Upload
hoangkhanh
View
265
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
80
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Landasan Filosofis
Metode penelitian ini menggunakan landasan filosofis yang
menggunakan alur penalaran dengan perspektif fenomenologis, seperti
yang dikemukakan Bogdan (1984) yang menyatakan bahwa perspektif
tersebut mengarahkan peneliti pada apa yang dicari dalam kegiatan
penelitiannya, dan bagaimana melakukan kegiatan termasuk
menginterpretasikan informasi yang tersedia, sehingga bisa
menggambarkan realitas secara jelas, dan membantu untuk menemukan
kebenaran. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa suatu peristiwa
sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat disorot dari dimensi mengapa
dan bagaimana (Brata, 2010 :74).
Penelitian dengan pendekatan fenomenologis berusaha untuk
memahami makna dari pelbagai peristiwa dan interaksi manusia di dalam
situasi khusus yang dihadapinya (Sutopo, 2002:25). Hal ini dapat
dijelaskan bahwa pola pikir fenomenologis mengkaji makna subjek dari
beragam perspektif yang merupakan realitas dari akumulasi pengalaman
manusia dalam interaksi sosialnya. Meskipun perspektif fenomenologis
pada akhirnya membetuk simpulan multiperspektif, penelitian ini
dilandasi pula oleh paham positivisme karena ilmu pengetahuan
81
bersifat faktual, yang dapat diartikan bahwa simpulan multiperspektif
dalam penelitian ini tidak boleh melebihi fakta.
Metode penelitian ini juga menyajikan secara langsung hakikat
hubungan antara peneliti dan informan kunci yang lebih menyesuaikan
dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai
yang dihadapi.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode kualitatif berupa analisis teks
(textual analysis). Metode penelitian yang dimaksud digunakan untuk
menjelaskan bagaimana ungkapan metaforis dalam teks perumpamaan
dalam Injil Lukas diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
Analisis komparatif yang didasarkan pada model komparatif (TSu - TSa
atau TSa - TSu) difokuskan pada bagaimana berbagai jenis metafora dari
ketiga kategori metafora konseptual (orientasional, ontologis, dan
struktural) dalam teks perumpamaan Injil Lukas diterjemahkan dari
bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
Metode yang digunakan bersifat induktif yang dimulai dari
observasi terhadap ungkapan metaforis dalam TSu dan bagaimana
ungkapan metaforis tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
yang meliputi prosedur dan/atau teknik penerjemahan metafora dalam
TSu yang dipergunakan untuk menentukan metode penerjemahan yang
diterapkan oleh penerjemah yang akhirnya mencerminkan ideologi
82
penerjemahan yang dianut, sehingga diperoleh model strategi
penerjemahan metafora dan dengan model tersebut fenomena
penerjemahan metafora secara umum dapat dijelaskan.
Penelitian kualitatif yang digunakan didukung oleh pendekatan
kognitif yang dikemukakan oleh Lakoff dan Johnson, (1980). Dalam
penelitian ini, pendekatan ini merupakan salah satu pendekatan dalam
linguistik kognitif, terutama ranah semantik leksikal yang membicarakan
metafora konseptual.
Untuk mendukung penelitian kualitatif tersebut di atas, peneliti
juga menerapkan metode penelitian berbasis korpus yakni daftar kata
kunci yang merupakan data awal yang diambil dari baris konkordansi
dan contoh penggunaan ungkapan metaforis dalam berbagai konteks,
dalam bentuk kalimat dan paragraph, diidentifikasi dan kemudian
dilakukan interpretasi. Signifikansi diperoleh dengan membandingkan
subkorpus TSu sebagai subkorpus yang sedang diteliti yang terdapat
dalam Injil Lukas (yang menjadi data utama) dibandingkan dengan
subkorpus yang ada dalam Injil Matius dan Markus (sebagai korpus
pembanding).
Pendekatan berbasis korpus diterapkan untuk meneliti penggunaan
metafora dalam TSu dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sehingga
dapat mendukung model komparatif yang digunakan dalam penelitian
ini. Pada tahap analisis terjemahan metafora, setiap ungkapan metaforis
dalam TSu dan padanannya dalam TSa yang diekstrak dari baris
83
konkordansi disajikan secara paralel dalam bentuk kalimat, termasuk
paragraf, sehingga dapat memberikan konteks yang lebih luas dalam
memahami makna ungkapan metaforis.
3.3 Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini lebih menekankan pada kegiatan mengumpulkan,
mendeskripsikan, dan menganalisis data kualitatif berupa terjemahan
metafora konseptual yang terdapat dalam perumpamaan Injil Lukas
karena perumpamaan-perumpamaan ini juga terdapat dalam Injil Matius
dan Markus. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif
yang menekankan pada makna, serta lebih memfokuskan kajian pada
data kualitatif dengan analisis kualitatif (Sutopo, 2004:48). Dengan
adanya data kuantitatif pada penelitian kualitatif dalam penelitian ini,
peneliti tetap melihatnya sebagai data kuantitatif yang dipergunakan
untuk memferifikasi data kualitatif.
Penelitian ini dapat disebut studi kasus terpancang (embedded case
study research). Unit terjemahan yang akan dikaji dan permasalahan
serta fokus penelitian telah ditentukan dalam usulan penelitian sebelum
peneliti menggali permasalahan di lapangan (Sutopo, 2002: 136).
3.4 Jenis dan Sumber Data
Data terdiri atas dua macam teks, yakni: (1) teks Injil Lukas dalam
Perjanjian Baru, New Testament, yang berbahasa Inggris, yang
84
diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia LAI tahun 2008 sebagai
bahasa sumber teks dan teks Injil Lukas dalam bahasa Indonesia yang
diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI TB) tahun 2008; (2)
jenis data sekunder yang berupa teks Injil Lukas versi Alkitab Edisi
Khusus yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2012
yang sangat bermanfaat sebagai data penunjang dan untuk melengkapai
data primer. Data sekunder lainnya berupa pernyataan dan penjelasan
dari informan kunci yang terkait dengan interpretasi terhadap konsep
dalam perumpamaan yang terdapat pada Injil Lukas, serta kualitas
terjemahannya. Fokus penelitian adalah metafora konseptual,
penerjemahan metafora, dan ideologi penerjemahan.
Informasi yang digali dari informan kunci dengan persyaratan
sebagai berikut: (1) penerjemah Alkitab; (2) pakar dalam bidang bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia, dan (3) pendeta dan jemaat awam. Yang
dimaksud dengan syarat (1) adalah penerjemah profesional Alkitab yang
telah menghasilkan beberapa terjemahan Alkitab, (2) pakar bahasa
Inggris dan Indonesia yang menguasai kedua bahasa tersebut dengan
baik, dan (3) pendeta serta jemaat awam yang sering membaca dan
menelaah Injil Lukas.
Kata Injil berasal dari bahasa Yunani, yaitu eugagelion yang
berarti ‘Kabar Baik Menuju Keselamatan’. Secara lisan, kabar baik itu
diberitakan oleh Yesus dari Nazaret. Pada saat agama Kristiani mulai
disebarluaskan, pemberitaan lisan tersebut mulai dituliskan yang akhirnya
85
terbentuk Injil tertulis. Kitab-kitab yang memuat pemberitaan mengenai
ajaran dan kehidupan Yesus Kristus disebut Injil meskipun di Indonesia
seluruh Kitab Suci Kristiani disebut Injil. Pemberitaan mengenai ajaran
dan kehidupan pribadi Yesus dalam Injil, walaupun merupakan fakta/ de
facto bukanlah laporan berita suatu kisah sejarah, karena kisah de facto
tersebut telah dinubuatkan sebelumnya.
Injil Lukas dipilih sebagai data dalam penelitian ini, selain Injil
Lukas terdiri atas 24 bab dan 154 perikop (pokok bahasan) yang dalam
perikop tersebut terdapat 23 perumpamaan, dapat dikatakan bahwa Injil
Lukas paling banyak menampilkan perumpamaan. Perumpamaan–
perumpamaan dalam Injil Lukas dapat mewakili ketiga Injil (Matius,
Markus, Lukas) yang sangat serupa satu dengan yang lainnya, baik dalam
hal isi maupun dalam hal urutan-urutan peristiwanya. Ketiga Injil tersebut
dikenal dengan sinoptik (sekilas pandang) karena ketiga Injil tersebut
dapat ditempatkan dalam tiga lajur yang sejajar sehingga dapat dilihat
dengan sekilas pandang. Sementara itu, Injil Yohanes sangat berbeda
dengan Injil Sinoptik baik dari isi dan urutan peristiwanya maupun dari
gaya bahasanya. Sebagai penulis Injil yang berpendidikan dalam seni
sastra, penulis Injil ini juga menaruh minat dalam hal penyakit yang
disembuhkan oleh Yesus (bdk. Lukas 4:23, 38; 8:43) dan peduli terhadap
perempuan dan kaum marginal yang tertindas.
Tiga hal berikut perlu mendapat perhatian dalam menerjemahkan
injil Lukas ( Sembiring ,2005:1), yaitu:
86
(1) Jangan sampai ada kesan bahwa yang diceritakan dalam Injil Lukas
adalah mengenai diri Lukas.
(2) Jangan sampai ada kesan bahwa Lukaslah yang menjadi sumber
“Kabar Baik” itu, karena “Kabar Baik” bukan berasal dari Lukas.
(3) Jangan sampai ada kesan bahwa “Kabar Baik” yang diberitakan itu
adalah pendapat pribadi Lukas meskipun dia yang menulisnya.
Judul yang lama, misalnya “Kitab Injil karangan Lukas”, akan
memberi kesan yang salah pada waktu sekarang ini karena
karangan berarti pengarangnya sendiri yang membuatnya.
3.5 Instrumen Penelitian
Ada beberapa instrumen yang dipergunakan dalam pengambilan
data, yaitu (1) panduan observasi, (2) panduan studi dokumen, (3) alat
bantu tulis dan rekam, (4) instrumen penjaringan data berupa Konkordansi
Alkitab dan Kanon Alkitab untuk analisis leksikal. Sementara itu, Alkitab,
Kamus Alkitab, Ensiklopedia Alkitab masa kini, Alkitab Edisi Studi,
Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, dan Pedoman Penafsiran Alkitab
Injil Lukas diperlukan untuk analisis gramatikal.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
mencakup kajian dokumen (content analysis) atau observasi, wawancara
mendalam, dan validasi data. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan
87
data yang akurat tentang metafora konseptual, penerjemahan metafora,
dan padanannya dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
Selanjutnya, data tersebut dapat digunakan untuk mengetahui teknik,
prosedur, dan metode penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah
dalam kegiatan menerjemahkan perumpamaan-perumpamaan yang
terdapat dalam Injil Lukas setelah dikategorikan terlebih dahulu dalam
kerangka metafora konseptual yang dibagi menjadi metafora orientasional,
ontologis, dan struktural serta ideologi penerjemahan terhadap proses
penerjemahan metafora konseptual. Data dikumpulkan dengan metode
observasi, wawancara dengan simak dan catat, dokumentasi, pembacaan
dan identifikasi dengan membandingkan teks Perjanjian Baru, New
Testament dalam bahasa Inggris dan terjemahan versi bahasa Indonesia,
yakni oleh LAI TB tahun 2008. Bila ditemukan persamaan-persamaan,
perbedaan-perbedaan, ungkapan-ungkapan yang bias, atau kata-kata kunci,
maka dilakukan observasi lebih mendalam dan pencatatan atau
identifikasi.
3.6.1 Metode Observasi
Observasi mendalam dilakukan dengan teknik identifikasi,
penggolongan, pengklasifikasian data yang diolah sehingga menjadi
korpus data. Dari hasil identifikasi, data disajikan sejajar dalam dua kolom
untuk memudahkan proses analisis selanjutnya. Data dalam Injil Lukas
dikategorisasikan, diklasifikasikan dan dicermati, hanya ayat-ayat atau
88
teks perikop (topik) yang memiliki kandungan masalah yang signifikan
atau memiliki tingkat penggunaan atau pengulangan-pengulangan, diambil
sebagai korpus data dan selanjutnya dianalisis. Berikut adalah data yang
diambil dari Lukas 6:46-49.
Tabel 3.1
Perumpamaan”Dua Macam Dasar”
BAHASA SUMBER (INGGRIS) LAI TB
BAHASA TARGET (INDONESIA) LAI TB
46. “But why do you call Me ‘Lord, Lord’, and not do the things which I say?
46.“’Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?”
47.”Whoever comes to Me, and hears My sayings and does them, I will show you whom he is like:
47. Setiap orang yang datang kepada-Ku dan mendengarkan perkataan-Ku serta melakukannya--Aku akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat disamakan--
48. “He is like a man building a house, who dug deep and laid the foundation on the rock. And when the flood arose, the stream beat vehemently against that house, and could not shake it, for it was founded on the rock.
48. Ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah: Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun.
49.”But he who heard and did nothing is like a man who built a house on the earth without a foundation, against which the stream beat vehemently; and immediately it fell. And the ruin of that house was great”.
49. Akan tetapi barang siapa mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak melakukannya, ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah di atas tanah tanpa dasar. Ketika banjir melandanya, rumah itu segera rubuh dan hebatlah kerusakannya."
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa metafora konseptual yang
terdapat dalam perikop “Dua Macam Dasar” adalah termasuk dalam
kategori metafora struktural. Klausa a man building a house dan nomina
89
the foundation dalam konteks kalimat tersebut yang terdapat dalam Lukas
6:48 berfungsi sebagai RSu. Apabila dilihat lebih jauh, secara metaforis
terdapat dua konsep yang koheren dalam teks tersebut, yaitu PK: FAITH IS
A FOUNDATION dan FAITH IS A BUILDING. Pada umumnya dalam satu
paragraf hanya terdapat satu konsep metafora, tetapi dalam data di atas
terlihat dua konsep sekaligus dalam satu paragraf. Hal ini tentu bisa dilihat
lebih lanjut koherensi (keterpaduan) dari konsep-konsep metafora tersebut.
Sementara itu, dari perspektif penerjemahan, strategi penerjemahan
yang diterapkan oleh penerjemah dapat dijelaskan sebagai berikut:
BS (Lukas 6: 48 a) : He is like a man building a house, who dug
deep and laid the foundation on the rock.
BT : Ia sama dengan seorang yang mendirikan
rumah: Orang itu menggali dalam-dalam dan
meletakkan dasarnya di atas batu.
Strategi penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah pada data di atas
adalah teknik shift atau transposisi, yang merupakan prosedur
penerjemahan yang melakukan perubahan secara gramatikal dari BS ke
BT. Dalam hal ini, penerjemah menerapkan prosedur dengan
menghilangkan artikel a dalam (a house) a man building a house menjadi
seorang yang mendirikan rumah atau tidak diterjemahkan, walaupun
proses transfer tidak mengubah makna dari pesan tersebut. Demikian pula
penerjemah tidak dipengaruhi oleh sistem bahasa target karena dalam
sistem bahasa Indonesia kata sandang tidak selalu diterjemahkan.
90
3.6.2 Metode Wawancara
Wawancara mendalam dilakukan dengan tanya jawab, bertatap
muka antara peneliti dan informan kunci dengan pedoman berupa
pertanyaan terkait dengan data yang dianalisis, yakni Injil Lukas,
khususnya untuk mengumpulkan tanggapan secara komprehensif terhadap
analisis terjemahan Injil Lukas, setelah data yang berupa teks
diklasifikasikan, digolongkan dan dicermati. Wawancara dilakukan
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka dan
mengarah pada kedalaman informasi. Oleh sebab itu, pertanyaan-
pertanyaan lebih mengarah untuk menegaskan jawaban-jawaban yang
diberikan informan sebelumnya.
3.6.3 Metode Dokumentasi
Teknik pengumpulan data dengan dokumen merupakan sumber
informasi non human resources. Dokumen tertulis dilakukan dengan
penelusuran dokumen terkait dengan sub-sub fokus yang diteliti, misalnya
garis-garis besar penulisan Injil Lukas, tujuan penulisan Injil tersebut,
dan ciri khas penulisan. Selain itu, diperlukan dokumen-dokumen lain
berupa ensiklopedia Alkitab.
3.6.4 Validasi Data
Semakin valid data yang dipergunakan dalam penelitian akan
semakin meyakinkan hasil penelitian tersebut. Validasi data merupakan
91
jaminan atas kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil
penelitian (Sutopo, 2006:92).
Untuk mendapatkan data yang valid, maka dalam penelitian ini
digunakan teknik trianggulasi. Menurut Moleong (2011:178), trianggulasi
adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain di luar data itu sendiri untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu. Teknik trianggulasi yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah trianggulasi sumber data dan trianggulasi
metode. Trianggulasi sumber data merupakan teknik untuk menggali
beberapa sumber data yang berbeda dalam rangka untuk memperoleh data
yang sama supaya tingkat kebenarannya teruji. Sementara itu, trianggulasi
metode adalah pengambilan data yang sama dari suatu sumber dengan
teknik yang berbeda.
3.7 Analisis Data
Dalam penelitian ini digunakan proses interaktif sebagai teknik
untuk menganalisa data. Data yang terkumpul lewat wawancara
dibandingkan dengan data yang merupakan data hasil observasi pada
dokumen. Selanjutnya, data dikaji dengan menggunakan ketiga komponen
analisis, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau
verifikasi. Ketiga komponen tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
92
1) Reduksi data. Komponen ini merupakan tahap pertama dalam
analisis. Data berupa teks yang telah terkumpul diseleksi,
disederhanakan, dan diabstraksikan.
2) Sajian data. Komponen ini merupakan tahap kedua dalam analisis
yaitu suatu rakitan organisasi informasi dan deskripsi yang lengkap
sehingga memungkinkan dilakukan simpulan penelitian.
3) Simpulan. Komponen ini merupakan tahap ketiga, yaitu suatu
kegiatan yang dilakukan ketika data yang terkumpul sudah memadai.
Bila data dianggap belum memadai peneliti akan kembali ke lapangan.
3.8 Penyajian Hasil Analisis Data
Perpaduan metode formal dan informal dalam penyajian hasil
analisis data dilakukan karena semua unsur bahasa memiliki kesempatan
yang sama untuk digunakan. Selain itu, perpaduan kedua metode ini juga
bertujuan agar seluruh paparan dalam penelitian ini dengan mudah dapat
dipahami tanpa mengabaikan kaidah penulisan yang bersifat ilmiah dan
akademis. Penggunaan istilah teknis merupakan penyajian informal untuk
menjelaskan dan merumuskan permasalahan dalam penelitian. Metode
formal diterapkan dalam penelitian ini bertujuan untuk menuangkan hasil
analisis dengan menggunakan deskripsi yang bersifat naratif, tabel, bagan,
dan juga singkatan.
93
BAB IV
METAFORA KONSEPTUAL DALAM PERUMPAMAAN INJIL LUKAS
4.1 Pengantar
Dalam bab ini kajian difokuskan pada identifikasi dan kategorisasi
metafora konseptual dalam subkorpus TSu (Lakoff & Johnson 1980/2003, Lakoff
1993) yang terdapat dalam Injil Lukas. Metafora konseptual yang terdapat dalam
Injil Lukas dikategorikan menjadi tiga jenis menurut Lakoff & Johnson
(1980:12). Pembahasan dimulai dari kategori metafora konseptual, pemetaan
konseptual, interpretasi makna serta signifikansi, dan koherensi metaforis
perumpamaan yang sarat dengan realitas kehidupan.
4.2 Kategori Metafora Konseptual dalam Perumpamaan Injil Lukas
Kategori metafora konseptual seperti yang telah dipaparkan dalan bab II
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (1) metafora orientasional; (2) metafora
ontologis; dan (3) metafora struktural yang akan menjawab permasalahan nomor
satu dari penelitian ini. Berikut adalah paparan dan analisis data berupa
penggunaan ungkapan metaforis dalam TSu (pada tataran kalimat) untuk masing-
masing kategori metafora konseptual tersebut.
94
4.2.1 Metafora Orientasional
Metafora orientasional merupakan salah satu kategori metafora
konseptual yang mengacu pada konsep spasial/ruang yang menjelaskan
wilayah pengetahuan abstrak dengan aspek pengalaman manusia yang
membumi terhadap ruang yang nyata. Misalnya, UP-DOWN, IN-OUT, FRONT-
BACK, ON-OFF, DEEP-SHALLOW, CENTRAL-PERIPHERAL (Lakoff dan
Johnson, 1980:14). Setelah dilakukan pengategorian terhadap data, ditemukan
tiga jenis PK untuk kategori metafora orientasional, seperti yang dipaparkan
pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.1
Metafora Orientasional
No. Pemetaan Konseptual
(PK)
Data
1. DIE IS DOWN “Look, for three years I have come seeking fruit on this fig tree and find none. Cut it down; why does it use up the ground? (Lukas 13:7)
2. BAD IS DOWN Salt is good; but if the salt has lost its flavor, how shall it be seasoned? (Lukas 14:34)
3. EXALT IS DOWN, HUMBLE IS UP
a. The Pharisee stood and prayed thus with himself, “God, I thank You that I am not like other men-extortioners, unjust, adulterers, or even as this tax collector. I fast twice a week; I give tithes of all that I possess” (Lukas 18:11-12)
b. And the tax collector, standing afar off, would not so much as raise his eyes to heaven, but beat his breast, saying, “God be merciful to me a sinner!”(Lukas 18:13)
95
(1) Metafora orientasional buah
Metafora pada data (1) termasuk jenis metafora orientasional buah,
karena kata fruit yang merupakan konsep metafisika merupakan kata yang
sangat penting dalam konteks kalimat tersebut. Sementara itu, melalui verba
cut sebagai RSu yang merupakan ungkapan metaforis menjadi pintu masuk
untuk mengkaji data itu. Kajian difokuskan pada interpretasi makna dan
signifikansi dari cerita (perumpamaan) yang diberi judul perikop (topik) oleh
LAI “Perumpamaan tentang Pohon Ara yang Tidak Berbuah”. Simbol ataupun
cerita (perumpamaan) dapat diinterpretasikan melalui beberapa cara yang
berbeda, salah satu yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Pemetaan
Konseptual (PK) sebagaimana analisis di bawah ini.
(1) Look, for three years I have come seeking fruit on this fig tree and find none. Cut it down; why does it use up the ground? (Lukas 13:7).
Pada data (1), verba cut sebagai RSu yang secara bentuk adalah verba
imperatif, merupakan entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang
secara metafora konseptual melalui entitas konkret dapat lebih mudah
dipahami. Dengan kata lain, entitas abstrak tersebut melalui PK dapat
dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora
konseptual verba cut dapat menghasilkan RSa, yaitu die (mati).
Makna yang tercipta dari entitas abstrak yang membentuk sebagian
sistem simbol dari Kekristenan, die sebagai RSa, merupakan konsep
metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan die (Neville, 2001). Konsep
96
cut yang dikonseptualisasikan menjadi die sebagai RSa dapat dipetakan
melalui PK: DIE IS DOWN. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa, verba
cut yang sesungguhnya mengandung makna harfiah ‘ditebang’, secara
metafora konseptual dianalogikan sebagai die (mati). Lebih jauh, verba cut
dalam konteks kalimat tersebut berfungsi sebagai RSu yang secara metaforis
bermakna ’dihukum mati’ (sebagai RSa). Makna metafora tersebut
merupakan perluasan makna harfiah karena melalui PK: DIE IS DOWN
kematian dianalogikan dengan sesuatu yang turun secara vertikal.
Koherensi metaforis pada ranah sumber dari metafora tersebut
diambil dari bahasa sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas
kehidupan, yaitu pohon ara, merupakan tumbuhan asli di Asia kecil, Siria dan
termasuk di Palestina. Pohon ara sering berbuah mendahului daunnya dan
biasanya berbuah dua kali setahun (Hillyer, 1999:271-272). Dari teks tersebut
tersirat bahwa sudah enam kali musim berbuah sejak pohon itu dilihat oleh
pemiliknya, tetapi pohon itu tidak pernah berbuah. Hal inilah yang menunjuk
pada perumpamaan yang terdapat dalam Lukas 13:7.
Pada metafora DIE IS DOWN dapat dilihat bagaimana verba cut
sebagai RSu yang bersifat abstrak digambarkan, karena dianalogikan dengan
‘mati’ (DIE), sehingga maksud yang terkandung dalam metafora tersebut
dapat dimengerti berdasarkan kesamaan ciri atau kesamaan karakteristik yang
dimiliki oleh kematian (DOWN) sebagai ranah sasaran. Kesamaan ciri atau
97
karakteristik yang terdapat dalam kedua komponen makna tersebut menjadi
dasar metafora, yaitu apabila dalam perumpamaan itu pohon ara yang tidak
berbuah pasti ditebang, demikian pula manusia yang tidak menghasilkan
buah-buah pertobatan pasti dihukum mati.
Hubungan atau korespondensi antara ranah target dan ranah sumber
yang ditunjukkan oleh adanya kesamaan sifat dapat dilihat dari data (1) di
atas, yakni verba cut yang secara harfiah bermakna ‘ditebang’ dapat
dikonseptualisasikan bahwa pohon ara yang tidak berbuah memiliki ciri yang
sama dengan suatu entitas, yakni manusia yang tidak bertobat, sehingga dapat
mendukung konsep die yang bermakna ‘mati’. Dengan demikian, dapat
dijelaskan bahwa ungkapan pohon ara yang tidak berbuah disandingkan
dengan manusia yang tidak bertobat karena adanya kesamaan sifat kedua
ranah tersebut.
(2) Metafora orientasional garam
Metafora pada data (2) termasuk jenis metafora orientasional garam
karena melalui klausa lost its flavor sebagai RSu, yang merupakan ungkapan
metaforis, kalimat tersebut dapat dijelaskan. Fokus kajian dari data tersebut
adalah interpretasi makna dan signifikansi dari cerita (perumpamaan)
dijelaskan dengan menggunakan PK.
(2) Salt is good; but if the salt has lost its flavor, how shall it be seasoned? (Lukas 14:34)
98
Klausa lost its flavor sebagai RSu dalam kalimat di atas merupakan
entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora
konseptual melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami. Dengan kata
lain, entitas tersebut melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa
yang ideal.
Makna yang tercipta dari entitas abstrak yang membentuk sebagian
sistem simbol dari Kekristenan adalah lost the faith merupakan konsep
metafisika atau transendental (Neville, 2001). Konsep lost its flavor yang
dikonseptualisasikan menjadi lost the faith sebagai RSa dapat dipetakan
melalui PK: BAD IS DOWN. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa lost its
flavor yang sebenarnya merupakan ‘garam yang tawar’, secara metafora
konseptual dianalogikan sebagai bad.
Koherensi metaforis pada ranah sumber dari metafora tersebut
diambil dari bahasa sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas
kehidupan.
Orang Ibrani mempunyai persediaan garam yang melimpah di pantai
Laut Mati dan di Bukit Garam (barat daya Laut Mati). Garam terbuat dari
karang atau fosil, karena ketidakmurnian dan perubahan-perubahan kimiawi
maka lapisan luarnya biasanya kurang sedap. Garam digunakan sebagai
pengawet dan bumbu penyedap makanan. Apabila garam menjadi tawar pasti
dibuang atau dapat dikatakan garam yang tidak bisa mengawetkan dan
99
menggarami makanan akan dibuang (Hillyer, 1999:327). Hal inilah yang
menunjuk pada perumpamaan itu (Lukas15:34).
Metafora BAD IS DOWN dapat dipahami bagaimana lost its flavor
sebagai RSu yang bersifat abstrak digambarkan, agar lebih mudah dipahami
karena dibandingkan dengan tidak memiliki iman (DOWN) sehingga dapat
dipahami maksud yang terkandung dalam metafora tersebut. Dengan
demikian akan dapat dimengerti apa yang dimaksud dengan “garam yang
tawar” (BAD) berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh “tidak memiliki
iman” (DOWN) sebagai ranah sasaran. Kesamaan ciri atau karakteristik yang
terdapat dalam kedua komponen makna tersebut menjadi dasar metafora,
yakni dalam perumpamaan tersebut garam yang tawar (tidak asin) pasti tidak
digunakan, demikian pula manusia yang tidak memiliki iman pasti dibuang.
Korespondensi antara ranah target dan ranah sumber yang
ditunjukkan oleh adanya kesamaan sifat dapat dilihat pada data (2) di atas,
yakni ungkapan has lost its flavor yang secara harfiah bermakna ‘tawar’ dapat
dikonseptualisasikan bahwa garam yang tawar memiliki ciri yang sama
dengan suatu entitas yang dikonseptualisasikan sebagai manusia yang tidak
beriman sehingga dapat mendukung konsep bad. Dengan demikian, dapat
dijelaskan bahwa ungkapan “garam yang tidak asin (tawar)” disandingkan
dengan manusia yang tidak beriman karena adanya kesamaan sifat atau
kemiripan ciri kedua ranah tersebut. Korespondensi antara ranah target dan
100
ranah sumber dipetakan melalui PK: BAD IS DOWN. Formulasi bahwa bad is
down dibangun dari apa yang dilakukan ketika garam yang tawar atau garam
yang tidak asin lagi, tentu saja tidak dapat dipergunakan dan tidak ada lagi
gunanya selain dibuang.
(3) Metafora orientasional status sosial
Metafora pada data (3) termasuk jenis metafora orientasional status
sosial karena melalui verba stand sebagai RSu yang merupakan ungkapan
metaforis dapat diinterpretasikan melalui PK seperti berikut.
(3) a. The Pharisee stood and prayed thus with himself, “God, I thank You that I am not like other men-extortioners, unjust, adulterers, or even as this tax collector. I fast twice a week; I give tithes of all that I possess”. (Lukas 18:11-12)
b. And the tax collector, standing afar off, would not so much as raise his eyes to heaven, but beat his breast, saying, “God be merciful to me a sinner!” (Lukas 18:13)
Pada data (3a), verba stand sebagai RSu yang dari segi bentuk adalah
verba informatif, merupakan entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif
yang secara metafora konseptual melalui entitas konkret dapat lebih mudah
dipahami. Entitas abstrak tersebut melalui PK dapat dipetakan sehingga
menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora konseptual verba stand
dapat menghasilkan RSa, yaitu exalt (meninggikan diri sendiri).
Makna yang tercipta dari entitas abstrak yang membentuk sebagian
sistem simbol dari Kekristenan, yakni exalt sebagai RSa, merupakan konsep
metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan exalt (Neville, 2001).
101
Konsep stand yang dikonseptualisasikan menjadi exalt sebagai RSa dapat
dipetakan melalui PK: EXALT IS DOWN. Dengan kata lain, dapat dikatakan
bahwa, verba stand yang sesungguhnya mengandung makna harfiah
‘menengadah’, secara metafora konseptual, dianalogikan sebagai exalt
(meninggikan diri sendiri).
Koherensi metaforis pada ranah sumber dari metafora itu diambil dari
kehidupan sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas
kehidupan, yaitu kaum Farisi adalah kelompok orang Yahudi yang
mempertahankan dan memegang kuat pengajaran tradisi pada waktu itu.
Namun, di samping tendensi kerohanian yang kuat, mereka menjadi arogan
dan menekankan formalitas yang berlebihan sampai mengabaikan ketentuan
hukum moral yang lebih penting (Hillyer, 1999: 299-300). Hal inilah yang
menunjuk pada perumpamaan yang terdapat dalam Lukas 18:11-13.
Pada metafora konseptual EXALT IS DOWN dapat dilihat bagaimana
verba stand sebagai RSu yang bersifat abstrak digambarkan karena
dianalogikan dengan meninggikan diri sendiri (EXALT). Berdasarkan kesamaan
ciri yang dimiliki oleh EXALT, makna yang terkandung dalam metafora
tersebut dapat dimengerti terhadap apa yang dimaksud dengan ‘menengadah’
(EXALT), yakni berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh orang Farisi yang
meninggikan diri sendiri (EXALT) akan direndahkan (DOWN) sebagai ranah
sasaran. Kesamaan ciri atau karakteristik yang terdapat dalam kedua
102
komponen makna tersebut menjadi dasar metafora, yakni orang Farisi yang
meninggikan diri sendiri akan direndahkan.
Korespondensi konseptual yang ditunjukkan karena hubungan
kesamaan ciri antara ranah mental sumber dan target dapat dijelaskan melalui
ungkapan stood yang secara harfiah bermakna ‘menengadah’ disandingkan
dengan exalt menjadi metafora. Dengan ungkapan stood dapat diinferensikan
bahwa pewarta mengonseptualisasikan stood memiliki ciri yang mirip dengan
exalt (memuji diri sendiri), dan dalam teks tersebut sangat jelas terlihat aspek
memuji diri sendiri, yaitu melalui ungkapan “aku tidak sama seperti semua
orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga
seperti pemungut cukai”. Ungkapan-ungkapan tersebut sangat jelas merupakan
ungkapan yang memuji diri-sendiri dan merendahkan orang lain (pemungut
cukai).
Pada data (3b), frasa adverbial standing afar off sebagai RSu, yang dari
segi bentuk adalah frasa verbal, merupakan entitas abstrak dari perspektif
linguistik kognitif yang secara metafora konseptual melalui entitas konkret
dapat lebih mudah dipahami. Dengan kata lain, entitas abstrak tersebut melalui
PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan
metafora konseptual verba standing afar off dapat menghasilkan RSa, yaitu
humble (merendahkan diri sendiri).
103
Makna yang tercipta dari entitas abstrak yang membentuk sebagian
sistem simbol dari Kekristenan humble sebagai RSa merupakan konsep
metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan humble (Neville, 2001).
Konsep standing afar off yang dikonseptualisasikan menjadi humble sebagai
RSa dapat dipetakan melalui PK: HUMBLE IS UP. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa frasa adverbial standing afar off yang sebenarnya
mengandung makna harfiah ‘berdiri jauh-jauh’, secara metafora konseptual
dianalogikan sebagai humble (merendahkan diri sendiri).
Koherensi metaforis pada ranah sumber dari metafora tersebut diambil
dari kehidupan sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas
kehidupan, yaitu pemungut cukai (orang Yahudi), pengumpul cukai atau bea
demi kepentingan penjajah Romawi karena pada waktu itu Israel dijajah
bangsa Romawi atau dapat dikatakan orang Yahudi yang bekerja untuk
penjajah. Tugas mereka mencakup pengumpulan persepuluhan dan bermacam-
macam pajak langsung. Mereka sejak awal cenderung memeras dan
menyelewengkan pajak dan orang yang penuh dosa (bdk. pengakuan yang
tersirat dari Zakheus, Lukas 19:8) (Hillyer, 1999:285-286). Hal inilah yang
menunjuk pada perumpamaan yang terdapat dalam Lukas 18:11-13.
Pada metafora konseptual HUMBLE IS UP dapat dilihat bagaimana
frasa verbal standing afar off sebagai RSu yang bersifat abstrak digambarkan,
dianalogikan dengan merendahkan diri sendiri (HUMBLE) sehingga
104
berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh HUMBLE, makna yang
terkandung dalam metafora tersebut dapat dimengerti terhadap apa yang
dimaksud dengan “berdiri jauh di belakang” (HUMBLE) berdasarkan kesamaan
ciri yang dimiliki oleh pemungut cukai yang merendahkan diri sendiri
(DOWN) sebagai ranah sasaran. Kesamaan ciri atau karakteristik yang terdapat
dalam kedua komponen makna tersebut menjadi dasar metafora, yakni
pemungut cukai yang jauh berdiri di belakang yang bermakna merendahkan
diri akan ditinggikan.
Korespondensi konseptual yang ditunjukkan karena hubungan
kesamaan ciri antara ranah mental sumber dan target dapat dijelaskan melalui
ungkapan standing afar off yang secara harfiah bermakna berdiri jauh-jauh
disandingkan dengan humble menjadi metafora. Dengan ungkapan standing
afar off dapat diinferensikan bahwa pewarta mengonseptualisasikan standing
afar off memiliki kesamaan ciri dengan humble (merendahkan diri sendiri),
dan dalam teks tersebut sangat jelas terlihat aspek merendahkan diri sendiri,
yaitu melalui ungkapan “bahkan ia tidak berani menengadah ke langit,
melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang
berdosa ini”. Ungkapan-ungkapan tersebut sangat jelas merupakan ungkapan
yang merendahkan diri sendiri.
105
Dengan demikian, PK: EXALT IS DOWN, HUMBLE IS UP yang menjadi
dasar mefaora, yaitu orang Farisi yang meninggikan dirinya sendiri akan
direndahkan, sedangkan pemungut cukai yang merendahkan dirinya sendiri
akan ditinggikan.
4.2.2 Metafora Ontologis
Metafora ontologis lebih mewakili upaya untuk menjelaskan konsep
dan pengetahuan yang abstrak dalam kehidupan manusia, seperti kejadian-
kejadian, aktivitas, emosi dan gagasan yang diwujudkan dalam kata-kata dan
kalimat yang mengarah pada objek dan substansi fisik yang jelas dan nyata
secara fisik. Metafora ontologis mengonseptualisasikan pikiran, pengalaman,
dan proses atau hal yang abstrak lainnya ke sesuatu yang memiliki sifat fisik.
Berikut adalah pemaparan PK dari beberapa jenis metafora ontologis yang
terdapat dalam teks perumpamaan Injil Lukas.
Tabel 4.2
Metafora Ontologis
No
Pemetaan Konseptual
(PK)
Data
4. A MAN IS TREE
For a good tree does not bear bad fruit, nor does a bad tree bear good fruit. (Lukas 6:43)
5. TENET IS GARMENT
No one puts a piece from a new garment on an old one; otherwise the new makes a tear, and also the piece that was taken out of the new does not match the old. (Lukas 5:36)
106
6. TENET IS WINE And no one puts new wine into old wineskins; or else the new wine will burst the wineskins and be spilled, and the wineskins will be ruined. (Lukas 5:37)
7. A MAN IS LAMB Go your way; behold, I send you as lambs among wolves (Lukas 10:3)
8. LIGHT IS EYE The lamp of the body is the eye. Therefore, when your eye is good, your whole body also is full of light. But when your eye is bad, your body also is full of darkness. (Lukas 11:34a)
(4) Metafora ontologis pohon
Metafora pada data (4) termasuk dalam kategori metafora ontologis
pohon karena a tree “pohon” sebagai RSu yang merupakan ungkapan
metaforis. Kajian utama yang difokuskan dari data tersebut di atas adalah
bagaimana interpretasi dari makna dan signifikansi dari cerita (perumpamaan)
yang diberi judul perikop oleh LAI “Pohon dan Buahnya” dapat dijelaskan.
Dalam studi Alkitab, baik simbol maupun cerita (perumpamaan), dapat
diinterpretasikan melalui beberapa cara yang berbeda, di dalam tulisan ini
digunakan Pemetaan Konseptual (PK).
(4) For a good tree does not bear bad fruit, nor does a bad tree bear good fruit. (Lukas 6:43)
Pada data (4), nomina a tree sebagai RSu dilihat dari perspektif
linguistik kognitif merupakan entitas abstrak yang secara metafora konseptual
melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami. Dengan kata lain, entitas
tersebut melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal.
Pemetaan metafora konseptual a tree dapat menghasilkan a man sebagai RSa.
107
Makna dari entitas abstrak yang membentuk sebagian sistem simbol
dari Kekristenan yakni a man, sebagai RSa, merupakan konsep metafisika
yang digunakan untuk mendefinisikan a man (Neville, 2001). Konsep a tree
yang dikonseptualisasikan sebagai a man dipetakan melalui PK: A MAN IS
TREE. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa a tree yang sebenarnya
merupakan pohon, secara metafora konseptual dianalogikan sebagai a man
(manusia). Ranah sumber dari metafora ini diambil dari bahasa sehari-hari
sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan. Metafora A MAN
IS TREE dapat dipahami bagaimana pohon (TREE) sebagai RSu yang bersifat
abstrak digambarkan agar lebih mudah dipahami karena dibandingkan dengan
manusia (MAN) sehingga dapat dipahami maksud yang terkandung dalam
metafora tersebut. Dengan demikian, akan dapat dimengerti apa yang
dimaksud dengan pohon (TREE) berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh
manusia (MAN) sebagai RSa. Kesamaan ciri atau karakteristik yang terdapat
dalam kedua komponen makna tersebut menjadi dasar metafora, yaitu kalau
dalam pohon ada buah yang baik/manis ataupun tidak baik, demikian pula
sifat seseorang dengan perbuatan dan perkataan yang diucapkannya.
Nomina fruit sebagai RSu yang juga merupakan entitas abstrak dari
perspektif linguistik kognitif, secara metafora konseptual, dapat dipetakan
sehingga menghasilkan makna sebagai RSa, yaitu treasure of man’s heart,
108
yang merupakan konsep metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan the
fruit (Neville, 2001).
Eksistensi dari a tree sebagai pohon dapat pula dikonstruksikan
secara esensial dengan dua cara. Di satu sisi, sebagai pemikiran (thought) dan
tindakan (action). Di sisi lain, pohon dapat berbuah baik maupun tidak baik
(hal tersebut memiliki sense sebagai proses dan bahkan peristiwa atau hasil
dari sebuah proses). Pertama, sebagai proses, a good tree does not bear bad
fruit, nor does a bad tree bear good fruit (Lukas 6:43) yang secara metafora
konseptual bermakna ‘orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari
perbendaharaan hatinya yang baik, dan orang yang jahat mengeluarkan barang
yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat’ (Lukas 6:45a). Dari proses ini
terlihat bahwa terjadi analogi antara a tree sebagai RSu dengan a man sebagai
RSa, demikian pula terjadi analogi antara a fruit sebagai RSu dengan treasure
of man’s heart sebagai RSa. Kedua, sebagai peristiwa atau dapat dikatakan
sebagai hasil dari suatu proses, secara metafora konseptual ungkapan itu
bermakna ‘apa yang diucapkan manusia, meluap dari hatinya’ (Lukas 6:45b).
(5) Metafora ontologis kain
Metafora pada data (5) termasuk metafora ontologis kain karena a
garment ‘kain’ sebagai RSu yang merupakan ungkapan metaforis. Kajian
difokuskan pada interpretasi makna dan signifikansi dari cerita (perumpamaan)
tersebut.
109
(5) No one puts a piece from a new garment on an old one; otherwise the new makes a tear, and also the piece that was taken out of the new does not match the old. (Lukas 5:36)
Nomina a garment sebagai RSu dalam kalimat tersebut merupakan
kontainer abstrak dari perspektif linguistik kognitif terbukti dari adanya adverbia
on pada frasa an old one yang secara metafora konseptual melalui entitas
konkret dapat lebih mudah dipahami. Dengan kata lain, kontainer tersebut
melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan
metafora konseptual a garment adalah tenet sebagai RSa.
Makna yang tercipta dari kontainer/wadah abstrak yang membentuk
sebagian sistem simbol dari Kekristenan adalah tenet sebagai RSa merupakan
konsep metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan apa tenet itu (Neville,
2001). Konsep a garment yang dikonseptualisasikan sebagai a tenet RSa dapat
dipetakan melalui PK: TENET IS GARMENT. Dengan kata lain, dapat dikatakan
bahwa garment yang sebenarnya merupakan kain, secara metafora konseptual
dianalogikan sebagai tenet (ajaran).
Koherensi metaforis pada ranah sumber dari metafora itu diambil dari
bahasa sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan.
Metafora TENET IS GARMENT dapat dipahami bagaimana kain (GARMENT)
sebagai RSu yang bersifat abstrak dibandingkan dengan ajaran (TENET) supaya
dipahami maksud yang terkandung dalam metafora tersebut.
110
Eksistensi dari garment dapat pula dikonstruksikan secara esensial
dengan dua cara. Pertama, sebagai pemikiran (thought) dan tindakan (action).
Kedua, hal tersebut memiliki sense sebagai proses dan bahkan peristiwa atau
hasil dari sebuah proses. Sebagai proses, no one puts a piece from a new garment
on an old one; otherwise the new makes a tear, and also the piece that was taken
out of the new does not match the old (Lukas 5:36) yang secara metafora
konseptual bermakna ‘tidak ada seorang pun mengoyakkan secarik kain dari baju
yang baru dan menambalkannya pada baju yang lama, karena itu menambal
lubang pada kain lama dengan memakai kain baru justru akan merusak dan
mengoyakkan kain yang ditambal itu’ (Lukas 5:37). Dari proses ini terlihat
bahwa terjadi analogi antara garment sebagai RSu dan tenet sebagai RSa atau
analogi antara “kain” dan “ajaran.” Dalam konteks ini biasanya orang sulit
menerima ajaran baru apabila mereka sudah meyakini ajaran lama sebagai
paham yang menurut mereka benar.
(6) Metafora ontologis anggur
Metafora pada data (6) termasuk metafora ontologis anggur karena wine
“anggur” sebagai RSu yang merupakan ungkapan metaforis. Kajian utama yang
difokuskan dari data tersebut di atas adalah bagaimana interpretasi dari makna
dan signifikansi dari cerita (perumpamaan) dapat dijelaskan. Anggur sebagai
simbol dalam cerita (perumpamaan) dapat diinterpretasikan dengan Pemetaan
Konseptual (PK) seperti analisis berikut.
111
(6) And no one puts new wine into old wineskins; or else the new wine will burst the wineskins and be spilled, and the wineskins will be ruined. (Lukas 5:37)
Dalam kalimat tersebut di atas nomina wine sebagai (RSu) merupakan
entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora
konseptual melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami. Dengan kata
lain, entitas tersebut melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa
yang ideal. Pemetaan metafora konseptual wine, yaitu tenet, sebagai RSa.
Makna yang tercipta dari kontainer/wadah abstrak yang membentuk
sebagian sistem simbol dari Kekristenan adalah tenet sebagai RSa merupakan
konsep metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan apa tenet itu (Neville,
2001). Konsep wine yang dikonseptualisasikan menjadi tenet dipetakan melalui
PK: TENET IS WINE. Dengan lain kata, dapat dikatakan bahwa wine yang
sebenarnya merupakan buah/minuman, secara metafora konseptual dianalogikan
dengan tenet (ajaran).
Koherensi metaforis pada RSa dari metafora tersebut diambil dari
bahasa sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan,
yaitu budi daya anggur biasa diusahakan di tanah Kanaan. Sesudah anggur
masak dan diperas kemudian disimpan dalam kirbat (kantong kulit) baru yang
kuat untuk difermentasikan.
Metafora TENET IS WINE dapat dipahami bagaimana minuman (WINE)
sebagai (RSu) yang bersifat kurang abstrak digambarkan. Dengan demikian,
112
ungkapan tersebut lebih mudah dipahami karena dibandingkan dengan ajaran
(TENET) sehingga dipahami maksud yang terkandung dalam metafora tersebut.
Frasa nominal wineskins sebagai RSu, yang juga merupakan kontainer
abstrak dari perspektif linguistik kognitif, terbukti dari kalimat And no one puts
new wine into old wineskins melalui metafora konseptual dapat dipetakan
sehingga menghasilkan makna sebagai RSa yang membentuk sistem simbol yaitu
frame of man’s thought. Hal ini merupakan konsep metafisika yang digunakan
untuk mendefinisikan wineskins.
Eksistensi wine sebagai buah/minuman dapat pula dikonstruksikan
secara esensial dengan dua cara. Di satu sisi, sebagai pemikiran (thought) dan
tindakan (action). Di sisi lain, minuman yang sudah difermentasi dapat memicu
kemabukan dan yang tidak difermentasi tidak memicu kemabukan. Hal tersebut
memiliki sense sebagai proses dan bahkan peristiwa atau hasil dari sebuah
proses. Pertama, sebagai proses, no one puts new wine into old wineskins; or
else the new wine will burst the wineskins and be spilled, and the wineskins will
be ruined (Lukas 5:37) yang secara metafora konseptual bermakna ‘ajaran
baru/Injil harus diberikan pada orang yang memiliki kerangka pikir baru’
(Lukas 5:38). Dari proses ini terlihat bahwa terjadi analogi antara wine sebagai
RSu dan tenet sebagai RSa, demikian pula terjadi analogi antara wineskins
sebagai RSu dan frame of man’s thought sebagai RSa. Kedua, sebagai peristiwa
atau dapat dikatakan sebagai hasil dari suatu proses, secara metafora konseptual
113
bermakna bahwa kesamaan ciri atau karakteristik yang terdapat dalam kedua
komponen makna tersebut menjadi dasar metafora. Perumpamaan ini menunjuk
pada praktik menempatkan anggur baru ke dalam kantong kulit baru, dan
ketidakmungkinan untuk melakukan hal itu. Demikian pula anggur yang
menunjuk pada bekerjanya ajaran baru/Injil, maka kantong yang pecah dapat
menunjuk, baik pada ajaran konvensional maupun hati manusia yang
membutuhkan penataan kembali, sesuai dengan tantangan zaman baru (Hillyer,
1999:51).
Berdasarkan ulasan di atas, terlihat jelas seperti apa yang dikatakan oleh
K�vecses (2006) bahwa kaitan antara ranah sumber dan ranah target merupakan
hubungan yang berlaku antara ranah sumber yang dapat diberlakukan pada
beberapa ranah target, demikian pula satu ranah target mungkin dapat
diberlakukan pada beberapa ranah sumber. Hal ini ditunjukkan oleh ranah
sumber “ajaran” selain sesuai diterapkan untuk ranah target garment melalui PK:
TENET IS GARMENT, sesuai juga untuk ranah target wine melalui PK: TENET IS
WINE. Hubungan yang berlaku antara ranah sumber yang dapat diberlakukan
pada beberapa ranah target disebut ruang lingkup sumber.
(7) Metafora ontologis domba
Metafora pada data (7) termasuk metafora ontologis domba, lamb
‘domba’ sebagai RSu yang merupakan ungkapan metaforis. Melalui lamb kajian
difokuskan pada interpretasi makna dan signifikansi dari cerita (perumpamaan)
114
ini. “Domba” sebagai simbol dalam cerita (perumpamaan) dapat diinterpretasikan
dengan Pemetaan Konseptual (PK).
(7) Go your way; behold, I send you as lambs among wolves. (Lukas 10:3)
Dalam kalimat tersebut di atas nomina lamb sebagai (RSu) merupakan
entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora konseptual
melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami. Dengan kata lain, entitas
tersebut melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal.
Pemetaan metafora konseptual lamb yaitu man sebagai RSa.
Makna yang tercipta dari entitas abstrak yang membentuk sebagian
sistem simbol man sebagai RSa merupakan konsep metafisika yang digunakan
untuk mendefinisikan man (Neville, 2001). Konsep lamb yang
dikonseptualisasikan menjadi man sebagai RSa dapat dipetakan melalui PK: A
MAN IS LAMB. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa lamb yang sebenarnya
merupakan domba, secara metafora konseptual dianalogikan sebagai man
(manusia).
Koherensi metaforis pada RSa dari metafora tersebut diambil dari
bahasa sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan,
yaitu jenis domba yang dikenal di Palestina bertubuh lebar dan penuh lemak.
Domba digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk persembahan,
termasuk makanan istimewa. Domba tidak merusak atau merugikan, tetapi
115
memiliki sifat penurut (Hillyer, 1999: 254-255). Domba merupakan lambang hati
yang suci atau tak bersalah (Matius 7:15).
Pada metafora A MAN IS LAMB dapat dipahami tentang domba
(LAMB) sebagai RSu yang bersifat kurang abstrak digambarkan. Dengan
demikian, ungkapan tersebut lebih mudah dipahami karena dibandingkan dengan
manusia (MAN) sehingga dipahami maksud yang terkandung dalam metafora
tersebut.
Nomina wolves sebagai RSu, yang juga merupakan entitas abstrak
dari perspektif linguistik kognitif, melalui metafora konseptual dapat dipetakan
sehingga menghasilkan makna sebagai RSa yang membentuk sistem simbol, yaitu
‘seseorang yang menyalahgunakan wibawanya’. Hal ini merupakan konsep
metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan wolves (Neville, 2001).
Eksistensi wolves sebagai binatang dapat pula dikonstruksikan secara
esensial dengan dua cara, yaitu sebagai pemikiran (thought) dan tindakan
(action). Koherensi serigala mengacu pada serigala Asia Tenggara walaupun
bentuknya agak lebih kecil, serigala Palestina serupa dengan serigala Eropa
tengah dan Eropa Utara (Hillyer, 1999:386).
Korespondensi konseptual antara ranah mental sumber dan target yang
menunjukkan kesamaan kekuatan yang dimiliki wolves (serigala), dilihat dari RSa
bermakna seseorang yang menyalahgunakan wibawanya, hanya dapat dilakukan
oleh suatu entitas yang memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan dengan lamb
116
(domba), yakni suatu ungkapan metaforis yang bermakna lemah dan penurut. Di
samping itu, hubungan kesamaan sifat antara ranah sumber dan target dapat
melatarbelakangi hubungan antara ranah sumber dan ranah target. Kata wolves
(serigala) dianalogikan dengan man (manusia) yang berarti serigala yang
hidupnya liar karena tidak dikandangkan, dibiarkan hidup di habitatnya.
Konseptualisasi yang dilakukan pewarta dalam perumpamaan Injil Lukas dengan
menggunakan ungkapan metaforis wolves dapat diinferensikan bahwa pewarta
melakukan strategi asosiatif antara serigala dan manusia, sifat liar
mengimplikasikan penyalahgunaan wewenang, sewenang-wenang, tidak
mengindahkan aturan.
Dari penjelasan di atas terlihat jelas seperti apa yang dikatakan oleh
K�vecses (2006) bahwa kaitan antara ranah mental sumber dan ranah target
merupakan hubungan yang berlaku antara ranah sumber yang dapat diberlakukan
pada beberapa ranah target, demikian pula satu ranah target mungkin dapat
diberlakukan pada beberapa ranah sumber. Hal ini ditunjukkan oleh ranah
sumber ‘manusia’ selain bisa diterapkan untuk ranah target tree melalui PK: A
MAN IS TREE, sesuai juga untuk ranah target lamb melalui PK: A MAN IS LAMB.
Hubungan yang berlaku antara ranah sumber yang dapat diberlakukan pada
beberapa ranah target disebut ruang lingkup sumber.
117
(8) Metafora ontologis mata
Metafora pada data (8) termasuk metafora ontologis pelita karena the eye
‘mata’ sebagai RSu yang merupakan ungkapan metaforis difokuskan pada
interpretasi maknanya dan signifikansi dari cerita (perumpamaan) ini. “Mata”
sebagai simbol dalam cerita (perumpamaan) dapat diinterpretasikan dengan
Pemetaan Konseptual (PK).
(8) The lamp of the body is the eye. Therefore, when your eye is good, your whole body also is full of light. But when your eye is bad, your body also is full of darkness. (Lukas 11:34a)
Dalam kalimat tersebut di atas nomina the eye sebagai (RSu) merupakan
entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora
konseptual melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami. Dengan kata
lain, entitas tersebut melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa
yang ideal. Pemetaan metafora konseptual the eye, yaitu light, sebagai RSa.
Makna yang tercipta dari entitas abstrak yang membentuk sebagian
sistem simbol man sebagai RSa merupakan konsep metafisika yang digunakan
untuk mendefinisikan light (Neville, 2001). Konsep the eye yang
dikonseptualisasikan menjadi light sebagai RSa dapat dipetakan melalui PK:
LIGHT IS EYE. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa the eye yang sebenarnya
merupakan mata, secara metafora konseptual dianalogikan sebagai light (terang).
Koherensi metaforis pada RSa dari metafora tersebut diambil dari
bahasa sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan,
yaitu mata adalah pelita bagi tubuh atau dapat dikatakan sebagai sebuah simile,
118
yakni mata ibarat sebuah lampu bagi tubuh karena mata memiliki peran yang
sangat penting bagi tubuh, apakah untuk kebaikan tubuh atau tidak. Koherensi
inilah yang mengacu kepada perumpamaan yang terdapat dalam Lukas 11:34.
Pada metafora LIGHT IS EYE dapat dipahami bagaimana pelita sebagai
RSu yang bersifat kurang abstrak dibandingkan dengan mata, berdasarkan
kesamaan ciri yang dimiliki oleh mata (THE EYE) dengan ciri yang dimiliki
sebagai RSa. Kesamaan ciri atau karakteristik yang terdapat dalam kedua
komponen makna tersebut menjadi dasar metafora, yakni ibarat mata yang
menerangi tubuh atau dapat dikatakan mata menjadi pelita bagi tubuh, demikian
pula manusia haruslah memberi terang terhadap lingkungannya.
4.2.3 Metafora Struktural
Metafora struktural adalah jenis metafora yang keseluruhan konsep
mentalnya yang kompleks distrukturisasikan dalam sekumpulan/seperangkat
istilah dan konsep yang lebih konkret. Metafora struktural juga didasarkan pada
dua ranah, yakni ranah sumber dan ranah sasaran berdasarkan korelasi sistematis
dari pengalaman sehari-hari. Lakoff dan Johnson (2003:5) menegaskan bahwa
konsep itu secara metaforis terstruktur, dengan demikian, bahasa yang digunakan
juga terstruktur. Metafora konseptual struktural bersifat dinamis karena
memanifestasikan apa yang sedang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan
penggunanya selalu berubah sesuai dengan pikiran, perasaan, dan pengalaman
119
berbeda pada setiap budaya. Jenis metafora ini biasanya menggunakan ekspresi
linguistik individual yang beragam, seperti tabel di bawah ini.
Tabel 4.3
Metafora Struktural
No Pemetaan Konseptual
(PK)
Data
9. FAITH IS A FOUNDATION
He is like a man building a house, who dug deep and laid the foundation on the rock. And when the flood arose, the stream beat vehemently against that house, and could not shake it, for it was founded on the rock. (Lukas 6:48)
10. THE WORD OF GOD IS A SEED
A sower went out to sow his seed. And as he sowed, some fell by the way-side; and it was trampled down, and the birds of the air devoured it. (Lukas 8:5)
11. THE WORD OF GOD IS A PLANT
a. Some fell on the rock; and as soon as it sprang up, it withered away because it lacked moisture. (Lukas 8:6)
b. And some fell among thorns, and the thorns sprang up with it and choked it. (Lukas 8:7)
c. But others fell on good ground, sprang up, and yielded a crop a hundred-fold. (Lukas 8:8a)
12. LIFE IN FAITH IS LIGHT
No one, when he has lit a lamp, covers it with a vessel or puts it under a bed, but sets it on a lampstand, that those who enter may see the light. (Lukas 8:16)
13. FAITH BASIS IS KEEP PRAYING
a. …which of you shall have a friend, and go to him at midnight and say to him, “Friend, lend me three loaves; (Lukas 11:5)
b. Yet because this widow troubles me I will avenge her, lest by her continual coming she weary me. (Lukas 18:5)
14. FAITH OF LIFE IS WAKEFUL
a. “Let your waist be girded and your lamps burning”. (Lukas 12:35)
b. “Therefore you also be ready, for the Son of Man is coming at an hour you do not
120
expect”. (Lukas 12:40)
15. KINGDOM OF GOD IS GREAT BANQUET
a. “A certain man gave a great supper and invited many”. (Lukas 14:16)
b. For I say to you that none of those men who were invited shall taste my supper. (Lukas 14: 24)
16. AFFECTION IS WARMTH
a. And he arose and came to his father. But when he was still a great way off, his father saw him and had compassion, and ran and fell on his neck and kissed him. (Lukas 15:20)
b. But the father said to his servants, “Bring out the best robe and put it on him, and put a ring on his hand and sandals on his feet. (Lukas 15:22)
17. GOD IS LOVE a. And when she has found it, she calls her friends and neighbors together, saying: “Rejoice with me, for I have found the piece which I lost. (Lukas 15:9)
b. And when he has found it, he lays it on his shoulders, rejoicing. And when he comes home, he calls together his friends and neighbors, saying to them, “Rejoyce with me, for I have found my sheep which was lost!’ (Lukas 15 : 5-6)
c. Yet because this widow troubles me I will avenge her, lest by her continual coming she weary me. (Lukas 18:5)
18. FAITH IS SALT Salt is good; but if the salt has lost its flavor, how shall it be seasoned? (Lukas 14:34)
(9) Metafora struktural bangunan
Dilihat dari bentuknya ungkapan metaforis the foundation sebagai RSu
pada data (9) merupakan nomina objektif yang termasuk metafora struktural
bangunan. Interpretasi makna dan signifikansi data (9) dari cerita
121
(perumpamaan), yakni “iman” sebagai simbol dijelaskan dengan Pemetaan
Konseptual (PK) agar entitas tersebut dipahami dengan baik.
(9) He is like a man building a house, who dug deep and laid the foundation on the rock. And when the flood arose, the stream beat vehemently against that house, and could not shake it, for it was founded on the rock. (Lukas 6:48)
Dalam kalimat data (9), nomina the foundation sebagai RSu merupakan
entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora
konseptual melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami. Dengan kata
lain, entitas tersebut melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa
yang ideal. Pemetaan metafora konseptual foundation adalah faith (iman)
sebagai RSa. Makna entitas yang membentuk sebagian sistem simbol dari
Kekristenan adalah faith sebagai RSa merupakan konsep metafisika atau
transendental yang digunakan untuk mendefinisikan faith (Neville, 2001).
Konsep the foundation yang dikonseptualisasikan menjadi faith sebagai RSa
dapat dipetakan melalui PK: FAITH IS A FOUNDATION. Dengan kata lain, dapat
dijelaskan bahwa the foundation yang sebenarnya merupakan dasar bangunan,
secara metafora konseptual dianalogikan sebagai faith (iman).
Koherensi metaforis RSu dari metafora tersebut diambil dari bahasa
sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan, yaitu
apabila orang-orang di Israel dahulu mendirikan rumah batu, tentu saja
pondasinya yang mula-mula dibuat. Batu yang dimaksud bukan hanya
122
sebungkah batu, melainkan lapisan batu di tempat yang dalam di bawah tanah
sesuai dengan struktur tanah berbatu-batu yang ada di Palestina.
Pada metafora FAITH IS A FOUNDATION dapat dipahami tentang dasar
bangunan (THE FOUNDATION) sebagai RSu yang bersifat abstrak dibandingkan,
berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh iman (FAITH) dengan ciri yang
dimiliki sebagai RSa. Kesamaan ciri atau karakteristik yang terdapat dalam
kedua komponen makna tersebut menjadi dasar metafora, yakni kalau seseorang
mendirikan rumah haruslah membuat dasar terlebih dahulu, sehingga dasar
bangunan itu kuat untuk menopang bangunan yang tersusun di atas dasar
tersebut, demikian pula iman manusia haruslah kuat atau kokoh sehingga iman
menjadi dasar yang kuat dalam segala aspek kehidupan.
(10) Metafora struktural benih
Dalam metafora struktural benih, benih yang ditabur oleh seorang
penabur digambarkan bahwa benih itu jatuh di beberapa tempat, seperti tampak
pada tabel berikut.
Tabel 4.4
Arah Benih dalam Perumpamaan Seorang Penabur
Lukas 8:5-8a
Arah dari benih pertama
Arah dari benih kedua
Arah dari benih ketiga
Arah dari benih keempat
Some seeds fell by the way-side, trampled down, and birds devoured it.
Other seeds fell on the rock, it sprang up, withered away because it lacked moisture.
Others fell in the thorns, it was chocked by thorns.
Others fell in good soil; it grew and produced fruit.
123
(10) A sower went out to sow his seed. And as he sowed, some fell by the way-
side; and it was trampled down, and the birds of the air devoured it. (Lukas 8:5)
(11). a. Some fell on the rock; and as soon as it sprang up with it and chocked it. (Lukas 8:6)
b. And some fell among thorns, and the thorns sprang up with it and choked it. (Lukas 8:7)
c. But others fell on good ground, sprang up, and yielded a crop a hundred-fold. (Lukas 8:8a)
Dilihat dari bentuknya ungkapan metaforis seed pada data (10)
merupakan nomina objektif yang termasuk metafora struktural benih.
Interpretasi makna dan signifikansi data (10) dari cerita (perumpamaan),
yakni “firman” sebagai simbol dijelaskan dengan Pemetaan Konseptual (PK)
agar entitas tersebut mudah dipahami .
Nomina seed pada data (10) sebagai RSu merupakan entitas abstrak
dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora konseptual melalui
entitas konkret dapat lebih mudah dipahami serta melalui PK dapat dipetakan
sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora konseptual seed
adalah the word of God (firman Allah) sebagai RSa.
Makna entitas yang membentuk sebagian sistem simbol dari
Kekristenan adalah the word of God sebagai RSa merupakan konsep
metafisika atau transendental yang digunakan untuk mendefinisikan faith
(Neville, 2001). Konsep seed yang dikonseptualisasikan menjadi the word of
God sebagai RSa dapat dipetakan melalui PK: THE WORD OF GOD IS A
SEED. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa seed yang sesungguhnya
124
adalah benih, secara metafora konseptual dianalogikan sebagai the word of
God.
Koherensi metaforis RSu dari metafora tersebut diambil dari bahasa
sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan, yaitu
pertanian di Palestina yang tidak bergantung pada irigasi meskipun musim
hujan di sana relatif singkat dan tanahnya berbatu-batu. Petani setempat
memiliki teknik membersihkan dan menyuburkan tanah sehingga tanaman
dapat tumbuh dengan baik. Dalam menentukan jenis tanaman, para petani
juga memperhatikan jenis tanah, apakah dataran subur, bukit berbatu, atau
daerah yang agak tandus (Throntveit, 2012: 1540). Hal inilah yang menunjuk
pada perumpamaan seorang penabur dalam Injil Lukas 8:4-8.
Metafora THE WORD OF GOD IS A SEED dapat dipahami bagaimana
benih (THE SEED) sebagai RSu yang bersifat abstrak digambarkan, karena
dibandingkan dengan firman Allah (THE WORD OF GOD) berdasarkan
kesamaan ciri yang dimiliki antara benih (THE SEED) dan ciri yang dimiliki
oleh firman Allah (THE WORD OF GOD) sebagai RSa. Kesamaan ciri atau
karakteristik yang terdapat dalam kedua komponen makna tersebut menjadi
dasar metafora, yakni penabur menabur benih yang jatuh di tanah, ada benih
yang mati, tumbuh sebentar dan ada yang berbuah banyak. Gagasan tentang
benih sebagai unit reproduksi kehidupan tumbuh-tumbuhan digunakan
sebagai perumpamaan mengenai benih dan penabur (Hillyer, 1999:176).
125
Nomina the birds sebagai RSu juga merupakan entitas abstrak dari
perspektif linguistik kognitif, secara metafora konseptual dapat dipetakan
sehingga menghasilkan makna sebagai RSa yang membentuk sistem symbol,
yaitu the evil spirit. Hal ini merupakan konsep metafisika yang digunakan
untuk mendefinisikan the birds (Neville, 2001).
Eksistensi dari a seed sebagai benih tumbuhan dapat pula
dikonstruksikan secara esensial dengan dua cara. Di satu sisi, sebagai pemikiran
(thought) dan tindakan (action). Di sisi lain, benih tumbuhan yang dapat
tumbuh ataupun mati. Hal tersebut memiliki sense sebagai proses dan bahkan
peristiwa atau hasil dari sebuah proses. Pertama, sebagai proses, the seed fell by
the way-side, trampled down (Lukas 8:5) yang secara metafora konseptual
bermakna ‘orang yang mendengar firman’. Kedua, sebagai peristiwa atau dapat
dikatakan sebagai hasil dari suatu proses, secara metafora konseptual bermakna
‘kemudian roh jahat datang dan mengambil firman itu dari hati mereka sehingga
mereka tidak percaya dan diselamatkan’.
(11) Metafora struktural tumbuhan
Pada data berikut, yaitu data (11.a), dapat dilihat satu konsep lain
sebagai berikut:
(11) a. Some fell on the rock; and as soon as it sprang up with it and chocked it. (Lukas 8:6)
Dari data (11.a) dapat dilihat bahwa frasa verbal spring up yang secara
leksikal berarti tumbuh, sebagai entitas abstrak dari perspektif kognitif
126
linguistik dan pemetaan konseptual, bisa menjadi entitas konkret yang artinya
dapat menjadi RSa ideal yang membentuk sebagian dari sistem simbol
Kekristenan, yakni konsep metafisika.
Konsep spring up yang didefinisikan sebagai “the plant” yang dapat
tumbuh dipetakan dengan PK: THE WORD OF GOD IS A PLANT.
Eksistensi dari seed secara esensial dapat dijelaskan sebagai pemikiran
(thought), dan di sisi lain, sebagai tindakan (action) atau dapat dikatakan/
dijelaskan dengan proses atau peristiwa. Pertama, sebagai proses the seed fell
down on the rock yang dikonsepkan secara metaforis ‘orang yang mendengar
Firman Tuhan tetapi Firman itu tidak berakar dalam diri mereka.’ Kedua,
sebagai peristiwa and as soon as it sprang up with it and chocked it, secara
metafora konseptual berarti ‘orang yang percaya kepada Firman Tuhan hanya
untuk sementara, ketika pencobaan hidup menimpa mereka, mereka jatuh dalam
pencobaan tersebut, karena Firman itu tidak berakar dalam diri mereka’.
Pada data (11b) pemetaan metafora konseptualnya sama, yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:
(11) b. And some fell among thorns, and the thorns sprang up with it and choked it. (Lukas 8:7)
Frasa adverbial among thorns sebagai RSu merupakan kontainer
abstrak apabila dilihat dari perspektif linguistik kognitif, dan dapat dipetakan
menjadi kontainer konkret sebagai RSa yang bermakna ‘orang yang telah
mendengarkan Firman’ dan inilah eksistensi dari benih sebagai proses.
127
Eksistensi benih tumbuhan sebagai hasil akhir dari suatu proses adalah
and the thorns sprang up with it and choked it, secara metafora konseptual
berarti ‘orang yang mendengar Firman Tuhan, karena kekhawatiran, kekayaan,
dan kenikmatan hidup, sehingga Firman itu tidak mewujud nyata dalam
kehidupan mereka.’
(11) c. But others fell on good ground, sprang up, and yielded a crop a hundred-fold. (Lukas 8:8a)
Dari data (11c) dapat dilihat bahwa frasa yield a crop yang secara
leksikal berarti menghasilkan buah merupakan entitas abstrak apabila dilihat
dari perspektif linguistik kognitif, dan melalui metafora konseptual menjadi
entitas konkret. Makna konkret sebagai RSa yang membentuk sebagian sistem
simbol Kekristenan adalah a seed yang merupakan konsep metafisika atau
transendental. Konsep yield a crop didefinisikan sebagai “the seed” yang dapat
tumbuh dan menghasilkan buah, sehingga sebagai RSa yang secara metafora
konseptual dipetakan menjadi PK: THE WORD OF GOD IS A SEED.
Frasa nominal good ground secara leksikal berarti good soil dapat
juga dianggap sebagai kontainer abstrak dan maknanya sebagai RSa yang
membentuk sebuah sistem simbol Kekristenan adalah good heart. Hal ini
merupakan konsep metafisika yang digunakan untuk mendefinisikan good
ground (Neville, 2001).
Eksistensi benih yang tumbuh dan berbuah dijelaskan secara esensial
dengan dua cara, yakni sebagai pemikiran (thought) dan tindakan (action) dan
128
sebagai sebuah proses dan hasil dari suatu proses atau peristiwa. Pertama,
sebagai proses, the seeds fell on good ground yang secara metafora konseptual
berarti Firman Tuhan yang didengar oleh orang dengan bijaksana dan berhati
baik. Kedua, sebagai peristiwa, sprang up, and yielded a crop a hundred-fold
secara metafora konseptual berarti orang yang percaya Firman itu dan
menyimpannya dalam hati mereka sehingga berbuah terus-menerus dalam
kehidupan mereka.
Tabel 4.5
Interpretasi Perumpamaan Seorang Penabur
Lukas 8:5-8a
Interpretasi benih pertama
Interpretasi benih kedua
Interpretasi benih ketiga
Interpretasi benih ke-empat
Some persons are like terrain along the way-side where seed are stolen by birds; they were robbed of the word by the devil. Analogy: people and terrain.
Some people are like plants on a rock that lack roots; they fall away during temptation. Analogy: people and plants.
Some people are like a seed sown among thorns; they hear the word but are choked by cares, riches, and pleasures of life, and bring no fruit to maturity. Analogy: people and a seed.
Some people are like a seed sown in good soil; they hear the word with a noble and good heart, keep it and bear fruit with patience. Analogy: people and a seed.
(12) Metafora struktural pelita
Dilihat dari bentuknya ungkapan metaforis a lamp pada data (12)
merupakan nomina objektif yang termasuk metafora struktural pelita.
Interpretasi makna dan signifikansi data (12) dari cerita (perumpamaan) yakni
129
“hidup oleh iman” sebagai simbol dijelaskan dengan Pemetaan Konseptual
(PK).
(12) No one, when he has lit a lamp, covers it with a vessel or puts it under a bed, but sets it on a lampstand, that those who enter may see the light. (Lukas 8:16)
Nomina a lamp pada data (12) sebagai RSu merupakan entitas abstrak
dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora konseptual melalui
entitas konkret mudah dipahami serta melalui PK dapat dipetakan sehingga
menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora konseptual lamp adalah
‘hidup oleh iman’ sebagai RSa.
Makna entitas yang membentuk sebagian sistem simbol dari
Kekristenan adalah life in faith sebagai RSa merupakan konsep metafisika atau
transendental yang digunakan untuk mendefinisikan life in faith (Neville,
2001). Konsep lamp yang dikonseptualisasikan menjadi life in faith sebagai
RSa dapat dipetakan melalui PK: LIFE IN FAITH IS LIGHT. Dengan kata lain,
dapat dikatakan bahwa a lamp yang sesungguhnya adalah pelita, secara
metafora konseptual dianalogikan sebagai life in faith (hidup oleh iman).
Koherensi metaforis pelita yang terdapat dalam Lukas 8:16 diambil dari
kehidupan sehari-hari, yakni pelita pada zaman dahulu di Palestina, terbuat
dari tanah liat dengan bahan bakar minyak zaitun yang dipakai untuk sarana
penerangan.
130
Pada metafora LIFE IN FAITH IS LIGHT dapat dipahami bagaimana
pelita (LAMP) sebagai RSu yang bersifat abstrak digambarkan, dibandingkan
dengan hidup dengan iman (LIFE IN FAITH) berdasarkan kesamaan ciri yang
dimiliki antara pelita (LAMP) dan ciri yang dimiliki oleh hidup dengan iman
(LIFE IN FAITH) sebagai RSa. Kesamaan ciri atau karakteristik yang terdapat
dalam kedua komponen makna tersebut menjadi dasar metafora yakni, pelita
yang diacu dalam perumpamaan tersebut bentuknya kecil karena dapat
digenggam. (Throntveit, 2012: 223). Analoginya adalah perilaku dan
kehidupan manusia seharusnya berpadanan dengan imannya. Hal inilah yang
menunjuk pada perumpamaan mengenai pelita yang terdapat dalam Injil Lukas
8:16 (Hillyer, 1999:221).
Nomina the light sebagai RSu juga merupakan entitas abstrak dari
perspektif linguistik kognitif, secara metafora konseptual dapat dipetakan
sehingga menghasilkan makna sebagai RSa yang membentuk sistem simbol,
yaitu faith. Hal ini merupakan konsep metafisika yang digunakan untuk
mendefinisikan the light (Neville, 2001).
Eksistensi dari a lamp sebagai pelita dapat pula dikonstruksikan secara
esensial dengan dua cara. Di satu sisi, sebagai pemikiran (thought) dan tindakan
(action). Di sisi lain, pelita sebagai alat penerangan yang dapat menerangi
sekitarnya memiliki sense sebagai proses dan bahkan peristiwa atau hasil dari
sebuah proses. Pertama, sebagai proses, terdapat pada awal kalimat, yaitu no
131
one, when he has lit a lamp, covers it with a vessel or puts it under a bed, but
sets it on a lampstand (Lukas 8:16) yang secara metafora konseptual bermakna
‘tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak dinyatakan dan tidak ada sesuatu
yang rahasia yang tidak akan diketahui’. Kedua, sebagai peristiwa, terdapat
dalam kalimat berikutnya, yaitu for whoever has, to him more will be given; and
whoever does not have, even what he seems to have will be taken from him
(Lukas 8:18) secara metafora konseptual bermakna ‘siapa yang mempunyai,
kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan
diambil, juga apa yang ia anggap ada padanya’.
(13a) Metafora struktural doa
Dilihat dari bentuknya ungkapan metaforis at midnight pada data (13a)
merupakan adverbia, termasuk jenis metafora struktural. Interpretasi makna dan
signifikansi data (13a) dari cerita (perumpamaan), yakni ‘berdoa dengan tidak
jemu-jemu’ sebagai simbol dijelaskan dengan Pemetaan Konseptual (PK) agar
entitas tersebut mudah dipahami.
(13a) …which of you shall have a friend, and go to him at midnight and say to him, “Friend, lend me three loaves”. (Lukas 11:5)
Frasa adverbial at midnight pada data (13a) sebagai RSu merupakan
entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora
konseptual melalui entitas konkret mudah dipahami serta melalui PK dapat
dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora
konseptual at midnight adalah ‘berdoa dengan tidak jemu-jemu’ sebagai RSa.
132
Makna entitas yang membentuk sebagian sistem simbol dari
Kekristenan adalah keep praying sebagai RSa merupakan konsep metafisika atau
transendental yang digunakan untuk mendefinisikan keep praying (Neville,
2001). Konsep at midnight yang dikonseptualisasikan menjadi keep praying
sebagai RSa dapat dipetakan melalui PK: FAITH BASIS IS KEEP PRAYING.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa at midnight yang sesungguhnya adalah
tengah malam, secara metafora konseptual dianalogikan sebagai keep praying
(berdoa dengan tidak jemu-jemu).
Koherensi metaforis “tengah malam” yang secara harfiah berarti waktu
malam. Di dalam Lukas 11:5 ungkapan metaforis tersebut diambil dari
kehidupan sehari-hari, yakni berdoa tidak mengenal waktu, baik siang maupun
malam.
Dilihat dari bentuknya ungkapan metaforis continual coming pada data
(13b) merupakan frasa adverbial (dalam kalimat kompleks) yang termasuk
metafora struktural hakim yang lalim. Interpretasi makna dan signifikansi data
(13b) dari cerita (perumpamaan), yakni “berdoa dengan tidak jemu-jemu”
sebagai simbol dijelaskan dengan Pemetaan Konseptual (PK) agar entitas
tersebut mudah dipahami .
(13b) Yet because this widow troubles me I will avenge her, lest by her continual coming she weary me. (Lukas 18:5)
Frasa adverbial continual coming pada data (13b) sebagai RSu merupakan
entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif, melalui entitas konkret dapat
133
lebih mudah dipahami serta melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi
sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora konseptual continual coming adalah
keep praying (berdoa dengan tidak jemu-jemu) sebagai RSa.
Konsep continual coming yang dikonseptualisasikan menjadi keep
praying sebagai RSa dapat dipetakan melalui PK: FAITH BASIS IS KEEP
PRAYING. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa continual coming yang
sesungguhnya adalah “datang terus-menerus”, secara metafora konseptual
dianalogikan sebagai keep praying (berdoa dengan tidak jemu-jemu).
Koherensi metaforis pada ranah sumber dari metafora tersebut diambil
dari kehidupan sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas
kehidupan, yaitu dalam masyarakat Yahudi, seorang janda kadang-kadang hidup
tanpa ada yang melindunginya sehingga meminta kepada hakim untuk membela
haknya (Hillyer, 1999: 299-300). Hal inilah yang menunjuk pada perumpamaan
yang terdapat dalam Lukas 18:5.
Pada metafora konseptual FAITH BASIS IS KEEP PRAYING dapat
dilihat bagaimana frasa adverbial continual coming sebagai RSu yang bersifat
abstrak digambarkan, dianalogikan dengan ‘berdoa dengan tidak jemu-jemu’
sehingga berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh KEEP PRAYING makna
yang terkandung dalam metafora tersebut dapat dimengerti apa yang dimaksud
dengan “datang terus-menerus” (KEEP PRAYING) berdasarkan kesamaan ciri
yang dimiliki oleh janda yang datang terus-menerus meminta haknya dibela oleh
134
hakim (KEEP PRAYING) sebagai ranah sasaran. Kesamaan ciri atau karakteristik
yang terdapat dalam kedua komponen makna tersebut menjadi dasar metafora,
yakni berdoa terus menerus merupakan dasar iman.
(14) Metafora struktural pelita
Metafora struktural pelita sebenarnya sudah dikaji pada nomor 12
(Lukas 8:16). Namun, yang membedakan dengan metafora pelita nomor 14
(Lukas 12:35) ini adalah lamps burning sebagai RSu yang bermakna ‘pelita yang
tetap menyala’ (RSa).
Dilihat dari bentuknya ungkapan metaforis lamps burning pada data (14)
merupakan frasa verba yang termasuk metafora struktural pelita. Interpretasi
makna dan signifikansi data (14) dari cerita (perumpamaan), yakni “iman yang
hidup/waspada” sebagai simbol dijelaskan dengan Pemetaan Konseptual (PK).
(14) Let your waist be girded and your lamps burning. (Lukas 12:35)
Frasa verba lamps burning pada data (14) sebagai RSu merupakan entitas
abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora konseptual
melalui entitas konkret serta melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi
sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora konseptual lamps burning adalah
“waspada/ iman yang hidup” sebagai RSa.
Makna entitas yang membentuk sebagian sistem simbol dari
Kekristenan adalah faith of life sebagai RSa merupakan konsep metafisika atau
transendental yang digunakan untuk mendefinisikan faith of life (Neville, 2001).
135
Konsep lamps burning yang dikonseptualisasikan menjadi faith of life sebagai
RSa dapat dipetakan melalui PK: FAITH OF LIFE IS WAKEFUL. Dengan kata lain,
dapat dikatakan bahwa lamps burning yang sesungguhnya adalah “pelita yang
terus menyala”, secara metafora konseptual dianalogikan sebagai faith of life
(iman yang hidup).
Klausa waist be girded sebagai RSu juga merupakan entitas abstrak dari
perspektif linguistik kognitif. Secara metafora konseptual, entitas abstrak dapat
dipetakan sebagai be ready to serve sehingga menghasilkan makna sebagai RSa.
Koherensi metaforis yang terdapat dalam Lukas 12:35 diambil dari
kehidupan sehari-hari, yakni orang Yahudi termasuk para hamba, pada zaman
dahulu biasa memakai pakaian panjang sampai menutupi tumit kaki. Oleh karena
itu, ketika seorang hamba bekerja atau melayani tuannya, ujung pakaiannya
diikatkan pada ikat pinggang agar ujung pakaian tersebut tidak menghalangi saat
bekerja (Reilling, Swellengrebel, 2005: 432). Dari koherensi ini muncullah ayat
ini yang berbunyi “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap
menyala” (Lukas 12:35). Demikian pula, pelita pada zaman dahulu di Palestina,
terbuat dari tanah liat dengan bahan bakar minyak zaitun yang dipakai untuk
penerangan.
Pada metafora FAITH OF LIFE IS WAKEFUL dapat dipahami
bagaimana “pelita yang terus menyala” sebagai RSu yang bersifat abstrak
digambarkan, karena dibandingkan dengan “iman yang hidup” berdasarkan
136
kesamaan ciri yang dimiliki antara “pelita yang terus menyala’ dan ciri yang
dimiliki oleh “iman yang hidup” sebagai RSa. Demikian pula, kesamaan ciri atau
karakteristik yang terdapat dalam kedua komponen makna tersebut menjadi
dasar metafora yakni “pelita yang terus menyala” yang diacu dalam
perumpamaan itu karena minyak di dalam pelita mengalir melalui sumbu, agar
pelita itu menyala, sumbu itulah yang dibakar (Throntveit, 2012: 223-224).
Demikian pula halnya dengan ungkapan “pinggang yang tetap berikat” yang
bermakna selalu siap melayani/bekerja. Analoginya adalah perilaku yang selalu
siap melayani merupakan cermin dari iman yang hidup.
(15) Metafora struktural jamuan makan
Dilihat dari bentuknya ungkapan metaforis a great supper pada data
(15a) merupakan frasa nominal yang termasuk metafora struktural jamuan
makan. Interpretasi makna dan signifikansi data (15a) dari cerita
(perumpamaan), yakni “menikmati kehidupan dalam kerajaan Allah” sebagai
simbol dijelaskan dengan Pemetaan Konseptual (PK).
(15a) A certain man gave a great supper and invited many. (Lukas 14:16)
Frasa nomina a great supper pada data (15a) sebagai RSu merupakan
entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora
konseptual melalui entitas konkret serta melalui PK dapat dipetakan sehingga
menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora konseptual a great supper
adalah “menikmati kehidupan dalam kerajaan Allah” sebagai RSa.
137
Makna entitas yang membentuk sebagian sistem simbol adalah
Kingdom of God sebagai RSa merupakan konsep metafisika atau transendental
yang digunakan untuk mendefinisikan Kingdom of God (Neville, 2001). Konsep
a great supper yang dikonseptualisasikan menjadi Kingdom of God sebagai RSa
dapat dipetakan melalui PK: KINGDOM OF GOD IS GREAT BANQUET. Dengan
kata lain, dapat dikatakan bahwa a great supper yang sesungguhnya adalah
“jamuan makan besar”, secara metafora konseptual dianalogikan sebagai
Kingdom of God (Kerajaan Allah).
Koherensi metaforis yang terdapat dalam Lukas 14:16 diambil dari
terjemahan bahasa Yunani yaitu ‘orang yang akan makan roti dalam kerajaan
Allah.’ Suasana yang digambarkan sebagai sebuah pesta yang agung dan megah
(Reilling, Swellengrebel, 2005: 482) sehingga muncullah ayat ini yaitu: tetapi
Yesus berkata kepadanya: “Ada seorang mengadakan perjamuan besar dan ia
mengundang banyak orang.” (Lukas 14:16)
Metafora struktural jamuan makan, sebagaimana yang diuraikan di
atas, diperkuat pula dengan data (15b) di bawah ini.
(15b) For I say to you that none of those men who were invited shall taste my supper. (Lukas 14:24)
Seperti halnya dengan data (15a), klausa taste my supper pada data (15b)
sebagai RSu juga merupakan entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif
yang secara metafora konseptual dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa
138
yang ideal. Pemetaan metafora konseptual taste my supper adalah “menikmati
kehidupan dalam kerajaan Allah” sebagai RSa.
Pada metafora KINGDOM OF GOD IS GREAT BANQUET dapat
dipahami bagaimana “jamuan makan besar” sebagai RSu yang bersifat abstrak
digambarkan, dibandingkan dengan “menikmati kehidupan dalam kerajaan
Allah” sebagai RSa berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki antara “jamuan
makan besar” dan ciri yang dimiliki oleh “menikmati kehidupan dalam kerajaan
Allah” sebagai RSa. Demikian pula, kesamaan ciri atau karakteristik yang
terdapat dalam kedua ungkapan tersebut menjadi dasar metafora, yakni “jamuan
makan besar” yang diacu dalam perumpamaan itu adalah orang yang ikut serta
dalam pesta yang megah itu akan sangat beruntung karena dapat menikmati
kehidupan dalam kerajaan Allah.
(16) Metafora struktural kasih sayang
Dilihat dari bentuknya ungkapan metaforis fell on his neckand kissed him
pada data (16a) merupakan klausa yang termasuk metafora struktural kasih
sayang. Interpretasi makna dan signifikansi data (16a) dari cerita
(perumpamaan), yakni “belas kasihan” sebagai simbol dijelaskan dengan
Pemetaan Konseptual (PK) agar entitas tersebut mudah dipahami.
(16) a. And he arose and came to his father. But when he was still a great way off, his father saw him and had compassion, and ran and fell on his neck and kissed him. (Lukas 15:20)
139
Klausa fell on his neck and kissed him pada data (16a) sebagai RSu
merupakan entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara
metafora konseptual melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami serta
melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan
metafora konseptual fell on his neck and kissed him adalah affection (kasih
sayang) sebagai RSa.
Makna entitas yang membentuk sebagian sistem simbol dari
Kekristenan adalah affection sebagai RSa merupakan konsep metafisika atau
transendental (Neville, 2001). Konsep fell on his neck and kissed him yang
dikonseptualisasikan menjadi affaction sebagai RSa dapat dipetakan melalui PK:
AFFECTION IS WARMTH. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa fell on his
neck and kissed him yang sesungguhnya adalah merangkul dan mencium, secara
metafora konseptual dianalogikan sebagai affection.
Koherensi metaforis RSu dari metafora itu diambil dari bahasa sehari-
hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan, yaitu rangkulan
atau pelukan disertai ciuman pada pipi merupakan sambutan yang hangat
terhadap orang lain, merupakan cara yang biasa dalam budaya Yahudi ketika
menyambut tamu, atau bertemu keluarga, kerabat atau sahabat (Reilling,
Swellengrebel, 2005: 505). Hal inilah yang menunjuk pada perumpamaan
tentang anak yang hilang yang terdapat dalam Injil Lukas 15: 20.
140
Metafora AFFECTION IS WARMTH dalam konteks ini dapat dipahami
bagaimana rangkulan disertai ciuman di pipi dari seorang ayah terhadap
anaknya. Sebagai RSu yang bersifat abstrak, ungkapan metaforis tersebut
digambarkan, dibandingkan dengan kasih sayang Allah (AFFECTION) sebagai
RSa berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh kedua komponen makna
tersebut.
Metafora konseptual mengindikasikan suatu proses yang ada dalam
batin untuk menjelaskan entitas yang didasarkan pada perasaan, pengalaman,
dan pikiran tentang realitas yang benar-benar ada. Pemilihan suatu ranah sumber
tertentu untuk suatu ranah target dilakukan karena didasarkan pada pengalaman
yang dirasakan tubuh ketika mengalami kondisi seperti yang dicontohkan oleh
K�vecses (2006:117) +AFFECTION IS WARMTH+ itu didasarkan pada
pengalaman ketika mendapatkan kasih sayang dari orang lain, yang dalam teks
itu adalah ayah. Seseorang pasti merasakan kehangatan sehingga muncul
metafora tersebut. Melalui PK: AFFECTION IS WARMTH, dapat ditunjukkan
hubungan kasih sayang dengan kehangatan. Hal ini dapat dijelaskan, apa yang
dirasakan tubuh ketika mendapatkan pelukan/rangkulan sebagai bentuk kasih
sayang, misalnya tubuh merasa hangat, nyaman, dan tenang. Apa yang dirasakan
itu merasuk ke dalam memori, kemudian pikiran mencari kata yang tepat untuk
menggambarkan bagaimana affection itu.
141
Dilihat dari bentuknya ungkapan metaforis the best robe pada data (16b)
merupakan frasa nomina yang termasuk metafora struktural kasih. Interpretasi
makna dan signifikansi data (16b) dari cerita (perumpamaan), yakni “jubah
terbaik” sebagai simbol dijelaskan dengan Pemetaan Konseptual (PK) agar
entitas tersebut mudah dipahami sebagaimana terlihat dalam data berikut.
(16).b But the father said to his servants, “Bring out the best robe and put it on him, and put a ring on his hand and sandals on his feet. (Lukas 15:22)
Frasa nomina the best robe pada data (16b) sebagai RSu merupakan
entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora
konseptual melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami serta melalui PK
dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan metafora
konseptual the best robe adalah affection (kasih sayang) sebagai RSa.
Makna entitas yang membentuk sebagian sistem simbol dari
Kekristenan adalah affection sebagai RSa merupakan konsep metafisika atau
transendental yang digunakan untuk mendefinisikan affection (Neville, 2001).
Konsep the best robe yang dikonseptualisasikan menjadi affection sebagai RSa
dapat dipetakan melalui PK: AFFECTION IS WARMTH. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa the best robe yang sesungguhnya adalah jubah terbaik, secara
metafora konseptual dianalogikan sebagai affection.
Koherensi metaforis RSu dari metafora tersebut diambil dari bahasa sehari-hari
sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan, yaitu pakaian atau
142
baju panjang yang dipakai di sebelah luar baju utama dan dapat juga
diinterpretasikan sebagi pakaian yang paling bagus (Reilling, Swellengrebel,
2005: 506). Hal inilah yang menunjuk pada ungkapan metaforis the best robe
yang terdapat dalam teks perumpamaan Injil Lukas 15: 22 kalimat pertama.
Demikian pula halnya dengan ungkapan metaforis put a ring on his hand
yang merupakan koherensi metaforis RSu yang diambil dari realitas kehidupan
sehari-hari. Cincin pada zaman itu merupakan lambang kedudukan atau kuasa
dari orang yang memakainya. Dalam konteks ini dapat dimaknai bahwa anak
bungsu yang kembali ke rumah bapanya diberi kedudukan sebagai anak
kembali, walaupun pernah meninggalkan bapanya.
Ungkapan metaforis lainnya, yaitu sandals on his feet, memiliki
koherensi metaforis yang diambil dari realitas kehidupan sehari-hari, yakni orang
yang memakai sandal atau sepatu dalam masyarakat pada zaman dahulu
merupakan tanda bahwa orang tersebut bukan seorang budak, karena budak tidak
memakai sepatu atau sandal.
Pada metafora AFFECTION IS WARMTH dapat dipahami bagaimana
pemakaian jubah terbaik, cincin, dan sandal sebagai RSu yang bersifat abstrak
digambarkan, dibandingkan dengan kasih sayang (AFFECTION) sebagai RSa
berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh kata tersebut. Kesamaan ciri atau
karakteristik yang terdapat dalam kedua komponen tersebut menjadi dasar
metafora, yakni seorang bapa memberikan jubah terbaik, cincin dan sandal
143
kepada anak bungsu yang sebenarnya bersalah terhadap bapanya, karena telah
menghambur-hamburkan warisan yang diminta dengan paksa kepada bapanya.
Karena begitu kasih bapa kepada anaknya tersebut, pada saat anak itu kembali ke
rumah bapanya, ia disambut dengan sukacita.
Eksistensi dari the best robe, a ring, dan sandals sebagai pemberian dari
seorang bapa kepada anaknya yang sesat dalam perumpamaaan yang diberi judul
oleh LAI yakni “Perumpamaan anak yang hilang” sebenarnya untuk menjelaskan
tentang hubungan Tuhan dengan orang yang sesat (sebagai thought/pemikiran),
atau dengan kata lain dapat pula dikonstruksikan secara esensial sebagai
tindakan (action). Metafora struktural kasih ini bermakna bahwa justru orang
yang sesatlah yang perlu mendapat belas kasihan, sebagaimana ungkapan
metaforis pada ayat 24 dalam teks perumpamaan anak yang hilang yakni for this
my son was dead and is alive again; he was lost and is found.
(17) Metafora struktural kasih
Dilihat dari bentuknya ungkapan metaforis Rejoyce with me, for I have
found the piece which I lost pada data (17a) merupakan kalimat yang termasuk
metafora struktural kasih. Interpretasi makna dan signifikansi data (17a) dari
cerita (perumpamaan), yakni “kasih” sebagai simbol dijelaskan dengan
Pemetaan Konseptual (PK) sebagaimana data berikut.
(17a) And when she has found it, she calls her friends and neighbors together, saying: Rejoice with me, for I have found the piece which I lost. (Lukas 15:9)
144
Kalimat rejoice with me, for I have found the piece which I lost pada
data (17a) sebagai RSu merupakan entitas abstrak dari perspektif linguistik
kognitif yang secara metafora konseptual melalui entitas konkret serta melalui
PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal. Pemetaan
metafora konseptual rejoyce with me, for I have found the piece which I lost
adalah ‘kasih’ sebagai RSa.
Makna entitas yang membentuk sebagian sistem simbol adalah love
sebagai RSa merupakan konsep metafisika atau transendental yang digunakan
untuk mendefinisikan love (Neville, 2001). Konsep rejoice with me, for I have
found the piece which I lost yang dikonseptualisasikan menjadi love sebagai
RSa dapat dipetakan melalui PK: GOD IS LOVE. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa, rejoice with me, for I have found the piece which I lost
yang sesungguhnya adalah “ajakan bergembira karena dirham yang sudah
hilang ditemukan kembali”, secara metafora konseptual dianalogikan sebagai
love (kasih).
Koherensi metaforis RSu dari metafora tersebut diambil dari bahasa
sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan, yaitu
dirham adalah mata uang logam yang terbuat dari perak, yang nilainya sama
dengan upah sehari seorang pekerja di ladang pada waktu itu. Yang
diutamakan dalam perumpamaan ini bukan nilai uang yang hilang, tetapi dari
145
sepuluh mata uang logam yang dimiliki, satu di antaranya hilang (Reilling,
Swellengrebel, 2005: 498).
Demikian pula ungkapan metaforis menyalakan pelita dan menyapu
rumah sebagai RSu diambil dari realitas kehidupan yang menunjukkan bahwa
orang yang dirhamnya hilang itu menggunakan berbagai cara untuk mencari
uang yang hilang tersebut. Ruangan dalam rumah di Israel pada zaman dahulu
biasanya gelap walaupun pada siang hari, karena jendelanya kecil atau bahkan
tidak ada jendela sama sekali. Oleh karena itu, perempuan tersebut perlu
menyalakan lampu walaupun mencari uangnya yang hilang pada siang hari.
Hal inilah yang menunjuk pada ungkapan metaforis rejoice with me, for I
have found the piece which I lost yang terdapat dalam teks perumpamaan
yang terdapat dalam Injil Lukas 15: 9.
Pada metafora GOD IS LOVE dapat dipahami bagaimana “ajakan
bergembira karena dirham yang sudah hilang ditemukan kembali” sebagai
RSu yang bersifat abstrak digambarkan, dibandingkan dengan “kasih” sebagai
RSa berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh kedua kata tersebut.
Demikian pula, kesamaan ciri atau karakteristik yang terdapat dalam kedua
kata tersebut menjadi dasar metafora, yakni “ajakan bergembira karena
dirham yang sudah hilang ditemukan kembali” yang diacu dalam
perumpamaan tersebut adalah seperti itulah juga malaikat-malaikat
bergembira karena satu orang bertobat.
146
Dilihat dari bentuknya ungkapan metaforis Rejoyce with me, for I have
found the piece which I lost pada data (17b) merupakan ungkapan yang
termasuk metafora struktural kasih. Interpretasi makna dan signifikansi data
(17b) dari cerita (perumpamaan), yakni “kasih” sebagai simbol dijelaskan
dengan Pemetaan Konseptual (PK) sebagaimana data berikut.
(17b) And when he has found it he lays it on his shoulders, rejoicing. And when he comes home, he calls together his friends and neighbors, saying to them,” Rejoyce with me, for I have found my sheep which was lost!.” (Lukas 15: 5-6)
Ungkapan he lays it on his shoulders pada data (17b) sebagai RSu
merupakan entitas abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara
metafora konseptual melalui entitas konkret serta melalui PK dapat dipetakan
menjadi “kasih” sebagai RSa.
Makna entitas yang membentuk sebagian sistem simbol adalah love
sebagai RSa merupakan konsep metafisika atau transendental yang digunakan
untuk mendefinisikan love (Neville, 2001). Konsep he lays it on his shoulders
yang dikonseptualisasikan menjadi love sebagai RSa dapat dipetakan melalui
PK: GOD IS LOVE. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa he lays it on his
shoulders yang sesungguhnya adalah “dipikul di bahunya”, secara metafora
konseptual dianalogikan sebagai love (kasih).
Koherensi metaforis RSu dari metafora tersebut diambil dari bahasa
sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas kehidupan, yaitu
seekor domba yang hilang karena tidak ada dalam kelompoknya, gembala
147
pasti akan mencari dombanya yang hilang dan meninggalkan domba yang
sembilan puluh sembilan itu pada saat ia mencari satu domba yang hilang.
Yang diutamakan dalam perumpamaan itu bukanlah mengapa domba itu
hilang, apakah dicuri orang atau dimangsa binatang buas, tetapi dari seratus
domba yang dimiliki, satu di antaranya hilang (Reilling, Swellengrebel, 2005:
495).
Demikian pula pada ungkapan metaforis Rejoyce with me, for I have
found my sheep which was lost tersirat bahwa domba yang hilang dan telah
ditemukan dikembalikan ke kawanannya di padang. Kemudian pemiliknya
pulang ke rumah dan mengajak tetangganya bergembira sebagai RSu diambil
dari realitas kehidupan yang menunjukkan bahwa gembala yang dombanya
hilang itu menggunakan berbagai cara untuk mencari domba yang hilang
tersebut sampai domba itu ditemukan kembali. Hal inilah yang menunjuk
pada ungkapan metaforis Rejoice with me, for I have found my sheep which
was lost yang terdapat dalam teks perumpamaan yang terdapat dalam Injil
Lukas 15: 6.
Pada metafora GOD IS LOVE dapat dipahami bagaimana “ajakan
bergembira karena seekor domba yang hilang sudah ditemukan kembali”
sebagai RSu yang bersifat abstrak digambarkan, dibandingkan dengan
“kasih” sebagai RSa berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh kedua
kata tersebut. Demikian pula, kesamaan ciri atau karakteristik yang terdapat
148
dalam kedua kata tersebut menjadi dasar metafora, yakni “ajakan bergembira
karena seekor domba yang hilang sudah ditemukan kembali” yang diacu
dalam perumpamaan tersebut adalah seperti itulah juga malaikat-malaikat
bergembira karena satu orang bertobat. Konsep ini sama dengan
perumpamaan dirham yang hilang pada data (17a) di atas.
Dilihat dari bentuknya ungkapan metaforis avenge pada data (17c)
merupakan metafora struktural kasih. Interpretasi makna dan signifikansi data
(17c) dari cerita (perumpamaan), yakni “menikmati kehidupan dalam kerajaan
Allah” sebagai simbol dijelaskan dengan Pemetaan Konseptual (PK).
(17c) Yet because this widow troubles me I will avenge her, lest by her continual coming she weary me. (Lukas 18:5)
Verba avenge pada data (17c) sebagai RSu merupakan entitas abstrak
dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora konseptual melalui
entitas konkret serta melalui PK dapat dipetakan sehingga menjadi sebuah
RSa yang ideal. Pemetaan metafora konseptual avenge adalah “mendapat
belas kasihan” sebagai RSa.
Makna entitas yang membentuk sebagian sistem simbol adalah love
sebagai RSa merupakan konsep metafisika atau transendental yang digunakan
untuk mendefinisikan love (Neville, 2001). Konsep avenge yang
dikonseptualisasikan menjadi love sebagai RSa dapat dipetakan melalui PK:
GOD IS LOVE. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa verba avenge yang
149
sesungguhnya mengandung konsep “membenarkan”, secara metafora
konseptual dianalogikan sebagai love (kasih).
Koherensi metaforis yang terdapat dalam ungkapan avenge (aku akan
membenarkan dia) pada Lukas 18:5 tidak berarti bahwa walaupun janda itu
bersalah, hakim itu akan membenarkan dia. Akan tetapi maksudnya adalah
hakim tersebut akan menangani perkara janda itu dengan adil (Reilling,
Swellengrebel, 2005: 557), sehingga muncullah ayat tersebut, yaitu: ” …
baiklah aku akan membenarkan dia.” (Lukas 18:5).
Pada metafora GOD IS LOVE dapat dipahami bagaimana konsep
“membenarkan” sebagai RSu yang bersifat abstrak digambarkan,
dibandingkan dengan “kasih” sebagai RSa berdasarkan kesamaan ciri yang
dimiliki oleh kedua kata tersebut. Demikian pula, kesamaan ciri atau
karakteristik yang terdapat dalam kedua kata tersebut menjadi dasar metafora,
yakni “membenarkan” yang diacu dalam perumpamaan tersebut adalah
Allah akan membela perkara umat-Nya yang berdoa kepada-Nya siang dan
malam.
(18) Metafora struktural garam
Metafora pada data (18) termasuk jenis metafora struktural garam
karena melalui nomina subjektif salt sebagai RSu yang merupakan ungkapan
metaforis kalimat ini dapat dijelaskan. Interpretasi makna dan signifikansi dari
cerita (perumpamaan) dijelaskan dengan menggunakan PK.
150
(18) Salt is good; but if the salt has lost its flavor, how shall it be seasoned? (Lukas 14:34)
Nomina salt sebagai RSu dalam kalimat di atas merupakan entitas
abstrak dari perspektif linguistik kognitif yang secara metafora konseptual
melalui entitas konkret dapat lebih mudah dipahami. Entitas abstrak tersebut
melalui PK dipetakan sehingga menjadi sebuah RSa yang ideal.
Makna yang tercipta dari entitas abstrak yang membentuk sebagian
sistem simbol dari Kekristenan adalah faith merupakan konsep metafisika
atau transendental (Neville, 2001). Konsep salt yang dikonseptualisasikan
menjadi faith sebagai RSa dapat dipetakan melalui PK: FAITH IS SALT.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa nomina salt yang sebenarnya
merupakan ‘garam’, secara metafora konseptual dianalogikan sebagai faith
(iman).
Koherensi metaforis pada ranah sumber dari metafora tersebut
diambil dari bahasa sehari-hari sebagai sistem simbol yang merupakan realitas
kehidupan.
Orang Ibrani mempunyai persediaan garam yang melimpah di pantai
Laut Mati dan di Bukit Garam (barat daya Laut Mati). Garam terbuat dari
karang atau fosil. Karena ketidakmurnian dan perubahan-perubahan kimiawi,
lapisan luarnya biasanya kurang sedap. Hal inilah yang menunjuk pada
perumpamaan tersebut (Lukas15:34). Garam digunakan sebagai pengawet dan
bumbu penyedap makanan. Apabila garam menjadi tawar pasti dibuang atau
151
dapat dikatakan garam yang tidak bisa mengawetkan dan menggarami
makanan akan dibuang (Hillyer, 1999:327).
Pada metafora FAITH IS SALT dapat dipahami bagaimana salt sebagai
RSu yang bersifat abstrak digambarkan sehingga lebih mudah dipahami,
dibandingkan dengan iman (FAITH) supaya dipahami maksud yang
terkandung dalam metafora tersebut. Dengan demikian, akan dapat dimengerti
apa yang dimaksud dengan “garam yang tawar” (SALT) berdasarkan kesamaan
ciri yang dimiliki oleh iman (FAITH) sebagai ranah sasaran. Kesamaan ciri
atau karakteristik yang terdapat dalam kedua kata tersebut menjadi dasar
metafora, yakni dalam perumpamaan tersebut garam yang tawar (tidak asin),
demikian pula manusia yang tidak memiliki iman (perilaku yang tidak
berpadanan dengan firman) pasti dibuang.
4.3 Perumpamaan dalam Injil
Seperti diuraikan sebelumnya, perumpamaan merupakan sebuah
perbandingan yang digunakan untuk menyampaikan pesan tertentu. Pesan
yang disampaikan adalah datangnya Kerajaaan Allah. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa Yesus menyampaikan tentang Kerajaan Allah yang memiliki
dimensi dan cakupan yang sangat luas. Oleh karena itu, masing-masing
perumpamaan menonjolkan aspek yang berbeda-beda dari Kerajaan Allah
(Hultgren, 2002: 1-2).
152
Di samping itu, perumpamaan juga memiliki tiga tahapan tujuan dalam
penceritaannya, yaitu orientasi, reorientasi, dan disorientasi (Hultgren, 2002: 4-
5). Perumpamaan yang memiliki tujuan orientasi digunakan agar pendengar lebih
mudah memahami makna dan tujuan perumpamaan tersebut. Cerita, bahasa,
tokoh dan unsur-unsur yang ada dalam perumpamaan diambil dari realitas atau
gambaran kehidupan sehari-hari. Ada kalanya ditemui unsur-unsur berlebihan
yang disengaja dan sikap yang tidak biasa muncul dalam perumpamaan.
Kemunculan unsur-unsur tersebut memiliki tujuan reorientasi sehingga
pendengar memikirkan ulang dirinya. Demikian pula, seringkali sebuah
perumpamaan menjungkirbalikkan situasi sehari-hari. Dalam perumpamaan
seperti itu, ada pertentangan dua sudut pandang, yakni sudut pandang manusiawi
dan sudut pandang ilahi, sehingga pendengar secara serius melihat dan
mengevaluasi diri mereka.
Setidaknya ada empat karakteristik yang melekat pada perumpamaan,
yaitu (a) eskatologis yang berarti akhir zaman, di mana unsur kemendesakan
sangat menonjol. Karakteristik tersebut sebagaimana yang terdapat dalam
ungkapan “Saatnya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan
percayalah kepada Injil!” (Markus 1: 15). Dari ungkapan tersebut tersirat pewarta
tidak memberikan kesempatan kepada pendengar menunda-nunda untuk
membuat keputusan. Demikian pula ungkapan “Ikutlah Aku biarlah orang-orang
153
mati menguburkan orang-orang mati mereka” (Matius 8: 22). Dari ungkapan ini
tersirat kemendesakan tersebut, karena salah satu hal utama dalam kehidupan,
yakni memakamkan orang meninggal harus ditinggalkan demi mengikut Yesus;
(2) eksistensial yang berarti perumpamaan yang memiliki karakteristik untuk
menyadarkan manusia terhadap eksistensinya. Pertemuan antara keyakinan
manusiawi dan ideologi ilahi mengungkapkan sejauh mana nilai-nilai yang
dianut oleh manusia. Hal tersebut terlihat dalam perumpamaan lima gadis
bijaksana dan lima gadis bodoh (Mat 25:1-13) untuk mengingatkan manusia
posisi mereka saat ini; (3) etis yang bermakna perumpamaan dalam Injil
menyangkut relasi dengan orang lain. Hal ini terdapat dalam perumpamaan
tentang biji sesawi (Mat 13: 31-35), yang digarisbawahi dalam perumpamaan ini
adalah kesediaan anggota Kerajaan Allah melayani sesamanya; dan (4) Injili
yang memiliki karakteristik agar semakin banyak orang terlibat dalam Kerajaan
Allah.
Beberapa konsep yang terdapat dalam perumpamaan yang sebenarnya
menjadi konsep pokok dalam seluruh pengajaran Yesus sebagaimana dijelaskan
dalam paparan di bawah ini.
a. Kerajaan Allah
Kerajaan Allah atau pemerintahan Allah dijelaskan dalam berbagai
perumpamaan, yang konsep intinya adalah bahwa Kerajaan Allah diberikan
oleh Allah kepada manusia sebagai karunia (Luk. 12:32), tanpa jasa manusia
154
(Luk.22:29). Hal ini terdapat dalam perumpamaan tentang benih dan seorang
penabur (Luk. 8 : 4-15, Mat. 13:1-23, Mrk. :1-20), perumpamaan tentang biji
sesawi dan ragi (Mat. 13:31-35, Mrk. 4:30-34, Luk. 13: 18-21). Di samping
itu, Kerajaan Allah juga dijelaskan melalui perumpamaan tentang harta yang
terpendam dan mutiara yang berharga (Mat. 13:44-46). Dalam perumpmaan
tersebut tersirat bahwa Kerajaan Allah yang merupakan karunia itu memiliki
nilai yang sangat tinggi dan penting.
b. Allah
Dalam beberapa perumpamaan digambarkan sikap Allah yang aktif mencari
pendosa dan menanti pertobatan mereka dengan tangan terbuka. Hal ini
diilustrasikan melalui perumpamaan domba yang hilang (Luk. 15:1-7),
perumpamaan tentang dirham yang hilang (Luk. 15:-10), perumpamaan
tentang anak yang hilang (Luk. 15: 11-32). Sejumlah perumpamaan
digunakan untuk menggambarkan jati diri Allah sebagai Hakim Yang Maha
Pengampun. Hal ini digambarkan melalui perumpamaan tentang hamba yang
jahat (Mat. 18:23-35), dan perumpamaan tentang pekerja di kebun anggur
(Mat. 20:1-16). Demikian pula kemurahan hati Allah digambarkan dengan
perumpamaan tentang seorang yang meminta makanan pada sahabatnya pada
malam hari (Luk. 11:5-8) dan perumpamaan tentang hakim yang tidak takut
akan Allah (Luk. 18:1-8). Pada kedua perumpamaan tersebut tersirat
kesediaan Allah mendengarkan doa-doa yang disampaikan kepada-Nya.
155
c. Bertobat
Perumpamaan juga mengajarkan agar manusia bertobat, agar diterima
menjadi warga Kerajaan Allah. Selain mengungkapkan kemurahan hati
Allah, perumpamaan tentang anak yang hilang juga menekankan pentingnya
pertobatan. Melalui perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai
yang berdoa di Bait Allah (Luk. 18:9-14), diajarkan pertobatan sebagai sikap
yang benar di hadapan Allah. Manusia yang mengakui dosa dan menghadap
Allah tanpa kesombongan rohani dipandang benar oleh Allah.
d. Mengampuni
Pengampunan yang telah diterima manusia dari Allah jauh lebih besar
daripada pengampunan yang seharusnya diberikan manusia kepada orang
yang bersalah kepadanya. Hal tersebut dijelaskan melalui perumpamaan
tentang hamba yang berhutang (Mat. 18:21-35)
e. Rendah Hati
Beberapa perumpamaan digunakan untuk menggambarkan kerendahan hati
di hadapan sesama dan Tuhan. Hal tersebut dijelaskan melalui perumpamaan
tentang tuan dan hamba (Luk. 17:10, Luk. 18:8-14, Luk. 14: 7-11). Dalam
perumpamaan ini dijelaskan agar manusia tidak mencari pujian ketika
melakukan perbuatan baik dan tidak suka mencari kehormatan diri sendiri.
156
f. Mempergunakan Anugerah
Dalam perumpamaan tentang talenta Yesus mengajarkan bahwa manusia pun
harus mempergunakan semua talenta yang diberikan oleh Allah dengan
sebaik-baiknya (Mat. 25:14-30). Semua itu telah dipercayakan Allah kepada
manusia karena Ia percaya bahwa manusia dapat mengembangkannya. Pada
waktunya kelak, Allah akan meminta pertanggungjawaban atas semua yang
telah dipercayakan-Nya kepada manusia.
g. Mengasihi
Orang yang telah menjadi anggota Kerajaan Allah akan mengasihi orang lain,
seperti Allah telah mengasihi semua manusia. Kasihnya tidak akan terbatas
pada orang-orang yang telah mengasihinya atau yang dapat membalas
kasihnya. Allahlah yang harus menjadi “model” untuk mengasihi. Ia
bermurah hati kepada semua orang. Ia memberikan hujan tidak hanya kepada
orang benar, tetapi juga kepada orang yang tidak benar (Mat. 5:44-45). Ia pun
akan mengasihi Allah yang hadir dalam kehidupan nyata, seperti Allah telah
mengasihinya. Yang menjadi ukuran dalam pengadilan Allah adalah
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap Allah selama ia hidup di
dunia ini (Mat. 25:31-46). Allah hadir dalam diri orang-orang yang menderita
dan kekurangan. Apa pun yang dilakukan terhadap mereka sebenarnya
dilakukan terhadap Allah sendiri.
157
h. Selalu berjaga-jaga
Pada sejumlah perumpamaan Yesus yang berbicara tentang akhir zaman.
Perumpamaan yang bertema eskatologi ini bertujuan untuk mengingatkan
para pendengar agar mengambil sikap yang benar untuk menghadapi akhir
zaman. Para murid hendaknya senantiasa berjaga-jaga karena mereka tidak
tahu kapan akhir zaman tiba (Mrk. 13:34-36, Luk. 12:35-38, Mat. 24:42-44,
Luk. 12:39-40; Mat. 24:45-51, Mat. 12:42-46, Mat. 25:1-13, Luk. 12:13-21),
pada akhir zaman akan terjadi pemisahan antara orang yang baik dan yang
jahat (Mat. 7:16-20, Mat. 13:47-50, Mat. 13:24-30, Mat. 13: 36-43, Mat.
25:31-46). Dengan perumpamaan-perumpamaan tersebut Yesus mengajak
umat untuk menghayati kehidupan di dunia ini dengan perspektif akhir
zaman dan kehidupan kekal. Hidup di dunia ini hanya sementara, oleh karena
itu semua manusia hendaknya berjaga-jaga untuk menghadapi pengadilan
terakhir.
Dari uraian tersebut, di bawah ini dipaparkan rangkuman tentang
pokok pewartaan dan konsep yang digambarkan melalui perumpamaan yang
terdapat dalam Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes sebagaimana tabel
berikut.
158
Konsep Perumpamaan Markus Matius Lukas Doa Hal pengabulan doa 7:9-11 11:11-13
Sahabat yang datang tengah malam 11:5-8
Orang Farisi dan pemungut cukai 18:9-14
Hakim yang tak benar 18:1-8
Menjadi pendengar dan pelaku firman
Rumah di atas batu dan pasir 7:24-27 6:47-49
Dua orang anak 21:28-32
Penabur benih 4:1-9, 13-20 13:1-9 8:4-8.11-
15 Hamba yang rendah hati 17:7-10
Eskatologi (Akhir zaman)
Nasihat berjaga-jaga 13:34-36 12:35-38 Pencuri di waktu malam 24:42-44 12:39-40
Hamba yang setia dan tidak setia 24:45-51 12:42-46
Orang kaya yang bodoh 12:13-21
Domba dan kambing 25:31-46
Sikap iman yang benar
Tentang puasa 2:19-20 9:15 5:33-39
Pohon baik dan tidak baik 7:16-20 Secarik kain dan anggur baru 2:21-22 9:16-17 5:36-39
Dua macam jalan 7:13-14 13:23-27
Pelita dan ukuran 4:21-25 8:16-18
Pohon ara 13:28-32 24:32-36 21:29-33
Membangun menara 14:28-30
159
Raja yang maju perang 14:31-33
Bendahara yang tidak jujur 16:1-9
Orang kaya dan Lazarus yang miskin 16:19-31
Pohon ara yang tidak berbuah 13:6-9
Kerajaan Allah Benih yang tumbuh diam-diam 4:26-29 13:18-19
Biji sesawi 4:30-32 13:31-32 Pukat 13:47-50 Lalang di ladang gandum
13:24-30,36-43
Harta terpendam 13:44 Mutiara yang berharga 13:45-46 Pesta perkawinan 22:1-14 14:15-24 Ragi 13:33 13:20-21 Orang upahan di kebun anggur 20:1-16 Gadis bijak dan gadis bodoh 25:1-13 Talenta 25:14-30 19:11-27
Mengasihi dan mengampuni
Domba yang hilang 18:12-14 15:1-7 Domba yang hilang 15:1-7 Dirham yang hilang 15:8-10 Anak yang hilang 15:11-32 Hamba yang jahat 18:23-35 Dua orang yang berhutang 7:41-50
Orang Samaria yang baik hati 10:25-37
Sikap penolakan terhadap Yesus
Tentang Beelzebul 3:22-27 12:29-30 11:21-23 Penggarap kebun anggur 12:1-12 21:33-46 20:9-19
Jati diri Yesus Gembala yang baik Yoh. 10:1-18 (Mat. 18:12-14; Luk. 15:1-7)
Anggur yang sejati Yoh. 15:1-8
160
4.4 Penutup
Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa metafora
konseptual digunakan secara luas dalam perumpamaan Injil Lukas. Sebaran
penggunaannya dalam subkorpus TSu meliputi ketiga kategori metafora
konseptual (metafora orientasional, metafora ontologis, dan metafora struktural)
dalam berbagai jenis metafora misalnya, metafora pohon, metafora garam,
metafora status sosial, metafora binatang, metafora kain, metafora anggur,
metafora entitas, dan metafora wadah serta dalam berbagai jenis PK.
Sebagai hasil analisis untuk menjawab permasalahan pertama dalam
penelitian ini, ditemukan 20 jenis metafora yang meliputi ketiga kategori
tersebut dan delapan belas jenis PK yang tergabung ke dalam ketiga kategori
metafora konseptual. Metafora struktural lebih banyak digunakan daripada dua
kategori metafora yang lain, yakni metafora orientasional dan metafora
ontologis. Fenomena ini dapat dipahami karena sejumlah konsep dan prinsip-
prinsip kebenaran Kristiani ternyata lebih mudah dijelaskan dengan
menggunakan asosiasi, analogi, objek, wadah, dan entitas (manusia dan bukan
manusia) atau personifikasi serta struktur objek.
Selain hal tersebut di atas, penulis TSu sering menggunakan sejumlah PK
yang termasuk jenis metafora pohon, metafora garam, metafora status sosial,
metafora bangunan, metafora benih, dan metafora tumbuhan sebagai RSu untuk
menjelaskan sejumlah konsep, model, pendekatan, ide serta pemikiran dalam
161
teks perumpamaan sebagai RSa. Konsep-konsep yang dimaksud juga lebih
mudah dijelaskan dan dipahami, antara lain, melalui konsep die, word, faith,
pray, dan love sebagai RSa.
Analisis data pada bab ini memperlihatkan kurang paralelnya
pengategorian metafora konseptual yang diprakarsai oleh Lakoff dan Johnson.
Misalnya, jenis metafora orientasional dapat dikategorikan ke dalam jenis
metafora struktural, metafora ontologis ternyata juga dapat dikategorikan ke
dalam jenis metafora struktural, demikian pula ungkapan metaforis yang sama
dapat dipetakan dengan PK yang berbeda. Sebaliknya, satu PK diungkapkan
dengan banyak ungkapan metaforis terdapat pada PK: THE WORD OF GOD IS A
PLANT, KEEP PRAYING IS FAITH BASIS, FAITH OF LIFE IS WAKEFUL,
KINGDOM OF GOD IS GREAT BANQUET, AFFECTION IS WARMTH, GOD IS
LOVE, dan FAITH IS SALT.
Pada tulisan ini peneliti mencoba merekonstruksikan beberapa PK di atas
yang dikemukakan oleh Lakoff dan Johnson (1980, 1993), PK: IDEAS ARE
PLANTS yang dikemukakan oleh Lakoff dan Johnson (1980, 1993) sesuai pula
dengan PK: THE WORD OF GOD IS A PLANT, yang disebabkan oleh kaitan antara
ranah sumber dan ranah target untuk teori, melalui PK: IDEAS ARE PLANTS
sesuai juga untuk PK: THE WORD OF GOD IS A PALNT. Dalam hal ini, dapat
dikatakan bahwa kedua PK tersebut berada pada ruang lingkup yang sama.
162
Hal yang sama juga terjadi pada ranah sumber bangunan, selain sesuai
diterapkan untuk PK: THEORIES ARE BUILDINGS sesuai pula diterapkan untuk
kehidupan iman melalui PK: FAITH IS AFOUNDATION.
Perumpamaan digunakan untuk menyampaikan pesan datangnya
Kerajaaan Allah yang memiliki dimensi dan cakupan yang sangat luas, yang
menonjolkan aspek berbeda-beda dari Kerajaan Allah (Hultgren, 2002: 3-4). Di
samping itu, perumpamaan juga memiliki tiga tahapan tujuan dalam
penceritaannya, yaitu orientasi, reorientasi, dan disorientasi (Hultgren, 2002: 4-
5). Demikian pula, ada empat karakteristik yang melekat pada perumpamaan,
yaitu (a) eskatologis yang berarti akhir zaman, di mana unsur kemendesakan
sangat menonjol; (2) eksistensial yang berarti perumpamaan yang memiliki
karakteristik untuk menyadarkan manusia terhadap eksistensinya; (3) etis yang
bermakna perumpamaan dalam Injil menyangkut relasi dengan orang lain; dan
(4) Injili yang memiliki karakteristik agar semakin banyak orang terlibat dalam
Kerajaan Allah.