pembayaran utang”.
f. Muhammad Abu Zahrah dalam buhuts fi al-Riba:
. فهو حرام بال شك, به الناسو يتعامل , و ربا القرأن هو الربا الذي تسير عليه المصارف
(13: بحوث في الربا)
“Riba ( yang dimaksud dalam) Al-Qur’an adalah riba (tambahan, bunga)
yang dipraktikkan oleh bank dan masyarakat; dan itu hukumnya haram, tanpa
keraguan.
g. Yusuf Al-Qardhawy dalam Fawaid al-Bunuk:
(فوائد البنوك)بنوك هي الربا الحرام فوائد ال
“Bunga bank adalah riba yang diharamkan”
h. Wahbah al-Zuh}ayly dalam al-Fiqh al-Isla>my wa Adillatuhu
من ربا النسيئة، سواء أكانت الفائدة بسيطة أم مركبة، : وربا المصارف أو فوائد البنوك
وإن مضار الربا في فوائد البنوك ......اضألن عمل البنوك األصلي اإلقراض واالقتر
وإن تبتم فلكم }: متحققة تماما، وهي حرام حرام حرام كالربا وإثمها كإثمه، لقوله تعالى
{رؤوس أموالكم
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
87
“Bunga bank adalah haram, haram, haram. Riba atau bunga bank adalah riba
nasi’ah, baik bunga tersebut rendah maupun berganda. ( Hal itu) karena
kegiatan utama bank adalah memberi utang (pinjaman) dan menerima utang
(pinjaman)... Bahaya (madharat) riba terwujud sempurna (terdapat secara
penuh) dalam bunga bank. Bunga bank hukumnya haram, haram, haram,
sebagaimana riba. Dosa (karena bertransaksi) bunga sama dengan dosa riba;
alasan lain bahwa bunga bank berstatus riba adalah firman Allah swt... Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu...(
QS. Al-Baqarah [2] : 279)”20
2. Bunga uang atas pinjaman (al-qard }) yang berlaku di atas lebih buruk dari
riba yang diharamkan Allah SAW dalam al-Quran, karena dalam riba tambahan
hanya dikenakan pada saat si peminjam (berutang) tidak mampu mengembalikan
pinjaman pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam sistem bunga tambahan sudah
langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.
3. Ketetapan akan keharaman bunga bank oleh berbagai Forum Ulama
Internasional, antara lain:
a. Majma’ al-Buh}u>th al-Isla >miyah di Al-Azhar Mesir Tahun 1965
b. Majma’ al-Fiqh al-Isla>my Negara-Negara OKI yang diselenggarakan di
Jeddah Tanggal 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22-28 Desember 1985
c. Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Isla>my, keputusan 6 Sidang IX yang
diselenggarakan di Mekkah Tanggal 12-19 Rajab 1406
d. Keputusan Da>r al-Irta>’, Kerajaan Saudi Arabia, 1979
e. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999
4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan syariat.
5. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo
yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan
20
Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, 47
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
88
terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya Lembaga
Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
6. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar
Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan sistem
tanpa bunga.
7. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga
(interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
8. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03
Januari 2004; 28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004; dan 05 Dzulhijjah
1424/24 Januari 2004.
Berdasarkan landasan itu, MUI menetapkan Fatwa Tentang Bunga
(Interest/Fa’idah) sebagai berikut: 21
Pertama : Pengertian bunga (interest) dan Riba
1. Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi
pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa
mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu,
diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan ( بال عوض) yang terjadi
karena penangguhan dalam pembayaran ( زيادة األجل ) yang diperjanjikan
sebelumnya ( رط مقدمااشت ) , dan inilah yang disebut riba nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (Interest)
21
Keputusan Fatwa MUI ini ditetapkan di dalam rapat Komisi Fatwa MUI yang diselenggarakan
di Jakarta 24 Januari 2004 M/ 05 Dzulhijjah 1424 H, dengan ditandatangani oleh Ketua Umum
MUI Ma’ruf Amin dan Sekretaris Umum Drs. H Hasanuddin, M.Ag.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
89
1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang
terjadi pada zaman Rasulullah SAW yakni Riba nasi’ah. Dengan demikian,
praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram
hukumnya.
2. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan
oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan lembaga keuangan
lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga, Bermu’amalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional
1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan
Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang
didasarkan kepada perhitungan bunga.
2. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan
Syari’ah diperbolehkan melakukan transaksi di lembaga keuangan konvensional
berdasarkan prinsip darurat/hajat.
B. Fatwa NU Terkait Bunga dalam Hutang-Piutang
1. Selayang Pandang Organisasi Keagamaan NU
Pembentukan Komite Hijaz yang telah diberangkatkan ke Saudi Arabia
sebagai wujud protes atas beberapa kebijakan Pemerintah Saudi Arabia menjadi
embrio atas kebutuhan organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis,
bukan aksidental dan ad hoc, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka
setelah berkordinasi dengan berbagai Kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk
membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
90
pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH.
Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.22
Untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman, yang dijalani, maka
AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) NU juga terus
berkembang setiap lima tahun sekali. Dalam keputusan Muktamar di Makassar
tahun 2010 disebutkan dalam pasal 8, yang berbunyi23
:
1. Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan/jam’iyyah diniyyah islamiyyah
ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan Islam) untuk menciptakan
kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat dan
martabat manusia.
2. Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut
faham Ahlusunnah wal Jama'ah untuk terwujudnya tatanan masyarakat
yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi
terciptanya rahmat bagi semesta.
Pada pasal 9 tertera bahwa untuk mewujudkan tujuan sebagaimana di atas,
NU melaksaksanakan usaha-usaha sebagai berikut24
:
1. Di bidang agama, mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang
menganut paham Ahl-sunnah wa al-jama>’ah dan menurut salah satu
madhhab empat dalam masayarakat dengan melaksanakan dakwah
Islamiyah dan amar ma’ruf nahy munkar.
22
Ibid.
23 Lihat AD/ART tahun 2010 di makasar, Bab IV Tentang Tujuan dan Usaha pasal 8.
24 Lihat AD/ART tahun 2010 di makasar, Bab IV Tentang Tujuan dan Usaha pasal 9.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
91
2. Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengupayakan
terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta
pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk
membina umat agar menjadi Muslim yang takwa, berbuddi luruh,
perpengetahuan luas dan terampil serta berguna bagi agama bangsa dan
negara.
3. Di bidang sosial, mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin
bagi rakyat Indonesia.
4. Di bidang ekonomi mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi
untuk pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil
pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembanganya
ekonomi kerakyatan.
5. Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat
banyak guna terwujudnya Khaira Ummah.
Dalam struktur organisasinya, NU memiliki lembaga Bah}th al-Masa >il. Sesuai
dengan namanya, maka lembaga ini berkecimpung dalam membahas/mengkaji
permasalahan-permasalahan seputar keagamaan.
Tradisi Bah}th al-Masa >il pada dasarnya telah berkembang di tengah kultur
masyarakat tradisional pesantren, jauh hari sebelum lahirnya NU. Pada mulanya
secara individual, fatwa diberikan kepada masyarakat khususnya untuk
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
92
menghadapi persoalan yang muncul dan berkembang. Dalam hal itu Kyai
bertindak secara individual sebagai penafsir hukum.25
Selain itu, menurut Abdul Mughits yang menyatakan bahwa dahulu pernah
ada forum diskusi antar pesantren yang melibatkan para kyai dan santri yang
kemudian hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijma’ Nahdlatul
Oelama). Maka kemudian tradisi semacam itu diadopsi untuk dijadikan sebagai
salah satu agenda kegiatan NU. Meskipun demikian, istilah Bah}th al-Masa >il itu
baru muncul setelah banyak tuntutan formalisasi forum musyawarah antarkyai
tersebut. Maka istilah itu dimunculkan dalam Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta
tahun 1989.26
Lajnah Bah}th al-Masa >il merupakan forum resmi yang memiliki kewenangan
menjawab masalah keagamaan terutama berkaitan dengan masalah-masalah fiqh.
Berkenaan dengan masalah terakhir, itu dianggap sebagai masalah apabila hal
tersebut merupakan benda atau perbuatan manusia yang status hukumnya masih
dipertanyakan karena tak ada rujukan yang pasti. Termasuk pula masalah-
masalaha khilafiyah karena jawabannya bisa beragam pendapat, bahkan ada pula
pendapat yang bertentangan satu sama lain. Maka dalam konteks ini, Syuriah
mengambil pendapat yang dianggap paling tepat sebagai jawabannya.27
Mengutip pendapat A. Malik Masdani dalam kajian saudara Luthfi Hadi
Aminuddin mengatakan bahwa Lajnah Bah }th al-Masa >il sebagai wadah
25
Hiroko Harikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987), 140-141.
26 Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren (Jakarta: Kencana, 2008), 189-190.
27 Djohan Effendi, Pembaharuan Tanpa Membongkar Tradisi : Wacana Keagamaan di Kalangan
Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010),
156.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
93
pembahasan masalah keagamaan di lingkungan NU berpegang pada dua prinsip.
Pertama, prinsip graduasi pengambilan hukum dan prinsip berorientasi kepada
madhhab.28
Mengutip pendapat Zamakhsyari Dhofier, bahwa dalam memahami Islam,
NU terkesan sangat berhati-hati dan tidak mau memecahkan persoalan keagamaan
yang dihadapi dengan merujuk langsung kepada nas al-Qur’an maupun sunnah.
Hal ini tidak terlepas dari pandangan bahwa mata-rantai perpindahan ilmu agama
Islam tidak boleh terputus dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Namun
yang dapat dilakukan adalah menelusuri yang baik dan sah pada setiap generasi.29
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa NU dalam memecahkan
persoalan keagamaan yang dihadapi merasa perlu berkonsultasi dengan kitab-
kitab yang mu’tabarah yang ditulis ulama empat madhhab. Tradisi bermadhhab
ini dilestarikan melalui lembaga pendidikan pesantren yang berada di bawah
naungan NU.
Hal ini bukan berarti bahwa NU tidak menghendaki ijtihad, tetapi yang
diharapkan adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi
persyaratan sebagai mujtahid. Lebih spesifik lagi KH. Said Agil Husein al-
Munawwar menyimpulkan bahwa pintu ijtihad menurut NU hanya terbuka dalam
kerangka pemikiran madhhab.30
Jadi dalam menyelesaikan masalah, LBM
28 Luthfi Hadi Aminuddin, “Metode Istinba >t} Nahdlatul Ulama: Kajian Tentang Bah }th al-Masa >il”,
Justitia Islamica, Vol. 2, No. 1 (Jan-Juni 2005), 5.
29 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999 (Yogyakarta: LkiS,
2004), 115.
30 KH. Said Agil Husein al-Munawwar, “Pintu Ijtihad Terbuka dalam Kerangka Pemikiran
Madhhab”, Warta NU. No. 37, Th. VII (Maret, 1991), 6.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
94
menggali dan menetapkan suatu hukum dengan menggunakan pendekatan
madhhabi.
Metode penetapan hukum atau istinba>t } dalam wacana hukum Islam
merupakan unsur penting dalam menghasilkan produk hukum. Di lingkungan
Nahdlatul Ulama (NU) istilah istinba>t } berarti mengeluarkan hukum secara
langsung dari nas }-nas } primer yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Istinba >t } dengan
pengertian yang demikian sangat sulit untuk dilakukan, karena adanya kesadaran
akan keterbatasan, terutama dalam memenuhi ilmu-ilmu alat ijtihad yang harus
dikuasai seorang mujtahid.31
Oleh karena itu forum yang membidangi fatwa hukum di lingkungan NU
tidaklah menggunakan terminologi ijtihad atau istinba >t }, namun lebih dikenal
dengan istilah Lajnah Bah }th al-Masa >il (LBM). Lembaga ini adalah forum diskusi
oleh para kyai, santri dan atau para pihak yang ahli dalam bidang-bidang tertentu
untuk memecahkan berbagai masalah keagamaan.
Berikut ini adalah empat imam madhhab dan metode istinbat hukum yang
dilakukan oleh mereka dalam memecahkan suatu masalah:32
1. Madhhab Hanafi (al-Nu’ma>n bin Thabit bin Zuht). Secara hierarki, metode
menetapkan hukumnya yaitu: al-Qur’an, al-Hadith, aqwal sahabat, qiyas, istihsan,
ijma’ dan urf.
2. Madhhab Maliki (Ma >lik bin Anas bin Amir al-Asbahi). Metode yang
digunakan adalah al-Qur’an, al-Hadith, ijma’ sahabat, ‘amal ahl Madinah, fatwa
sahabat, qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan al-zara’i.
31
Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994), 27.
32 Muhammad Muntahibun Nafis, “Refleksi Atas Pemikiran Khaled Abou el-Fadl: Telaah Kritis
Terhadap Metode Ijtihad Lajnah Bahtsul Masail NU”, Epistemé, Vol. 2, No. 1 (Juni 2007), 34.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
95
3. Madhhab Shafi’i (Abu > 'Abdulla>h bin Idri >s bin al-'Abba>s bin 'Uthma >n bin
Sha>fi' ibnu al-Sa>ib bin 'Ubayd bin 'Abd Yazid bin Ha >shim bin al-Mut{allib bin
'Abd Manaf). Metode yang digunakan yaitu al-Qur’an, al-Hadith, ijma’, aqwal
sahabat, dan qiyas.
4. Madhhab Hanbali (Abu Abdullah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn
Hilal ibn Asad ibn Idris ibn Abdullah ibn Hayyan ibn Anas ibn Auf ibn Qasit ibn
Shaiban). Metode adalah Nas (al-Qur’an, al-Hadith), ijma’, qiyas, maslahah
mursalah, istihsan, al-zara’i, fatwa sahabat, dan istishab.
2. Metode Penetapan Fatwa NU
Secara garis besar, metode istinba >t} dalam Bah}th al-Masa >il itu ada empat
macam, yaitu metode qawli, taqrir jama’i, ilhaqi, dan manhaji.33
Namun
berdasarkan telaah dokumenter oleh Ahmad Zahro yang dilakukan terhadap
seluruh keputusan yang menyangkut hukum fiqh selama kurun waktu 1926
sampai 1999, dapat disimpulkan bahwa untuk mengaplikasikan pendekatan
madhhabi, Lajnah Bah}th al-Masa >il mempergunakan tiga macam metode istinba>t}
hukum yang diterapkan secara berjenjang, yaitu:34
1. Metode Qawli
Metode Qawli adalah suatu metode istinba >t } dengan cara langsung merujuk
kepada redaksi ‘ibarah (ta’bir) kitab fiqh atau dengan kata lain mengikuti
pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup madhhab tertentu. Meskipun
33
Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, 192.
34 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, 118.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
96
penerapan metode ini berlangsung cukup lama, yakni sejak pertama kali Bah}th al-
Masa >il dilaksanakan (1926), namun secara tegas baru dirumuskan dalam Munas
Alim Ulama di Bandar Lampung (21-25 Juni 1992).
Adapun prosedur pelaksanaan metode qawli adalah sebagaimana dijelaskan
dalam keputusan Munas Bandar Lampung, bahwa pemilihan qaul/wajh35
ketika
dalam suatu masalah dijumpai beberapa qaul/wajh, maka dilakukan dengan
memilih salah satu pendapat dengan ketentuan:36
a) Mengambil pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat.
b) Sedapat mungkin melaksanakan ketentuan Muktamar I, yaitu dengan
memilih pendapat sesuai urutan-urutan:
1) Pendapat yang disepakati al-shaykha>yn (Imam Nawawi dan Rafi’i);
2) Pendapat yang dipegang Imam Nawawi saja;
3) Pendapat yang dipegang Imam Rafi’i saja;
4) Pendapat yang didukung mayoritas ulama;
5) Pendapat ulama yang terpandai;
6) Pendapat ulama’ yang paling wara’.
Sepintas dari hierarki dalam pemilihan pendapat diatas terlihat bahwa ulama
satu lebih diunggulkan daripada ulama yang lain. Sedangkan dalam sistem
pengambilan keputusan hukum dalam bah}th al-masa>il hal tersebut tidak
dijelaskan. Namun secara terpisah sebagaimana Ahmad Zahro dalam
wawancaranya dengan KH A. Aziz Masyhuri menyatakan bahwa, alasannya
35
Qaul adalah pendapat imam madhhab, Wajh adalah pendapat ulama madhhab. Baca Keputusan
Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung 1992, pada Nomor 394.
36 A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama
kesatu sd. Ketigapuluh Vol. 1 (Jakarta: Qultum Media, 2004), 3.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
97
adalah berdasar pertimbangan penampilan karya ilmiahnya yang lebih berbobot
dan kealimannya.37
Berikut ini contoh penerapan metode qawli terhadap kasus pendayagunaan
hasil zakat. Pada keputusan Muktamar I menggunakan hasil dari zakat untuk
pendirian masjid, madrasah atau pondok (asrama) karena hal tersebut termasuk
“sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal. Dalam hal ini Muktamar
memutuskan tidak boleh, karena yang dimaksud dengan “sabilillah” ialah mereka
yang berperang di jalan Allah. Sedangkan kutipan Imam Qaffal itu adalah d}a’i >f
(lemah). Referensi yang dipakai ialah dari kitab Rah}mah al-Ummah dan Tafsi >r al-
Muni >r.
2. Metode Ilha >q
Apabila dalam metode qawli tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan
jawaban tekstual dari suatu kitab mu’tabar, maka dilakukan dengan ilha >q al-
masa>i binaz }a>iriha > yaitu menyamakan hukum suatu kasus / masalah yang belum
dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus / masalah
serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya), atau bisa
dikatakan dengan menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi.38
Metode Ilha >q inipun memiliki unsur-unsur persyaratan yang harus dipenuhi,
sebagai berikut:
a) Mulhaq bih yakni sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya
b) Mulhaq ‘alayhi yakni sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya
37
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, 171.
38 Ibid., 121.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
98
c) Wajh al-Ilha >q yakni faktor keserupaan antara Mulhaq bih dengan Mulhaq
‘alayhi
d) Mulhiq yakni pelaku ilha >q yang ahli
Dalam prakteknya metode ilha >q menggunakan prosedur dan persyaratan
mirip qiya>s. Akan tetapi ada perbedaan antara keduanya yakni, apabila qiya >s
adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu
yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan al-qur’an dan sunnah.
Sedangkan ilha >q berdasarkan atas teks suatu kitab yang mu’tabar.
Contoh dari metode ilha >q terdapat pada Muktamar II mengenai hukum jual
beli petasan. Dalam keputusan ini hukum jual beli petasan untuk merayakan hari
raya atau pengantin dan lain sebagainya adalah sah. Mereka berlandaskan karena
ada maksud baik, yaitu: adanya perasaan menggembirakan hati dengan suara
petasan tersebut.
Hal ini berdasarkan keterangan-keterangan dalam kitab I’anah al-T}a>libi >n juz
III, al-Bajuriy bab perdagangan, al-Jama>l ‘ala > Fath } al-Wahha>b juz III. Dalam
rujukan kitab-kitab diatas, tidak ada keterangan secara tegas yang menjelaskan
hukum jual beli petasan. Namun yang ada adalah kebolehan menyalurkan
hartanya untuk kebaikan dan kesenangan, sahnya jual beli yang suci dan
bermanfaat. Jadi keputusan ini berdasarkan qiya>s dengan illat suci dan
bermanfaat, maka boleh hukumnya jual beli petasan.
3. Metode Manhaji
Metode Manhaji (metodologis) adalah suatu cara menyelesaikan masalah
keagamaan yang ditempuh Lajnah bah}th al-masa>il dengan mengikuti jalan pikiran
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
99
dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madhhab.39
Namun lebih
lanjut Jaih Mubarok menjelaskan bahwa perlunya membedakan pendapat antara
imam pendiri maddhab dengan ulama yang mengikuti madhhab tertentu.40
Hal ini
dikarenakan terkadang ada pendapat para pendiri madhhab dengan pengikutnya
berbeda satu sama lain, namun mereka tetap bersandar pada imam madhhab
tersebut.
Oleh karena itulah operasional dalam metode manhaji ini menelusuri dan
mengikuti metode istinba >t } hukum yang ditempuh oleh madhhab empat, yakni
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Hal ini cukup ideal, namun belum terlaksana
dengan baik dikarenakan masing-masing memiliki metode istinba >t } yang banyak
dan hierarki yang berbeda pula. Terbukti dalam temuan penelitian Ahmad Zahro
yang menyimpulkan bahwa intensitas penggunaan penerapan hukum dengan
metode ini hanya dua kali, sejak metode ini disepakati (21-25 Juni 1992).41
Contoh penerapan metode manhaji adalah keputusan Muktamar I, yaitu
tentang mendapatkan pahala orang yang bersadaqah kepada mayat. Keterangan ini
dapat ditemukan dalam kitab al-Bukhari bab janazah dan kitab al-Muhadhdhab
bab wasiat. Keputusan ini di kategorikan sebagai keputusan yang berdasarkan
pada metode manhaji, karena langsung merujuk pada hadis yang merupakan dalil
yang dipergunakan oleh keempat imam madhhab setelah al-Qur’an.
Secara garis besar, hierarki dari hasil penerapan metode penggalian dan
penetapan hukum dalam forum Lajnah Bah}th al-Masa >il adalah sebagai berikut:42
39
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, 124.
40 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2002), 179.
41 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, 169.
42 Tim Lajnah Ta’li >f wa al-Nashr (LTN) PBNU, Ah }ka >m al-Fuqaha>’: Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam (Surabaya: LTN NU dan Diantama, 2004), xxxi.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
100
Dari tabel diatas dapat kita ketahui bahwa ulama NU dalam memutus suatu
kasus yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-qur’an, hadis, qiyas, ijmak, dan
lain-lain, maka mereka tidak lantas melakukan proses ijtihad dengan sumber-
sumber hukum diatas. Namun pertama kali yang dilakukan adalah mencari
jawabannya dalam kitab-kitab klasik ataupun modern yang diambil semangat dan
ruhnya, kemudian dikategorisasikan dengan dengan menempatkan stratifikasi
ulama madhhab al-Shafi’i > sebagai pilihan fatwa yang utama kemudian merujuk
pada ulama madhhab empat yang lain, bila ini sudah dilakukan dan menemukan
jalan buntu, hirarki pemikiran istinbat}iyah-nya kepada kitab-kitab umum dan
referensi keagamaan yang netral madhhab baru kemudian mengambil dari hukum-
hukum yang dicetuskan fuqaha’ (ahli fiqh)
Jika dilihat dari susunan penetapan hukum yang dilakukan oleh Lajnah Bah }th
al-Masa >il maka dapat diketahui bahwa susunan tersebut menggunakan metode
induktif (t }ari >qah al-istiqra >iyah). Metode induktif ini adalah cara penetapan
... واإلمجاع القياس حلديثالقرأن وا
الكتب القدمية املختارة الكتب املعاصرة املختارة
اإلجراءات اإلنتقائية الطبيعية
الكتب الشافعية واملذاهب األربعة
الكتب العامة واملراجع الىت ال متيل إىل مذهب معني
أحكـــام الفقهـــاء
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
101
hukum dengan menganalisis suatu perbuatan (peristiwa) agar dapat diketahui
spesifikasinya.
Berdasarkan uraian panjang diatas, sebagai akibatnya muncul stigma yang
diberikan kepada NU, bahwa organisasi ini memiliki watak sosial yang statis,
karena kurang adanya ruang untuk berijtihad lebih luas. Sebuah formulasi hukum
yang terikat pada qaul/pendapat dari buku-buku yang sudah dirintis ratusan tahun
yang lalu. Sehingga jelas tidak memadai untuk menjawab persoalan-persoalan
baru. Menurut Sahal Mahfudz, situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah
berbeda, sedangkan hukum itu harus berubah seiring dengan berubahnya ruang
dan waktu.43
Menurut Sam’ani, banyak kritik dan wacana baru yang berkembang
dikalangan NU. Tokoh-tokohnya seperti Sahal Mahfudh, Masdar F. Mas’udi,
Husein Muhammad. Bahkan ada yang bersifat kelembagaan seperti yang
dilakukan oleh Ma’had Aly PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, yang
terakhir ini kritik dan wacana yang digulirkan terkesan sangat liberal.44
Dalam Muktamar NU XXXI di Asrama Haji Donohudan Boyolali Solo, Jawa
Tengah Tanggal 29 November-1 Desember 2004 M/ 16-18 Syawal 1425 H
Tentang Masa>il Diniyyah al-Maud}u>’iyyah, salah satu putusan mengenai Sistem
Pengambilan Keputusan Hukum Islam dalam Bahtsul Masa >il di Lingkungan NU:
Keputusan Bahtsul Masail di Lingkungan NU dibuat dalam kerangka
bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati dan mengutamakan
43
Sahal Mahfudz, Bahtsul Masa’il dan Istinbath Hukum NU dalam Imdadun Rahmat, Kritik Nalar
Fiqh NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masa’il (Jakarta: Lakpesdam, 2002), 59.
44 Sam’ani, “Formulasi Hukum Nahdlatul Ulama’ : Studi terhadap Kritik dan Wacana Baru dalam
Penetapan Hukum”, Jurnal Hukum Islam, Vol. 5, No. 2 (Oktober 2007), 264.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
102
bermazhab secara qauly45
. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun
dalam urutan sebagai berikut:
1. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab46
(teks fikih
“jadi” yang sudah tertuang dalam kitab fikih) dan di sana terdapat hanya
satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan
dalam ibarat tersebut.
2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana
terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqri >r jama >i47 untuk
memilih satu qaul/wajah.
3. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali yang memberikan
penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilh}a>q al-masa>il bi naz}a>iriha>48
secara jama>’i (kolektif) oleh para ahlinya.
45
Bermazhab secara qauly adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lungkup
mazhab tertentu. Sementara bermazhab secara manhaji diartikan sebagai cara bermazhab yang
dilakukan dengan mengikuti jalan pikiran atau kaidah penetapan hukum yang telah ditulis oleh
Imam Mazhab. Lihat Ah }ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan
Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), 846 46
Dalam tradisi keilmuan di lingkungan NU, kriteria kitab yang dipergunakan sebagai rujukan
dalam fatwa/ pengambilan keputusan masalah keagamaan adalah kitab-kitab yang beraliran 4
mazhab (Shafi’i, Hanafi, Ma >liki dan H }ambali) sebagaimana yang telah diputuskan dalam Munas
Alim Ulama di Sukorejo Situbondo, 21 Desember 1983. Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU,
Ah }ka>m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas,
Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya: Khalista, 2011), 386. Lihat juga,
Abdurrah }ma >n Ba >’Alawy, Bughyat al-Mustarshidi >n (Pekalongan, Shirkah Nur Asia, t.th), 108; Al-
Bakri Muh }ammad Shat }a > al-Dimyat }i, I’a >nat al-T}a >libi >n Jilid I, (Beirut: Da >r al-Fikr, 1418H/1997M),
17; “Alawy al-Saqqa >f, al-Fawa >id al-Makkiyyah dalam Majmu >’ah Sab’at al-Kutub al-Mufi>dah
(Mesir: Mus }t}afa > al-H }alaby, t.th), 50 47
Taqri >r Jama>i merupakan salah satu istilah dalam bBahtsul Masa >il NU yang diartikan sebagai
upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa qaul/wajah.
Ah }ka>m al-Fuqaha>’,470. 48
Ilh }a >q al-masa>il bi naz }a >iriha >, adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum
dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan
dengan pendapat yang sudah “jadi”). Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah }ka >m al-Fuqaha>’, 470.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
103
4. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin
dilakukan ilh}a>q, maka bisa dilakukan istinba >t } jama>’i49 dengan prosedur
bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya.
Analisis Hukum (fatwa tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar
belakang dan dampaknya di segala bidang). Di samping putusan fikih/ yuridis
formal, keputusan ini juga memperhatikan pertimbangan Islam dan hukum positif.
Sehingga, dalam menganalisa hukum, di samping penegasan mengenai status
hukum suatu kasus ditinjau dari sisi hukum taklif (al-ah}ka>m al-khamsah / sah-
batal), juga menggunakan dasar dari ajaran Ahlussunnah wa al-jama>’ah serta
hukum positif50
.
Bentuk pelaksanaan dari prosedur penjawaban masalah adalah51
:
1. Prosedur pemilihan Qaul dan Wajah
a. Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah dalam satu masalah yang sama,
maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat.
b. Pemilihan salah satu pendapat dilakukan:
1. Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/ yang lebih kuat.
2. Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar NU ke-I,
bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:
a. Pendapat yang disepakati oleh al-Shaykha >n (Imam al-Nawa>wy dan al-
Ra>fi’iy.
b. Pendapat yang dipegangi oleh Imam al-Nawa>wy saja.
49
Istinba>t jama’i adalah usaha kolektif untuk mengeluarkan hukum shara’ dari dalilnya dengan
menggunakan qawa >id us}u >liyyah dan qawa>id fiqhiyyah. Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU,
Ah }ka>m al-Fuqaha>’ 470. 50
Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, 472 51
Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, 472-473
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
104
c. Pendapat yang dipegangi oleh Imam al-Ra>fi’iy saja.
d. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama.
e. Pendapat ulama yang terpandai.
f. Pendapat ulama yang paling wara’.
2. Prosedur Ilh }a>q
Dalam hal ketika suatu masalah/ kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka
masalah/ kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilh}a>q al-masa>il bi naz }a>iriha >
secara jama>’iy. Ilh }a>q dilakukan dengan memperhatikan mulh}aq bih, mulh}aq ilayh,
dan wajh al-ilh}a>q oleh para mulh}iq yang ahli.
3. Prosedur Istinba >t }
Dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilh}a>q karena tidak adanya mulh}aq
bih dan wajh al-ilh}a>q sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan istinba >t } secara
jama>’iy, yaitu dengan mempraktekkan qawa >id us }u>liyyah dan qawa >id fiqhiyyah
oleh para ahlinya.
Dalam Muktamar NU ke-32 di Asrama Haji Sudiang Makasar 22-29 Maret
2010, ada sebuah perkembangan revisi yang menarik mengenai format penetapan
dalam Bahthul Masa >il al-Diniyyah al-Maud }u>iyyah. Format penetapan tersebut
secara rinci tertuang dalam pokok pikiran sebagai berikut52
:
a. Pencantuman ayat al-Quran, al-Hadis, dan dalil-dalil syara’ lainnya
diperlukan dalam setiap jawaban, karena pada hakikatnya setiap hukum pasti
berdasarkan al-Quran, al-Hadis, dan dalil syara’ lainnya dengan ketentuan
bahwa ayat al-Quran, al-Hadis, dan dalil syara’ lainnyatersebut merupakan
52
Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya:
Khalista, 2011), 878-879
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
105
bagian dari pendapat ulama yang terdapat dalam kutub mu’tamad. Hal ini
karena ulama NU menyadari bahwa yang mampu melakukan ijtihad langsung
dari al-Quran, al-Hadis, dan dalil syara’ lainnya adalah para mujtahid,
sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab, di antaranya Tarshi >h} al-
Mustafidi>n.
b. Aqwa >l ulama >’ didahulukan, baru kemudian dilengkapi dengan ayat al-Quran
beserta tafsirnya, al-Hadis beserta syarah }, dan dalil-dalil syara’ lainnya.
Karena al-Quran, al-Hadis, dan dalil syara’ lainnya dalam pandangan ulama
NU tidak dijadikan sebagai dalil yang mandiri, tetapi merupakan bagian dari
ijtihad ulama.
c. Muqa>ranat al-Madha>hib dalam madhhab empat diperlukan untuk
memperoleh pendapat yang ansab (lebih sesuai) dengan tetap berpegang
teguh pada prinsip ‘adam tatabbu’ al-rukhas } (tidak ada maksud mencari
kemudahan) sejalan dengan ADNU tentang prinsip bermadhhab.
3. Fatwa NU Terkait Bunga dalam Hutang-Piutang
Penetapan fatwa mengenai bunga hutang piutang berawal dari sebuah
pertanyaan warga NU dari Purwokerti mengenai prilaku meminjam uang dari
koperasi53
Bahwa pinjam dari koperasi atau lainnya, apabila dijanjikan memberi bunga
(rente) dan janjinya itu di dalam akad atau sesudah akad tetapi sebelum ada
ketetapan pinjam, maka hukumnya haram dengan kesepakatan (mufakat) para
ulama. Karena itu termasuk pinjaman dengan menarik keuntungan, tetapi kalau
53
Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya:
Khalista, 2011), 242-244
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
106
tidak dengan perjanjian bicara atau tulisan, maka hukumnya boleh dengan tidak
ada perselisihan di antara para ulama. Kalau dengan perjanjian dengan tulisan
zonder dibaca, atau tentang bunga itu telah menjadi kebiasaan, walaupun tidak
dijanjikan, mka hukumnya ada 2 pendapat yaitu haram, dan yang kedua boleh54
.
Dasar argumentasi yang dibangun menggunakan:
1. Kitab I’a>nat al-T }a>libi >n
ومن ربا الفضل ربا القرض وهو كل قرض جر نفعا للمقرض غير نحو رهن
55لكن ال يحرم عندنا إال إذا اشترط في عقده
“Dan diantara riba al-fad }l adalah riba al-qard }, takni semua pinjaman yang
memberikan manfaat kepada si peminjam, kecuali seperti gadai. Menurut kita,
yang demikian itu tidak haram kecuali disyaratkan dalam akad hutang-piutang
tadi.
2. Tuh }fat al-Muh}ta>j
والحاصل أن كل شرط مناف لمقتضى العقد إنما يبطل إن وق في صلب العقد أو
56بعده وقبل لزومه ال إن تقدم عليه ولو في مجلسه
“ Kesimpulannya adalah semua syarat yang menafikan konsekuensi akad
akan membatalkannya jika terjadi dalam akad atau sesudahnya dan sebelum luzu >m
(ketetapannya). Bukan bila mendahului akad, bahkan di majelis yang sama.
3. I’a>nat al-T }a>libi >n
“Diperkenankan bagi kreditur untuk memperoleh manfaat yang diberikan
debitur seperti pengembalian pinjaman yang lebih baik ukuran atau sifatnya, yang
54
Al-Bakri Muh}ammad Shat }a > al-Dimyat }i, I’a >nat al-T}a >libi >n Jilid III, (Beirut: Da >r al-Fikr,
1418H/1997M), 64-66 55
Al-Bakri Muh}ammad Shat }a > al-Dimyat }i, I’a >nat al-T}a >libi >n Jilid III, (Beirut: Da >r al-Fikr,
1418H/1997M), 26 56
Ibn al-H }ajar al-Haytamy, Tuh}fat al-Muh }ta >j bi Sharh } Minha>j al-T}a >libi >n, Jilid IV (Mesir: al-
Tija>tiyah al-Kubra, t.th), 296
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
107
lebih bagus dari barang yang dipinjamkan, yang tidak disyaratkan dalam akad,
bahkan yang demikian itu disunnahkan bagi debitur karena sabda Nabi:
57إن خياركم أحسنكم قضاء
“sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya”.
Sedangkan pinjaman yang disertai syarat keuntungan, bagi pihak yang
meminjami maka merupakan akad fa>sid (rusak) karena hadis:
اب ر و ه ف ة ع ف ن م ر ج ض ر ق ل ك 58
“setiap utang yang menarik keuntungan adalah riba”
Termasuk katagori ini adalah semisal menghutangi orang yang menyewa
hartanya dengan harga lebih karena hutang tersebut, jika persewaan itu menjadi
syarat menhutangi, maka dalam posisi tersebut, penghutangan itu haram secara
ijma>’. Bila tidak menjadi syarat, maka menurut kita hukumnya makruh, dan
kebanyakan ulama mengharamkannya.
Ungkapan Shaikh Zaynuddin al-Mali >bari “maka (hal tersebut) merupakan
akad fasid”. Aly Shibra >mallisy berkata “dan telah maklum, kerusakan (fa>sid)
tersebut jika penyaratan mneyewa dengan harga lebih dari itu terjadi dalam
pelaksanaan akad menghutangi. Bila kedua pihak menyepakati sewa dengan harga
lebih itu dan tidak menjadi syarat dalam akad hutang-piutang, maka hutang tidak
rusak.
57
al-Bukha >ry, S }ah }i>h } al-Bukha>ry, Juz III, 130 58
Al-Baihaqy, al-Sunan al-Baihaqy, Juz 5, 349
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
108
4. Bughyat al-Mustarshidi >n59
مذهب الشافعي أن مجرد الكتابة في سائر العقود واإلخبارات واإلنشاءات ليس
بحجة شرعية
“Menurut madzhab Syafi’i, bahwa sekedar tulisan di semua transaksi,
beberapa pemberitahuan dan pengajuan bukan hujjah shar’i (dalil syara’)
5. Al-Ashba>h wa al-Naz }a>hir
ومنها لو ......رالعادة المطردة في ناحية هل تنزل عادتهم منزلة الشرط فيه صو
جارت عادة المقترض برد أزيد مما اقترض هل ينزل منزلة الشرط فيحرم
60الإقاضه وجهان اصحهما
“Adat yang berlaku di suatu daerah, apakah adat mereka diposisikan
sebagaimana syarat, dalam kaidah ini ada beberapa kasus....di antaranya,
seandainya berlaku adat yang mengharuskan peminjam mengembalikan barang
yang lebih baik dari yang dipinjamnya. Maka apakah adat itu diposisikan
sebagaimana syarat, sehingga hukum menghutanginya haram? Dalam kasus ini
ada dua pendapat, yang lebih sahih adalah tidak diposisikan sebagaimana syarat”.
Sementara fatwa NU yang memiliki karakter persoalan yang sama diajukan
dengan menggunakan istilah yang lazim dipakai sebagai “uang administrasi”
dalam istilah bunga yang muncul akibat transaksi hutang piutang di Koperasi
simpan pinjam61
Secara sederhana, koperasi simpan pinjam memiliki modal usaha yang
dikumpulkan dari anggota dari uang “simpanan pokok” dan “simpanan wajib”
para anggota koperasi. Gabungan modal tersebut, sebagian dipinjamkan kepada
orang yang memerlukan pinjaman. Modal yang dikumpulkan secara bersama-
59
Abdurrah }ma >n Ba >’Alawy, Bughyat al-Mustarshidi >n (Pekalongan, Shirkah Nur Asia, t.th), 186 60
Jala>l al-Di>n al-Sayu>t}i, Al-Ashba >h wa al-Naz }a >hir, (Beirut: Da >r al-Fikr, t.th), 67 61
Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya:
Khalista, 2011), 422-423
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
109
sama tersebut tidak dapat memenuhi kriteria “syirkah”, sebagaimana yang
disebutkan dalam literatur fikih karena:
a. Dalam syirkah, pengumpulan modal itu disyaratkan harus ada lafal yang
dapat dirasakan sebagai pemberian izin dalam perdagangan. Sedangkan
dalam Kosipa, pengumpulan modal tersebut dimaksudkan untuk
dipinjamkan.
b. Dalam syirkah, modal harus sudah terkumpul sebelum dilakukan syirkah.
Sedangkan dalam Kosipa biasanya modal baru dikumpulkan sesudah
disetujui oleh rapat anggota.
Oleh karena itu, akad pengumpulan modal dalam Koperasi Simpan Pinjam
tersebut tidak sah menurut ketentuan syara’.
Sementara uang administrasi yang dipungut oleh koperasi dari setiap anggota
yang meminjam uang hanyalah istilah lain dari bunga, karena:
a. Uang administrasi tersebut merupakan keharusan yang harus dipenuhi oleh
setiap orang yang meminjam uang. Sehingga pada hakikatnya tidak
berbeda dengan manfaat yang ditarik oleh orang yang meminjamkan uang,
dalam hal ini Kosipa dari para peminjam uang.
b. Besarnya uang adminitrasi yang dipungut oleh Kosipa dari para peminjam
uang telah ditentukan sesuai dengan besarnya uang yang dipinjam, yakni
sekian persen dari jumlah pinjaman sesuai dengan keputusan rapat anggota
Jadi tanpa memperhatikan apakah syarat pemberian uang administrasi sudah
berlangsung, sebelum atau sesduah akad, atau apakah syarat tersebut berbentuk
ucapan atau tulisan, yang kesemuanya itu memerlukan pembahasan tersendiri,
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
110
maka pungutan uang administrasi tersebut dapat dimaksudkan adalam makna
hadis Nabi:
كل قرض جر منفعة فهو ربا
“Semua peminjaman yang dapat menyebabkan adanya suatu manfaat, maka
hukumnya riba”
Oleh karena akad pengumpulan modal dalam Kosipa (Koperasi Simpan
Pinjam) tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan syirkah, maka masalah zakatnya
dikembalikan kepada masing-masing anggota Kosipa tersebut. Oleh karena
Kosipa ini telah dilaksanakan di seluruh tanah air di Indonesia, maka seluruh
musyawirin telah bersepakat untuk memberikan jalan keluar yang dapat
dibenarkan oleh syara’ sebagai berikut:
a. Kosipa harus diganti bentuknya dengan bentuk “koperasi biasa” yang
dibenarkan oleh syara’
b. Uang yang telah menjadi milik koperasi dapat dipinjamkan kepada para
anggota tanpa dikenakan uang administrasi dari prosentase jumlah uang
yang dipinjam.
Para peserta Bah}th al-Masa >il merumuskan beberapa argumentasi yang
tersebar dalam literatur fikih klasik sebagai berikut:
1. Manhaj al-T}ulla>b
كتاب الشركة إلي أن قال وشرط فيها لفظ يشعر بإذن في تجارة إلي أن قال وفي
62معقود عليه كونه مثليا خلط قبل عقد بحيث ال يتميز
62
Zakariyya > al-Ans}a >ry, Manha >j al-T}ulla >b,Juz I (Bandung: Syirkah Ma’arif, t.th), 217
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
111
“Kitab tentang Syirkah.........dan dalam syirkah disyaratkan lafal yang
menunjukkan izin berdagang........dan dalam barang yang di-syirkah-kan
disyaratkan berupa barang mitsl (barang yang diukur takaran atau timbangan dan
diakadi salam. Yang sudah dicampur (dengan barang dari pihak lain) sebelum
dilakukan akadsehingga tidak bisa dibedakan lagi”.
“Bagaimana hukumnya menitipkan uang dalam bank, kemudian pemerintah
menetapkan pajak, karena mendapat bunga. Halalkah bunga itu? Bagaimana
hukum menitipkan uang dalam bank karena menjaga keamanannya saja, tidak
ingin bunganya, bolehkan atau tidak?63
Ternyata, dalam merumuskan jawaban tersebut, menyamakan hukum
menyimpan uang di bank dan adanya bunga dengan status hukum gadai yang
telah ditetapkan hukumnya dalam putusan Muktamar kedua nomor 28.
“Andaikan telah menjadi kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadai
bagi pemberi pinjaman/penerima Gadai. Apakah kebiasaan ini dianggap sebagai
syarat sehingga akad gadainya rusak. Mayoritas ulama berpendapat tidak
diposisiskan sebagai syarat, sementara al-Qaffa>l berpendapat “ya (diposisikan
sebagai syarat).64
Sekedar diketahui bahwa Muktamar kedua yang dilaksanakan di Surabaya 9
Oktober 1927 tersebut menyatakan bahwa pemanfaatan barang yang dijadikan
sebagai barang gadai –setidaknya- masih menimbulkan perbedaan pendapat.
Pertama, dihukumi haram, karena termasuk hutang yang dipungut
manfaatnya (rente).
63
Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya:
Khalista, 2011), 200 64
Jala>l al-Di>n al-Sayu>t}i, Al-Ashba>h wa al-Naz}a >hir (Beirut: Da >r al-Fikr, t.th), 199-200
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
112
Kedua, Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, bahwa adat yang
berlaku tidak termasuk syarat.
Ketiga, Syubhat (tidak tentu jelas halal-haramnya) sebab para ahli hukum
berselisih pendapat. Perbedaan pendapat tersebut dalam tradisi NU, terlebih yang
berkaitan dengan diskursus fikih, merupakan hal lumrah atau biasa saja.