Upload
paraserianfirdaus
View
224
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1 Stabilisasi Tanah
Setiap konstruksi bangunan Teknik Sipil pasti berdiri diatas tanah, sehingga tanah
merupakan material yang sangat berpengaruh dalam suatu pekerjaan konstruksi.
Stabilisasi tanah merupakan usaha perbaikan daya dukung (mutu) tanah yang tidak atau
kurang baik, karena suatu daerah tidak akan memiliki sifat tanah yang sama dengan
daerah lainnya. Kondisi tanah yang tidak selalu baik dilapangan menjadi penghambat
pekerjaan konstruksi. Stabilisasi tanah dapat terdiri dari salah satu tindakan berikut :
1. Secara dinamis, yaitu pemadatan tanah dengan alat pemadat.
2. Perbaikan gradasi dengan cara menambah tanah pada fraksi tertentu yang
dianggap kurang, sehingga tercapai gradasi yang rapat. Fraksi yang kurang
biasanya adalah fraksi yang berbutir kasar, cara yang dilakukan adalah
mencampur tanah dengan fraksi butir kasar seperti pasir, dan kerikil atau pasir
saja.
3. Stabilisasi kimiawi, yaitu menambahkan bahan kimia tertentu, sehingga
terjadi reaksi kimia. Bahan yang biasanya digunakan antara lain : Portland
semen, kapur tohor, atau bahan kimia lainnya. Stabilisasi ini dilakukan dengan
dua cara yaitu : mencampur tanah dengan bahan kimia kemudian diaduk dan
dipadatkan. Cara dua adalah memasukkan bahan kimia kedalam tanah
(Grouting) sehingga bahan kimia bereaksi dengan tanah.
4. Stabilisasi tanah dapat berupa suatu pekerjaan atau gabungan – gabungan
pekerjaan berikut :
a. Stabilisasi mekanis, stabilisasi dengan berbagai macam peralatan mekanis,
biasanya dilakukan dengan alat berat atau mesin penggilas.
b. Stabilisasi dengan menambahkan suatu bahan tambah (additive) kedalam
tanah. Dalam analisa stabilisasi tanah lempung ini, saya akan melakukan
perbaikan tanah lempung dengan campuran berupa fly ash Gunung Merapi
dan kapur tohor dari desa Gamping.
Terdapat faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan bahan
stabilisator, antara lain jenis tanah yang akan distabilisasi, yang mana lapisan yang akan
digunakan, jenis perbaikan tanah yang diinginkan, kekuatan yang diperlukan dan daya
tahan dari lapisan yang distabilisasi, biaya dan juga kondisi lingkungan.
Unified Facilities Criteria (UFC) mengatakan bahwa secara umum jika dilihat dari
berbagai gradasi butiran, semen merupakan pilihan yang baik sebagai stabilisator. Kapur
baik digunakan untuk tanah yang memiliki nilai plastisitas sedang hingga tinggi. Kapur
akan bereaksi untuk menahan nilai plastisitas pada tanah tersebut, sehingga menyebabkan
berkurangnya nilai plastisitas dan bertambahnya kekuatan tanah. Fly ash perlu
ditambahkan kapur jika akan digunakan sebagai bahan stabilitator.
3.2 Tanah Dasar Jalan (Subgrade)
Struktur perkerasan jalan pada penelitian ini merupakan struktur perkerasan lentur
(Flexible Pavement) pada jalan Tegal-Brebes bypass. Kombinasi pada struktur
perkerasan adalah lapisan dasar, fondasi dan lapisan aus yang diletakkan di atas tanah
dasar untuk memikul beban lalu lintas dan menyebarkan ke badan jalan (Direktorat
Jenderal Bina Marga, 1997).
Tanah dasar (subgrade) adalah bagian di bawah fondasi jalan dan merupakan
penunjang bagi struktur bagian-bagian jalan (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997).
Tanah dasar jalan merupakan pondasi jalan yang mendukung perkerasan diatasnya dan
mendukung beban sementara dari lalu-lintas jalan raya, sehingga tanah yang dijadikan
subgrade harus merupakan jenis tanah yang baik kerena memegang peranan vital dalam
struktur perkerasan jalan.
Gambar 3. Struktur perkerasan lunak (Flexible Pavement Structure)
Tanah dasar jalan bila diperbaiki dengan pemadatan atau karena adanya tanah
urug dengan material yang lebih baik akan menjadi lebih kokoh, perlakuan ini disebut
Improved Subgrade.
Menurut Suprapto (1999), agar subgrade dapat berfungsi dengan baik, maka :
1. Bahan subgrade yang baik, bukan tanah yang sifat kembang susutnya besar.
2. Pemadatan dilakukan pada kadar air yang tepat, sehingga didapat subgrade
yang seragam daya dukungnya dan stabil. Jika kekuatan tanah tidak seragam,
maka sebaliknya selama pelaksanaan perlu diusahakan teknik pelaksanaan
yang tepat, agar didapat keseragaman daya dukung.
3. Alinemen vertikal yang sesuai
4. Saluran drainase yang dapat berfungsi dengan baik
3.3 Pengaruh Tanah Lempung Terhadap Kadar Air dan Mineral yang
Terkandung dalam Tanah Lempung
Salah satu jenis tanah yang dianggap kurang baik sebagai subgrade pada
konstruksi jalan adalah tanah lempung, karena mempunyai sifat sangat dipengaruhi gaya-
gaya permukaan serta sangat mudah mengembang oleh tambahan air. Definisi tanah
lempung menurut beberapa ahli :
Terzaghi (1987)
Mengatakan bahwa tanah lempung adalah tanah dengan ukuran mikrokonis
sampai dengan sub mikrokonis yang berasal dari pelapukan unsur-unsur kimiawi
penyusun batuan. Tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering, dan tak mudah
terkelupas hanya dengan jari tangan. Permeabilitas lempung sangat rendah, bersifat
plastis pada kadar air sedang. Di Amerika bagian barat, untuk lempung yang keadaan
plastisnya ditandai dengan wujudnya yang bersabun atau seperti terbuat dari lilin disebut
“gumbo”. Sedangkan pada keadaan air yang lebih tinggi tanah lempung akan bersifat
lengket (kohesif) dan sangat lunak.
Das (1988)
Mendefinisikan sebagai tanah yang terdiri dari partikel-partikel tertentu yang
menghasilkan sifat plastis apabila dalam kondisi basah.
Bowles (1991)
Mendefinisikan tanah lempung sebagai deposit yang mempunyai partikel
berukuran lebih kecil atau sama dengan 0,002 mm dalam jumlah lebih dari 50 %.
Hardiyatmo (1992)
Mengatakan sifat-sifat yang dimiliki dari tanah lempung yaitu antara lain ukuran
butiran halus lebih kecil dari 0,002 mm, permeabilitas rendah, kenaikan air kapiler tinggi,
bersifat sangat kohesif, kadar kembang susut yang tinggi dan proses konsolidasi lambat.
3.3.1 Mineral Lempung
Mineral lempung berukuran sangat kecil (kurang dari 0,002mm) dan merupakan
partikel yang aktif secara elektrokimiawi yang hanya dapat diliat dengan mikroskop
electron. Menurut Bowles, 1991, mineral lempung menunjukkan karakteristik daya tarik-
menarik dengan air dan menghasilkan plastisitas yang tidak ditunjukkan oleh material
lain, walaupun material itu berukuran lempung atau lebih kecil. Beberapa mineral
lempung yang biasa terdapat adalah sebagai berikut.
Kaolanit (Kaolanite)
Istilah “kaolin” sebenarnya menjelaskan beberapa mineral lempung yang berbeda.
Istilah ini digunakan para insinyur untuk menerangkan kelompok lempung berkegiatan
rendah. Kaolinit adalah mineral lempung paling tidak aktif yang pernah diamati.
Satuan struktur kaolinit terdiri dari lapisan tetrahidra silika yang berganti-ganti
dengan puncak yang tertanam dalam satuan octahedral aliumina dan menghasilkan yang
disebut satuan dasar 1 : 1, berlapis tipis dengan ketebalan sekitar 7 Ǻ (1 Angstrom = 10-10
m). Pada keadaan tertentu, partikel kaolinite dapat terdiri dari seratus tumpukan yang
sulit dipisahkan, sehingga mineral ini stabil dan air tidak dapat masuk di antara
lempengan (air dapat menimbulkan kembang susut pada sel satuannya).
Mineral 1 : 1 lain dari "keluarga” kaloinit adalah haloisit (halloysite). Haloisit
berbeda dengan kaloinit, karena tertumpuk secara acak dan satu molekul air dapat masuk
diantara satuan-satuan 7 Ǻ.
Gambar 3.. Struktur mineral kaolinit
Illit (Illite)
Illite diturunkan dari muscovite (mika) dan biotit (biotite), sehingga terkadang
disebut lempung mika. Mineral lempung illit terdiri dari lapisan gibsit octahedral yang
berada diantara dua lapisan silica tetrahedral, yang biasa disebut mineral 1 : 2. Beberapa
posisi silica akan terisi oleh atom-atom aluminium dan atom-atom potassium yang ikut
berada diantara lapisan-lapisan untuk mengatasi kekurangan muatan, sehingga rekatan
seperti ini mengakibatkan kondisi yang kurang stabil jika dibandingkan dengan kaolinit.
Oleh karena itu, aktivitas illit adalah lebih besar.
Vermikulit merupakan mineral lemung dalam “keluarga” illit. Lempung illit dan
vermikulit banyak dipakai untuk agregat berbobot ringan (kadang-kadang disebut “serpih
mengembang” atau “vermikulit”). Vermikulit terutama, sangat mengembang apabila
mengalami pemanasan yang tinggi, karena lapisan-lapisan airnya mudah menguap.
Gambar 3.. Struktur mineral illit dan vermikulit
Mantmorilonit (Mantmorillonite)
Mantmorilonit adalah nama yang diberikan untuk suatu mineral lempung yang
ijumpai di Montmorillon, Prancis (1847).
Mineral ini merupakan jenis mineral 1 : 2, yang dibentuk oleh dua lembar silika
dan satu lembar aluminium (gibbsite). Mineral montmorillonite mempunyai luas
permukaan yang lebih besar dan sangat mudah menyerap air dalam jumlah banyak bila
dibandingkan dengan mineral lainnya, sehingga tanah ini mempunyai kepekaan yang
tinggi terhadap pengaruh air. Sifat–sifat yang demikian tersebut membuat
montmorillonite sangat sering menimbulkan masalah pada bangunan. Tanah-tanah yang
mengandung montmorillonite sangat mudah mengembang oleh tambahan kadar air.
Tekanan pengembangan yang dihasilkan dapat merusak struktur ringan dan perkerasan
jalan raya.
Gambar 3.. Struktur mineral mantmorilonit
3.4 Abu Vulkanik
Abu vulkanik terbentuk selama ledakan gunung berapi, dari longsoran batu panas
yang mengalir di sisi gunung berapi, atau dari semprotan lava pijar (Rose & Durrant,
2009). Material batuan vulkanik dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran butirnya,
yaitu : Bombs and blocks, merupakan klasifikasi butiran terbesar, berukuran lebih dari 64
milimeter; Lapilli, merupakan klasifikasi butiran pertengahan, berukuran 2 – 64
milimeter; Volcanic ash (abu vulkanik), merupakan klasifikasi buturan terhalus,
berukuran mulai dari 2 milimeter sampai dengan skala makrometer.
Silika
Aluminium
Abu vulkanik berwarna abu‐abu terang hingga hitam. Partikel abu vulkanik
memiliki kepadatan yang relatif rendah karena memiliki banyak pori-pori dan rongga.
Partikel-partikel ini biasanya terbang dan tersebar di udara di sekitar lokasi letusan.
Penyebaran abu vulkanik di udara tergantung pada jenis dan besarnya letusan, arah angin,
dan ukuran serta kerapatan dari partikel abu.
Abu vulkanik termasuk dalam kelompok pozzolan yang memiliki sifat pozzolanic.
Pozzolan didefinisikan sebagai suatu bahan yang mengandung silika dan alumina yang
bersifat reaktif. Pozzolan dalam keadaan halus apabila dicampur dengan kapur padam
aktif dan air dalam beberapa waktu dapat bereaksi membentuk suatu massa yang padat
dan sukar larut dalam air.
Pozzolan dibagi menjadi tiga jenis (SNI 03-6863-2002), yaitu :
1. Pozolan jenis N, yakni abu terbang hasil kalsinasi dari pozzolan alam,
misalnya tanah diatomite, shole, tuff, abu vulkanik, dan batu apung, diproses
melalui pembakaran atau tidak melalui proses pembakaran.
2. Pozolan jenis F, yakni abu terbang yang mengandung CaO lebih kecil dari
10%, abu terbang (fly ash) ini dihasilkan dari pembakaran batubara jenis
anthrchacite pada suhu kurang lebih 15600C. Abu terbang ini memiliki sifat
pozzolanic. Kadar (SiO2 + Al2O3 + Fe2O3) > 70%.
3. Pozolan jenis C, yakni abu terbang yang mengandung CaO di atas 10%, abu
terbang (fly ash) ini dihasilkan dari pembakaran ligmit atau batubara dengan
kadar carbon ± 60 % atau sub bitumen. Abu terbang ini selain bersifat
pozzolanic juga memiliki sifat self hardening. Kadar (SiO2 + Al2O3 +
Fe2O3) > 50%.
Persyaratan kandungan unsur oksida yang harus ada pada suatu pozolan dapat
dilihat pada Tabel 3. dan Tabel 3.. Tabel-tabel tersebut menjelaskan kandungan kimia
pada bahan-bahan pozolan yang digunakan dalam stabilisasi tanah, sehingga dapat
mengetahui kelas pozolan yang digunakan.
Tabel 3.. Kandungan kimia pozzolan, ASTM C 618-92a
Kandungan kimiaKelas pozzolan
N (%) F(%) C(%)Silikon dioksida (SiO2) + alumina oksida (Al2O3) + besi oksida (Fe2O3) minimumSulfur trioksida (SO3) maksimumKadar air maksimumHilang pijar maksimumKandungan alkali (Na2O) maksimum
70
43101,5
70
53121,5
50
5361,5
Tabel 3.. Susunan kimia dan sifat fisik abu terbang, ASTM C 618-78
ParameterKelas abu terbang
N (%) C(%)A. Susunan Kimia
Silikon dioksida (SiO2) + alumina oksida (Al2O3) + besi oksida (Fe2O3) minimumKalium oksida (CaO)Magnesium oksida (MgO) maksimumSulfur Trioksida (SO3) maksimumHilang pijar maksimumTotal alkali (Na2O) maksimumKadar air maksimum
B. Sifat-sifat fisikPemuaian dengan autoclave maksimumKehalusan 45 μm maksimum
70
< 1055121,53
0,834
50
> 205561,53
0,834
3.5 Kapur
Penelitian ini menggunakan kapur sebagai campuran terhadap abu terbang
vulkanik. Kapur dibuat dari batu kapur yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3) dan
dengan pemanasan ± 980°C sehingga kandungan karbon dioksida ke luar hingga tersisa
mineral kapurnya saja (CaO).
Tipe-tipe dasar kapur yang dapat digunakan pada stabilisasi tanah (SNI 03-4147-
1996) :
1. kapur tipe I adalah kapur yang mengandung kalsium hidrat tinggi; dengan
kadar Magnesium Oksida (MgO) paling tinggi 4% berat;
2. kapur tipe II adalah kapur Magnesium atau Dolomit yang mengandung
Magnesium Oksida lebih dari 4% dan paling tinggi 36% berat;
3. kapur tohor (CaO) adalah hasil pembakaran batu kapur pada suhu ± 90°C,
dengan komposisi sebagian besar Kalsium Karbonat (CaCO3);
4. kapur padam adalah hasil pemadaman kapur tohor dengan air, sehingga
membentuk hidrat [Ca(OH)2].
Stabilisasi dengan kapur telah secara luas digunakan untuk menurunkan potensi
pengembangan dan tekanan pengembangan pada tanah-tanah lempung. Penambahan
kapur menghasilkan konsentrasi ion-ion kalsium yang tinggi dalam lapis ganda sekeliling
partikel-partikel lempung, sehingga mengurangi tarikan bagi air. Biasanya kekuatan
lempung basah dapat dinaikkan apabila ditambahkan kapur dengan jumlah yang tepat.
Kenaikan kekuaran ini diakibatkan sebagian oleh penurunan sifat-sifat plastis dari
lempung dan sebagian oleh reaksi pozzolanis dari kapur dengan tanah, yang
menghasilkan bahan tersmen yang kenaikan kekuatannya dipengaruhi waktu. Tanah-
tanah yang diperbaiki dengan kapur, pada umumnya, mempunyai kekuatan yang lebih
besar dan modulus elastisitas yang lebih tinggi daripada tanah-tanah yang tidak
diperbaiki. (Dunn, Anderson, & Kiefer, 1992)
Jenis kapur yang biasanya digunakan sebagai bahan stabilisasi adalah kapur
padam atau kalsium hidroksida (CaOH2), dan kapur tohor atau kalsium oksida (CaO).
Kalsium oksida (CaO) lebih efektif pada kasus-kasus tertentu, kapur jenis ini mempunyai
kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaannya, yaitu menyebabkan alat-alat mudah
berkarat dan berbahaya terhadap keselamatan para pekerjanya. Tetapi dalam pelaksanaan
stabilisasi, kapur yang sering digunakan adalah kalsium hidroksida (CaOH2), sedangkan
kalsium karbonat (CaCO3) kurang efektif sebagai bahan stabilisasi kecuali sebagai
pengisi (Ingles dan Metcalf, 1992).
Kapur yang digunakan untuk bahan stabilisasi tanah lempung disarankan
memiliki spesifikasi seperti yang tercantum pada Tabel 3..
Tabel 3. Spesifikasi kapur untuk stabilisasi tanah lempung
(Ingles dan Metcalf, 1992)
Jenis Bahan Kapur Tohor (CaO)
Kapur Padam (Ca(OH)2)
Calcium dan magnesium oksidaCarbon dioxides – at kiln (ditempat pembakaran)Carbon dioxides – at elsewhereFineness
≥ 92%≤ 3%≤ 10%-
≥ 95%≤ 5%≥ 7%≤ 12%
Menurut Das (1994) bila fly ash digunakan sebagai bahan stabilisasi sebaiknya
dicampur dengan kapur, pada penelitian ini digunakan jenis kapur padam (CaO).
Stabilisasi untuk badan jalan akan lebih efektif jika perbandingan campuran antara fly ash
dan kapur adalah (10-30)% untuk fly ash dan (2-10)% untuk kapur. Kapur yang akan
digunakan untuk stabilisasi tanah, disarankan berupa bubuk. Hal ini sangat penting untuk
proses hidrasi serta dapat mengurangi masalah yang timbul. Kadar kapur yang disarankan
oleh Ingles dan Metcalf (1992) tercantum pada Tabel 3.).
Tabel 3. Kadar Kapur untuk Bahan Stabilisasi (Ingles dan Metcalf, 1992)
Jenis Tanah Kadar Kapur (%)Tanah berbutir halus pecahan batuLempung berkerikil gradasi baikPasirLempung BerpasirLempung kelanauanLempung kerasLempung sangat kerasTanah organic
Tidak direkomendasikan~ 3Tidak direkomendasikan~ 52 – 43 – 83 – 8Tidak direkomendasikan
3.6 Berat Jenis (Specific Gravity)
Berat spesifik atau berat jenis (specific gravity) (Gs) dapat didefinisikan sebagai
perbandingan antara nilai berat volume butiran padat (γs), dengan berat volume air (γw)
pada temperature 4°C. Persamaan berat jenis :
Gs = γ sγ w
Gs tidak berdimensi. Secara tipikal, berat jenis berbagai jenis tanah berkisar
antara 2,65 sampai 2,75 (dalam Hardyatmoko, 2006). Harga berat spesifik dari butiran
tanah sering dibutuhkan dalam berbagai keperluan perhitungan mekanika tanah yang
dapat ditentukan secara akurat di laboratorium. Menurut Bowles (1991), setiap mineral–
mineral penting pada tanah memiliki nilai khas berat spesifik.
Tabel 3. Berat Spesifik Mineral – mineral Penting
Mineral Berat Spesifik
Gs
Quartz (kwarsa)
Kaolinite
Illinite
Montmorillonite
Halloysite
Potassium feldspar
Sodium and calcium feldspar
Chlorite
Biotite
Muscovite
Hornblende
Limonite
Olivine
2,65
2,6
2,8
2,65-2,8
2,0-2,55
2,57
2,62-2,9
2,6-2,9
2,8-3,2
2,76-3,1
3,0-3,47
3,6-4,0
3,27-3,37
Tabel 3. Berat Jenis Tanah
Macam Tanah Berat Spesifik
Gs
Kerikil
Pasir
Lanau anorganik
Lempung organik
Lempung anorganik
Humus
Gambut
2,65-2,68
2,65-2,68
2,62-2,68
2,58-2,65
2,68-2,75
1,37
1,25-1,8
3.7 Distribusi Ukuran Butiran
Analisis ukuran butiran tanah adalah perhitungan presentase berat butiran pada
satu unitnit saringan dengan ukuran diameter lubang tertentu (Saringan Nomor 10, 20,
40, 60, 140, 200). Pemberian nama dan klasifikasi tanah sangat tergantung pada ukuran
butirannya. Ada dua cara yang umum digunakan untuk mendapatkan distribusi ukuran-
ukuran partikel tanah, yaitu analisa ayakan (penyaringan tanah) dan analisa hydrometer
(untuk ukuran partikel-partikel berdiameter lebih kecil dari 0,075mm).
Tabel 3. Saringan Standar Amerika
No. Saringan
Diameter lubang(mm)
346810162030
6,3554,753,352,362,001,180,850,60
No. Saringan
Diameter lubang(mm)
40506070100140200270
0,420,300,250,210,150,1060,0750,053
Gambar 3. Susunan saringan, sehingga ukuran lobang saringan berkurang dari
puncak sampai ke dasar susunan saringan itu (dalam Bowles, 1989)
Prinsip pengujian analisa hidrometer adalah butiran-butiran yang terpisah akan
melewati air jernih dalam tabung berkapasitas 1000ml dengan kecepatan yang berbeda
menurut besar butirannya. Alat hidrometer akan tenggelam lebih dalam bila berat jenis
larutan suspense berkurang.
Dalam grafik distribusi tanah, indikasi gradasi ditunjukkan pada koefisien
keseragaman (Uniformly Coefficient), Cu dan koefisien gradasi (Coefficient of
Gradation), Cc yang dinyatakan dalam persamaan dibawah ini.
Cu = D60D10
Cc =( D 30 )2
D60 xD 10
Keterangan :
Cu : Koefisien keseragaman
Cc : Koefisien gradasi
D10 : 10% dari berat butiran total
D30 : 30% dari berat butiran total
D60 : 60% dari berat butiran total
Dengan persamaan tersebut, tanah dikatakan bergradasi baik jika :
1. Didapatkan nilai Cu > 4, karena rentang ukuran butirannya juga besar,
sehingga tanah disebut ber-gradasi baik (well graded). Jika nilai Cu < 1,
maka tanah terdiri dari ukuran yang sama (seragam),
2. Jika Cc 1 – 3 dengan Cu > 4, untuk kerikil,
3. Jika Cc 1 – 3 dengan Cu > 6, untuk pasir,
4. Jika Cu > 15, sehingga tanah disebut bergradasi baik.
3.8 Batas Konsistensi (Atterberg Limit)
Dalam masalah tanah, penting untuk mengetahui pengaruh kadar air terhadap
sifat-sifat mekanis tanah, misalnya kita campurkan air terhadap suatu sampel tanah
berbutir halus (lanau, lempung atau lempung berlumpur) sehingga mencapai keadaan
cair. Di awal tahun 1900, seorang ilmuwan dari Swedia bernama Atterberg
mengembangkan suatu metode untuk menjelaskan sifat konsistensi tanah berbutir halus
pada kadar air yang bervariasi (Das, 1988). Oleh karena itu, tanah dapat dipisahkan
dalam empat keadaan dasar atas jumlah air yang dikandungnya, yaitu : padat, semi padat,
plastis, dan cair, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3..
Batas keadaan kandungan air pada tanah dapat dibagi menjadi : batas cair, batas
susut, dan batas plastis. Batas-batas ini dikenal juga sebagai batas-batas Atterberg
(Atterberg limit).
Gambar3. Batas-batas Atterberg
3.8.1 Batas Cair (Liquid Limit)
Batas cair (LL) adalah kadar air tanah dalam persen, didefinisikan sebagai batas
kondisi antara cair dan plastis atau batas atas dari daerah plastis. Pengukuran batas cair
pada umumnya didapatkan dari uji alat Casagrande (1948), alat ini terdiri dari mangkok
kuningan yang bertumpu pada dasar karet yang keras. Tanah diletakan di atas mangkok,
diratakan dan digores dengan grooving tool sehingga membentuk sebuah alur memanjang
(ukuran standar), mangkok diputar dengan kecepatan putaran konstan 2 putaran/detik
dengan ketinggian jatuh 1 cm, sehingga membentuk suatu pukulan teratur. Harga liquid
limit adalah kadar air dimana diperlukan 25 pukulan untuk menutup alur grooving tool
sepanjang ½ “.Namun, karena sulitnya mendapatkan tepat 25 kali pukulan, maka
biasanya percobaan dilakukan beberapa kali. Percobaan dilakukan dengan berbagai kadar
air yang berbeda-beda dengan jumlah pukulan N sekitar 15 sampai 35. Setelah itu,
hubungan antara kadar air dengan jumlah pukulan diplotkan ke dalam grafik semi
logaritmik, guna menentukan kadar air pada 25 kali pukulan.
Berdasarkan hasil analisis dari beberapa uji batas cair, US Waterways Experiment
Station, Vicksburg, Mississippi (1949), mengajukan suatu persamaan empiris untuk
menentukan batas cair, yaitu :
LL = wN (N25
)tanβ
Keterangan :
LL : nilai batas cair (%)
N : jumlah pukulan yang dibutuhkan untuk menutup goresan selebar 0,5 in
pada dasar contoh tanah yang diletakkan dalam mangkok kuningan dari
alat uji batas cair
wN : kadar air dimana untuk menutup dasar goresan dari contoh tanah
dibutuhkan pukulan sebanyak N
tan β : 0,121 (tidak semua tanah mempunyai harga tan β = 0,121)
Gambar 3. Kurva aliran (flow curve) untuk penentuan batas cair lempung berlanau
(silty clay) (dalam Das, 1988)
Gambar3. Alat uji Casagrande untuk pengukuran batas cair
3.8.2 Batas Plastis (Plastic Limit)
Batas plastis (PL) adalah kadar air dalam persen, didefininisikan sebagai transisi
dari keadaan semi-padat kedalam keadaan plastis. Batas plastis merupakan tingkat
terendah ke-plastis-an suatu tanah. Prosedur pengujian batas plastis sangat mudah, yaitu
menggulung tanah berbentuk elipsoda sampai dengan diameter 1/8 in (3,2 mm) hingga
retak.
Indeks plastisitas [plasticity index (PI)] adalah perbedaan antara batas cair dan
batas plastis suatu tanah. Indeks plastisitas dapat dihitung dengan cara :
PI = LL – PL
Keterangan :
PI : Indeks plastisitas
LL : Batas cair
PL : Batas plastis
Urutan pelaksanaan uji batas plastis diberikan oleh ASTM Test Designation D-
424 (Das, 1988). Jika tanah memiliki PI yang tinggi, maka tanah tersebut mengandung
banyak butiran lempung. Namun, jika tanah memiliki PI yang rendah, maka tanah
tersebut seperti lanau yang mengalami sedikit pengurangan kadar air sehingga tanah
menjadi kering. Batasan mengenai tingkat indeks plastisitas tanah dengan sifat, macam
tanah dan kohesi, diberikan oleh Atterberg (1911, dalam Hardiyatmo, 2006) seperti yang
tercantum pada Tabel 3.
Tabel3. Harga Indeks Plastisitas dan Macam Tanah (Atterberg, 1911 dalam
Hardiyatmoko, 2006)
Indeks Plastisitas Sifat Tanah Macam Tanah Kohesi
0
< 17
7 – 17
> 17
Non plastis
Plastisitas rendah
Plastisitas sedang
Plastisitas tinggi
Pasir
Lanau
Lempung berlanau
Lempung
Non kohesif
Kohesif sebagian
Kohesif
Kohesif
3.8.3 Batas Susut (Shrinkage Limit)
Batas susut (SL) adalah kadar air dalam persen, didefinisikan sebagai batas
dimana tanah dalam keadaan jenuh yang sudah kering tidak akan menyusut lagi,
meskipun dikeringkan terus atau keadaan dimana sesudah kehilangan kadar air
selanjutnya tidak menyebabkan penyusutan volume tanah. Batas susut dapat dihitung
dengan persamaan berikut :
SL = M –{ (v−v 0 ) γw
W 0}100%
Keterangan :
SL : Batas susut (%)
M : Kadar air (%)
V : Isi tanah basah (cm3)
v0 : Isi tanah kering (cm3)
w0 : Berat tanah kering (gram)
γw : Berat isi air (gram/cm3)
3.9 Aktivitas Tanah
Aktivitas digunakan sebagai indeks untuk mengidentifikasi kemampuan
mengembang tanah lempung. Nilai atau harga dari aktivitas berbagai mineral lempung
diberikan menurut Skempton (1953) dapat dilihat dalam Tabel 3.. Menurut Skempton,
1953 (dalam Hardiyatmoko, 2006) mendefinisikan bahwa aktivitas adalah perbandingan
antara indeks plastis (PI) dengan persen berat fraksi lempung yang lebih kecil dari
0,002mm atau 2μm. Oleh karena itu, aktivitas dapat didefinisikan sebagai :
A = PI
% berat fraksi lempung<2 μm
Tabel 3. Aktivitas beberapa mineral (Skampton, 1953)
Jenis mineral Aktivitas (A)Na-montmorillonitCa-montmorillonitIlliteKaoliniteHalloysite (dehydrated)Halloysite (hydrate)
4 – 71,50,5 – 1.30,3 – 0,50,50,1
Jenis mineral Aktivitas (A)AttapulgiteAllophaneMicaCalsiteQuartz
0,5 – 1,20,5 – 1,20,20,20
Seed dkk (1962), dalam Chen (1975) mengembangkan kurva berdasarkan nilai
aktivitas tanah lempung dengan persentase fraksi tanah lempung. Hubungan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 3. Untuk mengetahui potensi pengembangan tanah
Gambar 3. Grafik hubungan aktivitas dengan persen fraksi lempung < 0,002 mm
(Seed dkk, 1962, dalam Hardiyatmoko, 2006)
3.10 Klasifikasi Tanah
Klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengelompokan tanah yang berbeda-beda
tapi mempunyai sifat yang sama dan subkelompok-subkelompok berdasarkan
pemakaiannya. Sistem klasifikasi mempermudah dalam menjelaskan secara singkat sifat-
sifat umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan detail. Sistem klasifikasi yang
telah dikembangkan bertujuan untuk rekayasa, didasarkan pada sifat-sifat indeks tanah
sederhana seperti distribusi ukuran butiran tanah dan nilai plastisitas. Terdapat berbagai
macam sistem klasifikasi tanah, tetapi tidak ada satupun dari sistem-sistem tersebut yang
memberikan penjelasan detail secara tegas mengenai segala kemungkinan dalam
pemakaiannya. Hal tersebut disebabkan karena sifat-sifat tanah yang sangat bervariasi
(Das, 1988).
Dalam penelitian ini, digunakan dua sistem klasifikasi, yaitu : Sistem Klasifikasi
AASHTO dan Sistem Klasifikasi Unified [Unified Soil Classification (USC)].
3.10.1 Sistem Klasifikasi AASHTO
Sistem klasifikasi AASHTO telah dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public
Road Administration Classification System. Klasifikasi dengan sistem ini dipakai hamper
secara eksklusif oleh beberapa departemen transportasi Negara bagian Amerika Serikat
dan oleh Federal Highway Administration (Administrasi Jalan Raya Federal) dalam
menentukan spesifikasi pekerjaan tanah untuk lalu-lintas transportasi. Sistem klasifikasi
AASHTO telah mengalami beberapa perbaikan, versi yang saat ini berlaku adalah yang
diajukan oleh Committee on Classification of Materials for Subgrade and Granular Type
Road of Highway Research Board dalam tahun 1945 (ASTM Standard no. D – 3282,
AASHTO metode M145).
Klasifikasi AASHTO yang dipakai saat ini dapat dilihat pada Gambar 3.. Sistem
ini mengklasifikasikan tanah kedalam tujuh kelompok besar, yaitu A-1 sampai dengan A-
7. Tanah yang diklasifikasikan ke dalam A-1, A-2, dan A-3 adalah tanah berbutir dengan
kandungan 35% atau kurang dari jumlah butiran tanah tersebut lolos ayakan No. 200.
Tanah dengan jumlah butiran lebih dari 35% lolos ayakan No. 200 diklasifikasikan
kedalam kelompok A-4, A-5, A-6, dan A-7. Butiran dalam kelompok A-4 sampai dengan
A-7 tersebut sebagian besar adalah jenis tanah lanau dan lempung. Sistem klasifikasi ini
didasarkan pada kriteria berikut :
Ukuran butir :
Kerikil : butiran tanah lolos ayakan dengan diameter 75 mm (3 in) dan yang
tertahan pada ayakan No. 20 (2 mm).
Pasir : butiran tanah yang lolos ayakan No. 10 (2 mm) dan yang tertahan pada
ayakan No. 200 (0,075 mm).
Lanau dan lempung : butiran tanah yang lolos ayakan No. 200.
Plastisitas :
Jika butiran halus dari tanah memiliki indeks plastisitas [plasticity index(PI)]
sebesar 10% atau kurang masuk kedalam jenis tanah berlanau dan jika butiran
halus pada tanah memiliki indeks plastisitas sbesar 11% atau lebih akan masuk
kedalam jenis tanah berlempung.
Ukuran batuan :
Apabila ukuran batuan lebih besar dari 75 mm ditemukan dalam sampel tanah
yang akan diklasifikasikan, maka batuan-batuan tersebut harus dikeluarkan
terlebih dahulu, namun persentase jumlah batuan tersebut harus dicatat terlebih
dahulu.
Gambar 3. Sistem klasifikasi AASHTO untuk lapisan tanah dasar jalan raya
3.10.2 Sistem Klasifikasi Tanah Unified
Sistem klasifikasi ini pada mulanya diperkenalkan oleh Casagrande dalam tahun
1942 untuk pekerjaan pembuatan lapangan terbang yang dilaksanakan oleh The Army
Corps of Engineers selama Perang Dunia II (Das, 1988). Sistem ini telah banyak
digunakan (dan juga secara internasional) dalam pekerjaan teknik fondasi, seperti untuk
bangunan, bendungan, dan konstruksi sejenis lainnya. Dalam bidang transportasi, sistem
ini digunakan untuk desain lapangan udara dan untuk pekerjaan tanah pada jalan.
Klasifikasi dengan sistem USC mengkelompokkan tanah kedalam dua kelompok besar
(Gambar3.), yaitu :
1. Tanah berbutir kasar
Tanah kerikil dan pasir dengan kandungan kurang dari 50% berat total tanah
sampel lolos ayakan No. 200. Kelompok tanah ini diseimbolkan dengan huruf
awal G (gravel) untuk tanah berkerikil atau S (sand) untuk tanah berpasir.
2. Tanah berbutir halus
Tanah dengan kandungan lebih dari 50% berat tanah sampel lolos ayakan No.
200. Kelompok ini disimbolkan dengan huruf awal C (clay) untuk lempung
anorganik dan O (organic) untuk lanau-organik dan lempung-organik. Simbol
PT digunakan untuk tanah gamput (peat), muck, dan tanah-tanah dengan kadar
organic tinggi.
Berikut symbol-simbol lain yang digunakan dalam klasifikasi USC :
W = tanah bergradasi baik (well graded)
P = tanah bergradasi buruk (poorly graded)
L = plastisitas rendah (lom plasticity) (LL < 50)
H = plastisitas tinggi (high plasticity) (LL > 50)
Klasifikasi sistem USC dapat dilihat pada Tabel 3.. Pada Tabel 3. Terdapat garis
diagonal pada bagian plastisitas yang dinamakan garis A, dan garis A tersebut dapat
ditentukan dengan persamaan berikut :
PI = 0,73 (LL – 20)
Untuk tanah gambut (peat), dimungkinkan perlunya identifikasi secara visual.
Tabel 3.-1 Klasifikasi tanah unified (termasuk identifikasi dan deskripsi)
3.11 Uji Pemadatan Tanah dengan Modified Proctor Test
Jika tanah asli yang digunakan sebagai tanah dasar (subgrade) jalan raya kurang
mendukung atau kurang baik, tidak jarang dilakukan penimbunan, maka pemadatan
sering dilakukan. Maksud pemadatan pada tanah dasar adalah untuk mempertinggi kuat
geser tanah, mengurangi sifat mudah mampat, permeabilitas, serta mengurangi perubahan
volume akibat perubahan kadar air, dan lain-lain.
Peristiwa bertambahnya berat volume kering oleh beban dinamis disebut
pemadatan. Oleh akibat beban dinamis, butir-butir tanah merapat satu sama lain sebagai
akibat berkurangnya rongga udara. (Hardiyatmoko, 2006).
Alat-alat penggilas berat yang digunakan untuk uji pmadatan di lapangan sudah
banyak berkembang, sehingga uji Proctor standar harus dimodifikasi untuk dapat lebih
mewakili kondisi lapangan. Uji Proctor yang dimodifikasi ini disebut Modified Proctor
Test (ASTM Test Designation D-1557 dan AASHTO Test Designation T-180). Untuk
melaksanakan Modified Proctor Test ini, digunakan silinder mould yang sama dengan
volume 1/30 ft3 (9,44 x 10-4 m3) sebagaimana pada uji Proctor standar (Standard Proctor
Test). Tetapi tanah dipadatkan dalam lima lapisan dengan menggunakan penumbuk
seberat 10 lb (massa = 4,54 kg). Tinggi jatuh penumbuk adalah 18 in. (457, 2 mm).
Jumlah tumbukan yang dilakukan adalah sebanyak 25 tumbukan per lapisan seperti yang
dilakukan pada uji Proctor standar. Sampel tanah yang digunakan dalam uji Proctor
adalah tanah-tanah berbutir halus yang lolos ayakan Amerika No.4.
Energi pemadatan yang dilakukan dalam uji Proctor dimodifikasi dapat dihitung
sebagai berikut :
E = (5lapisan )(25
tumbukanlapisan ) (10lb )( 1,5 ft
jatu h an)
( 130
ft3)
= 56,250 ft.lb/ft3 (≈ 2693,3 kJ/m3)
Dalam uji pemadatan, digunakan paling sedikit lima kali dengan kadar air tiap
percobaan divariasikan. Hubungan berat volume kering (γd) dengan berat volume basah
(γb) dan kadar air (w), dinyatakan dalam persamaan :
γd =γ b
1+w
Gambar3. Kurva hubungan kadar air dan berat volume kering
Apabila diketahui berat tanah basah di dalam cetakan yang volumenya diketahui,
maka berat isi basah dapat langsung ihitung sebagai :
γb = Berat volume basah di dalam cetakan
Volume cetakan
Berat volume kering setelah pemadatan bergantung pada jenis tanah, kadar air,
dan usaha yang diberikan oleh alat penumbuknya. Nilai puncak dari berat isi kering
disebut berat volume kering maksimum. Kadar air pada berat volume kering maksimum
disebut kadar air optimum [optimum moisture content (OMC)]. Sebuah garis angka pori
nol (zero air voids) dapat digambarkan dan selalu berada diatas kurva pemadatan bila
telah didapatkan nilai Gs yang benar. Berat volume kering pada saat kejenuhan
(saturation) 100 persen (S = 100) disebut kadar air nol [zero air voids (ZAV)], dan dapat
langsung dihitung dengan persamaan :
γZAV = Gsγ w
1+wGs
Karena saat tanah jenuh (S = 100 persen) dan e = wGs maka :
γZAV = Gsγ w1+e
Berat volume kering setelah pemadatan pada kadar air w dengan kadar udara, A
(A = Va/V = volume udara/volume total) dapat dihitung dengan persamaan :
γd = Gs(1−A)γ w
1+wGs
Menurut Hardiyatmoko (2006), untuk menentukan variasi kadar air w dengan γZAV,
maka dilakukan cara sebagai berikut :
1. Tentukan berat jenis (Gs) dari uji laboratorium.
2. Pilihlah beberapa kadar air (w) tertentu, misalnya, dalam pengujian kali ini
saya ambil kadar air pemadatan sebelum pemeraman 14 hari sebesar 22%,
26%, 30%, dan 34%.
3. Hitung nilai γZAV untuk beberapa nilai kadar air (w) dengan menggunakan
persamaan diatas.
Gambar3. Kurva hasil uji pemadatan pada berbagai jenis tanah (ASTM D-698)
3.12 California Bearing Ratio (CBR)
California Bearing Ratio (CBR) adalah pengujian pada tanah untuk mengetahui
perbandingan antara beban percobaan (test load) dengan standar (standard load) atau
perbandingan antara tekanan yang diperlukan agar dapat menembus suatu lapisan tanah
dengan piston bulat seluas 3 inch2, dengan kecepatan penetrasi 0,05 inch/menit. Bila
tanah memiliki nilai CBR yang tinggi, maka ketebalan lapis perkerasan yang berada di
atasnya dapat berkurang. Penentuan nilai CBR dilaksanakan terhadap contoh tanah yang
sudah dipadatkan dengan pemadatan standar atau dengan pemadatan dimodifikasi.
Menurut ASTM D 1883, nilai CBR yang digunakan adalah penetrasi 0,1”. Namun,
apabila nilai CBR dengan penetrasi 0,2” lebih besar, maka percobaan harus diulang. Jika
nilai CBR dengan penetrasi 0,2” tetap lebih besar, maka yang digunakan adalah nilai
CBR dengan penetrasi 0,2”. Besarnya nilai CBR didapatkan melalui Persamaan 3..
untuk penetrasi 0,1” dan Persamaan 3.. untuk penetrasi 0,2”.
CBR = P 1
1000 x 100% (P1 dalam psi)
CBR = P 2
1000 x 100% (P2 dalam psi)
dengan P1 dan P2 adalah bacaan pada grafik penurunan 0,1” dan 0,2”.
Pengujian CBR laboratorium dapat dilakukan dengan dua macam metode, yaitu
tanpa rendaman (unsoaked) dan dengan rendaman (soaked). Pengujian CBR tanpa
rendaman dilakukan dengan pengujian biasa tanpa perlakuan khusus. Setelah dilakukan
pemadatan dalam silinder pemadatan, kemudian saat itu juga dilakukan pengujian.
Pada penelitian ini dilakukan uji CBR menggunakan metode rendaman, pengujian
ini dilakukan dengan merendam tanah hasil pemadatan kedalam bak berisi air selama 96
jam (4 hari). Hal ini dimaksudkan sebagai simulasi tanah mengalami kondisi terburuk
(hujan atau banjir) dan akan mengalami penambahan kadar air pada tanah sehingga
berakibat pada terjadinya pengembangan (swelling) dan penurunan kuat dukung tanah.
Pada penelitian ini metode CBR yang digunakan adalah CBR rendaman.
Menurut SNI 03-1732-1898 Tata Cara Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Jalan Raya dengan Metode Analisa Komponen, menerangkan bahwa CBR minimum
yang dapat digunakan untuk subgrade jalan adalah 3% dan dalam keadaan terendam.
Syarat inilah yang kemudian dijadikan patokan dalam penelitian ini. Tanah campuran
yang paling optimum merupakan tanah yang memiliki nilai CBR tertinggi dan memenuhi
syarat CBR ≥ 3 %. Berdasarkan Turnbull (1968) maupun The Asphalt Institute (1970,
dalam Tallama, 2008) diketahui kriteria umum batasan nilai CBR untuk material tanah
dasar (subgrade) yaitu seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3..
Tabel3. Harga-harga CBR untuk Material Tanah Dasar
Nilai CBR (%)Kriteria Material Tanah DasarTurnbull The Asphalt Institute
20 – 3010 – 205 – 10< 5
Very GoodGood to FairQuestionable to FairPoor
ExcelentGoodMediumPoor
Penambahan air pada tanah lempung akan mengakibatkan perubahan volume
tanah. Pengembangan (Swelling) adalah persentase perubahan panjang pada benda uji
setelah perendaman. Pengujian swelling diilaksanakan bersamaan dengan pengujian CBR
laboratorium. Proses pengujian dilakukan dengan memasang sebual dial gauge pada
benda uji saat dilakukan pengujian CBR rendaman. Sifat mengembang ini sangat penting
artinya untuk subgrade karena akan mempengaruhi lapisan-lapisan diatasnya. Besarnya
nilai swelling dapat diketahui dengan persamaan berikut :
Pengembangan = ∆ HH 1
x 100%
Keterangan :
ΔH = H2 – H1 : pengembangan akibat peningkatan air (cm)
H1 : tinggi benda uji sebelum penambahan air (cm)
H2 : tinggi benda uji setelah penambahan air (cm)
3.13 Uji Tekan Bebas
Uji tekan bebas (Uniconfined compression test) adalah bentuk pengujian yang
umum dilakukan terhadap sampel tanah lempung untuk mengetahui sensitifitas tanah
terhadap suatu besaran tekanan atau beban. Pada uji ini, tegangan penyekap σ3 adalah nol.
Tegangan arah aksial dilakukan kepada benda uji secara relative cepat hingga mencapai
keretakan dan keruntuhan. Pada titik runtuh, harga tegangan total utama kecil (total
minor principal stress) adalal nol dan tegangan utama besar adalah σ1 seperti terlihat
pada Gambar 3.. Karena kekuatan geser, kondisi air yang termampatkan dari tanah tidak
tergantung pada tegangan penyekap. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada persamaan
berikut :
τf = σ 12
= qu2
= cu
Ketrangan :
τf :Kekuatan geser
σ1 :Tegangan utama
qu :Kekuatan tanah kondisi tak tersekat
cu :Kohesi
Gambar 3. Keruntuhan geser kondisi air termampatkan (Das Braja M, 1988)
Nilai qu diatas menunjukan kekuatan tanah kondisi tak tersekat. Perbandingan
harga-harga konsistensi tanah lempung dengan qu dapat dilihat pada Tabel 3..
Tabel3. Harga konsistensi tanah berdasarkan harga kekuatan tanah
Konsistensi
Qu
(ton/ft2) (kN/m2)
Sangat lunak 0 - 0,25 0 – 23,94
Lunak 0,25 - 0,5 24 – 48
Menengah 0,5 - 1,48 48,1 – 96
Kaku 1,00 - 2,96 96,1 – 192
Sangat kaku 2,00 - 4,192 192,1 – 383
Keras > 4 > 383
Secara teoritis, untuk tanah lempung jenuh air yang sama, uji tekanan tak tersekap
dalam kondisi air termampatkan tak terkendali (Unconsolidatedundrained) akan
menghasilkan harga cu yang sama. Tetapi pada kenyataannya, pengujian Unconfined
compression pada tanah lempung jenuh air biasanya menghasilkan harga cu yang lebih
kecil dari harga yang didapat dalam pengujian Unconsolidated-undrained. Ini dapat
dilihat pada Gambar 3. Berikut :
Gambar 3. Perbandingan hasil uji tekanan tak tersekat unconfined-compression
dan unconsolidated-drained dari tanah lempung jenuh air (Das Braja M, 1988)
3.14 Uji XRD
Komposisi mineral yang terkandung dalam suatu material dapat diketahui dengan
pengujian X-Ray Diffraction (XRD). Pengujian ini dapat dilakukan di Laboratorium
Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada. Sampel pada penelitian ini adalah tanah
lempung, abu vulkanik dan tanah campuran optimum.
Prinsip kerja uji XRD adalah dengan memasukkan sampel yang sudah berbentuk
bubuk dan dicampur cairan khusus kedalam mesin XRD. Kemudian sampel ditembakkan
pada titik sembarang dengan sinar-X di dalam mesin. Pembacaan yang didapatkan berupa
grafik hubungan antara 2-theta (absis) dengan intensitas (ordinat). Selain grafik, juga
terdapat data detail tentang pembacaan dari tembakan sinar-X tersebut yang tersedia
dalam bentuk tabel. Nilai d-spacing value (Å), ketinggian, luas area dari mineral disajikan
dalam satu tabel hasil.
Langkah selanjutnya adalah mencari jenis mineral yang terkandung di dalam
sampel, yang mengacu pada panduan Table of Key Lines in X-ray Powder Diffraction
Patterns of Minerals in Clays and Associated Rocks (Chen,1977) atau dalam Joint
Committee on Powder Diffraction Standards (JCPDS, 1988). Buku tersebut berisi tentang
tabel daftar nama mineral beserta nilai 2-theta dan d-spacing value (Å). Pembacaan
dimulai dengan mencari nilai main peak dan nilai d-spacing value (Å) pada buku JCPDS.
Jika tidak terdapat nilai yang sama, maka dicari nilai 2-theta dan d-spacing value (Å)
yang mendekati. Pembacaan yang dilakukan hanya untuk nilai 2-theta yang memiliki
intensitas diatas 25%. Hal ini dilakukan karena selain untuk memudahkan dalam
pembacaan juga dikarenakan nama mineral yang ingin diketahui hanyalah mineral yang
dominan. Selanjutnya mencari persentase dari kandungan mineral tersebut. Langkah yang
harus dilakukan adalah dengan membandingkan ketinggian (height) mineral dengan
ketinggian total yang terdapat dalam hasil XRD, kemudian dikalikan 100%. Setelah
persentase didapatkan, maka pembacaan hasil uji XRD telah tuntas.
Berdasarkan proses pemadatan mineral, terbagi menjadi dua, yaitu kristalin dan
amorf. Kristalin adalah suatu padatan yang atom, molekul, dan ion penyusunnya
terkemas secara teratur dan polanya berulang melebar secara tiga dimensi. Amorf adalah
bahan padatan yang dicirikan oleh tidak adanya struktur yang tegas, mempunyai sifat
fisik yang seragam pada semua arah.
3.15 Uji Leaching
Uji leaching dengan metode Spektrofotometer Serapan Atom atau yang biasa
disebut uji AAS (Atomic Absorbance Spectrophotometry) dilakukan untuk mengetahui
kandungan kimia yang terkandung pada suatu sampel. Sampel yang dibutuhkan untuk uji
leaching sebanyak ±10 gram, dapat berupa pecahan material atau sudah disaring. Uji
leaching pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia pada sampel
tanah lempung jalan Tegal-Brebes bypass dan abu terbang vulkanik Gunung Merapi.
Prosedur pengujian dilakukan dengan menguji kandungan kimia yang dicari sesuai
dengan parameter yang diinginkan. Parameter yang digunakan adalah Al2O3, CaO,
Fe2O3, MgO, Na2O, K2O, SiO2, dan hilang pijar (LOI). Sampel pada saat uji leaching
diset ke alat uji, setelah itu panjang gelombang parameter diukur dengan hollow cathode
lamp untuk tiap parameter. Kemudian, kandungan kimia yang terkandung dalam sampel
dapat diketahui.