23
61 BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN A. Bidang Kesehatan Dasar fundamental mengenai Hak atas kesehatan diatur dalam Konstitusi UUD 1945 Pasal 28A “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”Kemudian secara khusus hak kesehatan di atur lebih spesifik lagi dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.Menurut penulis dengan diaturnya materi muatan mengenai kesehatan reproduksi dalam UU ini memperlihatkan adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan masyarakat untuk memperhatikan kesehatan perempuan, khususnya yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya, serta menyusun program untuk meningkatkannya. 1 1 Ibid, 90.

BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

61

BAB III

KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN

REPRODUKSI PEREMPUAN

A. Bidang Kesehatan

Dasar fundamental mengenai Hak atas kesehatan diatur dalam

Konstitusi UUD 1945 Pasal 28A “Setiap orang berhak untuk hidup serta

berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”Kemudian secara

khusus hak kesehatan di atur lebih spesifik lagi dalam UU Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan.Menurut penulis dengan diaturnya materi

muatan mengenai kesehatan reproduksi dalam UU ini memperlihatkan

adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

pusat maupun daerah, dan masyarakat untuk memperhatikan kesehatan

perempuan, khususnya yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya, serta

menyusun program untuk meningkatkannya.1

1Ibid, 90.

Page 2: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

62

Pemuatan pasal-pasal tentang kesehatan reproduksi dalam UU

Kesehatan mencerminkan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan

rakyat terutama kesejahteraan generasi yang akan datang.

Prinsip non-diskriminasi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 – 6

UU Kesehatan yang mengisyaratkan bawa setiap orang berhak atas

kesehatan2dan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh

akses atas sumber daya di bidang kesehatan, memperoleh pelayanan

kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, dan secara mandiri dan

bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang

diperlukan bagi dirinya3 untuk itu mereka berhak mendapatkan lingkungan

yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.4 Dengan demikian bahwa

dalam bidang kesehatan tidak pernah membedakan status jenis kelamin dll

dalam mendapatkan kesehatan hal ini menujukan bahwa prisip non-

diskrimansi atau memperlakukan perempuan sederajat atau sama dengan

laki-laki telah di implementasikan dalam bidang kesehatan di Indonesia.

2 Pasal 4 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

3 Pasal 5 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

4 Pasal 6 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Page 3: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

63

1. Hak Atas Informasi Dan Edukasi

Pasal 7 UU Kesehatan yang berbunyi demikian:

“Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi

dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan

bertanggung jawab.”

Rumusan Pasal 7 diatan dapat diidentifikasi adanya perlindungan

atas hak mendapatkan informasi dalam bidang kesesehatan tertama dalam

rumusan : “Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan

edukasi tentang kesehatan” Demikian bahwa hak informasi dan edukasi

sudah menjadi tanggungjawab negara dan setiap oran berhak atas

pemenuhannya termasuk perempuan. Bentuk bentuk infomasi yang

menjadi hak tersebut yaitu, informasi tentang data kesehatan dirinya

termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan

diterimanya dari tenaga kesehatan.5

Pasal 73 Kesehatan yang berbunyi demikian:

“Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana

informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang

aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk

keluarga berencana.”

5 Pasal 8 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Page 4: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

64

Selain Hak atas infomasi kesehata yang masih bersifat umum dalam

UU ini juga telah secara spesifik telah diatur mengenai Hak atas informasi

seksual yang secara gambling dan meberikan kewajiban bagi negara

2. Hak Kesehatan Reproduksi

Berikutnya adalah hak atas perlindungan fungsi reproduksi yang

dalam UU Kesehatan mencantumkan tentang Kesehatan Reproduksi pada

Bagian Keenam pasal 71 sampai dengan pasal 77.Yang masing-masing

berbunyi demikian:

Pasal 71

(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara

fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata

bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan

dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-

laki dan perempuan.

(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi:

a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah

melahirkan;

b. pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan

seksual; dan

c. kesehatan sistem reproduksi.

(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif,

kuratif, dan rehabilitatif.

Page 5: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

65

Pada pasal 71 ayat 3 diatas telah mengamanatkan bahwa kesehatan

reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif.Setiap orang berhak memperoleh informasi, edukasi, dan

konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Masih dalam kaitannya dengan hak atas perlindungan kesehatan

reproduksi yaitu dalam undang-undang ini juga memberikan perlindungan

dalam hal Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan

untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk

generasi penerus yang sehat dan cerdas, dimana Pemerintah bertanggung

jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat

dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu,

dan terjangkau oleh masyarakat.6

2. Hak Atas Kehidupan Seksual Yang Sehat

Hak atas hubungan seksual yang sehat diatur dalam pasal berikutnya

yaitu dalam Pasal 72, yang berbunyi demikian:

Pasal 72

6 Pasal 78 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Page 6: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

66

Setiap orang berhak:

a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual

yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau

kekerasan dengan pasangan yang sah.

b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari

diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang

menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan

martabat manusia sesuai dengan norma agama.

c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin

bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan

dengan norma agama.

d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai

kesehatan reproduksi yang benar dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Beberapa pokok pikiran yang di amanatkan dalam perlindungan atas

hubungan seksual yang sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal di atas

bahwa setiap orang berhak menentukan sediri pilihan dalam kehidupan

reproduksinya, hak hubungan seksual yang sehat dengan catatan harus

dengan pasangan yang sah, sehingga menurut penulis perlu untuk menjadi

catatan bahwa “kalimat setiap orang” dalam pasal ini dalam konteks hak

perempuan harus dimaknai “setiap isteri” bukan “setiap perempuan”.

3. Hak Atas Pelayanan Kesehatan

Secara keseluruhan “setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang

bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk

reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan

Page 7: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

67

memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan

yang dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan

ketentuan peraturan perundang-undangan”7

4. Hak Abortus

Ketentuan mengenai hak aborsi diberikan secara terbalik, yaitu pada

dasarnya dalam UU ini dikatakan bahwa setiap orang dilarang untuk

melakuan aborsi akan tetapi terdapat pengecualian atas larangan tersebut,

sehingga pengecualian inilah yang kemudian dapat dimaknai sebagai hak

untuk melakukan aborsi dengan memenuhi syarat-syarat tertentu.

Sebagaimana demikian diamanatkan dalam Pasal 75 dan 76.

Pasal 75

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dikecualikan berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia

dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu

dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat

dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat

diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di

luar kandungan; atau kehamilan akibat perkosaan

yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi

korban perkosaan.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya

dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau

penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling

7 Pasal 74 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Page 8: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

68

pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang

kompeten dan berwenang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan

medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat

dilakukan:

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung

dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal

kedaruratan medis;

b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan

kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh

menteri;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang

ditetapkan oleh Menteri.

Adalah menjadi tanggungjawab pemerintah untukmelindungi dan

mencegah perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan

tidak bertanggung jawab8 sertabertentangan dengan norma agama dan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Secara positif dalam aturannya memang sekilas dapat dilihat bahwa

dalam bidang kesehatan khususnya dalan UU kesehatan yang merupakan

8 Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak

bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan

perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak

profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku, diskriminatif,

atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis.

Page 9: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

69

payung utama pengaturan kesehatan di Indonesia telah memiliki

konsistensi dengan Hak-hak kesehatan reproduksi, sebagaimana

dikemukakan dalam Bab II Sub E, akan tetapi penulis belum bisa

mengatakan bahwa hal tersebut sudah konsisten dengan HAM, hal ini

dikarenakan menurut hemat penulis ketentuan dalam UU kesehatan ini

tidak memandang perempuan secara sepenuhnya sebagai perempuan akan

tetapi sebagai isteri , hal ini sangat terlihat dalam masalah kesehatan

perempuan sudah disebut yaitu dalam Pasal 72 yaitu:

Setiap orang berhak:

a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual

yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau

kekerasan dengan pasangan yang sah.

b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari

diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang

menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan

martabat manusia sesuai dengan norma agama.

c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin

bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan

dengan norma agama.

Konsep yang dikemukakan di atas memang sudang memberikan

jaminan hak dalam memilih dan menjalani kehidupan reproduksinya,

tetapi pasal ini hanya mengatur kesehatanperempuan dengan “pasangan

yang sah” atau dengan kata lain setelah ia menikah. Perempuan yang

Page 10: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

70

belum menikah, tidakmenikah, dan janda tidak tercakup dalam pasal

tersebut.

Undang-undang kesehatan menempatkan perempuan tidaksebagai

individu manusia yang mempunyai hak untuk mencapai tingkat kesehatan

yang setinggi-tingginya, yang setara dengan hak laki-laki. Perempuan baru

mendapat perhatian kalau ia sudah menjadi isteri, itu pun tidak secara jelas

menjamin apakah seorang isterimempunyai hak atas tubuhnya sendiri dan

hak untuk menentukanapakah ia siap hamil atau tidak. Dalam bidang ini

perempuan masih berlum dianggap sebagai individu yang memiliki

eksistensinya sendiri, tetapi individu yang eksistensinya akan diakui

tergantung pada laki-laki yaitu setelah ia menika dengan laki-laki maka

dari itu dapat dikatakan bahwa hal ini bertentangan dengan prinsip HAM

yaitu Hak Non-Diskriminasi. Dengan demikian pengaturan dalam bidang

kesehatan di Indonesia masih belum konsisten dengan HAM.

B. Bidang Kewarganegaraan

Berbicara mengenai kewarganegaraan tentunya akan lebih bayaknya

dibahas mengenai persoalan status kewarganegaraan serta perbuatan

hukum apa saja yang dapat dilakukan seseorang dalam kaitannya sebagai

Page 11: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

71

warga negara. Demikian bahwa dalam bidang kenegaraan tidak banyak

hak yang dapat diidentifikasi yang memiliki kaitannya dengan hak atas

kesehatan, akan tetapi bukan berarti hak-hak perempuan dalan bidang

kewarga negarawan tidak sama-sekali menyinggung soal (dalam bidang)

kesehatan, demikian akan dibahas dalam penjelasan berikut.

Dapat dilihat bahwa dalam bidangkewarganegaraan juga telah dianut

pirinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan atau prinsip non-

diskriminasi, prinsip ini pertama-tama telah diatur dalam konstitusi yaitu

UUD 1945 Pasal 28D ayat (4) bahwa: “Setiap orang berhak atas status

kewarganegaraan”. Hak yang diberikan oleh konstitusi tersebut telah

memberikan posisi sederajat antara perempuan dengan laki-laki yang

mana hak ini lebih spesifik lagi telah diatur dalam UU No 39 Tahun 1999

Pasal 47 dengan bunyi:

Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria

berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti

status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak

untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali

status kewarganegaraannya.

Indonesia telah memberikan perempuan hak yang sama dengan laki-

laki untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan

Page 12: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

72

kewarganegaraannya. Dengan demikian ada jaminan bahwa perkawinan

seorang wanita dengan orang asing tidak akan mengubah warga

negaranya.

C. Perkawinan

Berikutnya masih berbicara mengenai perkawinan akan tetapi dalam

kaitannya mengenai batas umur seseorang dapat melangsungkan

perkawinan yaitu dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang PerkawinanPasal 7

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak

wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat

meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain

yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun

pihak wanita.

Telah di amanatkan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak

pria mencapai umur sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah

mencapai usiaenam belas tahun.Dengan pengecualian bahwa harus ada

dispensasi dari pengadilan dalam hal dilangsungkannya perkawinan di

bawah dari umur yang ditetapkan dalam ketentuan tersebut.

Page 13: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

73

Menurut penulis, dalam bidang kewarganegaraan ketentuan inilah

yang dapat diidentifikasi secara implisittelah memberikan perlinduhan atas

hak kesehatan reproduksi, karena pasal ini melindungi seorang perempuan

untuk tidak melangsungkan perkawinan sebelum ia bena-benar dewasa,

baik secara mental maupun fisiknya, bahwa seorang perempuan yang

mengalami kehamilan dalam hal organ reprodusinya belum cukup matang

akan sangat rentan akan bahaya yang berhubungan dengan fungsi organ

reproduksinya.

D. Bidang Pendidikan dan Pengajaran

Dalam bidang pendidikan dapat di identifikasi bahwa perlindungan

atas hak perempuan dalam kairtannya dengan sistem reproduksinya adalah

Hak Atas Informasi Seksual. Hak ini diatur dalam Undang-Undang

Perlindungan Anak Pasal 10 menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak

menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima dan mencari informasi

sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya

sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”. Memang dalam pasa

ini hanya mengatur tentang anak akan tetapi perlindungan atas kesehatan

reproduksi memang sebaikanya diakukan sejak dini dan masa ini tentunya

sangat baik dilakukan sejak masa kanak-kanak.

Page 14: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

74

Selanjutnya lebih spesifik mengenai kesehatan Pasal 7 UU

Kesehatan “Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan

edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.”

Selanjutnya di atur dalam pasalnya yang ke 73 bahwa: “Pemerintah wajib

menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan

reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk

keluarga berencana.”9

E. Bidang Ketenagakerjaan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal

28D ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta

mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan

kerja. Hal ini kemudian ditur dalam uu dibawahnya yaitu Undang-Undang

Nomor Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pasal 5 yang berbunyi: ”Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang

sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” Sehingga Tidak

terdapat pengecualian antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan.

9 Pasal 73 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Page 15: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

75

Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, telah banya diatur mengenai hak-hak perempuan yang

melakukan tindakan di bidang ketenaga kerjaan atah dengan kata lain

permpuan yang bekerja demikina dapat diidentifikasi seperti apah hak-hak

perempuan yang berhubungan dengan perlindungan atas kesehatan

reproduksinya.

Perempuan dan anak adalah salah satu kelompok yang rentan

terhadap tidak kekerasan dan diskriminasi di bidang ketenagakerjaan.

Beberapa contoh tindakan diskriminasi antara lain : hak pekerja

perempuan ketika sedang masa haid, hamil, melahirkan dan menyusui

serta tempat khusus yang seharusnya disediakan oleh pemberi kerja bagi

pekerja perempuan di dalam memberikan hak bagi anaknya yaitu

menyusui bahkan hak untuk membayar pengasuh bagi anak di bawah lima

tahun seyogyanya diatur dan diberikan oleh pengusaha atau pemberi

kerja.10Untuk itu telah diatur dalam Pasal 6 “Setiap pekerja/buruh berhak

memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”

10diakses dari [email protected], Asas Anti diskriminasi Perlu dalam

UNDANG-UNDANGD 1945, tanggal , 13 Juni 2000, Jakarta, Kompas: http://

www.kompas.com/kompas-cetak/0006/13/nasional/ asas06.htm, tanggal 22 Oktober

2016.

Page 16: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

76

1. Hak Atas Kesehatan Fungsi Reproduksi

Hak atas perlindungan khusus terhadap terhadap fungsi melanjutkan

keturunan dalam bentuk: Tidak dipecat atas dasar kehamilan atau atas

dasar status perkawinan; Pengadaan cuti hamil dengan bayaran;

Pengadaan pelayanan sosial dalam bentuk tempat penitipan anak;

Pemberian pekerjaan yang tidak berbahaya bagi kehamilan, demikian hak

tersebut dapat diidentifikasi dalam pasal-pasal berikut.

Pasal 76

(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18

(delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul

23.00 sampai dengan pukul 07.00.

(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh

perempuan hamil yang menurut keterangan dokter

berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya

maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai

dengan pukul 07.00.

(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh

perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00

wajib.

a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan

b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat

kerja.

Page 17: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

77

(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput

bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang

bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.

Pengusaha dalam ketentuan diatas telah dilarang untuk

mempekerjakan perempuan yang hamil pada waktu malam sampai pagi

bilamana pekerjaan tersebut dapat mengancam keselamatan perempuan

tersebut serta kandungannya, selanjutnya ayat (3) sampai dengan ayat (4)

diatas telah menentukan bilamana pengusaha mempekerjakan tenaga kerja

wanita pada waktu malam sampai pagi para pekerja tersebut diharuskan

untuk diberikan makanan dan minuman bergizi, yang mana ketentuan ini

sebagai upaya untuk melindungi kesehatan perempuan terutama mengenai

kesehatan reproduksinya. Selain itu perempuan yang bekerja juga harus

dikondisikan pada lingkungan kerja yang aman dalam hak terhindar dari

tindakan asusilabaik selama di tempat kerja dan diluar tempat karena bagi

perempuan yang akan berangkat dan pulang bekerja pukul 23.00 WIB –

05.00 WIB pengusaha wajib menyediakan fasilitas antar jemput bagi

pekerja wanita tersebut.

2. Perlindungan Cuti Haid

Dalam Pasal 81 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan

bahwa “pekerja atau buruh perempuan yang masa haid merasakan sakit

Page 18: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

78

dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari

pertama dan kedua pada waktu haid”. Dan dalam pasanya yang ke 93

dijelaskan bahwa pekerja perempuan mereka juga tidak mendapatkan

pemotongan upah kerja karena tidak dapat melakukan pekerjaan pada hari

pertama dan kedua masa haidnya tersebut11 dengan kata lai mereka tetap

mendapatkan upah penuh.12

3. Perlindungan Cuti Hamil dan Melahirkan

Mengenai cuti hal dan melahirkan dalam uu ketenaga kerjaaan telah

diatur dalam Pasal 82 ayat (1) dinyatakan bahwa “Pekerja/buruh

perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya

melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan

dokter kandungan/bidan.”Ketentuanini jelas jelas merupakan bentu

perlindungan kepada permpuan dalam hal haknya terhadap fungsi

melanjutkan keturuna atau hak reproduksi.Serta wajib memberikan

memberikan Jamsostek dan uang cuti hamil, Bahkan setelah melahirkan

seorang pekerja perempuan yang masih menyusui anaknya juga harus

diberikan hak untuk menyusui anaknya walaupun harus dilakukan selawa

11Pasal 93 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

12Pasal 84 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Page 19: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

79

waktu kerja.13 Selain itu sorang pekerja perempuan hamil juga dilindungi

haknya dalam Pasal 153 sebagai berikut:

Pasal 153

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja

dengan alasan :

e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur

kandungan, atau menyusui bayinya;

Bentuk perlindunga atas permpuan yang sedang hamil juga bahwa

tidak dibenarkan dilakukannya pemutusan hubungan pekerjaan kepada

seorang pekerja perempuan yang sedang mengalami khamilan.

4. Perlindungan Cuti Keguguran Kandungan

Seoran buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan

berhak memperoleh istirahat dalam waktu tertentu atau sesuai dengan

surat keterangan dokter kandungan atau bidan sebagaiman dijamin dalam

pasal berikut.

Pasal 82 ayat (2)

(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran

kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu

setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan

dokter kandungan atau bidan.

13Pasal 84 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

“Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan

sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.”

Page 20: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

80

F. Bidang Politik dan Pemerintahan

Dalam bidang politik dan pemerintahan memang telah diatur hak-

hak perempuan akan tetapi tidak banyak yang menyinggung masalah

kesehatan perempuan dan bahkan hampir tidak disinggung samasekali

menehnai kesehatan reproduksi.

Dalam bidang ini hak perempuan banyak berbicara keterlibatan

perempuan dalam politik atau mengenai jumlah keterwakilah perempuan

dalam kiprah politik sering juga disebut affirmative action.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan

Diskriminasi terhadap Perempuan lewat Undang-Undang Nomor 7 tahun

1984.Pasal 2 dan 3 konvensi tersebut, mewajibkan negara mencantumkan

prinsip persamaan laki-laki dan perempuan dalam konstitusi dan peraturan

perundangan.Hal ini melahirkan adanya kebijakan khusus (afirmatif

action) di bidang politik dan demokrasi.Selanjutnya Pasal 4 mewajibkan

negara memberlakukan kebijakan khusus (affirmative action) untuk

mengakselerasikan persamaan de facto antara laki-laki dan

perempuan.Mengenai Perwujudan Kesamaan Kedudukan (non

diskriminasi),jaminan persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan

Page 21: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

81

partisipasi dalamperumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi

jabatan birokrasi, danjaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik.

Namun, peningkatanketerwakilan perempuan terjadi setelah berlakunya

perubahan Undaang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yaitu pasal 28H ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang

berhak mendapatkankemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan danmanfaat yang sama guna mencapai persamaan dan

keadilan”.

Pada kelembagaan partai politikpun, affirmatic action dilakukan

dengan mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan

minimal 30% dalam penidirian maupun dalam kepengurusan di tingkat

pusat. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatur syarat

pendirian Partai Politik, pada Pasal 2 menyatakan Pendirian

danpembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.

Padaayat sebelumnya dinyatakan bahwa: ‟‟Partai Politik didirikan dan

dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara

Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta

notaris‟

Page 22: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

82

Ketentuan lebih maju lagi dalam affirmative action adalah

adanyapenerapan zipper system. Sistem tersebut mengatur bahwa setiap 3

(tiga)bakal calon terdapt sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan.

Pasal55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan: “Di dalam daftar

bakalcalon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang

bakal calonterdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal

calon”. Padaayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon dalam daftar

bakal calondisusun berdasarkan nomor urut.

Contoh dari penerapan zipper system tersebut, jika suatu partai

politikmenetapkan bakal calon nomor urut 1 hingga 3, maka salah satu

diantaranya harus seorang bakal calon perempuan. Seorang

perempuanharus diletakan pada nomor urut 1,2,atau 3 dan tidak di bawah

nomorurut tersebut. Demikian selanjutnya, dari nomor urut 4 hingga 7,

misalnya,maka seorang perempuan harus diletakan di antara nomor urut 4

hingga 6.Lalu, sebagai salah satu penekanan lebih lanjut agar partai

politikmelaksanakan affirmative action terhadap bakal calon anggota

legislativetersebut, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota diberi

wewenanguntuk memberitahukanya kepada publik. Pada Pasal 66 ayat 2

UU No. 10Tahun 2008 dinyatakan: “KPU, KPU provinsi, dan KPU

Page 23: BAB III KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14704/3/T2_322015002_BAB...adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik

83

kabupaten/kotamengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam

daftar calontetap partai politik masing-masing pada media massa cetak

harian nasional dan media massa elektronik nasional”.

Memang pada dasarnya ketentuan affirmative action lebih condong

memjamin hak perempuan di bidan politik saja akan tetapi jika dikaitkan

dengan pembahasan ini maka sebenarnya ketentuan tersebut juga sangat

berpengaruh di bidang kesehatan karena dengan ditentukannya minimal

harus ada tiga puluh persen perwakilan perempuan di parlemen maka akan

sanagat membantu para kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak

mereka yang lain mengingat tugas parlemen adalah membuat undang-

undang. Dengan adanya perwakilan perempuan di parlemen maka setiap

pembahasan mengenai hak-hak perempuan akan didampingi dengan baik

oleh para wakil mereka, demikian halnya diharapkan bahwa perwakilan

tersebut juga akan memberikan dampak yang baik dalam menjamin Hak

perempuan di bidang kesehatan terlebih hak ats kesehatan reproduksinya.