Upload
lamhanh
View
246
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
94
BAB III: METODE PENELITIAN
A. SUBJEK PENELITIAN
Penelitian ini menempatkan buku teks mata pelajaran sejarah SMA
Jurusan IPS yang digunakan dalam pembelajaran pada periode 1975-2008 sebagai
subjek kajian. Agar memperoleh kajian yang tajam, subjek penelitian dibatasi
pada buku teks yang digunakan sebagai bahan ajar bagi siswa Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Pembatasan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa tingkat satuan pendidikan
di Indonesia dewasa ini telah begitu rincinya dipilah-pilah. Pada satuan
pendidikan menengah, pemerintah membedakan antara SMA/MA dengan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK). Untuk masing masing jenis sekolah memiliki bahan
ajar mata pelajaran Sejarah yang berbeda. Bahkan pemerintah juga membedakan
bahan ajar untuk SMA/MAN jurusan IPA, IPS dan Bahasa.
Pengambilan SMA/MA jurusan IPS sebagai konsentrasi penelitian
dilakukan dengan pertimbangan bahwa pada jurusan itu mata pelajaran sejarah
memperoleh jumlah jam pelajaran paling banyak dibandingkan dengan pada
jurusan IPA maupun Bahasa. Dengan frekuensi pembelajaran paling tinggi, dapat
diambil pemahaman bahwa mata pelajaran sejarah pada jurusan IPS merupakan
paling komprehensif dan mendalam.
Selain jurusan yang mengajarkan sejarah paling komprehensif dan
mendalam, sesuai dengan namanya, jurusan IPS sudah seharusnya menjadi
jurusan yang paling intensif mengarahkan siswanya untuk menjadi warga negara
94
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
95
yang baik. Hal itu terkait dengan tujuan pendidikan IPS adalah untuk membangun
warga negara yang baik (Somantrie, 2005: 4). Dari sudut pandang tujuan IPS itu,
salah satu unsur penting dari kebaikan warga negara adalah memiliki
nasionalisme (Kartodirdjo, 2005: 114). Dengan kata lain, proses pembelajaran
pada jurusan IPS sudah seharusnya mengarahkan agar dalam diri setiap siswa
tumbuh dan berkembang kesadaran sebagai warga bangsa (nation) dan
berperilaku sesuai dengan tata nilai dan norma yang menjadi simbol-simbol
nasionalismenya.
Untuk menumbuhkan kesadaran dan perilaku sebagai warga bangsa
diperlukan proses penanaman nasionalisme yang antara lain melalui mata
pelajaran sejarah. Dari sudut pandang ini, sudah selayaknya buku teks mata
pelajaran sejarah mewacanakan nasionalisme, sehingga siswa dapat menemukan
sendiri pergumulan nenek moyangnya di masa lampau dalam usaha membangun,
mengembangkan dan mempertahankan bangsa Indonesia.
Penelitian ini akan dibatasi pada uraian buku teks tentang lahir dan
berkembangnya nasionalisme Indonesia. Pembatasan itu didasarkan pertimbangan
bahwa pada periode itu secara bertahap mulai berkembang kesadaran untuk
membangun Indonesia sebagai bangsa. Dari sudut pandang ini, pada pembahasan
periode itulah uraian buku teks memiliki ruang paling luas untuk mewacanakan
nasionalisme.
Dalam sejarah Indonesia, lahirnya nasionalisme ditandai dengan
munculnya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Permasalahan yang muncul
adalah penetapan batas akhir perkembangan nasionalisme, karena masing-masing
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
96
periode buku teks memiliki batas yang berbeda-beda. Oleh karena banyaknya bias
subjektifitas penguasa pada periode setelah proklamasi kemerdekaan, maka pada
penelitian ini perkembangan nasionalisme Indonesia dibatasi sampai dengan masa
revolusi kemerdekaan.
Dengan mempertimbangkan kebermanfaatan pada pengembangan
pendidikan kontemporer, penelitian buku teks pelajaran sejarah ini akan dibatasi
dari tahun 1975 sampai dengan 2008. Pengambilan tahun 1975 sebagai titik awal
kajian disebabkan pada tahun itu ada dua peristiwa penting terkait dengan
kandungan buku teks Pendidikan Sejarah. Pertama adalah masuknya IPS dalam
kurikulum nasional. Peristiwa itu secara filosofis maupun metodologis terjadi
pergeseran posisi Pendidikan Sejarah dari mata pelajaran mandiri menjadi sebagai
bagian dari mata pelajaran IPS. Dari sudut ini, Pendidikan Sejarah secara
epistemologis sudah seharusnya mengacu pada landasan epistemologi Pendidikan
IPS. Sejalan dengan itu, buku teks yang digunakan pun sudah seharusnya
mengacu pada landasan epistemologi Pendidikan IPS.
Peristiwa kedua adalah diterbitkannya Sejarah Nasional Indonesia jilid I
sampai dengan VI. Buku ini sangat penting peranannya, karena ditempatkan
sebagai induk dari semua tulisan sejarah di Indonesia. Meski dilihat dari isinya
sebenarnya lebih merupakan buku acuan mahasiswa program studi Ilmu Sejarah,
tetapi dalam prakteknya buku teks Pendidikan Sejarah di tingkat pendidikan yang
lebih rendah pun mengacu pada buku induk tersebut. Bahkan pada awalnya, buku
teks untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
97
Atas (SMA) yang diterbitkan oleh pemerintah (Balai Pustaka) juga menggunakan
judul sama, yaitu Sejarah Nasional Indonesia, meski jumlah jilidnya berbeda.
Penempatan tahun 2008 sebagai batas akhir pembahasan dilakukan dengan
pertimbangan bahwa pemerintah, melalui Departemen Pendidikan Nasional, pada
tahun itu meluncurkan buku teks baru yang dikenal sebagai Buku Sekolah
Elektronik (BSE). Buku teks untuk siswa dari tingkat SD sampai dengan SMA itu
berupa file pdf yang dapat diakses (dibaca dan diunduh) secara gratis melalui situs
http://bse.depdiknas.go.id/ Pembaharuan tidak hanya dalam hal bentuk dan sistem
aksesnya, tetapi juga sistem produksinya. Departemen pendidikan melalui Badan
Standar Nasional Pendidikan menyeleksi buku teks sesuai dengan kriteria yang
telah ditetapkan. Buku teks yang lolos seleksi kemudian hak ciptanya dibeli oleh
pemerintah.
Sepanjang periode 1975-2008 terjadi empat kali pergantian kurikulum
nasional, yaitu 1975, 1984, 1994, dan 2006 sehingga paling tidak juga terjadi
empat kali pergantian buku teks. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan
aspek keterwakilan, maka penelitian ini akan mengambil tiga buku teks yang
dipergunakan pada proses pembelajaran untuk setiap kurikulum nasional,
sehingga jumlah keseluruhan adalah dua belas buku teks.
Keduabelas buku teks yang dijadikan subjek penelitian, diurutkan berdasar
tahun terbit dan kurikulum yang menaungi adalah sebagai berikut:
1. Kurikulum 1975
a. Idris, Z.H., dan Tugiyono 1979, Sejarah Untuk SMA.
b. Siswojo, S.W., 1979, Sejarah Untuk SMA, jilid 1 dan
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
98
c. Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri, ed., 1981, Sejarah Nasional
Indonesia Untuk SMA. jilid 3. Buku paket.
2. Kurikulum 1984
a. Soewarso, Ibnoe, 1986, Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia. jilid 3.
b. Moedjanto, G., dkk., 1992, Sejarah Nasional Indonesia. jilid 3.
c. Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri, ed., 1992, Sejarah Nasional
Indonesia Untuk SMA. jilid 3 (Buku Paket).
3. Kurikulum 1994
a. Sardiman, A.M., dan Kusriyantinah, 1996, Sejarah Nasional dan Umum
untuk SMA, jilid 2b dan 2c.
b. Badrika, I Wayan, 1997, Sejarah Nasional Indonesia dan Umum untuk
SMA, jilid 2.
c. Siti Waridah Q., Sukardi dan Sunarto, 2000, Sejarah Nasional dan Umum
untuk SMA. jilid 2.
4. Kurikulum 2006
a. Mustopo, Habib, dkk., 2007, Sejarah SMA. jilid 2 dan 3.
b. Hapsari, Ratna dan Abdul Syukur, 2008, Eksplorasi Sejarah Indonesia
dan Dunia. jilid 2 dan 3.
c. Tarunasena, 2009, Sejarah SMA/MA. jilid 2 dan 3.
Dari jumlah buku teks yang dikaji serta sebarannya, kiranya dapat
dipahami bahwa fokus penelitian ini adalah buku teks mata pelajaran sejarah yang
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
99
diterbitkan dan digunakan pada masa pemerintahan Presiden Suharto atau Orde
Baru. Tiga buku terakhir dimaksudkan sebagai pembanding untuk memahami
dinamika perkembangan yang terjadi pada masa Reformasi atau post Orde Baru.
B. PENDEKATAN PENELITIAN
Sesuai dengan rekomendasi United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO) (Pingel, 2010: 68) untuk kajian kualitatif buku
teks mata pelajaran sejarah, penelitian ini menggunakan pendekatan
hermeneutika, yaitu menempatkan hermeneutika sebagai ilmu bantu untuk
memahami dan menganalisis buku teks mata pelajaran sejarah SMA sebagai
subjek kajian. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa buku teks merupakan
sumber belajar utama para siswa dalam mempelajari sejarah nasional Indonesia,
sehingga antar keduanya terjadi transaksi makna.
Kata hermeneutika berasal dari nama salah satu pantheon Yunani kuno,
yaitu Hermes. Dewa Hermes memiliki tugas untuk menyampaikan pesan atau
perintah Tuhan kepada manusia. Dalam menjalankan tugasnya, Hermes harus
memahami detail perintah tersebut dan kemudian menterjemahkan dan
menarasikannya ke dalam bahasa manusia. Berdasar tugas Hermes, hermeneutika
kemudian digunakan untuk menamai ilmu yang bertugas untuk menafsirkan teks.
Sebagai ilmu, tanggungjawab hermeneutika adalah: (1) mengungkapkan
sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium
penyampaian; (2) menjelaskan secara rasional sesuatu yang tadinya masih samar-
samar sehingga maknanya dapat dimengerti; (3) menerjemahkan sesuatu yang
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
100
dinarasikan dalam bahasa asing ke dalam bahasa yang dipahami oleh audiences
(Raharjo, 2008: 28). Oleh karena itu tidaklah salah apabila hermeneutika oleh
Sumaryono (1999: 24) dipandang sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi
dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari ketidakpahaman menjadi paham terhadap
makna teks yang dikaji.
Usaha untuk memahami teks atau pintalan kata merupakan proses yang
kompleks dan melahirkan berbagai aliran hermeneutika. Freidrich Ernst Daniel
Schleiermacher yang kemudian dikenal sebagai bapak hermeneutika modern
mengembangkan pemikiran bahwa pemahaman teks dua cara yang dikenal
sebagai dua lingkaran hermenetika:
1. memahami makna teks secara gramatikal (grammatical understanding), yaitu
menemukan makna melalui pencarian pengertian gramatik dari kata-kata dan
kalimat yang terdapat pada teks. Pemahaman teks dalam hal ini adalah melalui
penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis bahasa, sehingga menggunakan
pendekatan linguistik. Cara ini dalam hermeneutika dikenal dengan sebutan
lingkaran objektif.
2. memahami makna teks dari kondisi psikologis pembuat teks (intuitive
understanding). Untuk dapat memahami sungguh-sungguh kondisi psikologis
pengarang, diperlukan kajian tentang konteks budaya yang melingkupi teks,
konteks historis yang mendorong munculnya teks, dan maksud pengarang
ketika memproduksi teks. Dengan kata lain, pemahaman makna teks
diperlukan rekonstruksi proses kelahirannya. Cara ini dalam hermeneutika
dikenal dengan sebutan lingkaran subjektif.
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
101
Pandangan Schleiermacher tentang grammatical understanding atau
lingkaran objektif dewasa ini telah berkembang pesat. Secara garis besar,
perkembangan grammatical understanding dewasa ini tidak hanya menganalisis
bahasa dari unsur-unsur pembentuknya (kalimat, frasa, kata dan sebagainya),
tetapi diarahkan sampai pada bagaimana bahasa digunakan atau dimanfaatkan
oleh penggunanya atau fungsi bahasa.
In the study of language, some of most interesting questions arise in
connection with the way language is used, rather than what its components
are. ... We were, in effect, asking how it is that language-users interpret what
other language-users intend to convey. When we carry this investigation
further and ask how it is that we, as language-users, make sense of what we
read in text, understand what the speakers mean despite what they say,
recognize connected as opposed to jumble or incoherent discourse, and
successfully take part in that complex activity called conversation, we are
undertaking what is known as discourse analysis (Yule, 1996: 139).
Pada kutipan itu Yule menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang
paling menarik dalam studi bahasa adalah bagaimana bahasa tersebut digunakan,
dari pada komponen-komponen apa saja yang membentuk bahasa. Pada dasarnya,
pertanyaan mengarah ke bagaimana pengguna bahasa menginterpretasi apa yang
disampaikan oleh pengguna bahasa lainnya. Dari penelitian ini tentang
bagaimana, sebagai pengguna bahasa, menjadikan masuk akal apa yang dibaca
dalam teks, memahami maksud pembicara meskipun disampaikan secara verbal,
akan diperoleh pemahaman akan keterkaitan sebagai lawan terhadap wacana yang
campur aduk atau tidak koheren, serta berhasil mengambil bagian dalam aktivitas
kompleks yang disebut perbincangan, inilah yang dikenal sebagai analisis wacana.
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
102
Salah satu pendekatan yang dipandang mampu mencapai grammatical
understanding secara komprehensif adalah Discourse Analysis (DA) yang secara
sederhana dapat dikatakan sebagai kajian terhadap unsur bahasa di atas kalimat.
Discourse Analysis memiliki tiga aliran, salah satunya adalah analisis wacana
kritis (critical discourse analysis/CDA) yang menekankan perhatian pada unsur
kepentingan dan kekuasaan sebagai konteks dalam produksi dan reproduksi
wacana (Wodak and Meyer, 2001: 24).
Pandangan Schleiermacher tentang kondisi psikologis pembuat teks
(intuitive understanding) atau lingkaran subjektif juga sangat menarik, karena
akan mampu menemukan genetika historis dari suatu teks. Metode itu membuka
peluang untuk dapat memahami teks sesuai dengan makna saat teks tersebut
diproduksi, serta kondisi sosio-kultural yang melingkupinya. Meminjam
pandangan dari New Historicism, bahwa untuk memahami perkembangan wacana
atau discourse harus melalui pengkajian terhadap “the historicity of text”. Dengan
melacak historisitas makna, akan ditemukan berbagai makna subjektif yang
berbeda dalam setiap zaman. Foucault (2006: xvii), salah satu tokoh terkemuka
New Historicism, ketika mengkaji konsep kegilaan menjelaskan:
We need a history of that other trick that madness plays – that other trick
through which men, in the gesture of sovereign reason that locks up their
neighbour, communicate and recognize each other in the merciless
language of non-madness; we need to identify the moment of that
expulsion, before it was definitely established in the reign of truth.
Dari kutipan di atas Foulcault memandang bahwa sejarah dibutuhkan
untuk mengkaji maksud lain yang berada di balik istilah kegilaan, dimana orang
dengan sikap sebagai pemilik alasan yang sah, mengunci tetangganya. Sejarah
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
103
dibutuhkan untuk mengidentifikasi saat peristiwa pengusiran terjadi, sebelum
sungguh-sungguh dimapankan melalui kekuasaan kebenaran.
Pemikiran Schleiermacher kemudian dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey
(1833-1911) yang menggunakan hermeneutika tidak hanya untuk teks kitab suci,
tetapi juga untuk teks ilmu-ilmu humaniora pada umumnya
(Geisteswissenschaften). Dilthey dengan tegas menjelaskan bahwa ilmu
humaniora bertugas untuk memahami (verstehen), sedang ilmu-ilmu alam
(Naturwissenschaften) bertugas untuk menjelaskan (enklaren).
Pemikiran Dilthey tentang hermeneutika berpusat pada tiga unsur, yaitu
erlebnis (dunia pengalaman batin) dan Ausdruck (ekspresi hidup) dan verstehen
(memahami). Ketiga unsur tersebut saling berkaitan. Erlebnis adalah kenyataan sadar
keberadaan manusia dan merupakan kenyataan dasar hidup dari mana segala kenyataan
dieksplisitkan. Dalam erlebnis hidup merupakan realitas fundamental yang teralami
secara langsung, sehingga belum memunculkan pembedaan subjek dan objek. Erlebnis
adalah basis kenyataan bagi munculnya imaginasi, ingatan dan pikiran.
Terkait dengan kesadaran eksistensi manusia, Sastrapratedja (2008)
menjelaskan implikasi pandangan Dilthey sebagai berikut:
Dilthey mengatakan bahwa manusia adalah suatu "geschichtliches wesen",
suatu "wujud historis". Pandangan ini menjadi penting bagi pengertian
mengenai hermeneutika dan juga berpengaruh bagi teori hermeneutika
selanjutnya. Historikalitas, sebagaimana disarikan oleh Richard E. Palmer
mempunyai dua arti:
(1) Manusia memahami dirinya tidak melalui introspeksi, tetapi melalui
objektifikasi kehidupan. Pengertian-diri manusia tidak langsung, tetapi
melalui detour hermeneutik, yaitu melalui ekspresi yang berasal dari masa
lampau. Artinya untuk memahami siapakah diri kita, kita harus menafsirkan
sejarah sebagai ekspresi diri atau objektifikasi diri manusia.
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
104
(2) Hakekat manusia bukan esensi tetap., seperti dikatakan Nietzsche
"manusia adalah hewan yang-belum-ditentukan" (noch nicht festgestellte
Tier). Akan menjadi apakah manusia, menunggu keputusan sejarah.
Memahami masa lalunya, bukanlah bentuk perbudakan, tetapi kebebasan,
kebebasan pemahaman-diri yang lebih penuh dan kesadaran bahwa ia mampu
menghendaki ia mau penjadi apa.. Lebih jauh lagi bagi Dilthey pemahaman
manusia juga bersifat historis. Temporalitas intrinsik dalam pemahaman
manusia, membentang dari masa lampau ke masa depan. Dalam hal ini makna
selalu bersifat historis juga.
Ausdruck atau ekspresi adalah ungkapan kegiatan jiwa. Ekspresi muncul dalam
berbagai bentuk, antara lain ekspresi yang isinya telah tetap dan identik, seperti, rambu-
rambu lalu lintas. Pada ekspresi yang berupa tingkah laku manusia, wujudnya dapat
tunggal maupun dalam bentuk serangkaian tindakan yang panjang. Wujud ketiga adalah
ekspresi spontan, seperti tersenyum, tertawa, kagum dan seterusnya. Ekspresi ini
merupakan ungkapan perasaan yang kadang dangkal, dan kadang sangat dalam.
Verstehen atau pemahaman adalah suatu proses mengetahui kehidupan kejiwaan
lewat ekspresi-ekspresinya yang diberikan pada indera. Memahami adalah mengetahui
yang dialami orang lain, lewat suatu tiruan pengalamannya. Dengan kata lain verstehen
adalah menghidupkan kembali atau mewujudkan kembali pengalaman seseorang dalam
diriku (Anskersmit,1987: 162).
Pemikiran Dilthey memperluas objek kajian dan sekaligus memperkokoh
pandangan Schleiermacher, yaitu dengan menempatkan hermeneutika sebagai
metode untuk memahami ekspresi manusia masa lampau tentang kehidupan
mereka yang termanifestasi melalui teks atau tulisan. Oleh karena itu, untuk dapat
memahami ekspresi tersebut sesuai dengan maksud subjektif pengarangnya,
diperlukan konteks historis (Raharjo, 2008: 61). Linge (dalam Gadamer, 1977:
xiii-xiv) menjelaskan:
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
105
The far-reaching implications of this identification of understanding with
scientific understanding can be seen most clearly in the work of Wilhelm
Dilthey, whose aim was to establish hermeneutics as the universal
methodological basis of the Geisteswissenschaften. Insofar as they adhered to
the guidelines of methodical interpretation, the human studies could lay claim
to a knowledge of the human world that would be every bit as rigorous as the
natural sciences' knowledge of nature. Like Schleiermacher, Dilthey identified
the meaning of the text or action with the subjective intention of its author.
Starting from the documents, artifacts, actions, and so on that are the content
of the historical world, the task of understanding is to recover the original
life-world they betoken and to understand the other person (the author or
historical agent) as he understood himself.
Pada kutipan tersebut Linge menjelaskan bahwa Dilthey bermaksud
membangun hermeneutika sebagai landasan metodologis ilmu-ilmu kemanusiaan
(Geisteswissenschaften). Dengan mengikuti panduan metode interpretasi, ilmu-
ilmu kemanusiaan akan dapat memperoleh kedudukan sebagai ilmu yang
mengkaji dunia manusia seperti halnya kedudukan ilmu-ilmu alam yang mengkaji
semesta alam. Dilthey mengidentifikasi makna dari teks atau tindakan adalah
maksud subjektif dari pengarangnya. Memahami merupakan usaha untuk
mengungkap dunia hidup asli yang ternyatakan dan pemahaman terhadap orang
lain (pengarang atau aktor sejarah) sebagaimana orang itu memahami dirinya.
Pemikiran Schleiermacher dan Dilthey tentang konteks budaya dan
konteks historis sangat mungkin untuk diterapkan sebagai pendekatan dalam
penelitian ini. Buku teks mata pelajaran sejarah untuk SMA Jurusan IPS
ditempatkan sebagai simbol kehadiran pengarang yang dilingkupi oleh jiwa jaman
ketika teks tersebut diproduksi. Dari sudut pandang ini, pemahaman tentang
dinamika budaya Indonesia pada masa Orde Baru, seperti perkembangan ideologi,
politik dan budaya, merupakan sebuah keharusan untuk dilakukan agar mampu
memahami konteks budaya dari produksi buku teks mata pelajaran sejarah untuk
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
106
SMA Jurusan IPS. Dinamika pendidikan Indonesia pada umumnya dan dinamika
pendidikan sejarah khususnya, ditempatkan sebagai konteks historis dari lahirnya
buku teks mata pelajaran sejarah untuk SMA Jurusan IPS.
Pandangan Schleiermacher dan Dilthey kemudian dikembangkan oleh
Heidegger. Di tangan Heidegger, hermeneutika tidak hanya sekedar metode,
tetapi digali lebih mendalam sampai pada tataran hermeneutika filosofis. Ricoeur
(2009: 73) menjelaskan:
...yang dipertaruhkan oleh hermeneutika filosofis adalah “bagaimana
menjelaskan segala „yang ada‟ berdasarkan keadaan dasar „ke-ber-ada-an-
nya‟. Penjelasan ini tidak akan menyumbangkan apapun bagi metodologi
ilmu-ilmu kemanusiaan; namun ia justru akan menggali metodologi ini lebih
dalam lagi untuk memperlihatkan landasannya... Hermeneutika bukanlah
refleksi tentang ilmu-ilmu kemanusiaan, akan tetapi penjelasan tentang
landasan ontologis yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menciptakan ilmu-
ilmu ini.
Pemikiran Heidegger antara lain adalah tentang pemahaman bahwa teks
bukan sekedar ekspresi atau ausdruck yang terpisah dari pengarangnya, tetapi teks
harus dimaknai sebagai simbol kehadiran pengarang tersebut:
Dalam berbagai tulisannya pada tahun 1950-an Heidegger bermaksud
mengoreksi pengertian tradisional mengenai bahasa sebagai instrumen untuk
ekspresi gerak batin atau perasaan serta pandangan dunia. "Bahasa pada
hakekatnya bukanlah ekspresi dan bukan aktivitas manusia. Bahasa berbicara.
Hakekat bahasa adalah berbicara atau mengatakan. Mengatakan berarti
menunjukkan. Terkait dengan "mengatakan" adalah "kemampuan
mendengarkan", sehingga apa yang harus dikatakan dapat menunjukkan diri..
Itulah "peristiwa bahasa" (Spracherreignis). Sebagaimana diungkapkan
Palmer: "Language is not an expression but an appearance of being. Thinking
does not express man, it lets being happen as language event. In this letting-
happen lies the fate of man and also the fate of truth, and ultimately the fate of
being". Pandangan itu sangat penting dalam teori hermeneutik.. Hakekat
bahasa adalah fungsi hermeneutiknya untuk membawa realitas menampilkan
dirinya (Sastrapratedja, 2008).
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
107
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa fungsi utama bahasa adalah
bukan untuk berkomunikasi dengan pihak lain, tetapi untuk „menunjukkan‟,
„memperlihatkan‟ dan „menyatakan‟. Fungsi tersebut menjadikan bahasa sebagai
media untuk mengejawantahkan karakter eksistensial. Dengan menempatkan
bahasa sebagai media untuk „menunjukkan‟, „memperlihatkan‟ dan „menyatakan‟,
maka uraian dalam konten atau isi buku teks pelajaran sejarah tidak semata-mata
hanya untuk menjelaskan fenomena historis, tetapi juga untuk merepresentasikan
kepentingan pengarang.
C. KERANGKA ANALISIS
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan hermeneutik. Penelitian kualitatif secara umum dimengerti sebagai
penelitian empiris yang sistematis untuk memperoleh pemahaman (Shank, 2002:
5). Oleh karena subjek penelitian ini adalah buku teks, maka pemahaman tersebut
diperoleh melalui analisis atau interpretasi terhadap isi dokumen dengan
menggunakan pendekatan hermeneutik, sehingga dapat dikategorikan sebagai
penelitian interpretif (interpretive study).
Sesuai dengan permasalahan yang diajukan pada Bab I, penelitian ini
difokuskan pada empat permasalahan, yaitu pendekatan, keberagaman, integrasi
nasional dan wacana yang diproduksi. Untuk memperoleh kajian mendalam
terhadap masing-masing permasalahan, analisis dilakukan dengan jalan sebagai
berikut:
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
108
1. Pendekatan
Analisis terhadap aspek pendekatan dilakukan dengan meneliti model
rekonstruksi sejarah digunakan oleh setiap buku teks dalam menyusun uraian
sejarah yang mampu mengungkapkan “sejarah dari dalam” dan menjelaskan
berbagai faktor pendorong. Model rekonstruksi sejarah dikategorikan
menggunakan pendekatan struktural apabila buku teks menguraikan latar
belakang peristiwa historis yang dibahasnya dengan mengkaitkan pada
struktur yang berada di atasnya, baik struktur ekonomi, sosial, maupun
budaya. Usaha mencari keterkaitan atau benang merah antara peristiwa sejarah
dengan struktur di atasnya, dilakukan dengan mengkaji secara mendalam
dinamika pada struktur tersebut yang dipahami secara kuat menjadi faktor
pendorong. Pada tahap selanjutnya uraian buku teks merunut tahapan-tahapan
yang terjadi dan media yang digunakan sehingga pendorong itu melahirkan
peristiwa sejarah. Oleh karena struktur yang menjadi pendorong bersifat
kompleks dan kajiannya dilakukan secara mendalam, pada umumnya
pembahasannya akan terpisah dari proses terjadinya peristiwa sejarah.
Model rekonstruksi sejarah dikategorikan menggunakan pendekatan
deskriptif narratif apabila fokus uraian buku teks pada menceritakan atau
menggambarkan proses terjadinya peristiwa sejarah. Dari sudut pandang ini,
buku teks yang menggunakan pendekatan deskriptif narratif bukan berarti
tidak membahas penyebab terjadinya peristiwa sejarah. Uraian buku teks
sangat mungkin membahasnya, tetapi pembahasan itu tidak secara mendalam
dan dilakukan menyatu dengan deskripsi tentang peristiwa sejarah.
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
109
Model rekonstruksi sejarah dikategorikan menggunakan pendekatan
hermeneutik apabila peristiwa sejarah diuraikan dari sudut pandang para tokoh
yang terlibat. Oleh karena itu, uraian buku teks akan dipenuhi dengan
pemikiran dan perasaan para pelaku sejarah, baik berupa keresahan maupun
ketidakpuasan, yang mendorong mereka untuk melakukan aksi berupa
peristiwa sejarah.
2. Keberagaman
Analisis terhadap aspek keberagaman dilakukan dengan meneliti kekayaan
ragam golongan dan kekuatan dalam masyarakat yang diuraikan oleh setiap
buku teks ketika membahas fenomena historis. Keberagaman yang dapat
diuraikan oleh buku teks antara lain dari perspektif wilayah, usia, gender,
profesi, etnik, agama, ras dan adat istiadat. Analisis dilakukan tidak hanya
pada jumlah perspektif keberagaman yang dibahas oleh buku teks, tetapi juga
kedalaman pembahasannya. Semakin banyak perspektif golongan yang
dibahas dan uraiannya juga representatif, berarti semakin baik kualitas
keberagamannya.
3. Sintesis Menuju Integrasi Nasional
Analisis terhadap aspek sintesis menuju integrasi nasional dilakukan untuk
mengkaji uraian sejarah yang disusun oleh buku teks sebagai sintesis menuju
terbentuknya integrasi nasional. Analisis dilakukan dengan meneliti kekayaan
uraian buku teks tentang fenomena historis yang mencerminkan kebersatuan
dan berkembangnya solidaritas antar kelompok kekuatan dan golongan dalam
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
110
masyarakat. Fenomena historis itu dapat berupa terjalinnya kerjasama
sementara, selamanya maupun fusi antar kelompok kekuatan dan golongan.
Semakin banyak fenomena historis yang merepresentasikan integrasi nasional
dibahas secara mendalam, berarti semakin baik kualitas sintesis integrasi
nasional yang disusun
4. Wacana
Agar dapat memperoleh pemahaman yang mendalam dan tajam tentang
pesan-pesan yang hendak disampaikan, buku teks pelajaran sejarah dalam
penelitian ini ditempatkan sebagai dokumen historis yang mengandung
“ekspresi subjektif manusia masa lampau tentang kehidupan mereka yang
termanifestasi melalui teks atau tulisan” dan khususnya ekspresi subjektif
yang terkait dengan kehadiran kepentingan dan kekuasaan sebagai konteks
dalam produksi dan reproduksi wacana (Wodak and Meyer, 2001: 24)..
Dengan menempatkan uraian buku teks sebagai “ekspresi subjektif”
kepentingan dan kekuasaan, analisis teks menjadi dimungkinkan untuk tidak
hanya berhenti pada makna gramatikal, tetapi lebih mendalam, yaitu sampai
pada makna kontekstual untuk menangkap asumsi, ideologi dan pesan yang
diwacanakan dan disampaikan oleh buku teks kepada siswa sebagai audien
(Crawford, 2001: 327). Asumsi, ideologi dan pesan yang diwacanakan hadir
dalam berbagai bentuk, baik term atau istilah, kalimat maupun frase.
Analisis wacana dilakukan dengan jalan:
a. Analisis konten buku teks dengan fokus pada:
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
111
1) term-term superior, baik dalam bentuk kata, kalimat maupun frasa,. Term-
term superior itu “not only the object of a particular knowledge, but also
the object of a vision” (Spivak dalam Derrida, 1997: lviii), sehingga
ditempatkan sebagai penanda kehadiran kelompok kepentingan (Derrida,
1997: 12). Dengan kata lain, term-term superior berfungsi untuk
menggambarkan diri sendiri (self) dari kelompok kepentingan.
2) term-term inferior sebagai kebalikan atau oposisi biner dari term-term
super. Sebagai oposisi, term-term inferior secara kontekstual berfungsi
untuk menegasikan pihak-pihak lain (others). Penegasian dapat berupa
ungkapan yang menyalahkan, mempenjahatkan maupun mengorbankan
pihak-pihak yang dianggap tidak sejalan dengan kelompok kepentingan
yang sedang berkuasa.
Kedua jenis term terdapat pada berbagai bagian dari uraian dalam buku
teks. Oleh karena itu, sesuai dengan metode yang dikembangkan oleh van
Dijk (Rosidi, 2007), analisis kritis dilakukan terhadap tiga tingkatan struktur
wacana, yaitu struktur makro, struktur supra, dan struktur mikro (macro
structure, superstructure, and micro structure). Struktur makro menunjuk
pada makna keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari tema
atau topik yang diangkat oleh suatu wacana. Dalam penelitian ini analisis
struktur makro dilakukan pada periode sejarah yang dibahas dalam buku teks.
Struktur supra menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika,
seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan,
dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
112
penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang
dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat wacana.
b. Analisis Perbandingan dengan fokus pada:
1) Menemukan berbagai kajian akademik yang mendukung, baik
historiografi yang disusun oleh sejarawan Indonesia maupun asing.
Melalui pencermatan terhadap historiografi Indonesia pendukung dapat
ditemukan seberapa besar wacana nasionalisme dari kelompok
kepentingan dipromosikan kepada masyarakat Indonesia secara
keseluruhan.
2) Mengkritisi rekonstruksi nasionalisme dari kelompok kepentingan melalui
penelitian terhadap sumber-sumber primer dan berbagai kajian akademik.
Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini terutama surat kabar-
surat kabar sezaman dengan peristiwa historis yang menjadi konten buku
teks pelajaran sejarah.
3) Interpretasi. Dalam penelitian ini, pemaknaan atau interpretasi dilakukan
dengan menggunaan pendekatan hermeneutik.
Wacana nasionalisme terpintal dalam bentuk kata, kalimat maupun frase
pada seluruh bagian dari uraian buku teks ketika membahas fenomena historis.
Dengan kata lain, wacana nasionalisme sangat mungkin muncul pada aspek
integrasi nasional, keberagaman maupun ketika menerapkan pendekatan yang
dipilih. Oleh karena itu, analisis terhadap wacana nasionalisme dilakukan pada
bagian akhir analisis setiap aspek. Maksudnya, analisis terhadap pendekatan
yang digunakan oleh buku teks, akan dilanjutkan dengan analisis wacana
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
113
nasionalisme. Hal itu juga berlaku ketika membahas aspek keberagaman dan
integrasi nasional.
5. Kualitas Penyajian Buku Teks
Agar dapat memperoleh pemahaman yang mendalam dan tajam tentang
aspek penyajian dalam buku teks pelajaran sejarah, dalam penelitian ini
digunakan kriteria yang disusun oleh BSNP untuk buku teks pelajaran sejarah
SMA tahun 2011. Dari kriteria BSNP tersebut dipilih 18 item yang dipandang
dapat mengukur kualitas buku teks dari aspek penyajian, yaitu:
Tabel 2: Instrumen Penelitian Aspek Penyajian Dalam Buku Teks
1 Peta konsep 10 Menekankan kearifan sejarah
2 Menggugah berpikir kritis 11 Pendahuluan
3 Merangsang berpikir kronologis 12 Rangkuman dan Refleksi
4 Merangsang berpikir kasualitas 13
Mengembangkan kemandirian
belajar
5 Mendorong berpikir komparatif 14
Kesesuaian dengan tingkat
perkembangan sosial-emosional
6 Tidakbersifat indoktrinatif 15
Mengembangkan kecakapan
personal dan sosial
7
Relevansi ilustrasi dengan
peristiwa yang diceritakan 16 evaluasi
8 Variasi penyajian 17 Daftar pustaka
9 Berpusat pada peserta didik 18 Glosarium
Untuk menganalisis terhadap masing-masing item digunakan panduan
yang telah disusun oleh BSNP tahun 2011 sebagai berikut:
Tabel 3: Pengertian Setiap Item Instrumen Penelitian Aspek Penyajian
Dalam Buku Teks
NO ITEM
1 Peta konsep
Peta konsep berisi tentang bagan, flowchart hubungan antar konsep yang
dibahas dalam bab.
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
114
NO ITEM
2
Menggugah berpikir kritis
Penyajian materi dapat merangsang peserta didik untuk bertanya kepada
guru, orangtua atau orang lain tentang hal-hal yang sudah dan sedang
dipelajarinya. Ilustrasi, dan soal latihan mendorong peserta didik untuk
berpikir kritis.
3
Merangsang berpikir kronologis Materi sejarah mencerminkan kemampuan untuk mendorong terbentuknya
cara berpikir kronologis, logis, kritis, dan analitis (diakronis) yang
didukung dengan contoh dalam peristiwa sejarah
4
Merangsang berpikir kausalitas (sebab akibat)
Materi sejarah mampu memberikan landasan terciptanya cara berpikir
prosesual dan temporal dalam memahami perubahan dan perkembangan
peristiwa sejarah dalam masyarakat yang dilengkapi dengan contoh
peristiwa sejarah.
5
Mendorong berpikir komparatif
Buku ajar mampu menyajikan berbagai perbandingan contoh/ilustrasi dari
fakta sejarah untuk mencapai kedalaman wawasan dan objektivitas yang
akhirnya mampu melahirkan visi dan orientasi sejarah Indonesia sebagai
sarana pendidikan antara lain: cinta tanah air, rela berkorban, nasionalisme,
dan keutuhan NKRI.
6
Tidak bersifat indoktrinasi
Materi sejarah dalam buku ajar sejarah mampu menyajikan sumber sejarah
secara analitis, kritis, dan objektif berdasarkan penggunaan sumber yang
komparatif, valid dan reliabel.
7
Relevansi ilustrasi dengan peristiwa yang diceritakan
Gambar, peta, dan ilustrasi lain harus relevan dengan materi sejarah yang
disajikan.
8
Variasi penyajian
Materi dipaparkan secara variatif sesuai materi ajar sehingga dalam proses
pembelajaran dapat menarik peserta didik untuk belajar dengan senang dan
bersemangat. Misalnya diawali dengan contoh kasus, baru kemudian
paparan, dan latihan, atau diawali dengan pertanyaan yang menggugah
minat, contoh, paparan, simulasi, dan sebagainya. Pemilihan gambar harus
jelas, fokus, relevan, komunikatif sesuai dengan pokok bahasan.
9
Berpusat pada peserta didik
Penyajian materi menempatkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran.
Penyajian materi bersifat interaktif dan partisipatif, sehingga uraian dalam
buku perlu didukung oleh kegiatan yang mampu membentuk kemandirian
misalnya melalui tugas-tugas mandiri.
10 Menekankan kearifan sejarah Sajian materi memberikan ”makna” bagi kehidupan sekarang bagi peserta
didik dengan menghindari konflik, dendam, SARA, dan permusuhan
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
115
NO ITEM
antaranak bangsa, di masa kini dan yang akan datang.
11
Pendahuluan Mengantarkan peserta didik untuk mengenal dan memahami materi yang
akan dipaparkan, sehingga dapat menarik peserta didik untuk belajar lebih
jauh tentang isi buku. Pendahuluan mengawali tiap bab.
12
Rangkuman dan refleksi Rangkuman berisi konsep-konsep penting yang ditulis secara ringkas dan
jelas, memudahkan peserta didik memahami keseluruhan isi bab. Refleksi
memuat kesimpulan sikap dan perilaku yang harus diteladani khususnya
dalam materi sejarah.
13
Mengembangkan kemandirian belajar Contoh dan latihan mendorong peserta didik menghargai karya sendiri,
belajar secara mandiri, mampu memecahkan masalah, mampu melacak
informasi lebih lanjut dari berbagai sumber dan menghargai karya orang
lain .
14
Kesesuaian dengan tingkat perkembangan sosial-emosional Bahasa yang digunakan sesuai dengan kematangan emosi peserta didik
dengan ilustrasi yang menggambarkan konsep-konsep dari lingkungan
terdekat sampai dengan lingkungan internasional, tidak mengandung bias
gender, kekerasan, kekasaran, pornografi, pelecehan, dan SARA.
15
Mengembangkan kecakapan personal dan sosial
Materi, contoh, dan latihan mengembangkan rasa tanggungjawab, cerdas,
bertaqwa kepada Tuhan, mampu berinteraksi, bekerjasama, berempati,
terbuka terhadap kritik dan perbedaan pendapat.
16
Evaluasi Evaluasi mengukur pencapaian kompetensi dasar, dapat mengungkapkan
kemampuan ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Struktur kalimat
evaluasi sebaiknya tidak dalam bentuk perintah tapi berupa ajakan, dan ada
umpan baliknya.
17
Daftar pustaka Daftar buku yang digunakan sebagai bahan rujukan dan bacaan yang
berupa konsep dan teori harus up to date (< 5 tahun). Sementara bahan
yang berkaitan dengan substans/materi yang digarap disesuaikan dengan
tahun atau periode yang diteliti. Penulisan buku tersebut yang diawali
dengan nama pengarang (yang disusun secara alfabetis), tahun terbitan,
judul buku, tempat, dan nama penerbit
18
Glosarium Glosarium berisi istilah-istilah penting dalam teks dengan penjelasan arti
istilah tersebut, dan ditulis alfabetis.
Hieronymus Purwanta, 2013 Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
116
Disadari sepenuhnya bahwa penggunaan instrumen penyajian yang
disusun oleh BSNP akan membuka ruang yang sangat lebar untuk terjerumus
pada penyusunan analisis yang anakronistik. Oleh karena itu, untuk
menghindarinya, penggunaan instrumen itu dalam mengkaji penyajian buku teks
bukan untuk membuat penilaian maupun penghakiman terhadap setiap buku teks
yang menjadi subjek penelitian. Instrumen lebih ditempatkan sebagai alat untuk
menemukan tonggak-tonggak perkembangan perhatian buku teks terhadap aspek
penyajian.