Upload
duongtu
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
51
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hak Asuh Anak Pada
Putusan Nomor: 0774/Pdt.G/2012/PA.Pas
Pasal 105 KHI berbunyi sebagai berikut :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua
belas) tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya.68
Pasal 149 KHI huruf (d) sebagai berikut:
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
Memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun.
Pasal 156 KHI sebagai berikut :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;
68 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta:Akademia
Presindo,2007), h 293.
52
2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. Saudara perempuan dari anak bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari bapak;
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
tercukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula;
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21) tahun.
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c),
dan (d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang tidak turut padanya.
Dalam pembahasan ini hanya di batasi mengenai Pasal 105 Kompilasi
Hukum Islam berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Sebagaimana telah
53
dikemukakan pada pendahuluan bahwa di dalam pasal 105 huruf (a)
Kompilasi Hukum Islam menyatakan “Pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya”.
Penulis berasumsi pasal ini masih multi tafsir terutama pada kata
“Mumayyiz”, karena baik didalam alquran maupun hadits dan literatur-
literatur fiqh tidak menyebutkan secara tegas berapa usia sebenarnya
seseorang bisa dikatakan telah “Mumayyiz”.
Disamping itu pasal tersebut memakai kata “atau”, hal ini bisa
ditafsirkan adanya pilihan hukum mengenai batas usia seseorang dikatakan
telah “Mumayyiz”. Kalaupun kata “Mumayyiz” dan “atau” dihilangkan dalam
pasal tersebut sehingga menjadi “Pemeliharaan anak yang belum berumur 12
(dua belas) tahun adalah hak ibunya”, apakah yang menjadi dasar hukumnya
sehingga batas usia 12 (dua belas) tahun tersebut dikatakan seorang
anak telah mumayyiz.
Selanjutnya Pasal 105 KHI huruf (b) dinyatakan bahwa “Pemeliharaan
anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara
ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya”. Pasal ini
mempunyai korelasi dan tidak dapat dipisahkan dengan Pasal 105 huruf (a)
KHI, artinya seorang anak yang telah berusia minimal 12 tahun mempunyai
hak khiyar (memilih) hadhanah apakah ingin diasuh dan/atau dipelihara oleh
ayahnya atau ibunya. Begitu juga dalam Pasal 105 huruf (c) KHI disebutkan
bahwa “biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya”, maksud dalam
pasal ini kurang lebih adalah tidak menjadi persoalan apakah anak tersebut
54
dalam huruf (a) dan (b) pasal 105 KHI tersebut dipelihara oleh ayah atau
ibunya biaya pemeliharaan tetap ditanggung oleh ayahnya sampai anak
tersebut berumur 21 tahun atau telah menikah sebagaimana pasal 45 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta pasal 149
huruf (d) dan pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam.
Sedangkan jika kita melihat pada kasus dalam Putusan Nomor:
0774/Pdr.G/2012/PA.Pas hakim mempertimbangkan Berdasarkan hasil rapat
keluarga pemohon dan termohon telah sepakat untuk membagi hak asuh anak
beserta kesanggupan untuk menyanggupi nafkah anak-anak tersebut. Yang
pada pembagian hak asuh tersebut adalah sebagai berikut: Anak pertama hak
asuhnya diberikan kepada orang tua pemohon, anak keempat hak asuhnya
diberikan kepada kakak termohon, anak kedua dan ketiga hak asuhnya
diberikan kepada termohon . Dan pemohon memberikan nafkah kepada kedua
anak yang diasuh oleh termohon sebesar Rp 600.000, (enam ratus ribu rupiah)
setiap bulan dan tidak menutup kemungkinan memberikan bantuan kepada
kedua anak pemohon dan termohon yang diasuh oleh keluarga jika pemohon
mempunyai rejeki lebih.
Hal tersebut diatas yang menjadi pertimbangan hakim sehingga hakim
memutuskan :
1. Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya
2. Memberi ijin kepada pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’I terhadap
termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama Pasuruan
55
3. Menetapkan pemeliharaan anak pertama bernama Jono lahir di Kota
Pasuruan umur 6 tahun di asuh oleh pemohon dan anak kedua, ketiga dan
keempat masing- masing bernama Joni umur 4 tahun, anak ketiga bernama
Jeni umur 3 tahun, dan anak keempat bernama Juna umur 1 tahun diasuh
oleh termohon.
4. Menghukum pemohon untuk membayar nafkah ketiga anaknya tersebut
minimal sebesar Rp. 600.000 setiap bulan sampai anak-anak tersebut
dewasa dan dapat berdiri sendiri.
Dari putusan tersebut di atas ada perbedaan antara Kompilasi Hukum
Islam yang seharusnya apabila anak yang masih belum mumayyiz hak
asuhnya jatuh kepada ibu akan tetapi hakim memutuskan anak yang masih
belum mumayyiz hak asuhnya jatuh kepada ayah. Sedangkan dalam kasus di
atas antara pemohon dan termohon di karuniai empat orang anak. Yang
masing-masing keempat anak tersebut belum mumayyiz . Yang menarik dan
perlu penulis kritisi terhadap putusan diatas kenapa hakim memutus anak
pertama hak asuhnya jatuh kepada ayahnya sedangkan anak kedua, ketiga, dan
keempat jatuh kepada ibu atau termohon. Jika melihat dari umur anak-anak
antara pemohon dan termohon kesemuanya ada di bawah umur atau belum
mumayyiz.
Analisis Penulis
Dalam kaitannya dengan putusan tersebut diatas ada hal yang menarik
perhatian penulis dari sudut pandang fiqih dan peraturan yang berlaku di
Indonesia yaitu siapakah yang mempunyai hak untuk melakukan pemeliharaan
56
anak terhadap anak yang belum cukup umur akibat perceraian, apakah hal
yang menyebabkan hadhanah seorang anak ada di tangan bapak, apa yang
menjadi pertimbangan hakim memutuskan hak tersebut ada di tangan bapak.
Seperti yang diuraikan sebelumnya dalam permasalahan hadhanah ibu
lebih berhak mendapatkan hdhanah ketika seorang anak masih di bawah umur
dan selama ibu belum menikah. Rasulullah bersabda dalam hadistnya:69
! إنه ابن هما; أنه امرأة قالت: ) ي رسول الله عن ىذا عن عبد الله بن عمرو رضي اللهري لو حواء, وإنه أبه طلهقن, وأراد أن كان بطن لو وعاء, وثديي لو سقاء, وحج
تزعو من ف قال لا رسول الله ملسو هيلع هللا ىلص أنت أحق بو, ما ل ت نكحي ( رواه أح د, وأبو ي ن حو الاكم داود, وصحه
Artinya : Dari Abdullah bin Amar bahwa ada seorang perempuan berkata:
Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang
mengandungnya, susuku yang memberinya minum, dan pangkuanku yang
melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku ingin merebutnya
dariku. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya:
"Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah." Riwayat
Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim (HR. Abu Dawud).
Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa hak asuh anak yang
belum mumayyiz adalah hak ibunya liat Pada Pasal 105 yang berbunyi: Dalam
hal terjadi perceraian: a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau
belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, b) pemelihaaan anak yang sudah
mumayyiz diserahkan untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai
pemegang hak emeliharaannya, c) biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.70
Hal ini dikarenakan ibu mempunyai tahap kasih sayang serta kesabaran yang
69
Abu Daud Sulaiman bin Al-As-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Dasar
Fikr,2003),h 525. 70
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta:Akademia Presindo,2007),
h 293.
57
lebih tinggi, selain itu seorang ibu lebih lembut ketika menjaga dan mendidik
anak-anaknya yang masih dalam usia menyusui dan kurang umur ibu memiliki
sesuatu yang tidak dimiliki semua orang.
Dalam hal terjadi perceraian orang tua, biasanya anaklah yang menjadi
korban. Orang tua beranggapan dalam perceraian mereka persoalan akan
segera dapat di selesaikan. Padahal tidak demikian adanya dan tidak sederhana
itu untuk menyeleaikan masalah dengan perceraian. Bahwa penyelesaian
terbaik bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun
harus tetap di ingat bahwa anakk adalah individu yang mempunyai hak-hak
dasar yang diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Oleh karena itu, dalam
kasus perceraian diatas anak merpakan salah satu subjek. Dan kepentingan
anak tetap harus di prioritaskan.
Seorang anak yang belum mumayyiz masih berhak atas pengasuhan
kedua orang tuanya , walaupun orang tuanya sudah bercerai seperti dalam
kasus di atas. Dan pengasuha tersebut semata- mata hanya untuk kepentingan
anak –anak tersebut. Bila nantinya terjadi perselisihan dan penguasaan anak
maka pengadilan memberikan putusan yang seadil-adilnya tanpa sedikitpun
mengurangi hak-hak anak tersebut.
Sesuai dengan rumusan dan makna undang-undang, bahwa dalam
menentukan hak asuh anak yang harus di perhatikan adalah demi kepentingan
hukum anak-anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila
anak-anak tersebut di pelihara pemohon atau termohon mempunyai jaminan
soasial dan kesejahteraan yang lebih baik atau tidak. Meskipun sebelum di
58
proses ke pengadilan telah terjadi kesepakatan antara keluarga pemohon dan
keluarga termohon untuk membagi hak asuh anak-anak tersebut seperti yang
telah tertera di atas.
Akan tetapi penulis kurang sependapat dengan putusan hakim yang
memberikan hak asuh anak pertama yang masih belum mumayyiz jatuh
kepada ayahnya dan anak kedua, ketiga, dan keempat jatuh kepada ibunya
seharusnya apabila hakim beranggapan ayah lebih layak untuk mengasuh
maka keempat anak tersebut hak asuhnya dijatuhkan kepada ayahnya saja
dengan alasan ibu kurang perhatian terhadap anak-anaknya dan sering keluar
dengan alasan yang tidak jelas. Akan tetapi kalau pendapat penulis
pribadikarena keempat anak anatara pemohon dan termohon masih belum
mumayyiz maka sebaiknya hak asuh anak diserhakan kepada ibu dengan
pemantauan dari kedua pihak keluarga pemohon dan termohon. Sehingga
masa depan dan kehidupan anak-anaknya akan terjamin baik nafkah,
pendidikan dan kebutuhannya lainnya.
B. Upaya Pengadilan Agama Pasuruan Untuk Terlaksananya Eksekusi
Hadhanah
Sebuah rumah tangga yang mengalami perceraian sudah dapat di
pastikan akan menimbulkan beberapa akibat yang merugikan semua pihak
tanpa terkecuali.
Dalam hal ini tentunya akan membawa akibat hukum akan membawa
konsekuensi hukum, berupa hak dan kewajiban secara timbal balik antara
59
orang tua dengan anaknya.71
artinya anak mempunyai hak tertentu yang harus
di penuhi oleh orang tuanya sebangai kewajibannya,dan sebaliknya orang tua
juga mempunyai hak yang harus di penuhi oleh anaknya sebagai
kewajibannya.
Dalam hal terjadinya perceraian, biasanya anaklah yang menjadi
korban. Orang tua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan
anak akan dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan.
Padahal tidak demikian adanya, dan tidak demikian sederhananya. Seperti
telah diketahui bersama bahwa permasalahan pengasuhan anak sering timbul
dalam kehidupan manusia, sebagai akibat dari perceraian yang di lakukan oleh
orang tuanya.
Bagi orangtua tentunya, menginginkan anak-anaknya tetap berada
didekat dan berada dalam asuhannya, tetapi mau tidak mau antara kedua
orangtua yang telah bercerai harus merelakan anak-anaknya berada dalam
penguasaan salah satu dari mereka, atau dengan jalan pembagian hak asuhnya
berdasarkan putusan hakim yang memutuskan perceraian mereka.
Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan
Agama yang diterima oleh kedua belapihak yang berperkara, putusan
perdamaian, putusan vrestek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau
banding, putusan pengadilan tinggi Agama yang diterima oleh kedua
belapihak dan tidak dimohonkan kasasi dan putusan Mahkama Agung dalam
hal kasasi.
71
L.J Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum,( Jakarta: Pradnya Paramita, 1980),h.53.
60
Menurut sifatnya ada tiga macam putusan, yaitu:72
1. Putusan declaratoir, adalah putusan yang hanya sekedar menerangkan atau
menetapkan suatu keadaan saja sehingga tidak perlu di eksekusi.
2. Putusan constitutief, yang menciptakan atau menghapuskan suatu
keadaan,tidak perlu dilaksanakan.
3. Putusan condemnatoir, merupakan putusan yang biasa dilaksanakan, yaitu
putusan yang berisi penghukuman,dimana pihak yang kalah dihukum
untuk melakukan sesuatu.
Eksekusi putusan hadhanah tidak diatur secara tegas dalam HIR –
R.Bg., atau peraturan perundang lain yang berlaku khusus bagi Pengadilan
Agama. Belum adanya hukum yang mengatur secara jelas mengenai eksekusi
putusan hadhanah tidak berarti bahwa putusan hadhanah itu tidak dijalankan
melainkan harus dapat dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang berlaku
secara umum.
Sebagaimana pendapat bapak Drs.H. Chafidz Syafiuddin. SH., M.H.
Bahwa putusan itu harus dieksekusi dan eksekusi itu harus diminta atau pihak
yang menang mengajukan permohonan eksekusi atau putusan hakim yang
sudah berkekuatan hukum tetap.73
Artinya seseorang dapat mengajukan
permohonan eksekusi hadhanah terhadap putusan yang sudah berkekuatan
hukum tetap, guna mendapatkan hak pemeliharaan anaknya.
72
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama,Buku II,(Jakarta:
Mahkamah Agung RI,2007),h.433. 73
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Chafidz Syafiuddin,SH.,M.H. Pasuruan, 10
November 2016.
61
Hakim hanya bersifat menunggu, artinya inisiatif untuk mengajukan
tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang berkepentingan,
artinya apakah aka nada proses perkara atau tidaknya hakim tidak akan
mencari, tetap hanya menunggu.
Sepedapat dengan beliau, menurut penulis berdasarkan data putusan
Pengadilan Agama Pasuruan pada tahun 2012 tentang hadhanah, hakim telah
memutuskan siapa pihak yang berhak mendapatkan hak asuh anak
(hadhanah). Maka apabila pihak tersebut belum mendapatkan haknya, maka
dapat mengajukan permohonan eksekusi hadhanah kepada ketua Pengadilan
Agama Pasuruan dengan dalil tidak dilaksanakannya putusan tersebut.
Setelah putusan dijatuhkan oleh Pengadilan Agama dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut harus di jalankan.
Permasalahan yang sering terjadi pada masyarakat sekarang ini pihak yang
dikalahkan tidak mau menyerahkan anak tersebut kepada pihak yang berhak.
Apabila terjadi hal yang demikian itu, ibu atau ayah dapat memohon eksekusi
kepada ketua Pengadilan Agama.
Tujuan akhir pencari keadilan adalah agar segala hak-haknya yang
dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan Hakim. Hal ini
dapat tercapai apabila putusan Hakim dapat dilaksanakan.74
Suatu putusan Hakim tidak akan ada artinya apabila tidak di eksekusi.
Oleh karena itu putusan Hakim itu mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu
74
Mukti Arto,Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,h.313.
62
kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan ini secara
paksa oleh alat-alat Negara.
Analisis Penulis
Sampai saat ini, eksekusi hak asuh anak (hadhanah) masih
diperselisihkan. Sebagaimana para ahli hukum mengatakan bahwa anak tidak
dapat dieksekusi, sedangkan sebagian lain lagi yang lain mengatakan bahwa
putusan mengenai hak asuh anak dapat di ekskusikan.
Para ahli hukum yang mengatakan bahwa eksekusi anak tidak boleh
dilaksanakan beralasan bahwa selama ini dalam praktik pengadilan yang ada
tentang eksekusi semuanya hanya dalam bidang hukum benda, bukan terhadap
orang. Oleh karena itu, eksekusi terhadap hak asuh anak sesuai dengan
kelaziman yang ada maka tidak ada eksekusinya, apalagi eksekusinya bersifat
deklatoir (menetapkan). Kenyataan yang ada selama ini, pelaksanaan eksekusi
hak asuh anak hanya bersifat sukarela, maksudnya tidak merupakan upaya
paksa.
Sedangkan ahli hukum yang memperolehkan eksekusi terhadap hak
asuh anak dapat di jalankan mengatakan bahwa perkembangan hukum yang di
anut akhir-akhir ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak yang
putusannya bersifat menghukum (condemnatoir), jika sudah berkekuatan
hukum tetap, maka putusan tersebut dapat dieksekusi. Pengadilan mempunyai
upaya paksa dalam melaksanakan putusan ini.
Jadi, seorang anak yang dikuasai oleh salah satu orangtuanya yang
tidak berhak sebagai akibat putusan perceraian, maka Pengadilan Agama
63
dapat mengambil anak tersebut dengan upaya paksa dan menyerahkan kepada
salah satu orangtua yang berhak untuk mengasuhnya.
Dalam pembahasan ilmu hukum, suatu putusan Hakim itu dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu:75
1. Secara sukarela, adalah putusan yang mana oleh para pihak yang kalah
dengan sukarela mentaati putusan tanpa pihak yang menang harus
meminta bantuan pengadilan atau mengeksekusi putusan tersebut.
2. Secara paksa, dalah putusan yang mana pihak yang menang dengan
meminta bantuan alat negara atau pengadilan untuk melaksanakan
putusan, apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan secara
sukarela.
Ketika putusan itu telah dijatuhkan oleh pengadilan, lalu pihak yang
dikalahkan tidak mau menyerahkan anak sebagai objek sengketa secara
sukarela, maka akan ditempuh prosedur eksekusi hak asuh anak (hadhanah).76
Sejalan dengan perkembangan kebutuhan praktek peradilan, eksekusi
putusan di Pengadilan Agama tidak hanya terbatas dalam bidang hukum
benda, dalam prakteknya sampai saat ini, eksekusi putusan telah mencakup
dalam eksekusi putusan hak asuh anak (hadhanah). Eksekusi hak asuh anak
merupakan sejumlah permasalahan yang begitu penting karena objek
perkaranya mengenai orang, sehingga tingkat keberhasilannya terbilang cukup
rendah bila dibandingkan dengan eksekusi di bidang hukum kebendaan.77
75
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan
Agama,(Jakarta:Kencana,2005),h.436. 76
Mukti Arto,Praktek Perkara Perdata pada PengadilanAgama,h.313. 77
Abdul Manan, Penerapan HukumAcara Perdata,h.435.
64
Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang memenuhi syarat
untuk dilaksanakan eksekusi, yaitu:
1) Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal :
pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih
dahulu, pelaksanaan putusan provisi, pelaksanaan akta perdamaian,
pelaksanaan (eksekusi) Grosse akta.
2) Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun
telah diberikan peringatan oleh ketua Pengadilan Agama.
3) Putusan Hakim bersifat Kondemnatoir, yaitu putusan yang amar putusan
bersifata menghukum atau memerintahkan pihak yang kalah untuk
memenuhi suatu prestasi tertentu.
4) Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan ketua Pengadilan
Agama.
Dalam hal ini Pengadilan Agama yang dimaksut adalah Pengadilan
Agama yang menjatuhkan putusan tersebut atau Pengadilan Agama yang
diberikan delegasi wewenang oleh Pengadilan Agama yang memutusnya.
Pengadilan Agama yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah
Pengadilan tingkat pertama. Pengadilan Tinggi Agama tidak berwenang
melakukan eksekusi.78
Mengenai pelaksanaan putusan yang tidak dilaksanakan pasal 196 HIR
menyebutkan bahwa:
78
Mukti Arto,Praktek Perkara Perdata pada PengadilanAgama,h.313.
65
“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi
keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan
permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat kepada ketua pengadilan
negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195 HIR, buat menjalankan
keputusan itu ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta
memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu didalam tempo yang
ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.79
Sebagaimana bapak Drs.H. Chafidz Syafiuddin. SH., M.H.
Mengatakan, bahwa dasar hukum yang dipakai dalam melaksanakan eksekusi
hadhanah, tetap menggunakan HIR (untuk wilayah jawa) dan RBG (untuk luar
jawa), eksekusi secara umum menggunakan aturan itu, terkait nafkah iddah,
hadhanah, putusan pengadilan harus dilaksanakan menggunakan aturan-aturan
umum. Dulu sebelum undang-undang nomor 7 tahun 1989 ada, eksekusi
keputusan Pengadilan Agama harus minta bantuan Pengadilan Negeri akan
tetapi sekarang Pengadilan Agama bisa melaksanakan eksekusi sendiri namun
tetap aturannya menggunakan HIR atau RBG.80
Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan hadhanah harus melalui
prosedur hukum yang berlaku dan apabila eksekusi tidak dilaksanakan sesuai
dengan prosedur hukum yang ditetapkan maka eksekusi tidak sah dan harus
79
Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB). 80
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Chafidz Syafiuddin,SH.,M.H. Pasuruan, 10
November 2016.
66
diulang.81
Adapun prosedur eksekusi putusan hadhanah secara kronologis
dapat dirinci sebagai berikut:
1. Putusan hadhanah tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap
2. Pihak yang kalah tidak mau melaksankan putusan hadhanah secara
sukarela
3. Pihak yang menang (Pemohon) mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Agama yang memutus perkara hadhanah
4. Pengadilan Agama telah menetapkan sidang Aanmaning
5. Telah melewati tenggang waktu atau teguran sesuai dengan pasal 207
R.Bg
6. Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan surat perintah eksekusi
7. Pelaksanaan eksekusi ditempat termohon eksekusi yang dihukum untuk
menyerahkan anak
8. Pelaksanaan eksekusi dibantu oleh dua orang saksi yang memenuhi unsur
sebagaimana tersebut dalam 210 ayat 2 R.Bg
9. Juru sita mengambil anak secara baik-baik sopan dan dengan tetap
berpegang kepada adat istiadat yang berlaku, kalau tidak di serahkan
secara sukarela maka dilaksanakan secara paksa
10. Juru sita membuat berita acara eksekusi yang ditanda tangani oleh jurusita
beserta dua orang saksi sebanyak lima rangkap.
Lebih lanjut pasal 180 HIR menyebutkan bahwa, ketua pengadilan
dapat memrintahkan supaya suatu putusan dilaksakan terlebih dahulu
81
Abdul Manan,Penerapan Hukum Acara Perdata,h.437.
67
walaupun ada upaya banding82
. Dalam pasal 64 undang-undang Peradilan
Agama, putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau karasi
pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali apabila apabila dalam amannya
menyatakan putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada
perlawanan banding atau kasasi.83
Jadi, terkait dengan eksekusi putusan mengenai hak asuh anak
(hadhanah) harus melihat kembali pada amar putusan tersebut apakah dalam
amar putusan tersebut telah ditentukan bahwa hak asuh anak ini dapat
dieksekusi walaupun ada upaya hukum banding maupun kasasi atau tidak
apabila amar putusan menyatakan dapat dieksekusi walaupun ada upaya
hukum banding maupun kasasi, maka putusan tersebut dapat langsung
dieksekusi.
Namun, dalam pelaksanaannya eksekusi mengenai hadhanah ini
menimbulkan banyak kesulitan, karena hal ini berbeda dengan eksekusi
perdata lainnya. Sebagaimana yang diutarakan oleh bapak Drs.H. Chafidz
Syafiuddin. SH., M.H, beliu mengatakan ada beberapa faktor yang
menyebabkan sulitnya eksekusi putusan hadhanah.84
Pertama, memang indonesia itu apabila merasa dikalahkan dalam
persidangan, mereka menganggap putusan yang diberikan majelis hakim tidak
adil atau hukum tidak adil, artinya kesadaran atau ketaatannya kepada hukum
itu masih rendah jangankan para pihak yang merasa dianggap “diperlakukan
82
Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB). 83
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
dirubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. 84
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Chafidz Syafiuddin,SH.,M.H. Pasuruan, 10
November 2016.
68
tidak adil” keputusan tata usaha Negara saja kalau perintah disalahkan, apakah
pemerintah itu mau melaksanakan dengan suka rela, itulah di indonesia.
Artinya pemerintah itu adalah orang yang mengerti hukum tetapi ketika
putusan tata usaha Negara merugikan pihak pemerintah terjadi juga perasaan
berat untuk melaksakan putusan tersebut.
Kedua, karena si anak ada di salah satu orang tuanya ( ibu/bapak )
ketika diputus sudah pindah alamat atau pindah wilayah dan sulit untuk
mencarinya akhirnya apabila terjadi seperti itu penyelesaian bukan lewat
pengadilan lagi melainkan mencari informasi oleh masing-masing pihak,
akibat tidak patuhnya terhadap hukum dan putusan pengadilan eksekusi
terhadap hadhanah ini termasuk perkara yang berat untuk diadili yang bapak
ibunya itu benar-benar tidak mau mengalah dan tetap mempertahankan
anaknya.
Jadi, dapat diketahui bahwa penyebab sulitnya pelaksanaan eksekusi
mengenai hadhanah dimaulai dari pihak yang tidak patuh dan hormat kepada
hukum dan pengadilan sehingga mereka tidak mau menjalankan isi putusan,
kemudian ditambah masalah berpindah-pindahnya wilayah tempat tinggal
yang dimana anak tersebut ada para pihak yang dikalahkan dan tidak diketahui
keberadaannya lagi. Apabila sudah seperti itu maka sulit untuk dilaksanakan
eksekusi, karena sudah bukan ranah Pengadilan lagi akan tetapi sudah
dikembalikan pada masing-masing pihak karena Pengadilan tidak mengurusi
sampai sejauh itu.
69
Berikut beberapa langkah untuk mencegah kemungkinan-
kemungkinan akan hampanya putusan hadhanah, yaitu sebagai berikut:
1. Mediasi sebagai penyelesaian Alternatif
Mediasi adalah sebuah lembaga perdamaian dalam rangka
meyelesaikan sengketa dengan perantaraan seorang atau lebih mediator
melalui prosedur non litigasi. Di samping itu mediasi merupakan salah
satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat
memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan
penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan islam
menyuruh untuk menyelesaikan setip perselisihan dengan melalui
pendekatan “islah” karena itu, tepat bagi para Hakim Pengadilan Agama
untuk menjalankan fungsi “mendamaikan” sebab bagaimanapun adilnya
suatu putusan, pasti lebih indah dan lebih adil hasil putusan itu berupa
perdamaian.85
Hukum acara yang berlaku, pasal 130 HIR / pasal 154 R Bg
mendorong pengadilan untuk menempuh proses perdamaian yang dapat
diintensifikan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam
prosedur perkara dipengadilan sejalan dengan hal tersebut Mahkamah
Agung telah menerbitkan peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di pengadilan.
Dalam pasal 2 ayat (3) peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 tersebut ditegaskan bahwa apabila tidak menempuh mediasi
85
Ahmad Mujahidin,Pembahruan Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama
danMahkamah Syariah di Idonesia, (Jakarta: IKAHI,2008),h.13.
70
berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan
pasal 130 HIR / pasal 154 R Bg yang mengakibatkan putusan batal demi
hukum ketentuan ini menunjukkan bahwa prosedur mediasi dalam proses
peradilan merupakan ketentuan imperatif.
Terkait dengan mediasi perkara sengketa hak asuh anak
(hadhanah), prosedur mediasi ini menjadi sangat penting bukan saja
karena ketentuan imperatif hukum acara atau karena kepentingan
penggugat dan tergugat, melainkan yang lebih penting justru karena
menyangkut pertimbangan semata-mata untuk kepentingan terbaik bagi
anak agar dapat menekan seminimal mungkin dampak buruk baik secara
psokologis, emosional, sosial, intelektual maupun spiritual bagi si anak
tersebut akibat dari persengketaan antara kedua orang tua anak itu.
2. Menerapkan lembaga Dwangsom dalam putusan hadhanah
Dwangsom atau lengkapnya dwangsom of astreinte (Belanda):
uang paksa, sejumlah uang yang harus di bayar oleh seseorang sebagai
hukuman berdasarkan putusan pengadilan, sepanjang atau sesering ia tidak
memenuhi kewajiban pokok yang dibebankan kepadanya oleh keputusan
pengadilan itu.86
Bahwa yang dimaksut dwangsom adalah uang paksa, sebegitu jauh
pengadilan memutuskan penghukuman untuk sesuatu lain daripada untuk
membayar sejumlah uang, maka dapatlah ditentukan di dalamnya, bahwa
jika, selama atau manakala si terhukum tidak/belum memenuhi keputusan
86
Andi Hamzah, Kamus Hukum, ( Jakarta:Ghalia Indonesia,1986), Cet.I,h.163.
71
tersebut, iapun wajib membayar sejumlah uang yang ditetapkan dalam
putusan itu, uang mana disebut uang paksa. Dengan demikian maka uang
paksa ini merupakan suatu alat eksekusi secara tak langsung.87
Persoalan mengenai boleh atau tidaknya menerapkan lembaga
dwengsom dalam putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para
praktisi hukum berpendapat bahwa lembaga dwengsom ini tidak boleh
diterapkan dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagai
praktisi hukum yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat
juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencantumkan
dwengsom itu pihak tergugat akan memenuhi isi outusan hakim jika ia
mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak
melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan kepadanya maka dapat
disimpulkan atas persoalan ini tampaknya pendapat yang terakhir
menginginkan diterapkan lembaga dwangsom dalam putusan hadhanah
apabila penerapan itu untuk tujuan kemaslahatan.88
Sebagaimana pendapat bapak Drs.H. Chafidz Syafiuddin. SH.,
M.H bahwa, bisa saja dengan putusan dwangsom (denda keterlambatan)
denda perhari. Pengadilan mungkin kalau ada permintaan itu bisa saja
memberikan pertimbangan, misalnya 500 ribu perhari apabila tidak
melaksanakan isi putusan.89
Artinya bisa saja dwangsom ini diterapkan
87
Soebekti, Kamus Hukum,(Jakarta: Pradnya Paramita,2005),Cet. XVI,h.37. 88
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan
Agama,(Jakarta:Kencana,2005),h.438. 89
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Chafidz Syafiuddin,SH.,M.H. Pasuruan, 10
November 2016.
72
melalui pertimbangan hakim, akan tetapi permohonannya tersebut harus
diletakkan dalam surat gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Agama
dengan menyebutkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum atau juga
dengan alasan adanya kekhawatiran penggugat kepada tergugat yang tidak
bersedia melaksanakan hukuman pokok sebagaimana yang ditetapkan oleh
hakim.
Dasar pemberlakuan/penerapan lembaga dwangsom (uang paksa)
dalam paraktek peradilan di indonesia adalah mengacu pada pasal 606 (a)
dan (b) Rechtsvordering pasal 606 a: “spanjang suatu putusan hakim
mengandung hukuman untuk suatu yang lain dari pada membayar
sejumlah uang, dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali
terhukum tidak mematuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan
sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam putusan hakim dan uang
tersebut dinamakan uangpaksa”. Pasal 606 (b) : “bila putusan tersebut
tidak di penuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk
melaksanakan putusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah
ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh atas hak baru menurut
hukum”
Sedangkan dalam R Bg dan HIR lembaga dwengsom tidak
disebutkan secara rinci lembaga dwangsom melalui dipergunakan oleh
raad van justice dan Hoegerechtteschof sejak tahun 1938 meletakkan
lembaga dwangsom merupakan tindakan logis yuridis dengan tujuan untuk
73
memaksa orang yang dikenakan hukuman itu agar serius dan tidak main-
main dalam mematuhi dan melaksanakan putusan hakim.
Dengan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa dwangsom
adalah suatu hukum tambahan pada orang yang dihukum untuk membayar
sejumlah uang selain yang telah disebutkan dalam hukuman pokok dengan
maksut agar ia bersedia melaksanakan hukuman pokok sebagaimana
mestinya.
Dengan pengertian ini dapat diketahui bahwa sifat dwangsom
adalah sebagai berikut:90
1. Merupakan accecoir, tidak ada dwangsom apabila tidak ada hukuman
pokok, apabila hukuman pokok sudah dilaksanakan maka dwangsom
yang ditetapkan bersama hukuman pokok tidak mempunyai kekuatan
lagi.
2. Merupakan hukuman tambahan, apabila hukuman pokok yang
ditetapkan oleh hakim tidak dipenuhi oleh tergugat (yang dihukum)
maka dwangsom itu dapat dieksekusi),
3. Merupakan hukuman psychis, dengan adanya dwangsom yang
ditetapkan oleh hakim dalam putusannya, maka orang yang dihukum
itu ditekan secara psychis agar ia dengan sukarela melaksanakan
hukuman pokok yang telah ditentukan oleh hakim.
Agar lembaga dwangsom ini dapat di cantumkan dalam putusan
hakim, maka penggugat harus meminta diletakkan dwangsom ini dalam
90
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan
Agama,(Jakarta:Kencana,2005),h.439.
74
surat gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Agama dengan
menyabutkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum. Alasan ini dapat
berupa hal yang dijanjikan sebelumnya antara penggugat dan tergugat,
atau juga dengan alasan adanya kekhawatiran penggugat kepada tergugat
yang tidak bersedia melaksanakan hukuman sebagaimana yang ditetapkan
oleh hakim.91
Dwangsom berbeda dengan ganti rudi sebagaimana diatur dlam
pasal 225 HIR, dan berbeda pula dengan kompensasi yang dikenal dalm
hukum perdata, sebab dalam dwangsom ini kewajiban yang disebut dalam
putusan hakim tetap ada dan tidak bisa diganti atau dihapus. Dengan
demikian lembaga dwangsom ini sangat tepat apabila deletakkan pada
putusan hadhanah karena dwangsom tersebut merupakan salah satu
strategis yang diyakini dapat mencegah putusan hadhanah menjadi ilusoir (
hampa ) yang memang selama ini disinyalir banyak putusan hadhanah
yang tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
91
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan
Agama,(Jakarta:Kencana,2005),h.440.