Upload
lamphuc
View
257
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB III
KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID
A. Biografi Nasr Hamid Abu Zaid
a. Sejarah Hidup, Latar belakang Pendidikan dan Kondisi Sosial Politik
keagamaan
Nashr Hamid Abu Zaid dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1943 di desa
Qahafah dekat kota Thantha, Mesir. Bapaknya adalah seorang aktifis Al-
Ikhwan al-Muslimin dan pernah dipenjara menyusul dieksekusinya Sayyid
Quthb.1 Sebagaimana kebiasaan di Mesir, anak-anak kecil sudah mulai
belajar menulis kemudian menghafalkan al-Qur’an. Begitu juga dengan
Abu Zaid, dia mulai belajar dan menulis semenjak umur empat tahun,
kemudian menghafal al-Qur’an di Kuttab di desanya Qahafah. Dia mampu
menghafal al-Qur’an pada usia delapan tahun, karena itulah, kawan-
kawannya memanggil “Syaikh Nashr”.2 Di luar pendidikan non
formalnya (mengaji), penulis kitab dia juga menempuh pendidikan formal
pada Madrasah Ibtida’iyyah (SD) di kampung halamannya pada tahun
1951. Setamat dari sini, dia sebenarnya ingin melanjutkan pada sekolah
menengah umum, Al- Azhar. Namun orang tuanya tidak menghendakinya,
dan akhirnya dia memenuhi kehendak orang tuanya dengan melanjutkan
1 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr
Hamid Abu Zaid, Jakarta: Teraju, 2003, hlm. 15-16. 2 Ibid., hlm. 150.
49
pendidikannya di Sekolah Teknologi di Distrik Kafru Zayyad, Provinsi
Gharbiyyah.3
Meski gagal masuk di Al-Azhar, semangat Abu Zaid untuk
mempelajari pemikiran Islam tidak surut. Di sela-sela aktifitasnya berse-
kolah, ia menyempatkan untuk membaca buku-buku pemikiran Islam.
Antara lain karya-karya Al-Manfaluthy, Yusuf Al-Syiba’iy, Taufiq Al-
Hakim, Al-‘Aqqad, Najib Mahfud dan Taha Husein. Bahkan dia sering
mengadakan diskusi dengan pemikir Islam lainnya, semisal Jabir Ushfur,
Sayyid al-Hulwu, Mohammad Mansi Qindil, Farid Abu Sa’dah, M. Shaleh
dan Said Kafrawi. Aktivitasnya ini sempat dicurigai aparat setempat yang
akhirnya menjebloskan dirinya ke penjara.4
Selain aktif di dunia pemikiran/intelektual, Abu Zaid juga aktif dalam
dunia gerakan, pada usianya yang masih sangat belia pada umur sebelas
tahun, ia ikut bergabung dalam gerakan Al-Ikhwan al-Muslimin yang
dipimpin Sayyid Qutbh pada tahun 1954. Dalam aktifitasnya meng-ikuti
gerakan ini, dia pernah dijebloskan dalam penjara, tetapi karena usianya
masih di bawah umur, akhirnya dia dibebaskan dari penjara.
Pada awalnya, dia tertarik dengan pemikiran Sayyid Qutbh dalam
bukunya Al-Islam wa al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah (Islam dan Keadilan
Sosial).5 Khususnya yang menekankan pada aspek keadilan dalam
3 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islamdari Abu Bakar Hingga Nasr dan Qardhawi, Ban-
dung: PT Mizan Republika, hlm, 349.. 4 Ibid,. 5 Moch. Nur Ichwan, Loc. Cit.
50
menafsirkan Islam. Tetapi, dalam pengembaraan intelektualnya, akhirnya
di yang mengkritik pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb.
Setelah kematian ayahnya, ketika ia berusia empat belas tahun, dia
bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya. Dia bekerja sebagai
seorang teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo
pada tahun 1960 sampai tahun 1972.6 Dalam keterangan yang lain, se-
tamat dari studi menengahnya, dengan meraih ijazah diploma (setingkat
SMU) sambil bekerja di sebuah perusahaan kabel (1961-1968) 7
Di tengah-tengah aktifitas bekerja, dia juga rajin menulis artikel. Pada
tahun 1964 artikel pertamanya terbit dalam sebuah Jurnal yang dipimpin
oleh Amin al-Khuli, Al-‘Adab. Ini adalah awal hubungan dia dengan
seorang pemikir Islam dalam studi al-Qur’an di Mesir yang menawarkan
tentang pendekatan susastra (al-manhaj al-adabi) atas teks al-Qur’an.8
Tokoh inilah yang banyak mempengaruhi pemikiran dia di kemudan hari.
Pada tahun 1968, Abu Zaid melanjutkan studinya di jurusan bahasa
arab dan sastra arab di Universitas Kairo. Sambil tetap bekerja di siang
hari dan masuk kuliah di malam hari. Kira-kira empat tahun ia me-
nyelesaikan tugas studinya. Pada tahun 1972 dia berhasil menyelesaikan
dengan predikat cum laude (memuaskan). Setelah itu dia diangkat sebagai
asisten dosen.
Sebagai sarat untuk menjadi asisten dosen adalah mengambil studi
Islam sebagai bidang utama dalam riset master dan doktornya. Terpaksa
6 Ibid. 7 Hery Sucipto, Loc. Cit., hlm, 349.. 8 Moch. Nur Ichwan, Op. Cit., hlm. 150.
51
dia mengubah dari bidang murni linguistik dan kritik sastra menjadi studi
Islam, al-Qur’an. Mulai saat itulah dia melakukan studi tentang al-Qur’an
dan problem interpretasi dan hermeneutika.9 Setamat dari (S1), Abu Zaid
langsung melanjutkan pascasarjana (S2) di universitas yang sama. Dalam
tesis masternya Abu Zaid menulis tentnag konsep metafor dalam al-
Qur’an yang dipakai oleh aliran mu’tazilah, The Concept of Metaphor as
Applied to the Qur’an by Mu’tazilities.
Pada tahun 1992, Abu Zaid diusulkan untuk dipromosikan menjadi
professor (al-ustadz). Akan tetapi promosinya tersebut ditolak karena
tesisnya dianggap telah keluar dari nilai-nilai keimanan. Sejak itu,
tepatnya 16 Desember 1993, menyebar hujatan yang ditujukan kepadanya.
Terutama dilakukan oleh Dr. Sabur Syahin. Dr Syahin mengumandangkan
ke-kafir-an Abu Zaid ke seluruh mesir, melalui koran, majalah, dan
khotbah-khotbah di mesjid-mesjid. Opini tentang kekafiran Abu Zaid me-
maksa pengadilan menjatuhkan vonis “murtad” dan harus bercerai dengan
istrinya.10
Demikian berat konsekwensi bagi orang yang ingin mengem-bangkan
pemikiran dalam dunia Islam. Kasus semacam ini bukanlah yang pertama
kalinya, sebelumnya para pedahulunya seperti Ahmad Khalafullah (The
Art Narration in the Qur’an), Ali Abd. Ar-Raziq (Islam and Principles of
Political Authority) dan Taha Husain (Pre-Islamic Poetry) juga
mengalami nasib yang sama. Semenjak peristiwa itu, Abu Zaid pindah ke
9 Ibid., hlm 17 10 M. Hanif A, Nasr Hamid Abu Zaid, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta:
Jendela, 2003, hlm. 356-357.
52
Belanda dan menjadi guru besar di Universitas Leiden Belanda, sampi
sekarang.
Kondisi Sosial Politik Keagamaan
Secara politis, Mesir merupakan bekas negara jajahan Perancis.
Ketika itu, Napoleon melakukan ekspansi wilayah kekuasaannya setelah
terjadinya revolusi Perancis pada tahun 1789. dan Mesir menjadi sasaran
utama ekspansi yang dilakukan olehnya. Dengan pertimbangan bahwa
Mesir merupakan wilayah yang strategis untuk dijadikan pijakan dalam
menguasai kerajaan-kerajaan besar. Pada tanggal 22 juli 1798 Mesir jatuh
di tangannya tanpa ada perlawanan yang berarti.11
Yang menarik dari ekspedisi Napoleon adalah bahwa dia tidak hanya
membawa tentara saja. Tetapi dia juga membawa 500 orang sipil dan 500
orang wanita. Diantara kaum sipil tersebut ada sejumlah 167 ahli dalam
berbagai cabang ilmu pengetahuan. Dia juga membawa dua unit
percetakan dengan huruf Latin, Arab dan Yunani. Ternyata, tujuan ekspe-
disi dia tidak hanya untuk kepentingan militer saja, tetapi juga untuk
keperluan ilmiah dengan mendirikan lembaga ilmiah yang bernama
Institut d’Egypte.12 Dalam lembaga tersebut ada empat bagian keilmuan
yang dipelajari: [1] bagian ilmu pasti, [2] bagian ilmu alam, [3] bagian
ilmu ekonomi-politik, dan [4] bagian sastra-seni.
11 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
2003, hlm. 22. 12 Ibid.
53
Pemikiran Abu Zaid, juga tidak bisa lepas dari konteks wacana agama
kontemporer dalam menyikapi turats (warisan intelektual) dan gelombang
tajdid (pembaruan). Wacana keagamaan dihadapkan pada posisi dilematis
antara mempertahankan identitas diri dan modernisasi. Desakan dari
proses modernisasi, telah memunculkan reaksi kuat dari kelompok Islam
radikal dengan menyerukannya diterapkannya syari’at Islam dalam
berbagai aspek kehidupan. Sementara di kutub lain juga muncul tuntutan
untuk bersikap moderat atas nama pembaruan dan menjadikan Islam
sebagai basis ideologi. Seruan ini dilakukan oleh Islam moderat sebagai
anti-tesis dari Islam ekstrim.13
Ada dua trend aliran besar yang mewarnai keberagamaan masyarakat
Mesir. Yaitu: kelompok Islamis (al-Islamiyyun) dan kelompok sekuler (al-
‘almaniyyun). Kelompok Islamis ini dibagi menjadi dua corak; Islamis
radikal (al-mutatharrifun) dan Islamis moderat (al-mu’tadilun). Yang
masuk Islamis radikal adalah kelompok Al-Jihad dan Al-Jama’ah al-
Islamiyyah, sedangkan yang masuk kelompok Islamis moderat adalah Al-
Ikhwan al-Muslimun dan para Islamis lainnya yang tidak menggunakan
kekerasan dalam menyebarkan agama. Sementara kaum sekularis adalah
para intelektual muslim progresif independen, penulis dan akademisi,
13 Sunarwoto, Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi Studi-Studi Al-Qur’an, dalam Herme-
neutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003, hlm. 105.
54
yang menolak diberlakukannya Syari’at Islam yang dipahami secara
sempit sebagai hukum Islam, sebagai hukum positif. 14
Seiring dengan wacana agama yang berkembang, baik yang ekstrim
maupun yang moderat, Abu Zaid memandang perlu rekonstruksi ilmu-
ilmu al-Qur’an tradisional secara kritis dan dilandasi kesadaran ilmiah
terhadap turats (al-wa’y al-‘il bi at-turats). Ada dua tujuan utama dalam
upayanya tersebut.15 Pertama, merajut kembali hubungan antara kajian al-
Qur’an dengan kajian-kajian sastra dan kajian-kajian kritis. Kajian ini
sebagai tindak lanjut dari proyek Professor Amin al-Khulli. Kedua, upaya
mendefinisikan konsep “Islam” secara obyektif, agar tidak terjebak dalam
kepentingan ideologis.
b. Geneologi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid
Nashr Hamid Abu Zaid dari sisi pemikiran banyak dipengaruhi oleh
para pemikir yang mengikuti trend kritik sastra, baik terhadap al-Qur’an
maupun literatur eksegetiknya. Yang kemudian, sebagaimana dikutip oleh
Nur Ichwan dari Willem A. Bijlefeld, Some Recent Contribution to al-
Qur’anic Studies yang menyatakan bahwa trend ini diikuti dengan kritik
historis dan kritik filologis yang digunakan dalam menganalisis al-Qur’an
14 Moch. Nur Ichwan, Al-Qur’an Sebagai Teks (Teori Teks Dalam Hermeneutik Al-Qur’an
Nasr Hamid Abu Zaid), dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, hlm. 26..
15 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKiS, (edisi revisi), 2002, hlm. 13-14.
55
dan literatur eksegetik.16 Pemikir Islam yang pertama kali menggunakan
pendekatan kritik histories adalah Amin al-Khuli (w. 1967) pada tahun
1930-an. Trend ini dikembangkan generasi berikutnya oleh Ahmad
Khalafallah dalam disertasinya yang kontroversial Al-Fann Al-Qashashi fi
Al-Qur’an Al-Karim (Genre Naratif Dalam Al-Qur’an), Syukri ‘Ayyad
dalam Yawm al-Din wa al-Hisab fi al-Qur’an (Hari Agama dan
Perhitungan dalam al-Qur’an), dan ‘Aisyah Abd al-Rahman Bintu al-
Syathi’ dalam bukunya Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim (Tafsir
Retoris atas al-Qur’an) yang selanjutnya diikuti oleh Nasr Hamid Abu
Zaid dalam karya-karyanya.17
Di samping ulama’-ulama’ diatas, Abu Zayd juga pernah belajar dari
Sayyid Qutbh (1906-1966), pemimpin gerakan Islamis moderat (Al-
Ikhwan Al-Muslimin) pasca wafatnya sang pendiri Hasan Al-Banna pada
tahun 1949. Tetapi pemikiran Sayyid Qutbh tidak dikembangkan oleh Abu
Zaid. Justru, pada akhirnya dia tidak sepakat dengan pola pikir yang
dikembangkan oleh organisasi ini. Dan dia lebih condong pada pemikiran
kelompok-kelompok sekularis yang diwakili oleh Syaikh ‘Ali ‘Abd al-
Raziq (1888-1966), Thaha Husayn (1889-1973), Zaki Najib Mahmud
(lahir 1905), Mahmud Nuwayhi (1917-1980), Fu’ad Zakariya (lahir 1927),
Muhammad Sa’ad Al-‘Asymawi (lahir 1932) Faraj Fudah (1945-1992),
Hasan Hanafi (lahir 1935).
16 Moch. Nur Ichwan, Meretas, Op. Cit., hlm. 3. 17 Moch. Nur Ichwan, Al-Qur’an Op. Cit., hlm. 4.
56
Di samping, pemikir-pemikir Islam, pemikiran Abu Zaid juga tidak
lepas dari pemikir-pemikir barat. Terutama ketika dia melakukan kajian
hermeneutik. Dalam tulisannya yang bertitel Hermeneutika dan Problem
Penafsiran Teks (terj.) dalam Isykaliyat al-Ta’wil wa Aliyat al-Qira’ah,
dia memaparkan beberapa pemikiran ilmuwan barat yang mengakaji
tentang hermeneutika. Tentu saja pemikiran para ilmuwan tersebut sangat
berpengaruh terhadap pemikiran-pemikirannya. Mulai dari hermeneutika
Scheleirmacher (1813) sampai hermeneutika modern hirsch. Ada sekitar
tujuh tokoh hermeneutika barat yang mempengaruhi pemikiran Abu Zaid.
Diantaranya adalah Scheleirmacher , Dilthey, Gadamer, Heideger, Betti,
Paul Recoeur dan Betti.
c. Karya – karya Nasr Hamid Abu Zaid
Sebagai pemikir besar Islam, tentunya banyak karya yang lahir dari
pena Abu Zaid. Meski kondisi sosial politik yang terjadi di Mesir tidak
memberi ruang kebebasan berfikir baginya, tetapi darinya muncul banyak
karya monumental. Ada yang menerima dan ada yang menolak, itu
merupakan hal yang biasa dalam khasanah pemikiran Islam.
diantara karya-karya dia yang belum dan sudah diterbitkan adalah:
1. Al-Hirminiyyuthiqa wa Mu’dhilat Tafsir al-Nashsh, Fushul 1:3,
April 1981; diterbitkan ulang dalam Isykaliyyat.
2. (1982) Al-Ittijah al-‘Aqli fi al-Tafsir: Dirasat fi Qadiyyat al-Majaz
‘Inda al-Mu’tazilat (Kecenderungan Rasional dalam Penafsiran:
57
Studi atas Persoalan Metafor dalam Al-Qur’an Menurut Kalangan
Mu’tazilah), Beirut.
3. (1983) Falsafat al-Ta’wil: Dirasat fi Ta’wil al-Qur’an ‘Inda Muhyi
al-Din Ibn ‘Arabi (Filsafat Hermeneutik: Studi atas Hermeneutik
al-Qur’an Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi), Kairo.
4. (1990) Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Konsep
Teks: Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an), Kairo.
5. (1994) Naqd al-Khitab al-Dini (Kritik Wacana Keagamaan),
Kairo.
6. (1995) Al-Tafkir fi Zaman al-Tafkir: Didda al-Jahl wa al-Zayf wa
al-Khurafat (Pemikiran di Zaman Pengkafiran: Menentang
Kebodohan, Kekeliruan Dan Khurafat), Kairo.
7. (1995) Al-Nash, al-Sulthat, al-Haqiqat: Al-Fikr al-Dini Bayna
Iradat al-Ma’rifat (Teks, Kekuasaan, dan Esensi: Pemikiran
Keagamaan antara Kehendak Pengetahuan), Kairo.
8. (1999) Dawa’ir al-Khawf: Qiraat fi Khitab al-Mar’at (Wilayah
Ketakutan: Pembacaan Atas Wacana Perempuan)
9. (2000) Al-Khitab wa al-Ta’wil (Wacana dan Hermeneutika), Dar
al-Beida.
10. (2000) The Qur’an: God and Man in Communication (Al-Qur’an:
Tuhan dan Manusia dalam Komunikasi), Leiden.
58
B. Konsep Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid
Mengawali pembahasan mengenai konsep hermeneutika Nasr Hamid Abu
Zaid ini, tidak salahnya apabila kita terlebih dahulu melihat kepada bangunan
teori hermeneutika dalam khasanah pemikiran Islam. Ini penting kaitannya
dengan penolakan sejumlah pemikir Islam terhadap hermeneutika. Penolakan
ini, disebabkan asumsi bahwa hermeneutika adalah milik orang kristiani, dan
Islam tidak mengenal istilah hermeneutika. Berikut adalah pernyataan Abu
Zaid:
“Al-hermeneutika – idzan – qadliyyatun qadimatun wa jadidatun fi nafs
al-wakti, wa hiya fi tarkizihi ‘ala alaqati al-mufassir bi al-nash laisat
qadliyyatan khasanatan bi al-fikri al-gharbi, bal hiya qadliyyatun laha
wujuduha al-mulih fi turasina al-arabi al-qadim wa al-hadits ‘ala al-sawa.”
(Artinya: hermeneutika – kemudian – adalah diskursus lama dan sekaligus
baru. Titik bahasan dia tentang relasi penafsir dan teks itu bukan hanya
diskursus dalam pemikiran barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga
ada dalam tadisi arab, baik arab lama maupun sekarang).18
Pembahasan pertama kali Abu Zaid mengenai hermeneutika terdapat
dalam karyanya yang berjudul “Al-Hirminiyutiqa wa Mu’dhilat Tafsir al-
Nashsh” (Hermeneutika Dan Problem Penafsiran Teks). Tulisan ini muncul
setelah dia menjadi fellow pada Centre For Middle East Studies di Universitas
Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, di mana dia mempelajari ilmu-
18 Dalam pengantar redaksi Nasr Hamid Abu Zaid, Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat al-
Ta’wil, diterjemahkan oleh Muhammad Mansur dan Khoiron Nahdliyyin, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, Jakarta: ICIP, 2004, hlm. ix.
59
ilmu sosial dan humanitas, khususnya tentang ilmu-ilmu cerita rakyat
(folklore). Pada saat itulah Abu Zaid akrab dengan hermeneutiak barat.19
Dalam tulisannya dia menjelaskan bahwa persoalan mendasar dalam
hermeneutika adalah penafsiran teks, baik teks historis maupun teks agama.
Relasi antara watak dasar teks dengan turats satu sisi dan di sisi lain relasi
antara teks dengan pengarangnya menjadi persoalan serius dalam wilayah
hermeneutika. Diantara sekian persoalan, Abu Zaid memposisikan relasi
antara mufassir dan teks sebagai persoalan yang paling krusial. Dengan
demikian, titik pangkal persoalan dalam hermeneutika adalah relasi antara
mufassir (reader) dan teks (text).20 Sepertinya dia tidak begitu mempersoalkan
relasi antara pengarang (author) dengan pembaca, maupun pengarang dengan
teks. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam hermeneutika meniscaya-
kan adanya relasi trilogi (pengarang/teks/pembaca). Sayang dalam mensikapi
hal tersebut dalam tulisan ini, Abu Zaid tidak memberikan jawaban yang
cukup jelas
Dalam karya yang sama, dia justru melanjutkan dengan memaparkan
pendapat beberapa pemikir barat mengenai relasi antara trilogi tersebut.
Diantaranya Plato, Aristoteles, T.S. Eliot, Schleiermacher, Wilhelm Dilthey,
Martin Heidegger, Gadamer, Betti, Paul Ricoeur dan Hirsh.
Penjelasan mengenai relasi antara teks dengan penafsir, Abu Zaid
menjelaskan dalam karya berikutnya yang berjudul Naqd al-Khitab al-Dini.
19 Menurut pengakuannya kepada Moch. Nur Ichwan, sebelum Abu Zaid menuju ke Amerika Serikat, Hassan Hanafi menyarankan agar dia mendalami hermeneutika untuk memperkaya pengetahuan teoritis tentang problem pemahaman dan interpretasi. Wawancara personal, 2 Agustus 1998. lihat Moch. Nur Ichwan, Meretas, Loc. Cit., hlm. 46.
20 Nasr Hamid Abu Zaid, Isykaliyyat, Op. Cit., hlm. 3.
60
Namun sebelumnya penulis hendak membahas terlebih dahulu tentang konsep
teks menurut Abu Zaid. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa problem
utama hermeneutika adalah penafsiran terhadap teks. Kaitannya dengan
khasanah ke-Islam-an, teks yang menjadi pokok kajian dalam memproduk
hukum (ijtihad) adalah al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi yang banyak
dijadikan sebagai obyek kajian adalah al-Qur’an. Ini sangat wajar karena al-
Qur’an sebagai sumber utama dalam ijtihad. Disamping itu, al-Qur’an
mempunyai sifat otoritatif dari sisi kebahasaan. Sifat otoritatif yang dimaksud
adalah, bahwa al-Qur’an dari sisi bahasa diyakini sebagai bahasa tuhan. Inilah
yang menjadi problem utama, sehingga konsentrasi kajian hermeneutika
dalam Islam lebih ditujukan kepada al-Qur’an, bukan berarti menafikan teks-
teks keagamaan yang lain.
Persoalan teks mejadi sangat penting dalam peradaban umat Islam. Ada
beberapa hal yang menjadi titik pijakan. Pertama, bahwa sumber hukum
Islam termanifestasikan dalam wujud teks (Al-Qur’an dan Hadits); kedua,
sebagai pedoman hidup (way of life) umat Islam juga tertuang dalam teks;
ketiga, peradaban arab-Islam adalah peradaban “teks”.21 Teks dalam bahasa
Paul Rocoeur adalah setiap diskursus yang ditetapkan dalam bentuk tulisan
(any discourse fixed into writing). Dalam wilayah sebagai sumber hukum
Islam (mashdar al-hukm al-Islamiy).inilah, al-Qur’an maupun Hadits men-
dapat perhatian yang serius dari kalangan umat Islam, baik dalam rangka
21 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum, Op. Cit., hlm. 1-2.
61
kepentingan memproduk suatu hukum baru (ijtihad), maupun dalam rangka
kepentingan pengembangan khasanah ke-Islam-an.
Menurut Abu Zaid, al-Qur’an merupakan pesan (risalah) dari Allah SWT.
kepada nabi Muhammad yang meniscayakan adanya proses komunikasi antara
pengirim dan penerima melalui code, atau sistem bahasa. Dalam penggunaan
bahasa inilah tidak akan mungkin lepas dari budaya yang telah berkembang di
masyarakat tersebut. Watak risalah (pesan) yang dikandung dalam teks hanya
dapat dipahami melalui analisis fakta-fakta bahasanya dalam bingkai realitas
dimana teks terbentuk.
Hal tersebut, dijelaskan oleh Abu Zaid dalam karyanya yang monumen-
tal, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an. Melalui kitab ini dia
mengatakan bahwa tidak ada teks yang hampa dari konteks historisnya, tanpa
terkecuali al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai teks historis bukan berarti berasal dari
manusia, akan tetapi ia merupakan kata-kata (kalam) tuhan yang eternal di-
wahyukan kepada nabi Muhammad SAW. dengan menggunakan bahasa arab
dalam ruang dan waktu tertentu, inilah yang dimaksud sebagai teks historis.
Oleh karena itu Abu Zaid, memaknai bahasa al-Qur’an sebagai produk
budaya. Sebagaimana pendapay dia: “teks pada dasarnya merupakan produk
budaya. Maksudnya, teks terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentang
waktu lebih dari dua puluh tahun”. 22
Jelas, jika dilihat dari pernyataan tersebut bahwa teks al-Qur’an merupa-
kan produk budaya masyarakat arab saat itu. Fakta sosial menunjukkan bahwa
22 Ibid., hlm. 19.
62
turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur (gradual) tidak bisa lepas dari
kondisi sosio-budaya masyarakat yang melingkupinya. Ada juga ayat-ayat al-
Qur’an yang turun dalam rangka merespon dan menjawab persoalan yang
terjadi di masyarakat arab.
Pendapapat ini meruntuhkan keyakinan para ulama’ yang menganggap
bahwa al-Qur’an yang diturunkan oleh Jibril kepada nabi Muhammad adalah
teks yang qadim dan azali, dan merupakan salah satu sifat-sifat dzat tuhan.
Dengan demikian nia juga qadim, karena termasuk sifat-sifat-Nya. Barang
siapa yang menganggap bahwa ia baru dan atidak qadim atau bahwa ia
“tercipta” yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, maka orang tersebut
menentang aqidah dan layak dijuluki kafir. Apabila yang mengatakan adalah
orang muslim, maka hukum murtad yang layak baginya.23 Hal ini yang
menimpa abu zaid, ketika melakukan kajian terhadap konsep nash.
Fakta yang tak terbantahkan adalah ada perbedaan karakter antara ayat-
ayat al-Qur’an yang diturunkan di makkah dan ayat-ayat al-Qur’an yang di-
turunkan di madinah. Sebagaimana diungkapkan Ahmad Abdullah an-Na’im,
pesan ayat-ayat makkah merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental,
yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa
membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan keagamaan, ras dan lain-lain.
Persamaan laki-laki dan perempuan, kebebasan penuh untuk memilih dalam
beragama sangat dijunjung tinggi dalam era ini. Prinsip yang diterapkan ada-
lah ‘ishmah, kebebasan untuk memilih tanpa ancaman atau paksaan. Sedang-
23 Nasr Hamid Abu Zaid, An-Nash as-Sulthah al-Haqiqah, terj. Sunarwoto Dema, Teks
Otoritaas Kebenaran, Yogyakarta: LKiS, 2003, hlm. 86.
63
kan ayat-ayat madinah mengandung pesan kompromi praktis dan realistik.
Semacam ini lebih popular dengan sebutan, periode makkah merupakan ayat-
ayat universal-egalitarian-demokratik, sedangkan ayat-ayat madinah
merupakan ayat-ayat sektarian-diskriminatif. 24
Dari sisi bahasa, juga terdapat perbedaan antara ayat-ayat makkah dan
ayat-ayat madinah. Beberapa ciri khusus surat makkiyah sebagai berikut: [1]
mengandung ayat sajdah, [2] terdapat lafal kalla, [3] terdapat seruan ya-
ayyuhan naasu dan tidak terdapat ya ayyuhalladzina amanu, kecuali surat al-
Hajj, [4] mengandung kisah-kisah nabi dan umat-umat yang telah lalu kecuali
surat al-Baqarah, [5] terdapat kisah Adam dan Idris, kecuali surat al-Baqarah.
Ciri-ciri umum surat makiyyah: [1] ayat-ayatnya pendek, surat-suratnya
pendek, nada perkataannya keras dan agak bersajak, [2] mengandung seruan
pokok-pokok iman kepada Allah, hari akhir dan menggambarkan keadaan
surga dan neraka, [3] menyeru manusia berperangai mulya dan berjalan diatas
kebaikan, [4] mendebat orang-orang musyrikin, [5] banyak terdapat lafal
sumpah. Sedangkan untuk surat madaniyyah mempunyai ciri-ciri khusus
sebagai berikut: [1] terdapat izin berperang, [2] menjelaskan tentang
hukuman-hukuman tindak pidana, fara’id, hak-hak perdata, peraturan-
peraturan yang bersangkut paut dengan bidang keperdataan, kemasyarakatan
dan kenegaraan, [3] dijelaskan tentang orang-orang munafik, [4] mendebat
ahli kitab dan diajak untuk tidak berlebihan dalam beragama. Sedang ciri-ciri
umum: [1] surat dan ayatnya panjang-panjang, [2] menjelaskan keterangan-
24 Dalam pengantar Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm. viii-ix.
64
keterangan dan dalil-dalil yang menunjukkan kepada hakekat-hakekat
keagamaan.25
Ada perbedaan sisi karakter ajaran al-Qur’an antara di mekkah dan
madinah, juga dari sisi tata bahasa menunjukkan adanya perbedaan,
menunjukkan bahwa teks tidak bisa lepas dari konteksnya. Dari sini jelas,
bahwa betapapun al-Qur’an mempunyai watak otoritatif (diyakini bahasa
tuhan) di sisi lain, al-Qur’an juga merupakan bahasa yang termanusiawikan.
Pembahasan hermeneutika Abu Zaid berangkat dari problem tekstualitas
al-Qur’an. Dia mengacu kepada dua teori klasik tentang “tekstualitas” antara
asy‘ariyah dan mu’tazilah tentang kata-kata Allah (kalam Allah).
Pertentangan mengenai apakah al-Qur’an itu qadin atau jaded maupakan
problem klasik. Teori pertama, teroi mu’tazilah yang mengatakan bahwa
bahasa adalah kon-vensi manusia, karena ia merefleksikan konvensi sosial
tentang hubungan antara suara suatu kata dengan maknanya. Hubungan antara
penanda (signifier) dan petanda (signified) ditentukan oleh konvensi manusia.
Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an diciptakan, baru dan makhluk
karena ia tidak masuk dalam sifat-sifat Dzat yang azali. Al-Qur’an adalah
firman Allah, firman termasuk tindakan dan bukan termasuk sifat. Al-Qur’an
masuk dalam “sifat-sifat tindakan tuhan” (shifat al-af’al al-ilahiyyah) dan
bukan katagori “sifat-sifat Dzat” (shifat adz-dzatiyyah), dengan demikian
tidak abadi.26 Sifat-sifat tindakan merupakan wilayah interaksi antara tuhan
dengan dunia, sedangkan sifat-sifat dzat merupakan wilayah keunikan dan
25 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Ilmu-Ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002, hal. 80-82
26 Nasr Hamid Abu Zaid, An-Nash, Loc. Cit.
65
kekhususan eksistensi tuhan dalam dzat-Nya sendiri. Sebagaimana telah
dipaparkan diatas bahwa al-Qur’an diciptakan dalam konteks tertentu, dan
berhubungan dengan dunia manusia, oleh karena itu al-Qur’an merupakan
sifat tindakan tuhan. Kedua, yang didukung asy’ariyah mengatakan bahwa
bahasa adalah pemberian tuhan kepada manusia, bahasa bukanlah temuan
manusia. Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified)
ditentukan oleh tuhan. Kata-kata Allah bukanlah ciptaan, tetapi merupakan
salah satu sifat-Nya. Asy’ariyah meyakini bahwa al-Qur’an sebagai kata-kata
Allah adalah abadi sebagaimana Allah sendiri, dan direkam dalam tablet
terjaga (al-lawh al-mahfuzh).27 Abu Zaid, condong kepada pendapat
mu’tazilah, bahwa teks, termasuk al-Qur’an merupakan fenomena historis dan
mempunyai konteks spesifiknya sendiri.
Abu Zaid melihat bahwa teks al-Qur’an bersifat historis dengan bahasa
yang hadir dalam masyarakat tertentu, dan sekaligus mewakili kultur
masyarkat tertentu. Disamping konteks narasi, dalam memaknai al-Qur’an
perlu juga menyertakan dan memahami “konteks cultural” dan “konteks
pembacaan” teks tersebut.28
Karakter teks, mempunyai dua sifat yang saling berdialektika: konstanta
(yang tetap) dan transforma (yang berubah). Teks konstanta terletak pada
aspek “tersurat”-nya, namun bergerak dan berkembang dalam aspek
“tersirat”-nya. Dalam melakukan pembacaan terhadap teks, kaitannya dengan
mekanisme yang dikemukakan oleh Abu Zaid, yaitu menyembunyikan dan
27 Ibid., 89. 28 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: eLSAQ press,
2003, hlm. 28.
66
menyingkap, dalam konteks hermeneutika sangat mungkin terjadi menyem-
bunyikan teks konstanta (yang tetap) dalam aspek tersuratnya dan mencoba
menyingkap teks transforma (yang berubah) dari aspek tersiratnya. Dalam
melakukan pencarian terhadap makna tersiratnya, sangat dibutuhkan peran
akal manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ali ra, bahwa “al-
Qur’an adalah tulisan yang diam, yang membuat bicara adalah oknum-
oknum”.29 Karena oknum yang membuat bicara, maka seringkali pembacaan
terhadap al-Qur’an terjebak dalam nuansa kepentingan ideologis untuk
kelompok tertentu. Misalnya, dalam tesis master-nya Abu Zaid, yang berjudul
The Concept of Metaphor as Applied to The Qur’an by Mu’tazilities, yang
kemudian diterbitkan di Beirut pada tahun 1982 dengan judul Al-Ittijah al-
‘Aqli fi at-Tafsir: Dirasah fi Qadiyyah al-Majaz fi al-Qur’an ‘ind al-
Mu’tazilah (The Rational Exegesis of The Qur’an). Dalam studi ini Abu Zaid
berkesimpulan bahwa metode ta’wil Mu’tazilah sarat akan kepentingan–
kepentingan politik. Oleh karena itu, ia juga mencoba membaca al-Qur’an
secara “obyektif” agar steril dan terhindar dari kepentingan politis-ideologis.30
Berangkat dari rumusan bahwa teks, tak terkecuali al-Qur’an adalah
produk budaya masyarakat yang tidak lepas dari konteks sosio-kulturalnya,
Abu Zaid, menjelaskan tentang cara memahami teks agar menghasilkan
‘sesuatu’ yang obyektif. Rumusan ini berawal dari wacana agama kontem-
porer yang berkembang di Mesir. Dijelaskan Abu Zaid dalam Naqd al-Khitab
al-Dini, bahwa wacana agama yang berkembang di Mesir sarat dengan
29 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitab al-Diniy, Kairo, Maktabah Madbuliy, cet. III, hlm., 121.
30 M. Hanif A, Op. Cit., hlm. 354-355
67
kepentingan-kepentingan ideologis dan selalu mengklaim benar (truth claim)
atas wacana agama yang dikembangkan. Serta adanya beberapa kelompok
atau golongan yang bertarung dalam masalah wacana agama tersebut. Dari
aliran kiri sampai aliran kanan, Islam salafiyyun dan Islam kontemporer,
Islam tradisional dan Islam sekuler, Islam tekstualis dan Islam rasionalis.
Melihat kondisi semacam ini, gerah juga, dan akhirnya dia turut masuk dalam
gelanggang pertarungan tersebut. Masalah ini dikupas dalam bab I.
Klaim kebenaran, monopoli makna, tidak boleh melakukan ijtihad,
menjadi wacana yang nge-trend di Mesir. Dalam buku yang sama, dia juga
memaparkan berkembangnya konsep hakimiyyah dalam masyarakat Mesir.
Konsep yang menyandarkan segala sesuatu kepada Allah dalam aspek
kehidupan ini kepada Allah termasuk yang kecil-kecil.31 Konsep ini mengke-
biri peran akal dalam memahami al-Qur’an dan menolak adanya perbedaan
dan pluralitas. Prinsip yang dipakai adalah “tidak ada ijtihad terhadap hukum
yang sudah ada nashnya”. Dan mengklaim selalu benar dan tidak pernah
salah. Konsep ini dipelopori oleh Abu al-‘Ala Al-Maududi yang kemudian
dilanjutkan oleh Sayyid Qutbh (salah satu pemimpin gerakan Ikhwan Al-
Musklimun). Kelompok ini juga menafikan adanya korelasi antara teks al-
Qur’an dengan sosio-historisnya.
Dari sini, Abu Zaid kemudian melakukan kritik terhadap wacana agama
yang berkembang tersebut dengan mengembangkan pembacaan yang
didasarkan pada makna kesejarahan (al-ma’ma al-tarikhiy) yang kemudian
31 Sayyid Qutb, Ma’alim fi ath-Thariq, hlm. 81. dalam Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd, Op. Cit.,
hlm. 65.
68
dikenal dengan istilah hermeneutik. Dalam beberapa literatur yang sempat
penulis baca dalam karyanya, terutama kitab Naqd al-Khitab al-Diniy penulis
tidak menemukan secara eksplisit konsep hermeneutika Abu Zaid. Dalam
kitabnya tersebut, Abu Zaid tidak secara definitif menyebut teorinya dengan
sebutan “hermeneutik”. Tetapi secara implisit, dapat dipahami bahwa dia me-
ngembangkan teori hermeneutik dalam memahami bahasa al-Qur’an. Dalam
hal ini penulis sangat dibantu oleh literatur-literatur sekunder yang membahas
pemikiran Abu Zaid. Melalui literatur-literatur skunder tersebut penulis mene-
mukan titik terang tentang konsep hermeneutika Abu Zaid.
Seperti yang ditulis oleh Abd. Moqsith Ghazali (Koordinator Divisi
Kajian Jaringan Islam Liberal) dalam makalahnya yang berjudul Qur’an Abu
Zayd, ia menjelaskan bahwa Abu Zaid mengusulkan hermeneutika harus
selalu berpijak pada pemilahan yang tegas antara makna kesejarahan teks (al-
ma’na al-tarikhiy) dan pengertian atau interpretasi baru (al-maghza) yang
ditarik dari makna kesejarahan obyektif. Selanjutnya dia menjelaskan,
menurut Abu Zaid, makna historis itulah yang pertama-tama harus diungkap
oleh seorang penafsir dengan terlebih dahulu melakukan pembacaan pada
struktur internal dan dimensi historis (al-bu’d al-taqrikhi) teks tersebut. Baru
kemudian dilakukan penafsiran yang memungkinkan dalam menjawab
problem-problem kehidupan masa kini.32 Dalam literatur lain, yang ditulis
oleh Charles Hirschkind, dengan judul Bid’ah Atau Hermeneutic: Kasus Nasr
Hamid Abu Zaid dalam epilog buku Al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan:
32 Abd Moqsith Ghazali, Qur’an Abu Zaid, http://Islamlib.com/id/index.php?page=article& id
=645.
69
Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutic al-Qur’an, dia menjelaskan
bahwa pendekatan hermeneutik yang dianjurkan Abu Zaid terdiri dari dua
momen yang berdialektika satu sama lain. Pertama, perlu menemukan
kembali makna asli (dalalatuh al-ashliyyat) dari teks dan juga artefak budaya
dengan menempatkannya di dalam sosio-historis kemunculannya. Kedua
adalah untuk mengklarifikasi berbagai bingkai sosio-budaya sekarang ini dan
tujuan praktisnya mendorong dan mengarahkan berbagai penafsiran, sehingga
dapat membedakan kandungan ideologis interpretasi dari makna orisinil
historisnya. Sebuah pembacaan “produktif” dihasilkan ketika dua langkah ini
diletakkan berhubungan satu sama lain dalam sebuah dialektika yang tanpa
henti, “sebuah gerakan pendulum antara dimensi ‘orisinil’ (ashl) dan ‘tujuan’
(ghayat), atau antara ‘tanda’ (dalalah) dan ‘signifikansi’ (maghza).33 Pendapat
yang sama juga disampaikan oleh M. Hanif A. dalam buku pemikiran Islam
kontemporer.34 Pendapat-pendapat tersebut didasarkan pada tulisan Abu Zaid
dalam kitab Naqd al-Khitab al-Diniy bab I sub kedua yang menjelaskan
tentang al-nashsh. Dia mengatakan bahwa:
– ولعلها من اخطرها على االطالق –ومن اهم الجوانب التى يتم تجاهلها فى اشكا لية النص الدينى
ارتباط –وليس المقصود بالبعد التاريخى هنا علم اسباب النزول , البعد التاريخى لهذه النصوص
تغير – او علم الناسخ والمنسوخ –والحاجات المثارة فى المجتمع والواقع , النصوص بالواقع
٣٥القران او غيرها من علوم –االحكام لتغير الظروف والمال بسات
“Salah satu aspek penting yang diabaikan dalam problematika teks agama – yang barangkali secara umum paling penting – adalah dimensi sejarah teks-
33 Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan, diterjemahkan oleh Dede
Iswadi, Jajang A. Rohmana, etc, Bandung: RQiS, 2003, hlm. 165. 34 Selanjutnya baca M Hanif A, Loc. Cit., hlm. 370. 35 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd, Op. Cit., hlm. 118.
70
teks tersebut. Yang dimasud dimesi sejarah di sini bukanlah ilmu sebab-sebab turun (asbab al-nuzul) – hubungan teks dengan realitas, dan kebutuhan-kebutuhan yang timbul dalam masyarakat dan realitas – atau ilmu an-nasikh wa-almansukh – mengubah hukum karena perubahan situasi dan kondisi – atau ilmu-ilmu al-Qur’an lainnya. Jika hanya terbatas pada asbab an-nuzul, maka dalam mencari makna kesejarhan ayat al-Qur’an akan cukup mengalami kendala, karena ternyata kebanyakan ayat al-Qur’an turun dengan sendirinya tanpa didahului adanya satu persoalan, atau menunggu pertanyaan. Ayat-ayat ini dikatakan ayat-ayat yang turun secara ibtida’i.36
Dimensi sejarah yang dimaksud oleh Abu Zaid berkaitan dengan
historisitas konsep-konsep yang dilontarkan teks melalui aspek tersuratnya.
Historisitas bahasa, terletak pada sosiologisitasnya. Dengan membaca konsep
historisitas bahasa Abu Zaid, dapat dipahami bahwa dimensi sosial sangat
berpengaruh terhadap karakter teks, dan apabila dimensi sosial ini diabaikan
maka akan makna teks juga akan terabaikan. Dia, juga memberi catatan bah-
wa berpegang teguh pada historisitas teks bukan berarti menunjukkan ketidak-
mampuan teks untuk memproduksi makna, atau tidak mampu untuk berbicara
pada masa berikutnya atau kepada masyarakat lain. Hal ini disebabkan dalam
melakukan pembacaan teks didasarkan pada dua mekanisme yang integral,
yaitu: menyembunyikan (al-ikhfa’) dan menyingkap (al-kasyaf).37 Menyem-
bunyikan sesuatu yang tidak substansial dan menyingkap sesuatu yang
substansial.
Pendekatan hermenutika yang ditawarkan oleh Abu Zaid dalam
memahami bahasa al-Qur’an lebih bersifat pendekatan makna historis.
36 Husein Syahab, Mengenal Asbabun Nuzul, dalam Belajar Mudah ‘Ulum Al-Qur’an Studi
Khazanah Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Lentera, 2002, hlm. 126. 37 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd, Loc. Cit.
71
Menurut dia, ada dua momen yang berdialektika satu sama lain. 38 Pertama,
perlu menemukan kembali mkana asli (dalalat al-ashliyyat) dari teks dalam
konteks sosio-histories kemunculannya.39 Kedua adalah untuk mengklarifikasi
berbagai bingkai sosio-budaya sekarang ini dan tujuan praktisnya mendorong
dan mengarahkan berbagai penafsiran, sehingga dapat membedakan kandu-
ngan ideologis interpretasi dari makna orisinil historisnya. Sebuah pembacaan
“produktif” akan berhasil, ketika dua langkah ini diletakkan berhubungan satu
sama lain dalam sebuah dialektika yang tanpa henti, ‘sebuha gerakan
pendulum antara dimensi ‘orisinil’ (ashl) dan ‘tujuan’ (ghayat), atau antara
‘tanda’ (dalalah) dan ‘signifikansi’ (maghza’)”. 40
Makna merupakan apa yang dipahami secara langsung dari ujaran teks
yang muncul dari analisis terhadap struktur bahasa teks dalam konteks
kebudayaannya. Pemahaman ini diperoleh dari generasi yang sezaman dengan
teks dari ujarannya. Makna, dalam fase ini tidak tidak banyak menimbulkan
controversial dikalangan generasi awal penerima teks. Namun, untuk generasi
berikutnya kontroversi hal yang tidak bisa dihindari. Sedangkan signifikasi
adalah hasil dari pengukuran gerak yang ditimbulkan oleh teks dalam struktur
bahasa, juga dalam kebudayaan dan realitas.41 Signifikansi bergerak lantaran
persentuhannya dengan horizon-horizon kekinian dan realitas, dan gerakan
tersebut tidak bisa lepas dari ketentuan makna. Oleh karena itu, makna relatif
konstanta, sedangkan yang berubah hanyalah signifikansinya. Dengan
38 Ibid., hlm. 144. 39 Ibid. 40 Dua langkah ini didasarkan pada ketidak sesuaian antara asumsi mengenai realitas sosial,
antara obyektivis dan fenomenologis. 41 Ibid., hlm. 220-221.
72
pemahaman seperti, Abu Zaid, hendak mengatakan bahwa inilah yang
obyektif, lepas dari kepentingan-kepentingan ideologi.
Pendapat inilah yang dijadikan dasar konsep hermeneutika Abu Zaid.
Dalam tulisan berikutnya dia menjelaskan bagaimana cara kerja antara
dimensi asal (al-ashl) dan tujuan (ghayah), antara makna (dalalah) dan
sigsifikansi (maghza). Dalam bab selanjutnya, Abu Zaid menjelaskan bahwa
pembacaan produktif, dalam memaknai (interpretaasi) ulang al-Qur’an
didasarkan pada dua konsep penting yaitu makna (dalalah) dan signifikansi
(maghza). Kedua hal tersebut harus tetap berdialektika terus menerus tanpa
henti. Karena upaya untuk melakukan pembacaan produktif dalam mencapai
makan dapat dilakukan dengan penyingkapan makna. Penyingkapan makna
ini merupakan upaya kembali kepada makna asal, sementara untuk sampai
pada signifikansi mencerminkan tujuan dan sasaran dari tindak pembacaan.
Gerakan antara makna dan signifikansi, terjadi bolak-balik dan berulang-
ulang. Gerakan ini diawali dari realitas untuk menyingkap makna teks masa
lalu, kemudian makna tersebut kembali lagi untuk menetapkan signifikansi
dan mengubah titik permulaan, sesuai dengan konteks kekinian.42
Dengan melihat metode yang dikembangkan oleh Abu Zaid, bahwa
sebelum memproduk hukum dari teks al-Qur’an maupun Hadits, seorang
mujtahid harus mampu terlebih dahulu menyingkap makna asli teks tersebut,
dalam konteks realitas ketika teks turun. Setelah makna asli ditemukan,
seorang mujtahid, berusaha untuk mengkontekskan dengan realitas saat ini.
42 Ibid., hlm. 144.
73
Kerja hermeneutik adalah hendak mengungkap makna yang tidak terungkap
dalam teks. Media yang ditempuh adalah dengan melakukan kajian sejarah
tentang kondisi sosial dan melakukan analisis bahasa.
C. Beberapa Contoh Ijtihad Abu Zaid
Untuk mendukung pemikiran Abu Zaid, penting kiranya mengetahui
beberapa hasil ijtihad dia berkaitan dengan hukum Islam. tentunya dengan
kerangka metode yang telah ditawarkan. Diantara beberapa hasil ijtihad dia
adalah persoalan hak waris perempuan dan poligami.
Hak Waris Perempuan
Sebagai contoh dari pemikiran Abu Zaid adalah dalam hal warisan.
Menurut dia, posisioning yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan
dalam hal warisan yang terdapat dalam al-Qur’an lebih didasarkan atas
hubungan-hubungan patriarkhal kesukuan. Pemberlakuan tidak setara antara
laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak hanya dalam hukum warisan saja,
melainkan dalam hampir seluruh hukum Islam.43 Ayat yang biasa dijadikan
rujukan dalam hal waris adalah.
للرجال نصيب مما ترك الوالدان واالقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان واالقربون مما قل منه
واذاحضرالقسمةاولواالقربى واليتامى والمساكين فارزقوهم منه وقولوا ) ٧(او كثر نصيبا مفروضا
وااهللا وليخش الذ ين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافاخافواعليهم فليتق ) ٨(لهم قوال معروفا
ان الذين ياْكلون اموال اليتامى ظلما انما ياْكلون في بطونهم ناراوسيصلون ) ٩(وليقولواقوالسديدا
43 Ibid., hlm. 223.
74
يوصيكم اهللا فى اوالدكم مثل حظ االنثيين فان كن نساْفوق اثنتين فلهن ثلثا ما ترك وان ) ١٠(سعيرا
ولد فان لم يكن له كانت وحدة فلهاالنصف والبيه لكل واحدمنهماالسدس مما ترك ان كان له
ولدوورثه ابواه فالمه الثلث فان كان له اخوة فال مه السدس من بعدوصية يوصى بها اودين اباؤكم
)١١(وابناؤكم التدورون ايهم اقرب لكم نفعا فريضة من اهللا ان اهللا كان عليما حكيما
Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta yang ditinggalkan oleh orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian pula dari harta yang ditinggalakan oleh orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan apabila dalam waktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggal-kan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, dan mereka khawatir terha-dap mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala! Allah mewasiatkan bagimu tentang (hak pewarisan) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua perempuan […] (tentang) orang tuamu atau anak-anakmu, kamu tidak me-ngetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (manfaat-nya) bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesunguhnya Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.44(QS Al-Nisa’ [4]: 7-11).
Dengan melihat ayat tersebut di atas Abu Zaid menunjukkan dua hal yang
seharusnya dipertimbangkan dalam memahami wacana al-Qur’an ten-tang
warisan. Pertama, Al-Qur’an sebenarnya memperkuat hubungan antara sanak
saudara, anak-anak yatim, dan orang miskin yang dalam hukum waris
(fara’idh) tradisional tidak mempunyai hak waris, dengan memberikan seba-
gian harta warisan kepada mereka jika datang pada saat pembagian warisan.
Kedua, Al-Qur’an menekankan bahwa hubungan klan (‘ashabiyyah) bukanlah
hubungan kemanusiaan yang paling penting sebagaimana yang dipahami
44 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd li Thiba’at al Mushaf asy-Syarif
Medinah Munawwarah, 1990, hlm. 116-117.
75
orang-orang masa pra-Islam. dari kedua poin ini dapatlah diambil konklusi
bahwa konsep al-Qur’an tentang keadilan ekonomi lebih luas ketimbang
zakat, shadaqah (karitas), dan mirats (pewarisan) karena tujuannya adalah
untuk menghilangkan perputaran harta dikalangan orang-orang kaya saja. Al-
Tawbah [9]: 60. Abu Zaid menyarankan bahwa konsep waris dalam al-Qur’an
seharusnya dipahami dalam konsep yang lebih umum, yakni untuk menegak-
kan keadilan ekonomi umat.
Abu Zaid juga melihat posisi perempuan dalam masyarakat pra-Islam dari
aspek konteks sosio historisnya. Petanda dari sebagian besar hukum Islam
yang berkaitan dengan perempuan, juga signifikansinya, tidak bisa diungkap
tanpa mempertimbangkan kebudayaan arab pra-Islam. Dalam budaya masya-
rakat arab pra-Islam, perempuan tidak mempunyai hak untuk memiliki.
Karena tidak produktif, perempuan (dan juga anak-anak kecil) tidak menda-
patkan warisan; bahkan sebaliknya mereka dapat diwariskan layaknya harta
warisan. Aturan standarnya terkait dengan produktifitas masalah ekonomi,
sebagaimana yang mereka katakan: “kita tidak memberikan warisan kepada
seseorang yang tidak bisa menunggang kuda, tidak kelelahan dan tidak
melukai musuh”.45 Ini mengekspresikan sebuah kebudayaan yang meng-
anggap bahwa peperangan tidak saja hanya untuk mendapatkan kekuasaan
tetapi juga harta kekayaan hasil dari rampasan perang (ghanimah) dan budak
tawanan. Dalam kebudayaan yang semacam ini al-Qur’an menyatakan bahwa
45 Ibid., hlm. 224.
76
perempuan mendapatkan warisan setengah dari bagian laki-laki, dan bahkan
mereka mempunyia hak untuk mendapatkan kalalah. 46
Kacamata yang dipakai Abu Zaid, adalah sebagaimana ijtihad yang
dilakukan khalifah Umar ibn Khattab ketika tidak memberikan hak zakat
kepada mu’allaf. Padahal dalam al-Qur’an secara jelas tertulis bahwa salah
satu asnaf yang berhak mendapatkan zakat adalah mua’allaf. Argumen yang
dipakai oleh sahabat Umar adalah alasan legal (‘illah al-hukm)-nya, bahwa
pada masa nabi, muslim masih sedikit dan lemah, oleh karena itu perlu adanya
penghargaan kepada orang-orang yang baru masuk Islam. tentunya berbeda
dengan masa Umar yang dirasa bahwa muslim sudah kuat, sehingga tidak
perlu lagi memberi penghargaan berupa zakat kepada mu’allaf. Ini didasarkan
pada prinsip hukum Islam (al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa
‘adaman). Abu Zaid menyatakan bahwa konteks dan alasan legal dari hak
perempuan untuk mendapatkan warisan sudah berubah. Pada masa nabi,
secara ekonomi, perempuan tidak produktif, sementara pada masa sekarang
perempuan produktif. Jadi, hukum dalam hal ini haruslah berubah.
Bagian warisan perempuan sebagai bagian yang ditetapkan oleh Allah
(faridhah min Allah) yang tidak seorangpun boleh menguranginya. Dari sini,
Abu Zaid beralih argumen lain, yang mendukung argumen pertama (tentang
alasan produktivitas perempuan). Analisis lain dari frase “bagi laki-laki
bagian yang sebanding dengan bagian dua perempuan”, jika dilihat dari
46 Kalalah adalah pewarisan di mana seorang yang meninggal tidak mempunyai anak maupun
orang tua. Harta warisannya harus diberikan kepada saudara laki-laki dan perempuannya. Dalam hal ini, saudara perempuan mendapatkan kalalah, hal yang tidak pernah terjadi pada zaman jahiliyah.
77
susunan teks, laki-laki yang mendapat bagian terlebih dahulu baru kemudian
bagian perempuan. Ini menunjukkan bahwa al-Qur’an membatasi bagian laki-
laki ketimbang bagian perempuan. Bagian laki-laki merupakan bagian
maksimum sementara bagian perempuan merupakan bagian minimum.
Dengan memperhatikan arah teks, berarti laki-laki dan perempuan mendapat
bagian sama. Dalam hal ini Abu Zaid, mengkaji hukum pewarisan dalam
konteks level makna ketiga, yang harus diungkap signifikansi pesannya.47
Argumen Abu Zaid ini bisa digambarkan dalam diagram sebagai berikut.
48
Interpretasi tentang Hak Waris Perempuan
Dalam budaya pra-Islam: Perempuan tidak mendapatkan warisan.
Makna
Arah teks
Signifikansi
Islam membatasi bagian laki-laki: “seperti bagian dua perempuan”.
Bagian laki-laki maksimum, bagian perempuan minimum.
Perempuan berhak mendapatkan bagian
yang sama. “Yang tak
terkatakan”
78
47 Moch. Nur Ichwan, Meretas, Op. Cit., hlm. 148. 48 Ibid.
Poligami
Dalam al-Qur’an ayat yang menjelaskan tentang poligami terdapat dalam
surat Al-Nisa’ [4]: 3.
وانخفتم االتقسطوافىاليتامى فانكحوا ماطاب لكم من النساء مثنى وثلث ورباع فان خفتم اال تعدلوا
)٣:ا لنساء ( فواحدة اوماملكت ايمانكم ذلك ادنى اال تعولوا
Artinya: Jika kalian takut akan tidak bisa berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat; namun jika kalian takut tidak akan berlaku adil (terhadap mereka), maka seorang saja, atau yang dimiliki tangan kananmu (budak perempuan atau tawanan perang). Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada perbuatan yang tidak aniaya. 49 (QS Al-Nisa’ [4]: 3).
Menurut Abu Zaid, sebagaimana dikutip Moch. Nur Ichwan dalam
mendiskusikan ayat poligami diatas dibagi menjadi tiga langkah.50 Pertama,
konteks teks itu sendiri. Dia mengkontraskan absennya praktek hukum
memiliki ‘yang dimiliiki tangan kananmu’ (budak perempuan atau tawanan
perang) sebagai ‘selir’ dalam wacana Islamis pada satu sisi, dan untuk
mempertahankan poligami: “makna nikahilah perempuan-perampuan yang
kamu sukai: dua, tiga, atau empat,“ pada sisi lain. Menurut Abu Zaid, ada
sesuatu yang hilang, yakni kesadaran akan historisitas teks-teks keagamaan,
bahwa ia adalah teks linguistik dan bahwa bahasa adalah produk sosial dan
kultur. Abu Zaid berargumen bahwa izin bagi seorang laki-laki untuk menikah
dengan hingga empat istri haruslah diletakkan dalam konteks hubungan antar
manusia, khususnya hubungan antara laki-laki dan perempuan sebelum
49 Ibid., hlm, 115. 50 Moch. Nur Ichwan, Meretas, Op. Cit., hlm. 139.
79
kedatangan Islam. Dalam periode pra-Islam, hukum kesukuan sangatlah
dominan dan poligami tidak dibatasi.
Dalam konteks ini izin untuk memiliki istri sampai empat dipahami
sebagai awal upaya penghormatan kepada kaum perempuan. Abu Zaid,
menyarankan bahwa pembahasan ini harus dipahami sebagai awal
pembebasan terhadap perempuan dari dominasi kaum laki-laki.
Kedua, meletakkan teks dalam konteks secara keseluruhan. Dengan ini,
Abu Zaid berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat
diungkapkan. Teks al-Qur’an sendiri juga menyarankan untuk hanya memiliki
seorang istri jika suami takut tidak bisa berbuat adil: “jika kamu takut tidak
akan bisa bertindak adil (terhadap mereka), maka seorang saja.” dalam ayat
yang lain juga dipertegas bahwa: “kamu tidak akan bisa berbuat adil diantara
istri-istri kamu meskipun kamu sangat berkeinginan untuk
melakukannya.(QS. Al-Nisa’ [4]: 129). Analisis linguistik dari ayat poligami
adalah taidak mungkin bersikap adil kepada istri. Penggunaan klausa kondi-
sional (pengandaian) dan penggunaan partikel kondisional law (jika) menan-
dakan penegasian terhadap jawab al-syarth (konklusi dari klausa kondisional)
disebabkan karena adanya penegasian terhadap kondisi (syarth) itu. Yang
harus diperhatikan adalah penggunaan partikel lan (tidak akan pernah) yang
berfungsi sebagai koroborasi (ta’yid) di awal kalimat, ini menunjukkan bahwa
“dapat bertindak adil” tidak akan pernah terjadi. Disini Abu Zaid menyim-
pulkan bahwa terdapat negasi ganda: pertama, negasi total terhadap kemung-
kinan bertindak adil terhadap dua istri atau lebih, dan kedua, negasi terhadap
80
kemungkinan memiliki keinginan yang kuat untuk berlaku adil terhadap
mereka.
Abu Zaid meminjam distingsi ‘Adil Dhahir tentang mabda’ (prinsip),
qai’dah (kaidah), hukm (hukum). Keadilan, kebebasan, hak untuk hidup, dan
kebahagiaan, termasuk dalam katagori mabda’. Qa’idah adalah derivasi dari
mabda’ dan tidak boleh bertentangan dengannya. Missalnya: “jangan mencuri,
jangan berzina, jangan membuat kesaksian palsu, jangan mengganggu orang
lain,” adalah termasuk mabda’. Dalam konteks yurisprudensi Islam, tujuan
universal syari’at (al-maqashid al-kulliyyah li al-syari’ah) sebagaimana yang
diungkapkan oleh al-Syatibi dalam al-Muwaffaqat, yakni perlindungan
terhadap agama (hifd al-din), jiwa (hifd al-nafs), akal (hifd al-‘aql), keturunan
(hifd al-nasl) dan harta (hifd al-mal).51 Sementara Abu Zaid menawarkan tiga
prinsip universal dalam hukum Islam. pertama, rasionalisme (‘aqliyyah)
sebagai lawan dengan jahiliyyah, dalam pengertian mentalitas kesukuan dan
tindakan emosional. Kedua, kebebasan (hurriyyah), yang dilawankan dengan
segala bentuk perbudakan (‘ubudiyyah). Ketiga, keadilan (‘adalah) sebagai-
mana dilawankan dengan eksploitasi manusia (zhulm).52
Dalam konteks poligami, keadilan adalah mabda’ (prinsip) sementara
untuk memiliki sampai empat istri adalah hukm. Hukm tidak menjadi qa’idah
apalagi mabda’. Hukm adalah peristiwa spesifik dan relatif, tergantung
perubahan kondisi yang melingkupinya. Ketika terjadi kontradiksi antara
mabda’ dan hukm, yang terakhir harus dikalahkan untuk mempertahankan
51 Abi Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushu al-Syari’ah, (Libanon: Dar al-Kitab Al’ala-miyyah, t.th), juz II, hlm. 8.
52 Abu Zaid, Dawa’ir, hlm. 288-289. dalam Moch. Nur Ichwan, Meretas, Op. Cit., hlm. 141.
81
yang pertama. Abu Zaid berpendapat bahwa al-Qur’an melarang poligami
secara tersamar dengan kata lain limitasi itu sesungguhnya mengindikasikan
pelarangan (pengharaman) secara tersamar (al-tahrim al-dhimmi). 53
Langkah ketiga, berdasarkan kedua langkah tersebut, Abu Zaid
mengusulkan sebuah pembaharuan hukum Islam. dalam hukum Islam klasik,
poligami diklasifikasikan di bawah bab “hal-hal yang diperbolehkan” (al-
mubahat). Terma “pembolehan”, menurut Abu Zaid, tidaklah sesuai karena
pembolehan terkait dengan hal yang tidak dibicarakan oleh teks, sementara
pembolehan poligami dalam al-Qur’an pada hakekatnya adalah sebuah pem-
batasan dari poligami yang tak terbatas yang telah dipraktekkan sebelum da-
tangnya Islam. Pembatasan tidak berarti pembolehan. Namun demikian,
poligami tidak masuk dalam bab “pelarangan (pengharaman) terhadap hal
yang diperbolehkan” (tahrim al-mubahat). Dalam hal ini Abu Zaid
berpendapat bahwa poligami sebagai hukm tidak boleh merusak qa’idah dan
mabda’, sehingga poligami dilarang. Dibawah ini adalah diagram tentang
interpretasi ayat poligami.54
53 Ibid. 54 Ibid., hlm. 143.
82
Interpretasi tentang Poligami
Praktek poligami pra-Islam: poligini tidak terbatas.
Makna
Arah teks
Islam membatasi poligami: empat istri dengan syarat suami bisa
bertindak adil.
Sikap adil dalam poligami tidaklah mungkin: monogami lebih
ditekankan
Signifikansi Tujuan akhir legislasi Islam: monogami
“Yang tak
terkatakan”
Poligami dilarang
Jika dilihat dari diagram diatas, wacana al-Qur’an mengenai poligami
mempunyai level makna ketiga, dimana pemahaman haruslah melampaui
makna historisnya dengan menguak signifikansi masa kininya. Bahkan,
mampu menguak dimensi “yang tak terkatakan” dari suatu pesan. Akhirnya,
penggunaan distingsi ‘Adil Dhahir tentang mabda’, qa’idah, dan hukm untuk
mendukung argumennya menarik untuk dicermati. Dengan penggunaan
83
distingsi ini, pandangan bahwa poligami adalah dilarang dapat dengan mudah
dan sistematis dipahami.
84