Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
37
BAB III
MASYARAKAT MOI DAN MEMORI KOLEKTIF PENDIDIKAN ADAT
KAMBIK
Dalam kesempatan ini, penulis melakukan kajian penelitian tentang memori
kolektif pada Suku Moi terhadap Pendidikan Adat Kambik sebagai suatu kekayaan
budaya yang masih hidup dalam ingatan masyarakatnya. Ingatan berharga tersebut
lahir dari pengalaman empiris yang tersimpan dalam memori melalui simbol-simbol
bahasa yang termanifestasi melalui tutur, sehingga menciptakan interaksi yang sangat
kuat, oleh karena itu, penulis meyakini bahwa, Pendidikan Adat Kambik merupakan
budaya yang sangat berguna bagi kehidupan sekarang ini. Bagian bab ini penulis akan
memaparkan informasi secara utuh keseluruhan data yang di temukan dilapangan dan
untuk memahami dengan baik maka penulis akan menyusunya secara sistematis yang
pada dasarnya berhubungan dengan judul penulisan.
3.1. Asal Usul dan Letak Geografis Suku Moi
Kata Moi dalam beberapa literatur sering di jumpai penyebutannya dengan
nama ”Mosana” artikulasi kata “orang yang lembut dan ramah” merujuk kepada
suatu daerah dibagian pulau Salawati yang menghadap tanjung kepala burung.
Penyebutan Mosana di tujukan kepada suku Moi secara keseluruhan, akan tetapi pada
dasarnya kata tersebut tidak berlaku bagi masyarakat Moi secara menyeluruh, kata
38
tersebut hanya menunjukan Suku Moi sejak awal (Vorhooeve : People and Language
1975). Disebutkan bahwa asal mula suku Moi dari Klawelem di distrik Makbon1.
Selain itu dalam teks-teks Belanda terdapat sebutan Moi dan Mooi secara
bergantian. Penyebutan kata tersebut merujuk pada Suku Moi yang mendiami
wilayah Kepala Burung, dijelaskan juga bahwa suku Moi berkarakter lembut, sopan
dan tak beringas serta bertutur kata manis, artikulasi tentang kata Moi pada
hakekatnya menyatakan realitas kehidupan Masyarakat Moi sebagai masyarakat adat
yang sangat terbuka terhadap pengaruh dari luar, selain itu ditemukan dalam
penelitian bahwa kemungkinan Suku Moi dalam bentuk fisiknya sedikit berbeda
dengan kebanyakan suku di Kepala Burung Papua, disebabkan oleh perkawinan
campur antara orang pribumi dan pendatang, hal itu di buktikan dengan istilah ne saf
(pendatang), istilah ne saf di buktikan dengan perubahan pada marga seperti
Manggapraw menjadi Manggablaw dan Arfayan menjadi Arfan. Jadi dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
1. Telah terdapat suku Moi asli yang penyebutannya Neulig atau tuan tanah,
yang mendiami tanah ini
2. Pendatang yang kemudian hidup bersama-sama, terutama di pesisir pantai
dengan suku asli, didalamnya terjadi perkawinan yang melahirkan marga-
marga baru.2
1 Stevanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi (Bogor : PT Sarana Komunikasi
Utama, 2011), 24.
39
Namun pada hakekatnya dapat dikatakan bahwa Suku Moi merupakan suku
asli yang mendiami Sorong dan Raja Ampat. Kendatipun secara struktur
pemerintahan sekarang, Raja Ampat telah di mekarkan menjadi kabupaten terpisah
dari Kota Sorong berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001.3
Terdapat pendapat lain mengenai Suku Moi, yang mengatakan bahwa Suku
Moi merupakan orang padang rumput, akan tetapi tidak adanya bukti dan sumber
pendukung yang dapat membenarkan pendapat ini, selain itu juga tidak adanya
pengakuan dari masyarakat Moi tentang argument tersebut tentang orang Moi sebagai
orang rumput, dikarenakan konteks keberadaan suku Moi tidak dapat menyatakan
identitas mereka sebagai orang rumput .4
Sedangkan penyebutan kata Sorong bagi Suku Moi disebut Maladum. Sejarah
kata Maladum dimunculkan pada masa pemerintahan Belanda. Dimana pada waktu
pemerintah Belanda membuka Kota Sorong, pihak Belanda mempekerjakan
masyarakat Moi, tugas masyarakat Moi pada waktu itu membersihkan lahan-lahan
yang banyak di tumbuhi pohon gelobak (sejenis tanaman lengkuas) yang dalam
bahasa Moi disebut dum. Dari situlah masyarakat Moi menamakan kota Sorong
2 Stevanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi, 27-28.
3Arsip Keputusan Keputusan DPDRI Nomor 17/DPDRI/I/2012-2013 ,Pandangan dan
Pendapat DPD RI terhadap Aspirasi Masyarakat dan Daerah tentang Pembentukan Kabupaten Raja
Ampat Selatan sebagai Pemekaran dari Kabupaten Raja Ampat di Provinsi Papua Barat.
4 Hasil wawancara, Lukas Laratmase ( Masyarakat ) via telepon Di Sorong 13 Oktober 2017.
PUKUL 07:03 WIT.
40
sekarang (Maladum) atau tanah yang ditumbuhi dum.5 Terdapat pendapat lain
mengenai nama kota sorong (maladum), arti maladum dari akar “dum” yang artinya
“daratan”, artikulasinya merujuk kepada sebuah daratan luas di bagian barat nuigunea
atau papua barat.6
3.2. Populasi dan Penyebaran Suku Moi
Suku Moi yang mendiami wilayah Raja Ampat dan Sorong saat ini meliputi 8
subetnik yaitu: Moi Legin, Moi Abun, Moi Karon, Moi Klabra, Moi Moraid, Moi
Segin, dan Moi Maya, yang penyebarannya pada wilayah-wilayah tertentu. Saat ini
dikarenakan pemekaran wilayah di Kota Sorong dan Raja Ampat maka Suku Moi
terbagi dalam wilayah pemerintahan kabupaten, distrik, kampung dan kelurahan.
Populasi suku Moi hingga sekarang dalam angka perhitungan dari tahun 2006-2008
semakin meningkat dan pada tahun 2017 dipastikan semakin tinggi angkanya.7
Dengan jumlah jiwa mencapai ribuan orang dengan ratusan marga besar dan kecil
(gelet).8
3.3. Mata Pencaharian Suku Moi
Sistem mata pencaharian Suku Moi secara khusus adalah peramu, berburu,
petani dan nelayan, dalam mencukupi kebutuhan hidup baik secara individu ataupun
kelompok atas hak adatnya, selain itu dalam kekerabatan masyarakat Moi mengenal
5 Stevanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi, 26.
6 Hasil Wawancara Calvin Gifelem ( Masyarakat ), 6 September 2017. Kampung Baru
PUKUL 08:12 WIT. 7 Stevanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi,33.
8 http://www.mongabay.co.id/2014/11/30/kala-suku-moi-papua-tegaskan-batas-wilayah/
41
makan bersama, makan bersama dilakukan bagi keret9 yang kepemilikan tanah
berdampingan/berdekatan, namun dalam proses ini terdapat larangan-larangan pada
waktu-waktu tertentu, dimana adanya pelarangan adat berupa pengambilan hasil alam
dalam kurun waktu 3-4 bulan (sasi) dalam hubungannya dengan mata pencaharian
yang meliputi hasil laut, kebun dan hasil lainnya. Proses pengambilan hasil laut,
kebun dan lain sebagainya akan dapat dilakukan ketika telah dilakukannya upacara
adat (bemfie) dan doa secara keagamaan.10
Masyarakat Moi yang hidupnya berdiam di bantaran sungai, danau dan laut
pada umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan, sejak dahulu Suku Moi
mengunakan alat-alat yang sangat sederhana (sbatum) kulit kayu berbentuk silinder
maupun tombak ikan dari bambu dan dahan kayu adapun cara-cara yang sangat
tradisional yaitu meracuni ikan dengan kulit kayu (sabekesik) di baringgi dengan
mantra-matra berupa lagu-lagu agar tangkapan ikan berjalan dengan sangat mulus,
sedangkan bagi masyarakat pedalaman hidup dengan cara berburu hewan seperti rusa,
babi, kasuari, kus-kus dan burung. Dalam berburu, alat yang digunakan adalah
tombak bambu, batu, panah dan alat lainya dibaringgi juga dengan matra-mantra dan
lagu yang bersumber pada kepercayaan lokal (animisme) dibagian pesisir berprofesi
sebagai petani yang bercocok tanam berupa ubi jalar, keladi, pisang, singkong, sagu,
ulat sagu dan buah-buahan seperti kelapa, mangga. Dengan mengunakan alat berupa
cangkul batu dan bambu dengan cara melubangi tanah untuk menanam sayur dan
9 Keret merupakan sebutan untuk marga
10 Stevanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi,78.
42
buah-buahan.11
Akan tetapi sekarang sebagian besar masyarakat Moi telah memiliki
beragam profesi tidak hanya sebatas berburu, bertani, nelayan melainkan juga telah
bekerja pada berbagai instansi pemerintahan seperti menjadi pegawai negeri sipil,
polisi, dosen, tukang ojek, penjual di pasar dan berbagai macam profesi lainnya guna
memenuhi kebutuhan hidup.12
Akan tetapi dengan menekuni profesi yang baru tidak membuat masyarakat
Moi meninggalkan profesi lama, seperti berkebun, bertani dan berburu dan lain-lain,
hingga saat ini masih banyak orang-orang tua yang ke hutan dan ke laut untuk
bercocok tanam, berburu dan menangkap ikan, masyarakat Moi dalam kualitas
jumlah di bandingkan dengan suku lain di sekitar memang berbanding sedikit, akan
tetapi luas wilayah suku Moi dengan segala kekayaannya sangat luas dan banyak,
oleh sebab itu hal kekayaan tersebut harus di maanfatkan untuk kebutuhan sehari-
hari.13
3.4. Bahasa Suku Moi
Roger M, Kesing, 1992 menjelaskan bahwa ketika berbicara maka
menghasilkan urutan-urutan bunyi serta makna-makna, di lengkapi oleh Claude Levi
Strauss secara konsep strukturalisme, tata bunyi merupakan mitode konseptual guna
memahami budaya sebagai suatu presepsi, sifat serta pikiran manusia. Secara umum
11
Stevanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi,89. 12
Wawancara dengan Yosua Manibela( Masyarakat ) pada 14 September 12 WIT. 13
Wawancara dengan Urgenes Ulis( Tokoh Masyarakat, pelaku Pendidikan Adat ) Klasaman
km 12, 12 September 2017, jam 18:00 WIT.
43
penduduk Irian Jaya di bagi menjadi 2 bagian besar sesuai dengan bahasa yang
digunakannya yaitu Ausronesia dan Non-Ausronesia, bahasa Ausronesia disebut
sebagai bahasa Melanesia sedangkan bahasa non-Ausronesia disebut bahasa Papua,
jadi dapat disimpulkan bahwa kedua bahasa ini menjadi bahasa lokal masyarakat
Papua.
Berdasarkan informasi (SIL) Summer Institute Of Language Internasional
cabang Indonesia menyebutkan bahwa keseluruhan bahasa yang digunakan di Papua
ataupun Papua barat berjumlah 263, sedangkan menurut kementrian RI dalam
pemetaan bahasa-bahasa di Indonesia menyebutkan jumlah bahasa di Papua-Papua
Barat berjumlah 272 secara keseluruhan tidak ada yang berfungsi sebagai bahasa ibu.
Akan tetapi bahasa yang di gunakan dalam interaksi sosial mengunakan bahasa
sehari-hari meliputi bahasa Indonesia, daerah dan asing, ketika berinteraksi satu suku
dengan suku yang lain maka mengunakan bahasa Indonesia, ketika berinteraksi
dengan sesama suku maka mengunakan bahasa daerah dan pada saat berinteraksi
dengan orang luar Indonesia (luar negeri) maka mengunakan bahasa asing.14
Bahasa Moi merupakan salah satu bahasa dari lima phylum mayor (phylum)
Papua Barat, dimana terdapat 24 bahasa yang mewakili 3,3 persen dari keseluruhan
bahasa yang teredintifikasi ada di Papua yang berjumlah 726 bahasa, sedangkan
penutur aktif I perkirakan mencapai 122.000 atau 4,5 persen dari 2756 penutur asli
bahasa Papua. Berry & Berry menyebutkan bahwa bahasa asli Moi atau bahasa induk
14
Akhsan Na’im, Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk
Indonesia( Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2011 ), 6.
44
di tuturkan oleh 4.600 orang yang terbentuk dalam masing-masing dialek yang pada
hakekatnya mirip, Berry&berry membaginya menjadi 3 bagian : pegunungan
(Amber), dari hulu sungai (Klasa), dan pedalaman (kelim) namun pada umumnya
bahasa daerah yang meliputi daerah Moi pada umumnya di sebut dengan bahasa
Salmak yang merupakan bagian dari bahasa phylum.15
3.5. Struktur Masyrakat Adat Moi
Masyarakat adat Moi secara etnografi penyebarannya sangat luas meliputi
daerah Mega, Makbon, selatan Seget dan kearah barat Misool, Batbat hingga
kepulauan Ayau dan Waigeo yang meliputi kepualuan Raja Ampat daerah Moi Maya.
Secara keseluruhan daerah ini masuk dalam hukum adat, sedangkan Moi yang tidak
berbahasa Moi adalah Karon, Madik, Menyah, Kalabra, dan lain-lain.
Menyangkut adat-istiadat Suku Moi Merupakan suatu rahasia yang sulit
diketahui oleh orang luar Moi bahkan Moi sendiri. Suku Moi pada dasarnya dibagi
menjadi 3 golongan yaitu:
1. Ne Folus adalah orang yang berpengetahuan, mengetahui banyak hal serta
paham tentang filsafat
2. Golongan menegah yakni golongan yang berpengetahuan terbatas dan
tidak mendalam.
3. Golongan rendah, merupakan para wanita dalam suku Moi.
15
Di kutip dari arsip kompas yang di tulis oleh Irfan Nursyam tahun 2013.
45
Struktur masyarakat Moi mengikuti garis Patrilineal (laki-laki/ayah). Struktur adat
penyebutan terhadap laki-laki disebut (needle) laki-laki dan (negili) perempuan
struktur adat seperti ini telah tercipta sejak dahulu kala sebelum masuknya pengaruh
dari luar. Secara umum kaum laki-laki dalam struktur masyarakat Moi berhak
memiliki jabatan adat seperti kepala keret, kepala suku dan lain sebagainya dengan
tangung jawab menjaga integritas serta kelangsungan kehidupan suku Moi, tetapi
juga laki-laki Moi terlahir dengan hak-hak khusus seperti kepemilikan tanah, hal
tersebut diturunkan ke generasi selanjutnya dengan bertangung jawab terhadap
marganya. Sedangkan perempuan Moi (nelagi) memiliki pemimpin tersendiri yang
disebut (fulus) yang ahli dalam berbagai bidang seperti cara dalam meramu obat-
obatan alam, pengetahuan tentang kewanitaan sebagai bentuk persiapan akan masa
perkawinan, bekerja dikebun mencari sayur-mayur, kayu bakar serta memelihara
anak sebagai kelangsungan suku Moi, dikarenakan anak-anak suku Moi merupakan
generasi penting bagi marga dan suku.16
Struktur adat dan kepemimpinan adat dalam suku terbagi menjadi 2 bagian
yaitu : tokoh adat dan pejabat adat. Tokoh adat (ne foos: orang yang
menguasai/memiliki kekuatan gaib, sebagai orang suci), ne ligin: pembicara: seorang
penyampaikan sesuatu, pemikir: orang yang berperan menyampaikan pesan kepada
publik, ne fulus: orang yang berpengetahuan sejarah, dan ne kook orang kaya dan
16
Hermanto Suaib, Suku Moi( Sorong: Anima, 2017 ), 65.
46
terhormat. Di dalam struktur adat juga terdapat nedla atau nelagi yaitu kelompok
perempuan , laki-laki muda yang belom mengikuti pendidikan Kambik.17
3.6. Tanah Dan Hak Adat
Suku Moi mempunyai hak ulayat atas tanah mereka sebagai warisan budaya
yang dapat dimanfaatkan secara adat (Stevanus Malak, 2006). Hak tanah bagi Suku
Moi bersifat komunal. Namun dalam pemaamfatannya dapat bersifat kelompok
atupun individual, tidak ada suatu keharusan hak atas tanah dipergunakan secara
kolektif, mengingat kebutuhan sebagai individu sangat dibutuhkan dikarenakan
berbagai macam faktor ekonomi, sosial dan lain sebagainya.
Kebutuhan akan tanah secara kelompok dapat di penuhi dengan cara tanah
tersebut dijadikan sebagai pengembalaan ternak, tanah untuk pasar, tanah dusun adat,
dan tanah untuk membangun kampung (iik fagu). Hak ulayat atas tanah Suku Moi
meliputi 8 subetnik yakni :
1. Moi Segin: Gisim, Segun, Waimon, Katapop, Katimin, Yeflio, Kasimle.
2. Moi Lamas: Seget, Durian Kari, Waliam, Malabam, Seilolof, Ketlosuf.
3. Mo Maya: Salawati, Raja Ampat, Sailolof, dan Julbatam.
4. Moi Kelin: Aimas, Mariat Gunung dan Klamono
5. Moi Klabra: Beraur, Misbra, Buk, Wanurian, Klarion, Wungkas, Wilti,
Tarsa dan Hobar.
6. Moi Karon: Sausapor dan daerah pedalaman
17
Stevanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi,37-39.
47
7. Moi Moraid: Sayosa dan Salmak
8. Moi Legin: Batulubang, Makbon, Malaumkarta, Asbaken, Dela, Mega,
Klayili, Maladofok, dan Sayosa.
Berdasarkan pembagian diatas, telah diatur dengan sangat baik mengigat
menghindari terjadinya konflik dalam klan-klan Suku Moi. Dalam status sebagai
pemilik hak ulayat tanah, masyarakat Moi sangat menjunjung tinggi serta menjaga
tanah serta menjadikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hidup mereka,
Kedekatan Suku Moi terhadap alam terwujud dalam penyebutan negeln yang berarti
orang pedalaman/darat, netas orang pantai, negela orang sungai, penyebutan-
penyebutan tersebut mengambarkan identitas sebagai kepemilikan atas tanah adat,
jadi pada dasarnya segala bentuk kepemilikan tanah telah diatur dalam adat, sehingga
tidak adanya klaim atas tanah yang bukan menjadi milik suatu individu, kelompok
ataupun klan tertentu. Keyakinan akan tempat tinggal, berusaha dan lain sebagainya
telah ditentukan oleh nenek moyang Suku Moi berdasarkan batas-batas alam seperti
gunung, bukit, lembah, sungai, batasan-batasan tersebut mencakut bagaimana mereka
berlaku dan bertindak seperti berburu hanya dalam batas wilayah yang menjadi milik
individu atau kelompok tertentu. Sejak tahun 1930-1950 Suku Moi berdomisi hampir
diseantero Kota Sorong, namun sejak tahun 1970-2005 tercatat hanya sedikit
masyarakat Moi yang mendiami kota Sorong, diakibatkan banyaknya pendatang dari
luar Suku Moi yang berdomisili di Kota Sorong. (Eliezer Nelson Homer, 2005).18
18
Stevanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi, 40-43.
48
Kepemilikan atas tanah bersifat komunal dimana kewajiban dan hak
merupakan bagian integral dari rumah tangga ataupun marga yang pemilik adat,
selain itu masyarakat Moi mempunyai sistem pengelolahan sumber daya alam yang
sejak dahulu kala telah di wariskan melalui hukum adat, sehingga dalam
pelaksanaannya hukum adat berfungsi sebagai sumber aturan yang memiliki nilai
yang mengatur masyarakat dalam mengelolah sumber daya alam.
1. Menghargai pemilik ulayat, kepemilikan menjadi bagian bersama serta
satu klan ataupun marga tidak hanya hidup terbatas pada tanah adatnya
saja serta tidak memiliki hak menjual/belikan tanahnya..
2. Berkaitan dengan tanah adat, terdapat tanah adat tertentu yang tidak dapat
diperjual belikan serta dialihkan ke siapapun, terkecuali adanya marga
yang punah serta sengketa adat yang melibatkan hilangnya nyawa
manusia.
3. Tanah dan hutan yang tersetia digunakan secukupnya demi kebutuhan
hidup tidak boleh lebih.
4. Pergaulan muda/mudi suku Moi harus dibatasi khususnya lawan jenis
terlebih khusus seorang wanita bergaul dengan marga luar dikarenakan
adanya aturan adat terhadap hal itu.
5. Pembukaan lahan tidak boleh berdekatan dengan sungai demi menjaga
sungai dan kehidupan disekitarnya.
49
6. Aturan-aturan yang didalamnya terkena sanksi adat ialah masalah tanah,
perkawinan, mas kawin, kain timur dan kesepakatan-kesepakatan
perjanjian lainnya.
7. Pengalihan atas hak wilayat tanah tidak termasuk dalam peraturan adat
melainkan peraturan pribadi/individu.
Dalam pelaksanaannya. Namun realitas sekarang dalam masyarakat Suku
Moi, seringkali terjadi pelangaran adat yang telah di tentukan, dimana suatu marga
seringkali mencoba untuk mengambil tanah marga lain, dengan cara memindahkan
pembatas (patok), pelangaran adat seperti ini di dasari pada kepentingan ekonomi,
dimana terdapat pohon kayu besi, pasir atau tanah yang datar pada kepemilikan suatu
marga.19
Bertolak dari hal tersebut pemaanfatan hasil alam menjadi 2 bagian pokok,
yaitu hutan keramat/mamali (kufok) dan hutan biaa (kuwos). Hutan keramat
merupakan daerah hutan yang dilindungi oleh hukum adat serta dianggap sakral
dikarenakan keyakinan akan roh para nenek-moyang yang tinggal dan berdiam di
hutan tersebut, dan juga didalam hutan keramat di yakini merupakan tempat
penyimpanan harta yang di kubur dalam tanah, oleh karena itu tidak diperkenankan
pebukaan lahan baik skala kecil ataupun besar. Sedangkan dalam kehidupan sehari-
hari pemanfaatan akan pohon dan kayu dalam daerah hutan keramat hanya
diperbolehkan dalam skala berdiameter kecil demi kepentingan pembuatan rumah,
alat berburu dan pertanian, dan juga satwa yang ada di atur dalam aturan adat, seperti
hewan berburu, burung, ikan dimanfaatkan terbatas pada kebutuhan hidup saja,
19
Wawancara dengan Urgenes Ulis( Tokoh Masyarakat, pelaku Pendidikan Adat ) Klasaman km 12, 12 September 2017, jam 18:00 WIT.
50
namun jika jumlah yang diambil berlebihan dan digunakan untuk suatu kepentingan,
maka terlebih dahulu harus melalui proses doa-doa yang di naikan kepada arwah-
arwah.
Masyarakat Moi percaya bahwa pemaanfaatan hasil jika tidak disertai dengan
doa-doa para arwah, maka segala sesuatu yang dibutuhkan tidak akan tampak oleh
mata, kepercayaan terhadap para arwah juga terwujud dalam bentuk sasi yaitu
pantangan atau larangan untuk mengambil dan memanfaatkan tumbuhan atau hewan
buruan tertentu ataupun suatu dusun secara keseluruhan secara kurun waktu 1-5
tahun, proses sasi ini akan berakhir jika telah dilakukannya proses adat,selain itu juga
sasi dilakukan guna menghargai pemilik dusun yang telah meninggal sebagai bentuk
penghargaan terhadapnya.20
3.7. Sistem Kepemimpinan
Menurut J.R. Mansoben (1985-1995) menemukan adanya empat model
kepemimpinan yang dikenal dalam masyarakat Papua yaitu: a) kepemimpinan
berwibawa (pria berwibawa), b) kepemimpinan chief atau penghulu keondoafian),
c)kepemimpinan kerajaan dan d) kepemimpinan campuran.
a) Kepemimpinan berwibawa
Merupakan kepemimpinan yang di ukurannya pada prestasi-prestasi individu
seperti kekayaan menurut budaya. Suku Moi kekayaan diukur dengan jumlah
kain timur yang dimilikinya, selain itu kekayaan diukur dengan kemampuan
20
Stevanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi,45-48.
51
bagaimana seseorang dapat berorasi atau berdiplomasi, seorang individu
dikatakan dapat memimpin apabila ia mampu dan berani menyampaikan
pendapat di muka umum, pantai berargumen serta pandai bekerja sama antar
warga guna mencapai tujuan yang dicapai.
Adapun sifat bermurah hati (generousity) bahwa seseorang pantas
menjadi pemimpin apabila memiliki sikap peduli terhadap orang lain dengan
membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan dimana kekayaan dan
kekuasaan tidak dipergunakan demi kepentingan pribadinya ataupun
kelompoknya melainkan kepentingan orang lain.21
b) kepempimpinan penghulu (Chief atau Ondoafi)
model kepemimpinan penghulu atau local keondoafian (chief) bersifat
warisan, bahwa kepemimpinan ataupun kedudukan diperoleh melalui
pewarisan (ascibedment) dilakukan biasanya dari klen (marga) yang sama.
Seseorang tidak dapat memimpin apabila telah meninggal atau dalam kondisi
sakit maka akan diturunkan atau wariskan kepada anak laki-lakinya yang
paling tua dengan syarat memiliki sifat-sifat kepemimpinan serta pengetahuan
yang dalam tentang adat-istiadat, jika tidak memiliki sifat tersebut maka
kepemimpinan akan dialihkan kepada salah seorang saudara yang memiliki
syarat-syarat tersebut, adapun jika pemilik hak waris masih kecil dan belim
mampu melaksanakan tugasnya, maka akan dilimpahkan kepada seorang
21
Stevanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi,114-117.
52
saudara ondoafi sampai waktu anak tersebut bertumbuh dewasa dan siap
melaksanakan tugas sebagai seorang pemimpin.
Adapaun tipe kepemimpinan penghulu atau ondoafi sumber kekuasaan untuk
menjadi seorang pemimpin bersumber pada (mite) berkaitan dengan asal-usul
pemimpin, dimana harapannya bahwa seorang pemimpin tersebut berasal dari
keturunan dewa atau alam gaib yang dianggap sakral, kesakralannya
memungkinankan kepemimpinannya tidak boleh di bantah atau langgar.
c). sistem kepemimpinan campuran
sistem kepemimpinan model ini didapatkan melalui pewarisan serta pencapaian,
dalam hal ini kepemimpinan diwariskan dari seorang ayah kepada anaknya ketika
keadaan masyarakat dalam situasi kondusif, akan tetapi jika situasi masyarakat dalam
kondisi bahaya yang mengancam kehidupan, pada situasi seperti ini jika ada seorang
individu yang mampu memecahkan masalah yang sedang di hadapi maka secara
otomatis ia diakui sebagai seorang pemimpin.22
3.8. Sistem Kepercayaan
Suku Moi sebelum mengenal agama modern (Kristen, Islam, katolik)
mempunyai kepercayaan animisme dengan mempelajari mitos-mitos, lagu-lagu
rakyat, mantra serta larangan-larangan adat yang bagi masyarakat di tandai dengan
berupa tempat-tempat seperti hutan keramat, mengambil ikan di laut/sungai, menotok
22
Stevanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi,118-127.
53
sagu semuanya itu harus dilakukan dengan menyebutkan nama-nama arwah atau
roh.23
Kepercayaan animisme (bahasa latin anima atau roh) merupakan kepercayaan
terhadap makhluk halus atau roh, hal ini merupakan kepercayaan mula-mula
dikalangan masyarakat tradisional yang lahir dari lokalitas setempat, kepercayaan
terhadap animisme merupakan bentuk kesadaran manusia tradisional dalam
memahami yang ilahi, dengan keyakinan adanya kuasa tertinggi diatas manusia.
Kepercayaan terhadap animisme terwujud dalam bentuk symbol-simbol seperti gua,
pohon, atau batu besar dimana masyarakat tradisional meyakini adanya kuasa yang
berdiam dalam symbol-simbol tersebut oleh karena itu harus di hormati agar tidak
menganggu manusia.
Suku Moi sebelum mengenal Tuhan dalam agama Islam dan Kristen, mereka
telah percaya kepada satu dewa atau Tuhan yang berkuasa diatas dewa-dewa yang di
sebut dengan nama “Fun Nah dan Muwe” bagi Suku Moi semua dewa, roh para
leluhur harus di hargai dan di hormati karena mempunyai kekuasaan yang mutlak atas
hidup manusia. Dan bagi masyarakat Moi dewa pencipta merupakan penguasa
tertinggi yang tidak kelihatan namun dapat dijumpai dalam unsur-unsur alam tertentu
seperti angin, hujan, petir, pusaran air, dasar laut dan juga tanjung tertentu. Hingga
sekarang wujud keterlibatan peran dewa-dewa masih di rasakan saat ini, keterlibatan
dewa-dewa dalam peristiwa alam seperti petir, hujan deras, Guntur dan kilat akan
23
Wawancara dengan Silas Kalami, ( Tokoh Masyarakat, selaku Ketua Lembaga Adat ( LMA
MOI ) di sekertariat LMA pada tanggal 16 september jam 15:00 WIT.
54
terjadi ketika adanya konflik antara satu marga dengan marga yang lain, seperti
konflik tentang batas tanah, pengambilan hak ulayat terhadap kepimilikan marga
yang lain dan peristiwa-peristiwa lainnya.24
Sejak dahulu Suku Moi dalam seluruh aspek moral dan tingkah lakunya selalu
berhubungan dengan roh dewa ataupun roh leluhur yang diungkapkan dalam bentuk
nyanyian-nyanyian serta mantra-mantra, dewa-dewa ataupun roh para leluhur
diyakini berdiam dalam setiap wujud-wujud alam misalnya dewa hutan yang
mendiami hutan yang bertempat pada pohon-pohon besar, oleh karena itu masyarakat
Moi pohon-pohon besar di hutan dianggap keramat. Sebelum mengenal agama
modern (Kristen, Islam) kepercayaan tradisi Suku Moi memainkan peran penting
dalam keseharian hidup mereka, dimana anggapan bahwa makhluk-makhluk halus
mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang mengontrol kehidupan manusia, oleh
karena itu harus dihormati dan dihargai, bentuk dari penghargaan sekaligus rasa takut
mereka diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual pemberian sesajen.
Acara ritual pemujaan yang terdapat dalam suku Moi tidak berbentuk wujud
patung seperti masyarakat Biak (Karwar) atau pembayaran tengkorak (Maybrat),
namun pemujaan dan penyembahan dilakukan kepada alam sebagai sebagai bentuk
keyakinan berdiamnya roh halus atau dewa. Penulis menambahkan bahwa pemujaan
dan penyembahan kepada roh leluhur secara modern di kenal dengan animisme,
namun nilai positif dari penyembahan kepada animisme merupakan wujud
pengetahuan terhadap adat, dimana sejak dahulu para leluhur telah melakukan
24
Wawancara, Wehelmina Soe, ( Masyarakat ), 2 September, Rufei Pantai Pukul 02:14 WIT.
55
praktek penyembahan kepada roh-roh yang diyakini ada, jika generasi berikutnya
melakukan hal demikian itu berarti dikategorikan mengerti dan paham tentang adat
tanpa meninggalkannya.25
3.9. Masuknya Agama Modern
Masuknya Agama Kristen Protestan pertama kali mendarat di Manokwari
tahun 1855 di pelopori oleh misionaris C.W Ottow dan G.J Geissler utusan UZV
(Utrechse Zending Vereningging). Dengan menginjakan kaki di Pulau Mansinam
pada 5 Ferbuari “Dengan nama Allah kami menginjak tanah ini” ) dengan kalimat ini
kuasa Tuhan mulai bekerja di Tanah Papua secara umum dimana dengan perjuangan
yang berat penyebaran agama Kristen mulai masuk dan menyebarkan terang Kristus
dalam kegelapan dan kekafiran orang Papua.
Setelah Ottow dan Geissler meletakan dasar Injil Kristus maka diteruskan
oleh Pdt J.L Van Hasselt pada tahun 1866 setelah itu dilanjutkan olen sending-
sending lainya yang berasal dari Belanda ataupun Jerman, proses pekabaran Injil dari
Mansinam mulai menyebar disebagian besar teluk Cendrawasih hingga sampai ke
pesisir timur sungai Mamberamo meliputi Senjati bahkan sampai ke Sorong
(Inanwatan, Babo dan fak-fak), disamping tujuan memberitakan Injil para sending
juga memberikan pengajaran kepada penduduk lokal bagaimana cara bercocok
tanam, pertukangan dan pengobatan.26
25
Stevanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi,142-145. 26
Injil pertama kali masuk di Tanah Papua pada tanggal 5 Februari 1855 dibawa oleh Ottow
dan Geisller, (: Jayapura, Kantor Pusat GKI di Irian Barat, 1966), 47.
56
Pada Tahun 1990 otoritas pemerintahan Belanda membangun pemukiman dan
perkampungan di pesisir kota Sorong yang berdekatan dengan Pula Doom sebagai
pusat pemerintahan. Proses penyebaran Injil semakin pesat dengan terbentuknya
persekutuan pemuda Ambon di Pulau Doom 1912 yang membantu para zending
sebagai utusan (M. E. Tamtelahitu). Pada tanggal 1 April 1925 pemerintah Belanda
membangun lima kampung sebagai pusat pekabaran Injil di daerah Sorong dan
sekitarnya, kelima kampung tersebut ialah :
1. Kampung Klademak (Kalami, Ulim dan Kwatolo)
2. Kampung Matilimisin (daerah saga sekarang dengan marga Osok)
3. Kampung Manoi (daerah PT Pelni dan Usaha Mina) Malseme. Ulim, Kalami
dan Kilala.
4. Kampung Nooi (Pelabuhan) Osok, Kalami Maga dan Kalaibin.
5. Kampung malanu (daerah Pelabuhan sampai SMKK) Osok, Warwei,
Kalasuat, Mubalus, Kalawaisa, Bawela dan lain-lain.
Balzasar Wolk Wagunu asal Sangihe (Sulut) merupakan utusan zending
untuk menginjili Tanah Manoi, ia juga merupakan guru pertama yang membentuk
jemaat Kristen di Manoi, sekarang jemaat Eklesia Klasaman pada 27 Oktober
1927 yang di maknai sebagai hari masuknya Injil di Sorong. Pada waktu 30
Oktober 1927 Gonof meminta kepada setiap orang tua Suku Moi untuk membawa
anak mereka bersekolah (modern). Kemudian pada 1 November 1927 terdapat 26
putra-putri Moi yang bersekolah maka ditetapkanlah sebagai hari lahirnya sekolah
57
pertama dengan nama “Volkschool UZV” dengan waktu belajar kisaran 3 tahun.
Menurut pendeta E Osok almarhum), jemaat yang di dirikan berdiri hingga
Perang Dunia ke II 28 Desember 1941 hingga gedung sekolah tersebut di bakar
oleh tentara Jepang, situasi Perang Dunia ke II membuat Mayarakat Moi terdesak
dan harus meninggalkan kampungnya dan berlindung kepadalaman hutan,
setelah itu proses perkembangan Injil mulai meluas dengan masuk ke daerah-
daerah baru seperti Mios Manggara, Selepele, Sailolof, Pam, Kabare, Arefi dan
Urbinasopen ( Pdt. E. Osok. Demianus Osok, Manoi harta terpendam, 2001).
Akan tetapi peran terpenting seorang sending yang mengabarkan Injil di daerah
Sorong dan Raja Ampat ialah Dr. F. C. Kamma ia bekerja sebagai pendeta
pertama di Sorong dan Raja Ampat kurang lebih 10 tahun (1931-1942). Hingga
sekarang masyarakat Moi pada umumnya beragama Kristen yang mendasari
keyakinannya pada motto” menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah” 27
Masuknya Agama Islam menurut para ahli telah datang di Papua sejak abad
ke 14 hal itu dibuktikan oleh keteragan Thomas W. Arnold dalam tulisannya yang
berjudul The Preahing Of Islam ia mengatakan bahwa setelah kerajaan Majapahit
dikalahkan oleh kerajaan Islam Demak maka secara otomatis kendali kekuasaan
di pegang oleh Islam Demak, sebagaimana waktu Majapahit memimpin itu juga
yang terjadi pada Demak, dimana pengaruhnya sangat besar bahkan sampai
meliputi wilayah Papua.
27
Mofu Andrikus, Visi Kerajaan Allah( majalah Kla Swo Foos), Sorong; 2014
58
3.10. Sistem Pengetahuan
3.10.1. Pendidikan Formal
Pada 1 november 1927 dijadikan sebagai hari lahirnya sekolah pertama di kota
Sorong. Pendidikan formal didirikan oleh Belanda dengan nama “Volkschool UZV”
dengan jumlah murid pertama 26 orang. Menurut keterangan E. Osok murid pertama
sekolah ini bahwa sekolah ini berjalan sampai dengan tahun 1942 setelah itu
dihancurkan oleh jepang akibat Perang Dunia ke II. Bentuk pendidikan formal bagi
Suku Moi sebelum tahun 1970 masih sangat terbatas, jenjang tertinggi hanya sebatas
Sekolah Dasar, bahkan pada tahun-tahun tersebut banyak siswa Suku Moi yang tidak
menyelesaikan pendidikan tersebut, akibat banyak masyarakat suku Moi yang
tertinggal dari suku-suku disekitarnya.
Namun pada tahun 1980-aan hingga sekarang ini banyak generasi Suku Moi sudah
menempuh pendidikan mulai dari SD ,SMP ,SMA bahkan sampai S1 dan S2 hingga
jenjang S3. Kesuksesan para putra-putri Suku Moi saat ini tidak terlepas dari peran
pemerintah Kota Sorong dan juga setiap keluarga, individu dan lembaga lainnya
bahwa betapa pentingnya pendidikan bagi kemajuan Masyarakat Moi secara umum.
3.10.2. Pengertian Pendidikan Adat Kambik
Budaya membentuk manusia menjadi manusia yang berpengetahuan, itu terbukti,
sejak dahulu Suku Moi telah hidup di dalam aturan, petunjuk, resep, rencana dan
strategi-strategi yang didalamnya terdapat serangkaian bentuk kognitif yang
digunakan secara kolektif untuk kebutuhan hidup dalam keberadaannya dengan
59
lingkungan sekitar (alam), pengetahuan semacam ini menciptakan sistem yang dapat
memberikan penilaian bagi mereka dalam menghadapi baik dan buruknya lingkungan
disekitar serta sesuatu yang berharga atau tidak, baik atau buruk dan juga
mendatangkan kebaikan atau mencelakakan, semuanya ini menyatakan bahwa
masyarakat Moi sejak dahulu mempunyai nilai-nilai yang luhur.
Sebelum mengenal pendidikan formal, sejak dahulu masyarakat Moi mengenal
pendidikan adat, yakni pendidikan Kambik yang mengajarkan berbagai macam
pengetahuan melalui alam, belajar melalui alam merupakan rutinitas yang diajarkan
secara turun-temurun, dimana pada hekekatnya alam mengajarkan tentang hidup dan
kehidupan, diaman gejala alam seperti gempa, banjir, longsor dan lain sebagainya
dapat diketahui hanya melalui pendidikan Kambik.
Secara etimologi Kambik berasal dari kata Kam yang artinya rumah atau
tempat bermain, namun, pada hakekatnya rumah/tempat pendidikan adat Kambik
merupakan sekolah adat yang menempatkan anak-anak suku Moi sebagai subjek
dengan mengunakan pendekatan pendidikan tentang alam, rumah/tempat belajar
Kambik merupakan tujuan masyarakat Moi dalam upaya memberikan pembelajaran
kepada generasi akan datang dengan kemampuan-kemapuan khusus yang meliputi
kesehatan pengobatan traditional, pertanian, sosial, adat-istiadat, berburu, berperang
dan lain sebagainya, namun yang terpenting dari pendidikan Kambik ialah
menciptakan pemimpin serta mempunyai kedudukan dalam suku Moi.28
28
Hasil Wawancara dengan Matias Asirima, ( Murid atau pelaku pendidikan adat ) km 12
pada tanggal 18 September jam 20:00 WIT.
60
Suku Moi meyakini bahwa pendidikan adat Kambik merupakan pendidikan
yang sakral, karena, di yakini pembelajaran yang ada dalam pendidikan Kambik
merupakan sumber pengetahuan moral dan etika yang mengatur seluruh totalitas
keberadaan Masyarakat Moi dalam berbagai aspek kehidupan sosialnya.29
Peserta
Pendidikan Adat kambik merupakan kelompok dalam struktur masyarakat adat Moi,
yaitu hanya anak laki-laki (nedla) yang berhak secara utuh mengukuti pendidikan
tersebut, dalam pendidikan adat Kambik setiap siswa (ulibi) adat diajarkan tentang
kepemimpinan dalam berbagai bidang pengetahuan dan juga adat-istiadat yang
berhubungan dengan keberadaan Suku Moi secara mendalam dan lengkap.
Anggapan dalam masyarakat Moi bahwa, setinggi apapun gelar seseorang
dalam pendidikan formal, akan tetapi bila ia belum mengikuti pendidikan adat
Kambik, maka ia dianggap bodoh/telanjang, seperti perempuan. Angapan seperti
menyatakan bahwa identitas masyarakat Moi sebagai masyarakat adat, dan ketika ia
belum masuk rumah Kambik untuk belajar dan mengerti tentang adat, maka pada
hakekatnya ia bodoh.30
Seperti layaknya pendidikan formal yang mempunyai tingkatan, pendidikan
adat Kambik juga diberikan gelar kelulusan sesuai dengan jenjang yang di lalui
seseorang, seperti SD (ulibi) merupakan tingkatan paling dasar saat selesai di berikan
gelar (unsulu) , berikunya setara SMP dan SMA (unsmas) diberikan gelar (tulukma)
dan yang paling tertinggi setingkat Perguruan tinggi (untlan/kmabiek di berikan gelar
29
Hasil Wawancara dengan Lowisa, ( Masyarakat ) di kediaman Jalan Baru pada tanggal 4
september jam 1:00 WIT. 30
Wawancara dengan Silas Kalami, ( Tokoh Masyarakat, selaku Ketua Lembaga Adat (LMA
MOI) di sekertariat LMA pada tanggal 16 september jam 15:00 WIT.
61
wariek atau sukmin, (dapat menjadi guru dalam pendidikan Kambik (tukan), gelar-
gelar ini di berikan setelah para murid Pendidikan Adat Kambik selesai dari proses
belajarnya, pemberian-gelar ini merupakan simbol kopentensi pada bidang-bidang
tertentu tetapi juga status sebagai masyarakat adat, durasi waktu belajar dalam
pendidikan adat Kambik berkisar dari 6-18 bulan, tingkatan dasar dan menengah
dalam proses belajar memerlukan waktu 6-12 bulan, namun tingkatan yang tertinggi
memerlukan waktu hingga 18 bulan bahkan mungkin lebih, tergantung kesepakatan
bersama dewan adat.31
Sumber pembelajaran dalam Pendidikan Adat Kambik berasal dari pada
leluhur, sehingga Pendidikan Adat Kambik sangat kental dengan unsur animisme,
dimana kandungan mantra-mantra dan penyembahan kepada arwah para leluhur
masih di praktekan. Dalam pengajaran yang diberikan oleh guru (tukan), para siswa
dalam pendidikan Kambik belajar mengenai berbagai macam hal antara lain :
-berburu, dalam melakukan perburuan sebelum masuk hutan, diajarkan untuk
menginjakan tanah sebanyak tiga kali serta mengetahui arah angin terlebih dahulu
dan membacakan matra-matra, agar dapat mengetahui keberadaan hewan buruan
tanpa bersusah payah untuk mencarinya di tengah hutan, selain itu juga fungsi dari
31
Wawancara dengan Urgenes UliM( Tokoh Masyarakat, pelaku Pendidikan Adat ) Klasaman
km 12, 12 September 2017, jam 18:00 WIT.
62
mantra-mantra tersebut membuat hewan buruan menjadi tak berdaya dan mudah
untuk di bunuh.32
-bercocok tanam, sebelum melakukan bercocok tanam, para siswa diajarkan
untuk membacakan matra supaya sayur dan buah-buahan yang di tanam akan tumbuh
subur tetapi juga pada saat dipanen, sayur atau buah-buahan yang ditanam tidak
mudah busuk, contohnya tanaman pohon Sagu. Sagu yang telah di tebang dan di
totok akan di simpan di dalam lumpur atau pecek, maka Sagu tersebut akan dapat
bertahan hingga berbulan-bulan. Semuanya ini dimungkinkan oleh kekuatan mantra-
mantra yang diucapkan untuk membuatnya bertahan ataukah secara rasional adanya
unsur lain yang dapat membuat tanaman itu bertahan.?33
Kesehatan, dalam menjaga serta memberikan jaminan kesehatan kepada
setiap kelompok dalam Suku Moi, peserta Pendidikan Adat Kambik diperlengkapi
dengan pengetahuan pengobatan tradisional. Dalam Kambik diajarkan tentang air,
kulit kayu dan daun-daun, bara api dan buah-buahan tertentu yang dapat
menyembuhkan orang dari penyakitnya, contoh seperti tali hutan dapat berfungsi
sebagai media yang dapat mengeluarkan bisa ular dari orang yang tergigit. Suku Moi
juga mengetahui cara sehat bagi ibu hamil, dimana saat seseorang perempuan sedang
hamil, maka secara otomatis suami (laki-laki harus meninggalkan rumah hingga sang
32
Wawancara dengan Matias Asirima,pelaku langsung pendidikan adat di kediaman
klasaman km 12 pada tanggal 18 spetember jam 18:00 WIT. 33
Wawancara dengan Eka Kalami, istri ketua LMA Sorong pada tangal 16 september jam
15:00 WIT.
63
istri (perempuan) melahirkan baru dapat kembali tinggal bersama-sama. Hal ini
dilakukan demi kesehatan ibu ).
Berperang, Suku Moi merupakan suku yang sejak dahulu sering berperang
satu dengan yang lain demi tanah dan wilayah kekuasaan atau kesalahan dalam satu
klan. Tetapi juga menjaga keamanan dari suku-suku di sekitarnya. Mereka diajarkan
tentang cara membuat tameng (gili) untuk menghalangi serangan lawan, serta belajar
cara membuat anak panah dari bambu atau tulang kasuari serta busur yang di buat
dari pelepah sagu berserta tali busur dari pohon nibong. Tombak ( sawiyek ) yang
juga terbuat dari tulang kasuari. Tetapi juga yang lebih mendalam diajarkan mantra-
mantra khusus untuk membuat musuh lemas dan tertidur sehingga dapat dibunuh
dengan mudah, kepercayaan Suku Moi sejak dahulu, dalam peperangan ketika
membunuh musuh, kepalanya harus di potong dan dibawah pulang, hal ini
merupakan bukti kekuatan dan keperkasaan seseorang yang dapat menjadikannya
sebagai seorang pemimpin perang, semakin banyak kepala yang terkumpul, semakin
besar peluang untuk menjadi pemimpin perang.34
Selain menyangkut kehidupan sehari-hari seperti yang telah dijelaskan diatas
berdasarkan data yang di dapat di lapangan, pendidikan adat Kambik juga
mengajarkan segala sesuatu yang berkaitan dengan adat-istiadat Orang Moi seperti :
Sistem perkawinan, proses perkawinan dikalangan Suku Moi sejak dahulu,
dipersatukan melalui bentuk masuk minta, istilah “masuk minta” di peruntukan bagi
34
Wawancara dengan Mathias Asirima. Asirima,pelaku langsung pendidikan adat di
kediaman klasaman km 12 pada tanggal 18 september jam 18:00 WIT.
64
keluarga kedua belah pihak, dimana pihak keluarga laki-laki akan datang kepada
pihak perempuan dan meminta keluarga pihak perempuan agar anaknya mau
dijodohkan, namun dalam pendidikan Kambik, diajarkan bagaimana cara meminang
seorang perempuan, perempuan tersebut harus mampu mempunyai beberapa
ketrampilan seperti, memasak, menotok sagu, membuat ramuan obat-obatan dan
berkebun, jika perempuan didapati telah mampu untuk memenuhi semua kewajiban
ini, maka ia layak untuk di nikahi. Keseluruhan pengetahuan ini, diwariskan melalui
garis keturunan keluarga, dimana ingatan-ingatan diwariskan dari ayah kepada anak,
anak kepada anaknya kelak dan seterusnya, jadi pemahaman tentang pengetahuan
yang di dapat dalam pendidikan adat tidak akan hilang, meskipun tidak semuanya
dapat di ingat dengan baik, dikarenakan factor usia yang membuat sebagian ingatan
menjadi tidak sempurnah. Cara memberikan pengetahuan tentang adat-istiadat yang
di peroleh dalam Kambik yang di berikan kepada keluarga tidak terbatas pada ruang
dan waktu apapun, saat nonton tv, saat makan, santai bentuk apapun, sang ayah akan
selalu menceritakan hal-hal yang harus di ketahui dan di patuhi mengenai adat.35
Sistem pembayaran adat bagi yang meninggal, setiap keluarga dalam Suku Moi
masuk dalam sistem bayar adat, jika dalam satu keluarga ada anggota keluarga yang
meninggal, maka secara otomatis harus membayar adat, contohnya dalam satu
keluarga jika istri meninggal, maka sang suami diharuskan membayar adat ganti susu,
mata, rambut dan tulang, bentuk pembayaran berupa sebilah parang. Hal ini berlaku
35
Wawancara dengan Elfan. Masyarakat suku Moi pada tanggal 21 september jam 9 : 00 WIT
65
sebaliknya. Supaya dapat mengigat keluarga kedua belah pihak dalam sistem
kekeluargaan, kendatipun salah satu keluarga telah tiada.
Dari keseluruhannya ini para siswa (ulibi) pada akhirnya akan keluar dengan berbagai
pengetahuan tentang alam serta di persiapkan untuk menjadi pemimpin yang kelak
dapat mempersatukan seluruh masyarakat suku Moi dalam persaudaraan yang kokoh
dan menciptakan kedamaian dan kesejahteraan.
Keseluruhan pengetahuan ini, diwariskan melalui garis keturunan keluarga,
dimana ingatan-ingatan di wariskan dari ayah kepada anak, anak kepada anaknya
(khusus anak laki) kelak dan seterusnya, jadi pemahaman tentang pengetahuan yang
di dapat dalam pendidikan adat tidak akan hilang, meskipun tidak semuanya dapat
diingat dengan baik, dikarenakan faktor usia yang membuat sebagian ingatan menjadi
tidak sempurnah. Cara memberikan pengetahuan tentang adat-istiadat yang di peroleh
dalam Kambik yang di berikan kepada keluarga tidak terbatas pada ruang dan waktu
apapun, saat nonton tv, saat makan, santai bentuk apapun, sang ayah akan selalu
menceritakan hal-hal yang harus di ketahui dan di patuhi mengenai adat.
3.10.2. Proses Menjadi Murid Dalam
Sejak dahulu menurut masyarakat Moi agar menjadi murid dalam pendidikan adat
Kambik ada beberapa cara yang dilakukan yaitu:
1. Anak dicuri, Orang Moi sejak lampau mengenai sebuah cara untuk mencari
seorang murid dalam Kambik yaitu dengan cara mencuri anak, anak tersebut
di bawah ke dalam hutan dan diajarkan tentang alam dan adat-istiadat suku
66
Moi, pemahaman masyarakat pada umumnya sejak dahulu, bahwa ketika anak
mereka secara tiba-tiba menghilang tanpa mengetahui keberadaannya, maka
secara otomatis mereka sudah mengetahui bahwa telah di bawah ke dalam
hutan oleh tua-tua adat untuk masuk dalam pendidikan Kambik. Setelah
selesai dalam proses belajarnya maka anak tersebut akan di kembalikan
pulang kepada keluarganya.36
Maka pihak keluarga akan menyadari bahwa
selama anaknya hilang dibawah oleh para pelaku pendidikan adat untuk
mengikuti proses pembelajar adat.
2. Di pilih secara adat, setiap keret dalam suku Moi mempunyai pemimpin keret,
yang pantas untuk mengikuti pendidikan kambik ialah keturunan pemimpin
keret (anak sulung), yang kelak setelah selesai, ia akan kembali dan menjadi
pemimpin dalam keret tersebut.
3. Perwakilan. Dalam upaya untuk menjadikan anak bagian dari pendidikan adat
Kambik, anak dapat diwakilkan oleh klan, marga kepada marga yang lain,
contohnya marga Ulim menitipkan anaknya kepada marga Ulimpa untuk di
bawah kepada pendidikan adat, namun cara seperti ini menuntut pembayaran
data berupa kain toba kain timur) namun dengan syarat anak yang di titipkan
harus di kembalikan dalam keadaan baik.37
Setelah selesai dari proses ini
maka seluruh masyarakat Moi dari berbagai klan dan marga akan melakukan
36
Wawancara dengan Eka Kalami. istri ketua LMA Sorong pada tangal 16 september jam
15:00 WIT. 37
Wawancara dengan Orgenes Ulim. pelaku langsung pendidikan adat di kediaman klasaman
km 12 pada tanggal 14 September jam 14:00 WIT.
67
upacara perayaan di hutan, berupa makan bersama, sebagai bentuk dari
kesuksesan anak yang telah lulus dari pendidikan adat.
3.10.3. Ritual Pendidikan Adat
3.10.4. Pra Pendidikan
Dalam ritual pelaksanaan pendidikan adat Kambik, marga Ulimpa
dipercayakan sebagai pelaksanan dalam prosesi berjalannya pendidikan dari waktu ke
waktu, tempat pelaksanaan pendidikan dilaksanakan di kampung Kleben distrik
Moraid, sebelum palaksanaan pendidikan Kambik, para dewan adat duduk
bermufakat untuk proses ritual yang harus dilakukan sebelum pendidikan tersebut di
mulai, hasil dari mufakat bertujuan untuk menunjuk siapa guru yang akan mengajar
serta memimpin ritual yaitu dengan menyanyikan syair-syair dari marga khusus
pemimpin yang ditunjuk mengajar. Tetapi juga dalam prosesi ini, para dewan adat
menyampaikan pemberitahuan kepada seluruh lapisan masyarakat adat Moi yang
terdiri dari berbagai sub-etnis meliputi keluarga dengan keret-keret yang ada untuk
mengirimkan anak laki-lakinya mengikuti pendidikan adat.
Dibaringi dengan persiapan-persiapan yang harus dilakukan oleh anggota
keluarga, pihak wanita seperti menghiasi anak-anak (ulibi) dengan manik-manik,
serta ujaran-ujaran berupa larangan dan pantangan bagi perempuan untuk tidak
masuk dalam rumah pendidikan adat (tempat pelaksanaan pendidikan, terlebih
perempuan yang sedang haid. Selain itu juga larangan bagi murid pendidikan adat
Kambik untuk duduk makan bersama perempuan, larangan berikutnya ialah
memekan makanan yang berwarna merah. Baik buah-buahan, sayuran dan berbagai
68
bentuk makanan berwarna merah, selain itu juga para pria memberikan naseat-
nasehat kepada anaknya agar dapat mengikuti pendidikan dengan baik.38
3.10.5. Pendidikan
Setelah anak-anak Moi telah dikirim kepada sekolah adat, maka anak-anak
tersebut akan ditegukan oleh dewan adat, seperti babtis dalam kekristenan, dengan
cara dibasahi dengan air diatas kepala, dibaringi dengan pemberian nama adat, nama
adat yang diberikan berpatokan pada nama-nama alam. Setelah selesai dalam proses
pengukuhan, maka anak-anak tersebut dapat melangkahkan kaki masuk dalam tempat
belajar atau rumah belajar Kambik dan mengikuti proses belajar mengajar dalam
durasi waktu yang telah ditentukan.
3.10.6. Pasca Pendidikan
Sesudah anak-anak atau murid (ulibi) selesai dalam proses belajarnya, maka
mereka akan mendapat gelar-gelar adat, seperti untelen, kofso, sifai, masawom, ini
merupakan gelar-gelar yang diberikan bagi setiap siswa-siswa sekolah adat yang telah
selesai dari proses belajarnya, proses belajar tersebut akan dikukuhkan dengan
upacara adat dalam bentuk makan bersama di tengah hutan39
ketika anak tersebut
38
Wawancara dengan Urgenes UliM( Tokoh Masyarakat, pelaku Pendidikan Adat )
Klasaman km 12, 12 September 2017, jam 18:00 WIT.
39
Wawancara dengan Urgenes Ulim( Tokoh Masyarakat, pelaku Pendidikan Adat ) Klasaman
km 12, 12 September 2017, jam 18:00 WIT.
69
kembali kedalam komunitas masyarakat maka ia akan mendapat tempat dalam
struktur masyarakat adat.40
3.10.8. Nilai Yang Terkandung Dalam Pendidikan
1. Identitas, pendidikan adat Kambik menciptakan identitas bagi seluruh masyarakat
adat Moi, dengan mengikuti pendidikan Kambik, maka secara otomatis sesorang
mendapatkan kedudukan dalam struktur adat dan struktur sosial, serta dapat di akui
oleh seluruh masyarakat Moi. Bagi masyarakat Moi, sesesorang yang belum
mengikuti pendidikan adat Kambik, belum mempunyai identitas dalam struktur adat,
ia dianggap telanjang, seperti perempuan atau bahkan tidak sempurnah. Oleh karena
itu, pendidikan adat Kambik turut menciptakan identitas bagi suku Moi.
2. Moral, dalam pedidikan Kambik, setiap Suku Moi belajar tentang nilai moral,
terlebih khusus yang menyangkut dengan totalitas keberadaan mereka dalam
hubungannya dengan sesamanya, alam tetapi juga yang ilahi,. Supaya tercipta
hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam, sesamanya dan juga yang
ilahi. Keterikatan ini memberikan nilai baru bagi manusia untuk selalu memiliki
sikap, menghargai, menjaga dan berjuang. Seperti bagaimana ia harus menghargai
pemilik hak ulayat seseorang yang menjadi miliknya. Menghargai alam dengan cara
menjaga tempat sakral dan tidak menebang pohon secara sembarangan. Tetapi juga
wujud menghargai yang ilahi memberikan sesajen-sejanen sebagai wujud keyakinan
40
Lih Hal 37-38
70
akan keberadaan yang ilahi. Tetapi juga menjaga alam berupa pohon, goa dan batu
sebagai tanda kehadiran yang ilahi pada tempat-tempat tersebut.
3 Kesetaraan, menekankan kebersaman hidup menyatukan seluruh perbedaan
golongan agar terwujud persatuan hidup seperti yang dicita-citakan oleh seluruh
manusia. Perwujudan nilai itu dapat dinikmati oleh orang Moi jika mereka tetap
mempraktikkan Pendidikan Adat kambik dalam tindakan dan tutur . Hal ini
diimplementasikan dalam pengungkapan nilai pendidikan adat Kambik sebagai gaya
hidup dalam ikatan tali persatuan yang kuat merajut segenap lapisan suku Moi dalam
kehidupan masa kini. Sejak dahulu alumi para pendidikan adat Kambik telah
menciptakan pemimpin-pemimpin yang handal yang mampu memberikan rasa damai
serta menciptakan kesetaraan dalam berbagai lapisan masyarakat Moi yang terdiri
dari berbagai sub-etnis.41
3.10.9. Faktor Penyebab Hilangnya Pendidikan Adat
1. Merkantilisme
Pada Tahun 1935 Belanda mulai mengintervensi tradisi masyarakat Moi
secara menyeluruh, proses keterlibatan Belanda di tandai dengan pengeboran
minyak di Sorong melalui perusahan NNGPM (Nederlandsche Nieuw Guinea
Petroleum Maatschappij ), dan juga perkebunan kelapa sawit di distrik
Klamono, pada saat proyek minyak dan kelapa sawit, pihak Belanda
41
Wawancara dengan Urgenes Ulim( Tokoh Masyarakat, pelaku Pendidikan Adat ) Klasaman
km 12, 12 September 2017, jam 18:00 WIT.
71
mengajak dan mempekerjakan masyarakat dalam perusahan tersebut,
sedangkan pada konteks itu keseharian masyarakat Moi hanya berfokus pada
bertani, berladang, berburu demi kebutuhan hidup, serta yang terpenting
belajar dalam pendidikan adat sebagai pengetahuan bagi hidup mereka, akan
tetapi tuntutan Belanda kepada masyarakat untuk bekerja pada perusahan
NNGPM secara otomatis membuat perubahan kerja, dimana waktu
masyarakat Moi khususnya laki-laki yang seharusnya belajar dalam
pendidikan adat, menjadi bekerja kepada perusahan Belanda, pada bagian ini,
titik awal memudarnya pendidikan adat Kambik.42
2. Kekristenan
Proses Pekabaran Injil pertama kali masuk di Kota Sorong pada 19 Oktober
1927 di bawah oleh Penginjil Wagunu asal Sangihe.43
Sebelum masuknya
Injil di Kota Sorong masyarakat Moi mempunyai sumber pembelajaran hanya
ada di Kambik, dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan yang ilahi
dan yang sakral hanya di pelajari melalui Pendidikan Adat Kambik, sebagai
sumber pengetahuan masyarakat Moi tentang kekuatan yang berada di atas
mereka. Implementasi dari bentuk pengetahuan tentang yang sakral dan ilahi
di wujud nyatakan melalui pemberlakuan larangan hutan keramat, serta
penyembahan kepada roh-roh leluhur dan dewa-dewa guna menciptakan
keseimbangan, penghormatan dan kesejahteraan dalam totalitas keberadaan
42
Wawancara dengan Urgenes Ulim( Tokoh Masyarakat, pelaku Pendidikan Adat ) Klasaman
km 12, 12 September 2017, jam 18:00 WIT. 43
Lih hal 50.
72
mereka.44
namun kekristenan memandang sumber nilai yang ada dalam
pendidikan adat sebagai sesuatu yang “tidak baik, buruk, berdosa” karena
tidak sesuai dengan ajaran Kristen, sehingga Suku Moi dilarang untuk tidak
mengikuti pendidikan adat, melainkan masuk dalam pendidikan formal yang
didirikan oleh Belanda.45
Serta masuk dalam kekristenan, dengan cara di
babtis. Namun bagi masyarakat Moi pendidikan Kambik mirip dengan segala
sesuatu yang ada dalam Injil, yaitu belajar tentang kebaikan kepada diri
sendiri, orang lain dan lingkungan( alam ) serta Tuhan( ilahi ).46
3. Perang Dunia Kedua
Pada waktu itu tentara Jepang mendarat di kota Sorong, tepatnya sekarang
kabupaten Sausapor, kontestasi antara Amerika dan Jepang di Sorong turut
mempengaruhi pola kehidupan masyarakat Moi, dimana peperanagan antara
Jepang dan sekutu banyak menyengsarakan orang-orang Moi pada waktu itu,
salah satu contoh ketika pihak Jepang memburu pihak Amerika, pada saat
yang bersamaan ketika bertemu dengan penduduk pribumi, maka akan di
bunuh, adapun kekejaman akibat Perang Dunia Ke-2 yang dilakukan oleh
pelaku perang seperti, menjadikan masyarakat Pribumi sebagai pekerja guna
mempersiapkan perlengkapan perang seperti pembuatan lapangan pesawat
44
Lih hal 47-49. 45
Lih hal 50. 46
Wawancara dengan Sakheus Ulim. pelaku langsung pendidikan adat di kediaman klasaman
km 12 pada tanggal 14 September jam 14:00 WIT.
73
tempur dan lain-lain.47
Akibatnya masyarakat Moi berupaya untuk mencari
perlindungan, dengan cara lari ke hutan meninggalkan perkampungan,
akibatnya proses kegiatan adat tidak dapat berjalan, terlebih khusus,
pendidikan adat Kambik.48
3.10.10. Upaya Untuk Menghidupkan Pendidikan Adat Kambik
Dalam memaknai pendidikan adat Kambik sebagai sumber nilai mula-mula
yang sangat berharga bagi keidupan nenek-moyang dahulu hingga kehidupan Suku
Moi sekarang, muncul inisiatif untuk kembali menghidupkan serta menerapkan
pendidikan adat pada konteks sekarang, upaya untuk menghidupkan kembali
pendidikan adat Kambik dimulai pada tahun 1973 yang di pelopori oleh tokoh
masyarakat (guru dalam pendidikan adat) Mamisa Ulimpa di distrik Kalabili.49
Upaya
yang dilakukan oleh Mamisa Ulimpa dengan cara mengumpulkan seluruh pimpinan
keret meliputi delapan sub-etnik Suku Moi yang ada di Sorong untuk dapat
melakukan musyawarah adat guna mengatur tata cara menghidupkan pendidikan adat
pada saat itu, akan tetapi pada proses pelaksanaan musyawarah adat tersebut, seluruh
peserta musyawarah adat di bubarkan oleh pihak militer Indonesia, sebab
pembubaran tersebut didasari atas kecurigaan perkumpulan musyawarah adat tersebut
47
Wawancara dengan Cosmas Mambrasar, di Werur, 27 Mei 2013). Dikutip dari buku
Sejarah Perang Dunia kedua di Sausapor, 65 48
Wawancara dengan Urgenes Ulim( Tokoh Masyarakat, pelaku Pendidikan Adat ) Klasaman
km 12, 12 September 2017, jam 18:00 WIT. 49
Merupakan sebuah tempat ( distrik ) jarak tempuh dari Kota Sorong memakan waktu 45
menit,
74
merupakan bentuk dari gerakan OPM ( Organisasi Papua Merdeka ). Upaya
menghidupkan pendidikan adat Kambik menjadi gagal.50
Bertolak dari upaya diatas yang mengalami kegagalan, tidak membuat
masyarakat Moi berhenti untuk terus menghidupkan pendidikan adat sekarang ini,
menurut ketua (LMA), sekarang di kota Sorong khususnya di Maladofok yang
merupakan tempat sakral suku Moi. Masyarakat telah membuat perkebunan dalam
jumlah yang besar serta rumah belajar adat sederhana sebagai tempat belajar dan
praktek tentang adat, akan tetapi hal ini masih belum pasti, apakah rumah adat dan
lahan yang besar tersebut dijadikan sebagai tempat belajar sekaligus praktek tentang
pendidikan adat Kambik. Kalau pun tujuannya untuk menghidupkan pendidikan adat,
seharusnya melewati proses duduk adat, membicarakat hal tersebut secara adat.
Namun realitasnya belum ada pertemuan antara masyarakat dan LMA.51
Berdasarkan data yang ditemukan dalam penelitian lapangan, penulis
menyimpulkan bahwa, pendidikan adat Kambik adalah puncak kebudayaan
masyarakat Moi yang melaluinya orang Moi mengimplementasikan seluruh
pengetahuan dalam hubungan dengan drinya, sesama, alam dan yang ilahi.
50
Wawancara dengan Urgenes Ulim( Tokoh Masyarakat, pelaku Pendidikan Adat ) Klasaman
km 12, 12 September 2017, jam 18:00 WIT. 51
Wawancara dengan Silas Kalami, ( Tokoh Masyarakat, selaku Ketua Lembaga Adat ( LMA
MOI ) di sekertariat LMA pada tanggal 16 september jam 15:00 WIT.
75
Kesimpulan
Suku Moi merupakan suku yang berada di Papua Barat. Suku Moi dikenal
dengan orang yang ramah dan lembut, Suku Moi dibagi menjadi 8 sub-etnik yaitu
Moi Legin, Abun, Karon, Klabra, Moraid, Segin, dan Maya. Pembagian 8 sub-etnik
tersebut penyebarannya meliputi Kota Sorong, Raja Ampat, Kabupaten Sorong,
Kabupaten Sausapor bahkan Manokwari berdasarkan pembagian wilayah
adminidsrasi pemerintahan sekarang. Profesi Suku Moi tradisional yaitu: berburu,
bertani dan nelayan. Akan tetapi sekarang profesi masyarakat Moi beragam dan tidak
hanya berfokus pada bertani, nelayan dan berburu melainkan PNS, TNI, Polri, tukang
ojek, penjual di pasar, dosen dan lain-lain. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat
Moi yaitu bahasa phylum yang merupakan bahasa rumpun Melanesia dan Ausronesia
yang kebayakan dipakai di Papua secara umum. Akan tetapi secara khusus bagi Suku
Moi bahasa adat yang digunakan yaitu bahasa salmak yang merupakan bagian kecil
dari bahasa phylum.
Dalam sturuktur adat masyarakat Moi dibagi menjadi beberapa bagian antara
lain: ne fulus, orang berpengetahuan, ne foos, orang memiliki kekuatan gaib, ne ligin,
orang yang bertugas berbicara di depan publik. Suku Moi mempunyai tanah hak
ulayat meliputi 8 sub-etnik yang telah dijelaskan diatas. Bentuk kepemimpinan yang
ada dalam truktur adat masyarakat Moi meliputi 3 aspek yaitu: kepemimpinan
berwibawa, kepemimpinan penghulu dan kepemimpinan campuran.
76
Masyarakat Moi sekarang pada umumnya telah memeluk agama Kristen,
Islam dan lain-lain, akan tetapi kepercayaan tradisional Suku Moi terhadap Tuhan,
dikenal dengan nama “Fun Nah atau Muwe” selain itu juga masyarakat Moi
tradisonal percaya kepada roh-roh para leluhur dan dewa-dewa yang diyakini berdiam
pada pohon-pohon besar, batu dan goa-goa tertentu, yang proses penyembaannya
dilakukan dengan cara memberikan sesajen-sesajen serta menjaga dan menghormati
pohon, goa dan batu-batu tertentu. Proses pembelajaran dan ilmu pengetahuan yang
menjadi modal bagi masyarakat Moi dalam tingkah dan lakunya bersumber pada
pendidikan adat (Kambik). Jadi dapat disimpulkan bahwa Suku Moi sejak dahulu
merupakan suku yang telah mempunyai nilai dan aturan-aturan yang menjadi
pedoman dalam kehidupan mereka sejak dahulu hingga sekarang.