80
87 BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DI INDONESIA Pada bab III ini, penulis akan membahas tentang keadilan di dalam peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia. Sebelum menguraikan keadilan di dalam peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia, dalam bab ini penulis akan membahas mengenai sejarah pengaturan pertambangan di Indonesia. Sedangkan hal yang terkait dengan pembahasan keadilan di dalam peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia adalah kaidah hukum asas keadilan dalam materi muatan peraturan perundang-undangan Pertambangan, meliputi: PERPU 37 Tahun 1960 Tentang Pertambangan, UU Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain itu, dalam bab ini penulis juga akan membahas keadilan dalam peraturan pelaksana pertambangan sebagai contoh UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua berkaitan dengan pemaknaan keadilan dalam pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia. Dalam melakukan analisis atas asas keadilan dalam peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia, penulis akan memakai aspek-aspek keadilan sosial atas penguasaan dan penggunaan kekayaan alam yang

BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

  • Upload
    vandat

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

87

BAB III

KEADILAN DI DALAM PERATURAN PENGELOLAAN

PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Pada bab III ini, penulis akan membahas tentang keadilan di dalam

peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia. Sebelum menguraikan

keadilan di dalam peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia, dalam

bab ini penulis akan membahas mengenai sejarah pengaturan pertambangan

di Indonesia. Sedangkan hal yang terkait dengan pembahasan keadilan di

dalam peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia adalah kaidah

hukum asas keadilan dalam materi muatan peraturan perundang-undangan

Pertambangan, meliputi: PERPU 37 Tahun 1960 Tentang Pertambangan, UU

Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,

UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Selain itu, dalam bab ini penulis juga akan membahas keadilan dalam

peraturan pelaksana pertambangan sebagai contoh UU Nomor 21 Tahun

2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua berkaitan dengan pemaknaan

keadilan dalam pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia.

Dalam melakukan analisis atas asas keadilan dalam peraturan

pengelolaan pertambangan di Indonesia, penulis akan memakai aspek-aspek

keadilan sosial atas penguasaan dan penggunaan kekayaan alam yang

Page 2: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

88

terkandung di dalam Pasal 33 UUD 1945 (lihat Bab II Sub B) dapat

dikategorikan sebagai berikut: orientasi, keberpihakan, hubungan dengan

pemilik modal, dan akses mengusahakan. Dari analisis tersebut penulis akan

dapat menginterprestasikan, jenis keadilan yang manakah terdapat dalam

peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia.

A. Sejarah Pengaturan Pertambangan di Indonesia

Sejarah kegiatan usaha dan hukum pertambangan di Indonesia

menurut Soetaryo Sigit, secara resmi dapat ditemukan dalam catatan-catatan

kegiatan para geologist Belanda yang pernah melakukan survey di negeri ini.

Antara lain Ter Braake (1944) dan R .W Van Bemmelen (1949), serta

berbagai laporan tahunan Dinas Pertambangan Hindia Belanda

(“Jaarverslag Dienst Van Den Mijn Bow”).1 Berdasarkan catatan sejarah

tersebut, maka dapat diketahui pula bahwa penambangan emas, tembaga, dan

besi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera secara komersial sudah dimulai

menjelang tahun 700 Masehi. Maka pada masa itu Pulau Sumatera dikenal

sebagai Swarna Dwipa (Pulau Emas) dan Pulau Jawa dikenal sebagai Jawa

Dwipa (Pulau Beras). Selanjutnya sejak Belanda datang pada tahun 1602

Masehi, sebagai kelompok pedagang yang tergabung dalam Verenigde Ooze

Indische Company dan terkenal dengan sebutan VOC, maka mulailah era

1 IBR.Supancana, dkk, Pelaksanaan Kerjasama di Bidang Pertambangan (Mineral

dan Batubara), BPHN, Jakarta, 2008, hal 4.

Page 3: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

89

baru dalam kegiatan pengusahaan pertambangan di Indonesia yang lebih

modern dengan sekala yang besar pula.2

Pada tahun 1852 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan “Dienst van

het Mijnwezen” (Jawatan Pertambangan). Tugas jawatan ini adalah

melakukan eksplorasi geologi-pertambangan di beberapa daerah untuk

kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Hasil penemuannya antara lain

endapan batubara Ombilin Sumatera Barat (1866), namun baru berhasil

ditambang oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1891.3

Pada tahun 1899, Pemerintah Hindia Belanda mengundangkan

Indische Mijnwet (Staatblad 1899-214). Indische Mijnwet hanya mengatur

mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan pertambangan. Oleh

karena Indische Mijnwet hanya mengatur pokok-pokok persoalan saja,

sehingga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pelaksanaan

berupa Mijnordonnantie yang diberlakukan mulai 1 Mei 1907.

Mijnordonnantie mengatur mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja

(tercantum dalam Pasal 356 sampai dengan Pasal 612). Kemudian pada

tahun 1930 Mijnordonnantie 1907 dicabut dan diperbaharui dengan

Mijnordonnantie 1930 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1930. Dalam

Mijnordonnantie 1930 tidak lagi mengatur mengenai pengawasan

2 Ibid.

3 Soetaryo Sigit dalam Aprae Vico Ranan, Upaya Pemerintah Provinsi Kalimantan

Tengah Dalam Melakukan Pengawasan Terhadap Usaha Pertambangan di Kalimantan

Tengah, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, (Tesis: Tidak Diterbitkan), 2010,

hal 18.

Page 4: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

90

keselamatan kerja pertambangan, tetapi diatur tersendiri dalam Mijn Politie

Reglement (Staatblad 1930 No. 341).4

Kebijakan politik Kolonial yang dilakukan pemerintah Belanda

dalam rangka pengelolaan sumber daya alam bahan galian di bumi Indonesia

ini, semakin terlihat sifat penjajahnya. Dengan menerapkan kebijakan

mineral yang bersifat diskriminatif, yang memberikan perlakuan yang sangat

istimewa kepada para investor swasta bangsa Belanda. Kenyataan ini

tercermin pada amandemen pertama dari Indische Mijn wet 1899, pada tahun

1910. Amandemen ini dilakukan, untuk meningkatkan minat investor swasta

asing non-Belanda dengan menambahkan Pasal 5 yang bersifat Publik

(Konsesi) dengan Pasal 5 A dari Indische Mijn Wet 1899 tersebut, yang

bersifat Kontrak (Perdata).

Bila ditinjau secara yuridis, maka kewenangan dari Kontraktor

Kontrak 5A ini tidak sekuat kewenangan yang dimiliki oleh para pemegang

Konsesi. Adapun secara lengkap amandemen Indishe Mijn Wet 1899 ini,

menurut Soetaryo Sigit adalah sebagai berikut:5

a. Pemerintah berwenang untuk melakukan penyelidikan dan

eksploitasi selama hal itu tidak bertentangan dengan hak-hak

yang telah diberikan kepada penyelidik pemegang hak konsesi;

b. Untuk hal tersebut Pemerintah dapat melakukan sendiri

penyelidikan dan eksploitasi, atau mengadakan perjanjian dengan

perorangan atau perusahaan yang memenuhi persyaratan

4 Ibid.

5 IBR.Supancana, dkk, Op.cit, hal 15.

Page 5: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

91

sebagaimana tercantum pada pasal 4 Undang-Undang ini dan

sesuai perjanjian itu, mereka wajib melaksanakan eksploitasi

ataupun penyelidikan dimaksud;

c. Perjanjian yang demikian itu tidak akan dilaksanakan kecuali bila

telah disyahkan dengan Undang-Undang.

Pelaksanaan pemberian Konsesi oleh Pemerintah Hindia Belanda ini,

dilakukan dalam rangka menetapkan politik dan kebijaksaan kolonialnya atas

kekayaan alam bahan galian di Indonesia. Undang-undang pertambangan

Hindia Belanda ini lahir, dari perkembangan politik pada waktu itu yang

dilandasi oleh alam fikiran mereka yang liberalistis dan kapitalis. Kebijakan

politik penjajah di bidang pertambangan ini telah melapangkan jalan bagi

“Konsesi Pertambangan”. Selanjutnya cengkeraman konsesi tersebut

terhadap kekayaan nasional bangsa Indonesia ini, berlangsung hingga 15

tahun kita merdeka. Tepatnya hingga tahun 1960, dengan diundangkannya

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.37 tahun 1960 tentang

Pertambangan dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.44

tahun 1960 tentang Migas.6

Berlangsung terusnya cengkeraman konsesi oleh para investor asing

tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan

oleh adanya ketentuan yang terdapat pada Bagian A Pasal I ayat (1)

Persetujuan KMB di Den Haag pada tahun 1948, yang menetapkan antara

lain bahwa: “Hak Konsesi yang diperoleh sejak zaman Penjajahan Belanda

6 Ibid, hal 8.

Page 6: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

92

dan masih berlaku pada saat pengakuan kedaulatan, tetap dihormati sampai

berakhirnya masa pemberian Hak Konsesi tersebut.”7 Berdasarkan hal itulah

maka cengkeraman konsesi ini tetap dapat berlangsung terus walaupun kita

sudah merdeka, karena masa berlakunya konsesi ini dapat mencapai 75 tahun

dan Kontrak 5 A sampai 40 tahun. Perusahaan tambang asing bangsa

Belanda sebagai pemegang konsesi Pertambangan, waktu itu antara lain

adalah: Bataafsche Petroleum Maatschappijj (BPM), Nederlandsche Pacific

Petroleum Maatschappijj (NPPM) dan Nederlandsche Koloniale Petroleum

Maatschappijj (NKPM). Selanjutnya agar tidak terkesan berbau kolonial,

maka mereka segera mengganti nama perusahaan-perusahaannya tersebut,

secara berturut-turut menjadi: SCHELL, STANVAC dan CALTEX

PACIFIC.8

Keinginan Pemerintah untuk menguasai sepenuhnya pengelolaan

pertambangan, diawali oleh adanya mosi dari DPR RI kepada Pemerintah.

Mosi ini dimotori oleh seorang ahli hukum dan bekas gubernur Pertama

Propinsi Sumatera, bernama Mr. Teuku H. Mochammad Hasan. Beliau saat

itu duduk sebagai anggota DPR Komisi Perekonomian, telah melihat

berbagai kejanggalan yuridis sehubungan dengan pengelolaan kekayaan alam

nasional kita yang sebagian besar masih dikuasai oleh pihak asing sebagai

pemegang konsesi pertambangan. Hal ini menurut pandangan yuridis beliau,

7 Ibid, hal 14.

8 Ibid.

Page 7: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

93

sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 khususnya Pasal

33 ayat (3). Maka pada tanggal 19 Juli 1951, beliau mengajukan usul kepada

Pemerintah melalui surat DPR RI No.Agd.1446/RM/DPRRI/1951, oleh

karena itu mosi tersebut terkenal sebagai Mosi Teuku Mochammad Hasan.9

Adapun beberapa pertimbangan yang mendorong beliau mengajukan usul

atau mosi tersebut, antara lain:

1) Bahwa sebagian besar ekonomi rakyat baik dalam usaha

pertambangan, maupun diluar pertambangan masih dikuasai oleh

Belanda dan pihak asing lainnya. Antara lain perusahaan-

perusahaan besar seperti KLM (maskapai Penerbangan ), KPM

(maskapai Pelayaran), BPM dan NKPM (maskapai Perminyakan)

masih dikuasai pihak Belanda. Sedangkan ekonomi menengah s/d

sedang masih dikuasai oleh sekelompok pedagang Cina;

2) Bahwa sebagian besar pengusahaan kekayaan bahan galian

tambang, berdasarkan Indische Mijn Wet 1899, masih dikuasai

oleh para pemegang Konsesi Pertambangan;

3) Bahwa bila tambang-tambang tersebut diusahakan dengan

sungguh-sungguh, maka hasilnya tentu dapat digunakan untuk

menutupi sebagian besar dari APBN. Berarti hasil pertambangan

dapat mengurangi dan sekaligus meringankan beban rakyat,

dalam kewajibannya untuk membayar pajak untuk membiayai

Negara tersebut. Dengan demikian hasil pertambangan itu telah

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat

tercapai. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) UUDS

1950 ( Pasal 33 ( 3 ) UU DASAR 1945 ).10

Sebagai reaksi positif pemerintah atas mosi tersebut, maka

Pemerintahan Soekarno waktu itu segera membentuk panitia Negara yang

berhasil menyiapkan RUU Pertambangan di awal tahun 1952. Namun

berhubung kondisi politik waktu itu yang masih tidak stabil, karena

9 Ibid, hal 18.

10 Ibid.

Page 8: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

94

gangguan dari beberapa tokoh RIS yang masih pro Belanda dan anti

Soekarno, serta Kabinet juga jatuh bangun, maka RUU tersebut terhambat

untuk disampaikan ke DPR. Langkah selanjutnya pemerintah membentuk

berbagai perangkat untuk mendukung program nasionalisasi, dan pada tahun

1958 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang

Nasionalisasi Perusahaan Belanda yang berlaku surut hingga Desember

1957. Undang-undang ini menjadi dasar pengambil alihan perusahaan

Belanda yang kemudian dimiliki secara penuh oleh pemerintah RI. Untuk

menangani perusahaan industri dan tambang milik Belanda dibentuk Badan

Penyelenggara Perusahaan-perusahaan Industri dan Tambang (BAPPIT),

badan ini berada di bawah kendali Menteri Perindustrian.

Pada tahun 1960 Pemerintah Indonesia menerbitkan suatu peraturan

mengenai pertambangan yang diundangkan sebagai Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 37

Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan yang lebih dikenal dengan Undang-

Undang Pertambangan 1960. Undang-Undang ini mengakhiri berlakunya

Indische Mijnwet 1899 yang tidak selaras dengan cita-cita kepentingan

nasional dan merupakan Undang-Undang Pertambangan nasional yang

pertama. Kemudian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960

tentang Perusahaan Negara, pemerintah menyeragamkan bentuk badan usaha

Page 9: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

95

milik negara menjadi perusahaan negara yang pada masa itu berjumlah

sekitar 822 perusahaan negara.

Tahun 1966, lahirlah Orde Baru yang ditandai dengan perubahan

besar dalam tata kehidupan masyarakat, peran militer dan modal asing

semakin kuat dan luas. Perubahan ini dimulai ketika MPRS mengadakan

sidang umumnya yang pertama. Sidang umum tersebut menghasilkan

berbagai keputusan penting, antara lain adanya komitmen orde baru untuk

membuka kesempatan seluas-luasnya bagi modal asing, termasuk dalam

pengelolaan kekayaan alam. Sebagai langkah konkrit adalah dengan

dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.XXIII/1966 tentang pembaharuan

kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Tindak lanjut

dari ketetapan MPRS dan instruksi presidium ditetapkanlah Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang

merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958. Selain itu

juga dikeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1968 Tentang Penanaman

Modal Dalam Negeri (PMDN). Melengkapi Undang-undang PMA,

pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Meningkatnya sektor

pertambangan pada era Orde Baru, karena sebagian besar disebabkan oleh

sikap pemerintah yang lebih terbuka dengan modal asing.

Page 10: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

96

Setelah hampir selama kurang lebih empat dasawarsa sejak

diberlakukannya Undang-Undang nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok pertambangan, maka lahirlah peraturan perundang-

undangan yang mengatur lebih spesifik tentang pertambangan mineral dan

batubara, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara. Lahirnya Undang-Undang ini disebabkan Undang-

Undang yang berlaku sebelumnya materi muatannya bersifat sentralistik dan

sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan di

masa depan.

B. Asas Keadilan Dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-

Undangan Pertambangan

1. PERPU 37 Tahun 1960 Tentang Pertambangan

a. Law Making Proses PERPU 37 Tahun 1960

Pada era Orde Lama, kondisi politik yang diwarnai oleh gejolak dan

pertentangan yang tajam di antara partai-partai politik yang ada waktu itu,

telah mengakibatkan Dewan Konstituante sebagai produk pemilu 1955 gagal

untuk menyusun UUD yang baru guna menggantikan UUDS 1950. Dalam

kondisi yang kacau tersebut, selanjutnya Pemerintah untuk tetap berupaya

mencari dana dari luar. Pada tahun 1950 menteri perdagangan dan

perindustrian Dr. Sumitro Djojohadikusumo membentuk panitia

Page 11: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

97

industrialisasi yang bertugas untuk menetapkan bidang-bidang usaha yang

terbuka bagi modal asing.

Walaupun dalam kondisi yang kurang stabil tersebut, maka pada

tahun 1958 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.78 Tahun 1958

tentang Penanaman modal Asing (UU PMA). Sesuai semangat ekonomi

terpimpin, maka UU PMA ini tidak memberikan peluang kepada Penanaman

Modal Asing untuk melakukan investasi langsung pada kegiatan usaha

pertambangan untuk bahan galian yang bersifat vital (Pasal 3 UU PMA).11

Kemungkinan untuk itu tetap terbuka, akan tetapi hanya melalui bentuk

pinjaman Luar Negeri dan tidak dapat ikut terlibat langsung menangani

proyek vital tersebut. Hal ini jelas sangat tidak menarik minat para investor,

karena tidak dapat ikut terlibat langsung untuk menangani proyek besar yang

memerlukan modal besar pula. Di samping itu ditambah lagi dengan kondisi

politik di dalam negeri yang tidak stabil waktu itu, maka walaupun adanya

jaminan dari pemerintah terhadap kegiatan usaha pertambangan waktu itu

tetap saja tidak menarik, karena tidak bersifat “bankable”.12

Demi menyelamatkan bangsa dan Negara dari pertentangan yang

semakin tajam dan perpecahan bangsa, maka Presiden Sukarno pada tanggal

5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang didukung oleh segenap

11

Ibid, hal 20.

12 Ibid, hal 21.

Page 12: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

98

lapisan masyarakat dan Angkatan Perang. Dekrit ini menyatakan:

“Pembubaran Dewan konstituante dan kita kembali kepada UUD 1945,

selanjutnya dibentuklah DPRS dan MPRS sambil menunggu pemilu yang

akan datang.” Akibat adanya dekrit Presiden ini, maka kehidupan politik

liberal yang berlandaskan UUDS 1950 berakhir dan diganti dengan

Demokrasi Terpimpin yang melahirkan kebijaksanaan Ekonomi Terpimpin

pula. Atas dasar kebijaksanaan ekonomi ini, maka mulai saat itu Pemerintah

akan terlibat langsung untuk mengurus berbagai sektor kegiatan

perekonomian yang dianggap penting dan menyangkut hajat hidup orang

banyak, salah satunya adalah sektor pertambangan. Salah satu upayanya

adalah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 37 Prp.Tahun 1960 tentang

Pertambangan, kemudian Pemerintah berusaha lagi untuk menarik PMA

melalui pola Production Sharing (bagi hasil), yang indentik dengan

Pinjaman Modal Luar Negeri yang akan dikembalikan dari hasil produksi

bahan galian yang bersangkutan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 20

Tahun 1963.13

b. Norma Hukum PERPU 37 Tahun 1960

Norma hukum atau isi dari PERPU 37 Tahun 1960 ini adalah judul,

konsiderans, batang tubuh dan penjelasan umum. Judul PERPU 37 Tahun

1960 adalah Pertambangan. Konsiderans, jelas di dalamnya tertuang arah dan

13

Ibid.

Page 13: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

99

tujuan PERPU 37 Tahun 1960 ini yaitu mengatur penambangan bahan

galian di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat, baik secara gotong-royong maupun secara

perseorangan. Dalam Konsiderans dipaparkan bahwa PERPU 37 Tahun 1960

ini mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan payung hukum

pertambangan dan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.14

Batang tubuh, terdiri dari 13 bab dan 31 pasal. Bab 1, berisi

penjelasan istilah-istilah dalam peraturan. Bab 2, Penggolongan dan

pelaksanaan penguasaan bahan galian. Bahan galian dibagi menjadi 3 yaitu

golongan bahan galian strategis, vital dan yang tidak termasuk strategis dan

vital. Strategis adalah menyangkut keamanan, perekonomian negara dan

security approach. Vital adalah yang menjamin kebutuhan hidup orang

banyak. Bab 3, bentuk dan organisasi perusahaan pertambangan. Golongan

bahan galian strategis dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk

oleh menteri, perusahaan negara, pihak swasta yang didirikan sesuai dengan

peraturan-peraturan RI bertempat kedudukan di Indonesia dan bertujuan

berusaha dalam lapangan pertambangan dan pengurusnya memiliki

kewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia, dan menurut

pertimbangan dari segi ekonomi dan pertambangan lebih menguntungkan

14

Pasal 22 ayat (1) UUD 1945: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,

Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Pada

masa itu dikeluarkannya PERPU 37 Tahun 1960 karena kondisi politik Orde Lama memang

sedang diwarnai oleh gejolak antar partai.

Page 14: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

100

bagi negara apabila diusahakan oleh swasta serta rakyat, yaitu bahan galian

yang sedemikian kecil sehingga lebih menguntungkan jika diusahakan secara

sederhana atau kecil-kecilan. Golongan bahan galian vital dilaksanakan oleh

instansi pemerintah (perusahaan negara atau daerah) dan badan atau

perseorangan swasta yang memenuhi syarat seperti di atas serta badan

hukum koperasi.

Bab 4, usaha pertambangan, meliputi penyelidikan umum eksplorasi,

eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Bab 5,

kuasa pertambangan. Dalam usaha pertambangan hanya boleh dilakukan

oleh pihak yang mempunyai kuasa pertambangan. Kuasa pertambangan

diberikan dengan Keputusan Menteri. Dalam kuasa pertambangan untuk

usaha pertambangan terdapat beberapa ketentuan, di antaranya: 15

a) tidak boleh mengganggu pertambangan rakyat yang telah ada

b) tidak meliputi tempat tertutup untuk kepentingan umum

c) tidak meliputi makam-makam, tempat yang dianggap suci, pekerjaan-

pekerjaan kereta api, saluran air, listrik, gas dan sebagainya

d) tidak meliputi tempat-tempat pekerjaan usaha pertambangan lain

e) tidak meliputi bangunan-bangunan, rumah tempat tinggal atau pabrik-

pabrik beserta tanah-tanah pekarangan sekitarnya, kecuali ada ijin yang

berkepentingan.

Bab 6, cara dan syarat-syarat memperoleh kuasa pertambangan.

Untuk memperoleh kuasa pertambangan diajukan kepada menteri dan syarat-

syaratnya diatur dengan PP. Bab 7, tentang berakhirnya kuasa pertambangan

ada 3 (tiga), yaitu: dikembalikan, dibatalkan, dan habis waktunya.

15

Lihat Pasal 12 PERPU 37 Tahun 1960 Tentang Pertambangan.

Page 15: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

101

Dikembalikan, adalah dikembalikan kepada menteri dengan pernyataan

tertulis dan disetujui menteri. Dibatalkan, dapat dibatalkan dengan Kepmen

jika pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi syarat yang ditetapkan

dalam PP dan atau ingkar dalam menjalankan perintah-perintah dan petunjuk

dari negara. Bab 8, hubungan kuasa pertambangan dengan hak tanah.

Pemegang kuasa pertambangan wajib memberikan ganti rugi akibat

usahanya kepada pemegang hak atas tanah, baik disengaja maupun tidak.

Bab 9, pungutan-pungutan negara. Pemegang kuasa pertambangan

membayar kepada negara berupa iuran tetap, iuran eksplorasi dan/atau

eksploitasi dan pembayaran-pembayaran yang berhubungan dengan kuasa

pertambangan yang bersangkutan. Bab 10, pengawasan pertambangan. Tata

usaha dan pengawasan pekerjaan dan pelaksanaan pertambangan dipusatkan

kepada Departemen yang lapangan tugasnya meliputi pertambangan.

Bab 11, ketentuan-ketentuan pidana. Kualifikasinya tindak pidana

kejahatan dan pelanggaran. Unsur kesalahan adalah adanya unsur

kesengajaan. Ancaman pidana berupa penjara, kurungan dan denda. Jenis

perbuatan pidana:16

1) tidak mempunyai kuasa pertambangan, namun melakukan usaha

pertambangan.

2) melakukan usaha pertambangan sebelum memenuhi kewajiban

terhadap pemegang hak atas tanah,

3) merintangi usaha pertambangan yang syah,

16

Lihat Pasal 26 s/d Pasal 29 PERPU 37 Tahun 1960 Tentang Pertambangan.

Page 16: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

102

4) pemegang hak atas tanah merintangi usaha pertambangan padahal

kewajiban sudah terpenuhi,

5) pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi kewajibannya,

6) pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi syarat,

7) pemegang kuasa tidak melakukan perintah dan/atau petunjuk

negara.

Bab 12, ketentuan-ketentuan peralihan. Semua hak pertambangan

perusahaan dan/atau perseorangan yang bukan Perusahaan Negara, yang

diperoleh berdasarkan peraturan yang ada sebelum saat berlakunya Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, tetap dapat dijalankan untuk

jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Bab 13, Ketentuan-ketentuan

penutup. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku

pada hari diundangkan, dan dapat disebut "Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang Pertambangan".

c. Asas Keadilan Dalam PERPU 37 Tahun 1960

1. Orientasi

PERPU 37 Tahun 1960 merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit

Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia tertanggal

5 Juli 1959, ketentuan-ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan

Manifesto Politik Republik Indonesia tersebut 17 Agustus 1959, sebagai

yang ditegaskan dalam amanat Presiden pada tanggal 17 Agustus 1960 yang

mewajibkan Negara untuk mengatur penambangan bahan galian di seluruh

wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat, baik secara gotong-royong maupun secara perseorangan—hal inilah

Page 17: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

103

yang menjadi orientasi dalam PERPU 37 Tahun 1960. Dari konsideran

tersebut maka dapat dijabarkan ada dua orientasi dalam PERPU 37 Tahun

1960, yaitu:

a. Kedaulatan negara.

Hal tersebut tercermin dari Pasal 2 ayat (1) PERPU 37 Tahun 1960:

“Segala bahan galian yang berada di dalam, di atas dan di bawah

permukaan bumi, dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia

yang merupakan letakan-letakan atau timbunan-timbunan alam

adalah kekayaan nasional dan dikuasai oleh Negara”17

Pada dasarnya prinsip kedaulatan negara yang diadopsi dalam

PERPU 37 Tahun 1960 sama dengan apa yang pada Indische Mijnwet 1899.

Namun terdapat perubahan yang signifikan antara lain, perubahan dari sistem

konsesi ke sistem pengusahaan pertambangan yang mana kegiatan usaha

pertambangan dilakukan oleh negara atau daerah. Kalaupun sebuah badan

usaha swasta hendak melakukan kegiatan usaha pertambangan dilakukan

melalui usaha bersama negara atau daerah.

b. Kemakmuran rakyat.

Dari kandungan konsideran PERPU 37 Tahun 1960 sangat terasa

bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia cukup dijamin. PERPU

37 Tahun 1960 ingin penambangan bahan galian di seluruh wilayah

kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat—

dengan demikian nasionalisme Indonesia jika ingin difungsikan dalam

17

Lihat Pasal 2 ayat (1) PERPU 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan.

Page 18: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

104

kenyataan tidak harus sekedar ditujukan untuk melawan eksploitasi dan

dominasi asing dalam politik, ekonomi, dan budaya, tetapi juga harus

dihadapkan kepada unsur kolonial domestik. Hal ini tercermin dalam Pasal 8

PERPU 37 Tahun 1960: Pelaksanaan pertambangan golongan bahan galian

yang vital dapat dikuasakan kepada pihak swasta yaitu badan hukum yang

didirikan sesuai dengan peraturan-peraturan Republik Indonesia, bertempat

kedudukan di Indonesia dan bertujuan berusaha dalam lapangan

pertambangan dan pengurusnya mempunyai kewarganegaraan Indonesia dan

bertempat tinggal di Indonesia; dan juga perseorangan yang

berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia. Namun

dalam Penjelasan Pasal 8 PERPU 37 Tahun 1960 menegaskan bahwa

ketentuan dalam pasal ini bermaksud untuk menjamin kepentingan

masyarakat seluruhnya. Dalam pelaksanaannya akan diberikan pengutamaan

kepada Koperasi. Hal ini sesuai dengan cita-cita keadilan Soekarno yang

pernah mengatakan bahwa:

“Sudah pernah saya katakan bahwa cita-cita dengan keadilan sosial

ialah suatu masyarakat yang adil dan makmur. Saya tekankan adil

dan makmur, makmur dan adil, dengan menggunakan alat-alat

industri, alat-alat teknologi yang sangat modern....Tetapi

industrialisme modern itu kita pergunakan untuk kepentingan

umum.”18

2. Keberpihakan

18

Soekarno, Op.cit, hal 295.

Page 19: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

105

Dalam konsiderans PERPU 37 Tahun 1960 dinyatakan bahwa untuk

mencapai kemakmuran rakyat dilakukan baik secara gotong-royong maupun

secara perseorangan. Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama

pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama—amal

semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.19

Gagasan keadilan sosial tidak bisa terlepas dari gerakan persatuan dan

gotong royong. Justru bangsa yang tahu bersatu dan mau berkerjasama akan

dapat memahami nilai keadilan sosial yang berujung pada kemakmuran

rakyat. Dari hal tersebutlah maka dalam keberpihakan PERPU 37 Tahun

1960 ini pro-rakyat.

3. Hubungan Dengan Pemilik Modal

Dalam PERPU 37 Tahun 1960, mengijinkan Pemerintah menarik

modal asing untuk mengembangkan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan

berdasarkan pola production sharing contract seperti yang diatur dalam

Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 1963.20

Pola bagi hasil ini pada

dasarnya tidak lain berupa peminjaman modal dari pihak asing yang akan

dibayar kembali dengan hasil produksi.21

Production Sharing Contract

mempunyai beberapa ciri utama, yaitu :22

19

Saafroedin Bahar (ed), Op.cit, hal 82. 20

Departemen Pertambangan dan Energi, Op cit, hal. 265. 21

Abrar Saleng, Op cit, hal. 70. 22

Haris Retno Susmiyati, Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing

Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, Jurnal

Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, Vol 2 No 2, Desember 2006, hal 99.

Page 20: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

106

a. Manajemen ada di tangan negara (perusahaan negara)

Negara ikut serta dan mengawasi jalannya operasi pertambangan

minyak dan gas bumi secara aktif dengan tetap memberikan

kewenangan kepada kontraktor untuk bertindak sebagai operator dan

menjalankan operasi di bawah pengawasannya. Negara terlibat

langsung dalam proses pengambilan keputusan operasional yang

biasanya dijalankan dengan mekanisme persetujuan (approval). Inti

persoalan dalam masalah ini adalah batasan sejauh mana persetujuan

negara atau perusahaan negara diperlukan dalam proses pengambilan

keputusan.

b. Penggantian biaya operasi (operating cost recovery)

Kontraktor mempunyai kewajiban untuk menalangi terlebih dahulu

biaya operasi yang diperlukan, yang kemudian diganti kembali dari

hasil penjualan atau dengan mengambil bagian dari pertambangan

yang dihasilkan. Besaran penggantian biaya operasi ini tidak harus

selalu penggantian penuh (full recovery). bisa saja hanya sebagian

tergantung dari hasil negosiasi.

c. Pembagian hasil produksi (production split)

Pembagian hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi dan

kewajiban lainnya merupakan keuntungan yang diperoleh oleh

Page 21: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

107

kontraktor dan pemasukan dari sisi negara. Besaran pembagian hasil

produksi ini berbeda-beda tergantung dari berbagai faktor.

d. Pajak (Tax)

Pengenaan pajak dikenakan atas kegiatan operasi kontraktor,

besarannya dikaitkan dengan besarnya pembagian hasil produksi

antara negara dengan kontraktor. Prinsipnya adalah semakin besar

bagian negara maka pajak penghasilan yang dikenakan atas

kontraktor akan semakin kecil.

e. Kepemilikan asset ada pada negara (perusahaan negara)

Umumnya semua peralatan yang diperlukan untuk pelaksanaan

operasi menjadi milik perusahaan negara segera setelah dibeli atau

setelah depresiasi. Ketentuan ini mengecualikan peralatan yang

disewa karena kepemilikannya memang tidak pernah beralih kepada

kontraktor.

4. Akses Mengusahakan

Dalam PERPU 37 Tahun 1960, peran negara (melalui Perusahaan

Negara) dan atau daerah (Perusahaan Daerah) menjadi otoritas yang selalu

terlibat dalam kegiatan usaha pertambangan. Pelaksanaan kegiatan usaha

pertambangan dilakukan oleh negara (Perusahaan Negara) atau oleh negara

bersama-sama daerah untuk bahan galian strategis. Kemudian pelaksanaan

kegiatan pertambangan bahan galian vital dilakukan oleh negara (Perusahaan

Page 22: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

108

Negara) atau daerah (Perusahaan Daerah) serta dilakukan oleh Badan atau

perorangan swasta yang melakukan usaha bersama dengan negara atau

daerah dimana harus Badan usaha tersebut harus berbadan hukum Indonesia

dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Untuk bahan galian yang bukan

termasuk bahan galian strategis dan bahan galian vital diatur oleh

Pemrerintah Daerah Tk. I (Pemerintah Provinsi). Melihat ketentuan tersebut,

maka perusahaan asing tidak dapat secara langsung melakukan kegiatan

usaha pertambangan di Indonesia bahkan untuk bahan galian non-strategis

dan atau bahan galian non-vital sekalipun. Dalam hal inilah mencegah

adanya exploitation de I’homme par I’homme.

Pengusahaan pertambangan terhadap bahan-bahan galian

sebagaimana tersebut di atas (strategis dan vital) hanya dapat dilakukan

setelah memperoleh Kuasa Pertambangan. Pendapatan negara melalui

PERPU 37 Tahun 1960 didapat dari pungutan-pungutan terhadap iuran pasti,

iuran eksplorasi dan/atau eksplotasi dan/atau pembayaran-pembayaran

lainnya yang berhubungan dengan pemberian kuasa pertambangan yang

bersangkutan. Ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap Hak

Masyarakat Adat yaitu, masyarakat yang terkena dampak negatif secara

langsung dari kegiatan usaha pertambangan sebagaimana terdapat dalam

Pasal 21 PERPU 37 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa mereka yang

berhak atas tanah diwajibkan memperkenankan pekerjaan pemegang kuasa

Page 23: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

109

pertambangan atas tanah yang bersangkutan, jika kepadanya sebelum

pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat kuasa pertambangan atau

salinannya yang syah, diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaan-

pekerjaan itu akan dilakukan, diberi ganti kerugian atau jaminan ganti

kerugian itu terlebih dahulu. Selain itu, Pemegang kuasa pertambangan

diwajibkan mengganti kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu

yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah, dengan tidak

memandang apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan

sengaja, maupun kerugian yang dapat atau tidak dapat diketahui terlebih

dahulu. Analisis di atas menunjukkan bahwa susbstansi dalam PERPU 37

Tahun 1960 mencerminkan usaha untuk mewujudkan keadilan sosial.

2. UU Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan

a. Law Making Proses UU Nomor 11 Tahun 1967

Pada pasca Pemerintahan Orde lama, maka Pemerintah Orde Baru

mulai menata kehidupan politik kembali dan memprioritaskan pembangunan

ekonomi, berdasarkan Tap MPRS Nomor XXIII-/MPRS/1966. Dalam

pembangunan di bidang pertambangan, Tap MPRS ini menetapkan antara

lain :23

23

Soetaryo Sigit, Perkembangan Pertambangan di Indonesia, Yayasan Krida

Caraka Bumi, Dept.Pertambangan dan Energi, Jakarta, 1994, hal 108.

Page 24: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

110

1) Kekayaan potensial yang terdapat dalam alam Indonesia perlu

digali dan diolah agar dapat dijadikan kekuatan ekonomi riil,

(Pasal 8 Bab II);

2) Potensi modal, teknologi dan keahlian dari luar negeri dapat

dimanfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta

pembangunan Indonesia (Pasal 10 Bab II );

3) Dengan mengingatnya terbatasnya modal dari luar negeri, perlu

segera ditetapkan undang-undang tentang modal asing dan modal

domestic (Pasal 62 bab VIII );

Dengan menelaah isi Tap MPRS tersebut di atas, maka terlihat jelas

bahwa ketetapan yang dilakukan oleh Lembaga Tertinggi Negara tersebut,

adalah sangat tepat. Terutama ditujukan untuk pembangunan di bidang

pertambangan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan sekaligus

sebagai andalan utama penghasil devisa waktu itu. Untuk mendukung

amanat MPRS tersebut, maka UU No. 37 Prp. Tahun 1960 tentang

Pertambangan dan UU No. 78 Tahun 1958 tentang PMA, perlu direvisi dan

disesuaikan dengan maksud dan tujuan amanat MPRS tersebut.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Departemen perindustrian

dan Pertambangan waktu itu, segera membentuk panitia penyusun RUU

Pertambangan yang diketuai oleh Soetaryo Sigit.24

Selanjutnya hasil kerja

panitia ini, sudah dapat diajukan ke sidang DPR menjelang pertengahan

tahun 1967. Maka dimulailah babak baru dalam bisnis pertambangan di

Indonesia, yang diawali dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagai revisi UU No. 78

24

IBR.Supancana, dkk, Op.cit, hal 22.

Page 25: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

111

Tahun 1958. Dimana dalam dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1967 ini ditetapkan bahwa: “Penanaman Modal Asing di bidang

Pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan Pemerintah atas

dasar Kontrak Karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan yang berlaku”.

Untuk lebih mendukung masuknya PMA di bidang pertambangan ini, maka

menjelang akhir tahun 1967 Pemerintah mengundangkan Undang-Undang

No.11 Tahun 1967 sebagai penyempurnaan Undang-undang No.37 Prp.1960

yang belum berhasil menarik minat investor.

b. Norma Hukum UU Nomor 11 Tahun 1967

Norma hukum atau isi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967

ini adalah judul, konsiderans, batang tubuh dan penjelasan umum. Judul,

ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Judul ini kurang tepat karena

adanya kata pokok. Idealnya ketentuan pokok hanya satu, dalam hal ini

adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA. Alasannya

dapat dilihat pada pasal 1 UUPA yang menyebutkan bahwa bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan bagian dari agraria.

Pada masa ini perundang-undangan trendnya menggunakan istilah ketentuan-

ketentuan pokok.

Konsiderans, jelas di dalamnya tertuang arah dan tujuan Undang-

undang ini yaitu menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi yang

Page 26: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

112

dikemukakan oleh W.W Rostow25

. Jadi tujuannya adalah bukan pemenuhan

target, tetapi pertumbuhan ekonomi yang bertujuan mengadakan eksploitasi

besar-besaran terhadap sumber daya alam. Seharusnya dalam konsiderans

dicantumkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA karena

dianggap sebagai payung dari undang-undang keagrariaan di Indonesia.

Pencantuman Keppres RI No.163 tahun 1966 dan Keppres RI No.171 tahun

1967 tidak tepat karena peraturan ini berada di bawah UU. Aturannya

peraturan yang berada di bawahnya tidak boleh menjadi konsiderans.

Batang tubuh, terdiri dari 12 bab dan 37 pasal. Bab 1 ketentuan

umum berisi penguasaan dan pengusahaan sumber daya alam. Bab 2

Penggolongan dan pelaksanaan penguasaan bahan galian. Bahan galian

dibagi menjadi 3 yaitu golongan bahan galian strategis, vital dan yang tidak

termasuk strategis dan vital. Strategis adalah menyangkut keamanan,

perekonomian negara dan security approach. Vital adalah yang menjamin

kebutuhan hidup orang banyak. Bab 3, bentuk dan organisasi perusahaan

pertambangan. Golongan bahan galian strategis dilaksanakan oleh instansi

25

W.W. Rostow merupakan seorang ekonom Amerika Serikat yang menjadi

Bapak Teori Pembangunan dan Pertumbuhan. Tahapan teori pertumbuhan ekonomi Rostow

yaitu: masyarakat tradisional, Prakondisi tinggal landas, masyarakat tinggal landas, menuju

kedewasaan, high konsumsi. Di Indonesia teori Rostow pada masa Orde Baru dilaksanakan

sebagai landasan pembangunan jangka panjang Indonesia yang ditetapkan secara berkala

untuk waktu 5 tahunan, yang terkenal dengan rencana pembangunan 5 tahun (Repelita).

Dengan dasar teori ini, seringkali Negara harus melakukan mobilisasi seluruh kemampuan

modal dan sumber daya alamnya sehingga mencapai tingkat investasi produktif sebesar 10%

dari pendapatan nasionalnya. Efek dari teori itu adalah terjadi eksploitasi besar-besaran

terhadap sumber alam dan bahan-bahan mentah, tanpa mempertimbangkan kelestarian alam

dan pembangunan berkelanjutan di masa yang akan datang. Lihat Arief Budiman, Teori

Pembangunan Dunia Ketiga, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hal 26.

Page 27: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

113

pemerintah yang ditunjuk oleh menteri, perusahaan negara, pihak swasta

yang didirikan sesuai dengan peraturan-peraturan RI bertempat kedudukan di

Indonesia dan bertujuan berusaha dalam lapangan pertambangan dan

pengurusnya memiliki kewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di

Indonesia, dan menurut pertimbangan dari segi ekonomi dan pertambangan

lebih menguntungkan bagi negara apabila diusahakan oleh swasta serta

rakyat, yaitu bahan galian yang sedemikian kecil, sehingga lebih

menguntungkan jika diusahakan secara sederhana atau kecil-kecilan.

Golongan bahan galian vital dilaksanakan oleh instansi pemerintah

(perusahaan negara atau daerah) dan badan atau perseorangan swasta yang

memenuhi syarat seperti di atas serta badan hukum koperasi. Terdapat 3 jenis

hak pengusahaan pertambangan, yaitu kuasa pertambangan, kontrak karya

dan pertambangan rakyat. Kuasa pertambangan diberikan untuk semua jenis

bahan tambang golongan A dan B dan tertutup bagi modal asing. Kontrak

karya merupakan hak pertambangan yang membuka peluang modal asing

untuk investasi di Indonesia. Pertambangan rakyat adalah hak yang dapat

diperoleh rakyat setempat (tempat bahan tambang) dengan luas dan waktu

yang sangat terbatas.

Bab 4, usaha pertambangan, meliputi penyelidikan umum eksplorasi,

eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Bab 5,

kuasa pertambangan. Dalam usaha pertambangan hanya boleh dilakukan

Page 28: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

114

oleh pihak yang mempunyai kuasa pertambangan. Kuasa pertambangan

dapat diberikan kepada semua di atas, selain rakyat (pertambangan rakyat).

Dalam kuasa pertambangan untuk usaha pertambangan terdapat beberapa

ketentuan, di antaranya:26

a) tidak boleh mengganggu pertambangan rakyat yang telah ada

(kecuali untuk kepentingan negara)

b) tidak boleh dilakukan di tempat tertutup untuk kepentingan umum,

lapangan-lapangan dan bangunan-bangunan pertahanan.

c) makam-makam, tempat yang dianggap suci, pekerjaan-pekerjaan

kereta api, saluran air, listrik, gas dan sebagainya

d) tempat-tempat usahan pertambangan lain

e) bangunan-bangunan, rumah tempat tinggal atau pabrik-pabrik beserta

tanah-tanah pekarangan sekitarnya, kecuali ada ijin yang

berkepentingan.

Bab 6, cara dan syarat-syarat memperoleh kuasa pertambangan.

Untuk memperoleh kuasa pertambangan diajukan kepada menteri dan syarat-

syaratnya diatur dengan PP. Bab 7, tentang berakhirnya kuasa pertambangan

ada 3 (tiga), yaitu: dikembalikan, dibatalkan, dan habis waktunya.

Dikembalikan, adalah dikembalikan kepada menteri dengan pernyataan

tertulis dan disetujui menteri. Dibatalkan, dapat dibatalkan dengan Kepmen

jika pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi syarat yang ditetapkan

dalam PP dan atau ingkar dalam menjalankan perintah-perintah dan petunjuk

dari negara.

26

Lihat Pasal 16 UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan.

Page 29: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

115

Bab 8, hubungan kuasa pertambangan dengan hak tanah. Pemegang

kuasa pertambangan wajib memberikan ganti rugi akibat usahanya kepada

pemegang hak atas tanah, baik disengaja maupun tidak. Selain itu pemegang

hak atas tanah juga wajib memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa

pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat, alurnya

adalah: 27

1) pemegang kuasa pertambangan dan pemilik hak atas tanah

bermufakat tentang besarnya ganti rugi, jika tidak tercapai

2) penentuan ganti rugi oleh menteri jika pemilik tidak menyetujui

3) diserahkan kepada pengadilan negeri yang daerah hukumnya

meliputi daerah/wilayah yang bersangkutan.

Bab 9, pungutan-pungutan negara. Pemegang kuasa pertambangan

membayar kepada negara berupa iuran tetap, iuran eksplorasi dan/atau

eksploitasi dan pembayaran-pembayaran yang berhubungan dengan kuasa

pertambangan yang bersangkutan. Untuk daerah tingkat I dan II juga

dilakukan pungutan-pungutan tersebut. Bab 10, pengawasan pertambangan.

Pengawasan hasil pertambangan dipusatkan kepada menteri, meliputi

keselamatan kerja, pengawasan produksi, kegiatan lainnya yang menyangkut

kepentingan umum. Selain itu pemegang kuasa pertambangan juga

diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak

menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat

sekitarnya.

27

Lihat Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan.

Page 30: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

116

Bab 11, ketentuan pidana. Subyek hukumnya adalah orang

perorangan, badan hukum, negara (pemerintah pusat maupun daerah).

Kualifikasinya tindak pidana kejahatan dan pelanggaran. Unsur kesalahan

adalah adanya unsur kesengajaan. Ancaman pidana berupa penjara, kurungan

dan denda. Jenis perbuatan pidana: 28

1) melakukan usaha pertambangan tanpa surat kuasa pertambangan,

2) melakukan usaha pertambangan sebelum memenuhi kewajiban

terhadap pemegang hak atas tanah,

3) merintangi usaha pertambangan tanpa mempunyai hak atas tanah,

4) pemegang hak atas tanah merintangi usaha pertambangan padahal

kewajiban sudah terpenuhi,

5) pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi kewajibannya,

6) pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi syarat,

7) pemegang kuasa tidak melakukan perintah dan/atau petunjuk.

Bab 12, ketentuan peralihan dan penutup. Untuk pelaksanaan lebih

lanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 membutuhkan peraturan

pelaksana, berupa peraturan pemerintah. Namun ternyata belum semua

peraturan pelaksana tersebut dapat terbentuk. Sehingga dalam

pelaksanaannya karena belum ada peraturan yang mengatur maka dalam

kegiatannya menggunakan peraturan lama atau menurut penafsiran

pemerintah sendiri. Sehingga seringkali pihak-pihak yang berkuasa bertindak

untuk keuntungan sendiri dan mengesampingkan kepentingan rakyat—alasan

yang sering digunakan adalah untuk kepentingan umum.

28

Lihat Pasal 31 s/d Pasal 34 UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Pertambangan.

Page 31: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

117

c. Asas Keadilan Dalam UU Nomor 11 Tahun 1967

1. Orientasi

Sejak dari konsiderans sudah terlihat bahwa UU Nomor 11 Tahun

1967 beorientasi kepada eksploitasi. Ketentuan “Menimbang” huruf a

menyatakan, bahwa guna mempercepat terlaksananya pembangunan

ekonomi Nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan

makmur, materil dan spirituil berdasarkan Pancasila maka perlulah

dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap

kekuatan ekonomi potensiil di bidang pertambangan menjadi kekuatan

ekonomi riil. Eksploitasi tambang yang diusung oleh UU Nomor 11 Tahun

1967 memang sejalan dengan politik pembangunan ekonomi yang

digerakkan oleh rezim yang berkuasa saat itu (1967), yaitu pada masa-masa

awal pemerintahan orde baru. Orientasi seperti itu semakin terlihat pada

ketentuan “Menimbang” huruf b, UU Nomor 11 Tahun 1967 dikeluarkan

dalam rangka memperkembangkan usaha-usaha pertambangan Indonesia di

masa sekarang dan di kemudian hari. Landasan filosofis, yang menyiratkan

tujuan dari UU Nomor 11 Tahun 1967 untuk mengembangkan usaha-usaha

pertambangan, memberi warna bagi isi UU Nomor 11 Tahun 1967 pasal

demi pasal.

2. Keberpihakan

Page 32: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

118

Sejalan dengan orientasinya yang bersifat eksploitatif, UU ini

cenderung lebih berpihak kepada para pemilik modal atau pengusaha di

bidang pertambangan (prokapital). Dalam Penjelasan Umum Alinea 4 UU ini

dapat diketahui bahwa latar belakang lahirnya UU ini adalah untuk

kepentingan usaha di bidang pertambangan. Misi eksploitasi dan prokapital

tersebut mewarnai isi atau batang tubuh UU ini. Hal ini tergambar, salah

satunya, dari ketentuan yang terdapat pada Pasal 5 sampai dengan 12 yang

mengatur tentang “Bentuk dan Organisasi Perusahaan Pertambangan”.

Konsep dasar penguasaan Negara atas bahan galian tambang,

dipertegas dalam Pasal 1 Undang-undang No. 11 tahun 1967: “Segala bahan

galian yang terdapat di wilayah hukum pertambangan Indonesia yang

merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa,

adalah kekayaan Nasional Bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai

dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Jika kita mengkaji tujuan hukum yang ada dalam Undang-undang Nomor 11

tahun 1967, pada bagian menimbang adalah untuk :29

a. Mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi nasional dalam

menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan

spirituil berdasarkan Pancasila;

b. Perlu adanya pengerahan semua dana dan daya untuk mengolah dan

membina segenap kekuatan ekonomi potensial di bidang pertambangan

menjadi kekuatan ekonomi;

29

Lihat Konsiderans UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pertambangan.

Page 33: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

119

Berdasarkan konsep dasar dalam Pasal 1 Undang-undang No. 11

tahun 1967, merupakan pengakuan pembentuk Undang-undang bahwa :30

a. Bahan-bahan galian tambang yang ada di Bumi Indonesia merupakan

Karunia Tuhan Yang Maha Esa;

b. Negara menguasai bahan galian tersebut untuk diperuntukkan sebesar-

besar kemakmuran rakyat.

Pengakuan penguasaan negara atas bahan galian dengan demikian

jelas tujuannya adalah diperuntukkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Demikian pula tujuan dari UU Nomor 11 Tahun 1967 adalah meningkatkan

perekonomian negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada

konsep ini terlihat masih ada kesesuaian tujuan dengan teori hukum, bahwa

tujuan hukum adalah keadilan dan kemanfaatan. Pernyataan untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat mengandung unsur di dalamnya keadilan dan

kemanfaatan.

Namun jika ditinjau ke dalam substansi Undang-undang Nomor 11

tahun 1967, terdapat beberapa perbedaan dari tujuan semula untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat dan pandangan teori hukum bahwa hukum

ditujukan untuk menciptakan keadilan dan kemanfaatan. Beberapa substansi

yang tidak konsisten :

a. Tidak ada perlindungan khusus bagi pertambangan rakyat

30

Lihat Pasal 1 UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan.

Page 34: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

120

Suatu usaha pertambangan dapat dilakukan oleh perseorangan atau

perusahaan yang kepadanya telah diberikan kuasa pertambangan, hal

ini diatur dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 tahun 1967.

Menurut Pasal 2 (i), yang dimaksud dengan kuasa pertambangan adalah

wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan untuk

melaksanakan usaha pertambangan. Bagi pertambangan rakyat dapat

diberikan kuasa pertambangan jika mendapatkan ijin pertambangan

(Pasal 11 ayat (2)). Ketentuan tersebut tanpa maksud memberikan

perlindungan khusus membawa dampak hampir semua pertambangan

skala besar di Indonesia dikuasai modal asing, sehingga sebagian besar

keuntungan dari usaha pertambangan di Indonesia akan lari keluar

negeri. Sementara masyarakat adat yang telah menambang secara

turun-temurun tidak mendapatkan ijin pertambangan. Berdasarkan

ketentuan ini maka jelas tujuan menciptakan kemakmuran sebesar-

besarnya tidaklah terwujud.

b. Masyarakat pemilik hak atas tanah tidak memiliki hak tolak terhadap

pertambangan.

Di dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967, dinyatakan

apabila telah didapat ijin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau

wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang

berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang

Page 35: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

121

kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat

kepadanya:

a. sebelum pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat kuasa

pertambangan atau salinannya yang sah diberitahukan tentang

maksud dan tempat pekerjaan-pekerjaan itu akan dilakukan ;

b. diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih

dahulu.

Berdasarkan ketentuan tersebut nampak bahwa tidak ada peluang bagi

masyarkat untuk menolak beroperasinya perusahaan pertambangan,

hak masyarakat hanyalah menerima ganti rugi saja. Ketentuan ini jelas-

jelas dapat merugikan kepentingan pemilik hak atas tanah yang

mungkin mempunyai orientasi lain untuk mengusahakan tanahnya

selain pertambangan. Ketentuan ini jelas mengesampingkan nilai-nilai

keadilan.

c. Hak Pemegang hak atas tanah terpinggirkan

Secara substansi ketentuan tentang hak-hak atas tanah dalam UU

Pokok Pertambangan ini rentan menimbulkan konflik dengan

pemegang hak atas tanah, hal ini terjadi karena kepentingan pemegang

hak atas tanah harus terpinggirkan ketika berhadapan dengan pemegang

Page 36: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

122

kuasa pertambangan. Meskipun hak untuk mendapat ganti kerugian

secara tegas dinyatakan dalam Pasal 27, yaitu :31

a. Apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan

dengan wilayah kuasa pertambangan, maka kepada yang berhak

diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara

pemegang kuasa pertambangan yang mempunyai hak atas tanah

tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian

sekali atau selama hak itu tidak dapat diperguanakan.

b. Jika yang bersangkutan tidak dapat mencapai kata mufakat tentang

ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, maka

penentuannya diserahkan kepada Menteri.

c. Jika yang bersangkutan tidak dapat menerima penentuan Menteri

tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini,

maka penentuannya diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang

daerah hukumnya meliputi daerah/wilayah yang bersangkutan.

d. Ganti rugi yang dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) Pasal ini

beserta segala biaya yang berhubungan dengan itu dibebankan

kepada pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan.

e. Apabila telah diberikan kuasa pertambangan pada sebidang tanah

yang di atasnya tidak terdapat hak tanah, maka atas sebidang tanah

tersebut atau bagian-bagiannya tidak dapat diberi hak tanah kecuali

dengan persetujuan Menteri.

d. Kriminalisasi Rakyat

Masyarakat yang berhadapan dengan perusahaan pertambangan harus

menghadapi upaya kriminalisasi.32

Bahkan upaya kriminalisasi tersebut

31

Lihat Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan. 32

Kriminalisasi menurut kamus hukum merupakan proses yang memperlihatkan

perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana tetapi kemudian digolongkan

sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,

1992, hal 232.

Page 37: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

123

dilegalkan menurut ketentuan Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 Pasal

32 yang ditentukan bahwa :33

1. Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun

dan/atau dengan denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah,

barangsiapa yang tidak berhak atas tanah merintangi atau

mengganggu usaha pertambangan yang sah.

2. Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan

dan/atau dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah,

barang siapa yang berhak atas tanah merintangi atau mengganggu

usaha pertambangan yang sah, setelah pemegang kuasa

pertambangan memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 26 dan 27 Undang-undang ini.

3. Hubungan dengan pemilik modal.

Dalam UU No 11 Tahun 1967 tentang pertambangan, hubungan

dengan pemilik modal diikat dengan perjanjian kontrak karya. Pasal 10 UU

No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan

menyatakan bahwa:

(1) Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila

diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum

atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau

Perusahaan Negara ybs selaku pemegang kuasa pertambangan.

(2) Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor seperti

yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Instansi Pemerintah atau

Perusahaan Negara harus berpegang pada pedoman-pedoman,

petunjuk-petunjuk dan syarat-syarat yang diberikan oleh Menteri.

(3) Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini berlaku sesudah

disyahkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR

apabila menyangkut eksploitasi golongan a sepanjang mengenai

bahan-bahan galian yang ditentukan dalam pasal 13 UU ini

dan/atau yang perjanjian karyanya berbentuk PMA.

33

Lihat Pasal 32 UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan.

Page 38: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

124

Perjanjian karya merupakan perjanjian antara instanstansi pemerintah

atau perusahaan Negara sebagai pemegang kuasa pertambangan dengan

kontraktor yang ditunjuk oleh Menteri. Hal ini dilakukan jika diperlukan

untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat

dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang

bersangkutan. Pasal ini menjadi dasar untuk “kontrak karya” baik dengan

pihak modal dalam Negeri mau pun dengan modal Asing (Penjelasan Pasal

10).

4. Akses Mengusahakan.

Hal ini ditunjukkan pada hubungan antara orang dengan tambang

atau bahan galian dalam UU ini disebut dengan “kuasa pertambangan”. Pasal

2 huruf (i) UU ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kuasa

pertambangan adalah wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan

untuk melaksanakan usaha pertambangan.

Analisis di atas menunjukkan bahwa susbstansi dalam UU Nomor 11

Tahun 1967 tidak mencerminkan usaha untuk mewujudkan keadilan sosial,

keadilan dalam UU Nomor 11 Tahun 1967 hanyalah keadilan keadilan

distributif yaitu keadilan yang tidak memberikan hak sama kepada setiap

orang, tapi keadilan yang memberikan hak proporsionalitas/kesebandingan

dalam penerapannya. Keadilan distributif dalam UU Nomor 11 Tahun 1967

berfokus pada distribusi.

Page 39: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

125

Pada masa UU No 11 Tahun 1967, pengertian ”dikuasai negara” telah

bergeser dari ”pemilikan dan penguasaan secara langsung” menjadi

”penguasaan secara tidak langsung”. Hal ini terjadi karena pemerintah

menyadari sepenuhnya bahwa mengelola sumber daya alam secara langsung

memerlukan sumber daya manusia yang terampil (skill), modal yang sangat

besar (high capital), teknologi tinggi (high technology), dan berisiko tinggi

(high risk). Hubungan dengan pemilik modal bersifat kontrak karya. Dalam

hal ini, maka Negara cq Pemerintah dapat menjadi pihak dalam sengketa

dengan pihak swasta (asing) berkaitan dengan sumberdaya alam yang

dikuasainya. Hal ini tidak lain karena Pemerintah dapat melakukan

perjanjian atau kontrak dengan pihak swasta dalam ekonomi sumberdaya

alam. Keadaan ini menurunkan derajat negara sebagai representasi “Yang

Publik.” Degradasi ini terjadi secara sistematis lewat deregulasi yang

dilakukan dengan mengadopsi hubungan perjanjian atau kontrak antara

Pemerintah dengan Swasta dalam “pengalihan” suatu hak atas sumberdaya

alam pertambangan.

Hubungan keperdataan antara Pemerintah dengan Investor ini pada

masa UU No 11 Tahun 1967 dapat menggeser urusan publik ke dalam ruang

bisnis dan berorientasi pada keuntungan ekonomi. Pada hal-hal tertentu

pemerintahan yang demikian dapat dikategorikan sebagai Corporatocracy.

Corporatocracy tidak saja dimaknai bahwa orang-orang di dalam

Page 40: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

126

pemerintahan didominasi oleh orang berlatarbelakang saudagar dengan motif

ekonomi yang diraih dari kekuasaan politik, tetapi juga ditelaah dari konsep

hubungan hukum yang dibangun dengan pihak investor. Implementasi

hubungan hukum pemanfaatan pertambangan dilakukan dengan MoU dan

Kontrak Kerjasama oleh Pemerintah berkedudukan sederajat. Bukan

administrasi perizinan yang satu arah. Ketentuan ini jelas mengesampingkan

nilai-nilai keadilan sosial dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berorientasi

kepada kemakmuran rakyat.

3. UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara

a. Law Making Proses UU Nomor 4 Tahun 2009

Pada era Reformasi Undang-Undang yang merupakan produk Orde

Lama yang tidak sesuai dengan rakyat Indonesia dirubah, salah satunya

adalah Undang-undang mengenai pertambangan dengan merumuskan UU

Minerba. Tujuan dari dirumuskannya UU Minerba oleh pemerintah dan

parlemen (DPR) adalah untuk menggantikan UU No.11 Tahun 1967 tentang

Ketentuan–Ketentuan Pokok Pertambangan yang dianggap sudah tidak

sesuai lagi dengan perkembangan zaman ditingkat nasional maupun global.

Selain itu, perubahan sistem sentralisasi ke desentralisasi menjadi dasar

utama lahirnya UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara (Minerba).

Page 41: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

127

Problem terbesar dari UU No.11 Tahun 1967 adalah sistem perjanjian

atau kontrak tambang. Dalam pertambangan mineral, dikenal istilah Kontrak

Karya (KK). Sementara dalam industri tambang batubara ada istilah

Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kuasa

Pertambangan (KP). Sistem kontrak ini memposisikan negara dan korporasi

tambang secara sejajar. Dalam rezim kontrak, negara dipandang sebagai

mitra bisnis perusahaan tambang yang tidak memiliki sifat superior. Hal

inilah yang membuat negara selalu ‘impotent’ ketika berhadapan dengan

korporasi dalam perumusan pembaruan kontrak, penarikan royalti dan

pajak, juga di saat kasus-kasus lingkungan dan sosial bermunculan. Posisi

negara yang lemah dalam UU No.11 Tahun 1967 inilah yang berusaha untuk

dirubah oleh pemerintah dan DPR melalui UU No.4 Tahun 2009 tentang

Minerba tersebut. Maka, dalam UU Minerba terjadi perubahan rezim dalam

tata kelola industri tambang nasional. Perubahan itu terjadi dari rezim

kontrak/perjanjian kepada rezim perizinan. Berdasarkan hal itulah maka UU

No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)

disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2009.

b. Norma Hukum UU Nomor 4 Tahun 2009

Norma hukum atau isi dari UU Nomor 4 Tahun 2009 ini adalah

judul, konsiderans, batang tubuh dan penjelasan umum. Judul UU Nomor 4

Page 42: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

128

Tahun 2009 adalah Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam konsiderans

tertuang arah UU ini yaitu:34

a. bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah

hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak

terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang

mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang

banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara

untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian

nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan

rakyat secara berkeadilan;

c. bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang

merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi,

minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting

dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada

pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara

berkelanjutan;

d. bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional

maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak

sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-

undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang

dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara

secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan

berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional

secara berkelanjutan;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam

huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Batang tubuh, terdiri dari 26 bab dan 175 pasal. Bab 1, Ketentuan

Umum yang berisi penjelasan istilah-istilah dalam peraturan. Bab 2, Asas

34

Lihat Konsiderens UU UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara.

Page 43: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

129

dan Tujuan yang menjelaskan asas dan tujuan dari UU Nomor 4 Tahun 2009

ini, yaitu:35

Pasal 2

Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan:

a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;

b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa;

b. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;

c. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Pasal 3

Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang

berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah:

a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan

usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan

berdaya saing;

b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;

c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku

dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;

d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional

agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan

internasional;

e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara,

serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar

kesejahteraan rakyat; dan

f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan

usaha pertambangan mineral dan batubara.

Bab 3, Penguasaan mineral dan batubara. Mineral dan batubara

sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional

yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

Penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

35

Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara.

Page 44: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

130

Bab 4, Kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara.

Bab ini membagi dan menjelaskan rincian kewenangan dalam pengelolaan

pertambangan mineral dan batubara. Kewenangan dalam pengelolaan

pertambangan mineral dan batubara dibagi menjadi: kewenangan pemerintah

pusat, kewenangan pemerintah propinsi dan kewenangan pemerintah

propinsi kabupaten/kota.

Bab 5, Wilayah Pertambangan. Wilayah Pertambangan ditetapkan

oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan

berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Penetapan Wilayah Pertambangan dilaksanakan:36

a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;

b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi

pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan

aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan

lingkungan; dan

c. dengan memperhatikan aspirasi daerah.

Wilayah Pertambangan terdiri atas:37

a. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP,

adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data,

potensi, dan/atau informasi geologi.

b. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR,

adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha

pertambangan rakyat.

c. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN,

adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan

strategis nasional.

36

Lihat Pasal 10 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara. 37

Lihat Pasal 13 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara.

Page 45: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

131

Bab 6, Usaha Pertambangan. Usaha pertambangan dikelompokkan

atas: pertambangan mineral dan pertambangan batubara. Penggolongan

mineral dan batubara dalam UU Minerba terdiri dari mineral radioaktif,

mineral logam, mineral bukan logam dan batuan, dan batubara, sedangkan

dalam UU sebelumnya bahan galian digolongkan ke dalam, bahan galian

strategis, vital, non strategis dan non vital. Usaha pertambangan

dilaksanakan dalam bentuk:38

a. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah

izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.

b. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah

izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah

pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

c. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut

dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha

pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

Bab 7, Izin Usaha Pertambangan. Pemegang IUP Eksplorasi dan

pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh

kegiatan. Ijin Usaha Pertambangan (IUP) terdiri atas dua tahap:39

a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,

dan studi kelayakan;

b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,

penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan

dan penjualan.

38

Lihat Pasal 35 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara. 39

Lihat Pasal 36 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara.

Page 46: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

132

Bab 8. Persyaratan Perizinan Usaha Pertambangan. Pemerintah dan

pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban

mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUP serta

memberikan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi kepada masyarakat

secara terbuka. Usaha pertambangan wajib memenuhi persyaratan

administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan

finansial.

Bab 9, Izin Pertambangan Rakyat. Bupati/walikota memberikan IPR

terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok

masyarakat dan/atau koperasi. Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat

diberikan kepada perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare, kelompok

masyarakat paling banyak 5 (lima) hektare, dan/atau koperasi paling banyak

10 (sepuluh) hektare dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan

dapat diperpanjang.

Bab 10, Izin Usaha Pertambangan Khusus. IUPK diberikan oleh

Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah. IUPK terdiri atas dua

tahap:40

a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,

eksplorasi, dan studi kelayakan;

b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,

penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan

dan penjualan.

40

Lihat Pasal 76 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara.

Page 47: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

133

Bab 11, Persyaratan Perizinan Usaha Pertambangan Khusus.

Pemerintah berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha

pertambangan di WIUPK serta memberikan IUPK Eksplorasi dan IUPK

Operasi Produksi kepada masyarakat secara terbuka. Badan usaha yang

melakukan kegiatan dalam WIUPK wajib memenuhi persyaratan

administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan

finansial.

Bab 12, Data Pertambangan. Untuk menunjang penyiapan WP dan

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertambangan, Menteri atau

gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat menugasi lembaga riset

negara dan/atau daerah untuk melakukan penyelidikan dan penelitian tentang

pertambangan. Data yang diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan

merupakan data milik Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan

kewenangannya. Data usaha pertambangan yang dimiliki pemerintah daerah

wajib disampaikan kepada Pemerintah untuk pengelolaan data pertambangan

tingkat nasional.

Bab 13, Hak dan Kewajiban. Pemegang IUP dan IUPK berhak

memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah

diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi,

kecuali mineral ikutan radioaktif. Pemegang IUP dan IUPK memiliki

kewajiban dalam bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan

Page 48: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

134

perundang-udangan; pajak, PNBP, dan bagi hasil dari keuntungan bersih

sejak berproduksi untuk IUPK, dari sisi lingkungan harus memiliki syarat

perizinan dan kesanggupan untuk mengerjakan reklamasi/pasca tambang,

kewajiban pengembangan masyarakat, kewajiban penggunaan teknik

pertambangan, kewajiban utnuk memberikan nilai tambah, kewajiban untuk

membuat data dan pelaporan, dan kewajiban untuk melaksanakan kemitraan

dan bagi hasil.

Bab 14, Penghentian Sementara Kegiatan Izin Usaha Pertambangan

dan Izin Usaha Pertambangan Khusus. Penghentian sementara kegiatan

usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK

apabila terjadi:41

1. keadaan kahar;

2. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian

sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan;

3. apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak

dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya

mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya.

Bab 15, Berakhirnya Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha

Pertambangan Khusus. IUP dan IUPK berakhir karena: dikembalikan;

dicabut; atau habis masa berlakunya. Apabila IUP atau IUPK berakhir,

pemegang IUP atau IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh

41

Lihat Pasal 113 ayat (1) UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara.

Page 49: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

135

dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur, atau

bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Bab 16, Usaha Jasa Pertambangan. Pemegang IUP atau IUPK wajib

menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional.

Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau

afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah usaha

pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri.

Bab 17, Pendapatan Negara dan Daerah. Pemegang IUP atau IUPK

wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. Pendapatan

negara sebagaimana dimaksud terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan

negara bukan pajak. Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud terdiri atas:

pajak daerah; retribusi daerah; dan pendapatan lain yang sah berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bab 18, Penggunaan Tanah untuk Kegiatan Usaha Pertambangan.

UU Minerba memberikan pembatasan tanah yang dapat diusahakan dan

sebelum memasuki tahap operasi produksi pemegang IUP/IUPK wajib

menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak.

Bab 19, Pembinaan, Pengawasan, dan Perlindungan Masyarakat.

Dalam UU Minerba pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang IUP

dan IUPK dilakukan oleh menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan

Page 50: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

136

kewenangannya, sedangkan untuk IPR merupakan tugas Bupati/walikota.

Dalam UU sebelumnya pembinaan dan pengawasan sifatnya terpusat.

Bab 20, Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan

Pelatihan. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendorong,

melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan penelitian dan

pengembangan mineral dan batubara. Pemerintah dan pemerintah daerah

wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan

pendidikan dan pelatihan di bidang pengusahaan mineral dan batubara.

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.

Bab 21, Penyidikan. Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik

Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung

jawabnya di bidang pertambangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bab 22, Sanksi Administratif. Sanksi administratif berupa:42

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi

atau operasi produksi; dan/atau

c. pencabutan IUP, IPR, atau IUPK.

Selain itu, Pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan

menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap

42

Lihat Pasal 151 ayat (2) UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara.

Page 51: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

137

provinsi.dikenai sanksi administratif berupa penarikan sementara

kewenangan atas hak pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara.

Bab 23, Ketentuan Pidana. Dalam UU Minerba ketentuan pidana

diatur sesuai dengan situasi dan kondisi dengan sanksi yang cukup keras.

Apabila pidana dilakukan oleh badan Hukum maka sanksi dan denda

ditambah 1/3. Dalam UU sebelumnya ketentuan pidana diatur tetapi aturan

tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi saat ini,

sedangkan sanksi pidana/kurungan sangat lunak.

Bab 24, Ketentuan Lain-lain. Setiap masalah yang timbul terhadap

pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK yang berkaitan dengan dampak lingkungan

diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk

meningkatkan investasi di bidang pertambangan, Pemerintah dapat

memberikan keringanan dan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain dalam IUP atau

IUPK.

Bab 25, Ketentuan Peralihan. Permohonan kontrak karya dan

perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah diajukan

kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang-

Undang ini dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin

penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diproses perizinannya

tanpa melalui lelang berdasarkan Undang-Undang ini.

Page 52: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

138

Bab 26, Ketentuan Penutup. Peraturan pelaksanaan Undang-Undang

ini harus telah ditetapkan dalam waktu 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang

ini diundangkan.

c. Asas Keadilan Dalam UU Nomor 4 Tahun 2009

1. Orientasi

UU Nomor 4 Tahun 2009 memberikan perhatian terhadap

peningkatan produksi di satu pihak dan konservasi sumberdaya mineral dan

batubara (minerba) pada lingkungannya. Pemberian perhatian yang seimbang

tersebut tidak hanya pada tingkat asas hukum dan tujuan, namun juga

penjabarannya secara lebih kongkret dalam ketentuan-ketentuan

sebagaimana dalam uraian berikut:

a. Orientasi pada peningkatan produksi

Peningkatan produksi merupakan upaya untuk menghasilkan

sebanyak mungkin minerba. Isyarat untuk meningkatkan produksi ini dapat

disimak dari beberapa aspek, yaitu: Pertama, penempatan minerba sebagai

salah satu komponen penggerak pertumbuhan ekonomi. Hal ini dinyatakan

dalam bagian ”Menimbang” yang menjadi landasan filosofisnya. Bagian

Menimbang huruf b menyatakan: ”mineral dan batubara merupakan

sumberdaya untuk berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional dan

pembangunan daerah secara berkelanjutan”.

Page 53: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

139

Kedua, pelaksanaan kegiatan usaha penambangan minerba harus

dijalankan berdasarkan pada prinsip berdayaguna, berhasilguna, dan

berdaya saing. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 yang di antaranya

menentukan bahwa pengelolaan usaha penambangan minerba ditujukan

pada efektivitas kegiatan usaha yang berdayaguna, berhasilguna dan

berdaya saing. Berdayaguna atau efisiensi mendorong agar kegiatan

penambangan minerba dilakukan dengan cara pengorbanan biaya dalam

jumlah tertentu namun memberikan hasil yang maksimal. Berhasilguna

atau efektif ditujukan agar kegiatan penambangan dapat berkontribusi bagi

pencapaian pertumbuhan ekonomi seperti yang direncanakan oleh

pemerintah. Berdaya saing dimaksudkan agar di samping produk yang

dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga yang

relatif memberikan manfaat juga para pelaksana dari kegiatan

penambangan harus berorientasi pada prestasi yaitu peningkatan produksi.

Ketiga, jumlah produk yang dihasilkan harus optimal, yaitu setinggi

mungkin untuk berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Pasal 18

menentukan kriteria suatu sumberdaya mineral sebagai Wilayah Usaha

Pertambangan (WUP) di antaranya optimalisasi hasil sumberdaya minerba

yang dapat dihasilkan.

Keempat, untuk mendukung pencapaian peningkatan produksi

tersebut di antaranya disyaratkan pada setiap pelaku usaha penambangan

Page 54: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

140

minerba untuk menggunakan teknologi pertambangan yang baik dan modal

yang besar. Hal ini ditentukan dalam Pasal 28 dan Pasal 96 yang di

antaranya mewajibkan pelaku usaha penambangan mengeterapkan teknik

pertambangan yang baik yang tentunya diharapkan dapat meningkatkan

produksi yang dihasilkan.

b. Orientasi pada konservasi

Konservasi bermakna adanya keberlanjutan eksistensi sumberdaya

minerbanya sendiri dan pemanfaatannya. Keberlanjutan sumberdaya

minerba bermakna bahwa ketersediaannya tetap terjamin dengan cara tidak

mengeksploitasinya secara berlebih-lebihan. Upaya untuk menjaga

keberlanjutannya dilakukan di antaranya adalah: Pertama, adanya asas

keseimbangan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam

pengelolaan sumberdaya minerba. Asas-asas ini tercantum dalam Pasal 2

yang dimaksudkan sebagai arahan dalam menentukan ketentuan lebih

lanjut baik dalam UU Minerba sendiri maupun peraturan pelaksanaannya.

Asas keseimbangan bermakna pengelolaan minerba di samping harus

menempatkan produksi sebagai orientasinya juga harus memberikan

perhatian terhadap konservasi sumberdaya minerba dan lingkungannya.

Kedua, Salah satu tujuan pengelolaan minerba adalah menjamin manfaat

pertambangan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3.

Page 55: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

141

Ketiga, di antara kriteria yang dijadikan acuan untuk menentukan

suatu WUP adalah kemungkinan diterapkannya kaedah konservasi dan

masih terjaminnya daya dukung lingkungan sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 18 dan Pasal 28. Keempat, terdapatnya kewajiban-kewajiban pelaku

usaha yang berkaitan dengan konservasi, yaitu:

(1) kewajiban melakukan reklamasi dan pemantauan lingkungan

pascapenambangan, termasuk harus membuat rencana pelaksanaan

reklamasi serta menyediakan dana reklamasi dan dana jaminan

pascapenambangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 96;

(2) pengelolaan sisa tambang sesuai dengan standar baku mutu lingkungan

sebelum sisa-sisa tersebut dilepas ke alam terbuka;

(3) pelaku usaha wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung

sumberdaya air yang terdapat di WUP;

(4) wajib menghentikan sementara kegiatan pertambangan jika kondisi

daya dukung lingkungan wilayah usahanya.

2. Keberpihakan

Mengenai keberpihakan kepada rakyat, UU Nomor 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak memberikan definisi yang

jelas tentang pertambangan rakyat, hanya diatur mengenai Izin

Pertambangan Rakyat (IPR) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).

Namun di beberapa pasal terdapat aturan mengenai luas wilayah maksimal

Page 56: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

142

25 ha, prakondisi bahwa harus ada pengusahaan selama 15 tahun sebelumnya

di wilayah yang sama. Dari rumusan tersebut dapat dapat dilihat bagaimana

ketidakjelasan pengaturan mengenai pertambangan rakyat. Aturannya begitu

'cair' dan tidak ada format yang tegas. Oleh karenanya dapat dipahami jika

selama ini banyak penambang yang menjadi Penambang Tanpa Izin (PETI)

atau penambang ilegal. Ekses selanjutnya yang tidak dapat dihindari adalah

bahaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang mengancam diri

penambang dan kerusakan lingkungan hidup.

Dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 juga disebutkan mengenai

pembinaan dari pemerintah daerah kepada pelaku usaha pertambangan

rakyat. Pembinaan dapat berupa bantuan permodalan dan hal-hal teknis

pertambangan, termasuk di antaranya mengenai K3 dan pengelolaan

lingkungan hidup. Semua itu pada dasarnya adalah kewajiban pemerintah

daerah. Akan tetapi pihak (penambang) mana yang disasar oleh aturan

tersebut? Jika disebut pertambangan rakyat, pertambangan yang bagaimana

itu? Terlebih di undang-undang terbaru tidak disebutkan apa dan siapa

pertambangan rakyat. Hanya diberikan aturan berupa prakondisi bahwa di

wilayah pertambangan rakyat harus sudah ada pengusahaan selama minimal

15 tahun. Tetap saja, tidak ada kepastian mengenai subjek hukumnya. Bisa

jadi malah ada pihak (pelaku) usaha atau korporasi yang "pura-pura" menjadi

pelaku pertambangan rakyat. Selain itu, adanya Pasal 162 dalam UU Nomor

Page 57: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

143

4 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa siapa saja yang menghalang-halangi

operasi pertambangan maka dapat dikenakan hukuman pidana atau denda.

Jika interpretasi hukuman ini dilakukan oleh penegak hukum maka rakyat

diperlakukan sama di mata hukum. Artinya, secara tidak langsung UU

Nomor 4 Tahun 2009 ini mengkerdilkan hak veto rakyat—dan lebih

condong pro-korporasi.

3. Hubungan dengan pemilik modal.

Pasal 35 UU Nomor 4 Tahun 2009 mengatur hubungan dengan

pemilik modal, usaha pertambangan dilaksanakan dalam bentuk:43

a. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah

izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.

b. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah

izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah

pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

c. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut

dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha

pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

Dari Pasal 35 tersebut jelas bahwa Badan Hukum dan perorangan

yang diberi akses mengusahakan sumberdaya minerba harus dilandaskan

pada ijin tertentu. Hubungan hukum antara pemilik modal dengan minerba

tersebut menurut UU Nomor 4 Tahun 2009 sudah tidak dimungkinkan lagi

didasarkan pada Kontrak Karya sebagaimana yang telah ada selama ini.

Namun demikian, Kontrak Karya yang sudah ada dan berlaku pada saat

43

Lihat Pasal 35 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara.

Page 58: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

144

diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 2009 tetap berlaku sampai berakhirnya

Kontrak Karya. Terhadap IUP dan IUPK terdapat ketentuan yaitu: (a) Ijin

tersebut tidak boleh dialihkan; (b) pengalihan kepemilikan saham dapat

dilakukan setelah dilakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu dan harus

memberitahukan kepada Menteri/Gubernur/Bupati serta pengalihan saham

tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

4. Akses Mengusahakan

UU Minerba memberikan kesempatan kepada semua kelompok untuk

menikmati hasil dari kegiatan usaha pertambangan minerba, yaitu: Pertama,

pemerintah dan Pemda. Bagi pemerintah seperti yang terdapat dalam Pasal

128 berhak mendapatkan pendapatan berupa: pajak, bea masuk, pendapatan

negara bukan pajak seperti iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan

kompensasi data informasi serta 4% dari keuntungan yang diperoleh

perusahaan. Bagi Pemda berhak mendapat pendapatan berupa pajak daerah,

retribusi, 6% dari keuntungan dengan pembagian 1% untuk provinsi, 2,5%

bagi kabupaten/kota yang menjadi lokasi pertambangan dan 2,5% bagi

kabupaten-kabupaten lain di provinsi tersebut.

Kedua, pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan dari kegiatan

pertambangan minerba yang dilakukan. Bagi badan usaha nasional diberi

kesempatan untuk mendapatkan pengalihan saham dari badan usaha asing.

Pengalihan tersebut dilakukan menurut ketentuan Pasal 112 setelah badan

Page 59: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

145

usaha asing tersebut sudah menjalankan usaha pertambangannya selama 5

(lima) tahun.

Ketiga, warga masyarakat khususnya yang berada di lokasi

pertambangan mempunyai akses untuk:

(1) melakukan usaha pertambangan di WPR yang ada di lokasi

tempat tinggalnya;

(2) menurut Pasal 106 warga mempunyai akses menjadi pekerja di

pertambangan yang diusahakan oleh badan usaha;

(3) Pasal 107 memberikan jaminan bagi pengusaha lokal untuk

diikutsertakan sebagai mitra dari pelaku usaha pertambangan

besar;

(4) mendapatkan program pemberdayaan yang menurut Pasal 95 dan

Pasal 108 harus didasarkan pada program yang nyata serta

dikonsultasikan pada pemerintah atau Pemda dan warga

masyarakat yang bersangkutan;

(5) menjadi Penyedia Jasa terutama dalam pelaksanaan penyelidikan

umum atau pengumpulan fakta yang harus dilakukan oleh badan

usaha pelaksana usaha pertambangan.

Kewenangan negara untuk mengelola sumberdaya mineral, di

samping dijalankan oleh Pemerintah pusat, juga dilakukan oleh Pemda baik

provinsi maupun kabupaten/kota. Bahkan dalam kondisi tertentu DPR dan

Page 60: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

146

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga dilibatkan dalam

pelaksanaan kewenangan Negara. Hal Ini menunjukkan bahwa semangat

desentralisme kewenangan sudah mendasari pembentukan UU Minerba.

Kewenangan pemerintah dan Pemda sudah terbagi secara jelas sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 7 dan Pasal 8.

Di samping kewenangan yang diberikan secara otonom, antara

pemerintah dan Pemda harus saling berkonsultasi atau berkoordinasi dalam

hal:

(a) Pasal 29 berkaitan dengan penetapan WUPK yang akan

diusahakan;

(b) penetapan luas dan batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan

Khusus;

(c) pemberian Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) oleh Menteri

namun dengan memperhatikan kepentingan daerah.

Kewenangan yang diberikan kepada DPR-RI sebagaimana dalam

Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 14 serta Pasal 27, yaitu: pemerintah harus

berkonsultasi dengan DPR-RI dalam penyediaan sumberdaya minerba

tertentu yang diperlukan untuk kepentingan dalam negeri, koordinasi dalam

penetapan Wilayah Pertambangan, menerima laporan WUP yang sudah

ditetapkan, memberi persetujuan berkenaan dengan penetapan WPN untuk

komoditas dan konservasi terutama batasan waktunya. DPRD diberi

Page 61: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

147

kewenangan memberikan pandangan berkenaan dengan penetapan WPR

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21

Dari penjabaran orientasi di atas secara kontekstual keadilan yang

hendak dicapai adalah keadilan komutatif. Keadilan ini bertujuan

memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Pemberian

perhatian yang seimbang terhadap peningkatan produksi di satu pihak dan

konservasi sumberdaya mineral dan batubara (minerba) pada lingkungannya

mencegah tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidakadilan

dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat

di sekitar pertambangan. Keadilan lainnya yang dapat ditemukan dalam UU

Minerba ini adalah keadilan distributif. Dalam hal keadilan distributif, UU

Minerba memberikan kesempatan kepada semua kelompok untuk menikmati

hasil dari kegiatan usaha pertambangan minerba.

Meski dalam UU Minerba telah merubah kontrak (pada UU UU

Nomor 11 Tahun 1967) menjadi izin, tetap harus diperhatikan bahwa

penguasaan negara mempunyai relasi dengan hak-hak individu masyarakat

serta hak masyarakat adat atas sumberdaya alam. Selama ini dalam

praktiknya formalisasi hak oleh negara malah menjauhkan masyarakat untuk

memanfaatkan dan menikmati sumberdaya alam. Bahkan mengusir

masyarakat dari wilayah yang mereka tempati karena izin sudah diberikan

kepada pihak swasta.

Page 62: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

148

Untuk itu, konsep penguasaan negara atas sumberdaya alam

pertambangan dalam UU Minerba harus dilihat sebagai bagian dari sistem

keadilan atas sumberdaya alam yang didalamnya mengatur juga mengenai

hak rakyat. Berbicara tentang “hak” dalam konstruksi politik, maka ia

bersifat relasional yang mengaitkan seluruh pengemban hak dalam suatu

sistem hak. Sistem hak tersebut dikatakan sebagai suatu sistem bila

mengarah kepada satu tujuan. Tujuan penguasaan negara atas sumberdaya

alam yang digariskan oleh Pasal 33 UUD 1945 adalah untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak hanya

bermakna rakyat sebagai objek yang akan menerima, sebab kemakmuran

tidak saja soal hasil. Sebesar-besar kemakmuran rakyat juga soal proses,

sehingga rakyat adalah subjek yang seharusnya terlibat secara partisipatif.

C. Asas Keadilan Dalam Peraturan Pelaksana Pertambangan

1. UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua

a. Law Making Proses UU No. 21 Tahun 2001

Sejarah lahirnya UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus

Papua disebabkan oleh desakan rakyat Papua dengan tuntutan Papua

Page 63: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

149

Merdeka mulai 1998 – 2000. Aspirasi ini muncul dikarenakan 3 penyebab

utama yakni:44

1. Persolan sejarah integrasi politik Papua;

2. Telah terjadinya berbagai kekerasan Negara dan pelanggran HAM

terhadap rakyat Papua;

3. Kegagalan pembangunan dalam bidang Pendidikan, Kesehatan,

Ekonomi dan Infrasktruktur.

Masyarakat Papua menyampaikan tuntutan Merdeka tersebut melalui

aksi damai kemudian memuncak pada tahun 1999 dengan tatap muka 100

orang wakil Papua dengan Presiden B.J. Habibie di Istana Negara untuk

menyampaikan Papua ingin keluar dari Negara kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Selanjutnya masyarakat Papua mengungkapkannya melalui Kongres

Papua II pada tahun 2000. Sebagai jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat

Papua tersebut Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Megawati

Soekarno Putri mengeluarkan UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Papua sebagai kebijakan Nasional.45

Kebijakan otonomi khusus

merupakan jawaban pemerintah untuk meredusir berbagi persoalan yang

muncul sejak bergabungnya Provinsi Papua dalan NKRI beserta dinamika

44

Vincentsius Lokobal, Kegagalan Pelaksanaan UU No.21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Papua 10 Tahun di Tanah Papua, http://www.pmkri.or.id/wp-

content/uploads/2011/06/KEGAGALAN-PELAKSANAAN-UU-No-21-TAHUN-

20011.pdf, diakses pada tanggal 30 April 2012. 45

Ibid.

Page 64: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

150

social dan politik termasuk tuntutan untuk melepaskan diri dari NKRI yang

sering diketahui sebagai gerakan Papua Merdeka.

Semangat dasar penawaran Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah

pusat kepada rakyat Papua adalah meningkatkan kesejahteraan orang Asli

Papua (dalam segala segi pembangunan ) agar meminimalisir aspirasi politik

orang Papua untuk keluar dari NKRI dan aspirasi pelanggaran (berat) HAM

Papua selama 40 – an Tahun ini. Berdasarkan semangat itu, Otonomi Khusus

identik dengan penyerahan semua kekuasaan pemerintahan, kecuali 5 bidang

pemerintahan menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat ( Pasal 4 ayat (1)

UU No.21 Tahun 2001).

b. Norma Hukum UU No. 21 Tahun 2001

Norma hukum atau isi dari UU No. 21 Tahun 2001 ini adalah judul,

konsiderans, batang tubuh dan penjelasan umum. Judul UU No. 21 Tahun

2001 adalah Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dalam konsiderans yang

berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam tertuang

arah UU ini yaitu

1. Masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat

manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-

nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup

dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati

hasil pembangunan secara wajar

Page 65: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

151

2. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua

belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup

masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya

kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan

pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;

3. dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan

Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi

Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua,

diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Batang tubuh, terdiri dari 24 bab dan 79 pasal. Bab 1, Ketentuan

Umum yang berisi penjelasan istilah-istilah dalam peraturan. Bab 2,

mengenai Lambang-Lambang, dinyatakan bahwa Provinsi Papua dapat

memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi

kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu

daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.

Bab 3, Pembagian daerah. Provinsi Papua terdiri atas Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing sebagai Daerah Otonom.

Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik. Distrik terdiri atas

sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain. Di dalam Provinsi

Page 66: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

152

Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan atas usul Provinsi.

Bab 4, Kewenangan daerah. Kewenangan Provinsi Papua mencakup

kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan

bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama,

dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional yang

dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi

Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Provinsi Papua dapat mengadakan

kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar

negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Bab 5, Bentuk dan Susunan Pemerintahan. Pemerintahan Daerah

Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah

Provinsi sebagai badan eksekutif. Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi

Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan

representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu

dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan

pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan,

dan pemantapan kerukunan hidup beragama. MRP dan DPRP berkedudukan

Page 67: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

153

di ibu kota Provinsi. Pemerintah Provinsi terdiri atas Gubernur beserta

perangkat pemerintah Provinsi lainnya. Di Kabupaten/Kota dibentuk DPRD

Kabupaten dan DPRD Kota sebagai badan legislatif serta Pemerintah

Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif. Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri

atas Bupati/Walikota beserta perangkat pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.

Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah

Kampung atau dapat disebut dengan nama lain.

Bab 6, Perangkat dan Kepegawaian. Perangkat Provinsi Papua terdiri

atas Sekretariat Provinsi, Dinas Provinsi, dan lembaga teknis lainnya, yang

dibentuk sesuai dengan kebutuhan Provinsi. Pemerintah Provinsi

menetapkan kebijakan kepegawaian Provinsi dengan berpedoman pada

norma, standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri

Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bab 7, Partai Politik. Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk

partai politik. Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam

pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rekrutmen

politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan

memprioritaskan masyarakat asli Papua. Partai politik wajib meminta

pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya

masing-masing.

Page 68: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

154

Bab 8, Peraturan Daerah Khusus, Peraturan Daerah Provinsi dan

Keputusan Gubernur. Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-

sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. Perdasi dibuat

dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur. Pelaksanaan Perdasus

dan Perdasi ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

Bab 9, Keuangan. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Provinsi, DPRP

dan MRP dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Provinsi Papua dibiayai atas beban

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dana Perimbangan bagian

Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus dengan

perincian sebagai berikut:46

a. Bagi hasil pajak:

1) Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh

persen);

2) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80%

(delapan puluh persen); dan

3) Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh

persen).

b. Bagi hasil sumber daya alam:

1) Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);

2) Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen);

3) Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen);

4) Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen);

dan

5) Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen).

c. Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan;

46

Lihat Pasal 34 ayat (3) UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua.

Page 69: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

155

1) Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada

Provinsi Papua;

2) Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus

yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana

Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk

pembiayaan pendidikan dan kesehatan; dan

3) Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus

yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR

berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang

terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan

infrastruktur.

4) Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) berlaku

selama 25 (dua puluh lima) tahun;

5) Mulai tahun ke-26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka

Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi

50% (lima puluh persen) untuk pertambangan minyak bumi dan

sebesar 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan gas alam;

6) Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) huruf e berlaku selama 20 (dua puluh)

tahun.

7) Pembagian lebih lanjut penerimaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5), dan huruf e antara

Provinsi Papua, Kabupaten, Kota atau nama lain diatur secara

adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan

perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal.

Bab 10, Perekonomian. Perekonomian Provinsi Papua yang

merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan

diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan

kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-

prinsip keadilan dan pemerataan. Usaha-usaha perekonomian di Provinsi

Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap

menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian

Page 70: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

156

hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan

pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan

Perdasus.

Bab 11, Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Pemerintah

Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan

dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada

ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Hak-hak masyarakat adat tersebut

meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga

masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pelaksanaan hak ulayat,

sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat

masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat

setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang

diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga

masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui

musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan

untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan

maupun imbalannya. Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan

mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak

perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan

yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.

Page 71: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

157

Bab 12, Hak Asasi Manusia. Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan

penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan

menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Untuk melaksanakan

hal sebagaimana dimaksud, Pemerintah membentuk perwakilan Komisi

Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Bab 13, Kepolisian Daerah Provinsi Papua. Tugas Kepolisian di

Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua sebagai

bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala

Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. Kepala

Kepolisian Daerah Provinsi Papua bertanggung jawab kepada Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia atas pembinaan kepolisian di Provinsi

Papua dalam pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bab 14, Kekuasaan Peradilan. Kekuasaan kehakiman di Provinsi

Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum

adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Peradilan adat adalah

peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang

mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat

Page 72: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

158

dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang

bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman

pidana penjara atau kurungan. Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan

Provinsi Papua sebagai bagian dari Kejaksaan Republik Indonesia.

Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh

Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

Bab 15, Keagamaan. Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak

dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.

Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban:47

1) menjamin kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi

semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan

agama dan kepercayaan yang dianutnya; menghormati nilai-nilai

agama yang dianut oleh umat beragama;

2) mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan

3) memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara

proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat

mengikat.

Bab 16, Pendidikan dan Kebudayaan. Pemerintah Provinsi

bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua

jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Pemerintah Provinsi

wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua.

Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan

47

Lihat Pasal 54 UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi

Papua.

Page 73: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

159

melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan

memantapkan jati diri orang Papua.

Bab17, Kesehatan. Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan

standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk.

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban

merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan

peningkatan gizi penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga

keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi

persyaratan.

Bab 18, Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Pemerintah Provinsi

berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian

terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua. Untuk mempercepat

terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk

asli Papua dalam semua sektor pembangunan Pemerintah Provinsi

memberlakukan kebijakan kependudukan. Orang asli Papua berhak

memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan

dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan

pendidikan dan keahliannya.

Bab 19, Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup.

Pembangunan di Provinsi Papua dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-

prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan

Page 74: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

160

keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Pemerintah

Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup

secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber

daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan,

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan

keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-

hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan

penduduk.

Bab 20, Sosial. Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya

berkewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada

penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial. Pemerintah

Provinsi memberikan perhatian dan penanganan khusus bagi pengembangan

suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan di Provinsi Papua.

Bab 21, Pengawasan. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggungjawab, dilakukan

pengawasan hukum, pengawasan politik, dan pengawasan sosial. Dalam

rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah berkewajiban

memfasilitasi melalui pemberian pedoman, pelatihan, dan supervisi.

Pemerintah berwenang melakukan pengawasan represif terhadap Perdasus,

Perdasi, dan Keputusan Gubernur. Pemerintah berwenang melakukan

Page 75: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

161

pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bab 22, Kerjasama dan Penyelesaian Perselisihan. Provinsi Papua

dapat mengadakan perjanjian kerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, dan

budaya dengan Provinsi lain di Indonesia sesuai dengan kebutuhan.

Perselisihan diantara para pihak yang mengadakan perjanjian diselesaikan

sesuai dengan pilihan hukum yang diperjanjikan. Perselisihan antara

Kabupaten/Kota di dalam Provinsi Papua, diselesaikan secara musyawarah

yang difasilitasi Pemerintah Provinsi. Perselisihan antara Kabupaten/Kota

dengan Provinsi, diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi

Pemerintah.

Bab 23, Ketentuan Peralihan. Gubernur, Wakil Gubernur, DPRD

Provinsi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD Kabupaten, Walikota, Wakil

Walikota, dan DPRD Kota di Wilayah Provinsi Papua yang telah diangkat

sebelum Undang-undang ini disahkan, tetap menjalankan tugas sampai

berakhir masa jabatannya. Dalam rangka melaksanakan kewenangan

sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, Pemerintah Provinsi Papua

berhak menerima dan mengelola sumber daya meliputi pembiayaan,

personil, peralatan, termasuk dokumennya (P3D) sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Page 76: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

162

Bab 24, Ketentuan Penutup. Pemekaran Provinsi Papua menjadi

provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah

memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan

sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa

datang. Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat

Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

c. Asas Keadilan Dalam UU No. 21 Tahun 2001

1. Orientasi

Orientasi UU No. 21 Tahun 2001 Otonomi Khusus bagi Provinsi

Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi

Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di

dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.48

Kewenangan yang

lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur

pemanfaatan kekayaan alam di wilayah provinsi Papua, sebesar-besarnya

bagi kemakmuran rakyat Papua, memberdayakan potensi perekonomi, sosial,

dan budaya yang dimiliki, termasuk di dalamnya memberikan peranan yang

signifikan bagi orang asli Papua melalui wakil-wakilnya (wakil adat, wakil

agama, dan wakil perempuan) untuk terlibat dalam proses perumusan

48

H. Mohammad Abud Musa’ad, Model Reformasi Birokrasi Dalam Perspektif UU

No 21 Tahun 2001. Disampaikan dalam Simposium Nasional Papua “Menuju Pembangunan

Berbasis Masyarakat yang Berkelanjutan” tanggal 7-9 April 2010, di Universitas Indonesia

Jakarta.

Page 77: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

163

kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap

menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat di Provinsi

Papua. Kebijakan Otsus Papua juga telah memberi peluang bagi orang asli

Papua untuk mengaktualisasikan diri melalui simbol-simbol budaya

(cultural) sebagai wujud kemegahan jatidiri, pengakuan terhadap eksistensi

hak ulayat, adat, masyarakat adat, hukum adat, dan sebagainya. Selain itu

UU No 21 Tahun 2001 juga mengandung semangat penyelesaian masalah

dan rekonsiliasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di

masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan nasional

Indonesia di Provinsi Papua.

Berbagai paparan tersebut menunjukan bahwa sebagai akibat dari

penetapan UU No 21 Tahun 2001, maka ada perlakuan berbeda yang

diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Dengan kata lain dapat

dikatakan bahwa terdapat hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Provinsi

Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia, seiring dengan itu

terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diberlakukan di

Provinsi Papua. UU No 21 Tahun 2001 memiliki sejumlah keistimewaan

yang membedakannya dengan produk perundang-undangan lainnya. Dengan

berbagai keistimewaan tersebut, diharapkan UU No 21 Tahun 2001 dapat

berperan sebagai suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka

peningkatan pelayanan (service), dan akselerasi pembangunan

Page 78: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

164

(development), serta pemberdayaan (empowerment) seluruh rakyat di

provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan

dapat mengurangi kesenjangan antar Provinsi Papua dengan provinsi-

provinsi lain dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.49

2. Keberpihakan

Keberpihakan dalam UU ini adalah Masyarakat Papua. Dalam

konsiderans yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasil

kekayaan alam tertuang keberpihakan UU ini, yaitu:

a. Masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat

manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-

nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup

dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati

hasil pembangunan secara wajar

b. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua

belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup

masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya

kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan

pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;

c. Dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan

Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi

49 Lihat Konsideran UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua.

Page 79: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

165

Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua,

diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

3. Hubungan dengan pemilik modal.

Hubungan dengan pemilik modal kiranya dapat dilihat dalam Bab 22

UU No 21 Tahun 2001 mengenai Kerjasama dan Penyelesaian Perselisihan.

Di dalamnya dinyatakan bahwa Provinsi Papua dapat mengadakan perjanjian

kerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya dengan Provinsi lain

di Indonesia sesuai dengan kebutuhan. Perselisihan di antara para pihak yang

mengadakan perjanjian diselesaikan sesuai dengan pilihan hukum yang

diperjanjikan. Jadi hubungan dengan pemilik modal dalam UU No 21 Tahun

2001 ini adalah perjanjian kontrak.

4. Akses Mengusahakan

Dalam Bab 10 UU No 21 Tahun 2001 dinyatakan bahwa

perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian

nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-

besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan

menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. Usaha-usaha

perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam

dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan

jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian

Page 80: BAB III KEADILAN DI DALAM PERATURAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2885/4/T2... · tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan ... kebijaksanaan

166

lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya

ditetapkan dengan Perdasus. Pembangunan perekonomian berbasis

kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-

luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat yang

dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat

berperan dalam perekonomian seluas-luasnya. Jadi, dalam UU No 21 Tahun

2001 ini akses mengusahakan adalah semua kelompok kegiatan, yaitu

negara, daerah, pengusaha dan rakyat setempat.

Dari analisis di atas menunjukkan bahwa susbstansi dalam UU No 21

Tahun 2001 secara kontekstual keadilan yang hendak dicapai adalah keadilan

komutatif. Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan

kesejahteraan umum masyarakat Papua. Pemberian perhatian terhadap

kesenjangan masyarakat Papua dengan mencegah tindakan yang bercorak

ujung ekstrim menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan

menghancurkan pertalian dalam masyarakat Papua. Keadilan lainnya yang

dapat ditemukan dalam UU No 21 Tahun 2001 ini adalah keadilan

distributif. Dalam hal keadilan distributif, UU No 21 Tahun 2001 ini

memberikan kesempatan kepada semua kelompok untuk menikmati hasil

dari kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam.