Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
BAB III
KEHIDUPAN MASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT”
Pada bab ini akan dipaparkan temuan data yang peneliti dapatkan pada
saat proses wawancara mendalam yang dilakukan oleh beberapa informan. Dalam
bab ini meliputi pemaparan yang meliputi profil informan, kondisi lingkungan
“Kampung Idiot”, stigma negatif kampung idiot, adaptasi masyarakat lokal atas
stigma “kampung idiot”, keuntungan dan kerugian atas stigma “kampung idiot”.
Penelitian ini informan diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi
antara lain: Masyarakat Desa Sidoharjo, orang yang mengalami keterbelakangan
mental(Retardasi Mental), pihak keluarga penderita serta tokoh masyarakat Desa
Sidoharjo. Informan dipilih selain memiliki kesesuaian dengan kriteria yang telah
peneliti tentukan sebelumnya, juga memberikan informasi yang dibutuhkan oleh
peneliti sehingga menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menjadi fokus
permasalahan dalam penelitian ini.
Selanjutnya, data-data pada bab ini akan diolah dan dianalisis sehingga
dapat menjawab permasalahan penelitian yakni bentuk-bentuk stigmatisasi dan
perilaku diskriminatif serta reaksi dari masyarakat atas stigma dan perilaku
diskriminatif tersebut.
III.1. Profil Informan
III.1.1. Informan Pertama, MAD
Informan pertama, berinisial MAD adalah seorang tokoh masyarakat
berusia 30 tahun yaitu sebagai sekretaris atau carik di Desa Sidoharjo tersebut.
MAD berasal dan lahir di Dukuh Gupak Warak, Desa Krebet RT.03/RW.05.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
MAD mendapatkan pendidikan SD di SD MI Krebet, SMP Negeri 1 Jambon,
SMK Negeri 1 Jenangan Ponorogo dan sekarang beliau belum menyelesaikan
pendidikannya di Universitas Merdeka Ponorogo.
Pada akhirnya beliau tinggal di Desa Sidoharjo setelah menikah dengan
seorang wanita dari desa tersebut dengan dikaruniai seorang putri yang masih
berusia 3 tahun, kemudian menjabat sebagai sekretaris desa atau carik pertama
yaitu pada tahun 2006 sampai sekarang. Selain menjabat sebagai sekretaris desa
kesibukan lainnya adalah sebagai petani dengan mengurus beberapa lahan yang
ada di desa tersebut. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang pekerja keras dan
ramah kepada masyarakatnya.
III.1.2. Informan Kedua, INU
Informan kedua, berinisial INU adalah seorang tokoh masyarakat berusia
55 tahun di Desa Sidoharjo. INU adalah mantan kepala Desa pertama di Desa
Sidoharjo. INU termasuk warga asli di Desa Sidoharjo tepatnya di Dukuh Klitik
RT.01/RW.01, INU menempuh pendidikan pertama di SD Negeri 1 Krebet
kemudian melanjutkan SMP di SMP Negeri 1 Badegan, itu menjadi pendidikan
terakhir beliau yang telah beliau lalui. Samapai sekarang beliau dikaruniai satu
orang putri yang sekarang telah menikah dan satu orang putra yang sekarang juga
telah menikah yang menjabat sebagai seorang polisi di Kabupaten Ponorogo.
III.1.3. Informan Ketiga, DEV
Informan ketiga, berinisial DEV adalah bisa diatakan seorang tokoh
masyarakat di Desa Sidoharjo karena beliau juga bekerja sebagai Kaur Kesra di
Desa tersebut, beliau berusia 34 tahun yang memiliki dua orang pura, putra yang
pertama berusia 12 tahun yang sekarang duduk di kelas 6 SD, sedangkan putra
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
kedua masih 18 bulan. DEV termasuk sosok orang yang beragama islam yang
sangat religius. DEV bukan warga asli yang lahir di desa ini, beliau berasal dari
Kota Blitar yang menikah dengan orang Desa Sidoharjo yang akhirnya menetap di
desa ini tepatnya di Dukuh Karangsengon.
DEV saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Universitas
Muhammadiyah Ponorono, selain kuliah dan bekerja sebagai kaur kesra di balai
desa beliau juga sibuk mengajar di yayasan pendidikannya, karena beliau
mempunyai sebuah yayasan pendidikanMadrasah Iftidaiyah di Desa Sidoharjo ini,
yang ia bangun dan kelola sendiri dengan jumlah pengajar 7 orang. Walaupun
masih ada 2 kelas, yaitu kelas 1 dan kelas 2 yayasan pendidikan yang ia bangun
ini cukup mendapat respon yang baik dari masyarakat sekitar, karena putra-putri
mereka selain belajar ilmu umum juga mendapatkan pendidikan agama yang baik.
III.1.4. Informan keempat, ARI
Informan keempat, berinisial ARI adalah salah satu informan yang tidak
mempunyai keluarga yang keterbelakangan mental namun, tempat tinggalnya
dekat dengan rumah salah satu keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang
keterbelakangan mental.ARI adalah ibu rumah tanggal yang saat ini berusia 26
tahun yang mempunyai satu orang putra berusia 6 tahun yang sekarang duduk di
kelas 1 SD. Pekerjaan sehari-hari selain sebagai ibu rumah tangga adalah menjaga
warung kecilnya, dan juga sesekali membantu suaminya di sawah. ARI
sebenarnya bukan warga asli Desa Sidoharjo ini, beliau berasal dari Desa
Jenangan Ponorogo. Namun, setelah menikah dengan orang dari Desa Sidoharjo
ini akhirnya beliau tinggal menetap di Desa Sidoharjo ini.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Meskipun ARI hanya lulusan SD di salah satu SD di Desa Krebet, Beliau
seorang yang sangat memperhatikan agama dan pendidikan anaknya, beliau
menginginkan anaknya selain mendapat pendidikan umum juga mendapat
pendidikan agama, lewat sekolah dan TPA(Taman Pendidikan Al-Quran. ARI
sesosok orang yang ramah dan sangat terbuka. Disaat peneliti melakukan
wawancara denga ARI, beliau sangat komunikatif dan sangat lancar menjawab
semua peretanyaan-pertanyaan dari peneliti.
III.1.5. Informan Kelima, TIN
Informan kelima, berinisial TIN adalah salah satu informan yang
mempunyai dua anggota keluarga perempuan yang keterbelakangan mental.TIN
adalah seorang ibu rumah tangga yang saat ini masih berusia 23 tahun yang
mempunyai satu orang putri berusia 3 tahun. Dengan kondisi keluarganya yang
tergolong keluarga yang kurang mampu TIN begitu sabar mengurus keluarganya
tersebut tanpa kehadiran sosok suaminya, karena suaminya sudah tiga bulan ini
bekerja sebagi seorang buruh bangunan di Jakarta. Selain mengurus dua anggota
keluarganya yang keterbelakangan mental dan satu orang putrinya TIN juga harus
memperhatikan ibunya yang sangat ini juga sudah tua. Namun, begitu ibunya
sesekali juga membantu TIN mengurus dua anggota keluarganya yang
keterbelakangan mental tersebut. TIN hidup sederhana yang hanya
menggantungkan hidupnya dari upah yang diterima sualinya yang bekerja sebagai
buruh bangunan tersebut, sesekali suami menelpon yang hanya sekedar
mengetahu keadaaan dan melepas rasa rindu dengan keluarganya dirumah.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
III.1.6. Informan keenam, IIM
Informan keenam, berinisial IIM adalah warga asli Desa Sidoharjo
RT.01/RW.10 Dukuh Karangsengon. IIM tidak mempunyai keluarga yang
keterbelakangan mental namun rumah IIM sesekali didatangi salah seorang yang
keterbelakangan yang hanya sekedar makan atau minta uang. IIM adalah ibu
rumah tangga yang saat ini berusia sekitar 50 tahun yang mempunyai dua orang
putra yang masih-masing bekerja di luar negeri, putra yang pertama bekerja di
Taiwan, putra yang kedua bekerja di Malaysia dan satu orang putri yang masih
sekolah di salah satu SMP di Kecamatan Jambon. Kesibukan IIM selain sebagai
ibu rumah tangga, beliau juga membantu suaminya di sawah.
III.1.7.Informan Ketujuh, WAR
Informan ketujuh, berinisial WAR ini adalah salah seorang tokoh
masyarakat, WAR adalah seorang ulama masyarakat yaitu sebagai seorang Modin
yang ada di Desa Sidoharjo. Beliau saat ini berusia 46 tahun. WAR bukan warga
asli yang lahir di Desa Sidoharjo namun, beliau adalah warga yang berasal dari
Desa Badegan. Namun, setelah menikah dengan salah seorang di Desa Sidoharjo
akhirnya beliau mengikuti istrinya untuk tinggal di Desa Sidoharjo, yang saat ini
tinggal di Dukuh Klitik, RT.08/RW.02. WAR mempunyai tiga orang putra, putra
pertama Aliyah kelas 3 dan putra kedua Aliyah kelas 2 yang sama-sama
menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darul Hudha Mayak Ponorogo,
sedangkan putra ketiga SD kelas 5.
III.1.8.Informan Kedelapan, SOI
Informan kedelapan, berinisial SOI adalah seorang laki-laki yang berusia
sekitar 50 tahun, dengan kondisi keluarga dan tempat tinggalnya yang sangat
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
memperhatinkan, SOI seorang diri mengurus dua anggota keluarganya yang
keterbelakangan mental, yaitu seorang anak perempuannya yang berusia 13 tahun
dan seorang keponakan perempuannya yang berusia sekitar 30 tahun.
Keponakannya tersebut adalah yatim piatu dia adalah anak dari kakak perempuan
SOI.SOI memberikan penjelasan bahwa anaknya tersebut lahir dalam keadaan
normal seperti bayi pada umumnya namun, pada usia tujuh bulan anaknya terkena
panas yang sangat tinggi atau dalam istilasnya „step‟, yang ketika itu tidak
langsung mendapat penanganan secara langsung.
III.1.9. Informan Kesembilan, DAR
Informan kesembilan, berinisial DAR adalah seorang laki-laki yang
berusia 29 tahun dan penduduk asli Desa Sidoharjo yang juga menikah dengan
orang Desa Sidoharjo, WAR sangat ini masih dikaruniai satu orang putri yang
berusia 3 tahun. DAR adalah seorang tokoh masyarakat, yang saat ini menjabat
sebagai kamituwo Desa Sidoharjo tersebut.Pekerjaan sampingan DAR adalah
seorang fotografer yang sering diundang untuk acara pernikahan maupun foto
keluaraga.Karena DAR belum memiliki studio foto sendiri dia masih bergabung
dengan temannya untuk menjalankan usahanya tersebut.
III.1.10.Informan Kesepuluh, TUN
Informan kesepuluh, berinisial TUN adalah seorang ibu rumah tangga
yang berusia 54 tahun yang memiliki empat orang anak yang semuanya telah
berumah tangga sendiri-sendiri.TUN adalah salah satu informan dalam kategori
keluaraga menengah kebawah yang sering menerima bantuan sosial dari para
donator maupun dari pemerintah.TUN juga memiliki dua anggaota keluarga yang
berketerbelakangan mental.Dua anggota keluarga laki-laki yang
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
berketerbelakangan mental tersebut semuanya adalah saudara laki-laki dari suami
informan yang tinggal dirumahnya.Karena sejak lahir sudah berketerbelakangan
mental dan orangtuanya telah meninggal dunia, maka mereka ikut dan tinggal
dengan keluarga TUN tersebut.
III.1.11.Informan Kesebelas, MAN
Informan kesebelas, berinisial MAN adalah laki-laki berusia 26 tahun
yang bekerja sebagai sopir truk. MAN bukan warga Desa Sidoharjo asli, MAN
tinggal di Desa Sidoharjo sekitar 6 bulan yang lalu setelah menikah dengan warga
Desa Sidoharjo, sehingga MAN tinggal di desa tersebut. Sekarang ini MAN
dikaruniai satu orang putri berusia 2 tahun. Keluarga MAN termasuk salah satu
keluarga dalam kategori menengah kebawah, yang sering menerima bantuan dari
pemerintah.
III.1.12.Informan Keduabelas, LAN
Informan keduabelas, berinisial LAN adalah seorang ketua RT. 4 Dukuh
Klitik Desa Sidoharjo yang saat ini berusia 48 tahun.Informan LAN juga warga
asli Desa Sidoharjo tersebut.Pekerjaan sehari-harinya adalah seorang petani dan
mencari rumput untuk beberapa ekor kambing miliknya.Informan LAN saat ini
mempunyai tiga orang anak, yang kedua anaknya sudah berkeluarga sedangakan
anaknya yang terakhir masih bekerja di Surabaya.Sehingga saat ini LAN hanya
tinggal dengan istrinya, yang sesekali istrinya juga membantu LAN di sawah.
III.1.13.Informan Ketigabelas, INA
Informan ketigabelas, berinisial INA adalah seorang ibu rumah tangga
yang berusia 48 tahun, yang saat ini tinggal di Jl. Halmahera Ponorogo.Informan
INA memiliki tiga orang anak.Anak pertama laki-laki yang saat ini berusia 20
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
tahun yang sedang kuliah di Universitas Muhammadyah Ponorogo, anak kedua
berusia 17 tahun yang saat ini masih duduk di bangku SMA, sedangkan anak yang
terakhir masih kelas 5 Sekolah Dasar.Informan INA mengaku sering mendengar
kabar mengenai “Kampung Idiot” yang berada di Kecamatan Jambon tersebut,
namun beliau belum pernah melihat daerahnya secara langsung.
III.1.14.Informan Keempatbelas, WAN
Informan keempatbelas, berinisial WAN adalah seorang laki-laki berusia
35 tahun, yang saat ini memiliki tiga orang putra dan putri yang masih kecil, anak
pertama masih SD, anak kedua TK sedangkan yang terakhir masil play group.
WAN saat ini bekerja sebagai seorang satpam atau petugas keamanan di Kantor
Pemerintahan Kota Ponorogo. WAN tinggal di JL.A. Yani Kota Ponorogo.WAN
mengaku pernah ke Kecamatan Jambon, namun dia belum pernah mengunjungi
langsung Desa yang disebut “Kampung Idiot” tersebut. “Kampung Idiot” menurut
WAN sudah sangat terkenal dimana-mana, yang menurut WAN sebagai bentuk
kejadian yang turun-temuran dari nenek moyang mereka.
III.1.15. Informan Kelimabelas, ENA
Informan Kelimabelas, berinisial ENA adalah seorang perempuan yang
berusia 25 tahun dan saat ini ENA belum menikah atau berkeluaraga. ENA
bekerja sebagai seorang pelatih kursus mengemudi di daerah Ponorogo.ENA
tinggal di daerah Jenangan Ponorogo. ENA mengaku belum pernah pergi ke Desa
Sidoharjo, walaupun belum pernah melihat secara langsung keadaan atau kondisi
“Kampung Idiot” itu seperti apa namun ENA sering mendengar istilah daerah
“Kampung Idiot”, yang menurut ENA banyak masyarakatnya yang „idiot‟.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
III.1.16.Informan Keenambelas, YAH
Informan keenambelas, berinisial YAH adalah salah satu pedagang jeruk
di Pasar Songgolangit Ponorogo.Informan perempuan ini berusia 50 tahun.YAH
mengaku pernah membeli jeruk dari seorang petani yang ada di Kecamatan
Balong Ponorogo, yang juga salah satu kecamatan yang sebagian penduduknya
ada yang penyandang keterbelakangan mental. Walaupun YAH belum pernah
melihat salah satu penyandang yang ada disana namun, YAH mengetahui pada
waktu itu daerah tersebut dekat dengan hutan dan pegunungan yang banyak batu
kapurnya, yang sangat jauh dengan pusat kota Ponorogo, sehingga menurut YAH
daerahnya sangat gersang dan panas.
III.2. Kondisi Lingkungan Sosial “Kampung Idiot”
Kondisi lingkungan sosial merupakan representatif dari lingkungan sekitar
kampung idiot, kondisi tersebut meliputi kondisi sosial yang ada di dareah
kampung idiot baik dari segi perlakukan yang positif maupun yang negatif bagi
para penderita keterbelakangan mental, selain kondisi sosial juga meliputi kondisi
ekonomi dan juga kondisi politik.
Studi ini menemukan, dimana masyarakat Desa Sidoharjo yang
mengalami keterbelakangan mental menerima beberapa bentuk diskriminasi
misalnya:Tidak mendapatkan kesamaan hak yang sama dalam PEMILU,
menerima penolakan dari lingkungan sosialnya serta tidak mendapatkan kesamaan
yang sama dalam memperoleh pekerjaan.
III.2.1. Kondisi Sosial
Kondisi sosial adalah suatu kondisi tertentu dimana berlangsungnya
hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain yang tentunya akan
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
terjadi saling mempengaruhi.Kondisi sosial dalam masyarakat “Kampng Idiot”
pastinya akan terjadi saling berhubungannya antara penyandang keterbelakangan
mental dengan masyarakat yang ada disekitarnya, termasuk dalam hal ini juga
adalah tokoh masyarakatnya.
Berdasarkan dari pernyataan dari Informan TIN yang mempunyai keluarga
keterbelakangan dua orang ini, mengatakan bahwa belum pernah keluarganya
yang penyandang tersebut menerima tawaran atau bantuan obat dari tetangganya
disaat keluarganya yang penyandang keterbelakangan mental tersebut sakit,
bahkan keluarganya yang penyandang tersebut disaat sakit langsung meminta obat
ke pukesmas.
“Mboten, mboten mbak. Nek sakit nggeh kadang teng Pukesmas
piyambak”.
(TIN, 2015)
Artinya:
“Tidak, tidak mbak. Kalau sakit ya kadang ke Pukesmas sendiri”.
(TIN, 2015)
Menurut keterangan TIN tersebut dapat diketahui bahwa, kepedulian
masyarakat terhadap keluarga penyandang tersebut tidak seintens dengan keluarga
yang lain. Dimana dapat dilihat bahwa sikap yang diberikan oleh salah satu
tetangga dari keluarga penyandang menunjukkan sikap yang berbeda dengan
keluarga mereka yang tidak memiliki keluarga penyandang.
Berbeda dengan informan IIM, informan ini mengaku tidak pernah
mengundang orang yang mempunyai keterbelakangan mental dalam acara-
acaranya seperti acara rutin yasinan maupun acara selamatan dirumahnya.
“Mboten. Mboten mbak, kula mboten nate ngundang nek mriki
wonten slametan nopo yasinan “.
(IIM,2015)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Artinya:
“Tidak, tidak mbak, kalau saya tidak pernah mengundang kalau sini
ada selamatan atau yasinan(tahlilan)”.
(IIM, 2015)
Menurut keterangan IIM tersebut dapat diketahui bahwa ada perbedaan
sikap antara orang-orang yang normal dengan mereka-mereka yang mengalami
keterbelakangan mental. Hal ini dapat dilihat dari sikap informan kepada keluarga
penyandang yang memberikan perilaku diskriminatif kepada keluarga penyandang
keterbelakangan mental tersebut.
Bukan hanya itu saja, informan IIM juga pernah melihat keluarga dan
kerabat mereka sendiri memberikan perlakuan yang kurang menyenangkan
kepada salah satu penyandang yang datang kerumahnya.
..”nggeh kadang niku mriki niku tiyangnge katah wonten lare
kadang niku nyuwun nopo ngoten kadang-kadang nek mboten
disukani niku nesu kadang niku lare-lare niku, ndang gek diweh i
gek ngaleh. ngoten mbak ngoten niku mbak paling”.
(IIM, 2015)
Artinya:
“…”ya kadang itu sini itu orangnya banyak ada anak kadang itu
minta apa gitu kadang-kadang kalau tidak diberi itu marah kadang
itu anak-anak itu, cepet dikasih terus pergi, gitu mbak gitu itu
mungkin”.
(IIM, 2015)
Menurut keterangan IIM tersebut dapat diketahui bahwa, adanya
penolakan dari masyarakat tertentu terhadap penyandang keterbelakangan mental
tersebut. Penolakan tersebut berupa tidak adanya penerimaan sosial atas kehadiran
penyandang keterbelakangan mental tersebut.
Berbeda lagi dari salah informan INU yang merupakan mantan Kepala
Desa Sidoharjo. INU mengatakan bahwa, belum ada kegiatan desa seperti lomba
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
agustusan yang melibatkan penyandang keterbelakangan mental. INU juga
memastikan bahwa tidak akan melibatkan warga penyandang dalam masalah
lomba-lomba seperti agustusan tersebut.
“Nek kegiatan-kegiatan lomba-lomba nopo ngoten niku ngantos sak
meniko mriki nik sak meniko dereng enten. Yo sing jelas nek
masalah agustusan niku mboten mbak, mboten diikutkan”.
(INU, 2015)
Artinya:
“Kalau kegiatan-kegiatan lomba-lomba apa gitu sini sejauh ini sini
sejauh ini belum ada. Ya yang jelas kalau masalah acara lomba
agustus itu tidak mbak, tidak diikutkan”.
(INU, 2015)
Menurut pernyataan informan INU tersebut secara rasional memang
mereka-mereka yang keterbelakangan mental akan sulit mengikuti kegiatan-
kegiatan tersebut, namun secara moral mereka juga mempunyai hak untuk
memperoleh kesempatan yang sama dalam hidup bermasyarakat seperti orang-
orang normal lainnya.
Informan DEV adalah seorang tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama
yang ada di Desa Sidoharjo ini, DEV juga aktif mengajar mengaji disalah satu
masjid yang DEV dan keluarga DEV dirikan. Menurut pernyataan DEV mengenai
soal pendidikan inklusi atau sekolah inklusi khususnya di Desa Sidohajo sendiri
belum ada. Menurut DEV hal tersebut dikarenakan tidak adanya pengajar yang
khusus mampu menangani anak-anak yang berkebutuhan khusus.
“Kalau yang inklusi kita tidak bisa menjawab sepenuhnya, artinya
begini, memang inklusi ini membutuhkan penanganan dan layanan
khusus ya, jadi harus ada guru khusus yang ahli dibidangnya..”
(DEV, 2015)
Melihat Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomer 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat. Bahwa Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan termasuk
didalamnya adalah kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Dari pernyataan
informan DEV tersebut dapat dilihat bahwa pemerintah daerah khususnya
perangkat desa dalam hal ini kurang memberikan perhatian kepada warga
masyarakatnya yang berkebutuhan khusus, padahal mereka mempunyai hak untuk
memperoleh pendidikan sesuai dengan kondisi mereka tersebut.
III.2.2. Kondisi Ekonomi
Kondisi ekonomi merupakan suatu kondisi yang menunjukkan pada
kemampuan pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat. Kemampuan
pemenuhan kebutuhan keluarga penyandang keterbelakangan mental merupakan
salah satu yang menjadi perhatian utama, mengingat mayoritas keluarga yang
mempunyai anggota yang keterbelakangan mental tingkat perekonomiannya
sangat rendah, bahkan dapat dikatakan mereka tergolong miskin.
Berdasarkan dari pernyataan dari Informan DEV, bahwa mayoritas
keluarga penyandang adalah keluarga yang tingkat perekonomiannya sangat
rendah, mereka tergolong lebih dari miskin bahkan termasuk duafa fakir.
Masyarakat fakir adalah masyarakat yang tidak mempunyai kecukupan harta
untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makan, pakaian dan tempat tinggal
yang merupakan kebutuhan primer manusia.
“Kalau dari aspek ekonominya sebagian besar mereka itu dari
golongan duafa mbak, miskin ya. Lebih dari miskin ya, duafa fakir,
mereka menghidupi keluarganya mencari penghasilan untuk
kebutuhan keluarganya itu juga asal-asalan. Satu hari saja kadang
gak cukup. Bekerja satu hari untuk makan sehari itu...”
(DEV, 2015)
Menurut argumen DEV melihat perbedaan pemenuhan kebutuhan dari
orang yang berada di “Kapung Idiot” terbagi dari miskin dan duafa fakir. Orang
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
yang termasuk miskin adalah mereka yang memerlukan sesuatu, yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan pokoknya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, sedangkan
duafa fakir kondisinya lebih buruk daripada orang miskin karena duafa fakir
adalah orang yang penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok
sehari-hari.
Informan WAR mempunyai pernyataan yang hampir sama dengan
informan DEV. Bedanya informan DEV menganggap bahwa mereka termasuk
keluarga fakir duafa, sedangkan informan WAR menganggap mereka termasuk
orang atau keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Mereka masih dapat
mencari pekerjaan walaupun itu hanya dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari.
“Yowes rata-rata para penderita itu aspek ekonominya kurang ya
orang-orang yang min memang mbak. Yowes rata-rata ya seperti
itu. Masalahnya ya kan penderita itu memang kan dulunya memang
kekurangan zat atau gizi atau kurang zat yodium itu tadi”.
(WAR, 2015)
Artinya:
“Ya sudah rata-rata para penderita itu aspek ekonominya kurang
ya orang-orang yang kurang (minus) memang mbak. Ya suda rata-
rata ya seperti itu. Masalahnya ya kan penderita itu memang kan
dulunya memang kekurangan zat atau gizi atau kekurangan zat
yodium itu tadi”.
(WAR, 2015)
Menurut argumen WAR tersebut menunjukkan bahwa, mereka yang
termasuk ekonomi kurang. Dalam hal ini mereka masih dapat memenuhi
kebutuhannya sehari-hari namun, masih kurang dari standar rata-rata yang sesuai
dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
Berbeda dari pernyataan informan MAD, bahwa keluarga yang
mempunyai keterbelakangan mental tersebut ada yang keluarganya berkecukupan
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
karena ada salah satu anggota keluarganya yaitu ibunya yang bekerja di luar
negeri sebagai TKI, sehingga menurut informan MAD mereka tidak termasuk
keluarga yang miskin namun masih dalam kategori berekonomi sedang.
...”ada sing ibuk e TKI, dadi nek dianggap miskin mboten lah nek
TKI niku miskin yo sedang ngono ae...”
(MAD, 2015)
Artinya:
...”ada yang ibuknya TKI, sehingga kalau dianggap miskin tidaklah
kalau TKI itu miskin ya sedang gitu saja...”
(MAD, 2015)
Menurut pendapat informan MAD tersebut, dapat diketahui bahwa
sebagian dari mereka ada yang orang tuanya bekerja di luar negeri sebagai TKI.
Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga mereka masih tergolong keluarga
menengah kebawah. Dari pendapat informan MAD tersebut jika salah satu
anggota keluarga yang bekerja di luar negeri, itu berarti masih ada anggota
keluarganya yang bekerja mencari nafkah untuk keluarganya dengan penghasilan
yang cukup untuk memenuhi kebutuahan sehari-hari keluarganya.
Disamping potret kehidupan keluarga penyandang keterbelakangan mental
tersebut yang jauh dari berkecukupan namun, ada beberapa penyandang
keterbelakangan yang dapat bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Seperti
pernyataan salah satu informan MAD yang menyatakan bahwa, hasil kerja
mencangkul salah satu penyandang keterbelakangan mental lebih bagus daripada
orang normal lainnya.
...”ada tiga bagong sing semuanya pekerja teng mriki. Bagong sing
mriki niku biasane sadean godong jati, Bagong sing Klitik kaleh
Bagong sing Sidowayah niku nek dikongkon macul jan macule sae
mbak niku karo wong biasa ngono menurut kulo apik niku...”
(MAD, 2015)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Artinya:
...”ada tiga bagong yang semuanya pekerja disini. Bagong yang
disini ini biasanya jualan daun jati, Bagong yang Klitik dengan
Bagong yang Sidowayah itu kalau disuruh mencangkul sungguh
mencangkulnya bagus mbak itu dengan orang normal gitu menurut
saya bugus itu...”
(MAD, 2015)
Kenyataan bahwa para penyandang yang keterbelakangannya masih dalam
kategori ringan masih dapat bekerja dan mencari nafkah untuk hidupnya, padahal
secara ekonomi keluarga para penyandang sangat kekurangan dan tidak sedikit
mereka adalah dalam kategori miskin. Namun, banyak para tetangganya yang
meragukan hasil kerja para penyandang tersebut, hal tersebut dikarenakan
keadaan fisik maupun mentalnya yang berbeda dari kebanyakan masyarakat
lainnya. Dari argumen informan tersebut menunjukkan suatu bentuk perlakuaan
diskriminatif dalam aspek ekonomi, dalam hal untuk memperoleh pekerjaan
antara orang normal dengan orang yang berkebutuhan khusus, terlepas dari
penyandang tersebut dapat bekerja dengan baik maupun tidak.
Informan WAR misalnya dia tidak pernah menggunakan tenaga
penyandang tersebut untuk membantu pekerjaannya dirumah. Karena dengan
kondisi penyandang tersebut yang membuat WAR sendiri ragu untuk memberikan
pekerjaan untuknya.
“Belum pernah saya mbak, belum pernah. Karna saya sendiri
melihat kondisinya saya sudah nggak..., istilahnya kasian gitu”.
(WAR, 2015)
Menurut TIN salah satu informan yang mempunyai dua orang anggota
keluarga yang keterbelakangan mental dalam kategori sedang dan ringan mengaku
anggota keluarganya tersebut juga jarang ditawari pekerjaan oleh tetangganya,
padahal dahulu sering disuruh untuk cari air di sungai.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
“Nek riyen nggeh pernah di kongkon mendhet toyo riyen, nek sak
niki mboten, wonten sanyo punan”.
(TIN, 2015)
Artinya:
“Kalau dulu ya pernah disuruh ambil air dulu, kalau sekarang tidak,
ada sudah ada sanyo”.
(TIN, 2015)
Melihat kondisi mereka yang mempunyai keluarga keterbelakangan
mental mayoritas kondisinya sangat kekurangan, mereka bekerja sehari untuk
biaya hidup sehari, mereka sangat membutuhkan bantuan dari tetangganya.
Melihat dari argumen TIN tersebut dapat dikatakan bahwa penyandang
keterbelakangan mental menjadi terdiskriminasi dalam aspek ekonominya, dengan
kondisi yang serba kekurangan lapangan pekerjaan yang juga semakin sempit
membuat mereka semakin termajinilisasi dari aspek ekonominya.
III.2.3. Kondisi Politik
Kondisi lingkungan sosial “Kampunt Idiot” tidak hanya dapat di
representasikan melalui kondisi sosial dan ekonomi masyarakat “Kampung
Idiot”namun juga harus dilihat dari kondisi politik masyarakatnya. Dengan
melihat kondisi politik masyarakatnya kita dapat melihat sejauh mana pemerintah
daerah maupun pemerintah Desa Sidoharjo melaksanakan fungsi politik dalam
warga masyarakatnya antara warga masyarakatnya yang berkebutuhan khusus
atau penyandang keterbelakangan mental dengan warga masyarakatnya yang
normal atau yang tidak berkebutuhan khusus tersebut.
Informan MAD sebagai sorang tokoh masyarakat yaitu sebagai sekretaris
Desa Sidoharjo mengaku bahwa MAD tidak pernah memberikan pendampingan
secara langsung kepada para penyandang keterbelakangan mental yang ingin
melakukan pemilihan suara di TPS (Tempat Pemilihan Suara). Namun, menurut
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
informan MAD tersebut ada sebagian warganya yang penyandang
keterbelakangan mental yang ikut memilih dan didampingi oleh keluarganya
sendiri. Menurut informan MAD perangkat desa tidak memberikan perlakuan
khusus atau pendampingan kepada warganya yang penyandang keterbelakangan
mental tersebut.
...”kalau untuk pendampingan dari KPU, pernah enten..pernah
enten menggunakan suarana nggeh wonten sing didampingi
keluarganya. Kalau saya mgajak ndampingi mboten nate. Kalau
perlakuan khusus untuk mereka ya, nek ngurusi sing berkebutuhan
saja yo ra rampung”.
(MAD, 2015)
Artinya:
...”kalau untuk pendampingan dari KPU, pernah ada...pernah ada
yang menggunakan suaranya ya ada yang didampingi keluarganya.
Kalau saya mengajak mendampingi tidak pernah. Kalau perlakuan
khusus untuk mereka ya, kalau mengurusi yang berkebutuhan saja
ya tidak selesai”.
(MAD, 2015)
Berdasarkan pernyataan informan MAD “nek ngurusi sing berkebutuhan
saja yo ra rampung”(kalau mengurusi yang berkebutuhan saja ya tidak selesai),
hal tersebut menunjukkan ketidaksiapan sekaligus berupa bentuk perilaku
diskriminasi yang diberikan oleh perangkat desa untuk memberikan
pendampingan terhadap warganya yang akan melakukan hak politiknya. Padahal
mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan mental dan sebagai warga
Indonesia, sesuai Undang-Undang negara para penyandang cacat tetap
mempunyai hak untuk menyalurkan suaranya.
Berdasarkan dari pernyataan dari Informan INU bahwa, didalam aspek
politik misalnya PEMILU mereka tetap masuk dalam DPT, walaupun
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
kenyataannya mereka tidak dapat menyalurkan hak suaranya karena
keterbatasannya tersebut. Kalau untuk pendampingan dalam PILKADA kepada
masyarakatnya yang keterbelakangan mental maupun cacat fisik lainnya sampai
saat ini tidak ada.
..”yo tetep ndue hak, tetep ndue hak, tetep ditulis walaupun mengke
nek teko hari H niku saged rawuh nopo mboten. Nek pendampingan
yo sosok mbak sosok karek event ne, nek event ne pomo pemilihan
caleg pamane kan yo jauh lah istilah e, kui biasane ora..”
(INU, 2015)
Artinya:
..”ya tetap punya mbak, tetap punya hak, tetap ditulis walaupun
nantinya kalau pas hari H itu bisa datang atau tidak. Kalau
pendampingan ya terkadang mbak terkadang tinggal acaranya,
kalau acaranya seumpama pemilihan caleg misalnya kan ya jauh
lah istilahnya, itu biasanya tidak..”
(INU, 2015)
Namun, menurut informan INU jika pilkades karena ruang lingkupnya
kecil diadakan pendampingan oleh salah satu calon tertentu, karena dirasa masih
dalam lingkungan salah satu calonnya, sehingga warganya tersebut kesempatan
untuk dijadikan tambahan suara dalam pilkades.
...”lha nek pilkades niki termasuk tetep pamamne kulo jagone nggeh
bersaing kalih A nopo B niku ngroso lingkunganku yo tak warahi
kalih tim kulo terus mbenjeng nggeh didampingi kaleh, biasane
ngoten”.
(INU, 2015)
Artinya:
...”lha kalau pilkades itu termasuk tetap semisal saya calonnya ya
bersaing dengan A atau B itu merasa lingkunganku ya tak bimbing
dengan TIM saya terus besok ya didampingi juga, biasanya seperti
itu”.
(INU, 2015)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Berdasarkan argumen dari informan INU tersebut, dapat diketahui bahwa
terdapat diskriminasi dari penyaluran hak suara dalam pemilu. Bentuk
diskriminasi tersebut dapat kita lihat dalam penyaluran hak suara dari
masyarakatnya yang penyandang keterbelakangan mental. Tidak ada
pendampingan dalam proses penyaluran hak suara mereka dalam pemilihan
kepala daerah atau calon legislatif. Namun, hal tersebut berbeda jika pemilihan
kepala desa, demi untuk menjomplang jumlah suara ada pendekatan khusus dari
beberapa calan kandidat kepla desa. Pendekatan tersebut dapat dilihat adanya
pendampingan khusus dari salah satu calon kandidat tertentu.
III.3. Stigma Negatif “Kampung Idiot”
Konsep “stigma” dalam pemikiran Erving Goffman(dalam Damaiyanti,
2009) yaitu suatu atribut yang mendiskreditkan seseorang secara mendalam, yang
bisa terlihat pada bahasa (baik itu verbal ataupun non-verbal) dalam hubungan
sehari-hari. Menurut Goffman, stigma diskredit adalah stigma yang dapat dimiliki
seseorang, dimana aktor menganggap perbedaan yang nampak pada seseorang
atau individu tersebut terlihat jelas bagi seseorang atau individu lain yang
melihatnya, misalnya cacat fisik yang nampak pada diri seseorang atau individu.
Orang yang mendapat stigma atau menerima stigma adalah mereka yang
tentunya berbeda dan tidak sesuai dengan yang ditetapkan masyarakat. Termasuk
bagi mereka yang menerima stigma diskredit dari masyarakat, misalnya orang-
orang yang cacat yang dapat terlihat secara jelas. Termasuk didalamnya adalah
orang-orang yang keterbelakangan mental, yang biasanya fisiknya ditandai
dengan kepala yang lebih besar, rahang gigi yang begitu menonjol atau
perilakunya yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat lainnya. Ciri-ciri fisik
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
tersebut yang dianggap memiliki kriteria khusus sehingga hal tersebut dianggap
sebagai salah satu yang menjadi syarat siapa-siapa yang pantas dan tidak pantas
diterima oleh masyarakat, walaupun tidak secara tertulis syarakat-syarat tersebut
secara langsung akan disetujui oleh masyarakat.
Studi ini menemukan dimana masyarakat Desa Sidoharjo yang mengalami
keterbelakangan mental menerima beberapa bentuk stigma dari masyarakatnya.
Bentuk-bentuk stigma yang diterima tersebut tidak hanya dalam bentuk verbal
misalnya seperti panggilan goblok, mendho, peko‟, idiot‟, budeg sampai pada
panggilan-panggilan yang bukan nama aslinya misalnya nama aslinya Nardi
dipanggil Bagong namun juga dalam bentuk stigma non verbal misalnya
mendapatkan penolakan dari kelompok masyarakat tertentu dan mendapatkan
pandangan yang kurang menyenangkan dari orang lain serta sampai disuruh
menyingkir saat datang diacara hajatan.Lebih jelasnya bentuk-bentuk stigma yang
diterima oleh masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental di Desa
Sidoharjo tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Tabel 3.1
Bentuk-Bentuk Stigma yang Diterima
NO. INFORMAN STIGMA VERBAL STIGMA NON-
VERBAL
1. MAD - Mendho
- Robet(Orang Krebet)
Disuruh menyingkir saat
datang ke acara hajatan
dari salah satu warga.
2. INU - Wong pinggiran
- Ndeso
Pandangan bahwa
dianggap masyarakat
satu desa bodoh semua.
3. DEV
- Goblok
- Pekok
- Mendho
Sering ditanya-tanya
tempat tinggalnya dan
pendapatkan pandangan
yang kurang
menyenangkandari
orang lain.
4. ARI -Goblok
-Idiot
Disuruh menyingkir saat
orang yang
keterbelakangan
tersebut akan bergabung
bersama kelompok ibu-
ibu yang sedang
mengobrol.
5. TIN - peko‟
- bude‟ -
6. IIM - Goblok
- Gak iso omong(bisu)
Diusir oleh tetangganya
saat salah satu
penyandang datang
kerumahnya.
7. WAR - Panggilan
“Bagong” -
Sumber: Data Primer
Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa hampir semua informan yang
ada didekat para penyandang keterbelakangan mental pernah mendengar dan
melihat bahwa para penyandang keterbelakangan mental yang ada di desanya
menerima stigma bahkan dari tetangganya sendiri. Informan TIN salah satu
anggota keluarganya pernah disebut orang peko‟ (bodoh)dan bude‟ (bodoh).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
“Nggeh, kasiann ngoten mbak dilok e. Kados budhe ne niki(sambil
mengelus rambut putrinya).Kadang-kadang nggeh, dijuluki peko‟,
bude‟ ngoten...”
(TIN, 2015)
Artinya:
“Ya, kasian gitu mbak lihatnya. Seperti tantenya ini (sambil
mengelus rambut putrinya). Kadang-kadang ya, dipanggil bodoh,
tuli seperti itu...”
(TIN, 2015)
Menurut pendapat TIN tersebut anggota keluarganya yang
keterbelakangan mental mendapat dua sebutan dari orang lain yaitu sebutan peko‟
dan bude‟. Kedua sebutan tersebut disematkan sebagai bentuk representatif dari
keadaan penyandang keterbelakangan mental tersebut, yang memang penyandang
mengalami tingkat penurunan ingat otak dan penurunan pendengarannya.
Berbeda dengan informan IIM yang pernah melihat dan mendengar sendiri
Painah salah satu penyandang keterbelakangan mental yang sering datang ke
rumahnya untuk meminta tepung gaplek (tepung ketela) menerima stigma dari
tetangga dan saudara-saudaranya berupa sebutan atau panggilan „goblok‟.
…”pamane mriki wonten tiyang mriki ngoten, ngeten mbak wong
goblok bolak-balik njaluk ae diweh i ora ngaleh ngoten. Kan Painah
niku lo mbak Sidowayah, niku mbendinten mriki mawon nyuwun,
pun disukani nopo nek dereng disukani glepung gaplek lebut niku
tasek nyuwun mawon”.
(IIM, 2015)
Artinya:
...”semisal disini ada orang yang datang gitu, gini mbak orang
bodoh itu sering sekali minta tapi sudah dikasih tidak mau pergi.
Kan Painah (salah satu nama penyandang) Sidowayah dikasih itu
setiap hari kesini terus minta, sudah dikasi apapun kalau belum
dikasih tepung singkong lembut itu masih saja minta terus”.
(IIM, 2015)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Menurut pengalaman IIM tersebut, tetanganya yang bernama Painah
mendapat sebutan goblok dalam bahasa Indonesia yaitu bodoh yang artinya
seseorang yang tidak banyak mempunyai pengetahuan dan sulit untuk memahami
dan mengerjakan sesuatu. Painah dianggap orang yang bodoh dan tidak
memahami apa yang dia lakukan, karena setiap hari hanya meminta tepung ketela
yang dimiliki IIM, serta tidak mau pergi sebelum mendapatkannya.
Penerimaan stigma tidak hanya dialami oleh mereka yang mempunyai
keterbelakangan mental saja. Namun, stigma juga dialami mereka yang bukan
penyandang keterbelakangan mental. Informan MAD yang dulunya pernah
sekolah di salah satu SMK Negeri di Kota Ponorogo, juga pernah menerima
perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman-temannya berupa sebutan
mendhodi sekolahnya.
...”ngerti omahku krebet ngono, layak mendho(sambil ketawa)
ngonten niku. Jane nggeh mboten mendho. Terus pomo aku rodok
ngantuk ngono ke, nek nggojloki emm besok sarapan yang agak
bergizi ya..(sambil ketawa)”.
(MAD, 2015)
Artinya:
...”tahu rumahku Krebet gitu, makanya bodoh (sambil ketawa)
seperti itu. Tapi ya tidak bodoh. Terus kalau saya sedikit mengantuk
gitu, kalau menertawain emm besok sarapan yang lebih bergizi
ya..(sambil tertawa)”.
(MAD, 2015)
Sebenarnya jika melihat kondisi MAD yang sebenarnya, MAD bukan
orang yang bodoh seperti stigma yang diberikan oleh teman-temannya tersebut.
MAD adalah salah satu anak yang berprestasi di sekolahnya, MAD tidak pernah
tidak ranking satu di kelasnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa stigma yang
diberikan seseorang tidak selamanya mempresentasikan keadaan yang
sesungguhnya. Namun hanya label yang melekat di desanya sebagai desa yang
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
masyarakatnya banyak yang mengalami keterbelakangan mental atau orang
memahaminya sebagai „tempat para orang bodoh‟ tinggal sehingga orang
normalpun mendapat stigma yang sama.
Selain itu juga dikarenakan MAD berasal dari Desa Krebet, informan
MADmengaku pernah mendapatkan perkataan-perkataan yang kurang
menyenangkan, seperti sebutan Robet yang artinya orang Krebet saat masa-masa
sekolah SMA dulu.
...”sampek dijuluki Robet, Orang Krebet, semua temen-temen saya
yang sekolah disitu, temen-temen disitu manggile Robet. Itu sebagai
beban tersendiri Robet ini wes sak elek-elek e wong. Jane Orbet
asline orang Krebet, orang-orang Krebet lo ya orang medho lah.
Nyek-nyek an, kesakitan nek nyang komunitas nongkronge cah-cah”.
(MAD, 2015)
Artinya:
...”sampai dipanggil Robet, Orang Krebet, semua teman-teman saya
yang sekolah disitu, teman-teman disitu memanggil Robet. Itu
sebagai beban tersendiri Robet itu sudah sejelek-jeleknya orang.
Aslinya Orber Orang Krebet, orang-orang Krebet ya orang Bodoh
lah. Ejek-ejekan, kesakitan kalau di komunitas nongkrong anak-
anak”.
(MAD, 2015)
Melihat pengalaman MAD terkait stigma-stigma yang pernah MAD terima
dari teman-temannya tersebut, sebutan „Robet‟ yang artinya orang Krebet sebagai
bentuk representasi bahwa tempat tinggal membawa dan mempengaruhi stigma
yang disematkan kepada orang lain. Sehingga stigma tidak hanya diberikan
kepada mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan saja, namun juga
kepada mereka yang tinggal dalam satu desa dengan para penyandang
keterbelakangan mental.
Informan WAR mempunyai cerita sendiri terkait stigma yang diberikan
masyarakat kepada beberapa penyandang keterbelakangan di desanya tersebut.
Mulai dari tokoh masyarakat sampai warga masyarakat di Desa Sidoharjo
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
mempunyai julukan tersendiri kepada tiga orang penyandang keterbelakangan
mental yang ada di Desa tersebut. Julukan tersebut adalah julukan „Bagong‟
kepada ketiga orang laki-laki penyandang keterbelakangan mental. Namun ketiga
orang tersebut masih dapat bekerja walaupun hanya dalam satu perintah
pekerjaan, karena masih dalam tinggal keterbelakangan mental sedang.
“Ya seperti umpamanya namanya Nardi tapi dipanggil Bagong
karna memang panggilannya tiap hari ya gitu.Tapi kalau nama di
identitas sebenarnya kan bukan itu”.
(WAR, 2015)
Artinya:
“Ya seperti semisal namanya Nardi tapi dipanggil Bagong karena
memang panggilannya tiap hari ya seperti itu. Tapi kalau nama di
identitas sebenarnya kan bukan itu”.
(WAR, 2015)
Pernyataan WAR bahwa ketiga Bagong tersebut dapat bekerja, diperkuat
oleh informan MAD, memang di desa ini ada tiga orang Bagong. Saat peneliti
mengadakan wawancara dengan informan MAD, dia pernah menyebut tiga orang
penyandang yang namanya Bagong yang ketiganya masih bisa bekerja, untuk
memenuhi kehidupannya sendiri. Ternyata ketiga nama Bagong tersebut hanya
sebuah sebutan nama untuk ketiga penyandang keterbelakangan mental tersebut.
...”Niku Bagong (salah satu nama penyandang retardasi mental),
ada tiga bagong sing semuanya pekerja teng mriki. Bagong sing
mriki niku biasane sadean godong jat. Nek Bagong sing Klitik kaleh
Bagong sing Sidowayah niku nek dikongkon macul jan macule sae
mbak niku karo wong biasa ngono menurut kulo apik niku”.
(MAD, 2015)
Artinya:
...”itu Bagong (salah satu nama penyandang retardasi mental), ada
tiga Bagong yang semuanya bekerja disini. Bagong yang disini itu
biasanya jualan daun jati. Kalau Bagong yang Klitik dengan
Bagong yang Sidowayah itu kalau disuruh mencangkul hasil
mencangkulnya bagus itu dengan orang biasa/normal gitu menurut
saya bagus itu”.
(MAD, 2015)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Sehingga dari pernyataan kedua informan WAR dan MAD, dapat
disimpulkan bahwa stigma juga dapat berupa penggantian nama asli menjadi
nama panggilan yang disematkan kepada mereka-mereka yang mempunyain
karakteristik fisik maupun mental secara khusus.
Berbeda dengan argumen yang diberikan oleh salah satu informan ARI.
Pada waktu peneliti menanyakan kepada salah satu informan ARI, apakah beliau
mempunyai sebutan khusus atau panggilan khusus kepada warga masyarakatnya
yang mengalami keterbelakangan mental, ARI mengatakan bahwa sebutannya
„Idiot‟, adalah mayoritas sebutan yang sering digunakan masyarakat di desanya
tersebut.
“Ohh, kalau disini sebutanne ya idiot ngono mbak.”
(ARI, 2015)
Artinya:
“Ohh, kalau disini sebutannya atau panggilannya ya idiot gitu mbak”.
(ARI, 2015)
Menurut argumen dari informan ARI tersebut, sebutan „idiot‟ bagi
waganya yang mengalami keterbelakangan mental adalah sebagai bentu
representasi dari keadaan yang dialami oleh sebagian masyarakatnya tersebut.
Namun, sebutan idiot sesungguhnya adalah istilah yang diberikan kepada mereka-
mereka yang mengalami keterbelakangan mental dalam kategori berat saja, atau
dalam istilahnya mereka-mereka yang masuk dalam severe retardation (retardasi
mental berat) dengan IQ 20-34, anak dalam kategori retardasi mental berat, bisa
disebut dengan„idiot‟, karena kebanyakan IQ mereka dibawah 30. Dalam kategori
ini mereka sudah tidak bisa menerima pelajaran akademik dan sulit mengenali
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
orang-orang didekat mereka.Sehingga sangat membutuhkan bantuan orang lain
untuk melakukan kegiatan sehari-harinya, seperti: makan, mandi dan lain
sebagainya.Ditambah lagi mereka sudah tidak bisa mengontrol dirinya sendiri,
sehingga membutuhkan banyak pengawasan dari orang disekitarnya. Padahal,
pada kenyataannya masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental di Desa
Sidoharjo tersebut ada yang dalam kategori ringan dan sedang. Sehingga tidak
semuanya dapat dikatan „idiot‟ maupun dalam kagori „idiot‟.
Stigma yang pernah didapatkan oleh masyarakat yang mengalami
keterbelakangan mental tidak hanya berupa stigma verbal saja, namun stigma non-
verbal pernah mereka dapatkan. Informan ARI pernah melihat tetangganya
penyandang keterbelakangan mental pernah mendapatkan penolakan dari
kelompok masyarakat tertentu, hanya karena dia dianggap tidak normal seperti
kebanyakan masyarakat lainnya.
“Yowes ngelok-ngelokne mandak koyo ngono wes neng kono ae wes
ra sah amor wong-wong ngene iki. Mayoritas mbak. Mandak koyo
ngono ae kerjone piye…kadang kan ngenyek ngoten niku lo. Mboten
nek koyo njuluki iki ke wong ngene ngoten niku mboten. Kula dereng
miring”.
(ARI,2015)
Artinya:
“Ya sudah menyebut-nyebut keadaan yang seperti itu sudah disitu
saja tidak uasah bergabung dengan orang-orang seperti ini.
Mayoritas mbak. Dengan keadaan seperti itu kerjanya
gimna…kadang kan mengejek seperti itu. Tidak kalau memberi
julukan ini orang seperti ini itu tidak. Saya belum pernah dengar”.
(ARI, 2015)
Selain informan ARI yang pernah melihat tetangganya yang
keterbelakangan tersebut mendapat penolakan oleh sekelompok
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
masyarakatnya.MAD juga pernah melihat penyandang keterbelakanganmental
mendapatkan perilaku yang kurang menyenangkan dalam suatu acara hajatan.
“Sing kerep kulo eroh i nggeh diusir niku wau umpamane, neng
rejan-rejan ngono kae nyedek ngono kui dikon ngaleh”.
(MAD, 2015)
Artinya:
“Yang sering saya tahu ya diusir itu tadi misalnya, dalam acara
pesta rakyat seperti itu mendekat gitu disuruh pergi”.
(MAD, 2015)
Menurut pernyataan ARI dan MAD tersebut, dapat disimpulkan bahwa,
mereka-mereka yang berkebutuhan khusus seperti penyandang keterbelakangan
mental tersebut sulit untuk mendapatkan penerimaan dari lingkungan sosial
mereka.Penyandang keterbelakangan mental yang ada di desa tersebut mendapat
penolakan dari lingkungan sosial mereka sendiri. Padahal mereka sesungguhnya
sangat membutuhkan bantuan dari orang lain dalam kehidupannya, selain itu juga
mereka berhak untuk bersosialisasi dan berhubungan dengan orang lain.
Pemaparan diatas menunjukkan stigmatisasi yang pernah dialami dan
diterima oleh beberapa masyarakat yang mengalamai keterbelakangan mental
yang ada di Desa Sidoharjo yang dikenal dengan “Kampung Idiot”.Stigma-stigma
tersebut tidak hanya berbentuk stigma verbal, namun juga stigma non-verbal juga
mereka terima. Stigma yang diberikan oleh mereka yang mengalami
keterbelakangan mental kemudian akan menciptakan perilaku diskriminatif.
Stigma yang diberikan masyarakat kepada mereka-mereka yang menurut
masyarakat tidak sesuai kriteria yang ada dimasyarakat.
Oleh karena itu, masyarakat akan menolak kehadiran pihak-pihak yang
mereka anggap berbeda dari masyarakat lainnya. Pihak-pihak yang dianggap
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
berbeda dari mereka akan mengalami penolakan sosial dari lingkungannya akibat
atribut yang melekat pada mereka-mereka yang dianggap berbeda tersebut.
Masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental yang ada di Desa Sidoharjo
yang dikenal sebagai “Kampung Idiot” tersebut adalah salah satunya.
II.3.1. Identitas “Kampung Idiot” Berawal dari Jumlah Penyandang
Keterbelakangan Mental yang Ada di Desa Sidoharjo
Isu Desa Sidoharjo mendapatkan label sebagai “Kampung Idiot” awal
mulanya tidak lepas dari data banyaknya jumlah masyarakat yang menderita cacat
fisik dan mental.
Berikut tabel kategori jumlah penduduk Desa Sidoharjo menurut penderita
Cacat Fisik dan Mental tahun 2013 (dalam, Jambon dalam Angka 2014).
Tabel 3.1
Kategori Jumlah Penduduk Menurut Penderita Cacat Fisik dan Mental
NO. URAIAN JUMLAH
1. Tuna Netra 11 orang
2. Tuna Rungu 32 orang
3. Tuna Wicara 13 orang
4. Tuna Rungu Wicara 7 orang
5. Tuna Daksa 14 orang
6. Tuna Grahita 8 orang
7. Cacat Mental 111 orang
8. Cacat Ganda 43 orang
Jumlah 239 orang
Sumber: Jambon dalam Angka 2014
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat Desa Sidoharjo
sebagian besar menderita cacat mental, yaitu sebesar 111 orang dari 239 orang
yang menderita cacat fisik dan mental.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
III.3.2. Status “Kampung Idiot” Diperkuat dengan Masuknya Media
Massa
Media massa merupakan salah satu institusi sosial yang penting dalam
kehidupan masyarakat. Media massa mampu membentuk suatu organisasi yang
hidup di tengah masyarakat. Salah satu fungsi media massa selain fungsi
informasi, fungsi hiburan dan fungsi penyebaran nilai, media massa juga
mempunyai fungsi penafsiran dengan memberikan penafsiran terhadap kejadian-
kejadian penting yang ada di masyarakat. Ada keterkaitan antara fungsi informasi
media dengan fungsi penafsiran, bahwa melalui informasi banyaknya masyarakat
penderita cacat fisik terutama cacat mental yang ada di Ponorogo khususnya di
Desa Sidoharjo tersebut, akhirnya media massa mempublikasikannya diberbagai
media cetak maupun elektronik dengan berbagai penafsiran yang dibuat media
tersebut.
Berdasarkan dari pernyataan dari salah satu informan MAD, bahwa isu
label atau sebutan “Kampung Idiot” tersebut pertama kali digulirkan oleh media.
Menurut MAD media menyebutnya bahwa ini adalah bentuk dendam dari
Undang-Undang pers pada era orde baru bahwa Undang-Undang media dibuat
sedemikian ketat sehingga membuat media semakin terbumkam dengan
informasi-informasi yang ada di masyarakatnya.
“Sejarah penyebutan kampong idiot niku..temen-temen media yang
menggulirkan, dulu sebelum ada keterbukaan informasi temen-temen
media merasa mereka dibungkam untuk menyuarakan keadaan
disini,...”
(MAD, 2015)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Artinya:
“Sejarah penyebutan Kampung Idiot itu.. teman-teman media yang
menggulirkan, dahulu sebelum ada keterbukaan informasi teman-
teman media merasa mereka dibungkam untuk menyuarakan
keadaan disini,..”
(MAD, 2015)
Akhirnya dengan perubahan masa dan perubahan mengenai Undang-
Undang kebebasan pers, media pada akhirnya dapat mengpublikasikan informasi-
informasi yang dulunya tidak sempat dipublikasikan yang menurut mereka
penting diketahui oleh masyarakat umum misalnya mengenai keadaan masyarakat
yang ada di Desa Sidoharjo tersebut.
...”akhirnya secara informasi kebebasan pers dijamin, mereka
merasa bahwa dunia berhutang kepada sidoharjo, mereka hutang.
Hutang atas informasi yang dulunya terbungkam, sehingga ada
sedikit dendam di hati temen-temen media itu untuk menyuarakan
desa sidoharjo, sesuatu sing ini nanti harus mendapat perhatian,
akhirnya muncul penyebutan kampong idiot...”
(MAD, 2015)
Artinya:
...”akhirnya secara informasi kebebasan pers dijamin, mereka
merasa bahwa dunia berhutang kepada sidoharjo, mereka hutang.
Hutang atas informasi yang dulunya terbungkam, sehingga ada
sedikit dendam di hati temen-temen media itu untuk menyuarakan
desa sidoharjo, sesuatu yang ini nanti harus mendapat perhatian,
akhirnya muncul penyebutan kampong idiot...”
(MAD, 2015)
Menurut informan MAD tersebut dapat dilihat bahwa penyebutan
“Kampung Idiot” itu sendiri adalah permainan media massa untuk mendapat
simpati publik atas situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ada di
Desa Sidoharjo tersebut. Walaupun tidak semua masyarakatnya yang mengalami
keterbelakangan mental ditambah lagi bukan hanya keterbelakangan mental saja
namun juga ada yang menderita cacat fisik. Namun, stigma publik akan
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
beranggapan bahwa “Kampung Idiot” adalah suatu kampung yang masyarakatnya
„idiot‟ semua. Itulah stigma yang masih melekat hingga sekarang ini.
III.3.3. Didukung oleh Pemerintah Desa Sidoharjo
Studi ini menemukan bahwa, stigma negatif “Kampng Idiot” tidak hanya
didukung oleh jumlah penderita cacat mental dan cacat fisik yang ada di Desa
Sidoharjo dan masyarakat luar seperti media massa, namun juga didukung oleh
pemerintah Desa Sidoharjo itu sendiri. Pemerintah Desa Sidoharjo tidak
mengganggap kondisi yang dialami masyarakatnya bukan sebagai aib yang harus
mereka tutup-tutupi, namun sebaliknya kondisi ini harus disebar-luaskan ke
masyarakat luar maupun ke pemerintah daerah. Seperti apa yang dipaparkan oleh
salah satu informan INU, bahwa sebutan “Kampung Idiot” tersebut adalah
permintaan dari pemerintah desa itu sendiri.
“Yo pada dasarnya wong sak kecamatan ki ngerti mbak, kampong
idiot kan yo jenenge deso ke yo ndue karep, memang seng njuluk ne
kampong idiot deso iki dewe pemerintah desa dewe, supaya bab-bab
iku ben tersebar luas, disebar luasne malahan, ora kok justru
ditutup-tutupi...”
(INU, 2015)
Artinya:
“Ya pada dasarnya orang sekecamatan ini mengetahuinya mbak.
Kampung Idiot kan ya namanya desa itu ya mempunyai keinginan,
memang yang memberikan sebutan Kampung Idiot desa ini sendiri
pemerintah desa sendiri, supaya bab-bab itu biar tersebar luas,
disebar luaskan malahan, tidak malah justru ditutup-tutupi...”
(INU, 2015)
Melihat argumen dari informan INU tersebut bahwa bukan hanya media
saja yang memberikan sebutan “Kampung Idiot” namun juga pemerintah desa
sendiri yang ingin kondisi masyarakatnya diketahui oleh masyarakat luas terutama
pemerintah pusat dan daerah. Kondisi masyarakatnya tersebut harus diketahui
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
publik dikarenakan menurut informan INU bahwa agar persoalan tersebut dapat
segera diatasi dan mendapat kepedulian dari pemerintah.
“Nek wes disebar luasne kan yo akhir e enek wong-wong sing
peduli, terutama pemerintah. Niku kan yo mesti enek kepedulian.
Nek malah tak tutuptutupi yo malah…diarani kampong idiot yo
selama onok deso iki, mau-maune nggeh mboten...”
(INU, 2015)
Artinya:
“Kalau sudah disebar luaskan ya akhirnya ada orang-orang yang
peduli, terutama pemerintah. Itu kan pasti ada kepedulian. Kalau
malah saya tutup-tutupi yo malah...dikatakan Kampung Idiot ya
selama ada desa ini, awalnya ya tidak...”
(INU, 2015)
Stigma “Kampung Idiot” identik dengan stigma kurang menyenangkan
dan membawa dampak buruk bagi masyarakatnya, hal tersebut akan berbeda dari
pandangan dari salah satu informan INU tersebut, bawasannya tidak semua stigma
dianggap buruk dan membawa dampak buruk bagi semua orang yang ada di Desa
Sidoharjo tersebut. Berdasarkan argumen INU sebagai salah satu tokoh
masyarakat di desa tersebut, dengan stigma “Kampung Idiot” membawa dampak
positif bagi desanya. Hal tersebut terbukti bahwa Desa Sidoharjo semakin banyak
mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM
dan para donatur-donatur lainnya. Sehingga hal tersebut membawa keuntungan
tersendiri bagi Desa Sidoharjo tersebut.
III.4. Respon Masyarakat Lokal Atas Stigma “Kampung Idiot”
Masyarakat Desa Sidoharjo banyak yang memberikan stigma negatif
sebagai bentuk penolakan terhadapmereka-mereka yang mengalami
keterbelakangan atau retardasi mental karena mereka dianggap mempunyai ciri
atau kriteria khusus yang nampak secara jelas, yang dianggap tidak sesuai dengan
yang diharapkan oleh masyarakat.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Terdapat bentuk-bentuk stigma yang disematkan kepada mereka-mereka
yang tergolong berkebutuhan khusus atau mereka yang keterbelakangan mental.
Bentuk-bentuk stigma tersebut ada yang berupa verbal dan non-verbal. Bentuk
penolakan verbal tersebut berupa kata-kata misalnya dengan mengatakan bahwa
orang tersebut idiot, goblok (bodoh), peko‟ (bodoh), mendho (bodoh),
Robet(Orang Krebet), bisu sampai dengan memberikan panggilan yang bukan
nama aslinya misalnya panggilan „Bagong‟. Sedangkan bentuk penolakan non-
verbal yang tercermin dari bentuk gestur tubuh seperti pandangan yang kurang
menyenangkan dari orang lain sampai bentuk perlakuan yang kurang
menyenangkan misalnya penolakan terhadap penyandang dari kelompok
masyarakat tertentu sampai pada pengusiran secara langsung dari suatu kelompok
tertentu.
Studi ini menemukan, dimana masyarakat Desa Sidoharjo yang
mengalami keterbelakangan mental menerima stimulus negatif dari masyarakat
lain maupun dari orang terdekatnya sendiri, baik berupa stigma verbal maupun
non-verbal. Studi ini menemukan bahwa reaksi yang ditunjukkan oleh informan
sangat beragam. Seperti yang ditunjukkan dalam tabel dibawah ini.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Tabel 3.2
Respon yang Ditunjukkan Masyarakat Terhadap Stigma dan Perilaku
Diskriminatif Masyarakat “Kampung Idiot”
NO. INFORMAN RESPON YANG DITUNJUKKAN
1. MAD
- Percaya diri dibilang dari “Kampung Idiot
- Langsung diajak bicara jika ada orang yang
memberikan perlakuan yang kurang menyenangkan
kepada salah seorang penyandang
2. INU
- Tidak masalah Desa Sidoharjo disebut “Kampung
Idiot”, karena jika tidak disebut “Kampung Idiot”
malah tidak akan menyelesaikan masalah.
- Dianggap biasa aja jika orang banyak menyebut
penyandang orang pingiran atau “ndeso”
3. DEV
- Menjelaskan keadaan Desa Sidoharjo bawasannya
yang mengalami keterbelakangan mental tersebut
tidak semua masyarakatnya.
- Berbicara secara langsung kepada orang yang
mengatakan atau memanggil dengan panggilan yang
kasar kepada salah seorang penyandang
4. ARI - Menunjukkan respon yang kurang senang
5.
TIN
- Biasa saja disaat anggota keluarganya dijuluki
dengan panggilan-panggilan yang bukan namanya
6. IIM
- Malu jika tempat tinggalnya dijuluki “Kampung
Idiot”
- Langsung menangepi bahwa itu sudah menjadi
takdir dari yang Maha Kuasa
7. WAR - Biasa saja jika Desa Sidoharjo di sebut sebagai
“Kampung Idiot”, tidak ada rasa malu
Sumber: Data Primer
Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa respon yang ditunjukkan
masyarakatterhadap stigma dan perilaku diskriminatif masyarakat “Kampung
Idiot” sangat bervariatif. Respon tersebut ditunjukkan oleh keluarga yang
memiliki anggota yang keterbelakangan mental, lingkungan sekitar dan respon
perangkat desa atas stigma “Kampung Idiot” tersebut.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
III.4.1. Respon Keluarga yang Memiliki Anggota yang Keterbelakangan
Mental
TIN adalah salah satu informan yang mempunyai dua anggota keluarga
yang keterbelakangan mental yang masih dalam kategori ringan, disaat
keluarganya yang keterbelakangan mental tersebut mendapat perkataan-perkataan
yang kurang baik dari tetangganya mulai dari mendapatkan julukan
peko‟(Bodoh),goblok(bodoh). Anggota keluarganya yang keterbelakangan
tersebut jika mendengarnya akan sedikit marah dan bergumam dengan bahasanya
sendiri.
…“kadang nek tiyangge mireng ngoten kadang nggeh nesu, ngamuk
biasane, nguuumengg mawon, ngremeng ngoten”.
(TIN, 2015)
Artinya:
...”kadang kalau orangnya dengar gitu kadang ya marah, marah
(tersinggung) biasanya, berbicara sendiri (namun tidak jelas
bahasanya), menunjukkan ketidaksenangan seperti itu”.
(TIN, 2015)
Berdasarkan pernyataan TIN tersebut dapat dilihat bahwa, keluarganya
yang keterbelakangan mental tersebut jika mendengar ada tetangga yang
menjulukinya peko‟, goblok atau perkataan yang kurang menyenangkan dari
tetangganya dia „ngrumeng‟ (berbicara yang kurang jelas) atau „gremeng‟, yang
dalam arti bahasa indonesianya adalah bergumam sebagai bentuk
ketidaknyamanan. „Ngumeng‟ atau „ngremeng‟ tersebut sebagai bentuk respon
ketidaksenangan atau ketidaknyamanan penyandang tersebut atas perkataan yang
tidak menyenangkan yang diberikan kepada dirinya.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Sedangkan TIN sendiri jika keluarganya mendapatkan julukan peko‟,
goblok dari tetangganya menanggapinya seperti kebanyakan informan lainnya,
TIN meresponnya dengan biasa saja, TIN tidak pernah memberikan respon atau
reaksi apapun kepada orang atau tetangganya tersebut, mengingat memang
keadaan anggota keluarganya tersebut yang memang terbatas yaitu sebagai
penyandang keterbelakangan mental yang berbeda dengan masyarakat normal
lainnya.
“Pripun nggeh emang keadaane ngoten niku, terbatas yowess mbak,
biasaae”.
(TIN, 2015)
Artinya:
“Seperti apa ya memang keadaannya seperti itu, terbatas ya sudah
mbak, biasa saja”.
(TIN, 2015)
Berdasarkan informan TIN tersebut respon biasa saja yang TIN berikan
kepada seseorang atau tetanganya yang memberikan perlakuan atau perkataan
yang kurang menyenangkan anggota keluarganya yang keterbelakangan mental
menurut TIN dikarenakan keadaan anggota keluarganya tersebut yang memang
terbatas, sehingga ada sikap pasrah terhadap diri TIN mengenai sikap orang lain
terhadap anggota keluarganya tersebut.
III.4.2. Respon Lingkungan Sekitar
Respon terhadap stigma “Kampung Idiot” dan perilaku diskriminatif
terhadap penyandang keterbelakangan mental juga ditunjukkan oleh beberapa
masyarakat sekitar. Salah satunya adalah yang dilakukan linforman IIM, yang
langsung memberikan tanggapan langsung disaat IIM melihat dan mengalami
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
sendiri pada waku itu, yaitu kepada salah satu warganya yang memberikan
julukan bisu kepada salah satu penyandang keterbelakangan mental tersebut.
“Hee. . . kowe opo seneng nek koyo ngono kui, ora iso omong iku yo
pawaue sing kuoso kok, kula nggeh ngoten. Kan leres ta mbak,
tiyang ngoten niku nek. . . prayo isin to mbak”.
(IIM, 2015)
Artinya:
“Hee...kamu apa senang kalau seperti itu, tidak bisa bicara itu ya
pemberian dari Yang Maha Kuasa, saya ya gitu. Kan benar kan
mbak, orang seperti itu...kan ya malu mbak”.
(IIM, 2015)
Berdasarkan pernyataan informan IIM bahwa apa yang dialami salah satu
penyandang keterbelakangan mental dengan kondisi „bisu‟ adalah sudah menjadi
pemberian dari Yang Maha Kuasa. Berdasarkan argumen tersebut IIM
mengumpamakan kepada orang yang memberikan stigma „bisu‟ kepada salah satu
penyandang tersebut agar orang tersebut bisa lebih bersimpati dengan kondisi atau
keadaan yang dialami oleh penyandang keterbelakangan tersebut. Sehingga IIM
berharap orang yang memandang rendah mereka-mereka yang penyandang
keterbelakangan mental tersebut, dapat lebih bersyukur dengan kondisinya yang
normal sekarang ini.
Respon berbeda diberikan salah satu informan ARI, menurut pernyataan
ARI, pihaknya kurang senang dengan sebutan “Kampng Idiot” yang diberikan
kepada desanya tersebut. Dengan alasan hanya sebagian kecil dari warga
masyarakat Desa Sidoharjo yang mengalami keterbelakangan mental. Sehingga
menurut ARI sebutan atau julukan tersebut tidak tepat diberikan kepada Desa
Sidoharjo.
“Ya cuma yo kurang marem lah. Lha nyapo kok ndadak dikek
kampong idiot barang ki kan yo sebagian gak semuanya ngono lo
maksud e kan cuma sedikit kok dijuluki kampong idiot..”
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
(ARI, 2015)
Artinya:
“Ya Cuma ya kurang senang lah. Lha kenapa kok dikasih nama
Kampung Idiot segala kan ya sebagian gak semuanya gitu lo
maksudnya kan cuma sedikit kok dijuluki Kampung Idiot...”
(ARI, 2015)
Berdasarkan pernyataan ARI, dapat dilihat bahwa „kurang marem‟ atau
dalam bahasa Indonesinya „kurang senang‟ menunjukkan ketidak senangan
sekaligus penolakan dengan sebutan “Kampung Idiot” tersebut. Mengingat antara
kenyataan atau kondisi yang sebenarnya dengan apa yang dipahami masyarakat
luar sangat jauh berbeda. Antara masyarakat yang penyandang keterbelakangan
mental dengan masyarakat normal jumlahnya jauh lebih banyak masyarakat
normalnya, sehingga informan ARI menunjukkan respon ketidaksenangan dan
ketidak setujuan dengan sebutan “Kampung Idiot” yang melekat di desanya
tersebut.
III.4.3. Respon Perangkat Desa
Respon terhadap stigma dan perilaku diskriminatif masyarakat “Kampung
Idiot”tidak hanya ditunjukkan oleh penyandang keterbelakangan mental, pihak
keluarga penyandang keterbelakangan mental maupun dari lingkungan
masyarakat sekitar, namun juga ditunjukkan oleh tokoh masyarakat yang ada di
Desa Sidoharjo tersebut.
Salah satun informan WAR mengganggap dengan sebutan “Kampung
Idiot” yang disemangatkan kepada desanya tersebut WAR tidak merasa malu
ataupun menunjukkan ketidaksenangan. Mengingat dengan keadaan Desa
Sidoharjo yang seperti itu keadaannya, WAR tidak akan menutupi atau
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
menyembunyikan keadaan yang sebenarnya tersebut, bahwa memang ada
sebagian dari jumlah masyarakatnya yang mengalami keterbelakangan mental.
“Ya kalau saya sendiri yo nggak istilahnya malu atau apa enggak,
terah memang keadaannya yo seperti itu apa boleh buat gitu kan”.
(WAR, 2015)
Artinya:
“Ya kalau saya sendiri ya tidak istilahnya malu atau apa tidak,
memang keadaannya ya seperti itu apa boleh buat gitu kan”.
(WAR, 2015)
Berdasarkan pernyataan WAR tersebut bahwa respon yang ditunjukkan
WAR mengenai stigma “Kampung Idiot” tersebut tidak ada rasa malu. WAR
merasa stigma tersebut telah menunjukkan keadaan dan kondisi sebenarnya yang
dialami masyarakatnya. Menurut WAR, tidak ada masalah jika orang luar
memberikan sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot”.
Respon yang diberikan WAR sebagai salah satu tokoh masyarakat yang
ada di desa tersebut, berbeda dengan respon yang ditunjukkan oleh Informan
DEV. Respon yang diberikan DEV kepada orang yang memberikan sebutan Desa
Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot” maupun kepada orang yang menanyakan
apakah satu kampung tersebut masyarakatnya „idiot‟ semua, respon yang
diberikan dan ditunjukkan DEV adalah DEV berusaha menjelaskan keadaan
kampungnya yang sebenarnya. Bahwa, tidak semua masyarakat yang tinggal di
Desa Sidoharjo tersebut masyarakatnya mengalami keterbelakangan mental atau
sebutan mereka „idiot‟.
…”memberikan pemahaman kepada mereka bawasannya anggapan
mereka selama ini, itu kurang benar, terus kondisi sosial yang
sering didengar itu juga kurang benar, maka dari itu warga lain
ketemu dengan orang luar mereka pasti ditanya seperti itu dan
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
seharusnya mereka bisa menjawab menjelaskan sesuai dengan
kenyataan yang ada di Desa Sidoharjo.”
(DEV, 2015)
Selain itu juga DEV tidak menutup-nutupi maupun sengaja
menghilangkan keadaan atau kondisi sebagian warga masyarakatnya yang
mengalami keterbelakangan tersebut.Bahwa jumlah populasi warga masyarakat
Desa Sidoharjo tersebut sangat banyak, namun yang mengalami keterbelakangan
mental tersebut hanya sebagian kecil saja dari jumlah penduduk Desa Sidoharjo
tersebut.
“Desa Sidoharjo ini jumlahnya sangat banyak dari jumlah itu ada
jumlah itu ada warga kami yang mengalami keterbelakangan
mental, namun jumlah mereka sangat kecil kecil ini yang tidak kami
tutup-tutupi, artinya tidak berusaha untuk menghilangkan warga
kami yang mengalami keterbelakangan itu”.
(DEV, 2015)
Seperti halnya DEV informan INU sebagai mantan kepada desa pertama di
Desa Sidoharjo tersebut juga menanggapi secara positif mengenai stigma atau
sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot”, banyak orang luar sana yang
menjuluki desanya dengan sebutan “Kampung Idiot”, karena jika ditutup-tutupi
masalah tersebut tidak akan dapat terselesaikan.
“Yo ra masalah, nek coro kula yo ra masalah, nyapo kok ditutap-
tutupi. Justru barang-barang sing ditutupi ngono kui ora iso anu ora
iso nylesekne masalah. Nek ditutupi niku barang koyo ngono kok
ditutup, terus akhire piye nek arep nylesaikan”.
(INU, 2015)
Artinya:
“Ya tidak masalah, kalau menurut saya ya tidak masalah, kenapa
kok ditutup-tutupi. Justru sesuatu apapun yang ditutupi itu tidak
bisa apa tidak bisa menyelesaikan masalah. Kalau ditutupi itu
sesuatu seperti itu kokditutupi, terus akhirnya bagaimana kalau
ingin menyelesaikannya”.
(INU, 2015)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Berdasarkan argument INU tersebut dapat diketahui bahwa INU tidak
akan menutupi keadaan atau kondisi di desanya tersebut. INU akan membenarkan
bahwa memang masyarakatnya banyak yang mengalami keterbelakangan mental.
Sehingga dari pernyataan INU tersebut tidak ada masalah jika masyarakat luar
menyebut desanya sebagai “Kampung Idiot” karena jika kondisi masyarakatnya
ini ditutupi malah tidak akan memberikan penyelesaian terkait kondisi warga
masyarakat Desa Sidoharjo.
DEV juga memberikan pernyataan bahwa, berdasarkan pengalamannya
sendiri DEV pernah melihat dan mendengar warganya yang menerima perkataan
atau sebutan yang kurang menyenangkan, DEV langsung memberikan teguran
secara langsung kepada orang yang memberikan sebutan yang kurang baik kepada
orang tersebut.
..”ngomong baik-baik dengan remajanya itu sendiri bawasannya
perbuatan itu sendiri tidak baik, memberikan sebutan kepada orang
lain, memberikan apa panggilan kepada orang lain yang mana itu
bukan namanya sendiri kan itu sendiri tidak baik, apalagi ini
sebutan yang buruk seperti kata-kata kasar itu tadi..”.
(DEV, 2015)
Berdasarkan beberapa pengalaman DEV tersebut dapat diketahui bahwa,
DEV tidak memberikan respon yang negatif atau kurang menyenangkan terhadap
beberapa warganya maupun orang di luar desanya mengenai stigma dan informasi
yang menurut DEV tersebut kurang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di
desanya. Memberikan teguran langsung terhadap salah satu warganya yang
memberikan panggilan yang bukan nama aslinya dan bahkan sebutan-sebutan
kasar tersebutadalah tindakan yang dinilai DEV sebagai bentuk respon yang
benar, agar masyarakat luar mendapat pemahaman maupun informasi yang benar
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
terkait kondisi yang sebenarnya Desa Sidoharjo tersebut. Mengingat warga
masyarakat di Desa Sidoharjo mayoritas pendidikannya rendah, sehingga perlu
memberikan pemahaman kepada warga masyarakatnya dalam memberikan sikap
maupun perlakuan terhadap sebagaian warga masyarakatnya yang penyandang
keterbelakangan mental. Sehingga akan menunbuhkan sikap saling menghargai
antar sesama masyarakat lainnya.
Dari temuan data yang diperoleh, tidak semua informan menunjukkan
respon secara langsung terhadap stigmatisasi dan perilaku diskriminatif yang
dialami oleh masyarakat “kampung idiot” tersebut. Maupun memberikan respon
yang keras terhadap stigmatisasi yang diberikan kepada masyarakat Desa
Sidoharjo kepada sebagian warga masyarakat penyandang keterbelakangan mental
tersebut. Ada beberapa masyarakat yang biasa saja jika Desa Sidoharjo mendapat
sebutan “Kampung Idiot”, namun ada juga sebagian warga masyarakatnya yang
berusaha menjelaskan keadaan atau kondisi yang sebenarnya di Desa Sidoharjo
tersebut.
III.5. Keuntungan Atas Stigma “Kampung Idiot”
Konsep stigma yang identik dengan suatu atribut yang mendiskreditkan
seseorang secara mendalam, yang bisa terlihat pada bahasa dan gestur tubuh (baik
itu verbal ataupun non-verbal) dalam hubungan sehari-hari.Sehingga stigma juga
identitik dengan suatu perbuatan maupun perkataan yang buruk terhadap individu
maupun kelompok serta akan membawa pengaruh buruk pada individu atau
kelompok yang menerimanya tersebut. Namun demikian, hal tersebut akan
berbeda dengan apa yang dialami oleh masyarakat “Kampung Idiot” Desa
Sidoharjo ini. Dengan stigma sebagai “Kampung Idiot” yang telah tersematkan
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
terhadap desa tersebut disisi lain ternyata membawa dampak atau pengaruh baik
bahkan membawa keuntungan terhadap masyarakat yang tinggal di Desa
Sidoharjo tersebut.
III.5.1. Keuntungan dari Pihak Keluarga
Stigma yang diterima oleh anggota keluarganya maupun pihak
penyandang keterbelakangan itu sendiri bukan selamanya berpengaruh buruk
maupun negatif kepada mereka. Namun, stigma tersebut ternyata berpengaruh
baik atau positif bagi keluarga maupun bagi penyandang keterbelakangan itu
sendiri.
Hal tersebut dibuktikan melalui salah satu pernyataan informan SOI, yang
mempunyai dua anggota keluarga penyandang keterbelakangan mental.SOI
menyadari dengan stigma atau sebutan Desa Sidoharjo ini sebagai “Kampung
Idiot” disatu sisi memberikan dapak positif kepada desanya, karena akhirnya
setelah terkenal sebagai desa miskin yang masyarakatnya banyak yang
berkebutuhan khusus yang akhirnya banyak bantuan yang datang ke desanya.
Misalnya saja, dengan melihat kondisi keluaraga SOI pemerintah tidak hanya
tinggal diam, SOI mengaku anaknya masih mendapat bantuan rutin dari
pemerintah sebesar Rp.300.000,00 setiap bulannya.
“Kan iki wes terkenal mbak kampong miskin mangan karat ngono,
tapi yo akhirre akeh sumbangan-sumbangan, bantuan-bantuan
ngoten niku, koyo niku(menunjuk anaknya yang sedang tidur) per
bulan nggeh tasek bayaran 300 rutin per bulan”.
(SOI, 2015)
Artinya:
“Kan ini sudah terkenal mbak Kampung Idiot miskin makan
singkong begitu, tapi ya akhirnya banyak sumbangan-sumbangan,
bantuan-bantuan seperti itu, seperti itu (menunjuk anaknya yang
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
sedang tidur)per bulan masih dapat bayaran 300 (tiga ratus) rutin
setiap bulan”.
(SOI, 2015)
Menurut argumen SOI tersebut dapat disimpulkan bahwa, dengan stigma
dan sebutan desa mereka sebagai “Kampung Idiot”, yang banyak orang diluar
sana memberikan pandangan dan penafsiran bahwa masyarakatnya semua
mengalami keterbelakangan mental. Padahal yang termasuk penyandang
keterbelakangan mental tersebut hanya sebagian kecil saja dari sekian populasi
penduduk yang ada di Desa Sidoharjo. Pada akhirnya stigma tersebut tidak hanya
memberikan dampak buruk pada keluarganya namun juga memberikan dampak
positif tersendiri, berupa bantuan tunjangan hidup untuk penyandangnya sendiri.
Selain informan SOI, salah satu tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama
yaitu informan DEV juga memberikan pernyataan bahwa, para keluarga
penyandang keterbelakangan mental yang ada di desa tersebut mendapatkan
bantuan berupa ternak kambing maupun ayam dari pemerintah daerah, sebagai
bentuk program pemberdayaan ekonomi bagi keluarga penyandang
keterbelakangan mental.
...”kita berikan bantuan dari pemerintah kita salurkan yakni berupa
ternak kambing, ada yang ternak ayam, dan yang lainnya ini sudah
berjalan ada yang bagus ada yang kurang bagus ada yang sama
sekali tidak ada perubahanya, ya tadi kendalanya banyak sekali
karna harus senantiasa dipantau...”
(DEV, 2015)
Menurut argumen kedua informan tersebut dapat disimpulkan bahwa,
keluarga penyandang keterbelakangan mental yang ada di Desa Sidoharjo
tersebut mendapat bantuan tunjangan hidup berupa uang sebesar Rp.300.000,00
yang rutin diberikan setiap bulannya kepada penyandang dan selain itu juga
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
mendapatkan bantuan program pemberdayaan ekonomi berupa hewan ternak
seperti kambing dan ayam. Sehingga stigma atau label tidak hanya memberikan
dampak negatif maupun pengaruh buruk kepada individu atau kelompok yang
menerimanya, namun juga memberikan banyak pengaruh positif bahkan menjadi
suatu keuntungan tersendiri bagi penerimanya. Seperti halnya yang dialami oleh
Desa Sidoharjo yang mendapat stigma sebagai “Kampung Idiot” memberikan
pengaruh besar dan berdampak positif bagi keluarga penyandang itu sendiri.
III.5.2. Keuntungan dari Lingkungan Sekitar
Keuntungan atas stigma “Kampung Idiot” tidak hanya dirasakan oleh
pihak keluarga saja namun juga dari lingkungann sekitarnyanya, dalam kata lain
keuntungan atau dampak positif tersebut tidak hanya dirasakan oleh pihak
keluarga penyandang kerbelakangan saja, namun juga mereka-mereka yang tidak
mempunyai keluarga penyandang keterbelakangan mental.
Informan ARI salah satunya yang merasakan keuntungan dari label desa
sebagai “Kampung Idiot” ini. Menurut ARI semua warga masyarakat Desa
Sidoharjo ini setiap tahun rutin samapai saat ini mendapatkan bantuan berupa
garam yodium dari pemerintah daerah melalui dinas kesehatan setempat selain itu
juga pernah mendapatkan beberapa paket makanan seperti: Susu, roti dan biskuit
yang diberikan rutin setiap bulan kepada seluruh masyarakatnya, namun kalau
untuk bantuan ini berhenti samapai tahun lalu saja. Bantuan garam yodium
tersebut tidak hanya diberikan kepada mereka-mereka yang mempunyai anggota
keluarga penyandang keterbelakangan mental, namun juga kepada keluarga yang
tidak mempunyai anggota keluarga penyandang keterbelakangan mental.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
“Garam niku ta? Nggeh niku rutin niku satu tahun sekali niku mbak,
nek dulu itu satu bulan sekali itu kayak susu, roti, biscuit kayak gitu
lo. Tapi sekarang nggak ada”.
(ARI, 2015)
Artinya:
“Garam itu ya? Ya itu rutin itu satu tahun sekali itu mbak, kalau
dulu itu satu bulan sekali itu seperti susu, roti, biskuit seperti itu.
Tapi sekarang tidak ada”.
(ARI, 2015)
Bukan hanya dari pernyataan informan ARI, salah satu informan DEV
yang menjadi salah anggota relawan BASNAS Jawa Timur mengungkapkan
bahwa pihaknya telah banyak menyalurkan bantuan dari BASNAS Jawa timur
kepada masyarakat yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Bantuan tersebut tidak
hanya dirasakan dan diberikan kepada keluarga penyandang saja, namun juga
seluruh warga masyarakat Desa Sidoharjo dapat merasannya. Menurut pernyataan
DEV bantuan tersebut berupa perbaikan rumah warga yang rusak, pembuatan
beberapa sumur sebagai penampuan air bersih sehingga kebutuhan air bersih
warga masyarakatnya tercukupi.
...”progam perbaikan rumah tinggal atau yang disingkat property
dari BASNAS dengan struktur dan bentuk yang sama itu bisa kita
lihat sebanyak 62 rumah, diseluruh Desa Sidoharjo ini, serta
pembuatan sumur yang mana sumur itu nanti dipergunakan untuk
mencukupi kebutuhan air dimasyarakat, artinya kebutuhan sehari-
hari untuk mandi, masak dan mencuci...”
(DEV, 2015)
Selain perbaikan rumah atau tempat tinggal dan pembuatan sumur atau
penampungan air bersih, BASNAS Jatim melalui relawannya yaitu informan DEV
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
sendiri memberikan bantuan berupa program pengembangan pendidikan, baik
pendidikan formal maupun pendidikan non-formal yang ada di Desa Sidoharjo
tersebut. Program pengembangan pendidikan dari BASNAS ini, DEV sendiri
yang mengatur dan mengurus segalanya keperluannya, mengingat DEV sebagai
salah satu relawannya dan yang kebetulan tinggal di Desa Sidoharjo.
“Dan yang ketiganya adalah untuk memajukan pendidikan,
pendidikan masyarakat baik pendidikan formal maupun non formal,
yakni seperti pengadaan majelis taklim, taman pendidikan al-quran,
madrasah diniyah lha ini yang terbaru adalah madrasah iftidaiyah
untuk melengkapi lembaga pendidikan tingkat dasar di Desa
Sidoharjo ini”.
(DEV, 2015)
Menurut argumen DEV tersebut dapat diketahui bahwa, beberapa bantuan
yang diberikan BASNAS berupa perbaikan rumah, pembuatan sumur, dan
program pengembangan pendidikan bagi masyarakat Desa Sidoharjo tersebut
memberikan manfaat yang besar bagi warga masyarakatnya Desa
Sidoharjo.Dengan stigma bahwa Desa Sidoharjo sebagai desa yang keterbelakang,
pinggiran, desa miskin, desa yang masyarakatnya banyak yang menderita cacat
fisik maupun cacat mental hingga sampai pada munculnya label “Kampung Idiot”,
banyak pihak-pihak yang peduli tentang situasi dan keadaan desa tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa stigma “Kampung Idiot” tidak selamanya
membawa dampak buruk bagi masyarakatnya, namun justru sebaliknya malah
membawa dampak posistif atau pengaruh baik bagi warga masyarakat Desa
Sidoharjo.
III.5.3. Keuntungan dari Perangkat Desa
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Stigma “Kampung Idiot”yang melekat di Desa Sidoharjo tidak hanya
membawa keuntungan bagi pihak keluarga penyandang dan lingkungan sekitar,
namun juga membawa keuntungan tersendiri dari perangkat desa sendiri.
Menurut salah satu mantan kepala desa pertama Desa Sidoharjo yaitu
informan INU menyatakan bahwa, desa sendiri yang membuat stigma “Kampung
Idiot” itu sendiri. Menurut informan INU, tujuan pemerintah desa membuat
sebutan “Kampung Idiot” ini adalah agar kondisi yang dialami oleh Desa
Sidoharjo ini tersebar luaskan, untuk mendapatkan kepedulian dari pemerintah.
..”kan yo jenenge deso ke yo ndue karep, memang seng njuluk ne
kampong idiot deso iki dewe pemerintah desa dewe, supaya bab-bab
iku ben tersebar luas, disebar luasne malahan, ora kok justru
ditutup-tutupi. Nek wes disebar luasne kan yo akhir e enek wong-
wong sing peduli, terutama pemerintah. Niku kan yo mesti enek
kepedulian”.
(INU, 2015)
Artinya:
..”kan ya namanya desa mempunyai keinginan, memang yang
memberikan nama Kampung Idiot desa ini sediri pemerintah desa
sendiri, supaya bab-bab itu biar tersebar luas, disebar luaskan
malahan, tidak mlah justru ditutup-tutupi. Kalau sudah tersebar
luaskan kan akhirnya ada orang-orang yang peduli, terutama
pemerintah. Itu kan pasti ada kepedulian”.
(INU, 2015)
Sehingga, stigma “Kampung Idiot” sengaja dimunculkan oleh desa sendiri
melalui aparatur desa sebagai pihak yang menyelenggarakan segala urusan untuk
membina seluruh anggota masyarakat. Selain itu juga pemerintah desa sebagai
lembaga yang mengurusin segala keuangan dan administrasi yang diperlukan
untuk pembangunan wilayah desa secara fisik maupun non fisik. Menurut
informan INU dengan label Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot” tersebut
sangat membawa dampak atau pengaruh positif bagi pemerintah sendiri.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Keuntungannya adalah pemerintah desa sebagai lembaga yang mengurusi segala
keperluan desa menjadi semakin mudah untuk mencari bantuan dari pemerintah
daerah maupun dari dinas sosial maupun dinas kesehatan.Mengingat desa tidak
ada anggaran khusus untuk menangani penyandang yang ada di desa tersebut.
“Kene anggarane sing jelas yo ora eneng anggaran sing pasti kango
wong sing ngono kui, sebab e deso isone mong njalok. Nah iku sak
durungo njalok iki wes enek suoro-suoro sing ngono kui kan enteng
njaluk e..”
(INU, 2015)
Artinya:
“Disini angarannya yang jelas ya tidak ada anggaran yang pasti
untuk orang yang seperti itu, karena desa bisanya hanya minta. Nah
itu sebelum minta ini ada suara-suara (isu Kampung Idiot) yang
seperti itu kan ringan mintanya...”.
(INU, 2015)
Menurut argumen INU tersebut dapat diketahui bahwa, stigma
memberikan keuntungan besar bagi pemerintah desa terkait birokrasinya dengan
pemerintah daerah maupun dinas sosial semakin dipermudah. Sehingga akhirnya
menurut INU, banyak bantuan-bantuan yang datang khusus untuk menangani
penyandang keterbelakangan mental yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Seperti
adanya pukesmas yang khusus menangani para penyandang keterbelakangan
mental serta bantuan-bantuan lainnya dari dinas sosialPonorogo.
...”akhir e oleh pukesmas sing khusus ngurusi wong-wong sing
stress, pomo pemerintah kene ora iso nangani yo dinas sosial njalok
rono kan yo enteng mawon ngoten lo asline ngoten niku”.
(INU,2015)
Artinya:
...”akhirnya dapat pukesmas khusus yang khusus menangani orang-
orang yang stress, semisal pemerintah sini tidak bisa menangani ya
dinas sosial minta kesana kan ya ringan saja seperti itu lo
sebenarnya seperti itu”.
(INU, 2015)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Menurut argumen informan INU tersebut, dapat disimpulkan bahwa,
keuntungan yang diperoleh pemerintah desa terkait stigma “Kampung Idiot”
tersebut adalah desa mendapatkan bantuan pukesmas yang khusus untuk
menangani penyandang keterbelakangan mental serta bantuan dari dinas sosial
Ponorogo. Sehingga keuntungan dengan adanya stigma “Kampung Idiot” tersebut
tidak hanya dirasakan oleh pihak keluarga penyandang keterbelakangan mental
dan masyarakat lingkungan sekitar saja, namun juga keuntungan tersebut dapat
dirasakan oleh pemerintah desa sendiri.
III.6. Kerugian Atas Stigma “Kampung Idiot”
Stigma yang dimiliki Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot” pastinya
tidak hanya membawa keuntungan saja yang dirasakan, namun juga membawa
beberapa kerugian secara sosial terhadap pihak keluarga penyandang, lingkungan
sekitar namun juga perangkat desa itu sendiri. Berikut beberapa kerugian secara
sosial yang dirasakan atas stigma “Kampung Idiot” tersebut.
III.6.1.KerugianPihak Keluarga Penyandang Keterbelakangan mental
Pihak keluarga penyandangadalah salah satu orang yang paling dekat
dengan kehidupan penyandang keterbelakangan mentalitu sendiri. Pihak
keluargalah yang mengurusi, menjaga dan mengawasi kehidupan sehari-hari dari
penyandang tersebut. Sehingga kerugian dengan adanya stigma yang diberikan
kepada keluarganya yangketerbelakangan mental oleh masyarakat sekitar maupun
dari masyarakat luar mengenai stigma atau label “Kampung Idiot” tersebut
membawa dampak tersendiri bagi keluarga penyandang. Menurut salah satu
informan TIN sebagai pihak keluarga dari penyandang yang mempunyai dua
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
orang anggota penyandang keterbelakangan mental mengaku TIN merasa malu
dengan adanya sebutan atau label desanya sebagai “Kampung Idiot”.
“Pripun nggeh. Sak jane niku nggeh isin ngoten mbak,dijuluki
kampong idiot ngoten mbak”.
(TIN, 2015)
Artinya:
“Seperti apa ya. Sebenarnya itu ya malu seperti itu mbak, disebut
sebagai Kampung Idiot seperti ini mbak”.
(TIN, 2015)
Menurut argumen TIN tersebut, pihaknya merasa malu jika orang-orang
diluar sana memberikan julukan Desa Sidoharjo sebagai tempat tinggalnya sejak
ia dilahirkan ini sebagai “Kampung Idiot”. „Isin‟ dalam pemikiran TIN
menunjukkan rasa kurang nyaman terhadap julukan yang diberikan kepada
desanya, mengingat kedua anggota keluarganya adalah penyandang
keterbelakangan mental tersebut. Apalagi jika TIN pada saat tertentu harus
bertemu dan berinteraksi dengan orang diluar desa tersebut. TIN juga harus
menjelaskan pada saat itu jika menerima pertanyaan mengenai kondisi
keluarganya dan keadaan desanya tersebut.
Sedangkan informan TUN mempunyai pernyataan yang berbeda terkait
stigma “Kampung Idiot” yang melekat di Desa Sidoharjo tersebut.Stigma tersebut
menurut TUN kurang tepat mengingat warganya yang penyandang tidak sebanyak
dengan jumlah penduduk yang ada di Desa Sidoharjo ini. TUN berharap desanya
ini disebut Desa Sidoharjo, yang memang nama desanya, buka disebut sebagai
“Kampung Idiot”.
“Emmmm,, pripun nggeh mbak. Sing idiot ke sepiro lo, kan mlebu
Sidowayah kono sing paling okeh. Pengenne yo disebut Desa
Sidoharjo ngoten mawon”.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
(TUN, 2015)
Artinya:
“Emmmm,, seperti apa ya mbak. Yang „idiot‟ itu seberapa lo, kan
masuk Sidowayah sana yang paling banyak. Pengenne ya disebut
Desa Sidoharjo gitu saja”.
(TUN, 2015)
Berdasarkan pernyataan TUN tersebut „sing idiot sepiro lo‟(yang „idiot‟
berapa lo) menunjukkan ketidak setujuannya dengan sebutan desanya sebagai
“Kampung Idiot”. Karena sebenarnya masyarakat paling banyak penyandangnya
itu terpusat ada satu Dukuh yaitu Dukuh Sidowayah, walaupun di dukuh lainnya
ada, namun tidak sebanyak yang di dukuh Sidowayah tersebut.Pernyataan
„Pengenne yo disebut Desa Sidoharjo ngoten mawon‟ (pengennya ya disebut
Desa Sidoharjo gitu saja) menunjukkan ketidaknyamanan TUN dengan sebutan
“Kampung Idiot” tersebut.
III.6.2. Kerugian dari Lingkungan Sekitar
Lingkungan sekitar atau warga masyarakat yang tinggal di desa tersebut
yang pihaknya tidak mempunyai keluarga penyandang keterbelakangan
mentalpun merasakan hal yang sama seperti pihak keluaraga penyandang. Seperti
yang dirasakan salah satu informan IIM sebagai warga masyarakat Desa
Sidoharjo, IIM mengaku bahwa pihaknya merasa kurang nyaman dan merasa
malu, jika setiap kali IIM bertemu orang lain maupun kerabatnya yang ada di luar
Kecamatan Jambon, IIM mengaku sering menerima pertanyaan-pertanyaan
mengenai Dusun Sidowayah, bahwa orang mengetahuinya selain sebagai dusun
yang banyak penduduknyayang „idiot‟, juga banyak penduduknya yang tidak bisa
bicara(bisu).
...”prayo isin to mbak, nek pas ketemu wong njobo ngono, ditakok-
takokk i, tiyang Sidowayah niku kok kathah sing idiot ta bu, niku
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
nopo sakeng..,.nopo niku nek mriku niku ngaranine danyangngan.
Wong Sidowayah niku opo danyangnge okeh sing bisu? Ngoten”.
(IIM, 2015)
Artinya:
...”kan ya malu mbak, kalau pas ketemu orang luar gitu, ditanya-
tanyai, orang Sidowayah itu kok banyak yang „idiot‟ ya bu, itu apa
karena.., apa itu kalau disana itu istilahnya leluhur yang sudah
meninggal. Orang Sidowayah itu apa leluhurnya yang sudah
meninggal dulu banyak yang „bisu‟? seperti itu”.
(IIM, 2015)
Menurut pernyataan IIM “Prayo isin to mbak,..” (kan ya malu mbak)
tersebut dapat disimpulkan bahwa, IIM merasa malu dan kurang nyaman dengan
pendapat-pendapat diluar Desa Sidoharjo tersebut yang menganggap Dusun
Sidowayah Desa Sidoharjo masyarakatnya banyak yang bisu dan idiot. Padahal
kategori idiot tersebut hanya diberikan kepada penyandang keterbelakangan
dalam kategori berat.Sedangkan, Jika dibandingkan dengan warga masyarakatnya
yang normal dengan warga masyarakatnya yang penyandang keterbelakangan
mental masih banyak jumlah warganya yang normal.
Pernyataan yang hampir serupa di sampaikan oleh informan DAR.
Menurut DAR banyak anak-anak muda sekarang yang tidak mengakui tempat
tinggalna di Desa Sidoharjo, mereka hanya menyebutkan alamatnya Jambon tanpa
menyebut nama desanya.Menurut DAR, mereka merasa malu jika harus mengakui
bahwa tempat tinggal mereka di Desa Sidoharjo, atau yang dikenal dengan
sebutan “Kampung Idiot”.
..”tapi kalau anak-anak yang muda itu kan biasanya ya mentalnya
agak drop ya malu mungkin. Kan yang awalnya desa yang bisa
dibanggakan akhirnya dengan julukan yang semacam itu secara
otomatis ya nggak tataklah”.
(DAR, 2015)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Artinya:
…”tapi kalau anak-anak yang muda itu kan biasanya ya mentalnya
sedikit drop ya malu mungkin. Kan yang awalnya desa yang bisa
dibanggakan akhirnya dengan julukan yang semacam itu secara
otomatis ya tidak percaya dirilah”.
(DAR, 2015)
Berdasarkan pernyataan dari informan DAR bahwa “mentalnya agak drop
ya malu mungkin” dapat diketahui bahwa banyak anak muda disana yang tidak
percaya diri jika menyebutkan alamat asli mereka ada di Desa Sidoharjo. Mereka
merasa malu jika orang lain mengetahui mereka berasal dari desa yang dikenal
dengan “Kampung Idiot”. Kebanyakan orang dapat membanggakan daerah asal
mereka namun tidak berlaku untuk anak muda yang berasal dari Desa Sidoharjo,
mereka tidak bisa membanggakan daerah asalnya, yang justru harus mereka
sembunyikan karena tidak merasa percaya diri dengan desa mereka yang dikenal
dengan “Kampung Idiot”.
Pernyataan yang sama disampaikan oleh informan LAN, saat LAN bekerja
di Malaysia banyak orang yang menanyakan alamat asli informan. LAN
menjawab berasal dari Desa Sidoharjo Jambon.Dari jawaban LAN tersebut orang
langsung paham bahwa desa tersebut dikenal dengan “Kampung Idiot”.Saat itu
juga LAN merasa sedikit malu.Namun LAN harus menanggapinya dengan
menjelaskan keadaan yang sebenarnya, bahwa memang ada sebagian warganya
yang mengalami keterbelakangan mental, yang memang keadaan masyarakatnya
tersebut tidak bisa dihilangkan begitu saja.
“Jane nggeh rodhok isin. Tapi nggeh niku tapi waktu ngoten,ajeng
diilak i nopo saged lo mbak”.
(LAN, 2015)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Artinya:
“Sebenarnya ya sedikit malu. Tapi ya itu tapi waktu seperti itu, mau
dihilangkan itu apakah bisa mbak”.
(LAN, 2015)
Berdasarkan dari argument informan LAN “Jane yo rodhok isin”
(sebenarnya ya sedikit malu) tersebut dapat diketahui bahwa informan merasa
malu karena ternyata banyak orang diluar sana yang mengenal Desa Sidoharjo atau
Desa Krebet tersebut sebagai “Kampung Idiot”. Sehingga tidak ada respon lain
selain LAN menjelaskan keadaan yang dialami masyarakat yang ada di daerahnya,
yang memang tidak dapat dipungkiri bahwa memang banyak masyarakat yang ada
di desanya yang banyak penyandang keterbelakangan mental, yang menurut LAN
hal tersebut tidak dapat dihilangkan begitu saja.
III.6.3. Kerugian dari Perangkat Desa
Kerugian dengan adanya stigma “Kampung Idiot” tersebut tidak hanya
dirasakan oleh keluarga penyandang keterbelakangan mental dan masyarakat yang
tinggal di lingkungan tersebut saja, namun juga dirasakan oleh perangkat desa
sebagai pihak yang menangani dan mengatur segala macam urusan mulai dari
administrasi, sampai pada segala proses pelaksanaan yang terkait dengan desa dan
warga desa itu sendiri serta proses pembangunan yang ada di suatu desa tersebut.
Menurut salah satu informan MAD sebagai salah satu sekretaris desa atau
carik, MAD mengaku banyak mengalami kendala saat melakukan proses
pencatatan DPT(Daftar Pemilih Tetap) pada saat menjelang Pemilu. Kendala
tersebut terkait masalah identitas para penyandang, hal tersebut dikarenakan
banyak para orang tua penyandang yang tidak segera mengurus akta kerahiran
anaknya tersebut. Sehingga banyak para anggota keluarga penyandang yang tidak
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
mempunyai akta kelahiran, sehingga menurut MAD hal tersebut akan
memberikan banyak kendala saat pencatatan DPT(Daftar Pemilih Tetap) disaat
menjelang Pemilu.
..”kadang niku yo dilematis, dilematis se ngeten, sebagian dari
mereka tidak punya identidas sing pas, mboten ndang didamelne
surat kelahiran akhirnya, mereka lahir kapan niku kita tidak punya
data yang pasti. Tapi berusaha sebisa mungkin mereka harus masuk
DPT, yang sudah menjadi hak mereka”.
(MAD, 2015)
Artinya:
...”kadang itu ya dilematis, dilematisnya seperti ini, sebagian dari
mereka tidak mempunyai identitas yang pas atau benar, tidak segera
dibuatkan surat kelahiran akhirnya, mereka lahir kapan itu kita
tidak punya data yang pasti. Tapi berusaha sebisa mungkin mereka
harus masuk DPT, yang sudah menjadi hak mereka”.
(MAD, 2015)
Berdasarkan pernyataan informan MAD tersebut bahwa ada perasaan
„delematis‟ yang dirasakan MAD. „Delematis‟ menurut pendapat informan MAD
berarti bahwa ada sedikit kerugian yang dirasakan oleh para perangkat desa. Salah
satu kerugian yang dirasakannya adalah perangkat desa kesulitan mendata
keluarga penyandang, dikarenakan banyak penyandang yang tidak mempunyai
akta kelahiran. Sehingga mengakibatkan perangkat desa sulit mendata siapa-siapa
yang masuk dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap).
Kesulitan lain juga dirasakan oleh informan DAR, yang tidak jauh berbeda
dengan pernyataan dari informan MAD. Informan DAR mengaku bahwa
pihaknya kesulitan dalam mendata identitas para penandang keterbelakangan,
bahkan untuk masyarakat yang bukan penyandang keterbelakangan mentalpun
tidak ada kesadaran untuk mengurus KK (Kartu Keluarga) dan KTP (Kartu Tanda
Penduduk).Walaupun menurut DAR sendiri pihaknya sudah sering melakukan
sosialisasi-sosialisasi melalaui acara mantenan maupun kegiatan yasinan di
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
lingkungannya mengenai pentingnya pembutan KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan
KK (Kartu Keluarga).
“Ohh kalau itu yang jelas iya mbak,kesulitan dalam pendataan
identitas mereka. Bahkan masyarakat yang tidak mengalami
gangguan seperti itu pun banyak yang tidak mempunyai kesadaran
untuk mengurus akta, KK bahkan untuk yang sekarangpun banyak
yang tidak punya KTP.”
(DAR, 2015)
Berdasarkan pernyataan dari informan DAR tersebut, pihaknya merasa
kesulitan dalam melakukan pendataan identitas masyarakatnya.Menurutnya, dari
pihak keluarganya sendiri yang bukan penyandang keterbelakanganpun tidak ada
kesadaran untuk mengurus KK maupun KTP anggota keluarganya yang
penyandang keterbelakangan mental tersebut.Sehingga DAR sebagai perangkat
desa merasa kesulitan untuk melakukan rekapitulasi identitas masyarakatnya.
Pengalaman yang hampir sama dialami oleh informan LAN sebagai ketua
RT di dukuh Klitik tersebut. LAN mengaku merasa kebingungan saat melakukan
pendataan untuk pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk) di RTnya.LAN merasa
telah memaksa warganya untuk pembuatan KTP, namun masalahnya banyak
masyarakatnya yang tidak mengingat tanggal dan bulan lahirnya.
“Yo tak pekso ngono yo ra eleng kelahiran tahun pinten, bulan,
tanggal pinten, dino mawon mboten paham. Marahi niku bingung
kolo. Ajeng kolo awur ke yo piye”.
(LAN, 2015)
Artinya:
“Ya tak paksa pun tidak ingat kelahiran tahun berapa, bulan,
tanggal berapa, hari saja tidak paham. Sebabnya itu bingung saya.
Mau saya asal gitu ya bagaimana”.
(LAN, 2015)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
Berdasarkan pernyataan dari informan LAN “Marahi niku bingung kolo”
(sebanya itu bingung saya), berdasarkan pernyataan LAN tersebut informan LAN
merasa kebingungan dalam melakukan pendataan identitas masyarakatnya.Karena
banyak dari masyarakatnya yang tidak mengingat kapan mereka lahir. Sehingga
LAN sebagai ketua RT setempat mengaku merasa kesulitan untuk membuatkan
KTP (Kartu Tanda Penduduk) maupun KK (Kartu Keluarga) dari penduduk
setempat terlebih lagi mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan mental,
karena pihak keluarganya juga tidak mengingat kapan keluarganya tersebut
dilahirkan, hal tersebut dipicu karena telatnya pendaftaran kelahiran yang
dilakukan pihak keluarga tersebut.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
III. 7. MATRIKS INFORMAN PENELITIAN
III.7.1. Matriks Stigma Pada Masyarakat “Kampung Idiot”
MATRIKS INFORMANMASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT”
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO PADA PENDUDUK
KAMPUNG IDIOT
I. INDENTITAS INFORMAN MASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT”
No. Pertanyaan Jawaban
1. Nama (Inisial) ARI IIM
2. Jenis Kelamin Perempuan Perempuan
3. Usia 26 tahun 50 tahun
4. Agama Islam Islam
5. Pekerjaan Pedagang Ibu rumah tangga
6. Pendidikan Terakhir SD SD
II. STIGMA
7. Apa yang diketahui tentang
Keterbelakangan
mental/Retardasi Mental
Keterbelakangan mental itu adalah orang-
orang yang „idiot‟. Penyebabnya dahulu
ada yang melakukan perkawinan sedarah.
Seperti yang dialami oleh tetangganya dulu
Orang yang secara fisik mempunyai kelainan
di tangan sama kakinya. Selain itu juga
kebanyakan dari mereka „bisu‟ (tidak dapat
berbicara). Sehingga mereka sering diminta-
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
menikah dengan orang yang masih kerabat
atau saudaranya sendiri.
mintakan bantuan.
8. Tanggapan mengenai sebutan
Desa Sidoharjo sebagai
“Kampung Idiot”
Sebutan “Kampung Idiot” dinilai kurang
pas. Keinginan tetap ingin desa tempat
tinggalnya tersebut disebut Desa Sidoharjo
saja.
Tidak senang dengan julukan seperti itu. Dan
juga ada rasa malu yang ia rasakan.
9. Bentuk stigma yang pernah
diberikan kepada penyandang
keterbelakangan mental yang
ada di lingkungan sekitarnya
Pihaknya tidak pernah menjuluki
tetangganya yang penyandang dengan
sebutan yang aneh-aneh, tapi pihaknya
pernah melihat beberapa ibu-ibu di
desanya mengusir salah satu penyandang
keterbelakangan mental, pada saat mau
bergabung dengan ibu-ibu tersebut.
Pihaknya tidak pernah memberikan perlakuan
verbal maupun non-verbal. Namun, terkadang
anak-anaknya memberikan sebutan „goblok‟
kepada salah satu penyandang yang sering
kerumahnya.
10. Bentuk stigma yang pernah
diberikan kepada Desa
Sidoharjo
Sering mendengar orang luar menyebut
tempat tinggalnya tersebut sebagai
“Kampung Idiot” (tempat tinggalnya
dikenal dengan sebutan “kampung Idiot”)
Banyak dari masyarakat luar yang mengetahui
informan dari Desa Sidoharjo atau Krebet
pada waktu itu. Masyarakat banyak yang
menanyakan apakah benar bahwa di desa
tersebut masyarakatnya banyak yang idiot,
seperti itu. Selain itu juga banyak yang
menyebut masyarakatnya banyak yang „bisu‟.
III. BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI
11. Diskriminasi dalam aspek
sosial
Masyarakat banyak yang tidak menerima
kehadiran penyandang keterbelakangan
mental. Sehingga dapat diartikan terjadi
penolakan sosial oleh masyarakat sekitar
kepada penyandang yang ada di desanya
Pihaknya mengaku tidak pernah mengundang
penyandang keterbelakangan dirumahnya saat
ada selamatan maupun hajatan dirumahnya.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
tersebut.
12. Diskriminasi dalam aspek
ekonomi
Mengaku tidak pernah mempekerjakan
penyandang, walaupun salah satu
tetangganya ada yang bisa bekerja.
Pihaknya mengaku tidak pernah menyuruh
secara langsung kepada penyandang untuk
bekerja dirumahnya saat informan
membangun rumah. Namun, salah satu
penyandang „Bagong‟ sering datang dan ikut
membantu pekerja yang ada disitu, tanpa ia
menyuruhnya (ikut-ikutan).
13. Diskriminasi dalam aspek
politik
Walaupun masuk DPT, tapi tidak memilih
karena tidak ada pendampingan khusus
dari panitia, sehingga kesulitan untuk
menyalurkan hak pilihnya.
Sepengetahuan informan para penyandang
tersebut tidak dimasukkan dalam DPT(Daftar
Pemilih Tetap).
IV. RESPON YANG DIBERIKAN
14. Respon yang diberikan kepada
seseorang atas perilaku yang
diberikan kepada penyandang
keterbelakangan mental
Biasa saja, karena masyarakat mayoritas
memang sudah seperti itu.
Pihaknya pernah menegur salah satu orang
yang memberikan sebutan yang kurang enak
didengar dengan “Orang tersebut tidak bisa
berbicara adalah sudah menjadi kehendak
Yang Maha Kuasa, apakah kamu mau menjadi
orang seperti dia”. Seprti itu.
15. Respon yang diberikan kepada
masyarakat luar atas stigma
Desa Sidoharjo sebagai
“Kampung Idiot”
Kurang senang. Kenapa harus disebut
k”Kampung Idiot” padahal desa punya
nama sendiri yaitu Desa Sidoharjo.
Menjelaskan keadaan yang sebenarnya, bahwa
memang banyak masyarakatnya yang
mengalami keterbelakangan mental.
16. Perilaku yang diberikan
kepada penyandang
keterbelakangan mental
Diperlakukan sama seperti orang normal
lainnya. Tidak ada pembedaan yang
khusus.
Diperlakukan beda dengan orang normal
lainnya.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
17. Tanggapan terhadap warga
masyarakatnya yang
mengalami keterbelakangan
mental
Mayoritas keluarga penyandang tersebut
adalah keluarga miskin, yaitu keluarga
yang kekurangan untuk hanya mencukupi
kebutuhan sehari-harinya saja.
Penyandang keterbelakangan adalah orang
yang mempunyai keterbatasan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari berbeda
dengan orang normal lainnya.
2. INDENTITAS INFORMAN PIHAK KELUARGA PENYANDANG KETERBELAKANGAN MENTAL
No. Pertanyaan Jawaban
1. Nama TIN SOI
2. Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki
3. Usia 23 tahun 50 tahun
4. Agama Islam Islam
5. Pekerjaan Ibu rumah tangga Buruh tani
6. Pendidikan terakhir SD SD tidak tamat
7. Jumlah keluarga penyandang
keterbelakangan mental
2 orang 2 orang
II. STIGMA
8. Apa yang diketahui tentang
Keterbelakangan
mental/Retardasi Mental
Keterbelakangan mental adalah akibat
kekurangan gizi yang dialami oleh
penderitanya, seperti salah satu anggota
keluarganya tersebut.
Keadaan „idiot‟ seperti yang dialami oleh
anaknya tersebut.
9. Tanggapan mengenai sebutan
Desa Sidoharjo sebagai
“Kampung Idiot”
Kurang enak didengarkan. Kenapa harus
disebut begitu, sangat kurang nyaman
dengan sebutan “Kampung Idiot”.
Biasa saja
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
10. Bagaimana orang
lain/masyarakat memandang
keluarga informan
Orang lain memandang keluarganya
tersebut sangat kasian karena melihat
kondisinya yang seperti itu.
Biasa saja tidak ada perlakuan atau sikap yang
tidak mengenakkan dari masyarakat atau
tetangganya.
11. Bentuk stigma yang pernah
diterima anggota keluarga
yang penyandang
Pernah mendapat julukan peko‟ dan budeg,
dari tetangganya.
Tidak ada
II. BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI
12. Diskriminasi dalam aspek
sosial
Tidak pernah diikutkan dalam kegiatan
pengajian dan juga pada waktu salah satu
anggota keluarga tersebut sakit tidak
pernah ada tetangga yang menawari obat
apalagi sampek dibawakan ke rumah sakit.
-
13. Diskriminasi dalam aspek
Ekonomi
Dulu sebelum ada sumur di lingkungan
tempat tinggalnya, anggota keluarganya
tersebut pernah disuruh kerja ambil air
oleh tetangganya, sekarang tidak pernah
ada yang mempekerjakannya lagi, waktu
tetangganya panen jagung juga tidak ada
yang mempekerjakannya, padahal warga
sekitar tahu bahwa anggota keluarganya
tersebut masih bisa bekerja.
-
14. Diskriminasi dalam aspek
Politik
Dulu sempat dapat undangan sebagai
pimilih, tetapi sekarang tidak pernah.
Anaknya tidak masuk DPT tapi kalau
keponakannya dulu masuk, karena pernah
menerima undangan untuk memilih.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
III. RESPON YANG DIBERIKAN
15. Respon atas stigma yang
diterima
Anggota keluarganya yang penyandang
tersebut pernah marah dan
“nggumeng”(sikap tidak suka), pada saat
ada yang membicarakannya atau mendapat
panggilan-panggilan yang kurang enak
didengar.
Namun, informan sendiri tidak pernah
memberikan respon apapun, mengingat
memang kondisinya seperti itu adanya.
Sehingga sekarang sudah terbiasa.
-
16. Respon atas bentuk-bentuk
diskriminatif yang diterima
Tidak ada. Karena memang keadaanya
seperti itu.
-
17. Respon atas sebutan Desa
Sidoharjo sebagai “Kampung
Idiot
Tidak senang dan harapannya tidak
mendapat sebutan “Kampung Idiot”.
Biasa saja, karena dengan sebutan “Kampung
Idiot” anaknya sering menerima bantuan.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
3. INDENTITAS INFORMAN TOKOH MASYARAKAT
No. Pertanyaan Jawaban
1. Nama MAD WAR DEV INU
2. Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
3. Usia 30 tahun 46 tahun 34 tahun 55 tahun
4. Agama Islam Islam Islam Islam
5. Pekerjaan Petani Pengurus Yayasan
Sekolah
Petani
6. Jabatan di desa Sekretaris Desa Modin Kaur Kesra Mantan Lurah(lurah
pertama)
7. Pendidikan terakhir S1 SD S1 SMP
1. STIGMA
8. Apa yang diketahui
tentang
Keterbelakangan
mental/Retardasi
Mental
Gangguan mental,
yaitu seseorang
yang sejak lahir
punya kelainan
kebatinan, mulai
lahir mempunyai
tanda-tanda yang
berbeda dari
kabanyakan orang
normal lainnya,
sehingga disebut
keterbelakangan
mental.
Keterbelakangan
mental sebenarnya
adalah penyakit
turun-temurun
akibat kekurangan
gizi dan zat
yodium.
Pihaknya sangat
menolak anggapan
bahwa yang terjadi
masyarakat
didesanya akibat
perkawinan
sedarah.
Suatu kondisi
dimana seseorang
mengalami
keterbatasan yang
mana itu bisa kita
lihat dengan
keadaan dia
senantiasa
membutuhkan
bantuan orang lain
dalam kehidupannya
sehari-hari.
Orang-orang yang tidak
bisa berfikir secara
normal.
9. Tanggapan mengenai
sebutan Desa
Sidoharjo sebagai
“Kampung Idiot”
Media yang
menggulirkan isu
sebutan “Kampung
Idiot” atas
kesepakatan desa
sendiri.
Tidak masalah jika
disebut “Kampung
Idiot” karena
memang keadaan
yang ada di
desanya seperti itu
adanya. Serta tidak
ada rasa malu
dengan sebutan
Kurang terlalu tepat
karena dilihat
jumlah penduduk
penyandang itu
prosentasenya kecil
dibandingkan
dengan jumlah
populasi jiwa yang
ada di Desa
Tidak masalah dengan
sebutan “Kampung Idiot”,
karena memang
kondisinya seperti itu.
Pihaknya juga mengaku
sebutan tersebut sengaja
diberikan desa, karena
dengan sebutan tersebut
akan ada kepedulian dari
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
“Kampung Idiot”
tersebut.
Sidoharjo dan real
dilapangan jumlah
penyandang itu
sendiri tidak seperti
jumlah yang
dipublikasikan di
media maka dari itu
sebutan “Kampong
Idiot” kurang tepat.
masyarakat atau
pemerintah.
10. Bagaimana orang di
luar Desa sidoharjo,
memandang Desa
Sidoharjo
Banyak yang
menafsirkan bahwa
satu kampung
warga desanya
„idiot‟ semua.
Bagi yang masih
satu lingkup
Kecamatan Jambon
tidak ada masalah,
mereka
memandangnya
biasa saja, karena
memang
mengetahui
kondisinya seperti
itu. Sedangkan
masyarakat di luar
kecamatan Jambon,
pastinya mereka
kebanyakan
menanyakan
kebenaran akan
Desa Sidoharjo
yang
masyarakatnya
banyak yang
Masyarakat luar
mengira
bawasannya jumlah
penyandang
keterbelakangan
mental yang ada di
Desa Sidoharjo ini
sangat banyak.
Sehingga anggapan-
anggapan
masyarakat luar
tentang kondisi
Desa Sidoharjo
banyak yang kurang
benar.
Banyak yang menganggap
masyarakat Desa
Sidoharjo „bodoh‟ semua
dan daerahnya pinggiran.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
„idiot‟.
11. Bentuk stigma yang
pernah diterima
anggota keluarga yang
penyandang
Pengalamannya
sendiri pernah
waktu masih
sekolah dijuluki
„mendho‟ dan
sebutan „Robet‟
(orang krebet).
Selain itu juga
pernah melihat
tetangganya yang
keterbelakangan
tersebut diusir dari
sebuah acara
hajatan perkawinan.
Pihaknya sendiri
mengaku tidak
pernah memberikan
stigma apapun,
namun masyarakat
biasa memanggil
Nardi(salah satu
nama penyandang)
dengan sebutan
„Bagong‟. Dan ada
tiga penyandang
yang diberikan
julukan yang sama
tersebut.
Pihaknya mengaku
tidak pernah
memberikan stigma
khusus kepada
penyandang, namun
pihaknya pernah
menjumpai salah
satu penyandang
mendapat panggilan
seperti sebutan
goblok, pekok,
mendho kepada
penyandang
keterbelakangan
mental tersebut.
-
2. BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI
12. Diskriminasi dalam
aspek sosial
Penolakan dalam
suatu acara hajatan
tersebut. Kalau
untuk masalah
kepedulian antar
sesama
- Penyandang
tidak
diikutsertakan
dalam kegiatan
lomba-lomba
seperti
agustusan.
- Ada beberapa
penyandang
yang dibedakan
sama
lingkungan
karena
Belum ada
pendidikan inklusi
di desanya,
mengingat belum
adanya pengajar
yang khusus di
bidangnya.
Pihaknya juga
pernah mendapat
cerita dari
tetangganya, yang
pernah ditilang
polisi karena
Kalau untuk ada
pengajian atau acara
hajatan perkawinan tidak
diberikan duduk depan,
namun tetap masih
diperlakukan sama
dengan orang normal
lainnya.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
perilakunya
yang kadang
membahayakan
orang lain,
karena ada
beberapa
penyandang
yang suka
„ngamuk‟ (main
kasar kepada
orang lain).
menerobos lampu
merah, setelah
tetangganya
menyebutkan
rumahnya
Sidoharjo, polisi
tidak jadi
menilangnya.
13. Diskriminasi dalam
aspek ekonomi
Pihaknya mengaku
tidak pernah
memberikan suatu
pekerjaan kepada
salah satu
penyandang,
walaupun pihaknya
sendiri mengetahui
bahwa ada tiga
penyandang yang
bisa bekerja dengan
baik.
Pihaknya tidak
pernah memberikan
pekerjaan kepada
penyandang,
walaupun masih
ada yang dapat
bekerja dengan
baik.
- -
14. Diskriminasi dalam
aspek politik
Ada beberapa
penyandang yang
dimasukkan dalam
DPT, tapi bagi yang
masuk DPT tidak
ada pendampingan
- - -
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
khusus dari panitia.
Yang penting sudah
penyandang yang
yang terdafatar
dalam DPT.
3. RESPON YANG DIBERIKAN
15. Respon ketika
warganya yang
penyandang
keterbelakangan
mental mendapatkan
stigma dari masyarakat
lain
Langsung
memberikan
teguran kepada
orang tersebut,
dengan
memahamkan
bahwa seorang
penyandang juga
manusia, yang
butuh berkumpul
dengan orang lain
juga.
-
16. Respon dengan stigma
Desa Sidoharjo
sebagai “Kampung
Idiot”
Menjelaskan
keadaan yang
sesungguhnya.
Namun juga tidak
menutupi bahwa
memang sebagian
masyarakatnya ada
yang penyandang
keterbelakangan
mental.
Biasa saja,
mengingat kondisi
di desanya memang
seperti itu. Serta
tidak ada rasa malu
dengan sebutan
“Kampung Idiot”
tersebut.
Bagi orang yang
belum tahu kondisi
yang sebenarnya,
berusaha
menjelaskan
keadaan yang
sebenarnya,
sehingga sebutan
“Kampung Idiot”
tersebut dinilai
Biasa saja, karena
memang kondisi
masyarakatnya seperti itu
adanya.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
kurang tepat.
17. Perlakuan terhadap
warganya yang
penyandang
keterbelakangan
mental dengan yang
bukan penyandang
keterbelakangan
mental (normal)
Secara keseluruhan
secara sosial
diperlakukan sama,
namun dalam hal
tertentu seperti
bantuan sosial para
penyandang yang
akan lebih
diutamakan.
Ada perbedaan
perlakuan, bagi
penyandang
keterbelakangan
mental diberikan
beberapa keutamaan
seperti untk
menerima
pengobatan gratis
atau bantuan-
bantuan lainnya
lebih diutamakan
daripada masyarakat
normal lainnya.
Diperlakukan
secara berbeda,
mengingat
kebutuhan orang
normal dengan
yang mempunyai
keterbelakangan itu
berbeda. Sikap kita
kepada merekapun
pasti akan berbeda.
Diperlakukan sama
seperti masyarakat normal
lainnya.
18. Solusi mengenai
permasalahan yang
dialami oleh warganya
tersebut
Karena memang
penyebabnya itu
kekurangan gizi dan
zat yodium, maka
memberikan
bantuan garam
yodium itu perlu
serta sosialisasi
niku ibu hamil, ibu
menyusui dan balita
itu butuh asupan
gizi yang baik.
Solusi yang sudah
pemerintah berikan
adalah pemberian
bantuan garam
yodium mbak, itu
setiap tahun rutin,
dan membantu
sekali.
Selain itu juga
semakin
meningkatnya taraf
hidup
masyarakatnya dan
kesadaran akan gizi,
sedikit-demi sedikit
- Berupa
pemberian
JADUP atau jatah
hidup untuk
mereka dari
kementerian
- Focus kepada ini
bantuan aktifitas
keseharian
mereka yakni
dengan
memberikan
pendampingan
dan pelatihan itu
bagi para
Dengan memberikan
bantuan-bantuan kepada
mereka, untuk
meringankan beban hidup
mereka. Karena mayoritas
keluarga penyandang
termasuk keluarga yang
menengah kebawah.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
jumlah penderita
berkurang.
penyandang
dalam
kehidupannya
sehari-harinya.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
III.7.2. Matriks Informan Self Masyarakat “Kampung Idiot”
MATRIKS INFORMANMASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT”
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO PADA PENDUDUK
KAMPUNG IDIOT
I. IDENTITAS INFORMAN No. Pertanyaan Jawaban
1. Nama (Inisial) SOI DAR TUN LAN MAN
2. Jenis Kelamin Laki-Laki Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Laki-Laki
3. Usia 50 tahun 29 tahun 54 tahun 48 tahun 26 tahun
4. Agama Islam Islam Islam Islam Islam
5 Pekerjaan Buruh Tani Fotografer Ibu Rumah Tangga Petani/Ketua RT Sopir
6. Pendidikan Terakhir Tidak Tamat SD SMA Tidak Tamat SD SD SMA
II. “SELF”/KONSEP DIRI 7. Bagaiman memaknai
dirinya sebagai
keluarga, orang tua
dari anak
berkebutuhan khusus
dan masyarakat
Kejadian yang
menimpa anaknya
dianggap
merupakan
kesalahannya
sebagai orang tua
yang kurang cepat
mengambil
tindakan saat
anaknya
Kejadian yang
menimpa
masyarakat d
desanya sebagian
dimaknainya
sebagai bentuk
hukuman dari
Tuhan, karena
dulunya ada yang
durhaka kepada
Karena kejadian
yang menimpa
kedua keluarganya
tersebut sudah
sejak dia
dilahirkan, maka
hal ini sudah
menjadi takdir dari
Tuhan, yang harus
keluarga hadapi
Kejadian yang
menimpa
masyarakatnya
dimaknai sebagai
akibat kekurangan
gizi, karena
hampir sebagian
besar keluarga
penyandang
keterbelakangan
Mayoritas
penyandang
keterbelakangan
tersebut telah
mereka alami
sejak lahir, dengan
keadaan yang
memang seperti
itu. Hal tersebut
juga dipengaruhi
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
“Kampung Idiot” mengalami
kejang-kejang dan
demam tinggi.
Karena saat lahir
sampek usia 7
bulan anaknya
sehat dan normal
tanpa ada cacat
fisik maupun
mental.
orang tuanya.
Namun, secara
keseluruhan ini
memang akibat
masyarakatnya
yang kekurangan
gizi yang cukup.
untuk menerima ini
semua.
mental adalah
keluarga
menengah
kebawah atau
dalam kategori
dibawah garis
kemiskinan.
oleh faktor
kemiskinan dan
tempat tinggal
mereka di
pinggiran yang
jauh dari fasilitas-
fasilitas umum.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
III.7.3. Matriks Informan Identity Masyarakat di Luar “Kampung Idiot”
MATRIKS INFORMANMASYARAKAT DI LUAR “KAMPUNG IDIOT”
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO PADA PENDUDUK
KAMPUNG IDIOT
I. IDENTITAS INFORMAN No. Pertanyaan Jawaban
1. Nama (Inisial) INA WAN ENA YAH
2. Jenis Kelamin Perempuan Laki-Laki Perempuan Perempuan
3. Usia 40 tahun 35 tahun 25 tahun 50 tahun
4. Agama Islam Islam Islam Islam
5 Pekerjaan Ibu rumah tangga Satpam Kantor
Pemkap
Pelatih Kursus
Mengemudi
Pedagang
6. Pendidikan Terakhir SMA SMA SMA SD
II. “IDENTITY” 7. Bagaimana memandang
dan memaknai Desa
Sidoharjo sebagai
“Kampung Idiot”
Kejadian yang
menimpa Desa
Sidoharjo salah satu
desa yang banyak
masyarakatnya yang
berketerbelakangan
mental disebabkan
Kejadian yang turun
temurun dari jaman
nenek moyang
mereka. Tidak percaya
dengan kabar yang
beredar karena akibat
perkawinan sedarah.
Bisa disebabkan oleh
kutukan, seperti kabar
yang beredar di
masyarakat Ponorogo.
Namun, kejadian satu
kampung menderita
keterbelakangan mental
Kejadian turun-
temurun yang telah
terjadi sejak jaman
nennek moyang
mereka. Hal tersebut
dipengaruhi salah
satunya adalah lokasi
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A
beserta alasannya oleh faktor ekonomi
sehingga banyak
masyarakatnya yang
kekurangan gizi.
Namun, juga
disebabkan oleh incest
atau perkawinan
sedarah, karena
memang mereka
hanya berinteraksi
dengan kelompok
masyarakat mereka
saja akibat lokasi
mereka yang jauh
dengan kampung atau
desa lainnya.
Kondisi yang ada di
desa itu akibat ada
sebagian
masyarakatnya yang
telah melanggar salah
satu pantangan yang
ada di desa tersebut,
yaitu dialarang
membersihkan salah
satu makam yang ada
di desa itu, namun ada
sebagian masyarakat
yang telah
membersihkannya.
Akibatnya berdampak
seperti apa yang
dialami oleh
masyarakatnya
tersebut.
seperti yang ada di
Desa Sidoharjo
tersebut, bisa juga telah
menjadi takdir dari
Yang Maha Kuasa.
desa mereka yang ada
di pinggir hutan yang
jauh dari desa lain
maupun pusat kota.
Akibatnya banyak
masyarakatnya yang
melakukan perkawinan
sedarah atau kedekatan
darah. Sehingga
berakibat kepada
keturunan-keturunan
mereka, yang terjadi
hingga saat ini.