Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
20
BAB III
GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA
3.1 Awal Kisah dari Kampung Gilingan
“Manggen ing kampung Gilingan, wonten dokter Landi ingkang
pinter, grapyak, asih lan nresnani sesami.” 1
(Di kampung Gilingan ada seorang dokter Belanda yang amat pandai,
peramah, pengasih, dan penyayang kepada sesama)
Menurut Pdt. Dr. Wahyu Nugroho, S.Mi., MA, di kota Surakarta Dr.
Schurer tinggal di kampung Gilingan. Sebagai catatan, kampung Gilingan–yang
sekarang secara administratif pemerintahan menjadi Kelurahan Gilingan masuk
wilayah Kecamatan Banjarsari, merupakan kampung dengan aktifitas yang padat.
Di sana, terdapat Terminal Induk Tirtonadi, Pasar Legi sebagai pusat distribusi
hasil bumi, Stasiun Kereta Api Balapan, dan banyak sekolahan. Malahan, tidak
jauh dari kampung Gilingan itulah sebenarnya agama Kristen mulai menyapa kota
Surakarta. Sebab, dari situlah dalam perjalanan sejarah selanjutnya berdiri GKJ
Margoyudan yang merupakan gereja tertua di Surakarta. Nama Gilingan berasal
dari tempat penggilingan padi yang pada saat itu berada di wilayah tersebut, yang
sekarang yaitu di sebelah barat ( RT 5 – RW 9 ) dan timur ( RT 01 – RW 13 )
utara palang perlintasan kereta api stasiun Balapan, sehingga akhirnya masyarakat
lebih mengenal dengan sebutan “Gilingan”.2
Kampung Gilingan tepatnya terletak disebelah utara Stasiun Balapan. Pada
zaman penguasa Kadipaten Puro Mangkunegaran di bawah pemerintahan
Mangkunegara I dan II masih berwujud sawah. Kemudian dibangun sebuah
1 Suwitadi Kusumo Dilogo, dkk, Satu Abad (100) GKJ Margoyudan Surakarta Meniti
Zaman & Menatap Masa Depan, (Surakarta: Majelis GKJ Margoyudan Surakarta, 2016), 85-91. 2 Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho, tanggal 28 Maret 2018
21
benteng di bawah pimpinan KPH. Nataningrat I ketika akan menangkap Putri
Serang. Setelah benteng itu tidak dipakai, selanjutnya digunakan sebagai pabrik
gula, dan akhirnya difungsikan sebagai tempat penggilingan padi.
Dalam kehidupan dan pelayanan Dr. Scheurer, di kampung Gilingan
itulah, beliau membuka praktik dokter dengan dibantu oleh istrinya, Pak Joram,
Sambijo Reksohusada – yang ketika itu masih berusia 17 tahun saat diajak pindah
dari Purworejo ke Surakarta, dan Pak Kalam Efrajim. Dalam melakukan
pelayanan kesehatan, rumah yang ditinggali Dr. Shceurer berfungsi juga sebagai
tempat praktek bahkan sebagai tempat rawat inap. Ruang tamunya dipergunakan
sebagai ruang tunggu pasien dan ruang makan difungsikan juga sebagai ruang
untuk memeriksa pasien sekaligus ruang operasi. Sedangkan meja makannya
dipakai sekaligus sebagai meja bedah. Pelayanan kesehatan bagi masyarakat
dikolabirasikan dengan pelayanan kerohanisia (PI), karenanya di sela-sela
mengobati pasien rawat inap, Dr. Scheurer membacakan Kitab Suci, disertai
keterangannya lalu ditutup dengan berdoa. Selain itu, setiap hari Minggu, Dr.
Scheurer mengadakan kumpulan layaknya sebuah Pokok-Pokok Ajaran (PPA)
karena dalam kumpulan itu Firman Tuhan juga didiskusikan. Guna kelancaran
pelayanan kesehatan dan penyebaran dan pelayanan Injil Tuhan, beliau
mempelajari budaya dan bahasa Jawa untuk bisa berkomunikasi dan membangun
hubungan yang baik dengan warga masyarakat yang dilayaninya.3
Dalam proses pelayanan kesehatan yang dikolaborasikan dengan kegiatan
PI ternyata diketahui oleh Residen Surakarta, W. De Vogel. Apalagi Susuhunan
3 Suwitadi Kusumo Dilogo, dkk, Satu Abad (100) GKJ Margoyudan Surakarta Meniti.,
85-91.
22
PB X juga sempat mendengarnya. Sang Raja kemudian menulis surat untuk
Residen Surakarta yang intinya merasa keberatan adanya kegiatan PI di tengah-
tengah masyarakat Surakarta. Hasilnya, Residen menegur sekaligus melarang Dr.
Scheurer untuk melanjutkan kegiatan kumpulan hari Minggu, dan larangan untuk
membicarakan Tuhan Yesus Kristus dengan orang Surakarta yang telah beragama
Islam. Sekaligus juga diperintahkan untuk meninggalkan kota Surakarta. Perintah
tersebut dengan dalih bahwa izin masuk ke kota Surakarta bagi Dr. Scheurer
adalah hanya untuk membuka rumah sakit dan tidak untuk menyebarkan Injil.
Beliau sangat memahami “pengusiran” tersebut dan melaksanakan perintah itu
dengan meninggalkan kota Surakarta tahun 1896. Menjalani hukuman–perintah
meninggalkan Surakarta itu, akhir tahun 1896 beliau berpindah ke Purworejo,
daerah yang lagi dilanda bencana penyakit. J.P. Zuidema, direktur Sekolah Guru
Kristen (Keuchenius – School) memintah beliau untuk mengobati penyakit yang
para murid.4
Dalam catatan sejarah selanjutnya, berdasarkan tulisan ilmiah Haryo
Prabancono berjudul Pelayanan Kesehatan dan Misi Keagamaan Rumah Sakit
Zending Jebres Surakarta 1912-1942 ( Universitas Sebelas Maret Surakarta ), Dr.
Scheurer dan Dr. Van Andel, pernah melakukan kegiatan pekabaran Injil dan
layanan medis di Surakarta. Mereka mempunyai andil besar dalam pendirian
Rumah Sakit Zending di Surakarta.
Pada awal abad ke-20 setelah adanya politik etis, ada desakan kuat dari
masyarakat Surakarta yang menginginkan agar dibangun sebuah sekolah Kristen
4 Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho, Tanto Kristiono, Yohanes Wahono,
tanggal 26-28 Maret 2017.
23
dan rumah sakit. Oleh karena itu, beberapa pendeta utusan Zending kemudian
meminta izin agar larangan pekabaran Injil dicabut, sehingga mereka bisa
mendirikan sekolah Kristen. Dengan semakin banyaknya masyarakat Surakarta
yang memeluk agama Kristen, akhirnya larangan pekabaran Injil di Surakarta
dicabut oleh Gubernur Jenderal Idenberg. Rumah Sakit Zending Jebres akhirnya
berhasil didirikan di distrik Jebres yang waktu itu berada di wilayah
Mangkunegaran.5
3. 2 Sejarah dan Proses Pertumbuhan Jemaat
Walaupun kepergian Dr. Scheurer ke Purworejo, membuat sebagian warga
kota Surakarta, khususnya di kampung Gilingan dan sekitarnya, merasa
kehilangan, namun benih PI di Gilingan ternyata mulai trubus atau tumbuh.
Kumpulan setiap hari Minggu yang sempat dilarang oleh Residen Surakarta pada
waktu itu, terus saja berlangsung di rumah Bapak Djajakadarma, di kampung
Ngemplak–yang jaraknya memang tidak jauh dari kampung Gilingan. Kebaktian
Minggu ketika ditinggalkan dr. Scheurer rata-rata berjumlah 20 orang. Pada tahun
1895 jumlah orang Kristen di Solo adalah 26 orang dan yang sudah bisa
mengikuti perjamuan Kudus adalah 19 orang.6
Karena semakin bertambahnya orang yang mengikuti acara kumpulan atau
kebaktian tiap hari Minggu tersebut, akibatnya rumah Bapak Djajakadarma tidak
muat lagi untuk menampungnya. Keadaan itu didengar oleh Tuan Stegerhoek
berkebangsaan Belanda yang memiliki usaha pertukangan di rumahnya di
kampung Margoyudan dan memerintahkan pegawainya (Iskak Karsa) untuk
5 Hasil wawancara dengan Pdt. Nike Lukitasari tanggal 20 Januari 2018.
6 Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho tanggal 12 April 2018
24
menemui Bapak Djajakadarma agar kegiatan kebaktian tiap hari Minggu
dipindahkan tempatnya ke rumah Tuan Stegerhoek. Sejak saat itulah, kegiatan
kebaktian atau kumpulan tiap hari Minggu berlokasi di rumah atau bengkel
pertukangan Tuan Stegerhoek. Stegerhoek memiliki kesadaran iman Kristen yang
tinggi, para karyawan di bengkelnya diperintahkan untuk menghadiri kumpulan
tiap Minggu. Beliau adalah putra menantu Pdt. Vermer di Purbalingga.7
Walaupun demikian, kegiatan kebaktian itu masih dilakukan secara
sembunyi-sembunyi sebab belum ada perintah resmi yang membolehkan adanya
aktivitas PI atau kebaktian di kota Surakarta. Sekitar antara tahun 1896 hingga
1900 para pemeluk agama Kristen memang harus bersembunyi dalam melakukan
aktivitas peribadatan. Rumah bengkel pertukangan Tuan Stegerhoek itulah yang
nantinya dalam perjalanan waktu menjadi lokasi GKJ Margoyudan.8
Sosok Bapak Iskak Karsa inilah yang dalam perjalanan PI di kota
Surakarta memegang peranan penting. Beliau sebenarnya merupakan kepanjangan
tangan dari Tuan Stegerhoek dalam menyebarkan Injil Tuhan di tanah Surakarta.
Dalam rentang waktu tiga tahun setelah ditinggal Dr. Scheurer kemudian
dilanjutkan oleh Bapak Djajakadarma meskipun hanya sebentar, kendali
kebaktian atau kumpulan hari minggu dipegang oleh Bapak Iskak Karsa.
Semangat Bapak Iskak Karsa untuk menyebarkan agama Kristen di kota Surakarta
memang hebat. Pelayanan kerohanian yang dilakukan Bapak Iskak Karsa tersebut
juga dibantu para kolportir dari Yogyakarta meskipun kedatangan mereka hanya
berkala, tiga atau empat bulan sekali. Para kolportir (colporteur) yang membantu
7 Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho, Tanto Kristiono, Yohanes Wahono,
tanggal 26-28 Maret 2018. 8 Hasil wawancara dengan Yones Wahono dan Setya Mahanini tanggal 18 April 2018.
25
melayani khotbah antara lain: Bapak Muso Joyosentono dan Bapak Dariyun,
dalam sela-sela aktivitasnya sebagai penjual buku keliling.9
Memang pada saat itu, usaha kegiatan PI tidak hanya dilakukan secara
verbal atau dengan cara kumpulan tetapi ada pula dalam bentuk tulisan atau buku-
buku Kristen dan pencetakan Kitab Suci. Biasanya buku-buku tersebut dijual
namun ada juga yang dibagikan secara gratis. Bapak Moesa Djajasentana dan
Bapak Darijoen adalah utusan dari Britischen Buitenlandsch Bijbelgenootschap –
yang salah satu kegiatannya mengembangkan Injil lewat buku-buku.
Selanjutnya, Bapak Iskak Karsa pun membuat jadwal kebaktian tidak
hanya pada hari Minggu di rumah Tuan Stegerhoek di Margoyudan saja,
melainkan mengadakan kegiatan yang senada di tempat-tempat lain di rumah para
jemaat. Salah satunya, kebaktian diadakan di rumah Tuan Kreeft di kampung
Slompretan. Slompretan merupakan kampung di dekat alun-alun Utara Keraton
Surakarta, tepatnya berada di sisi baratnya – yang sekarang menjadi Pasar Klewer.
Sudah pasti, karena kegiatan keagaman umat Kristen di wilayah Surakarta
masih dilarang oleh penguasa, baik dari Raja Keraton Kasunanan Surakarta
maupun pemerintahan kolonial Belanda, maka apa yang dilakukan oleh Bapak
Iskak Karsa praktis harus dengan cara sembunyi-sembunyi. Dalam proses
pelayanan itu, ada orang yang kemudian melaporkan kepada polisi Belanda.
Akibatnya, suatu malam ketika Bapak Iskak Karsa sedang memimpin kebaktian,
mendadak didatangi seorang schout Belanda dan beberapa agen polisi. Kontan,
9 Hasil wawancara dengan Suwitadi Kusumo Dilogo tanggal 10 April 2018. Muso dan
Dariyun adalah penjual buku keliling dari satu tempat ke tempat lain, yang sejak tahun 1897-1990
sering berkunjung ke Surakarta tidak hanya untuk menjual buku namun untuk membantu
pelayanan Injil.
26
mereka semua terkejut dan segera meninggalkan tempat kebaktian. Sedangkan
yang tinggal hanya Bapak Iskak Karsa dan Bapak Djajakardama. Akhirnya Iskak
Karsa dijadikan “tahanan kota” oleh polisi Belanda, dan siap menunggu panggilan
untuk menghadap, namun panggilan menghadap ke kantor polisi itu tidak pernah
diterimanya10
Dalam proses selanjutnya, pada tahun 1899, Iskak Karsa pindah ke
Purworejo. Meskipun Iskak Karsa meninggalkan kota Surakarta dan beberepa
orang jemaat, rupanya justru kepergian beliau membangkitkan kembali semangat
iman orang-orang yang telah merasakan lezatnya beribadah dengan agama
Kristen. Mereka mengadakan kumpulan lagi masih dengan cara sembunyi-
sembunyi dipimpin oleh Bapak Nitiwilastra. Cuma, kepemimpinan Bapak
Nitiwilastra tidak berlangsung lama karena beliau sakit lalu menyatakan tidak
mampu lagi memimpin kumpulan atau kebaktian. Tugas itu kemudian dilanjutkan
oleh Bapak Jokanan yang datang dari Purbalingga. Tetapi beliau hanya sebentar
memimpin kumpulan. Pekerjaan itu pun ditangani kembali oleh Bapak
Djajakadarma yang sebenarnya beliau belum menerima sakramen baptis. Keadaan
itu terjadi karena yang punya wewenang melakukan sakramen baptis adalah
seorang pendeta. Padahal, ketika itu di kota Surakarta belum ada pendeta yang
secara resmi melakukan pelayanan.
Sejarah perkembangan selanjutnya adalah ketika Pdt. Dr. H.A. van Andel
tiba di Surakarta pada 1 Januari 1913, jumlah orang Kristen di kota itu sebanyak
74 orang warga dewasa (artinya mereka telah diperkenankan turut dalam
10
Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho tanggal 12 April 2018
27
perjamuan kudus). Setelah dua tahun berjalan (1915), angka itu bertambah
menjadi 148 orang. Bahkan, masih di tahun yang sama sudah ada 11 orang yang
baptis dengan rincian 7 orang pribumi dan 4 Tionghoa. Dari anak-anak pun juga
sudah ada yang baptis, yakni: 7 orang anak orang Jawa dan 1 anak Tionghoa. Jadi
mereka yang sudah dibaptis pada tahun 1915 sebanyak 19 orang. Ditambah
dengan adanya 4 orang Kristen dari luar daerah yang pindah ke kota Surakarta,
maka sampai penghujung tahun 1915, jumlah orang Kristen yang aktif beribadah
di kumpulan atau kebaktian mencapai 171 orang, baik dari orang Jawa maupun
Tionghoa.11
Perkembangan itu menemukan momentumnya tanggal 13 April 1916,
diadakan pemilihan anggota majelis yang pertama, terdiri dari 4 orang tua-tua,
yaitu: Bapak Doetakarjana, Bapak Mangenhardja, bapak Bapak Prawirataruna,
dan Bapak Sie Siauw Tjong, serta 2 orang diaken, yakni: Bapak Herman
djajahoesada dan Bapak Iradikrama. Setelah diwartakan kepada jemaat, maka
pada hari Minggu, tanggal 30 April 1916 diresmikan terbentuknya Majelis serta
berdirinya Gereja Kristen Jawa Margoyudan.
.Di sisi lain, dari hari ke hari jumlah jemaat yang hadir dalam kebaktian di
GKJ Margoyudan semakin bertambah jumlahnya. Tren positif tersebut biasanya
mendorong Gereja-gereja Gereformeerd Belanda mengutus visitator kepada
jemaat-jemaat yang menjadi Pos PI atau kepada jemaat yang telah didewasakan.
Visitator yang datang ke Surakarta adalah Pdt. Dr. Brakker dan Pdt. B.J. Esser.
11
Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho, Tanto Kristiono, Yohanes Wahono,
tanggal 26-28 Maret 2017; tambahan wawancara dengan: Suwitadi Kusumo Dilogo, , Nike
Likitasari Ariwidodo (tanggal 14 April 2018), Ayupnata tanggal 15 April 2018, Winantyo dan P.
Sularno tanggal 20 April 2018
28
Kedua beliau itu kemudian membuat hasil visitasi sebagai berikut:
(1) Anggota Jemaat
Jemaat berjumlah 200 orang, di antaranya 148 orang adalah anggota
jemaat sidi. Jumlah ini tidak termasuk orang-orang Eropa yang ikut
beribadah di jemaat ini.
(2) Pelayanan Baptisan
Pada umumnya persyaratan untuk menerima baptis tergantung pada karunia
orang-orang yang mengajukan baptisan tersebut. Yang dimaksud dengan
karunia disini adalah kemampuan dalam memahami iman Kristen, yakni:
ada yang berdasarkan kepada pengetahuan Ringkasan Pengajaran Agama
Kristen, tetapi ada juga yang hanya cukup dengan doa, pengakuan iman,
dan Hukum Kasih.
(3) Katekisasi
Katekisasi umumnya dilalukan untuk mempersiapkan mereka yang akan
menerima baptis ataupun sidi, tetapi juga dilakukan katekisasi untuk
memperdalam penghayatan iman Kristen. Sedangkan bahan yang dipakai
dalam pengajaran Katekisasi ini adalah:
- Untuk anak-anak : Buku Cariyos 104, Ringkasan Pengajaran
Agama Kristenn dan Borsitus.
- Untuk dewasa : Selain tiga bahan di atas (untuk anak-anak),
juga digunakan 3 Kitab Perjanjian Lama, yakni: Kejadian,
Keluaran, dan Imamat.
(4) Upaya Pekabaran Injil
29
a. Peran Warga Jemaat
Pekabaran Injil tidak eksklutif wewenang guru Injil dan Pendeta Zending.
Warga jemaat pun terlibat aktif di dalamnya. Hal ini terlihat dengan
dibentuknya kelompok-kelompok yang menyebar ke beberapa tempat
secara rutin di samping berpartisipasi dalam penyebaran surat terbuka
tentang Injil dalam perayaan Sekaten, jemaat Tionghoa pun secara mandiri
mengumpulkan uang untuk sedapat mungkin mengundang penginjil dari
negeri Tiongkok.
b. Melalui Colportage (penjualan buku)
Colporteur tidak hanya menjual buku tetapi juga koran, selebaran dan
kalender Kristen. Buku yang terjual setiap tahunnya kurang lebih 22.000
eksemplar. Pada tahun 1915, ketika berlangsung pernikahan Susuhunan,
disebarkan 10.000 selebaran. Jumlah majalah berbahasa Jawa ada 6.000
dan berbahasa Melayu sekitar 500. Dalam tahun 1916 disebarkan 5.000
kalender Jawa. Sangat penting untuk dicatat adalah sampai tahun 1916,
sepertiga dari jumlah jemaat adalah hasil PI melalui colportage dan
penyebaran bacaan Kristen.
c. Ibadah di Rumah Sakit
Selain melayani kesehatan, di rumah sakit setiap dua kali dalam seminggu
diadakan ibadah yang dihadiri tidak hanya oleh paramedis, tetapi juga
pasien baik yang beragama Kristen maupun yang beragama lain. Ada
upaya untuk mengadakan kunjungan pasien non-Kristen yang telah sehat,
30
tetapi hal ini masih belum dapat dilakukan karena kendala sulitnya
menemukan tempat tinggal yang bersangkutan.
Dari hasil visitasi tersebut dapat dipahami bahwa perkembangan agama
Kristen di kota Surakarta sejak tahun 1916 hingga sekarang sungguh
menggembirakan. Empat tahun kemudian, setelah pembentukan Majelis Jemaat,
maka tahun 1920 dimulailah pembangunan gedung gereja dengan pembiayaan
pembangunan sebagian besar dipinjamkan oleh Zending. Pembangunan selesai di
tahun 1921 dan sekaligus diresmikan, maka sejak tahun itu kampung Margoyudan
memiliki gedung gereja yang dapat menampung lebih dari 300 orang jemaat.
Gedung gereja yang dibangun di lokasi bengkel milik Tuan Stegerhoek-
yang sekarang berada di Jalan Wolter Monginsidi No. 44. Digunakan untuk
ibadah minggu dan di luar hari Minggu dipinjam-sewakan untuk dipakai oleh
beberapa sekolah sebagai tempat belajar-mengajar, yaitu Sekolah Schakel dan
Sekolah Belanda Rendah. Sekolah-sekolah tersebut membayar sewa kepada
gereja, kemudian uang itu dipakai untuk melunasi pinjaman. Keberadaan GKJ
Margoyudan akhirnya mengilhami perkembangan komunitas Kristen Jawa di
Kota Surakarta maupun daerah di luar kota. Wilayah yang terilhami antara lain:
Sragen, Wonogiri, Delanggu, Kartasura, dan Karanganyar.12
12
Kompilasi hasil wawancara dengan Pujo Sambodo (Kec. Kartosura, Sukoharjo) tanggal
14 Mai 2018; Agus Setiono (Kec. Jaten, Karanganyar) tanggal 15 Mei 2018; Kristiantoro (Kec.
Grogol, Sukoharjo) tanggal 14 Mei 2018; dan bapak Widi (Kec. Mojolaban, Sukoharjo) tanggal 16
Mei 2018.
31
3.3 Identitas Margoyudan sebagai Kampung & Keunikannya
3.3.1. Keunikan Letak Geografis
Kampung Margoyudan dimana gereja itu berdiri berada di wilayah
kekuasaan Puro Mangkunegaran. Letaknya memang dapat dikatakan sangat
strategis. Sebelah selatan ada taman Banjarsari (sekarang Monumen Banjarsari).
Pada waktu itu, taman tersebut merupakan alun-alun yang tengahnya dilalui oleh
jalan besar menuju ke Stasiun Balapan, sehingga alun-alun tadi sering disebut
alun-alun Balapan. Alun-alun ini merupakan tempat para prajurit Legiun
Mangkunegaran mengadakan latihan baris dan menggunakan senjata atau latihan
keprajuritan (militer), dan juga untuk pacuan kuda. Sebelah barat alun-alun itu
merupakan tempat tinggal prajurit dragonder beserta kestal kapal-kapal (kampung
Kestalan). Kestal atau gedhogan tersebut merupakan pindahan dari Pamedan
depan Puro Mangkunegaran pada tahun 1784. Sedangkan di sebelah timur alun-
alun merupakan tempat tinggal para prajurit meriam atau setabel yang kemudian
menjadi nama kampung Setabelan.
Seiring perkembangan zaman, kawasan alun-alun berubah menjadi
perkampungan golongan elite lantaran di sekitar alun-alun dibangun loji-loji atau
rumah gedong yang lumayan mewah. Kawasan ini lalu terkenal dengan sebutan
Villapark atau taman yang dikelilingi oleh villa-villa keturunan Indis (campuran
Eropa dan pribumi). Sesuai dengan perkembangan era kepemimpinan penguasa
lokal kala itu, kawasan ini juga pernah mengalami perubahan nama. Semula
dikenal dengan alun-alun Balapan lalu Villapark, terus dikenal sebagai Monumen
Banjarsari (Monjari) dan sekarang dikembalikan lagi pamor utamanya sebagai
32
Villapark. Memang Mangkunegaran juga punya andil dalam penamaan kampung-
kampung di Solo. Kampung Margoyudan, tempat latihan perang legiun
Mangkunegaran. Karena berada dekat dengan latihan perang maka di daerah
sekitarnya dijadikan gudang peralatan perang seperti meriam (Stabel) kemudian
dinamakan Kampung Setabelan. Gereja Margoyudan berada di dekat alun-alun
Balapan yang digunakan untuk latihan militer. Boleh jadi karena jalan di depan
gereja itu sering dilalui para prajurit Legiun Mangkunegaran, maka kemudian
diberi nama “Margoyudan” yang bila diurai terdiri dari dua kata, yaitu: “margo”
berarti jalan, dan “yudan” dari kata “yuda” (mendapatakhiran konsonan “n”)
bermakna perang. Jadi arti leksinonnya kata “Margoyudan” adalah jalan perang
atau jalan yang dilewati para tentara atau prajurit. 13
Mengenai kondisi kampung Margoyudan pada waktu itu, para pinisepuh
menuturkan, bahwa di kawasan yang bernama Margoyudan itu dulunya di
sepanjang jalan dipenuhi dengan lampu-lampu yang berjajar (bahasa Jawa: ting).
Di jalan tersebut jika malam hari terlihat sangat terang benderang. Hal itu
dikarenakan di daerah tersebut berbatasan dengan wilayah “negara lain”, yakni
Kasunanan Surakarta karena di sebelah selatan kampung Margoyudan itu ada
tempat tinggal patih keraton Kasunanan. Itulah yang dimaksud berdekatan dengan
garis perbatasan. Selain itu, karena jalan di Margoyudan mengarah pada gudang
persenjataan dan tempat tinggal prajurit Mangkunegaran, maka jalan-jalan
tersebut diberi penerangan yang cukup sehingga apabila ada musuh akan segera
dapat dideteksi. Lalu, di daerah Margoyudan juga ada bangunan-bangunan untuk
13
Hasil wawancara dengan kepala bidang Pariwisata Kota Solo tanggal 17 Mei 2018
33
gudang penyimpananbahan bakar, maka harus selalu dalam keadaan terang
meskipun pada malam hari.14
Hanya saja, setelah di kawasan kampung Margoyudan tersebut ada
kegiatan-kegiatan agama Kristen seperti berdirinya gereja, Sekolah Kristen
Margoyudan, maka di kemudian hari kawasan itu berkembang menjadi semacam
daerah pendidikan dengan berdiri gedung-gedung sekolah khususnya di bawah
agama Kristen.
3.3.2. Kehadiran Gedung Gereja Sebagai Cagar Budaya
Bentuk fisik bangunan GKJ Margoyudan Surakarta telah ditetapkan
sebagai salah satu dari sebanyak 172 bangunan dan kawasan yang berstatus
sebagai cagar budaya oleh Dinas Tata Ruang Kota (DTRK) Surakarta sesuai
Undang-undang Nomor 11/2010 tentang Benda Cagar Budaya. Dengan demikian
gedung GKJ Margoyudan memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan
kepribadian bangsa. Penetapan GKJ Margoyudan sebagai cagar budaya diatur
dalam Surat Keputusan (SK) Wali Kota Solo No. 646/1-2/1/1997. Kemudian
dalam perjalanannya SK Wali Kota Solo direvisi pada tahun 2013 menjadi SK
Wali Kota Solo No. 646/1-2/1/2013, guna menyesuaikan dengan UU No.11/2010
tentang Cagar Budaya.
Mengenai arsitektur bangunan GKJ Margoyudan sendiri, meski
Stegerhoek orang Belanda asli, namun bangunan pertukangan yang dibuat adalah
14
Hasil wawancara dengan kepala bidang Pariwisata Kota Solo tanggal 17 Mei 2018
34
bangunan murni dengan gaya Jawa. Bila kita memasuki gedung, akan terlihat
jelas bentuknya berupa Joglo yang memanjang dengan enam pasang tiang
terpancang di kanan kiri. Komponen bangunan di dalamnya pun masih kental
dengan nuansa etnik Jawa. Tiangnya terbuat dari kayu jati yang kokoh menyangga
bangunan sejak pertama kali berdiri hingga sekarang ini. Sengaja tiangnya tidak
disemen agar tetap membentuk pilar. Kursi-kursi rotan yang berbaris rapi sebagi
tempat duduk jemaat ketika kebaktian juga peninggalan jaman kolonial. Terdapat
2 jenis kursi yaitu kursi panjang yang bisa dipakai duduk sekitar 3-4 orang dan
kursi rotan yang hanya bisa diduduki 1 orang. Mimbar yang digunakan Pendeta
untuk berkhotbah juga terbuat dari kayu jati dan masih utuh sejak pertama dibuat
hingga sekarang. Kapasitas kursi bisa memuat sekitar 700 orang jemaat dan tetap
kokoh meski usia hampir seabad.
Di kanan dan kiri bangunan terlihat jendela khas gaya Jawa, di mana
jendelanya tidak terlalu panjang. Dulu jendela dan pintunya model sirap tapi
sekitar 12 tahun lalu diganti dengan yang baru karena faktor usia. Di atas jendela
terdapat ornamen kaca yang kental dengan budaya Jawa. Tampak dari bentuk
gunungan yang merupakan simbol penting dalam tradisi Jawa. “Semua kayu cuma
diplitur, tidak saya ijinkan dicat agar kelihatan keindahan tekstur kayunya.”
Nuansa Jawa semakin kental terasa bila kita mendongak, melihat tulisan yang
menempel di dinding di atas altar. Tertulis salah satu ayat dari Alkitab yang
dialihbahasakan menjadi Jawa. Bahkan pada awalnya tulisan ini malah dalam
bentuk aksara Jawa.15
15
Hasil wawancara dengan Pdt. Tanto Kristiono tanggal 20 Mei 2018
35
“He, para wong kang kesayahan lan kamomotan, padha
mrenea, Aku bakal gawe ayemmu.” (Mateus 11 : 28)
Proses kebaktian menggunakan pengantar dengan Bahasa Jawa Krama
Inggil. “Keunikan gereja sering memakai unsur budaya Jawa dalam ibadahnya.
Injil tidak mencabut akar budaya jemaat karena dengan landasan budaya Jawa
justru bisa mengena untuk menerima Injil. Dibagian belakang, terlihat balkon
kecil di atas pintu masuk gereja, balkon tersebut sudah lama ada untuk kebaktian
meski sekarang beralih fungsi menjadi ruangan multimedia dan sound system.
Lantai yang dulu berupa tegel lama berukuran 30 cm x 30 cm sudah diganti
dengan ubin keramik berukuran 50 cm x 50 cm. Satu hal lagi yang paling unik
dari gereja yang luasnya sekitar 500 m ini, terdapat bintang segi enam di atas
pintu depan gereja. Bintang Daud tersebut sempat mendapat protes dari warga
yang beragama Islam karena mengira itu lambang Israel. Sempat dilepas sesaat
kemudian Bintang Daud tersebut dipasang kembali. Bintang itu merupakan
simbol yang tidak bisa dilepas karena sudah ada sejak pertama kali GKJ berdiri.
“Pihak pemerintah langsung mengklaim gereja kami sebagai Bangunan Cagar
Budaya pada tahun 2013. Tanpa pembicaraan lebih dulu dengan pihak gereja.
Tidak ada pemberitahuan setelah berstatus BCB akan diberi bantuan atau
mendapat pengarahan apa dari pemerintah16
”.
3.4. Identitas Gereja
3.4.1. Data Keanggotaan Jemaat
Jemaat GKJ Margoyudan yang sudah didewasakan mulai tanggal 30 April
1916, sebelumnya diberinama dalam bahasa Belanda, De Gereformeerde Kerk
16
Hasil wawancara dengan Pdt. Tanto Kristiono tanggal 20 Mei 2018
36
van Surakarta atau Gereja Gereformeed di Surakarta. Nama tersebut karena
berpengaruh pada identitas gereja untuk menyesuaikan dengan gereja asalnya.
Untuk mengasuh dan memerintah warga jemaat, majelis tentu memerlukan
pegangan sebagai panduan. Dalam kehidupan gereja, sudah tentu pegangan
utamanya adalah Alkitab yang dilengkapi dengan Ajaran dan Tata Gereja. Ketiga
hal itu menjadi identitas dalam melakukan karya pelayanannya.17
Perkembangan jumlah anggota jemaat dari tahun 1916 sampai dengan data
terakhir yang diperoleh peneliti tahun 2017 boleh dikatakan luar biasa. Tahun
1916 jumlah anggota jemaat yang tercatat adalah 200 orang, 148 orang adalah
anggota jemaat sidi, dan pada tahun 2017 berkembang menjadi 3.762 orang.
Uniknya anggota jemaat GKJ Margoyudan tidak hanya berdomisili di kampong
Magoyudan, Surakarta, namun tersebar juga di kabupaten lainnya, seperti:
Sukoharjo dan Karangantar. Sekalipun berdomisili di Kabupaten lain, namun pada
setiap hari Minggu pasti akan mengikuti kebanktian di GKJ Margoyudan.18
Perkembangan jumlah anggota jemaat padata tahun 2017, dapat dilihat pada table
di bawah ini:
17
Hasil wawancara dengan Pdt. Tanto Kristiono tanggal 20 Mei 2018. 18
Kegigihan untuk tetap beribadah sekalipun berdomisili di luar wilayah Surakarta dan
Solidaritas warga jemaat GKJ Margoyodan ini bisa menjadi topik lain yang menarik untuk diteliti.
37
Tabel 1
Jumlah Anggota Jemaat GKJ Margoyudan Tahun 2017
Jenis Dan
Golongan
Awal Tambah Kurang Akhir
Dewasa
Laki-laki 1.290 31 21 1.300
Perempuan 1.626 36 25 1.637
Anak-Anak
Laki-laki 461 9 15 455
Perempuan 385 8 23 370
Jumlah 3.762 84 84 3.762
Sumber: Kantor GKJ Margoyudan 2017
Dalam rangka kemudahan dan keterjangkauan pelayanan dan
penatalayanan gereja kepada warga jemaatnya, maka jumlah pejabat (pelayan)
gereja pada tahun 2017 adalah sebanyak 66 orang, yang melakukan pelayanan
kepada 3.762 warga jemaat. Data pejabat gerejawi di GKJ Margoyudan tahun
2017 adalah:
Tabel 2.
Jumlah Palayan Gerejawi di GKJ Margoyudan Tahun 2017
Jabatan Gerejawi Laki-Laki Perempuan Jumlah
1. Pendeta 2 Orang 1 Orang 3 Orang
2. Penatua 13 Orang 4 Orang 17 Orang
3. Diaken 36 Orang 10 Orang 46 Orang
Jumlah 51 Orang 15 Orang 66 Orang
Sumber: Kantor GKJ Margoyudan 2017
Sebagai gereja yang baru didewasakan, apa identitas GKJ Margoyudan
pada masa Pekabaran Injil yang dilakukan oleh para misionaris dari Barat? Sesuai
dengan laporan Deputat-Deputat Umum untuk PI yang dimuat dalam Akta Sinode
38
1905 di Utrecht. identitas yang digumuli dalam pendewasaan gereja-gereja di
Jawa, dirumuskan dua kemungkinan identitas, yakni:19
(1) Identitas yang berkiblat pada “ajaran Bapa-Bapa Gereja”
dengan intisari iman para Rasul (atau Pengakuan Iman Rasuli);
(2) Identitas yang berkiblat pada ekspresi iman Gereja-gereja
Gereformeerd di Nederland, yakni “Ketiga Pasal Keesaan”.
Untuk memilih yang pertama, yakni intisari iman para Rasul, dianggap
sebagai sebuah kemunduran dalam hal pengakuan percaya sebab Roh Kudus
bekerja melampaui segala zaman dan tidak hanya terbatas pada zaman para Rasul
saja, sehingga yang diajarkan oleh Roh Kudus kepada Gereja Gereformeerd di
Nederland lebih banyak daripada yang diterima oleh para Rasul.
Berangkat dari pehamaman tersebut maka GKJ Margoyudan sebagai salah
satu gereja Jawa yang didewasakan oleh NGK, menerima “Ketiga Pasal Keesaan”
sebagai pengakuan iman Gereformeerddi Nederland. Sementara untuk Tata
Gereja, juga seperti yang terjadi pada pengakuan iman, yakni memakai Tata
Gereja Dordrecht seperti yang dipakai oleh gereja asalnya di Belanda. Tetapi
yang menjadi catatan penting adalah baik “Ketiga Pasal Keesaan” yang menjadi
pengakuan iman serta Tata Gereja Dordrecht diharapkan dipakai oleh gereja-
gereja di Jawa untuk sementara saja. Artinya, ada harapan bahwa nantinya mereka
19
Suwitadi Kusumo Dilogo, dkk, Satu Abad (100) GKJ Margoyudan Surakarta Meniti.,
133-135. Diperkuat dengan hasil wawancara dengan nara sumber penyusun buku ini serta
beberapa pendeta dan vikaris yang melayani di jemaat ini 26-27 Maret 2017.
39
memiliki pengakuan iman dan tata gereja yang berangkat dari pergumulan dan
kemandirian mereka sendiri.
Ketiga Pasal Keesaan itu terdiri dari: Katekismus Heidelberg, 37 Pasal
Iman dan 5 Pasal Melawan Kaum Remonstran, yang dipandang penting untuk
diperkenalkan terlebih dahulu adalah Katekismus Heidelberg. Sebab, di dalamnya
mengandung intisari ajaran Gereja Gereformeerd. Bahkan Katekismus ini
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh Pdt. Dr. D. Brakker.20
Penentuan identitas itu menjadi penting karena berpengaruh juga pada
nama yang diberikan kepada jemaat yang sekarang disebut sebagai GKJ
Margoyudan ini, De Gereformeerd Kerk van Surakarta atau Gereja Gereformeerd
di Surakarta.
3.4.2. Sistem Pembagian Wilayah Pelayanan dan Komisi
Sekitar awal tahun1960, status daerah pelayanan di GKJ Margoyudan
dibagi menjadi sebagai berikut: 21
(1) Gereja Induk dipimpin oleh Majelis Induk
(2) Gereja Wilayah dipimpin oleh Majelis Wilayah
(3) Pepanthan yang dipimpin oleh Pengurus Pepanthan
(4) Kelompok Kebaktian dipimpin Panitia Kebaktian
(5) Kelompok Pendadaran dipimpin oleh Pengurus Kelompok
20
Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho, tanggal 27 Mei 2018. 21
Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho, Tanto Kristiono, Yohanes Wahono,
tanggal 26-28 Maret 2017; tambahan wawancara dengan: Suwitadi Kusumo Dilogo, , Nike
Likitasari Ariwidodo (tanggal 14 April 2018), Ayupnata tanggal 15 April 2018, Winantyo dan P.
Sularno tanggal 20 April 2018.
40
Penjelasan mengenai status pelayanan tersebut berdasarkan buku
mengenai sejarah GKJ Margoyudan yang berjudul Berakar, Bertumbuh, dan
Berbuah Demi Kemuliaan Allah (Pdt. Dr. Wahyu Nugroho, S.Mi., MA.,) sebagai
berikut:
1. Kelompok Pendadaran
Kelompok Pendadaran adalah persekutuan warga gereja yang
tempat tinggalnya berdekatan. Jumlah warga dalam setiap
kelompok kurang lebih 20 sampai 50 orang. Jika dalam
perkembangannya jumlah warga kelompok lebih dari 50 orang,
maka kelompok tersebut perlu untuk dipecah menjadi dua
kelompok.
Jumlah kelompok di GKJ Margoyudan wilayah kota sendiri sebanyak 63
kelompok. Setiap kelompok diasuh oleh Pengurus Kelompok bersama dengan
Majelis Pamong. Untuk Pengurus Kelompok berjumlah lima orang yang dipilih
oleh warga dalam kelompok tersebut dengan struktur sebagai berikut:
Ketua Kelompok : Biasanya wakil kepala keluarga
Penulis : Surakartah satu pemuda/pemudi
Bendahara : Surakartah satu ibu
Pembantu Umum : 2 orang
Pengurus Kelompok ini berfungsi sebagai pembantu Majelis dan memiliki
tugas rutin:
1. Membantu menarik persembahan bulanan dan beras yang kemudian
disetorkan ke Kantor Gereja;
41
2. Menyediakan tempat pendadaran menjelang Perjamuan Kudus;
3. Membimbing kegiatan warga kelompok antara lain:
menyelenggarakan Sekolah Minggu, menyediakan tempat katekisasi,
menyelenggarakan peringatan hari raya Kristen (Paskah, Natal,
Pentakosta) menyelenggarakan PA dan Koor;
4. Mengamati peri kehidupan warga kelompok;
5. Membuat daftar warga kelompok termasuk mutasi dan jumlah warga
yang kena siasat gereja;
6. Memberikan saran kepada warga kelompok yang akan
melangsungkan perkawinan, pertunangan, dan menghibur yang
sedang dalam kedukaan;
7. Menemani majelis Pamong pada waktu mengadakan perkunjungan
persekutuan di luar tugas perkunjungan kemajelisan.
Sedangkan untuk tugas Majelis Pamong adalah memahami kondisi
warga kelompok yang dipamonginya baik dalam hal kehidupan
pekerjaan, pekerjaan, kegerejaan, jumlah yang kena siasat maupun
siapa saja yang perlu dikunjungi. Kerjasama antara Majelis Pamong
dan Pengurus Kelompok menjadi sangat penting.
2. Kelompok Kebaktian
Kelompok Kebaktian adalah kebaktian yang diselenggarakan oleh
beberapa kelompok dengan tujuan menarik tetangga dekat (simpatisan) untuk
turut serta menerima Firman Tuhan. Pada umumnya, kebaktian ini belum perlu
menggunakan liturgi umum dan khotbah yang dilayankan berbentuk khotbah PI.
42
Kebaktian ini diselenggarakan sore hari dan uang persembahan yang
terkumpul diperuntukan mendukung kelangsungan kebaktian tersebut. Yang
bertanggung jawab menata kebaktian ini adalah panitia yang anggotanya diambil
dari perwakilan kelompok-kelompok yang mengadakan kebaktian tersebut. Percu
dicatat, tempat-tempat yang dipakai untuk kebaktian tidak digunakan untuk
pelayanan sakramen maupun pelayanan pernikahan.
3. Pepanthan
Suatu kelompok kebaktian dapat disebut pepanthan jika memenuhi syarat
seperti dalam Tata Gereja GKJ yang berlaku.
4. Wilayah
Sejak tahun 1966, GKJ Margoyudan mengalami perkembangan baik
dalam jumlah kelompok maupun pepanthan. Oleh karena itu, pada saat itu bentuk
pelayanan dibagi menjadi empat wilayah pelayanan meliputi:
1. Wilayah Utara, meliputi pepanthan Selokaton, Ngamban,
Gemolong, dan Kelompok Kebaktian di Genjikan dan Watuireng;
2. Wilayah Nusukan, meliputi Nusukan dan Ngipang;
3. Wilayah Induk, meliputin kelompok-kelompok dalam kota dan
pepanthan Palur;
4. Wilayah Timur, meliputi Gandekan dan Surakarta Timur.
Tugas pelayanan di wilayah ditata sebagai berikut:
1. Pengasuh Wilayah
43
Tiap wilayah diasuh oleh Majelis Wilayah yang terdiri dari anggota
Majelis Induk yang bertempat tinggal di wilayah tersebut ditambah
anggota majelis hasil pilihan wilayah.
2. Pemilihan Majelis Wilayah
Sebelum terbentuk Majelis Wilayah, anggota Majelis Induk di
wilayah ditugaskan sebagai Panitia Persiapan Wilayah untuk
menyelenggarakan pengaderan calon-calon Majelis Wilayah. Calon-
calon Majelis Wilayah terdiri dari ketua-ketua kelompok dan warga
yang aktif berjumlah 25 orang. Mereka setiap seminggu sekali selama
enam bulan menerima pembekalan yang dilakukan oleh pendeta atau
Majelis Induk. Bahan pembekalan di susun sendiri dengan judul
Cepengan Warga Pradata yang ternyata juga diminati oleh gereja
lain di lingkungan GKJ.
Setelah pembekalan selesai, calon-calon majelis wilayah itu dipilih
oleh Panitia Persiapan Wilayah dan hasilnya diajukan sebagai calon
majelis. Pemilihan dilakukan oleh warga jemaat yang berada di
wilayah tersebut dan bapak pendeta. Selanjutnya anggota majelis
yang baru bersama dengan anggota Majelis Induk di wilayah tersebut
disebut sebagai Majelis Wilayah.
Dengan terbentuknya Majelis Wilayah, maka Panitia Persiapan
Wilayah dibubarkan. Majelis Wilayah bertanggungjawab penuh
terhadap pelayanan di wilayah. Dan setiap persidangan majelis Induk,
ketua dan sekretaris wilayah memberikan laporan seputar pelayanan
44
Yang terjadi di wilayahnya.
3. Struktur Pelayanan Wilayah
Majelis Wilayah melengkapi diri dengan struktur pelayanan yang
tidak jauh berbeda dengan struktur di gereja induk.
Komisi-komisi
1. Komisi Keesaan
Tugas utama komisi ini adalah memelihara/membina persekutuan
dalamjemaat gereja. Komisi ini dilengkapi beberapa seksi, yaitu: Seksi
Pendidikan Keluarga, Seksi Katekisasi, dan Seksi Pembinaan
Kelompok.
2. Komisi Kesaksian
Tugasnya memberitakan Injil keluar atau PI. Komisi ini dilengkapi
beberapa seksi: Seksi Pendidikan Agama, Seksi Komunikasi Massa
(Sikomas), dan Seksi Perpustakaan.
3. Komisi Wanita
Tugasnya menggerakkan wanita Kristen agar terlibat dalam membina
persekutuan dan menjadi saksi Injil Kristus. Seksi-seksinya adalah:
Seksi Kesaksian Wanita, Seksi Keesaan, Seksi Pengkaderan, dan Seksi
Kemasyarakatan.
4. Komisi Harta Jemaat
Tugasnya mengurus kebutuhan fisik jemaat baik berupa keuangan
maupun pemeliharaan aset gereja. Seksi-seksinya: Seksi Rumah
Tangga, Seksi Wisma Remaja, dan Seksi Perbendaharaan.
45
5. Komisi Pemuda
Tugasnya membina persekutuan dan menyiapakan diri sebagai kader-
kader gereja serta bersaksi di lingkungan pemuda. Seksi-seksinya:
Seksi Pembinaan/Pengkaderan, Seksi Kerohanian, Seksi
Olahraga/Rekreasi, Seksi Paduan Suara/Kesenian, Seksi
Usaha/Latihan Kerja, dan Seksi Pembantu Umum.
6. Komisi Anak
Komisi ini secara khusus bertugas membina anak-anak Kristen serta
menanamkan dasar-dasar kehidupan Kristen. Seksi-seksinya: Seksi
Pendidikan/Pengkaderan, Seksi Perlengkapan, Seksi Kegiatan, dan
Seksi Usaha. Komisi ini juga dibantu dengan pengurus wilayah
sehingga pada waktu ini Sekolah Minggu dikelompokkan menjadi
tujuh wilayah.
5. Penataan Keuangan GKJ Margoyudan
Tidak seperti Panitia Keuangan dalam strukur pelayanan sebelumnya,
keuangan gereja sepenuhnya berada di bawah tanggungjawab majelis. Dalam
realisasinya majelis menyerahkan wewenang kepada Komisi Harta Jemaat (KHJ)
tetapi garis pengelolaan keuangan yang harus dilaksanakan oleh KHJ ditentukan
oleh majelis dan dipertanggujawabkan kepada majelis. Majelis juga mengangkat
pengawas keuangan (sekarang disebut BPK) yang bertugas memeriksa
pembukuan, pemasukan dan pengeluaran beserta bukti-buktinya.
46
3.4.3. Identitas dan Lokalitas Berjemaat GKJ Margoyudan serta
Kesatuannya
GKJ adalah Gereja Kristen Jawa sehingga merupakan gereja suku yang
tetap menggunakan bahasa Jawa dalam pekabaran injil. Di sisi yang lain dinamika
perkembangannya cukup pesat karena sejalan dengan pekabaran injil awal GKJ
ini masih juga berfokus melembagakan jemaat baru dan tetap bergerak juga pada
bidang pendidikan. Walaupun warga jemaat saat ini terdiri dari berbagai etnis
namun tetap dalam pengaruh dominan budaya Jawa sebagai titik sentral
pekabaran dan identitas berjemaat. Identitas – Nilai-nilai budaya Jawa yang masih
terpelihara adalah kesopanan, unggah-ungguh, bahasa jawa mewarnai, bahasa
jawa menjadi bahasa relasi tua, muda, laki-laki, perempuan yang diugemi.22
Ekspresi Symbolik budaya Jawa diperagakan dalam kehidupan bergereja.
Bintang Daud –Lambang persekutuan jemaat. Bahasa Jawa dipakai sebagai
bahasa pengantar dalam Liturgi. Karena GKJ berada di tanah Jawa, Gereja
kesukuan, dengan dominasi orang Jawa, nguri-uri kebuyaan Jawa sebagai akar,
Kejawaan menjadi Identitas. Filosofi Jawa – Hamemayu Hayuning Bhawana.
Disisi yang lain, Nilai-nilai Budaya Jawa, mayoritas Jawa, ada suku lain, Bahasa
Jawa menjadi pengantar pelayanan dan mereka tetap mengikutinya dalam
perbedaan latar belakang khususnya ketika bersekutu bersama-sama di jemaat.
ekspresi symbolik, ini dipertahankan karena dalam ekspresi berbahasa jawa ada
sistem nilai yakni Kesatuan Kerendahan hati. Contohnya (orang kalau marah
memakai bahasa Jawa akan halus) marahnya tidak begitu kelihatan. Berbicara
lebih dalam tentang Identitas maka ada beberapa pertimbangan dalam konteks
22
Hasil wawancara dengan Vikaris Nugroho, 25 Maret 2017.
47
gereja di Jemaat ini yakni Identitas sama dengan Gereja Kristen Jawa secara
Sinodal dalam hal peribadahan atau Ritual yang dilaksanakan, sedangkan situasi
atau keadaan GKJ Margoyudan Adem Ayem menjunjung filosofi itu untuk
merangkul berbagai latar belakang jemaat yang berbeda.23
Tradisi-tradisi jawa yang kental misalnya Sengkalan sama dengan
menunjukkan angka dan dibaca dari belakang. Selain itu, Orang Jawa pandai
ngothak-athik dan penuh Filosofis dalam karya. Hal ini nampak dalam ukiran-
ukiran yang dibuat dan juga nyanyian dan sebagainya misalnya Ornamen Jawa
diatas mimbar, Matius 11 : 28 ayat itu memberi pengaruh yang positif,
mendamaikan sebagai dasar untuk menjaga kesatuan dan kerukunan dalam
keberagaman tersebut yang mana mudah terjadi konflik. Dari sisi pemerintah juga
budaya jawa semakin diperkuat dalam persekutuan gereja ini karena adanya
anjuran Pemkot bahwa semua instansi harus memakai aksara Jawa sebagai
Identitas masyarakat Surakarta, sebab hal ini berfungsi untuk nguri-nguri
kabudayan Jawa, memelihara dan memberi Identitas Solo yang kejawen.
Sedangkan untuk pakaian adat hanya ada pada hari-hari (event) tertentu.24
Jati diri dalam identitas Gereja dan karakteristik khusus jemaat GKJ
Margoyudan terlihat masih sangat kuat karena walaupun dalam perkembangannya
ada juga jemaat yang sudah dilembagakan mandiri dan terpisah dari gereja ini
namun akar-akar Kejawaan masih cukup kuat melekat pada diri mereka. Salah
satu buktinya adalah Rasa Manunggal sama dengan kebersamaan antar jemaat.
23
Hasil wawancara dengan Suwitadi Kusumo Dilogo, Nike Likitasari Ariwidodo (tanggal
14 April 2018); Pujo Sambodo (Kec. Kartosura, Sukoharjo) tanggal 14 Mai 2018; Agus Setiono
(Kec. Jaten, Karanganyar) tanggal 15 Mei 2018; Kristiantoro (Kec. Grogol, Sukoharjo) tanggal 14
Mei 2018; dan bapak Widi (Kec. Mojolaban, Sukoharjo) tanggal 16 Mei 2018; 24
Hasil Wawancara dengan Pdt. Tanto Kristiono, 28 Maret 2018
48
Bahkan dalam peringatan 100 tahun menjadi berarti bagi dunia ini. “He wong...”
nats yang sangat di hafal oleh jemaat. Sedangkan sisi peninggalan sejarah yang
lebih dekat kepada karakteristik budaya Zending masih terlihat dalam kostum atau
Pakaian Pelayanan yang selalu digunakan budaya Eropa itu hasil pengaruh
Zending, kejawen masih hal-hal khusus dan tertentu, tetapi Batik menjadi Simbol
yang penting dalam Kegiatan Jemaat – PA, Bidston. Selain itu akar dari
penyatuan dan solidaritas yang dimiliki walaupun sudah terpisah menurut
informan terletak pada bangunan gereja ini yang telah menjadi cagar budaya dan
memiliki nilai historis yang tinggi sehingga kesatuan itu ada dan tetap bertahan
walaupun dalam pekabaran injil dan alasan-alasan penatalayanan terjadi
pelembagaan dan alasan lainnya sehingga sebagian jemaat mungkin berpindah
namun merasa tetap masih menyatu dengan GKJ Margoyudan Surakarta. Gereja
Kristen Jawa dalam pengembangan pekabaran Injil juga berkaitan erat dengan
Gereja Kristen Indonesia. Alasannya karena ditemukan dalam sejarahnya bahwa
Pendeta utusan dari Belanda, 1916 bukan patokan berdirinya gereja, namun
sebelumnya sudah ada perintisan. GKJ Sangkrah Solo didewasakan oleh GKJ
Margoyudan. Surakarta terbukanya Pekabaran Injil. Satu hal yang menarik bahwa
GKJ melahirkan GKI, mengapa demikian, karena banyak kumpulan orang
Tionghua. Sehingga pekabaran Injil dan pelembagaan yang dilakukan mencoba
untuk menjawab adanya tantangan kebutuhan semacam itu sehingga pekabaran
injil menjadi kontekstual dalam identitas itu dan juga dalam konteks bernegara.25
25
Hasil Wawancara dengan Pdt. Tanto Kristiono, 28 Maret 2017; Pdt Nike Lukitasari 29
Maret 2017