Upload
doanthuy
View
235
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB III
KONSEPSI TASAWUF TRANSFORMATIF DAN MODERNISME
A. Konsepsi Tasawuf Islam
1. Tasawuf dan Mistisisme
Diantara sisi menarik yang selalu dimiliki semua agama-agama besar di
dunia adalah kecenderungan sebagian pemeluknya terhadap hal-hal yang bersifat
mistik, dan juga terbukanya kemungkinan untuk dihadapkan kepada
pengalaman-pengalaman yang berbasis spiritual.1 Sifat yang demikian ini
memang sangat wajar, mengingat hanya dengan cara itulah seorang hamba dapat
menjalin hubungan yang baik dengan Tuhannya. Dengan tidak berusaha
mengurangi kelebihan segi rasionalitas yang semestinya juga dimiliki oleh setiap
agama dan akan selalu menjadi aset yang paling berharga di dalam menghadapi
masyarakat modern, dimensi mistisisme merupakan pilar penting yang dapat
menunjukkan seberapa besar ajaran dan peradaban agama yang bersangkutan.
Agama Hindu mempunyai sistem disiplin yoga, Buddha dengan ajaran moral
dan nirwananya, Kristen dikenal sebagai agama yang mengusung pola kerahiban
dan sosok mistis Yesusnya, kemudian Islam dengan kejayaan tasawufnya yang
mampu menunjukkan eksistensinya sampai dengan saat ini.
Istilah mistisisme sendiri pada dasarnya mengandung sesuatu yang
misterius, dan hanya bisa diraih dengan cara yang tidak biasa, yang bisa berupa
meditasi atau dengan amalan-amalan tertentu. Mistisisme berakar dari kata
1Lucinda Vardey (ed), God in All Worlds: An Anthology of Contemporary Spiritual Writing (New York: Vintage Books, 1996), 78.
39
mystic, mystery, atau dalam bahasa Yunani myein yang berarti ‘menutup mata’.2
Istilah mistisisme secara umum dipakai untuk mencakup dua hal; pertama,
adanya pengalaman langsung yang menghubungkan mistikus dengan Tuhannya.
Kedua, berkembangnya doktrin metafisika yang memungkinkan bersatunya jiwa
manusia dengan realitas yang absolut atau Tuhan. Jenis yang pertama kali itulah
yang seringkali disebut sebagai pengalaman mistik (mystical experience), yang
biasanya dihadirkan dalam bentuk fenomena fisik di luar kelaziman; seperti
halnya bisikan gaib, visi-mimpi, perubahan sisi dalam bagian tubuh, ataupun
ekstase. Sementara jenis yang kedua pada umumnya dikenal sebagai puncak dari
segala realitas (ultimate reality).3
Keseriusan mistisisme dalam menjajaki wilayah batin manusia
mengantarkan ajaran yang penuh dengan nuansa kontemplasi dan diwarnai
dengan pemikiran-pemikiran filsafat ini ke dalam sketsa sejarah Islam dan
mendapatkan sebutan s}u>fi>sme.4 Hanya karena sistem s}u>fi>sme-lah, semangat
mistisisme ini memperoleh tempatnya dalam agama Islam.5
Memang tidak semua kalangan Islam dapat menerima dengan
sepenuhnya penyamaan tasawuf Islam dengan mistisisme. Beberapa darinya
tidak mau menyebut s}u>fi>sme dengan mistisisme Islam disebabkan istilah
tersebut telah memiliki warna yang pasif dan anti-intelektual dalam kebanyakan
bahasa Eropa kontemporer, sebagai akibat dari pertentangan selama berabad-
2Annemarie Schimmel, Mystical of Islam (Cape Hill, USA: The University of Carolina Press, 1975), 3. 3Rufus M. Jones, “Mysticism (introductory),” dalam Encyclopedia of Religion and Ethics, ed. James Hastings, vol. IX (New York: Charles Scribner’s Sons, 1955), 83-84. 4Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam (Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1978), 456. 5Aun Falestien Faletehan, Tasawuf Falsafi Persia Di Masa Klasik Islam (Surabaya: Dakwah Digital Press, 2007), 10-11.
40
abad antara Kristen dan rasionalisme.6 Tetapi secara umum, para sarjana telah
mendefinisikan tasawuf sebagai mistisisme Islam; karena di samping
membedakannya dengan aspek eksoterik lain yang dimiliki Islam, pemakaian
kata ini juga ‘terlanjur’ diterapkan pada semua pelaku spiritual dalam
kepercayaan agama lain, sebagaimana yang telah didahului oleh masyarakat
Yunani dan kalangan Kristiani.
Membahas mengenai kontroversi mistisisme dalam spiritualitas (tasawuf)
Islam, lebih bijak jika kita perhatikan tentang adanya kesamaan dasar dari semua
pengalaman mistis yang dialami oleh sekian banyak pelaku spiritual tanpa
melihat perbedaan agamanya. Mistisisme telah lama menjelma menjadi sebuah
cahaya spiritual besar yang merasuk di semua agama.7
Beberapa argumentasi di atas, terlihat sebagai upaya untuk mereduksi
semaksimal mungkin persepsi bahwa salah satu agama tidak memiliki ajaran
spiritual secara orisinal, sehingga bila kemudian dimensi esoteris itu muncul,
maka bisa dipastikan hal tersebut adalah hasil menjiplak konsep dan praktek
mistisisme yang telah dicetuskan agama lain. Anggapan seperti ini tidaklah tepat
dan sangat lemah dalam membangun argumentasi. Keorisinalan semangat
spiritual pada hakekatnya akan selalu ada pada setiap agama. Jika nanti ada pola
ajaran dari sebuah gerakan mistisisme agama yang sekilas tampak serupa dengan
praktik mistik agama lain, maka hal tersebut adalah sebuah kewajaran. Sama
6Seyyed Hossein Nasr menguraikan dengan jelas karakter sufisme yang sebetulnya mengikutsertakan intelektual manusia ketika menjalani proses kehidupan spiritualnya. Dari sinilah banyak muncul sufi yang sekaligus berperan sebagai guru, sarjana, seniman, ilmuwan, dan sebagainya. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (London: Goerge Allen & Unwin Ltd, 1966), 131-132. 7Annemarie Schimmel, Mystical of Islam, 4.
41
halnya dengan proses terjadinya akulturasi budaya dan bahasa di antara berbagai
daerah dan bangsa. Ditambah lagi, semua hal itu tidak akan mengubah ciri khas
masing-masing mistisisme yang telah lama menghunjam di setiap poros agama.
Bagi Islam, tentu ayat-ayat al-Qur’an dan potret kehidupan Rasulullah Saw yang
menjadi rujukan s}u>fi>sme dalam Islam. Islam, dan juga s}u>fi>sme, memang selalu
terbuka dengan penetrasi kebudayaan-kebudayaan asing. Akan tetapi
keanekaragaman budaya dan praktek kehidupan agama lain yang diperkirakan
masuk mempengaruhi s}u>fi>sme, hanyalah bersifat pemberi warna saja.8
Kontroversi antara mistisisme dan tasawuf di atas lebih banyak
didominasi oleh semangat dikotomis antara Islam-Barat atau spiritualitas Islam
(tasawuf)-spiritualitas non Islam. Namun sebenarnya di internal para ulama
muslim juga terjadi begitu banyak perbedaan dalam mendefinisikan makna
tasawuf ini. Oleh karena itu, pada pembahasan selanjutnya perlu untuk
dijelaskan mengenai berbagai pendapat seputar definisi tasawuf menurut para
ulama muslim.
2. Definisi Tasawuf
Terma tasawuf sendiri baru muncul beberapa abad setelah wafatnya
Rasulullah SAW. Pada masa Rasulullah, masyarakat muslim hanya mengenal
istilah s}ah}a>bah sebagai orang yang berada dekat dalam lingkaran Rasulullah.
Mereka juga mengenal istilah ‘a>bid yang diberikan kepada mereka yang selalu
8Teori yang menyebutkan bahwa tasawuf adalah produk dari agama-agama lain di luar Islam sebenarnya sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Bahkan menurut Nicholson, andaikata Islam menutup pintu-pintu terhadap pengaruh agama dan tradisi lain, maka bentuk mistisisme tetap akan tumbuh di dalam dengan sendirinya, karena bibit-bibit (al-Qur’an & Sunnah) itu memang sudah lama tersedia dalam ajaran Islam. Lihat Reynold Alleyne Nicholson, The Mystics of Islam (Bloomington: World Wisdom Inc, 2002), 13-14.
42
beribadah kepada Allah.
Terdapat kesepakatan para ahli bidang tasawuf mengenai sulitnya
merumuskan definisi dan batasan tegas berkaitan dengan pengertian tasawuf.
Hal ini disebabkan terutama karena kecenderungan spiritual terdapat pada setiap
agama, aliran filsafat, dan peradaban. Oleh karena itu, wajar apabila setiap orang
menyatakan pengalaman pribadinya dalam konteks pemikiran dan kepercayaan
yang berkembang pada masyarakatnya.9 Mengenai hal ini W.T. Stace
berpendapat:
“Pada taraf substansi pengalaman spiritual tampaknya sama. Perbedaan yang ada, pada dasarnya, berada pada taraf interpretasi terhadap pengalaman itu sendiri yang diuraikan berdasarkan kebudayaan tempat yang bersangkutan hidup”.10 Tasawuf merupakan diskursus akademik yang cukup menarik dan
mendapat perhatian dalam setiap pengkajiannya karena sifatnya yang
mysteries.11 Disebut misteri, karena pada prinsipnya, seorang s}u>fi> adalah orang
yang memasuki wilayah misteri, yang kemudian setelah melalui berbagai proses
pentahapan, mencapai pengetahuan esoterik tentang ketuhanan (Divine) yang
Absolut, dan akhirnya mengalami “reborn into eternity”12, terlahir kembali ke
dalam keabadian. Oleh karena itu, tasawuf tidak mudah untuk dikaji hanya
dengan upaya nalar dan intelektual sekaligus.13
Dalam literatur tasawuf sendiri, definisi yang dikemukakan cukup 9Abu> al-Wafa>’ al-Taftaza>ni>, Al-Madkhal ‘ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> (Kairo: Da>r al-Thaqa>fah wa al-T{iba>’ah wa al-Nasyr, 1976), 24-25. 10W.T. Stace, Mysticisism and Philosophy (London: MacMillan, 1961), 35. Lihat Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia (Bandung: Mizan, 2001), 27. 11Annemarie Schimmel, Mystical of Islam, 3. Schimmel menyebut,”That mysticism contains something mysteries, not to be reached by ordinary means or by intellectual effort,...”. 12F.C. Happold, Mysticism: A Study and an Anthology (New York: Viking Penguin Inc, 1970), 18. 13Annemarie Schimmel, Mystical Dimension, 3.
43
banyak dan dalam jumlah yang mengundang perenungan. Nicholson mencatat
kurang lebih ada 78 definisi.14Shihab al-Di>n Suhrawardi (w.1236 M), pengarang
kitab ‘Awa>rif al-Ma’a>rif, mengatakan bahwa tasawuf memiliki lebih dari seribu
definisi. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa kenyataan beragamnya
definisi bukan lantas berarti kekacauan dan kontradiksi pengertian, sebab
tasawuf pada hakikatnya adalah pengalaman individual (individual experience)
atau pengalaman mistik (mystical experience) yang berbeda dengan mystical
text. Di sisi inilah menurut sebagian pengamat, tasawuf dalam dunia Islam
dipandang sebagai gejala yang tidak mudah untuk diidentifikasi.15 Selain itu,
tasawuf telah mengalami perkembangan sepanjang masa dan bersinggungan
dengan berbagai budaya, sehingga istilah-istilah yang digunakan menjadi rumit
dengan tendensi yang bermacam-macam.16
Sebelum mendefinisikan arti tasawuf, penting untuk melihat beberapa
pendapat seputar perbedaan akar kata tasawuf itu sendiri. Para peneliti pemikiran
keislaman berbeda pendapat mengenai asal mula kata tasawuf. Seorang
orientalis peminat kajian tasawuf, Nicholson berpendapat bahwa kata tasawuf
berasal dari s}afa>’ yang berarti ‘murni’. Dinamakan demikian karena mengacu
pada kemurnian hati dan keikhlasan para s}u>fi> dalam mendekati Tuhannya.
Pendapat Nicholson ini dikuatkan oleh pernyataan Basha>r bin H{a>rith, bahwa para
s}u>fi> adalah mereka yang memurnikan hatinya semata untuk Allah.17
14‘Abd al-Rah}ma>n Badawi>, Ta>ri>kh al-Tas}awwuf al-Isla>mi> (Kuwait: Wika>lah al-Mat}bu>’a>t, 1975), 51. 15Cyprian Rice, The Persian Sufi (London: George Allen and Unwin Ltd., 1964), 9. 16Alwi Shihab, Islam Sufistik, 29. 17Reynold A. Nicholson, Fi al-Tas}awwuf al-Isla>mi> wa Ta>rikhuhu, terj. (Kairo: Maktabah al-Khanji>, 1951), 27.
44
Sebagian peneliti ada yang mengatakan ia berasal dari kata s}af yang
berarti baju dari bulu domba kasar yang biasa dipakai oleh orang saleh
yang tidak lagi menghiraukan kehidupan dunia. Sementara al-Qushairi
menyebutkan, diantara para peneliti ada yang menyatakan kata s}u>fi> berasal dari
kata s}aff dalam shalat. Dinamakan demikian karena mereka di hadapan Allah
selalu berada di barisan terdepan dalam kebaikan, seperti orang-orang shalat yang
berada di s}aff terdepan.18
Pendapat lain menyatakan bahwa mereka dinamakan ‘s}u>fi>’ karena
kedekatan sifat-sifat mereka kepada orang-orang ahl al-s}uffah, sekelompok orang
miskin yang tinggal di serambi masjid tempat Rasulullah mengajar di Madinah
dan tempat ibadah sahabat yang terkenal keshalihannya seperti Abu> Dha>r
al-Ghiffa>ri>. Mereka meninggalkan daerah asal mereka, harta dan semua
kekayaannya hanya untuk berada di dekat Rasulullah dan menyibukkan diri
dengan beribadah. Mereka terbiasa berpuasa di siang hari, dan pada malam hari
melakukan qiya>m al-lail, mendekatkan diri pada Allah Ta’ala. Atas sifat-sifat ahl
al-s}uffah yang demikianlah kata “s}u>fi>” dinisbatkan pada mereka.19
Sebagian yang lain berpendapat s}u>fa>nah, sejenis tumbuhan merambat yang
lazim tumbuh di padang pasir. S}u>fa>nah adalah tumbuhan sebagai simbolisasi dari
kezuhudan hidup di dunia, karena para s}u>fi> tidak mau menikmati makanan yang
lezat dan hanya menyantap tumbuhan tersebut.20
18‘Abd al-Mu’t }i > Bayyu >mi >, et. al., Al-Tas}awwuf al-Isla>mi>, Nashatuh wa Judhu>ruh wa Mada>risuh, (Kairo:Maktabah al-I>ma>n, t.th), 15. 19Ibid. 20‘Ali> Sa>mi> al-Nashr, Nashat al-Fikr al-Falsafi>, Vol. 3, (Kairo, Da>r al-Ma’a>rif, 1977),39.
45
Selain pandangan yang tersebut diatas, ada beberapa kalangan yang
mengatakan bahwa asal kata s}u>fi> ialah berasal dari s}afa> yang berarti bersih dan
suci karena orang s}u>fi> senantiasa membuat lahir batinnya dalam keadaan suci.
Sedangkan ada yang lain namun minoritas yang berpendapat bahwa tasawuf
berasal dari kata Yunani shopos yang berarti kebijaksanaan.21 Termasuk yang
berpendapat seperti ini adalah al-Bi>ru >ni>.22 Akan tetapi pendapat ini ditolak oleh
orientalis semisal Thedore Noldeke.
Jadi, secara etimologis, tasawuf setidaknya dapat dirujuk dari tujuh
kata asal yaitu: s}afa> (suci), s}aff (barisan shalat), sufa>nah (buah-buahan kecil
berbulu yang banyak dijumpai dipadang pasir), s}afwah (yang terbaik), s}u>f
(bulu domba kasar), theosophy (hikmat ketuhanan) dan s}uffah.23
Sedangkan arti tasawuf secara terminologi menurut ‘Amir bin Uman Al-
Makki, tasawuf adalah melakukan sesuatu yang terbaik di setiap saat (an yaku>na-
l-‘abdu fi> kulli waqtin bima> huwa awla> fi-l-waqti).24 Kedua, menurut Al-Junaidi,
tasawuf adalah usaha-usaha membersihkan diri, berjuang menerangi hawa nafsu,
mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju keabadian, saling mengingatkan
antar manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syariat
Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaanNya.25 Ketiga, menurut
Al-Jurairi adalah masuk ke dalam segala budi (akhlak) yang mulia dan keluar dari
21A. Hidayat, Tasawuf Dalam Al-Qur’an Dan Sunnah Serta Pandangan Ulama, dalam Jurnal Khasanah Vol. 1 No. 3 Januari-Juni (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 253. 22‘Abd al-Mu’t }i > Bayyu >mi >, et. al., Al-Tas}awwuf al-Isla>mi>, 19. 23A. Hidayat, Tasawuf Dalam Al-Qur’an, 253. 24 Abu al-Qa>sim ‘Abd al-Kari>m ibn Hawa>zin al-Qushairi> al-Naisa>bu>ri>, al-Risa>lat al-Qushairiyyah Fi> ‘Ilm al-Tas}awwuf (t.t: Da>r al-Khoir, t.th), 434. Lihat juga dalam Abu> Nas}r al-Sarraj, al-Luma>’: Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, terj. Wasmukan (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), 53. 25 al-Qushairi>, al-Risa>lat al-Qushairiyyah, 430.
46
budi pekerti yang rendah (al-dukhu>l fî khuluqin saniyyin wa-l-khuru>j min kulli
khuluqin dunuwwiyyin).26
Sampai di titik ini dapat dipahami bahwa inti dari perbedaan pendapat
mengenai asal kata tasawuf bermula dari perbedaan sudut pandang. Ada
kelompok yang menitik-beratkan pada aspek lahiriah yaitu pakaian yang dipakai
oleh pelaku tasawuf (s}u>f), kelompok yang lain menekankan pada aspek
batiniah yaitu kondisi jiwa yang bersih dari sifat- sifat tercela (s}afa>),di
samping keduanya, ada juga yang menitikberatkan pada aspek perilaku yaitu
adanya kesamaan amaliah antara ahli tasawuf dengan ahl s}uffah dan juga
kebanyakan ahli tasawuf selalu berpuasa dan bangun malam melaksanakan sholat
malam sehingga badannya kurus seperti pohon s}ufa>nah. Namun secara
teminologi, para ulama bersepakat bahwa tasawuf bermakna usaha-usaha yang
dilakukan manusia dalam menggapai kemuliaan akhlaq dalam rangka meraih
derajat yang tinggi dihadapan Allah.
Kesulitan yang sama sebenarnya juga pernah diungkapkan oleh banyak
sarjana baik klasik dan kontemporer seperti al-Ghaza >li>, al-Kala>badzi>, al-
Suhrawardi>, Ibn ‘Arabi >>, dan Muh}ammad Iqba>l. Namun mereka semua sepakat
bahwa s}u>fi>sme merupakan persoalan hati. Hati mempunyai bahasa tersendiri
dalam mencerap kebenaran. Karena bahasa hati berbeda dengan rasio, maka
mengungkapkan apa yang dirasakan oleh hati seringkali tidak dapat terwakili
dengan kata-kata. Capaian-capaian laku suluk yang dialami seorang s}u>fi> tidak
dapat diceritakan keseluruhannya kepada orang lain. Oleh karena itu s}u>fi>sme
26 Al-Sarraj, al-Luma>’, 53.
47
hanya dapat dipahami melalui hati masing-masing individu. Pencerahan s}u>fi>stik
dapat tercapai melalui olah batin yang dilakukan tiap pelaku.27
Jala >l al-Di>n Ru >mi> memberikan perumpamaan tentang sulitnya
memberikan definisi tunggal tentang s}u>fi>sme seperti orang buta yang
menggambarkan gajah di kegelapan malam. Masing-masing orang buta
memegang satu bagian tertentu dari diri gajah. Orang yang memegang belalai,
menggambarkan gajah sebagai binatang yang kecil dan panjang. Orang yang
memegang telinga gajah akan mengatakan bahwa gajah adalah makhluk lebar.
Sedangkan mereka yang memegang ekor gajah akan menganggap gajah sebagai
hewan yang kecil dan pendek.28
Ibnu Khaldu>n mengemukakan dua alasan mengapa s}u>fi>sme begitu sulit
untuk didefinisikan. Pertama, para s}u>fi> ketika mereka memberikan definisi
mengenai s}u>fi>sme tidak bermaksud menjelaskan s}u>fi>sme secara keseluruhan, akan
tetapi menjelaskan tentang satu bagian dari s}u>fi>sme yang sesuai dengan ah}wa>l dan
maqa>m yang mereka alami. Sebagian s}u>fi> menerangkan tentang ah}wa>l permulaan
jalan s}u>fi>, sebagian lagi menjelaskan ah}wa >l ujung jalan. Sebagian menerangkan
tentang kondisi dalam satu waktu tertentu, dan bukan waktu lainnya. Kedua,
perkembangan s}u>fi>sme yang meliputi wilayah geografis yang luas dan rentang
waktu yang lama menjadikan munculnya berbagai pemahaman berbeda tentang
s}u>fi>sme. Pemahaman sederhana mengenai s}u>fi>sme di awal kemunculan Islam
menjadi bervariasi dengan meluasnya pengaruh Islam ke banyak daerah yang 27‘Irfa>n ‘Abd al-H{ami>d, Nash’at al-Falsafah al-S{u>fiyyah wa Tat}awwuriha>, (Beirut: Da>r al-Jail, 1993), 131. 28Ibid., 132.
48
memiliki peradaban berbeda. Masing-masing peradaban tersebut memahami
s}u>fi>sme sesuai dengan tradisi yang mereka jalankan sebelum kedatangan Islam.
Pengaruh dari tradisi keagamaan yang berbeda-beda inilah yang kemudian
membuat s}u>fi>sme dipahami secara berbeda oleh banyak kalangan.29
Upaya dalam menjembatani berbagai kesulitan tentang pendefinisian kata
tasawuf di atas, maka Ibrahim Basyu>ny melakukan pengelompokkan menjadi tiga
kategori, yaitu al-bida>ya>t, al-muja>hada>t, dan al-madha>qa>t.30 Yang dimaksud
dengan al-bida>ya>t, bahwa prinsip awal tumbuhnya tasawuf adalah sebagai
manifestasi dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya sebagai mahluk
Tuhan. Kesadaran itu mendorong manusia (para s}u>fi>) untuk memusatkan
perhatiannya beribadah kepada Tuhan yang dibarengi dengan kehidupan asketik
atau zuhud, dengan tujuan pertama sebagai pembinaan moral. Kecenderungan
kepada moralitas tersebut, mendorong mereka untuk mempercakapkan
pengetahuan intuitif berikut sarana dan metodenya. Tindak lanjut dari
perbincangan itu mengarahkan mereka kepada aspek-aspek yang menyangkut
hubungan manusia dengan Tuhan atau Khaliq dengan mahluk. Dari segi ini,
tasawuf didefinisikan sebagai upaya memahami hakekat Allah seraya melupakan
segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenangan duniawi. Definisi lain
mengatakan, bahwa tasawuf adalah usaha mengisi hati dengan hanya ingat kepada
Allah, yang merupakan landasan lahirnya ajaran al-h}ubb atau cinta ilahi.31
29Ibid, 135. 30Ibrahim Basyu>ny, Nash’at al-Tas}awwuf al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1969), 17. 31Ibid., 17-19.
49
Definisi tasawuf yang dikategorikan dalam kelompok al-muja>hada>t adalah
seperangkat amaliah dan latihan yang keras dengan satu tujuan, yaitu berjumpa
dengan Allah. Berdasarkan tinjauan ini, maka tasawuf diartikan sebagai usaha
yang sungguh-sungguh agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Sedangkan
apabila definisi tasawuf dari kelompok pertama didasarkan pada kesadaran
manusia sebagai hamba Allah, kemudian yang kedua dikaitkan dengan upaya
mencari hubungan langsung dengan Allah, maka dalam kategori yang ketiga,
pendefinisian yang didasarkan kepada al-madha>qa>t, diartikan sebagai apa dan
bagaimana yang dialami dan dirasakan seorang hamba di hadirat Allah, apakah ia
melihat Tuhan, atau merasakan kehadiran Tuhan dalam hatinya dan atau ia merasa
bersatu dengan Tuhan. Berdasarkan pendekatan ini, maka tasawuf dipahami
sebagai al-ma’rifat al-h}aqq, yakni ilmu tentang hakekat realitas-realitas intuitif
yang terbuka bagi seorang s}u>fi>.32
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa kesulitan pendefinisian
tasawuf disebabkan salah satunya karena perkembangan s}u>fi>sme yang meliputi
wilayah geografis yang luas dan rentang waktu yang lama menjadikan munculnya
berbagai pemahaman berbeda tentang s}u>fi>sme. Pemahaman sederhana mengenai
s}u>fi>sme di awal kemunculan Islam menjadi bervariasi dengan meluasnya
pengaruh Islam ke banyak daerah yang memiliki peradaban berbeda. Masing-
masing peradaban tersebut memahami s}u>fi>sme sesuai dengan tradisi yang mereka
jalankan sebelum kedatangan Islam. Pengaruh dari tradisi keagamaan yang
berbeda-beda inilah yang kemudian membuat s}u>fi>sme dipahami secara berbeda
32Ibid., 20-24.
50
oleh banyak kalangan. Berbicara rentang waktu, kondisi geografis, dan tradisi
keagamaan para s}u>fi>, tidak lain adalah faktor-faktor yang berkaitan erat dengan
sejarah s}u>fi>sme. Dengan mengetahui sejarah yang menaungi perkembangan
tasawuf dari abad ke abad tersebut, akan membentuk sebuah pemahaman yang
holistik terhadap berbagai sebab perbedaan pandangan dan karakter di kalangan
para s}u>fi>.
3. Sejarah Perkembangan Tasawuf
Secara historis tasawuf telah mengalami perkembangan melalui beberapa
tahap sejak pertumbuhan hingga saat ini. Tahap pertama, tasawuf masih berupa
zuhud dalam pengertian yang sangat sederhana, yaitu pada abad ke-1 dan ke-2
H, ketika sekelompok kaum muslimin memusatkan perhatian dan
memprioritaskan hidupnya hanya untuk pelaksanaan ibadah dalam mengejar
kepentingan akhirat. Ali Sami al-Nashr, cendekiawan Mesir kontemporer
membagi golongan pelaku tasawuf dalam periode ini menjadi dua bagian, yaitu
golongan za >hid dan s}u>fi>. Makna za>hid yang ia maksud dinisbatkan kepada mereka
yang beriman kepada Nabi yang melakukan segala yang diperintah Nabi dan
menjauhi larangannya. Terma za>hid pada era ini dapat disematkan kepada hampir
mayoritas umat Islam (sahabat). Meskipun tidak semua dari mereka terkenal
dengan kesalehannya, namun mengingat keistimewaan mereka yang hidup
bersama Nabi sehingga mendapat pujian berkali-kali dari Allah.33
Sedangkan golongan kedua (s}u>fi>) adalah mereka yang menempuh jalan
dan metode-metode latihan khusus dalam rangka beribadah kepada Allah. Mereka
33‘Ali> Sa>mi > al-Nashr, Nash`at al-Fikr al-Falsafi, 61.
51
juga memiliki pandangan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya
sehingga membuat mereka memilih menjauh masyarakat, tidak tersibukkan
dengan urusan dunaiwi, memutuskan untuk hidup semata-mata untuk Allah.
Mereka inilah barisan s}u>fi> generasi awal dalam tradisi Islam. Pada periode ini,
muncul tokoh-tokoh seperti Hasan al-Bas}ri (w.110 H) dan Rabi>’ah al-
‘Ada>wiyyah (w.185 H).
Pendapat tersebut juga sama dengan yang diungkapkan Ibn Khaldu>n,
bahwa tasawuf selalu dimulai dari zuhud.34 Lebih lanjut Ibn Khaldu>n
menambahkan bahwa di kalangan ahli tasawuf mempunyai ilmu khusus yang
membedakannya dengan golongan lain. Sementara ahli fikih, hadis, dan tafsir
mengembangkan keilmuannya masing-masing, maka golongan tasawuf memiliki
keilmuan tentang muja>hadah, pembersihan hati, pendekatan diri kepada Tuhan,
cinta kepada Tuhan dan lain lain.35
Meskipun, seperti disinggung oleh Ibn Khaldu>n di atas, pembagian
golongan kedua tadi menggunakan kalimat ‘tasawuf’, namun sebenarnya pada
masa itu kalimat tasawuf (s}u>fi>sme) belum dikenal oleh masyarakat. Mereka
mempunyai kalimat tersendiri untuk menamakan beberapa golongan tertentu di
kalangan mereka. Para ahli tafsir dan Al-Quran disemati gelar qurra>, mereka
menjuluki para pakar hukum Islam dengan faqi>h. Sedangkan orang-orang yang
menempuh jalan khusus untuk mendekati Tuhan biasa disapa za>hid ketika itu.
Pada periode selanjutnya (abad 3-4 H), s}u>fi>sme mendapatkan interpretasi
yang lebih komprehensif, ketika kaum s}u>fi> mulai memperhatikan aspek-aspek
34Al-Nashr, Nashat al-Fikr al-Falsafi>, 63. 35Ibid, 70.
52
teoritis-psikologis dalam rangka pembentukan perilaku hingga tasawuf menjadi
sebuah ilmu akhlaq keagamaan. Pembahasan luas seputar akhlaq mendorong
lahirnya pendalaman studi psikologis dan gejala-gejala kejiwaan dan
pengaruhnya terhadap perilaku.
Al-Tafta>za >ni> mengatakan bahwa periode ini merupakan periode
kematangan diskursus s}u>fi>sme. Hal ini ditandai dengan sistematisasi teori-teori
s}u>fi>sme dan penyusunan buku-buku induk s}u>fi>sme. Pembahasan-pembahasan
para s}u>fi> yang berdiskusi terkait akhlak manusia secara tidak langsung membawa
mereka untuk mempelajari lebih dalam aspek psikologis dari manusia, sisi hewani
dan metode-metode tertentu untuk mengobatinya,disamping juga berkembang
pembahasan mengenai alam metafisika, realitas transenden, dan bagaimana
manusia yang imanen untuk memasuki alam transenden. Dari pembahasan inilah
kemudian muncul pembahasan mengenai maqa>ma>t, ah}wa>l, rahasia-rahasianya,
serta cara-cara untuk membawanya ke arah akhlak terpuji. S}u>fi>sme pada fase ini
tak ubahnya sebagai ilmu khusus yang berdiri sejajar dengan ilmu tafsir, hadist,
fikih yang lebih dahulu berkembang.36
Seperti dikatakan oleh Ibn Khaldu>n “Ketika ilmu-ilmu dalam Islam mulai
disusun dan disistematisasikan, para fuqa>ha> menyusun kitab-kitab fikih dan
us}u >lnya, demikian pula para mutakallimi>n, dan mufassir. Sementara para ahli
t}ari>qah ini (s}u>fi>) juga mengarang kitab-kitab mengenaiwara’, muja>hadah nafs, dan
sebagainya sehingga menghasilkan apa yang kita kenal dengan ilmu tasawuf, ilmu
yang berubah menjadi ilmu ilmiah dan sistematis setelah sebelumnya hanya
36Al-Tafta>za>ni >, Madkhal ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi>, 95.
53
sebagai jalan ibadah saja. Sehingga dengan demikian ilmu syariat bercabang
menjadi dua bentuk, ilmu z}a>hir yang membahas masalah ibadah, adat,
mu’a>malah, dan ilmu ba>t}in yang mendiskusikan masalah muja>ha>dah, muh}a>sabah,
dan berbicara mengenai hati, cara mengaturnya, penyakit-penyakit dan obat yang
menyembuhkannya, serta istilah-istilah yang memberikan gambaran mengenai
keadaan hati”.37
Pemikiran yang lahir di abad ke-3-4 H ini adalah berkaitan dengan
masalah-masalah epistemologis, yang berkaitan langsung dengan pembahasan
mengenai hubungan manusia dengan Allah, dan sebaliknya. Maka lahirlah
kemudian konsepsi-konsepsi seperti fana>, sebagaimana dipelopori oleh Abu>
Yazi>d al-Bust}a>mi> (w.261 H).38 Menurut Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi>, manusia yang
pada hakekatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengannya apabila ia
mampu meleburkan eksistensi (keberadaannya) sebagai suatu pribadi, sehingga
ia tidak lagi menyadari pribadinya (fana>’ al-nafs).39Fana>’ al-nafs, adalah
hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu dalam iradah Allah, bukan
jasad tubuhnya yang menyatu dengan dhat Allah.40
37Bayyu >mi >, et. al., Al-Tas}awwufal-Isla>mi >,55. 38Alwi Shihab, Islam Sufistik, 30. 39H.A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Tasawuf Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 146. 40Bandingkan dengan definisi fana>’ menurut al-Junaid, ia mengatakan: “fana>’ adalah hilangnya daya kesadaran kalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indrera”.Dari pengertian ini terlihat, bahwa yang lebur atau fana>’ itu adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan jasad materi manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi, yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qushairy: “fana>’ nya seseorang dari dirinya dan dari mahluk lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari mahluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya”. Lihat Ibrahim Bashu>ni>, Nash’at al-Tasawwuf al-Isla>miy (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif,
54
Dari sisi lain, muncul pada abad ke-3-4 H tokoh-tokoh tasawuf seperti al-
Sa>ri> al-Saqat}i >(w. 253 H), al-Kharra>z (w. 286 H), dan al-Junaid al-Baghdadi (w.
297 H) yang memberikan pengajaran dan pendidikan kepada para murid dalam
sebuah bentuk jama’ah. Untuk pertama kali dalam Islam terbentuk tarekat yang
saat itu merupakan semacam lembaga pendidikan yang mengajarkan tata cara
kehidupan s}u>fi>stik, baik teori maupun praktik kepada para murid dan siapa saja
yang berhasrat memasuki dunia tasawuf.41 Pada periode ini tersebut pula jenis
baru tasawuf yang diperkenalkan al-H{usain ibn Mans}u>r al-Halla>j yang dihukum
mati akibat doktrin h}ulu>l42-nya pada tahun 309 H.
Dengan demikian, pada abad ke 3-4 H sebuah ilmu telah terbentuk
khusus bagi kalangan kaum s}u>fi> yang berbeda dengan ilmu fiqih baik dari segi
obyek, metodologi, tujuan, maupun istilah-istilah keilmuan yang digunakan.
Lahir pula tulisan-tulisan antara lain, seperti al-Risa>lah al-Qushairiyyah43 karya
Al-Qushairi, ‘Awarif al-Ma’a>rif44 karya Al-Suhrawardi>Al-Baghda>di>, al-Luma’
karya al-T{usi>, al-T{abaqa>t milik al-Sulami>, al-Ta’a>ruf karya al-Kala>bidhi>,
menunjukkan bahwa era ini merupakan era permulaan s}u>fi>sme teoritis.Tasawuf
1969), 138 dan Abu> al-Qa>sim Al-Qushairi, al-Risa>lah al-Qushairiyah (Kairo: Da>r al-Kutub ‘Ilmiyyah, 2001), 33. 41Abu> al-Wafa>’ al-Taftaza>ni>, Al-Madkhal ila> al-Tas}awwuf, 22. 42Pengertian h}ulu>l secara singkat adalah, Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaannya melalui jalan fana>’ atau ekstase. Sebab menurut al-Halla>j, manusia mempunyai sifat dasar ganda, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut), apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat ilahiyahnya melalui jalan fana>’, maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhannya, lihat lihat ‘Abd Qa>dir Mah}mu>d, al-Falsafah al-S}u>fiyyah fi> al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Fikri, 1966), 337. 43Abu> al-Qa>sim Al-Qushairi>, al-Risa>lat al-Qushairiyah (Kairo: Da>r al-Kutub ‘Ilmiyyah, 2001) dan edisi Indonesia Risalatul Qusairiyah : Induk Ilmu Tasawuf (Surabaya: Risalah Gusti, 1997). 44Shiha>b al-Di>n Abu> H}afs ‘Umar al-Suhrawardi>, ‘Awarif al-Ma’a>rif (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1975) dan edisi Indonesia 'Awarif al Ma'arif : Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998).
55
kemudian menjadi sebuah ilmu (Tasawuf ‘Ilmi>) setelah sebelumnya hanya
berbentuk ibadah-ibadah praktis.
Pada abad ke-5 H Imam al-Ghaza>li >(w. 505 H) tampil menentang jenis-
jenis tasawuf yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah dalam sebuah
upayamengembalikan tasawuf kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud,
pendidikan jiwa dan pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang
diperkenalkan al-Ghaza>li> dalam bidang tasawuf sedemikian mendalam dan
belum pernah dikenal sebelumnya. Dia mengajukan kritik-kritik tajam terhadap
aliran filsafat, pemikiran mu’tazilah dan kepercayaan kebatinan untuk kemudian
menancapkan dasar-dasar yang kukuh bagi tasawuf yang lebih “moderat” dan
sesuai dengan garis pemikiran teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah serta dalam
orientasi umum dan rincian-rinciannya yang berbeda dengan konsepsi-konsepsi
al-H{alla>j dan al-Bust}a>mi>. Tasawuf semacam inilah yang kemudian dikenal
sebagai Tasawuf Sunni. Tasawuf yang oleh al-Ghaza>li> ditegaskan dalam
kitabnya al-Munqidh min al-D{ala>l-nya sebagai berikut:
“Yang hendak ditegaskan kiranya bermanfaat, bahwa aku yakin kaum s}u>fi> adalah orang-orang yang menempuh jalan kepada Allah Swt, dan bahwasannya pilihan mereka adalah yang paling tepat dengan jalan terbaik dan moral yang lebih tinggi. Sekiranya para rasionalis, para filosof, dan kaum intelektual bergabung untuk mengubah jalan hidup dan moralitas mereka, atau hendak menggantinya dengan sesuatu yang lain, niscaya tidak menemukan yang lebih baik. Hal ini tiada lain karena segenap hidup kaum s}u>fi>, dalam keadaan aktif maupun pasif, lahir dan batin seluruhnya bersumber pada kenabian.45
Semenjak munculnya al-Ghaza>li>, pengaruh Sunni mulai menyebar di
Dunia Islam, bahkan setelah itu muncul tokoh-tokoh s}u>fi> terkemuka yang
45Abu> H}a>mid al-Ghaza>li>, Munqidh Min al-D{ala>l (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1316 H), 49.
56
membentuk kelembagaan tasawuf (tarekat) untuk mendidik para murid, seperti
Syaikh Ah}mad Rifa>’i> (w. 570 H) dan Syaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Jila>ni> (w. 651 H)
yang terlihat sangat terpengaruh perpaduan garis tasawuf al-Ghaza>li> secara
keilmuannya dan prinsip-prinsip tasawufnya (tarekat) pada al-Junaid al-
Baghdadi. Pilihan yang sama dilakukan oleh generasi berikutnya, antara lain
yang paling berpengaruh adalah, Syaikh Abu al-Hasan al-Sya>dhili> (w. 650 H)
dan muridnya, Abu al-‘Abba>s al-Mursi> (w. 686 H), serta Ibn ‘At}a>illa>h al-
Sakandari> (w.709 H).
Puncak kemenangan sunni terjadi pada saat al-Ghaza >li> dengan berbagai
macam pendekatan keilmuan melakukan kritik mematikan bagi ideologi dan
paham non-sunni. Dalam diskursus s}u>fi>sme, al-Ghaza >li> dengan cerdas mampu
menjelaskan ajaran-ajaran s}u>fi>sme dan menghubungkannya dengan tauhid. Di
tangannya, s}u>fi>sme tidak hanya bermakna jalan untuk beribadah, khalwat,
taqarrub ila Alla>h, muja>hadah,dan riya>d}ah, saja akan tetapi juga ajakan kepada
golongan awam dengan pendekatan yang sesuai dengan kadar berpikir mereka.
Selain itu, al-Ghaza>li> juga mampu mengintegrasikan s}u>fi>sme sebagai ilmu yang
memiliki aspek teoritis sekaligus praktis. Di samping itu, dengan dukungan oleh
kekuasaan perdana menteri Niz }a >m al-Muluk, serangan al-Ghaza >li> ini praktis
membuat pengaruh kaum s}u>fi> non-sunni turun sampai ke titik nadir.46
Abad ke 6-7 H dikenal dengan masa keemasan tasawuf falsafi yang
sempat redup di masa sebelumnya. Meskipun tidak sebanyak pengikut tasawuf
sunni>, pada masa ini tasawwuf falsafi > begitu berkembang pesat, karena memiliki
46 Bayyu >mi >, et. al., Al-Tas}awwuf al-Isla>mi >, 15.
57
tokoh-tokoh yang mumpuni seperti al-Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi>> (w. 638 H).47
Tasawuf ini banyak mendapat pengikut dari kalangan Syiah di Persia. Lantaran
tradisi rasionalitas yang telah membumi sejak era Persia kuno sehingga
memungkinkan tasawuf falsafi lebih mudah diterima oleh masyarakat Persia.48
Sementara itu, lahir pula sejumlah s}u>fi> lainnya pada abad ini,
diantaranya, al-Suhrawardi> al-Maqtu>l, tokoh ilmu h}ud}u>ri> (w. 587 H), Sultan
para perindu dan penyair s}u>fi> Mesir, ‘Umar Ibn al-Fari>d} (w. 632 H), dan ‘Abd
al-H{aqq ibn Sab’i>n (w. 669 H). Dalam aliran mereka berkembang faham
panteistik yang mengarahkan tasawuf pada “kebersatuan” hamba dengan Allah
Swt. Perhatian mereka tidak tertuju pada selain taraf transendensi ini.
Perkembangan tasawuf yang akhirnya dibawah pengaruh tokoh-tokoh ini,
menimbulkan berbagai diskursus filsafat, terutama pada aspek ontologi dan
epistemologi, yang kemudian mencapai puncaknya pada keberhasilan pemikiran
Ibn ‘Arabi>> dalam membangun pilar tasawuf di atas prinsip-prinsip filsafat yang
kokoh dalam sebuah visi kesatuan yang paripurna yang dikenal dengan istilah
wahda>t al-wuju>d.49 Selain itu, pada periode ini dan seterusnya, muncul pula
47 Beberapa karakteristik yang membedakan tasawuf falsafi > dengan tasawuf sunni > adalah; muja >hadat al-nafs yang dilakukan dengan penekanan utama pada pembersihan dan penyucian hati dari selain Allah, penyingkapan-penyingkapan hakekat keIlahian dan alam ghaib seperti ‘arsh, kursi >, ruh, malaikat, stratifikasi wujud, munculnya karomah-karomah yang menyalahi adat yang muncul di tangan para wali dan sufi, keluarnya celetukan-celetukan sufiah yang nampak aneh dan menyalahi syariat, munculnya banyak teori-teori sufi baru yang belum dikenal umat Islam sebelumnya, seperti wah }dat al-wuju >d, h }ulu>l, ittiha>d, nu >r muh}ammadi>, wahdat al-adya>n dan lain sebagainya. Ibid., 132. 48 Ibid., 118. 49Alwi Shihab, Islam Sufistik, 32.
58
fenomena tarekat s}u>fi> (s}u>fi>> order) yang tersebar di banyak negara Islam, termasuk
ke dunia Barat.50
Pada Abad ke-8-9 H dan sesudahnya, posisi tasawuf kurang mendapat
sambutan di dunia Islam sebagaimana pada abad-abad sebelumnya. Berkaitan
dengan kemunduran tasawuf di abad ini, beberapa peneliti muslim menarik
kesimpulan, pertama, bahwa kemunduran tersebut disebabkan oleh hilangnya rasa
kepercayaan masyarakat Islam terhadap para ahli tasawuf. Hal ini dipicu oleh
banyaknya pelaku tasawuf dianggap terlalu menyimpang dari ajaran Islam yang
sebenarnya. Misalnya, tidak lagi menjalankan shalat (shari>’at) dikarenakan
mereka telah mencapai tingkatan ma’rifat. Kedua, karena pada waktu itu penjajah
Bangsa Eropa yang beragama Nasrani sudah menguasai sebagian besar negeri
Islam. Tentu saja paham-paham sekularisme dan materialisme, selalu mengiringi
penjajahan mereka dan digunakan untuk menghancurkan ajaran tasawuf yang
dianggap bertentangan dengan pahamnya.51
Meskipun nasib ajaran tasawuf sangat tidak populer sejak abad ke 8 H dan
sesudahnya, tetapi bukan berarti bahwa ajaran tasawuf sama sekali hilang di
dalam dunia Islam. Tersebut ada beberapa ahli tasawuf yang masih mengarang
kitab-kitab rujukan dalam ilmu tasawuf; antara lain: ‘Abd al-Wahha>b al-Sha’rany
(898- 973 H) dengan karyanya Lat}a>if al-Minan, Abu al-Abbas Ahmad bin
Muhammad bin Mukhtar al-Tija>ny (1150- 1230 H) sebagai pendiri tarekat Tijani,
Sidi Muhammad bin ‘Ali al-Sanusiy (1206- 1276 H) dengan mendirikan tarekat
50 Giuseppe Scattolin dan Ah}mad H{asan Anwa>r, Al-Tajalliyya >t al-Ruh}iyyah fi> al-Isla>m, (Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1979), 14. 51 Mahjuddin, Akhlak Tasawuf I: Mu’jizat Nabi, Karamah Wali dan Ma’rifah Sufi (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), 118.
59
Sanusiyyah, dan Muhammad Amin Kurdi (w. 1914 M) dengan karyanya kitab
Tanwi>r al-Qulu>b fi Mu’amala>h ‘Alla>m al-Ghuyu>b.52
Apabila kita merujuk kepada literatur tasawuf yang berasal dari Timur
Tengah, akan kita jumpai keragaman pola yang ditempuh untuk menentukan
kategori aliran-aliran tasawuf. Salah satu cara yang digunakan dalam
pengklasifikasian aliran tasawuf adalah berdasarkan obyek dan sasaran tasawuf
tersebut. Berdasarkan obyeknya, tasawuf dikelompokkan menjadi tiga aliran
induk, yaitu tasawuf akhlaqi yang lebih berorientasi etis, tasawuf amali yang
lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah agar diperoleh
penghayatan spiritual dalam ibadah, dan tasawuf falsafi yang bermakna mistik
metafisis.53
Apabila tasawuf diartikan sebagai upaya untuk berada sedekat mungkin
dengan Tuhan, maka dalam hal ini, tasawuf dibedakan berdasarkan “kedekatan”
dan “jarak” antara manusia dengan Tuhan. Dalam klasifikasi ini, kita jumpai
aliran tasawuf transendentalisme dan tasawuf union mystic. Aliran pertama
masih memberikan garis pemisah atau pembeda antara manusia dan Tuhan,
sedangkan aliran kedua berpendapat bahwa garis pemisah itu dapat dihilangkan
sehingga manusia dapat manunggal dengan Tuhan karena adanya persamaan
esensi antara keduanya.54 Tipe tasawuf ini kemudian dikenal dengan sebutan
tasawuf Syi’i dan tipe pertama disebut tasawuf Sunni. Apabila ajaran tasawuf
tersebut konsepnya menyimpang dari prinsip-prinsip Islam, maka ia
digolongkan pada jenis tasawuf Syi’i, sebaliknya apabila ajarannya masih berada 52 Ibid., 118-119. 53Qamar Khailany, Fi> al-Tas}awwuf al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1969), 26. 54‘Abd Qa>dir Mah}mu>d, al-Falsafah al-S}u>fiyyah, 150-151.
60
dalam garis-garis Islam, ia disebut tasawuf Sunni.55
Alternatif ketiga dalam hal pembidangan tasawuf dapat ditempuh melalui
pendekatan geografis, yaitu melihat daerah asal munculnya tasawuf tersebut.
berdasarkan pendekatan ini, tasawuf dapat dicirikan kepada aliran Khurasan atau
Persia yang dipelopori Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi >dan tasawuf aliran Mesopotamia
atau Iraq yang bermula dari ajaran al-Junaidy dan kemudian diperluas oleh al-
Ghaza>li.56
Namun sejauh beberapa literatur yang penulis kaji, pembagian tasawuf
menjadi tasawuf sunni dan tasawuf falsafi adalah pendapat yang lebih tepat dan
populer. Asumsi ini diambil karena istilah Sunni-Falsafi terkesan lebih akademis
dan menyentuh keesensi corak pemikirannya, daripada Persia-Mesopotamia
maupun Sunni-Syi’i yang lebih kental nuansa konflik politik dan pertarungan
budaya yang bersifat lebih sulit “didamaikan”.
Lebih jauh, apabila kita membandingkan antara konsep-konsep tasawuf
sunni dan falsafi, akan ditemukan sejumlah kesamaan yang prinsipil di samping
perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar. Persamaannya, adalah kedua aliran
sama-sama mengakui bersumber dari al-Qur’an dan sunnah serta sama-sama
mengamalkan Islam secara konsekuen. Sebagaimana dipahami bersama, bahwa
semua s}u>fi> dari aliran manapun, adalah orang yang za>hid dan ‘a>bid, serta
mementingkan kesucian rohani dan moralitas. Demikian juga dalam proses
perjalanan menuju arah yang ingin dicapai, kedua aliran juga sama-sama
berjalan pada prinsip maqa>ma>t dan ah}wa>l. Perbedaan yang jelas diantara
55H.A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Tasawuf Klasik ke Neo-Sufisme, 53. 56J.S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam (London: Oxford University Press, 1971), 31.
61
keduanya adalah terletak pada tujuan “antara”, yakni maqam tertinggi yang
dapat dicapai seorang s}u>fi>. Sedangkan pada aspek tujuan akhirnya, kedua aliran
ini sama-sama ingin memperoleh kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang
bersifat spiritual.57
Yang dimaksud dengan tujuan “antara”, adalah terciptanya komunikasi
langsung antara s}u>fi> dengan Tuhan dalam posisi seakan tidak ada jarak lagi
antara keduanya. Dalam memberi makna posisi “dekat tanpa jarak” inilah
terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini. Tasawuf sunni
berpendapat, bahwa antara mahluk dengan kha>liq tetap ada jarak yang tak
terjembatani sehingga tidak mungkin bersatu karena keduanya tidak seesensi.
Berbeda dengan tasawuf falsafi, yang menyatakan bahwa manusia seesensi
dengan Tuhan, karena manusia berasal dan tercipta dari esensiNya.58 Oleh
karena itulah, keduanya dapat berpadu apabila kondisi itu telah tercipta.
Dengan demikian, nampaknya perbedaan itu tidak terletak pada
menyimpang atau tidaknya dari ajaran Islam atau karena perbedaan nilai, sebab
kedua aliran tersebut sama-sama mengatas-namakan berdasarkan al-Qur’an dan
al-Hadi>th, hanya saja s}u>fi> falsafi lebih banyak menggunakan ta’wil dan
interpretasi filosofis. Menurut Kharisudin Aqib, bukan dalam arti tasawuf sunni
tidak menggunakan interpretasi filosofis, sebagai buktinya al-Ghaza>li sebagai
s}u>fi> sunni juga menggunakan pendekatan filsafat untuk mendukung ajarannya
yang diyakini kebenarannya, begitu juga halnya Ibn ‘Arabi> sebagai tokoh s}u>fi>
falsafi, bukan berarti tidak terikat sama sekali dengan sunnah dan shari>’at. 57H.A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Tasawuf Klasik ke Neo-Sufisme, 55. 58Lihat al-Qur’an, 15:29, juga hadi>th tentang proses penciptaan manusia, dimana ketika janin berusia 120 hari, maka Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruhNya ke dalam janin tersebut.
62
Kedua aliran tasawuf baik sunni maupun falsafi juga sangat memperhatikan
masalah akhla>q al-kari>mah, hanya saja yang membedakan adalah titik tolak
penekanan ajarannya.59
Dengan kesimpulan tersebut di atas, maka tasawuf bisa dikelompokkan
menjadi dua kelompok besar.60 Pertama, Tasawuf Sunni yang dikembangkan
para s}u>fi> abad ke-3 dan ke-4 H seperti al-Junayd al-Baghdadi, yang disusul al-
Ghaza>li> dan para pengikutnya dari syaikh-syaikh tarekat, yaitu tasawuf yang
berwawasan moral praktis dan bersandarkan pada al-Qur’an dan Sunnah dengan
penuh disiplin mengikuti batas-batas dan ketentuannya. Kedua, Tasawuf Falsafi
yang berupaya menggabungkan tasawuf dengan berbagai aliran mistik dari
lingkungan di luar Islam, seperti dalam Hinduisme maupun kerahiban Kristen
atau teosofi dalam konsep neo-Platonisme.
S}u>fi> Falsafi mengamalkan kehidupan s}u>fi>stik berdasarkan atas
pemahaman filsafatnya, sedangkan S}u>fi> Sunni mengamalkan kehidupan
kes}u>fi>annya atas dasar pemahaman ajaran sunnah yang didapatkan dengan tidak
banyak membicarakan unsur filsafatnya. Namun menurut Kharisudin Aqib,
klasifikasi aliran-aliran dalam tasawuf di atas pada dasarnya bukan merupakan
pembagian atas dasar ajaran utama semata dari mahzab-mahzab s}u>fi> tersebut,
59Ibrahim H}ila>l, al-Tas}awwuf al-Isla>mi Bayn al-Di>n wa al-Falsafah (Kairo: al-Nahd}at al-‘Arabiyyah, 1979), 3 dalam Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 3. 60Meskipun ada pendapat yang membagi menjadi dua kelompok, yaitu: Tasawuf Sunni dan Bid’i, ada juga yang menggolongkan menjadi aliran Union Mistic dan Personal Mistik dan pendapat yang membagi dalam tiga kelompok, yaitu: Tasawuf Sala>fi>, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, penulis menganggap secara garis besarnya antara tasawuf sala>fi> dan sunni tidak terdapat perbedaan yang sangat signifikan, oleh karena itu kedua model tasawuf ini penulis kategorikan dalam satu kelompok, yakni tasawuf sunni. Untuk uraian lebih lanjut lihat ‘Abd Qa>dir Mah}mu>d, al-Falsafah al-S}u>fiyyah, 148-299, dan dalam Kharisudin Aqib, Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 2.
63
sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan ahli tasawuf61, akan tetapi lebih
merupakan suatu titik tolak pengamalan kehidupan kes}u>fi>an yang dijalankan.
Sebab sebuah tarekat dalam arti mahzab tasawuf, juga memiliki ketiga unsur
yang sangat dominan tersebut, yaitu: sunnah Nabi, akhla>q al-kari>mah dan
filosofi ajaran yang jelas.62
Dari seluruh bahasan mengenai sejarah perkembangan tasawuf di atas,
dapat disimpulkan, bahwa motif utama para s}u>fi> dengan segenap pilihan corak
dan model tasawuf yang dipilihnya, dilandasi oleh semangat untuk meraih
ma’rifat dan berada pada derajat paling dekat dengan Allah. Semangat di atas
kemudian akan melahirkan cara bagaimana menjalin situasi dialogis secara terus
menerus antara Sang Kha>liq dan makhlu>q. Pandangan terhadap relasi antara
kha>liq (Tuhan) dan makhlu>q (alam dan manusia) inilah yang kemudian menjadi
pondasi dan karakter dasar dari berbagai konsepsi dalam dunia tasawuf.
4. Paradigma Tasawuf Terhadap Relasi Tuhan, Alam dan Manusia
Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa dalam keseluruhan ajaran
tasawuf, baik dalam tasawuf sunni maupun tasawuf falsafi, bahwa concern dari
ajaran tasawuf adalah berkaitan dengan interaksi antara Tuhan (kha>liq) dan
ciptaannya (makhlu>q). Dalam konteks ini, para kosmolog muslim membuat
teoretisasi yang membedakan dalam pandangan dunia Islam adanya tiga realitas
kosmologis; metakosmos mewakili Tuhan (kha>liq), makrokosmos (al-‘a>lam al-
kabi>r) dan mikrokosmos (al-‘a>lam as}-s}aghi>r) mewakili ciptaan (makhlu>q). 61Para ahli tasawuf yang dimaksudkan di sini adalah para cendekiawan, ilmuwan yang menekuni bidang ilmu tasawuf dan lebih berperan sebagai pengamat, tidak terlibat, dan tidak mengamalkannya (outsiders), lihat Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 2. 62Muhammad Jalal Syarf, Kha>is al-Hayat al-Ruh}iyyah fi> Madra>sati Baghda>d (t.t: Da>r al-Fikr al-Jami’iy, 1977), 7-8, dalam Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 3.
64
Makrokosmos adalah alam semesta pada umumnya, mikrokosmos adalah
manusia, dan metakosmos adalah Allah. Jika kedua alam (makrokosmos dan
mikrokosmos) itu diciptakan oleh Allah, rabb al-‘a>lam>in, apakah mungkin kedua
alam itu tidak saling berhubungan, atau keduanya terpisah dari hubungannya
dengan Sang Pencipta. Kaum arif (al-‘a>rifu>n) dari kalangan s}u>fi> seringkali
mencoba menemukan misteri-misteri yang tersembunyi atau sangat tersembunyi
di balik teks-teks ayat al-Qur’an dan hadi>th-hadi>th Nabi mengenai hubungan
antara tiga realitas (Tuhan, alam, dan manusia) di atas, serta makna dan peran
sentral manusia di dalam rangkaian hubungan itu. Al-Qur’an menekankan
berbagai fenomena alam tersebut sebagai tanda-tanda Allah (a>ya>tulla>h) yang
harus dicermati dan diambil pelajaran oleh manusia sebagai ciptaan-Nya yang
paling mulia, sehingga mendatangkan hikmah atau signifikansinya bagi
kehidupan manusia. Seluruh upaya dari para s}u>fi> tidak pernah jauh dari
keinginan mencari jejak-jejak Sang Pencipta untuk menemukan cara yang paling
bijak untuk mendekatkan diri dan mengabdi kepada-Nya.63
Para s}u>fi> senantiasa menggali petunjuk dari al-Qur’an dan al-Hadi>th
untuk dapat memahami korespondensi-korespondensi dan analogi-analogi
kualitatif tiga realitas kosmologis: alam semesta (makrokosmos), manusia
(mikrokosmos) dan Allah (metakosmos). Mereka tertarik kepada berbagai
perumpamaan (parables, mitha>la>t, ‘iba>ra>t) dan keserupaan-keserupaan
(similarities, tasybi>ha>t) dalam sumber-sumber Islam. Mereka ingin menemukan
berbagai macam hubungan pada berbagai tataran dan aras kualitatif. Metodologi 63Makalah M. Syamsul Hadi, “Pandangan Dunia Spiritual Islam dan Peran Sentral Manusia Dalam Kosmos”, 2. Disampaikan pada Annual Conference Departemen Agama, tanggal 26-30 di Lembang Bandung.
65
yang mereka gunakan untuk menguak berbagai perumpamaan dan keserupaan
dalam kitab suci—juga karena semua itu dipandang oleh mereka sebagai tanda-
tanda Allah (a>ya>tulla>h) adalah ta’wi>l (hermeneutika esoteris).64 Sebuah
metodologi yang sangat populer di kalangan ahli hikmah. Dalam hal ini Sachiko
Murata menjelaskan:
“Yang berkaitan erat dengan tipe pemikiran analogis dalam astrologi adalah ta'wi>l atau interpretasi esoteris atas al-Qur'an. Ini banyak dilakukan oleh para s}u>fi> dan juga otoritas-otoritas Syiah tertentu. Seringkali tujuan ta'wil menunjukkan bagaimana ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang kosmos, atau kisah-kisah nabi, memiliki pengertian lain sesuai dengan tataran dan aras serta situasi batiniah individu manusia. Mikrokosmos "sesuai" dengan makrokosmos. Pada tataran dan aras ini, al-Qur'an melukiskan drama jiwa manusia dalam hubungannya dengan Allah.” 65 Mengingat ketiga realitas di atas (Tuhan, alam dan manusia) dengan
segala keterkaitannya merupakan topik inti kajian tasawuf, maka sangat penting
untuk memberikan uraian lebih lanjut bagaimana konsepsi tasawuf tentang
ketiga realitas (Tuhan, alam, dan manusia), sekaligus hubungan diantara ketiga
hal tersebut.
a. Konsepsi Ketuhanan
Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa secara umum, tujuan 64Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, (Bandung: Mizan, 1998), 300. Sedangkan Cyrill Glassé mencatat perbedaan ta'wi>l dengan tafsîr. Menurutnya, Ta'wi>l merupakan model interpretasi al-Qur'a>n secara alegoris dan simbolis, khususnya penafsiran yang menguraikan pengertian al-Qur'a>n yang sangat dalam (inward), yakni ajaran-ajaran yang bercorak batiniyah. Bagi Glassé, ta'wi>l menjadi pelengkap tafsi>r. Tafsi>r—berbeda dengan ta'wi>l—menekankan makna luar (outward) dan situasional. Dalam pemikiran Islam, tafsi>r lebih mendominasi daripada ta'wi>l, di mana yang kedua dikembangkan oleh kelompok sufi yang jumlahnya relatif lebih kecil dibandingkan kebanykana ulama, filosof, maupun teolog. Glassé kemudian menyimpulkan bahwa ta'wi>l adalah model interpretasi alegoris atas al-Qur'an. (Lihat Cyrill Glassé, Ensiklopedia Islam), 410. 65Sachiko Murata, The Tao, hlm. 37. Di tempat lain, Murata mengemukakan bahwa model penafsiran al-Qur'a>n yang dikenal dengan ta'w>il (hermeneutika esoteris) bergantung—dalam banyak bentuknya—pada analogi-analogi kualitatif di antara segala sesuatu, khususnya antara mikrokosmos dan makrokosmos, lihat Ibid, 53.
66
terpenting dari tasawuf adalah bagaimana menggapai ma’rifah kepada Allah
dan berkedudukan sedekat mungkin denganNya. Dalam memahami akan
Allah, tasawuf berpendapat, bahwa segenap wujud hanya memiliki satu
realitas. Realitas tunggal “yang benar-benar ada itu adalah Allah”. Adapun
alam yang serba-ganda ini hanyalah sebagai wadah tajalli> dari nama-nama
dan sifat-sifat Allah dalam wujud yang terbatas. Nama-nama dan sifat-sifat
itu sendiri identik dengan ZatNya.66
Ibn ‘Arabi>> (1165-1240 M) mengatakan, bahwa Allah itu mutlak dari
segi esensiNya, namun menampakkan diri pada alam semesta yang serba
terbatas. Ia adalah ‘ayn sesuatu, maka terbatas dengan batasan semua yang
terbatas.67 Akan tetapi, dengan demikian bukan berarti Ibn ‘Arabi>>
menganggap Tuhan adalah alam semesta dan yang terakhir ini sebagai
wujud Tuhan. Baginya, wujud yang hakiki hanyalah wujud Allah dari segi
esensinya, bukan dari segi sifat-sifatNya; sedangkan selain daripadaNya
adalah khayal belaka.68
Tuhan sebagai esensi yang mutlak tanpa nama dan sifat, tidak
mungkin dikenal, bahkan Ia tidak dapat dikatakan Tuhan kalau tidak ada
yang bertuhan kepadaNya.69 Dengan kata lain, Tuhan hanya dapat dikenal
melalui tajalli>Nya pada alam empiris yang serba-ganda dan terbatas ini,
tetapi wujudNya yang hakiki tetaplah transenden, tidak dapat dikenal oleh
66Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn al-‘Arabi Oleh al-Jilli (Jakarta: Paramadina, 1997), 50. 67Muh}yi al-Di>n Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam, ed. A.E. ‘Afi>fi> (Kairo: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub al-‘Arabi>yah, 1946), 111. 68Ibid., 104. 69Ibid., 81.
67
siapa pun.
Dengan prinsip demikian, Ibn ‘Arabi> memandang dan menjadikan
realitas tunggal itu menjadi 2 aspek: pertama, disebut H{aqq, yakni bila
dipandang sebagai esensi dari semua fenomena; dan kedua disebut khalq,
yakni bila dipandang sebagai fenomena yang memanifestasikan esensi itu.
H{aqq dan khalq, realitas dan penampilan, atau yang satu dan yang banyak,
tidak lain hanyalah sebutan-sebutan untuk dua aspek dari satu hakikat, yakni
Tuhan. Kedua aspek ini muncul hanyalah dari tanggapan akal semata,
sedangkan pada hakikatnya segala sesuatu itu hanyalah satu.70
Ajaran ketuhanan yang dikemukakan Ibn ‘Arabi> itu seakan-akan
sebagai warisan dari Plotinus, yang mengajarkan bahwa Yang Maha Esa
(The One) itu ada dimana-mana,71 namun terdapat perbedaan fundamental
antara kedua doktrin itu. Perbedaan itu adalah bahwa Yang Maha Esanya
Plotinus ada dimana-mana dan menjadi sebab wujud; sedangkan Yang
Maha Esanya Ibn ‘Arabi> ada dimana-mana sebagai esensi, dan tidak
dimana-mana sebagai esensi universal yang berada di atas semua “dimana”
dan “bagaimana”, dan berbeda dari segala sesuatu yang mempunyai
“dimana” dan “bagaimana”.72 Singkatnya, Plotinus melihat hubungan Tuhan
dengan alam semesta dalam bentuk emanasi,73 sedangkan Ibn ‘Arabi >
melihatnya dalam bentuk tajalli>. Ajaran Ibn ‘Arabi> seperti demikianlah
70Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam, 124. 71Lihat Samuel Enoch Stumpf, Philosophy: History and Problems, vol. I (New York: McGraw Hill, 1983), 121. 72A.E. Afi>fi>,The Mystical Philosophy of Muhyi al-Di>n Ibn al-‘Arabi> (Cambridge: Cambridge University Press, 1939), 11. 73Frederick Copleston, A History of Philosophy (New York: An Image Book, 1985), 467.
68
yang disebut wah}dat al-wuju>d (kesatuan wujud). Perbedaan mendasar
antara emanasi (fayd}) dan tajalli> adalah bahwa emanasi bersifat vertikal,
karena melalui emanasi segala sesuatu mengalir dari Yang Awwal secara
vertikal dan gradual sehingga menjadi alam semesta yang serba-ganda;
sedangkan tajalli> bersifat horizontal, karena menganggap fenomena
maknawi dan empiris muncul dan berubah sebagai manifestasi al-H{aqq.
Contoh kongkret yang biasanya dikemukakan untuk tajalli>, ialah seperti biji
kacang, jika ditanam akan tumbuh ke atas (batang), ke samping, dan ke
bawah (akar). Sekalipun demikian, Ibn ‘Arabi > juga memakai kata faid}
dalam pengertian tajalli>.74
Ajaran wah}dat al-wuju>d yang demikian, agaknya tidak dapat
diidentikkan dengan panteisme, seperti banyak yang diungkapkan oleh
sebagian penulis. Karena wah}dat al-wuju>d dalam pandangan Ibn ‘Arabi >
bertolak dari asumsi bahwa Tuhan adalah satu wujud mutlak, tidak terbatas,
qa>dim, dan abadi; yang merupakan sumber dan asas dari semua yang ada,
yang pernah ada dan yang akan ada; lalu pandangan itu secara berangsur-
angsur mengambil bentuk acosmism, yang memandang alam fenomena ini
hanya sebagai bayang-bayang dari realitas yang ada di baliknya.75
Jadi, Tuhan dari segi esensiNya adalah tetap transenden. Yang imanen
hanyalah dari segi nama-nama (asma>’) dan sifat-sifatNya. Ini berbeda
dengan panteisme murni yang memandang Tuhan imanen dalam segala
74Su’a>d al-H{aki>m, al-Mu’jam al-S{u>fi> (Beirut: Dandarah, 1981), 253. Ibn ‘Arabi> memakai kata faid} dalam arti tajalli> seperti terlihat dalam ungkapan-ungkapan al-fayd} al-aqdas, al-fayd} al-muqaddas. Lihat Fus}u>s} al-H{ika>m, 49. 75A.E. Afi>fi>,The Mystical Philosophy, 54.
69
sesuatu dan manunggal dengannya, sehingga segala sesuatu bersifat ilahi.76
Selama ketransendenan itu masih diakui dan disertai pernyataan yang paling
tegas tentang keimanenan Tuhan, yang demikian itu tidak dapat disebut
panteisme.77 Oleh karena itu pula Seyyed Hossein Nasr, menolak dengan
tegas pandangan yang mengatakan Ibn ‘Arabi> seorang panteis, dia
mengatakan:
“Tuduhan panteis terhadap para s}u>fi> mengandung dua kekeliruan. Pertama, panteisme adalah suatu sistem falsafi, sementara Ibn ‘Arabi> dan s}u>fi>-s}u>fi> yang sefaham dengannya tidak pernah mengklaim sebagai pengikut atau menciptakan sistem falsafah apapun. Kedua, panteisme berarti kontinuitas substansial antara Tuhan dan alam semesta, sementara Ibn ‘Arabi >memandang bahwa Tuhan bersifat absolut transenden yang mengatasi setiap kategori dan meliputi segenap substansi”.78 Ajaran wah}dat al-wuju>d ini kemudian mendapatkan kritik dari ajaran
wah}dat al-shuhu>d yang dikembangkan pertama kali oleh Syaikh Ahmad
Sirhindi (1564-1624 M) dari India.79 Wah}dat al-shuhu>d berarti kesatuan
kesaksian. Dalam paradigma aliran ini kesaksian adalah milik sang hamba
yang menyaksikan kehadiran Allah sejauh kemampuannya, sedangkan
wujud adalah milik Allah. Bagi Sirhindi, pengalaman akan wah}dat al-wuju>d
sangat bersifat subjektif yang hanya terbentuk sebagai kesan dalam pikiran
76Pengertian panteisme ini adalah yang paling populer di kalangan penulis tentang agama. Tentang pengertian panteisme secara luas, lihat Kautsar Ashari Noer, Ibn al-‘Arabi>: Wah}dat al-Wuju>d dalam perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), 159-177. 77R. A. Nicholson, The Idea of Personality in Sufism (New Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1976), 27. 78S.H. Nasr, Three Muslim Sages (New York: Caravan Books, 1969), 105. 79 Syaikh Ahmad Sirhindi lahir di Sirhind, Punjab Timur, India, menghabiskan usia di istana Sultan Akbar (1542-1605). Ia menjadi pengikut tarekat Naqsyabandi, dan selanjutnya menjadi salah seorang syaikh terkemuka pada tarekat tersebut. Konsep dan formulasi wah}dat al-shuhu>d merupakan sumbangan khusus Sirhindi terhadap sejarah dan perkembangan pemikiran Islam. Ia diberi julukan al-Mujaddid Al-Tha>niy (Pembaharu Milenium kedua). Lihat Ian Richard Netton, Dunia Spiritual Kaum Sufi, Harmonisasi antara Dunia Mikro & Makro, terj. Machnun Husein (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 99-100.
70
manusia. Perasaan melebur dalam cengkraman cinta kepada Allah telah
membuat sang pecinta tidak dapat melihat apapun selain Allah yang
dicintainya. Hal ini menyebabkan kehilangan pengelihatan terhadap realitas
dunia ciptaan. Pada kenyataanya dunia relitas sebagai ciptaan Allah ini ada
dan adanya terpisah dari Sang Pencipta.
Dalam perspektif ‘Abd al-Haqq Ans}a>ry, konsep tauhid dalam
kepustakaan s}u>fi> memiliki empat makna yang berbeda yakni: pertama,
mengimani dan meyakini keesaan Tuhan; kedua, disiplin kehidupan lahir
dan batin berdasarkan kepercayaan tersebut; ketiga, pengalaman dalam
persatuan dan penyatuan dengan Tuhan; dan keempat, teosofi atau filosofi
tentang kenyataan yang bertolak dari pengalaman kultural.80 Tauhid dalam
konteks makna persatuan dan penyatuan dengan Tuhan, inilah yang dalam
khazanah s}u>fi> disebut dengan tauhid shuhu>diy. Secara sederhana istilah ini
berarti persepsi (shuhu>d) atas zat Tunggal (Allah) dari pengalaman mistik,
dan puncaknya adalah pengalaman menyatu dengan-Nya.
Tauh}i>d shuhu>dy dalam perspektif Syaikh Sirhindi adalah melihat zat
Tunggal, artinya bahwa dalam persepsi seorang salik tidak ada yang dilihat
selain zat Tunggal. Istilah “mempersepsi” bukan berarti menganggap yang
lain tidak ada. Karena itu, jika dalam konsep ini disebut “ penyatuan dengan
Tuhan”, maka hal itu tetap dalam konteks dualitas, dan itu berarti Tuhan
sepenuhnya berbeda dengan dunia atau makhluk-Nya (termasuk manusia).81
Dunia bukanlah sesuatu yang satu dengan Tuhan dan bukan dzat tersendiri, 80 Abd al-H}aqq Ans}a>ri, Antara Sufisme dan Syari‘ah , terj. Ahmad Mansur Budiman (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1990), 147. 81 Ibid.
71
melainkan sesuatu yang lain. Dengan demikian, wahdat al-syuhud berarti
merasakan bersatunya diri (s}u>fi>) dengan zat Tunggal (Tuhan), dalam arti
bahwa pengalaman yang dirasakan oleh seorang salik pada tahap penyatuan
itu hanyalah sekadar persepsi subjektif (syuhud). Hal ini didasari oleh
realitas dunia (makhluk), dan karenanya kekuatan yang mendasar bukan
pada monisme zat, melainkan pada dualisme dzat.
Bertolak dari prinsip bahwa Tuhan adalah sesuatu yang berbeda
dengan mahluk dan hanya bisa dikenal melalui tajalli>-Nya, namun tidak
secara esensi-Nya yang bersifat transenden, maka dapat kita pahami, bahwa
keterbatasan mahluk dalam mengenal Tuhan, meniscayakan bahwa
Tuhanlah yang akan “turun” untuk mengenalkan diri-Nya kepada mahluk
melalui serangkaian tanda-tanda kehadiran-Nya. Sebab jika tidak demikian
Tuhan tidak akan dikenal sampai kapanpun. Prinsip bahwa segala sesuatu
selain Allah adalah tanda-tanda Allah, sebagaimana diungkapkan oleh al-
Qur’an82, diungkapkan pula dengan cara lain dalam sebuah hadi>th qudsi
yang sangat populer di kalangan s}u>fi> dan dijadikan basis konseptualnya
dalam memandang hubungan-hubungan kosmologis. Hadi>th Qudsi itu
berbunyi:
فخلقت الخلق فبى عرفونى كنت كنزا مخفیا فأحببت ان أعرف"Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk dan melalui Aku mereka pun mengenal Aku").83
82Lihat al-Qur’an, 41: 53, dan dalam al-Qur’an, 20:14. 83Hadis yang dikenal dengan hadis “Khazanah Tersembunyi” ini dikutip misalnya oleh Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), 58.; Nurcholish Madjid mengutip teks hadis tentang Khazanah Tersembunyi ini dari kitab الدرر المنتثرة فى األحادیث dalam CD ROM Maktabat al-Hadis\ as-Syari>f (Riyadh/Beirut: Syirkat al-‘Ari>s, tt.) yang) المنتشرة sedikit berbeda redaksinya, yaitu ني فتھم بي فعرف عرف،فخلقت خلقا فعر ,Nurcholish Madjid) كنت كنزا ال أ
72
Oleh sebab inilah kemudian alam semesta termasuk manusia di dalamnya
terwujud sebagai bentuk tajalliyat Allah.
Pemahaman tauhid yang sempurna sebagaimana dijelaskan di atas,
akan menghantarkan pelaku-pelaku tasawuf kepada tujuan bertasawuf itu
sendiri yaitu ma’rifah. Ma’rifah menurut wacana beberapa Su>fi> tidak sama,
karena perbedaan pengalaman ruhaninya ketika berjumpa dengan
Tuhannya. Al-Qushairi> menyebutnya sebagai ketenangan jiwa yang luar
biasa, yang dirasakan oleh Su>fi> ketika mengalami ma’rifah.84 Lebih lanjut ia
menjelaskan bahwa semakin tinggi ma’rifah seorang Su>fi>, semakin tinggi
pula ketenangan jiwa yang dirasakan. Ini menunjukkan, bahwa ma’rifah
menurut Al-Qushairi> bermacam-macam tingkatannya. Kemudian beliau
mengatakan, bahwa sebenarnya ma’rifah itu adalah ilmu dan ilmu adalah
ma’rifah. Maka ‘A>rif adalah ‘A<<>lim, dan ‘A<<>lim juga adalah ‘A>rif.
Al-Junaid mengatakan, ma’rifah terdiri dari dua tingkatan; yaitu
sebagai hasil perenungan tentang ciptaan Allah (al-Ta’ri>f) dan hasil
pengungkapan diri secara langsung dari Allah (al-Ta’a>ruf).85 Pendapat al-
Junaid ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh al-‘Atawi>, bahwa
ma’rifah dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu ma’rifah melalui ciptaan,
asma’ dan sifat Allah (ma’rifat al-h}aqq) dan ma’rifah yang langsung
Simbol dan Simbolisme Keagamaan Populer, serta Pemaknaannya dalam Perkembangan Sosial-Politik Nasional Kontemporer, Makalah Pidato Pengukuhan Jabatan Ahli Peneliti Utama (Jakarta: Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [PMB-LIPI], 30 Agustus 1999), 5. Lihat pula uraian pajang Sachiko Murata mengenai Khazanah Tersembunyi ini dalam bukunya The Tao, hlm. 59-61. 84 Abu> al-Qa>sim Al-Qushairi>, al-Risa>lah al-Qushairiyah, 155. 85 Al-Kala>ba>dhi>, al-Ta’arruf Li Mahzab al-Tasawwuf (Kairo: Da>r al-Ihya>’, tt), 73.
73
menyaksikan Allah, tanpa didahului melalui ciptaan, asma’ dan sifatNya
(ma’rifat al-h}aqi>qah).86
b. Konsepsi Alam
Dari konsepsi tentang Tuhan di atas, terlihat bahwa para s}u>fi>
memandang hanya ada satu realitas tunggal yaitu Allah. Adapun alam yang
serba berbilang ini hanyalah sebagai wadah tajalliyat Allah. Hubungan
antara yang riil dan yang fenomena di sini merupakan hubungan antara yang
potensial dan yang aktual, dimana peralihan antara yang pertama dan
berikutnya itu terjadi di luar patokan ruang dan waktu, sebab tajalli> Tuhan
itu terjadi sebagai sebuah proses abadi yang tiada henti-hentinya.87
Sebagaimana dikatakan oleh Ibn ‘Arabi>, bahwa sebab terjadinya
tajalli> Allah pada alam ialah karena Ia ingin dikenal dan ingin melihat citra
dirinya melalui alam tersebut. untuk itu Ia memanifestasikan nama-nama dan
sifat-sifatNya pada alam.88 Dengan demikian, alam fenomena ini merupakan
perwujudan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang abadi. Tanpa adanya
alam ini, nama-nama dan sifat-sifat itu akan kehilangan makna dan
senantiasa berada dalam bentuk potensialitasnya pada zat Tuhan. Demikian
pula, zat Yang Mutlak itu sendiri akan tetap berada dalam “kesendirian”Nya,
tanpa dapat dikenal oleh siapapun. Di sinilah letak urgensi wujud alam
sebagai wadah tajalli> Ilahi, yang padanya Tuhan melihat citra diriNya dalam
wujud yang terbatas.
86 ‘Imad al-Di>n al-Ama>wi>, H{aya>t al-Qulu>b fi> Kaifiyyati al-Wusu>l ila> al-Mah}bu>b (Beirut, Da>r al-Fikr, tt), 254. 87 Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam,121. 88 Ibid., 48-49.
74
c. Konsepsi Manusia (Insa>n Ka>mil)
Alam semesta dalam eksistensi dan fungsinya sebagai cerminan Allah,
maka berarti juga mencerminkan seluruh nama dan sifat-sifatNya. Namun
alam empiris yang serba berbilang ini berada dalam wujud yang terpecah-
pecah, sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara utuh dan
sempurna. Bagian-bagian alam merupakan wadah tajalli> dari bagian tertentu
pada nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Jadi, alam ini masih merupakan
bentuk tanpa ruh, atau laksana cermin buram yang belum dapat
memantulkan gambaran Tuhan secara paripurna. Tuhan baru dapat melihat
citra diri-Nya secara utuh dan sempurna pada Adam (manusia/
mikrokosmos) sebagai cermin yang terang, atau sebagai ruh dalam jasad.89
Keutuhan dan kesempurnaan tersebut digambarkan Allah dalam al-Qur’an
dimana manusia diciptakan Allah dengan simbol “dua tanganNya”:
Artinya: "Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".
Dalam hadi>th disebutkan juga bahwa Adam (manusia) diciptakan
berdasarkan s}u>rah Allah
90 ة الرحمنصوربخلق آدم و 89 ‘Abd al-Razza>q al-Qa>sha>ni>, Sharh ‘a>la> Fus}u>s} al-H{ika>m (Kairo: Mat}ba>’ah al-Maymuniyyah, tt), 8-9. 90 Dalam redaksi yang lain berbunyi: وهللا خلق آدم على صورتھ. Lihat Sachiko Murata, The Tao of Islam, 32.
75
Artinya: Dan telah diciptakan Adam dari s}u>rah al-Rah}ma>n (Allah).
Dengan demikian, hanya manusialah yang mewakili gambaran dan citra
lengkap realitas Ilahi; sementara segala sesuatu lainnya memberikan
gambaran dan citra tidak sempurna, yang didominasi oleh satu tangan saja
tanpa lainnya.91 Inilah manusia yang disebut sebagai insa>n ka>mil.
Namun menurut tasawuf tidak semua manusia masuk dalam kategori
insa>n ka>mil ini. Insa>n ka>mil inilah yang pada dirinya tercermin nama-nama
dan sifat-sifat Tuhan secara sempurna. Ia dijadikan Tuhan sebagai ruh alam.
Segenap alam ini tunduk kepadanya karena kesempurnaanNya.92 Insa>n
ka>mil merupakan miniatur dan realitas ketuhanan dalam tajalli>Nya pada
jagat raya. Oleh karena itu, manusia juga disebut al-‘a>lam al-s}aghi>r
(mikrokosmos),93yang pada dirinya tercermin bagian-bagian dari jagat raya
(makrokosmos). Esensi insa>n ka>mil merupakan cermin dari esensi Tuhan;
jiwanya sebagai gambaran dari al-nafs al-kulliyyah (jiwa universal);
tubuhnya mencerminkan arsy; pengetahuannya mencerminkan pengetahuan
Tuhan; hatinya berhubungan dengan bayt al-ma’mu>r, kemampuan mental
spiritualnya terkait dengan malaikat; daya ingatnya dengan saturnus
(Zuhal); daya inteleknya dengan yupiter (al-Musytari>), dan lain-lain.94
91 Dibandingkan dengan manusia, makhluk lain, misalnya malaikat, setan , atau jin, diciptakan dengan satu sisi dari nama, sifat, atau citra (shu>rah)-Nya. Malaikat rahmah diciptakan dengan hanya tangan kanan Allah (atau dengan sifat-sifat jama>liyyah-Nya), sedangkan setan diciptakan hanya dengan tangan kiri Allah (sifat-sifat jala>liyyah-Nya). Jin, kendatipun sejajar dengan manusia dalam hal pembebanan (takli>f), ia makhluk tidak berwadag, yang hanya mencerminkan sifat ba>t}in (ketersembunyian) Allah, namun tidak sifat z}a>hir (ketampakan)-Nya. Dalam Qs. Al-H{adi>d, 57:3 Allah mengungkapkan: . ش كل باطن وھو ب اھر وال واآلخر والظ ل و يء علیم ھو األ Lihat Sachiko Murata, The Tao of Islam, 33. 92 Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam, 214. 93 Ibn ‘Arabi>, al-Futu>h}a>t al-Makkiyyah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), 118. 94 Ibid., 120.
76
Al-insa>n al-ka>mil ini merupakan wujud yang menjadi sintesa dari sifat
jala>liyyah dan sifat jama>liyyah Allah. Sifat jala>liyyah adalah sifat-sifat Allah
yang mencerminkan keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan kekerasan-Nya.
Sifat-sifat ini dikenal juga dengan sifat-sifat maskulin yang terungkap dalam
nama-nama seperti al-‘Az}i>m, al-Qadi>r, dan al-Qahha>r. Sedangkan sifat
jama>liyyah adalah sifat-sifat yang mencerminkan kemurahan, kelembutan,
kasih-sayang dan penerimaan-Nya. Sifat-sifat ini disebut juga sifat feminin
Allah, seperti dalam nama-nama al-Rah}ma>n, al-Rah}i>m, al-Tawwa>b, dan al-
Gha>fir.95
Menurut Kharisudin Aqib, sesungguhnya terdapat perbedaan
terminologi al-insa>n al-ka>mil dengan insa>n ka>mil. Jika insa>n ka>mil bermakna
yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara
sempurna yang disandarkan kepada manusia secara umum, namun apabila
berbentuk al-insa>n al-ka>mil, maka istilah tersebut menunjuk kepada pribadi
Rasulullah.
d. Relasi Tuhan, Alam, dan Manusia
Hubungan-hubungan analogis dalam berbagai tataran eksistensial
antara manusia dan kosmos menunjukkan bahwa manusia yang mewakili
keseluruhan (totalitas, jam’iyyah) dapat melakukan apa saja kepada kosmos
yang mewakili bagian dari keseluruhan. Manusia karenanya dapat
mengacaukan kosmos di samping mampu menjamin harmoni terhadap alam
semesta. Pendidikan yang baik adalah yang dapat menjalankan peran 95 Kharisuddin Aqib dalam materi kuliah tasawuf di kelas Pemikiran Islam Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, disampaikan pada tanggal 12 Mei 2012.
77
membimbing manusia untuk membantunya memahami kesempurnaan diri
dan untuk bertindak menurut ajaran Allah. Kesempurnaan ciptaan manusia
mengikuti hukum ketentuan Allah yang disebut al-amr al-takwi>ni> (perintah
penciptaan), sedangkan ketentuan Allah dalam wahyu yang mengajarkan
manusia untuk menyelaraskan kesempurnaan penciptaannya disebut al-amr
al-takli>fi> (perintah petunjuk). Dengan demikian ajaran agama melalui
tasawuf tetap bersifat substansial dan signifikan untuk dijalankan. Dalam
pemaknaan ini, menunjukkan bahwa agama (shari>’ah) menjadi asas yang
sangat fundamental bagi seorang s}u>fi>. Argumen yang paling jelas bagi
perlunya ajaran tasawuf ini adalah bahwa dengan bermodalkan
kesempurnaan penciptaan, manusia seringkali malah menempuh jalan
menyimpang yang justru merusak kesempurnaan diri sekaligus pada saat
yang sama berarti mengacaukan keseimbangan psikologis dan kosmologis.96
Hubungan-hubungan aktif-reseptif yang selaras pada kosmos dan pada
diri manusia menunjukkan bahwa baik dalam diri manusia maupun alam
semesta, bahkan dalam Diri Allah, sifat-sifat jala>liyyah Allah bersifat aktif,
sementara sifat-sifat jama>liyyah-Nya bersifat reseptif. Namun, terbukti sifat-
sifat jama>liyyah-Nya melampaui sifat-sitaf jala>liyyah-Nya, seperti dalam
hadis qudsi disebutkan: “Rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.” Menguasai
alam semesta adalah aktualisasi aktivitas manusia; namun memeliharanya
dengan penuh kasih sayang adalah sikap mulia yang harus diutamakan.
Mengapa? Karena dengan kasih sayang, segala keutamaan kosmos akan
96 M. Syamsul Hadi, “Pandangan Dunia Spiritual, 61.
78
terbentang sebagai anugerah yang menguntungkan kehidupan manusia.
Demikian juga, dalam konteks psikologi manusia, ruh, akal, dan hatinya yang
berada pada struktur atas atau tinggi dari spiritualitasnya bersifat aktif dalam
hubungannya dengan struktur bawah, yaitu nafs. Nafs pada saat yang sama
harus bersifat reseptif terhadap cahaya dari tataran atas spiritualitasnya,
bukan malah sebaliknya menjadikan kecenderungan-kecenderungan
rendahnya menjadi acuan.97
Dalam hubungan-hubungan aktif-reseptif ini, teraktualisasi misalnya
pada perlunya pribadi yang progresif dan aktif dalam hubungannya dengan
Tuhan, alam dan sesama manusia. Sedangkan di sisi yang lain juga
dikembangkan sikap reseptif dalam konteks yang sama. Sikap reseptif ini
penting untuk membentuk manusia yang mampu membawakan totalitas,
setiap manusia apa pun kedudukannya dalam struktur harus dapat
memelihara sikap-sikap akktif-reseptif ini, seperti halnya Allah yang bukan
saja memberi tetapi juga menerima. Allah mencurahkan rahmat, sekaligus
juga menerima taubat.98
Hubungan-hubungan atas-bawah yang terdapat di dalam kosmos dan di
dalam diri manusia menunjukkan bahwa manusia memiliki kesempatan yang
sangat luas untuk meningkat ke taraf setinggi-tingginya; dan sebaliknya untuk
menurun kepada taraf serendah-rendahnya. Kenyataan ah}sani taqwi>m-nya
menyiratkan peluang naik ke atas, sebaliknya asal kejadian dari tanahnya
membuka peluang kembali ke asal kejadian sebagai makhluk mati. Dengan
97 Ibid. 98 Ibid., 62.
79
demikian, buah dari pendidikan spiritual, harus bersifat “menghidupkan”,
sekaligus meningkatkan taraf kemanusiaan, dan sebaliknya juga menjaga
dekadensi dan stagnasi kehidupan. Pendidikan spiritual menentukan
tercapainya insa>n ka>mil yang substansinya berada pada ruhnya, yang
sekaligus menyiratkan jati dirinya yang mulia dan tinggi, yang dapat
menjalankan peran sentralnya di dalam kosmos sebagai penyelaras. Inilah
yang tersimpul dalam tugas kekhalifahannya di muka bumi ini.
Insa>n ka>mil adalah manusia paripurna, yang setelah tuntas melakukan
perjalanan “naik” untuk ma’rifat kepada Allah, kemudian tidak begitu saja
berasyik masyuk dengan perolehan ma’rifatnya, namun ia berkenan “turun”
untuk berkiprah memperbaiki alam semestanya. Inilah insa>n ka>mil yang
mengemban visi dan misi profetis, sebagaimana salah satu tugas Rasulullah
Saw yang tersebut dalam sabda beliau (innama al-bu’ithtu li> utammima
maka>rima al-akhla>q). Mengajarkan tentang kesempurnaan akhlak, baik
terhadap Allah, alam, dan sesama manusia. Sebuah cerminan kemuliaan
akhlak dari proses belajar dan mencontoh bagaimana Allah telah berbuat
yang terbaik bagi mahluknya, sebagaimana hadi>th: “takhalluq bi akhla>q
Allah” (berakhlaq-lah sebagaimana akhlaq Allah), dan juga dalam firman
Allah:
80
“ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.99
Selanjutnya adalah bagaimana konsepsi-konsepsi fundamental dalam
tasawuf yang mengemban visi dan misi profetis mampu berdiri kokoh dan
menemukan titik relevansinya dalam peradaban masyarakat modern? Mengingat
berkembang stigma di kalangan masyarakat modern, bahwa pemikiran-pemikiran
keagamaan semisal tasawuf, adalah sesuatu yang dinilai usang bagi sebuah
peradaban yang bernama modern. Oleh karena itu, terlebih dahulu penulis merasa
perlu menjelaskan tentang seluk beluk peradaban modern sebagai “lahan
persemaian” bagi sebuah tawaran gaya hidup sufistik, yang di dalam istilah
Kharisudin Aqib disebut sebagai gaya hidup profetis yang prospektif bagi
manusia modern.100
B. Modernitas
1. Definisi dan Sejarah Modern
Dalam maknanya yang paling umum, terma ‘modern’ berarti sesuatu yang
baru, kontemporer, up to date, atau kekinian.101 Turner yang mengikuti konsep
Habermas, menyatakan bahwa istilah ’modern’ diambil dari istilah latin abad
kelima belas, modernus, yang berarti baru, atau kekinian.102 Sementara istilah
‘modern’ menurut Levine, merujuk pada; (1) suatu zaman sejarah, (2) identifikasi
99 Al-Qur’an, 28: 77. 100 Makalah Kharisudin Aqib, “Sufi: Gaya Hidup Profetik Yang Prospektif”, 1. 101John Scott, Sociology, The Key Concepts (London & New York: Routledge, 2006), 110 102Bryan S. Turner, Theories of Modernity and Postmodernity; Theory, Culture & Society (London: Sage, 1990), 16.
81
sebentuk fenomena dan proses, atau (3) seperangkat gagasan dan cita-cita
mengenai perkembangan masa depan masyarakat.103 Kata tersebut bisa juga
diartikan sebagai segala hal yang berbeda, berkebalikan dengan periode lampau.
Misalkan, arsitektur, atau gaya berbusana modern berarti juga arsitektur dan gaya
berbusana yang sama sekali berbeda dengan masa sebelumnya.104
Kata ‘modern’ digunakan awalnya di Eropa sekitar abad XVII, untuk
membedakan struktur masyarakat di periode yang baru tersebut dengan pola
kehidupan tradisional di masa sebelumnya, yang kental dengan feodalisme, dan
irasionalitas.105 Istilah ‘modern’ digunakan untuk membedakan bangsa Eropa dari
era pertengahan. Jadi, kata ‘modern’ digunakan untuk menggambarkan situasi
pola hidup masyarakat Eropa setelah abad pertengahan (post-medieval Europe). Ia
dipahami sebagai sebuah proses berkembang dan menyebarnya rasionalisasi Barat
ke setiap aspek kehidupan manusia beserta perilaku sosialnya.106
Dari kata ‘modern’ di atas, yang merujuk pada sepenggal sejarah Barat
yang membedakan dengan masa lampau, bisa diturunkan menjadi istilah
‘modernisasi’, ‘modernisme’, dan ‘modernitas’. Dalam pandangan Turner,
modernisasi ia definisikan sebagai suatu perubahan sosial dan budaya yang
bersifat masif yang telah berlangsung dari pertengahan abad enam belas, yang
pada gilirannya, berkaitan dengan suatu analisis terhadap masyarakat kapitalis
103Donald N. Levine, Modernity and Its Endless Discontents (USA: The University of Chicago, 2002), 4. 104Ahmad Muhammad, “Pemikiran ‘Abd Al-H}ali>m Mah}mu>d Tentang Relasi Sufisme dan Modernitas” (Tesis—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013), 48. 105Scott, Sociology, The Key Concepts, 111. 106Turner, Theories of Modernity and Postmodernity, 16.
82
industrial sebagai suatu perubahan revolusioner dari stabilitas tradisi sosial yang
dibangun dalam peradaban agraris yang stagnan.107
Tak jauh berbeda dengan Turner, J.W Schoorl memandang bahwa
modernisasi yaitu suatu proses transformasi, dan perubahan masyarakat dalam
segala aspeknya. Modernisasi dapat dirumuskan sebagai penerapan pengetahuan
ilmiah pada semua aktivitas, semua bidang kehidupan masyarakat. Proses
transformasi demikian menjadikan dunia sosial berada di bawah dominasi
sekularisasi, rasionalitas, diferensiasi berbagai lapangan kehidupan dunia,
birokratisasi ekonomi, praktek-praktek politik dan militer, serta moneterisasi nilai-
nilai yang berkembang.108
Sementara itu, konsep modernisme biasanya dikaitkan dengan fenomena
atau kategori kebudayaan.109 Fenomena tersebut, menurut Maryam Jameela
merupakan “pemberontakan radikal” terhadap nilai-nilai yang dianggap sudah
mapan, terutama menyangkut agama dan nilai-nilai spiritual.110 Sedangkan konsep
modernitas digunakan untuk menjelaskan ‘totalitas’ kehidupan, yang dibangun di
atas pondasi modernisme.111 Jadi, bisa disimpulkan bahwa modernitas merupakan
hasil dari proses modernisasi dan kategori kebudayaan tertentu yang dilandasi
oleh modernisme.
Zaman keemasan Islam secara historis tidak dapat dipisahkan dari abad
modern yang terjadi di Barat. Masa kejayaan Islam ditandai dengan kemunculan
107Ibid., 18. 108Ibid., 6. 109Yasraf Amar Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna (Yogyakarta: LKIS, 1999), 15. 110Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme, terj. (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), 39. 111Yasraf Amar Piliang, Hipersemiotika,15.
83
pemikiran-pemikiran rasional, ilmiah dan filosofis yang berkembang pesat di
kalangan umat Islam. Para pemikir Islam dalam mengembangkan gagasan
rasional filosofisnya selalu merujuk kepada wahyu. Sehingga interpretasi –
interpretasi pemikiran pada masa kejayaan Islam klasik secara kuat masih
terintegrasi antara dimensi spiritual dan dimensi intelektual yang bersumber pada
pemahaman wahyu ilahi.
Pada saat dunia Islam dalam zaman keemasannya, dunia di belahan bumi
Eropa pada abad pertengahan masih mengalami masa kegelapan dan kemunduran
(the dark age).112 Kemajuan yang dialami oleh dunia Islam ternyata memiliki
daya tarik bagi bangsa Eropa. Maka tidak mengherankan apabila telah terjadi
gelombang besar di Eropa untuk “berguru” ke negara-negara Islam untuk
mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat. Melalui kontak ini, pemikiran
rasional, ilmiah, filosofis, dan bahkan sains Islam mulai ditransfer ke daratan
eropa.113
Kontak antara dunia Eropa dan Islam, pada lima abad berikutnya, ternyata
telah mampu menghantarkan Eropa melalui ide-ide “kebangkitan kembali”
(renaissance), reformasi, revolusi ilmu pengetahuan, “pencerahan” (enlightment),
dan rasionalisme,114 untuk memasuki babak sejarah yang betul-betul baru, yaitu
abad modern.115
112John L. Esposito (ed.), Voice of Resurgent Islam (New York: Oxford University Press, 1983), 5. 113Lihat Harun Nasution dalam pengantar buku Syahrin Harahap, al-Qur’an dan Sekularisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), xii. 114Bernard Lewis, The Muslim Discovery of Europe (New York & London: W.W Norton & Company Inc., 1982), 50, dalam Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Postmodernity, the Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading (Yogyakarta: LkiS, 1993), 107-108. 115Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 50.
84
Proses modernisasi yang berkembang di Eropa pasca abad pertengahan,
lalu menghasilkan masyarakat baru (modern) yang mengadopsi rasionalitas dan
institusi rasional dalam mencapai tujuannya di setiap aspek kehidupan, sehingga
kemudian mengeliminir tradisi dan tradisionalitas. Menurut Seyyed Hossein Nasr,
“tradisi bukanlah suatu mitologi yang kekanak-kanakan dan usang, melainkan
suatu sains yang benar-benar nyata” (Tradition is not childish and out mode
mythology, but a science that is terribly real). Lebih lanjut Nasr menambahkan,
bahwa lawan langsung dari “tradisi” adalah apa yang disebut “modern”. Modern,
kata Nasr, tidak diartikan sebagai contemporary atau up to date. Kata modern juga
tidak merujuk kepada suatu keberhasilan dalam penguasaan atau dominasi atas
dunia alam, melainkan modern berarti sesuatu yang dilepaskan (cut off) dari yang
transenden, dari prinsip-prinsip abadi yang dalam realitasnya mengatur segala
sesuatu dan yang dibuat dikenal oleh manusia lewat pewahyuan dalam pengertian
yang paling luas kata itu.116
Dengan rasionalitas, orang Eropa kemudian membangun institusi
masyarakatnya berupa; konsep negara bangsa, sistem industri modern, sistem
komunikasi dan transportasi masal modern, dan sistem ekonomi modern.
Modernitas, bisa eksis apabila ditopang oleh institusi kunci masyarakat yang
terasionalisasikan di segala aspek. Jadi, bisa dikatakan bahwa inti dari modernitas
adalah rasionalitas. Masyarakat Eropa, yang pertama kali mengalami modernitas,
116Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London & New York: Keagan Paul International, 1987), 98.
85
lantas kemudian menyebarkan ide-ide tersebut ke segala penjuru dunia melalui
perdagangan dan kolonialisme.117
Marshal Berman mengidentifikasi tiga tahapan sejarah perkembangan
modernitas, yaitu: Tahap pertama, membentang dari abad ke-16 sampai akhir
abad ke-18, dalam waktu ketika orang memulai mengalami kehidupan modern.
Periode awal modernitas ini ditandai dengan beberapa peristiwa penting dalam
sejarah seperti gerakan Renaisans, Pencerahan di Eropa, revolusi Amerika dan
Perancis serta revolusi Industri di Inggris. Tahap kedua, dimulai bersamaan
dengan revolusi Prancis dan timbulnya kekacauan dalam kehidupan sosial, politik
dan individu hingga gelombang revolusi besar tahun 70-an yang luar biasa. Tahap
ketiga, ditandai dengan terjadinya difusi global dari proses modernisasi dan
perkembangan dari suatu kebudayaan dunia modernisme yang menimbulkan
kekecauan dalam kehidupan sosial politik.118
Tapi modernitas lebih dari sekedar periode sejarah. Modernitas adalah
sebuah cara berpikir baru yang berakar ke dalam enlightment dan positivisme.
Enlightment (pencerahan) adalah gerakan intelektual Eropa yang dimulai pada
sekitar waktu ketika Isaac Newton mempublikasikan bukunya yang terkenal,
Principia Mathematica pada 1686, meskipun akar dari enlightment bisa dilacak
lebih jauh pada para ilmuwan semisal Bacon, Hobbes, dan Descartes. Orang-
orang ini menciptakan revolusi intelektual karena percaya bahwa penggunaan akal
dan logika akan menerangi dunia, pada saat iman dan agama tidak bisa
melakukannya. Target dari gerakan ini pada mulanya adalah kekuasaan gereja dan 117Scott, Sociology, The Key Concepts, 110-112. 118Marshall Berman, All That is Solid Melts into Air: The Experience of Modernity. (New York: Simon and Schuster, 1982), 16-17
86
monarki di Eropa. Ide-ide sentral dari enlightnment adalah progresifitas,
empirisisme, kebebasan, dan toleransi.119
Ide-ide progresifitas dan empirisme ini sangat signifikan mengingat
sebelum masa pencerahan, ide kemajuan itu dianggap tidak penting. Alasan untuk
itu adalah bahwa pandangan dunia dominan saat itu didasarkan pada tradisi dan
agama. Pengetahuan tradisional yang tertanam dalam jangka waktu cukup lama
dengan demikian menolak pemikiran tentang perubahan dan kemajuan. Sementara
agama, karena didasarkan pada wahyu Tuhan, menjadikan pengetahuan manusia
tergantung pada kabar dari Tuhan dan bukan pada kreatifitas manusia. Manusia
modern Barat berusaha membebaskan diri dari tatanan ilahiah (theomorphism),
untuk selanjutnya membangun tatanan yang berpusat semata-mata pada manusia
(antropomorphism).120
Agar ide-ide modernitas dan kemajuan tadi bisa tercapai, maka alam
semesta harus dilihat dalam sudut tertentu. Daripada melihat dunia sebagai entitas
fisik dan spiritual, seperti dalam agama atau tradisi, lebih baik hal tersebut harus
dipahami sebagai entitas yang semata-mata empiris. Sehingga manusia mampu
mencapai pengetahuan tentang dunia ini berdasarkan pengamatan dan usaha
mereka sendiri. Dengan demikian, modernitas dibangun dari pondasi kepercayaan
bahwa manusia merupakan sentral segalanya, dan alam semesta tak lain hanyalah
realitas empiris. Manusia, melalui akalnya mampu mendapatkan pengetahuan
sejati tanpa harus menunggu wahyu Tuhan, seperti lazim terjadi pada masa
119Nurcholis Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam, 56. 120Tim Penyusun Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2008), 239.
87
sebelumnya. Oleh karena itu, tidak salah jika periode ini sering disebut dengan
The Age of Reason.121
2. Karakteristik Modernitas
Pemikir modern, Alex Inkeles dan David H. Smith menyebutkan sembilan
ciri manusia modern, yaitu: (1) terbuka terhadap inovasi, perubahan,
penanggungan risiko, dan terhadap gagasan-gagasan baru; (2) tertarik dan
memiliki kemampuan membentuk pandangan-pandangan mengenai isu-isu yang
berada di luar lingkungannya; (3) lebih demokratis, terutama dalam hal
pengakuan dan toleransi terhadap perbedaan pendapat; (4) lebih berorientasi
terhadap masa kini dan masa depan daripada masa lalu; (5) menempatkan masa
depan dirinya ke dalam suatu perencanaan, visualisasi, dan pengorganisasian
untuk mewujudkannya; (6) cenderung tidak menerima keadaan sebagai nasib dan
berpandangan bahwa keadaan dunia ini dapat diperkirakan dan terbuka untuk
kendali manusia; (7) menghargai hak-hak orang lain tanpa memandang status
tradisionalnya; (8) menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
instrumen untuk mengendalikan alam; (9) memiliki pandangan bahwa manusia
harus dihargai berdasarkan kontribusinya terhadap masyarakat, bukan berdasarkan
status sosialnya.122
Tidak jauh berbeda dari ciri-ciri modernitas yang dikemukakan Alex
Inkeles dan David H. Smith di atas, Deliar Noor menggambarkan karakteristik
masyarakat modern sebagai masyarakat yang (a) melihat ke depan bukan melihat
121Ibid., 238. 122Alex Inkeles dan David H. Smith, Becoming Modern, In Individual Change in Six Developing Countries (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 303-304. Lihat juga Ahmad Muhammad, “Pemikiran ‘Abd Al-H}ali>m Mah}mu>d”, 53.
88
ke belakang, (b) memiliki sikap yang dinamis dan aktif, bukan sikap menunggu,
(c) memberikan perhatian khusus kepada rasionalitas, bukan pada perasaan-
perasaan atau asumsi-asumsi, (d) mengembangkan suatu sikap yang terbuka
terhadap pemikiran dan hasil-hasil penemuan ilmiah, (e) memberikan prioritas
kepada hal-hal yang telah dicapai oleh seseorang, bukan kepada statusnya yang
diakui, (f) memberikan perhatian yang terbesar kepada persoalan- persoalan
langsung yang lebih konkrit dan yang lebih mendunia, (g) melibatkan dirinya
kepada tujuan-tujuan yang mengatasi tujuan-tujuan golongan.123
Di antara beberapa karakter dasar yang menjadi ciri khas modernitas
sebagaimana diungkapkan di atas, penanda paling mencolok dari modernitas
adalah kehadiran manusia di dunia sebagai ‘aku’ yang identik dengan ‘rasio’
(kesadaran). Rasio diyakini sebagai satu kemampuan otonom yang mengatasi
kekuatan metafisis dan transendetal. Ia mengatasi semua pengalaman dan
partikular yang khusus. Disamping itu, ia juga menghasilkan kebenaran mutlak,
universal, dan tidak terikat waktu. Dengan demikian jelas bahwa apa yang disebut
periode modern dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa manusia menjadi
pusat dan ukuran dari semua yang ada (beings).124
Dunia modern Barat yang muncul melalui spirit yang berkembang di abad
renaissans, dengan gemilang telah meruntuhkan prasangka-prasangka teologis dan
metafisis atas alam semesta. Pergeseran secara mendasar dalam pola pikir
masyarakat modern Barat tersebut dari metafisik ke rasionalitas-empiris telah
melahirkan sejumlah penemuan sains dan teknologi yang luar biasa, yang semakin 123Syahrin Harahap, Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 12. 124Nurcholis Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam, 54-70.
89
mengukuhkan kebenaran rasionalitas daripada kebenaran teologis. Rasionalitas
telah menjadi ukuran satu-satunya bagi kebenaran masyarakat modern Barat.
Rasionalitas diagung-agungkan sebagai alat utama dalam menjelaskan segala
sesuatu yang dianggap nyata atau riil.
Bila ditarik lebih jauh, rasionalitas mendapatkan inspirasi dari gagasan
Descartes dengan slogannya, cogito ergo sum. Melalui slogan ini, Descartes dan
Cartesian (para pengikut Descartes) ingin meneguhkan peranan manusia sebagai
subyek dari alam ini. Manusia, sebagai ganti Tuhan yang menjadi subyek selama
abad pertengahan Eropa mulai menjadi sentral dari alam semesta. Manusia,
melalui rasionalitas yang didapatkan melalui jalan berpikir sangat percaya diri
dapat memecahkan segala permasalahan dunia. Menurut Yasraf Amir Piliang,
wawasan humanisme Cartesian dalam hal ini, bersifat sangat mekanistis, dalam
pengertian bahwa rasionalitas dapat dijadikan sebagai ukuran tunggal ‘kebenaran’,
dan ‘mesin’ dijadikan sebagai paradigma, dalam mewujudkan mimpi-mimpi
utopis manusia modern akan kekuasaan atas alam semesta.125
Selain mendapat inspirasi dari Cartesian, modernitas, barangkali dibangun
dari paradigma filsafat Hegel, yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang riil
adalah rasional, dan segala sesuatu yang rasional adalah riil. Artinya, tidak ada
sesuatu yang tidak dapat dimengerti. Pandangan Hegel ini merupakan kelanjutan
dari pemikiran Immanuel Kant, yang meskipun meletakkan rasionalitas dalam
kedudukan tinggi, tetapi Kant masih memberi tempat bagi ‘sesuatu pada dirinya
sendiri’ (das ding an sich) yang tidak dapat diketahui oleh manusia. Dalam
125Yasraf Amar Piliang, Hipersemiotika, 16.
90
konteks ini, Hegel melampaui Kant dan menyatakan bahwa manusia, dengan
kemampuan rasionalitasnya dapat mengetahui segala sesuatu. Jika ada sesuatu
yang tidak dapat diketahui manusia, maka jelaslah bahwa sesuatu itu tidak benar-
benar eksis.126
Bila melihat ke belakang, revolusi intelektual abad kedelapan belas adalah
elemen penting dari “transformasi besar”. Ia membentuk apa yang disebut
"proyek modernitas” dengan menantang mitos agama dan tradisi. Perubahan
dalam dunia ide mengubah pandangan dan perilaku masyarakat untuk secara
terbuka mempertanyakan segala sesuatu dari sudut pandang rasionalitas.127
Berbeda dari pendahulunya, masyarakat modern adalah masyarakat
sekuler yang meyakini kekuatan pikiran rasional. Proyek modernis, khususnya
yang termanifestasikan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, memberikan janji
kemajuan dengan penguasaan atas alam. Para pemikir awal era modern yakin
bahwa kemajuan dalam pengetahuan adalah solusi untuk semua permasalahan
sosial. Seperti yang dikemukakan sosiolog Max Weber, bahwa kunci dari
perkembangan ‘transformasi besar’ adalah semua manifestasi dari pertumbuhan
rasionalitas.128
Konsep rasionalitas merupakan kunci untuk memahami modernitas.
Weber merupakan tokoh pemikir yang mula-mula menerapkan konsep
rasionalisasi. Pengertian rasionalisasi ini menurut Weber berarti perluasan
penggunaan rasio dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Menurut Nurcholish
126Harry Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, terj. (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), 42 127JurgenHabermas, The Theory of Communicative Action, Reason and the Rationalization of Society (USA: Beacon Press, 1987), 45 128Ritzer dan Douglas, Teori Sosiologi Modern, 550.
91
Madjid, modernisasi secara jelas dapat diidentikkan atau hampir identik dengan
pengertian rasionalisasi. Artinya proses perombakan pola pikir dan tata kerja lama
yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja yang
rasional. Dengan demikian, sesuatu itu dapat disebut modern kalau ia bersifat
rasional, ilmiah dan berkesesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam
alam.129
Pada sepanjang abad ke-19 dan 20, proyek modernitas terus berlanjut
meliputi pelbagai bidang kehidupan manusia. Proyek modernitas menggunakan
ukuran ‘bergerak maju’ dan ‘kemajuan’ sebagai tujuan pembebasan manusia dari
kebodohan, kemiskinan, dan perbudakan. Modernitas ditandai dengan grand-
narrative, kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi mengarahkan dan menjiwai
masyarakat modern, seperti halnya mitos yang mendasari masyarakat primitif.
Akan tetapi perbedaannya dengan mitos dalam masayarakt primitif, bahwa grand-
narrative tidak berusaha mencari legitimasi dari suatu peristiwa kepada masa lalu
(penciptaan oleh dewa-dewa), melainkan pada masa depan, dalam suatu ide yang
harus diwujudkan, bersifat universal, dan berlaku di mana-mana. Seperti,
misalnya emansipasi progresif dari rasio, kebebasan dalam liberalisme politik,
kemakmuran pada konsep ekonomi pasar bebas, perkembangan melalui teknologi
dan sebagainya.130
Jadi dari sini bisa diartikan bahwa secara umum dunia modern ditandai
dengan ‘diferensiasi’ dan ‘universalitas’. Karakter diferensiasi ini sebenarnya
hendak mengungkapkan bahwa dalam realitas kemodernan terdapat pemisahan 129Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1995), 207-220. 130Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX, jilid II: Perancis, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), 348.
92
antara kategori-kategori tertentu yang dianggap berbeda.131Hasil dari proses
diferensiasi terlihat dengan dikontraskannya kategori-kategori tertentu seperti
dikotomi individualisme modern dengan kolektivisme tradisional, wilayah publik
dengan wilayah privat, rasionalitas modern dengan irasionalitas tradisional,
pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan non-ilmiah, dan tak lupa agama dengan
ilmu pengetahuan. Dalam situasi modernitas, beberapa kategori di atas
dikontraskan satu sama lain dan tidak dimungkinkan untuk bermuara pada ujung
yang sama. Modernitas bisa dijelaskan dengan adanya tembok pemisah antara
satu kategori dengan kategori lainnya.
Jika diferensiasi adalah pengkontrasan antara kategori-kategori yang
dianggap taksama, maka universalitas berarti pengistimewaan salah satu kategori
di atas kategori lainnya. Modernitas dengan jelas menganak-emaskan
pengetahuan modern, dengan kebenaran ilmiah diajukan sebagai tujuan akhir
pencarian.132 Didasari oleh semangat rasionalitas, modernitas memaknai
kebenaran sebagai apa yang dihasilkan oleh seperangkat metodologi yang akan
menghasilkan konklusi dan pengetahuan yang seragam. Kebenaran adalah apa
yang diproduksi oleh rasionalitas, titik. Tidak kurang tidak lebih. Tidak ada
perbedaan, tidak pengakuan terhadap pluralitas, dan tidak ada cela untuk
mengatakan kebenaran lainnya. Dalam mega proyek modernisme, semuanya
terstruktur dalam satu narasi besar (grand narrative) yang bernama rasionalitas.
Diferensiasi inilah pada akhirnya akan membentuk dikotomi dalam
berbagai kategori, seperti: modern-tradisional, materi-immateri, ilmiah-non 131Emanuel Wora, Perenialisme:Kritik atas Modernisme & Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 54. 132Ibid., 56.
93
ilmiah. Dikotomi ini mengakibatkan cara pandang manusia modern terhadap
kenyataan hidup menjadi begitu sekularistik, dan pada akhirnya melahirkan
kepribadian yang serba ganda atau split personality, yang berimplikasi terhadap
kemunculan berbagai problem dalam kehidupan manusia modern.
3. Problematika Manusia Modern
Modernitas selain menyuguhkan berbagai bentuk perkembangan di segala
bidang kehidupan, juga mengakibatkan beberapa problematika bagi manusia
modern sebagai ciri khas produk manusia yang tidak akan luput dari sifat
ketidaksempurnaan.
Problematika yang dimaksud adalah perbedaan antara kondisi yang terjadi
dan kondisi yang diharapkan atau boleh juga diartikan sebagai perbedaan antara
kondisi sekarang dengan tujuan yang diinginkan.133 Dalam Kamus Oxford,
problem didefinisikan sebagai a matter or situation regarded as unwelcome or
harmful and needing to be dealt with and overcome (masalah atau situasi yang
dianggap tidak diinginkan atau berbahaya dan perlu ditangani dan diatasi).134
Idealnya, modernitas dengan segala capaiannya bertujuan untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia. Namun realitasnya, yang
berkembang dan dominan dalam kehidupan manusia modern justru tergerusnya
kebahagiaan, ketenangan, dan rasa aman. Peter L. Berger melukiskan manusia
modern mengalami anomie, yaitu suatu keadaan dimana setiap individu manusia
kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan
133 Aunur R. Mulyanto, Rekayasa Perangkat Lunak, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, 2009), 10. 134 http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/problem?q=problem, diakses tanggal 10 Maret 2014.
94
sesama manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang
memberikan petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini.135
Para sosiolog melihat gejala krisis manusia modern itu dalam skala
kehidupan masyarakat, yang menggambarkan kemunduran (regress) sebagai
lawan dari kemajuan (progress), sebagai kenyataan sosial yang tidak
terbantahkan. Terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam
kehidupan masyarakat, yang pertama berlangsung pada level pribadi (individu)
yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan respons (tanggapan), termasuk di
dalamnya konflik status dan peran. Kedua, berkenaan dengan norma, yang
berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang harus menjadi patokan kehidupan
perilaku, yang oleh Emile Durkheim disebut sebagai kehidupan tanpa acuan
norma (normless).136
Pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan
pengetahuan masyarakat, yang biasa disebut sebagai cultural lag, dimana nilai-
nilai dan pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat jauh melampaui hal-hal
yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan.137
Dalam konteks Indonesia, masyarakat Indonesia boleh dikatakan belum
mengalami krisis kehidupan modern sebagaimana telah dialami oleh masyarakat-
masyarakat di negara maju, sebab modernitas atau kemodernan dalam kehidupan
masyarakat kita masih berada pada pertumbuhan awal. Namun menurut Haedar
Nashir, justru dalam masa transisi dari tradisional ke modern, seringkali
memumculkan permasalahan yang lebih rumit dan kacau. Wajah manusia modern 135 Berger, Piramida Pengorbanan, 35. 136 Haedar Nashir, Agama dan Krisis, 4. 137 Ibid.
95
Indonesia tampak buram, karena secara fisik sudah modern, namun kehidupan
mental dan alam pikiran masih tertinggal.138
Masyarakat Indonesia sering kali mendengungkan keluhuran ketimuran
seperti keramahan, gotong royong dan santun. Namun pada saat yang sama
kekerasan dan kebrutalan muncul dalam berbagai bentuk. Kriminalitas yang
tumbuh subur, pemerkosaan, pembunuhan, perkelahian pelajar, narkoba,
perselingkuhan, bunuh diri dan frustasi selalu menghiasi headline berbagai media
tanah air setiap harinya.
Kehidupan modern yang semakin keras dan saling memangsa, telah
memunculkan problem yang disebut dengan penyakit keterasingan (alienasi).
Keterasingan yang beragam akan muncul menyertai akselerasi pembangunan,
sebagai kosakata lain dari modernisasi dalam kehidupan masyarakat modern.
Tentu saja keterasingan tersebut tidak hanya terjadi dalam dimensi individu
(kesadaran diri) manusia saja, namun juga terjadi dalam hubungannya terhadap
alam (ekologis) dan sesamanya (sosial).139
a) Alienasi Kesadaran
Alienasi kesadaran, adalah sikap manusia yang ditandai oleh hilangnya
keseimbangan kemanusiaan, karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai
satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan rasa dan akal budi.140
Horkheimer melihat bahwa usaha pencerahan pengetahuan yang dilakukan
selama ini ternyata justru menghasilkan konsep rasionalitas tertentu yang
138 Ibid., 5. 139 Herati Nurhadi dalam M. Sastrapratedja (ed), Menguak Mitos-Mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis. (Jakarta: Gramedia, 1986), 341. 140 Herati Nurhadi dalam M. Sastrapratedja (ed), Menguak Mitos-Mitos, 342.
96
menghasilkan cara berpikir posivistis. Pada masa ini, rasio instrumental
menunjukkan permusuhannya dengan metafisika, karena pernyataan-pernyataan
metafisika dianggap tidak bermakna karena dianggap tidak dapat diverifikasi.
Spirit modernitas hendak menyingkirkan metafisika karena dianggap mitos.
Metafisika dipinggirkan karena tidak selaras dengan rasionalitas manusia modern.
Nyatanya yang terjadi kemudian adalah rasionalitas yang diandaikan sanggup
menyingkirkan mitos dan metafisika harus berakhir berakhir sebagai mitos baru.
Upaya pencerahan oleh rasionalitas pada akhirnya menampakkan wujud rasio
sebagai mitos baru pengganti metafisika.141
Auguste Comte membagi perkembangan peradaban menjadi tiga periode,
yaitu periode teologis (etat theology), periode metafisis (etat metaphysics),
periode positivis atau ilmiah (etat positivism). Kita sekarang telah sampai pada
zaman ilmiah, yang menandakan berakhirnya cerita tentang agama dan
metafisika.142 Manusia rasional senantiasa berusaha untuk menyingkirkan
kekuatan di luar diri manusia. Pemikiran obyektif di luar diri manusia dianggap
tahayul. Dalam hubungan ini, positivisme sebagai usaha manusia rasional yang
secara ekstrim menganggap diri otonom, lepas dari hal-hal yang bersifat
transenden.143 Dengan kepercayaan diri yang berlebihan terhadap pendekatan
empirisis-positivistik, modernitas memunculkan sinisme yang mendalam terhadap
aspek religius dan spiritual dari kehidupan.
Max Weber berpendapat bahwa masalah kehidupan modern yang paling
menentukan adalah perkembangan rasionalitas formal dengan mengorbankan tipe 141Listiyano Santoso et. al. Epistemologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2003), 117. 142Harry Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat, 54. 143Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), 127.
97
rasionalitas lain dan mengakibatkan munculnya kerangkeng besi rasionalitas.
Manusia semakin terpenjara dalam kerangkeng besi ini dan akibatnya semakin tak
mampu mengungkapkan beberapa ciri kemanusiaan mereka yang paling
mendasar.144
Bertolak dari konsep rasionalitas formal Weber di atas, George Ritzer
menyimpulkan bahwa bentuk rasionalitas semacam ini yang cenderung
menyebabkan ketidakrasionalan sesuatu yang rasional. Sistem rasionalitas ini
pada akhirnya kemudian memunculkan demistifikasi dan dehumanisasi.145
Menurut Herbert Marcuse, teknologi dan ilmu pengetahuan bukan lagi
dipandang sebagai salah satu teori tentang pengetahuan, akan tetapi telah berubah
menjadi cara berfikir masyarakat, sekaligus merubah kesadaran masyarakat
menjadi kesadaran teknokratik. Kesadaran teknokratik telah mendominasi
kehidupan manusia sehingga manusia diarahkan dan ditentukan oleh dominasi
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan
teknologi telah menjadi ideologi, yang menempatkan diri sebagai satu-satunya
penafsir realitas dan kebenaran.146 Berman menyebut fenomena ini dengan istilah
“all that is solid melts into air”.147
Dunia modern ditandai dengan rezim kekuasaan, totalitarianisme,
hegemoni oleh ilmu pengetahuan yang memberangus kebenaran-kebenaran lain.
Modernisme meniscayakan ketunggalan kebenaran ‘ilmiah’. Tidak ada
kebenaran-kebenaran, sebab yang boleh ada hanya kebenaran tunggal, yaitu
144George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, terj. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011),550. 145Ibid.,565. 146Santoso, et. al., Epistemologi Kiri, 106. 147Berman, All That is Solid Melts into Air, 16-17.
98
kebenaran ‘ilmiah’. Dalil kebenaran ilmiah, yang direkonstruksi dari slogan
faham Cartesian; cogito ergo sum, (aku berpikir maka aku ada) adalah suatu
metode ‘kaca mata kuda’ yang terlalu mengagungkan instrumen rasio dan
cenderung menafikan keberadaan manusia lebih utuh sebagai totalitas yang
bereksistensi.148
Dalam dunia ilmu pengetahuan sendiri, sebenarnya muncul berbagai
pandangan yang menggugat paradigma positivisme. Tokoh seperti Thomas S.
Kuhn mengisyaratkan adanya upaya pendobrakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu
yang mempunyai kebenaran sui generis atau objektif. Dengan itu, Kuhn
menyerang paham positivistik dan pendekatan rasionalistik, karena dianggapnya
ilmu pengetahuan tidak dapat terlepas dari ruang dan waktu. Tokoh lain adalah
Paul Feyerabend yang menyebutkan dalam bukunya Against Method bahwa
dalam masyarakat dewasa ini, ilmu pengetahuan menduduki posisi yang sama
dengan agama di Abad Pertengahan. Ilmu pengetahuan mempunyai kuasa mutlak.
Walaupun dalam masyarakat itu seseorang boleh memilih untuk beragama atau
tidak, tetapi mau tidak mau ia harus memilih ilmu pengetahuan. Dari sini terjadi
pergeseran dari ilmu pengetahuan sebagai entitas yang membebaskan manusia
menjadi entitas yang justru memperbudak manusia.149
Jadi, bisa dikatakan bahwa modernitas berarti melakukan definisi ulang
tentang cara bagaimana manusia melihat diri mereka dan kedudukan mereka di
dunia. Modernitas memperlihatkan bahwa Tuhan dan realitas metafisika tidak lagi
dianggap sebagai sentral pembahasan seperti pada abad pertengahan. Modernitas 148Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas, Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998), 273. 149Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 199
99
mengatrol posisi manusia dan rasionya pada kedudukan Tuhan dalam kaitan
dirinya sebagai pusat perhatian utama.150
Tuhan dan agama teralienasi dari dunia, digusur oleh manusia dan sains
modern. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar,
yang bersifat spiritual, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketenangan
batin. Oleh karenanya tidak mengherankan jika di dunia modern saat ini,
dirasakan terjadinya krisis manusia dan kemanusiaan sebagai akibat tergesernya
nilai-nilai ketuhanan, digantikan oleh paham materialisme, rasionalisme dan
positivisme. Dalam bahasa lebih radikal, Peter L. Berger mengilustrasikan
lenyapnya nilai-nilai spiritual dalam rumusan: “Tuhan telah mati” atau
“berakhirnya zaman Kristus”.151
b) Alienasi Sosial
Alienasi Sosial, adalah gejala keterasingan secara sosial, hal ini
ditunjukkan dengan adanya keretakan dan kerusakan dalam hubungan antar
manusia dan antar-kelompok masyarakat, sehingga lahir berbagai disintegrasi
sosial.152
Disintegrasi sosial ini muncul sebagai dampak yang tidak terpisahkan dari
begitu dominannya rasionalitas atas akhlaq al-karimah (aspek emosional dan
spiritual). Alam pikiran manusia modern lebih bertumpu pada karakter
150Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, 45. 151Peter L. Berger, Modernity, Pluralism and the Crisis of Meaning, (Gutersloh: Bertelsmann Foundation Publisher, 1995), 38. 152 Herati Nurhadi dalam M. Sastrapratedja (ed), Menguak Mitos-Mitos, 341.
100
individualisme dan kebebasan yang berkiblat pada kemandirian manusia
(antroposentris).153
Paham humanisme-antroposentris telah menempatkan manusia sebagai
pusat segala-galanya, manusia yang begitu mandiri dalam menyelesaikan segala
bentuk problematika kehidupan dengan keperkasaan rasionya. Sikap ini akan
membawa manusia ke arah pola hidup yang individualistik, cenderung kurang
bersosialisasi dengan masyarakatnya, sebab manusia modern menganggap semua
problematika kehidupannya bisa dia selesaikan sendiri tanpa bantuan orang lain.
Berbagai kecanggihan teknologi pun semakin menjauhkan manusia dari perlunya
berinteraksi dengan manusia lain, seperti kebutuhan terhadap informasi di dunia
luar, akan terselesaikan hanya dengan duduk santai dengan koneksi internet di
rumahnya.154
c) Alienasi Ekologis
Alienasi ekologis, adalah sikap manusia yang secara mudah merusak alam
dan kekayaan yang terkandung di dalamnya tanpa melakukan tindakan rehabilitasi
yang mampu mengimbangi dampak yang ditimbulkan.155
Manusia modern sebagaimana dikatakan oleh Seyyed Hossein Nasr,
mencoba hidup dengan roti semata, mereka bahkan berupaya “membunuh” Tuhan
dan menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat. Konsekuensi lebih lanjut dari
perkembangan ini, kekuatan dan daya manusia akan mengalami eksternalisasi.
Dengan eksternalisasi ini manusia kemudian “menaklukkan” dunia secara tanpa
batas. Manusia menciptakan hubungan baru dengan alam melaui proses 153 Haedar Nashir, Agama dan Krisis, 7. 154 Ibid., 7-8. 155 Ibid.
101
desakralisasi alam itu sendiri. Dalam kerangka hubungan baru ini, alam dipandang
tidak lebih dari sekedar objek dan sumber daya yang perlu dimanfaatkan dan
dieksploitasi semaksimal mungkin.156
Manusia modern memperlakukan alam sama dengan pelacur, mereka
menikmati dan mengeksploitasi kepuasan darinya tanpa rasa kewajiban dan
tanggung jawab apapun. Idealnya, manusia harus memahami peran dan fungsinya
sebagai khalifah, yang bertugas mengatur, mengelola dan menjaga keseimbangan
serta kelestarian lingkungannya, bukan malah menjadi budak egonya sendiri.157
Cara pandang manusia modern yang salah dalam memandang relasi antara
dirinya dan dunia (alam) menyebabkan manusia melahirkan berbagai perilaku
yang “tidak ramah” lingkungan. Mulai dari ilegal logging, polusi baik darat, laut
maupun udara, penipisan lapisan ozon sebagai akibat efek rumah kaca, dan
sebagainya. Manusia modern telah menciptakan ilusi dengan memandang dunia
ini sebagai realitas kehidupan yang sebenarnya.
Berbagai problematika manusia modern di atas membuat berbagai
kalangan mencari solusi agar manusia bisa kembali hidup dalam kesadaran yang
sempurna, tidak hanya sebagai individu, namun juga sebagai keutuhan dari sebuah
masyarakat dan hamba Tuhan. Tasawuf yang memiliki konsepsi tentang
bagaimana menjalin keseimbangan terhadap relasi Tuhan, alam dan manusia,
kembali “dilirik” sebagai alternatif solusi atas problematika manusia modern di
atas. Fenomena tren positif perkembangan tasawuf saat ini membuktikan bahwa
tasawuf yang dahulu dicibir sebagai penyebab kejumudan dan stagnansi 156 Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 18. 157 Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan, 71.
102
peradaban manusia, telah menemukan momentum kebangkitannya di abad
modern.
4. Anomali Peningkatan Spiritualitas Masyarakat Modern
Sulit untuk menghindari bahwa realitas kehidupan modern dan modernitas
telah mengangkat manusia dari keterbelakangan sosial, ekonomi dan budaya.
Modernisasi setidaknya ditandai oleh tiga hal: rasionalisme, sekularisme, dan
saintisme.158 Ciri pertama dari modernisme, yaitu rasionalisme, berdiri sebagai
filter yang memvalidasi setiap pemikiran dan temuan yang tidak bisa dinalar oleh
rasio. Dengan kata lain, setiap pemikiran dan temuan ilmu pengetahuan harus
seuai dengan ketentuan dan standar rasio dan logika.
Ciri kedua menegaskan bahwa segala sesuatu harus berada di luar bingkai
agama. Dimana setiap kegiatan tidak ada yang berhubungan dengan dimensi suci
yang terdapat dalam agama. Pemisahan agama dari kehidupan sosial adalah
sesuatu niscaya dalam kehidupan modern. Sedangkan ciri ketiga adalah setiap
temuan harus berdasarkan sains, apabila bertentangan dengan ilmu pengetahuan,
hal tersebut tidak termasuk kategori modern.
Menurut Peter L. Berger, masyarakat modern tidak begitu menghiraukan
lagi urgensi menjawab persoalan-persoalan metafisis tentang eksistensi diri
manusia, asal mula kehidupan, makna dan tujuan hidup di jagad raya ini.
Kecenderungan ini terjadi disebabkan proses rasionalisasi yang menyertai
modernitas telah menciptakan sekularisasi kesadaran yang memperlemah fungsi
kanopi suci (sacred canopy) agama dari domain kehidupan para pemeluknya dan 158Jalaluddin Rakhmat, “Islam Sumbangsih Pemikiran di Era Pasca Modernisme”, dalam Reorientasi Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia, Makalah Seminar Nasional (Yogyakarta: SMF. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 1995), 1.
103
menciptakan suasana chaos, atau ketidakberartian hidup (meaningless) pada diri
manusia modern.159 Hal-hal sakral yang berfungsi sebagai faktor sublimasi dan
pengokohan eksistensi dan misi kehidupan manusia yang bersifat luhur berubah
dan digantikan oleh hal-hal yang serba rasional, sehingga terjadilah dekonstruksi
transendensi kognisi manusia (sekularisasi alam batin) secara serius. Sedangkan
sektor-sektor masyarakat dan kebudayaan secara rigid dipisahkan dari supremasi
nilai-nilai luhur dan simbol-simbol religius yang sarat makna (sekularisasi
institusional), yang mengakibatkan kehidupan kolektif manusia dan masyarakat
modern menjadi hampa dan tanpa makna.160 Proses sekularisasi inilah yang
disebut oleh Peter L. Berger sebagai sekularisasi kesadaran,161 dimana sekularisasi
ini terjadi ketika manusia berpaling dari “dunia sana” dan hanya memusatkan
perhatiannya pada “dunia sini” dan sekarang.162
Salah satu fenomena yang menarik untuk disimak dalam kaitannya dengan
krisis manusia modern, adalah fenomena kebangkitan spiritualitas tasawuf yang
terjadi di beberapa daerah dengan ditandai berkembangnya kegiatan-kegiatan
keagamaan seperti maraknya peserta pengajian eksekutif, kursus-kursus tasawuf,
dan kelompok-kelompok tarekat. Kenyataan tersebut jelas menimbulkan
pertanyaan di kalangan sosiolog dan kaum modernis; mengapa dalam situasi
kemajuan sains dan teknologi, justru semakin banyak manusia tertarik pada
spiritualitas tasawuf dan tarekat? Apakah gejala tersebut hanya sekedar eskapisme
dalam dunia modern? Jawaban yang tepat menurut penulis adalah sebagaimana
159Haedar Nashir, Agama dan Krisis, 11. 160Ibid. 161Peter L. Berger, A Rumor of Angel (New York:1970), 4. 162Harvey Cox, The Secular City (New York: Macmillan, 1966), 56.
104
disampaikan Naisbitt dan Aburdene,163 bahwa ternyata kebangkitan agama
(termasuk tasawuf dan tarekat) merupakan wujud penolakan yang tegas terhadap
kepercayaan buta kepada ilmu pengetahuan dan teknologi yang selama ini nyaris
menjadi “pseudo religion”.
Memang sampai saat ini belum diperoleh kejelasan apakah munculnya
kesadaran spiritual pada masa kini dikarenakan adanya kesadaran providensi
(keilahian) seperti halnya zaman dahulu, ataukah seperti yang dikatakan oleh
Allen E. Bergin, bahwa munculnya fenomena spiritualitas itu disebabkan oleh
adanya kegagalan organized relegion.164Pada konteks ini, agama-agama yang
terorganisasi tidak lagi dihargai dikarenakan, dengan meminjam istilah Erich
Fromm, agama-agama yang ada terlalu “otoriter” terhadap manusia kongkrit.
Berbagai kalangan menyetujui pandangan Fromm yang menyatakan bahwa
manusia modern membutuhkan agama yang lebih humanistik.165 Kecenderungan
otoritarian menurut Fromm berawal dari karakter sosial yang menjadi dasar
destruksi dalam kehidupan manusia. Agama yang berkarakter sosial otoritarian
dapat menyebabkan situasi dehumanisasi.166
Terlepas dari beberapa hipotesa di atas, penting kiranya dikemukakan
pandangan Emil Durkheim ketika mengajukan kategorisasi agama. Menurut
Durkheim, semua agama memiliki ciri yang sama, yaitu doktrin tentang dua
domain; hal-hal yang dianggap suci (sacred) atau keakhiratan dan hal-hal yang
163Azyumardi Azra, “Neosufisme dan Masa depannya”, Muhammad Wahyuni Nafis (Ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam (Jakarta: Paramadina, 1996), 287. 164Allen E. Bergin, “Spiritual Abad Modern,” Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. VI., No. 4. (1994). 165Gambaran tentang “agama otoritarian” dan “agama-agama humanistik”, lihat Erich Fromm, Religion and Psychoanalysis (New York: Vail-Ballou Press, 1977), 19-64. 166Biyanto, “Sufisme Kota: Studi Tentang Kecenderungan Meningkatnya kehidupan Religius-Sufistik Masyarakat Muslim Perkotaan”, Qualita Ahsana, Vol. VI, No. 2 (Agustus, 2004), 2-3.
105
bersifat keduniaan (profane).167 Manifestasi dua domain ini dapat tampak
bersama-sama maupun secara terpisah, atau bahkan saling meniadakan. Misalnya,
orang yang bosan dengan masalah profane, akan berpaling dan menekuni aspek
yang sacred saja, dengan cara bertapa atau meninggalkan apapun urusan duniawi.
Realitas ini bisa ditemukan pada kelompok-kelompok agama eksklusif atau
kelompok s}u>fi> tradisional yang menjauhkan diri dari pergaulan masyarakat. Di
negara-negara maju, untuk mengatasi problem-problem yang ditimbulkan iptek
berupa alienasi kemanusiaan, banyak yang memilih mengasingkan diri dengan
aktivitas pemujaan Tuhan secara eksklusif, bahkan tidak sedikit yang akhirnya
memilih jalan yang tragis seperti bunuh diri masal (misalnya dalam kasus clan
David Cores), maupun melakukan konfrontasi terhadap apa saja di sekelilingnya.
Karena itulah persepsi agama yang memisahkan dua dimensi: sacred dan profane,
diharapkan bisa saling melengkapi, sebab jika memilih salah satunya, maka
berarti meninggalkan yang lain.168
Adanya kenyataan bahwa agama mengandung dua doktrin yang tidak
dapat dipisahkan, menunjukkan bahwa tujuan manusia beragama adalah
membutuhkan kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus. Orang yang beragama
tidak mungkin menemukan kebahagiaan yang hakiki jika yang diperoleh hanya
kesenangan duniawi, karena itulah dibutuhkan usaha-usaha untuk meraih
kebahagiaan akhirat, misalnya dengan memilih jalan hidup religius s}u>fi>stik.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Alister Hardy, bahwa bagaimanapun
perkembangan manusia, kebutuhannya terhadap spiritualitas tetap bersifat 167Emil Durkheim, “Dasar-Dasar Sosial Agama”, Roland Robertson (ed.), Agama Dalam Anlisa dan Interpretasi Sosiologi (Jakarta: Rajawali Press, 1988), 35-61. 168Biyanto, “Sufisme Kota”, 3.
106
alamiah.169Menurut Kharisudin Aqib, manusia tanpa spiritualitas, laksana cincin
yang kehilangan mata cincinnya. Tanpa ada mata mutiara yang bertahta di
atasnya, cincin itu akan kehilangan pesonanya.170Karena itulah praktik-praktik
spiritualitas senantiasa ada dan dicari pada setiap periode perkembangan
peradaban manusia.
Salah satu upaya dalam mengembalikan nilai-nilai spiritualitas dalam
kehidupan manusia modern, adalah dengan menciptakan format baru model
spiritualitas yang sesuai dengan karakter manusia modern itu sendiri. Oleh karena
itulah tasawuf transformatif muncul sebagai bentuk tawaran gaya hidup sufistik
yang relevan di abad modern, sekaligus mampu menjadi solusi atas berbagai
problematika manusia modern.
C. Tasawuf Transformatif: Sebuah Upaya Reformulasi Ajaran Tasawuf
Penerapan konsep-konsep rumusan tasawuf model lama tampaknya akan
segera ditinggalkan disebabkan konsepsinya yang dianggap “usang” untuk sebuah
zaman yang bernama modern. Konsep tasawuf dengan bentuk “in old fashion”
yang hanya mengarahkan pelakunya bersifat otonomi individu dalam
mengembangkan kemampuan spiritualitasnya merupakan model yang “out of
moded”. Pengembangan tasawuf hanya dari sisi “dzauq” (perasaan) sebagai salah
satu pendekatan dalam mengarungi dunia tasawuf, sejalan dengan Schleimacher
yang menggunakan pendekatan “feeling” dalam memahami realitas, yang
kemudian hanya menghantarkan pelakunya berhenti pada dimensi kesalihan
169Alister Hardy, The Spiritual Nature of Man (Oxford: Clarendon Press, 1979), dalam Biyanto, “Sufisme Kota”, 4. 170Kharisuddin Aqib, materi kuliah tasawuf di kelas Pemikiran Islam Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, disampaikan pada tanggal 5 Mei 2012.
107
individual (semisal: uzlah, ittihad, h}ulu>l, dan shat}ahat) dan melupakan dimensi
sosialnya.171
Asumsi bahwa Islam adalah ajaran yang mengandung konsep universal
dan ajaran yang komprehensif, bisa dipertegas dengan merujuk pada referensi
kesejarahan yang dipraktikkan oleh Rasulullah Saw ketika membangun
masyarakat Makkah dan Madinah. Pada kedua negeri inilah, Muhammad Saw
sebagai pembawa risalah kenabian, memainkan banyak peran dalam
kehidupannya; sebagai ayah, suami, pemimpin perang, da’i, dan sebagainya.172
Semuanya memberi referensi kuat bahwa antara sphere doktrin (sistem
peribadatan) dan peradaban (sistem kemasyarakatan) dapat bersinergi dalam
ajaran Islam. Dengan perkataan lain, ajaran Islam bisa diderivasi ke dalam
berbagai aspek kehidupan, seperti sistem ideologi, politik, ekonomi, sosial-
budaya, dan lainnya.
Jika referensi di atas disepakati untuk dijadikan pijakan, maka dapat
disimpulkan bahwa Islam sebenarnya memberi ruang cukup luas bagi
perkembangan peradaban manusia, termasuk pembaharuan ajarannya; baik pada
tataran pemikiran (konsep) maupun aksi (gerakan). Pemahaman atas keniscayaan
adanya pembaharuan ajaran dalam Islam semakin diperjelas dengan sabda
171Yusno Abdullah Otta, “Tasawuf dan Tantangan Perubahan Sosial”, Ulumuna, Vol. XIV, No. 2 (Desember, 2010), 400. 172Beberapa referensi utama yang membahas sejarah Rasulullah SAW antara lain: Ibn Hisha>m, al-Si>rah al-Nabawiyyah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1992), Yu>su>f Abd al-Rahma>n al Qurthu>by, Si>rah Wa Minh}a>jan (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Ara>by, 2007), dan Mu>ni>r Muhammad Ghad}ba>n, al-Minha>j al- Tarba>wi> li> al-Si>rah al-Naba>wi>(Beirut: Da>r al-Wa>fa>, 2005).
108
Rasulullah Saw akan datangnya pembaharu (mujaddid) di setiap penghujung 100
tahun dalam rangka memperbaharui ajaran agamanya.173
Dalam konteks upaya untuk kembali menafsirkan, menjadikan relevan,
dan menemukan landasan-landasan filosofis terhadap ajaran agama tanpa
merubah esensi dan semangatnya, Muhammad Zuhri menegaskan, bahwa
dikarenakan agama berasal dari semesta di luar ruang dan waktu (Allah), maka
untuk merealisasikan perintah dan larangan Tuhan ke dalam semesta ruang dan
waktu, manusia harus menginterpretasikan firman-firman Tuhan. Manusia harus
memahami karena manusialah yang harus mempraktikkannya. Untuk memahami
itulah manusia harus memberikan interpretasi-merespon apa sebenarnya yang
dikehendaki Tuhan. Interpreter-interpreter itulah kemudian menjadi narasumber
yang harus kontekstual dengan tantangan zaman. Jika tidak kontekstual dengan
tantangan zaman, informasinya akan terlihat usang dan cenderung ditolak
pendengar. Oleh karena itu, di setiap zaman dalam situasi kehidupan, timbullah
interpreter-interpreter baru.174
Tasawuf sebagai salah satu dimensi fundamental dalam ajaran Islam, turut
mengalami pembaharuan dalam hal konsepsi dan gerakan aksinya. Untuk
membangun model s}u>fi>sme yang relevan haruslah tetap memiliki pijakan historis
agar tidak terjadi lompatan yang menyebabkan diskontinuitas. Sebagaimana
menurut Hasan Hanafi, bahwa cita-cita membangun peradaban baru Islam
meniscayakan warisan khazanah klasik sebagai modal penting. Hanya saja,
173Lihat Hadi>th Abu> Da>wu>d no.4921, Sunan abu>Da>wu>d, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996). 174Muhammad Zuhri, Hidup Lebih Bermakna, 34-35.
109
diperlukan cara “pembacaan” baru atas realitas masa lalu, dan juga dengan
kesadaran baru pula.175
Dalam situasi dialektik yang terus menerus antara agama dan tantangan
zaman inilah Tasawuf Transformatif hadir sebagai bentuk jawaban atas relevansi
dan reaktualisasi ajaran keagamaan di era modern. Reaktualisasi pemikiran
tasawuf semacam ini juga pernah menjadi concern Muhammad Iqbal. Iqbal
sebagai filosof muslim, selain mendukung pola hidup s}u>fi>stik, juga memberikan
pencerahan pemahaman kes}u>fi>an dengan spirit jihad, yang aktif dan dinamis.
Menurut Iqbal, s}u>fi>sme Islam sebenarnya memiliki spirit yang dinamis, aktif dan
aktual.176Sebuah bentuk paham keagamaan (tasawuf) yang sudah diperbaharui
(reformed s}u>fi>>sm) melalui serangkaian pemaknaan kembali terhadap berbagai
kearifan ajarannya dan didialogkan secara terus menerus dengan konteks
peradaban masyarakat modern.
Kata transformatif sendiri berasal dari bahasa Inggris transformative yang
berbentuk kata sifat dari kata transformation yang berarti to change in form,
appearance, or structure (untuk mengubah dalam bentuk, penampilan, atau
struktur). Dengan demikian makna transformative adalah that causes
175Terdapat tiga tema besar yang menjadi concern Hasan Hanafi. Pertama, pengujian kembali atas al-Tura>th al-Isla>miy (tardisi Islam) dalam hubungannya dengan tajdid (pembaharuan). Kedua, transformasi dan perumusan Teologi Revolusioner Islam melalui proses Min al-Aqi>dah ila> al-Thaurah(dari keimanan kepada revolusi). Ketiga, perumusan analisis menyeluruh dan komprehensif tentang warisan tradisi dan intelektual Barat dari perspektif non-Barat yang pada gilirannya menghasilkan pengertian yang lebih baik tentang hubungan antara Islam, Barat dan modernitas. Dalam pengantar teoritis buku pertama Hasan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usmani Ismail (Jakarta: Paramadina, 2003), xvi. Lihat juga Ahmad Amir Aziz, “Menggagas Sufisme Transformatif”, Al-Tahrir, Vol. 3, No. 1(Januari, 2006), 72. 176Lihat Ibrahim Madkour, Aliran dan Teologi Filsafat Islam. Terj. Yudian Wahyu Asmin (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 105, dalam Kharisuddin Aqib, Al-Hikmah, 28.
110
transformation (yang disebabkan oleh transformasi).177Dalam pengertian ini
tasawuf transformatif bermakna tasawuf yang telah mengalami perubahan dalam
bentuk, tampilan, penekanan ajarannya, namun cenderung tetap terhadap
semangat dan nilai-nilai dasar ajarannya.
Istilah “transformasi”, sebenarnya merupakan gagasan akademik yang
memiliki latar sosio-kultural dan historisnya sendiri sebagaimana istilah
“pembaharuan”178 yang sudah dikenal sebelumnya.179 Dalam perspektif teologi-
keagamaan, paradigma transformatik melihat agama sebagai kekuatan pembebas
yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal dengan watak
egaliter dan emansipatorik. Pandangan Azyumardi Azra tentang tipologi
pandangan keagamaan di Indonesia dapat dibagi menjadi lima kategori:
modernisme, transformatif, inklusivisme, fundamentalisme, dan
neotradisionalisme. Pandangan keagamaan yang mencoba bertumpu pada konteks
sosial, masuk dalam kategori transformatif. Pandangan keagamaan ini ingin
177Lihat arti Transformative dalam http://www.thefreedictionary.com/Transformative, dan dalam http://www.definitions.net/definition/transformative, diakses tanggal 12 Juni 2013. 178Mainstream pembaharuan Islam adalah membenahi pola pikir masyarakat yang cenderung mistis dan fatalistik menuju pemikiran rasional; juga berupaya membangun struktur mental dan kultur yang cenderung phobious menuju penemuan jati diri umat dan bangsa yang berkepribadian dengan cara melacak akar-akar keislaman dan keindonesiaan. Diantara tokoh pembaharuan Islam tanah air adalah: Harun Nasution dengan terma “rasionalisasi”, Nurcholis Madjid dengan “sekularisasi”, Munawir Sjadzali dengan “reaktualisasi”, dan terma “pribumisasi Islam” oleh Abdurrahman Wahid, lihat Lukman Hakim Mudhofir, “Pendekatan Transformatif: Paradigma Pembaharuan Islam Alternatif”, Wacana, Vol. IV, No. 1 (Maret, 2004), 20. 179Mulanya merupakan satu model pendekatan untuk mengubah tatanan agrikultur masyarakat pinggiran (rural people) dengan cara membangun bentuk-bentuk organisasi baru dalam pertanian. Dengan pendekatan transformasi, para petani diharapkan mampu membangun komunitasnya sendiri, menentukan nasibnya, dan terbebas dari struktur sosial yang menindas. Pendekatan transformasi biasanya dihadapkan secara berlawanan dengan pendekatan improvisasi (improvement) yang hanya bertujuan melakukan pembenahan sistem produksi pertanian agar pekerjaan para petani menjadi lebih baik. Lihat Aidan Foster Carter, The Sociology of Development (England: Causeway Books, 1986), 66.
111
mewujudkan transformasi masyarakat muslim sehingga dapat mencapai kemajuan
dengan melakukan pembaruan yang dimulai dari masyarakat.180
Nilai teologis-keagamaan di atas kemudian ditarik dalam ranah teori-teori
sosial tentang perubahan masyarakat. Dalam hal ini, ajaran tasawuf tidak sekedar
diletakkan untuk menafsirkan realitas-empirik dan mentransformasi “keinginan-
keinginan” Tuhan yang termaktub dalam sumber-sumber ajaran Islam secara
filosofis-konseptual, namun lebih dari itu, harus mengubahnya dengan melakukan
transformasi kemasyarakatan.
Tasawuf Transformatif berupaya menjadi salah satu alternatif solusi atas
krisis yang terjadi pada masyarakat modern. Kondisi masyarakat modern yang
“sakit” sebagai akibat kegagalan dalam memaknai diri dan kehidupan itulah,
tasawuf kembali dihadirkan sebagai balancing atas ketimpangan antara sisi
rasionalitas-materialistis dengan sisi nativisme-spiritual, dengan tetap melakukan
pemaknaan kembali terhadap dimensi internal manusia dalam membentuk
“kebiasaan dalam” (inner behaviour), yang memungkinkan seseorang menjadi
asketis (zuhud), sekaligus berdampak sosial. Ini merupakan perkembangan
tasawuf yang lebih bersifat praksis, dimana tasawuf menggerakkan manusia tidak
hanya beraktifitas yang bersifat ukhrowi semata, tetapi juga dengan gagasan dan
langkah kongkritnya mampu memberikan solusi atas berbagai permasalahan
sosial.
Bertasawuf adalah inside-out, dalam arti bahwa aktivitas ritual, zuhud,
yang berdimensi esoterik adalah faktor-faktor pendorong untuk melakukan
180 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam (Jakarta:Paramadina, 1999), 50-54.
112
kebajikan sosial (social act). Bahkan menurut Muhammad Zuhri, kondisi seorang
hamba di medan jihad sosialnya inilah justru menjadi bargaining position seorang
hamba di mata Tuhan untuk memperoleh tambahan ”aset-aset” dalam perjuangan
sosialnya.181
Peneliti berpendapat bahwa Tasawuf Transformatif adalah tasawuf
kontekstual, dalam arti, ajaran-ajaran fundamental tasawuf (agama) berupaya
dipahami kembali (reinterpretasi), diberikan landasan filosofis (rasionalisasi), dan
didialogkan secara dialektis sesuai dengan konteks problematika umat dalam
menghadapi dinamika sosial, ekonomi, budaya maupun politik (relevansi dan
reaktualisasi).
Mengingat karakteristik manusia modern yang sangat menjunjung tinggi
rasionalitas, cenderung akan menolak segala doktrin dan praktek keagamaan yang
cenderung bersifat kurang rasional dan terkesan sekedar taken for granted. Maka,
tasawuf transformatif kemudian melakukan penafsiran kembali (reinterpretasi)
terhadap pokok-pokok ajaran agama secara rasional-filosofis, agar ajarannya
mendapat landasan-landasan logis yang bisa diterima oleh pemahaman manusia
modern. Mengingat tasawuf yang selama ini dipraktekkan orang, banyak
kehilangan sisi filosofis keilmuannya, terutama epistemologinya.182 Kebenaran
yang diperlihatkan oleh tasawuf tidak bisa lagi diterima secara luas, bila ditinjau
dari kacamata filsafat ilmu. Karena ketiadaan landasan ini menjadikan tasawuf
181Muhammad Zuhri, Mencari Nama Allah Yang Keseratus (Jakarta: Serambi, 2007), 19-21. 182 Meskipun menurut Kharisuddin Aqib, sesungguhnya dalam bentuk praktek tasawuf apapun (tarekat/ non-tarekat) hampir dapat ditemukan adanya filosofi dan teori-teori filsafat yang dibangun untuk menguatkan keberadaan ajarannya, hanya saja mengingat sebagian besar pengikut tarekat adalah dari masyarakat awam, maka biasanya ajaran-ajaran filsafat itu hanya disampaikan pada para pengikut dari kalangan elite-nya saja, Kharisuddin Aqib, Al-Hikmah, 6. Lihat juga Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), 116.
113
kehilangan peran dan fungsinya sebagai elan vital dalam memperbaiki gejolak
dan gejala sosial modern yang sering mengalami perubahan begitu cepat. Dengan
merasionalisasi beberapa doktrin dan prakteknya, maka eksistensi dan relevansi
nilai-nilai agama lewat jalan tasawuf akan tetap menemukan tempat di era
modern.
Karakter tasawuf transformatif ini tetap berpijak pada pengalaman historis
yang sangat kaya. Pengalaman itu merupakan perpaduan aktif-kreatif antara para
Sufi dengan nas} al-Qur’an dan dinamika sosio-kultural sesuai konteks zaman ini.
Dimana, banyak umat Islam selama ini hanya cenderung membela tasawuf secara
“polos”, sering tidak menangkap adanya hubungan dialektis di antara sekian
faktor itu, seolah-olah suatu teks atau ajaran tasawuf terkesan berdiri sendiri
sementara fenomena sosial juga berdiri sendiri dan terpisah. Dalam
menginterpretasi semangat dan tujuan al-Qur’an sebagai kitab suci yang berlaku
sepanjang masa dengan dinamika sosio-kultural inilah tasawuf transformatif
berupaya menemukan titik relevansi nilai-nilai agama sebagai solusi bagi
problematika manusia modern.
Dengan pengertian lain, gagasan tasawuf transformatif memiliki kata
kunci aktivisme, bukan isolativisme. Dalam konteks tarekat, model inilah yang
pernah dilakukan oleh Tarekat Sanusiyah di Libya misalnya, dengan semangat
sosialisme yang tinggi mereka mampu membebaskan masyarakat dari
keterkungkungan.183 Juga Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang berperan
183Lebih lengkap mengenai kiprah Tarekat Sanusiyah ini lihat karya Nicola A Ziadeh, Tarekat Sanusiyah Penggerak Pembaharuan Islam, terj. Machnum Husein (Jakarta: Rajawali, 2001).
114
nyata dalam gerakan anti kolonial di Indonesia dan Jawa pada khususnya.184
Berbeda dengan praktek tarekat atau s}u>fi>sme-populer lain yang cenderung pasif
dan isolatif, tasawuf transformatif merupakan bentuk tasawuf yang memiliki
karakteristik utama “aktivisme” dan “pembebasan”.
Pembebasan disini memiliki makna tidak hanya “membebaskan”
masyarakat lemah dan tertindas sebagaimana tujuan dalam konsep teologi
pembebasan yang lebih menuntut keadilan dalam aspek ekonomi, sosial, hukum,
dan sebagainya. Namun juga berarti “membebaskan” masyarakat “lemah” dan
“tertindas” oleh zamannya (modernitas). Membebaskan masyarakat modern yang
telah kehilangan jati diri dan tujuan hidupnya (teralienasi). Sebab dalam
pandangan tasawuf transformatif, siapapun yang lemah, tertindas, dan dalam
situasi “butuh” akan pertolongan, adalah wajib ditolong, tanpa melihat kaya-
miskin, atasan-karyawan, muslim-non muslim, dan lain-lain. Di sisi inilah bentuk
dan ajaran tasawuf transformatif dibangun bagi seluruh lapisan masyarakat.
Terma Tasawuf Transformatif memang belum sepopuler Tasawuf Modern
oleh Buya Hamka185, Neo-S}u>fi>>sm yang digagas oleh Fazlur Rahman186, Urban
S}u>fi>>sm oleh Julia Day Howell187, Tasawuf Positif oleh Sudirman Tebba188, dan
S}u>fi>sme Kota oleh Ahmad Najib Burhani189. Istilah-istilah tasawuf di atas
184Lihat dua hasil penelitian karya Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah di Indonesia dan Tarekat Sanusiyah (Bandung: Mizan, 1994) dan Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah di Pulau Jawa (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002). 185Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985). 186Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation and Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago, 1984). 187Julia D. Howell and Martin Van Bruinessen (ed), Sufism and The ‘Modern’ in Islam (London: I.B.Tauris & Co Ltd, 2007). 188Sudirman Tebba, Tasawuf Positif (Bogor: Kencana, 2003). 189Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota (Jakarta: Serambi, 2001).
115
barangkali terasa berbeda-beda. Namun demikian, istilah tersebut dalam garis
besarnya merujuk kepada suatu bentuk atau praktek s}u>fi>sme yang mencoba keluar
dari eksklusifitas menuju inklusifitas dan bersifat aktivis.
Meminjam istilah Fazlur Rahman dalam mendefinisikan tentang neo-
s}u>fi>>sm, bahwa bentuk-bentuk tasawuf di atas termasuk ke dalam tasawuf yang
telah diperbaharui (reformed s}u>fi>>sm).190 Jika neo-s}u>fi>>sm yang dimaksudkan oleh
Fazlur Rahman, menekankan isi ajarannya yang sudah diperbaharui, sedangkan
Tasawuf Positif, berupaya membentuk manusia untuk bersikap positif terhadap
kehidupan dunia, yang dibuktikan dengan melibatkan diri dalam kegiatan duniawi
(bisnis, pemerintahan, politik, hukum, pendidikan, kesehatan, seni, dan lain-
lain).191 Pemilihan terminologi S}u>fi>sme Kota yang ditulis Ahmad Najib Burhani
dilatar belakangi oleh kegiatan tasawuf yang banyak dilakukan oleh masyarakat
perkotaan, yang melibat sekian banyak aspek kehidupan metropolitan.192
Sedangkan alasan lebih dipilihnya istilah Tasawuf Transformatif disebabkan
karena kata transformatif lebih jelas tekanannya kepada perubahan ke arah
pembentukan pribadi dan masyarakat ke arah yang lebih ideal. Berbeda dengan
istilah neo-s}u>fi>>sm (tasawuf baru) yang terkesan hanya menunjukkan identitas atau
bentuk kebaruannya, bukan ciri khas pemikiran dan juga gerakannya. Dalam hal
ini, istilah tasawuf transformatif lebih dekat dengan corak s}u>fi>sme kota dan
tasawuf positif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tasawuf transformatif
memiliki karakter sebagai berikut: 190Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 194. 191Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, 2. 192Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota, 3-9.
116
Pertama, memiliki visi keilahian. Dalam dimensi ini, manusia mengawali
dengan usaha memahami dan mengenal Tuhan dengan sebaik-baiknya.
Penghayatan kepada makna tauhid untuk lebih dekat dan ma’rifat kepada Tuhan
ditempuh agar kita benar-benar memahami apa yang Tuhan inginkan dengan
segala penciptaan yang berlangsung secara terus menerus ini. Dengan demikian
kita akan menyadari betapa semua yang dihadirkan lewat berbagai macam
kejadian di alam ini, ternyata Tuhan ada di balik semua kejadian dan secara intens
berdialog dengan kita.
Kedua, memadukan antara akal dan wahyu. Tasawuf sering dianggap
sebagai jalan untuk mencari kebenaran yang tidak bisa dijelaskan menurut kaidah
rasional. Tasawuf transformatif percaya bahwa rasionalitas dan intelektualitas
yang berakar pada tradisi masyarakat modern, bukanlah sesuatu yang harus
dihilangkan sama sekali dalam menggapai kebenaran dan kebahagiaan hakiki,
justru rasionalitas (akal) dan agama (wahyu) adalah dua sisi yang saling
menguatkan.
Ketiga, dunia dalam eskatologi Islam. Banyak manusia cenderung
memandang dunia dan akhirat secara dikotomis. Bagi mereka, jalan yang
ditempuh untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat adalah dengan menjauhkan diri
dari kehidupan dunia. Tasawuf transformatif meyakini, bahwa kehidupan akhirat
(hasil) adalah sebuah proyeksi atas amaliyah seseorang di dunia. Cara kita hidup
di dunia akan menentukan kedudukan kita di akhirat. Di sisi lain, kehidupan dunia
adalah bagian dari fitrah eksistensi manusia.
117
Keempat, akhla>q al-kari>mah. Dengan suluk tasawufnya, para sa>lik akan
ditransformasi secara gradatif menuju kesempurnaan akhlak. Akhlak yang mulia
akan senantiasa menghiasi perilaku para s}u>fi baik terhadap Tuhan, alam dan
sesamamaya.
Kelima, amal shalih yang berdimensi sosial. Amal shalih didefinisikan
sebagai setiap usaha dalam memperbaiki kondisi lingkungan hidup kita. Beramal
shalih sama adalah sama dengan melakukan is}la>h} atau reformasi. Baik-buruk dan
rusak-lestarinya kehidupan ini semua bergantung pada apa yang manusia lakukan.
Dalam konteks ini, bisa dikatakan tidak ada tasawuf tanpa amal shalih yang
berdimensi sosial, seperti: menyantuni fakir miskin, pemberdayaan ekonomi
masyarakat bawah, peduli pada kelestarian alam, dan berperan aktif-kreatif dalam
penyelesaian berbagai macam problematika masyarakat dan lingkungannya.