24
40 BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG VERIFIKASI FAKTUAL PARTAI POLITIK DALAM PERSPEKTIF KEADILAN (JUSTICE AS FAIRNESS) Bab ini secara spesifik menjawab masalah atau isu hukum penelitian, dalam hal ini menanggapi pendapat yudisial MKRI dalam Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017. Isu hukum yang dijawab oleh Putusan Nomor 53/PUU- XV/2017 adalah konstitusionalitas pengaturan tentang verifikasi faktual kepada partai politik peserta pemilu 2019 dalam UU Pemilu. Ketentuan ini dipermasalahkan secara konstitusional karena mengandung unsur perlakuan berbeda kepada partai-partai politik peserta pemilu 2019: ada kelompok partai politik yang wajib menjalani verifikasi faktual dan ada kelompok partai politik yang dibebaskan dari kewajiban untuk menjalani verifikasi faktual. Berdasarkan Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, ketentuan demikian sudah dinyatakan MKRI sebagai inkonstitusional dengan implikasi semua partai politik peserta pemilu 2019 harus menjalani verifikasi faktual. Poin utama analisis Bab ini adalah pendapat yudisial MKRI yang menjadi pertimbangan hukum putusan tersebut. Pendapat yudisial tersebut yang penulis kritik melalui penelitian ini. Dalam kritik tersebut, prinsip interpretif untuk Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 akan penulis terapkan sehingga, seperti penulis klaim, akan diberikan argumen keadilan yang lebih substantif untuk menjustifikasi kewajiban semua partai politik peserta pemilu 2019 untuk menjalani verifikasi faktual. Dengan kata lain, Bab II akan menjadi

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

40

BAB III

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG

VERIFIKASI FAKTUAL PARTAI POLITIK DALAM

PERSPEKTIF KEADILAN (JUSTICE AS FAIRNESS)

Bab ini secara spesifik menjawab masalah atau isu hukum penelitian,

dalam hal ini menanggapi pendapat yudisial MKRI dalam Putusan Nomor

53/PUU-XV/2017. Isu hukum yang dijawab oleh Putusan Nomor 53/PUU-

XV/2017 adalah konstitusionalitas pengaturan tentang verifikasi faktual kepada

partai politik peserta pemilu 2019 dalam UU Pemilu. Ketentuan ini

dipermasalahkan secara konstitusional karena mengandung unsur perlakuan

berbeda kepada partai-partai politik peserta pemilu 2019: ada kelompok partai

politik yang wajib menjalani verifikasi faktual dan ada kelompok partai politik

yang dibebaskan dari kewajiban untuk menjalani verifikasi faktual. Berdasarkan

Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, ketentuan demikian sudah dinyatakan MKRI

sebagai inkonstitusional dengan implikasi semua partai politik peserta pemilu

2019 harus menjalani verifikasi faktual.

Poin utama analisis Bab ini adalah pendapat yudisial MKRI yang menjadi

pertimbangan hukum putusan tersebut. Pendapat yudisial tersebut yang penulis

kritik melalui penelitian ini. Dalam kritik tersebut, prinsip interpretif untuk Pasal

27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 akan penulis terapkan

sehingga, seperti penulis klaim, akan diberikan argumen keadilan yang lebih

substantif untuk menjustifikasi kewajiban semua partai politik peserta pemilu

2019 untuk menjalani verifikasi faktual. Dengan kata lain, Bab II akan menjadi

Page 2: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

41

dasar dari pendapat hukum penulis pada Bab ini. Argumen ini jauh lebih baik dan

berbeda dengan pendapat yudisial MKRI dalam Putusan Nomor 53/PUU-

XV/2017.

A. Latar Belakang Pengaturan Verifikasi Faktual Partai Politik

Peserta Pemilu 2019

Dalam naskah Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan

Pemilihan Umum disebutkan bahwa partai politik menjadi peserta pemilu

merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh Komisi

Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). KPU melakukan verifikasi

terhadap kelengkapan dan kebenaran persyaratan, yang harus selesai

dilaksanakan paling lambat 15 (lima belas) bulan sebelum hari pemungutan

suara. Persyaratan partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu masih sama

dengan Pasal 8 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012.76

Penelitian keabsahan administrasi dan penetapan persyaratan partai

politik peserta pemilu dilakukan oleh KPU. Hasil penelitian administrasi dan

penetapan keabsahan persyaratan oleh KPU dipublikasikan melalui media massa

elektronik dan cetak.77 Partai politik yang ingin menjadi peserta pemilu dengan

mengajukan pendaftaran peserta pemilu kepada KPU. Pengaturan mengenai

pendaftaran sama dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 8 Tahun 2012, dimana

pendaftaran diajukan dengan surat yang ditandatangani oleh ketua umum dan

76 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum,

Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, 2 September 2016, Direktur Jenderal Politik dan

Pemerintahan Umum, hlm. 213 77 Ibid., hlm. 214

Page 3: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

42

sekretaris jenderal atau sebutan lain pada kepengurusan pusat partai politik.78

Gagasan tentang pengaturan verifikasi faktual partai politik dituangkan

dalam Pasal 143 Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan

Umum (RUU tentang Penyelenggaraan Penyelenggaraan Pemilu). Pasal 143 RUU

Penyelenggaraan Pemilu berbunyi sebagai berikut:

(1) Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah

ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.

(2) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:

a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai

Politik;

b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;

c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah

kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di

kabupaten/kota yang bersangkutan;

e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan

perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000

(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik

sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan

kepemilikan kartu tanda anggota;

g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat,

provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;

h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada

KPU; dan

i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai

politik kepada KPU.79

Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017,

Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu krusial/penting

dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, di situ Rapart Kerja

Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan

Pemerintah menyetujui isu-isu krusial/penting dalam RUU tentang

Penyelenggaraan Pemilu. Salah satu isu krusialnya yaitu Persyaratan Partai Politik

78 Ibid. 79 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.... Tahun ..... tentang Penyelenggaraan

Pemilihan Umum, hlm. 98

Page 4: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

43

menjadi Peserta Pemilu. Keputusan Rapat menyebutkan Disetujui Opsi 1, yaitu

Tetap sesuai RUU, dengan penambahan ayat (3) yang berbunyi:

“(3) Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai

Politik Peserta Pemilu.”80

Ketentuan Pasal 143 RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu dan

penambahan ayat (3) di atas, akhirnya dituangkan dalam Pasal 173 Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang secara

keseluruhannya berbunyi:

(1) Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah

ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.

(2) Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan:

a. berstatus badan hukum sesuai dengan undang-undang tentang Partai

Politik

b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;

c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen), jumlah

kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

d. memiliki kepengurusan jumlah kecamatan 50% (lima puluh persen)

kabupaten/kota yang bersangkutan;

e. menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan

perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1000

(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik

sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan

kartu tanda anggota;

g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat,

provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;

h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada

KPU; dan

i. menyeratrkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai

politik kepada KPU

(3) Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai

Partai Politik Peserta Pemilu.

80 Laporan Singkat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan

Pemilihan Umum, hlm. 2.

Page 5: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

44

Meski penjelasan pasal ini berbunyi, “cukup jelas”, tapi ketentuan Pasal

173 ayat (3) ini dipandang tidak terlalu jelas. Menurut Direktur Eksekutif

Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), Titi Anggraini, ketentuan

Pasal 173 ayat (3) dimaknai sebagai partai peserta Pemilu 2014 secara otomatis

menjadi peserta Pemilu 2019. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh beberapa

partai politik. Bahkan mereka mengajukan permohonan pengujian Pasal 173 ayat

(1) dan ayat (3) ke MKRI. Beberapa partai yang telah mengajukan permohonan

pengujian pasal tersebut, diantaranya, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai

Islam Damai Aman (IDAMAN), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai

Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Indonesia Kerja (PIKA).

Salah satu permohonan judicial review yaitu dari Partai Idaman, dengan

perkara nomor 53/PUU-XV/2017, tanggal registrasi 21 Agustus 2017, dengan

Objek Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa "telah ditetapkan", Pasal 173

ayat (3) dan Pasal 222 Bertentangan dengan Pasal Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat

(2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (2), Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (1),

Pasal 28 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28D ayat (3),

Pasal 28I ayat (2).81

Inti masalahnya bahwa Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU a quo

memberikan 2 opsi bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu tahun 2019

yakni bagi Partai Politik yang menjadi peserta pemilu tahun 2014 langsung

ditetapkan sebagai peserta pemilu sedangkan Partai Politik yang baru berbadan

hukum harus menjalani proses verifikasi sebelum ditetapkan sebagai Peserta

81 Periksa, http://www.dpr.go.id/jdih/perkara/id/1699/id_perkara/1025, diakses tanggal 18

November 2018

Page 6: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

45

Pemilu. Opsi yang diberikan ini bersifat diskriminasi terhadap Partai Politik yang

baru saja berbadan hukum.82

Terhadap permohonan tersebut, khususnya terkait dengan verifikasi

faktual partai politik, MKRI berkesimpulan bahwa berdasarkan penilaian atas

fakta dan hukum : (1) Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; (2)

Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk menngajukan permohonan a quo; (3)

Pokok permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 173 ayat (1) dan

ayat (3) UU Pemilu beralasan menurut hukum. Mahkamah Konstitusi menyatakan

: (1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; (2). Frasa ''telah

ditetapkan'' dalam Pasal 173 ayat (1) UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu

bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

(3). Pasal 173 ayat (3) UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan

UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.83

B. Pendapat Hukum dari Pemohon terkait Ketentuan Verifikasi

Faktual Partai Politik

Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) sangatlah

tidak adil dan bersifat diskriminatif karena hanya menetapkan partai politik

peserta pemilu pada pemilu terakhir (Pemilu 2014) secara nasional secara

otomatis ditetapkan sebagai peserta pemilu berikutnya (2019) dengan tanpa harus

melalui persyaratan-persyaratan verifikasi faktual dengan kondisi yang lebih berat

oleh KPU serta tidak adil dan diskriminatif. Ketentuan tersebut dianggap

82 Ibid. 83 Ibid.

Page 7: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

46

bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D

ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.84

Tindakan diskriminasi yang diciptakan Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa

“Telah Ditetapkan” dan Pasal 173 ayat (3) telah melanggar asas hukum yang

bersifat universal yakni Asas “Lex non distinglutur nos non distinguere

debemus”, hukum tidak membedakan dan karena itu kita harus tidak

membedakan. Pembentuk Undang-Undang dianggap telah menempatkan daulat

hukum di atas kepentingan pragmatis partai politik masing-masing untuk

menjegal Partai Politik yang baru berbadan hukum dan hal ini telah bertentangan

dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, “Segala warga negara kedudukannya di

dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan

itu dengan tidak ada kecualinya”.85

Oleh karena itu, keberadaan Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa “Telah

Ditetapkan” dan Pasal 173 ayat (3) UU No. 7/2017 telah membuat ketidakadilan

dalam memperoleh kesempatan yang sama untuk duduk di level eksekutif dan

legislatif dan hal ini telah bertentangan dengan asas Adil sebagaimana dimaksud

Pasal 22E UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 28D ayat

(1) UUD 1945 yang pada intinya menyatakan “Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama dihadapan hukum termasuk untuk memperoleh kesempatan

yang sama untuk duduk di level Eksekutif dan Legislatif ”.86

Lebih lanjut, terhadap ketentuan tersebut, Pemohon tidak mendapatkan

jaminan perlakuan yang sama dan kepastian hukum yang adil (fair legal

84 Putusan MKRI Nomor 53/PUU-XV/2017., hlm. 5-6 85 Ibid., hlm. 8-9 86 Ibid., hlm. 12

Page 8: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

47

uncertainty) dalam kepesertaan pemilu berikutnya (Pemilu 2019). Hal ini jelas-

jelas sudah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28C

ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD

1945.87

Sehingga, untuk mengatasi norma Pasal 173 ayat (1) sepanjang Frasa

“Telah Ditetapkan” dan Pasal 173 ayat (3) UU No. 7/2017 yang diskriminatif

tersebut, semua partai politik harus diberlakukan persyaratan yang sama untuk

satu kontestasi politik atau pemilihan umum yang sama, yaitu Pemilihan

Umum Tahun 2019. Hal ini sebagai wujud equal treatment yang dijamin UUD

1945 dalam Kepesertaan Pemilu Tahun 2019.88

C. Pendapat Hukum dari Pemerintah Terhadap Ketentuan

Verifikasi Faktual Partai Politik Peserta Pemilu

Untuk menanggapi permohonan Pemohon, pemerintah memiliki

argumentasi hukum yang berbeda dengan Pemohon. Pemerintah berargumentasi

bahwa partai politik peserta pemilu merupakan partai politik yang telah

ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal

173 ayat (1) UU 7/2017. Hal ini bermakna bahwa partai-partai yang mengikuti

pemilu adalah partai yang telah memiliki kualifikasi dan kompetensi berdasarkan

persyaratan tertentu yang digunakan sebagai tolak ukur kepercayaan rakyat

terhadap partai-partai tersebut.89 Pemerintah beranggapan bahwa prinsip seluruh

partai yang mengikuti pemilu mutlak dilakukan verifikasi, baik terhadap partai

87 Ibid., hlm. 16. 88 Ibid. 89 Ibid.

Page 9: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

48

lama maupun partai yang baru, namun bentuk verifikasinya yang berbeda.

Perbedaan tersebut bukanlah sebagai bentuk perlakuan yang tidak adil terhadap

partai peserta pemilu namun lebih pada percepatan proses, efisiensi dan

efektivitas proses verifikasi.90

Menurut pemerintah, saat ini terdapat 73 parpol yang mempunyai badan

hukum, di mana pada pemilihan umum tahun 2014 terdapat 61 parpol yang

dinyatakan tak lulus verifikasi dan saat ini ingin berpartisipasi pada Pemilu 2019.

Terhadap parpol yang tidak lolos verifikasi tersebut maka wajib mendaftar dan

diverifikasi kembali. Namun terhadap 12 parpol lainnya tidak perlu verifikasi

kembali karena sudah dikategorikan telah lolos dalam verifikasi sebelumnya

yaitu Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),

Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),

Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golkar, Partai Demokrat,

Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai

Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB), serta Partai Keadilan

dan Persatuan Indonesia (PKPI).91

Terhadap partai yang telah lolos dalam verifikasi pada pemilihan umum

tahun 2014, pemerintah tetap akan melakukan pendataan dan melakukan

penelitian administratif untuk mencocokkan kebenaran dan keabsahan peserta

parpol tersebut, namun tidak perlu dilakukan diverifikasi ulang. Hal ini

mengingat verifikasi ulang justru akan menghabiskan anggaran dan waktu

pelaksanaan, karena alat ukur verifikasi sama dengan sebelumnya, hal inilah

yang menjadi alasan utama tidak dilakukannya verifikasi terhadap partai yang

90 Ibid. 91 Ibid., hlm. 35-36

Page 10: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

49

telah mengikuti sebelumnya yaitu dalam rangka efisiensi anggaran dan efektifitas

waktu yang digunakan dalam proses verifikasi peserta pemilu tahun 2019.92

Oleh karena itu, pemerintah berargumentasi bahwa pengaturan mengenai

verifikasi partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3)

UU tentang Pemilu tidaklah mengakibatkan pengakuan hak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang

sama sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjadi

terabaikan. Justru dengan adanya pengaturan mengenai verifikasi partai politik

dalam UU yang diuji itu telah tegas memberikan jaminan kepastian hukum yang

adil, mengingat bahwa pengaturan verifikasi tersebut berlaku untuk seluruh

partai politik yang telah ditetapkan lulus verifikasi sehingga tidak perlu verifikasi

ulang serta terhadap partai politik baru yang memang belum pernah dilakukan

verifikasi sebelumnya, sehingga menurut pemerintah justru malah akan

menimbulkan ketidakadilan apabila menyamakan antara partai politik yang

pernah dilakukan verifikasi dengan partai politik baru yang memang belum

pernah dilakukan verifikasi sama sekali terhadapnya.93

D. Pendapat Hukum dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia (DPR RI) Terhadap Ketentuan Verifikasi Faktual

Partai Politik Peserta Pemilu

Hampir senada dengan pemerintah, pandangan DPR RI mengenai

ketentuan Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa “telah ditetapkan” dan Pasal 173

ayat (3) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

92 Ibid., hlm. 36 93 Ibid., hlm. 36-37

Page 11: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

50

karena norma pasal yang dimohonkan untuk diuji justru memberikan kesempatan

bagi seluruh partai politik untuk dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu

sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang untuk

kepastian hukum yang adil bagi semua parti politik peserta Pemilu.94 Menurut

DPR RI, perlakuan yang tidak sama tidak serta merta bersifat diskriminatif,

demikian pula bahwa esensi keadilan bukan berarti harus selalu sama, melainkan

perlu pula dilihat secara proporsional.95

Norma yang dimohonkan untuk diuji tersebut pada pokoknya

mengandung maksud bahwa peserta pemilu adalah partai-partai politik yang

telah ditetapkan oleh KPU sebagai partai politik peserta pemilu. Pada prinsipnya

UU mengatur bahwa partai politik yang ditetapkan sebagai peserta pemilu adalah

partai politik yang ditetapkan KPU karena telah memenuhi persyaratan Pasal 173

ayat (2) berdasarkan hasil verifikasi. Selanjutnya terdapat partai-partai yang

sudah pernah diverifikasi berdasarkan Pasal 173 ayat (2) (yang substansinya

memang disamakan persis dengan persyaratan yang ada pada UU sebelumnya)

dan dinyatakan lulus, namun ada pula partai politik yang belum pernah

diverifikasi dengan persyaratan tersebut. Dengan kata lain ada 2 (dua) kategori,

yakni partai politik yang lulus karena memenuhi persyaratan verifikasi yang

diatur di Pasal 173 ayat (2) UU tentang Pemilu dan partai politik yang sudah

pernah lulus verifikasi yang diatur di Pasal 173 ayat (2) UU tentang Pemilu

tersebut. Dengan demikian penekanannya adalah verifikasi, bukan mengenai

partai politik lama atau partai politik baru sebagai dinyatakan oleh Para

94 Ibid. 95 Ibid., hlm. 69

Page 12: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

51

Pemohon.96

Oleh karena itu, menurut DPR RI, partai politik yang sudah pernah

diverifikasi tidak hanya terbatas pada partai politik yang berhasil menempatkan

wakilnya di DPR RI, melainkan juga seluruh partai politik peserta pemilu yang

dinyatakan lulus verifikasi pada pemilu sebelumnya, meskipun tidak dapat

menempatkan wakilnya di DPR RI karena tidak memenuhi ambang batas. Hal

tersebut menunjukkan bahwa asumsi para Pemohon yang beranggapan

pembentuk UU tendensius dan hanya mementingkan partai politik yang

memperoleh kursi di DPR RI adalah tidak benar dan tidak berdasar.97

Terhadap perlakuan yang bertentangan dengan kemerdekaan berserikat

dan berkumpul (Pasal 28 ayat (1) UUD 1945) dan perlakuan tidak setara, DPR

RI berpendapat bahwa dalil tersebut tidak benar dan tidak berdasar. Hal ini dapat

dilihat dengan mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-

X/2012, mengingat dalam pembahasan perumusan norma tersebut, pembentuk

undang-undang sangat mencermati putusan tersebut dan dijadikan pegangan oleh

pembentuk undang-undang. Pada halaman 93 Putusan MK tersebut disebutkan:

“Untuk mencapai persamaan hak masing-masing partai politik ada dua solusi yang

dapat ditempuh yaitu, pertama, menyamakan persyaratan kepesertaan Pemilu antara

partai politik peserta Pemilu tahun 2009 dan partai politik peserta Pemilu tahun 2014,

atau kedua, mewajibkan seluruh partai politik yang akan mengikuti Pemilu tahun 2014

dengan persyaratan baru yang ditentukan dalam Undang-Undang a quo”.98

Berdasarkan pendapat Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut, pembentuk undang-undang memutuskan pilihan dengan menyamakan

persyaratan kepesertaan pemilu antara partai politik peserta pemilu 2014 dengan

partai politik peserta pemilu 2019. Meskipun dalam pembahasan terdapat 96 Ibid. 97 Ibid., hlm.69-70 98 Ibid.

Page 13: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

52

keinginan untuk merumuskan syarat-syarat baru, namun pada akhirnya

disepakati untuk tetap menggunakan syarat sama seperti yang sebelumnya,

sesuai pendapat Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.99

Hal lainnya adalah kemanfaatan yang muncul dari norma dalam Pasal

173 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemilu. Adapun sebagaimana diketahui bahwa

sebelum pembentukan UU Pemilu ini, DPR RI sudah pernah mendapatkan

gambaran biaya dari KPU mengenai besaran biaya yang dibutuhkan untuk

Pemilu 2019, dan dana yang begitu besar dikeluarkan untuk kepentingan

verifikasi faktual partai politik yakni sebesar 600 miliar. Oleh karena itu pula,

maka pembentuk undang-undang rela untuk tidak diverifikasi kembali hal ini

dengan niatan mulia atas dasar menghemat anggaran negara. Sehingga dengan

ini pula maka nilai kemanfaatan norma ini begitu besar.100

Selain itu, pembentuk undang-undang dalam membentuk suatu norma

selalu dihadapkan dengan kewajiban bahwa suatu norma harus dapat membawa

kemanfaatan. Apalah artinya norma yang ada dibuat namun memunculkan

keresahan. Hal ini juga tidak sejalan dengan prinsip hukum itu sendiri yang

seharusnya mengandung nilai-nilai dasar yakni nilai keadilan (gerechtigkeit),

nilai kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan nilai kepastian (rechtssicherheit).

Radbruch menyebut nilai kemanfaatan sebagai tujuan keadilan atau finalitas.

Kemanfaatan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan

tujuan yang hendak dicapai. Isi hukum berkaitan secara langsung dengan

keadilan dalam arti umum, sebab hukum menurut isinya merupakan perwujudan

keadilan tersebut. Tujuan keadilan umum adalah tujuan hukum itu sendiri yaitu

99 Ibid., hlm. 70-71 100 Ibid., hlm. 71

Page 14: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

53

memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Menurut Sudikno Mertokusumo,

hukum yang dimaksud dibuat untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau

penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.

Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan, timbul

keresahan di dalam masyarakat. Oleh karena itu pembentuk undang-undang

dalam hal ini membuat norma yang membawa kemanfaatan dalam Pasal 173

ayat (1) dan ayat (3) UU Pemilu.101

Ketentuan mengenai verifikasi partai politik peserta pemilu merupakan

bentuk upaya penyederhanaan jumlah partai politik yang akan ikut dalam Pemilu

Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut sejalan dengan tujuan dibentuknya

UU Pemilu, dalam penjelasan umum yang mengemukakan bahwa pengaturan

terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam UU dimaksudkan untuk

menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif, dimana Presiden dan wakil

Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat,

namun dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan juga diperlukan

basis dukungan DPR RI. Pemerintahan tanpa dukungan parlemen yang kuat

sangat sulit untuk merealisasikan program yang telah disusun.102

E. Pertimbangan Hukum dari Mahkamah Konstitusi Terhadap

Ketentuan Verifikasi Faktual Partai Politik Peserta Pemilu

Berkenaan dengan persoalan konstitusional mengenai persoalan verifikasi

partai politik peserta pemilu yang terkait dengan konstitusionalitas Pasal 173 ayat

(3) juncto Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu, menurut MKRI bahwa konstruksi dari

101 Ibid., hlm. 71-72 102 Ibid., hlm.72-73

Page 15: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

54

kedua norma tersebut berkaitan satu sama lain. Dengan membaca konstruksi Pasal

173 secara utuh, keberadaan frasa “telah ditetapkan” dalam Pasal 173 ayat (1) UU

Pemilu sesungguhnya mengandung ketidakpastian hukum, karena frasa “telah

ditetapkan” disejajarkan dengan frasa “lulus verifikasi” dengan menggunakan

tanda baca “/” (garis miring). Frasa “telah ditetapkan/” sesungguhnya merupakan

tindakan administratif menetapkan, sedangkan lulus verifikasi hanya baru sebatas

hasil pengecekan terhadap keterpenuhan sesuatu syarat yang ditentukan UU, di

mana hasil verifikasi itulah kemudian yang akan berujung dengan adanya

tindakan penetapan dan oleh karena itu keduanya merupakan dua hal yang

berbeda dan tidak dapat disetarakan sebagaimana dalam rumusan Pasal 173 ayat

(1) UU Pemilu.103

Lebih lanjut, MKRI mengungkapkan bahwa konstruksi pemahaman

demikian linear dengan norma Pasal 179 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan,

“Partai Politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 178 ditetapkan sebagai peserta Pemilu oleh

KPU”. Artinya, hasil verifikasi merupakan hasil pemeriksaan terhadap

keterpenuhan syarat yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan penetapan sebagai

peserta pemilu oleh KPU. Dengan menghubungkan keberadaan Pasal 173 ayat (1)

dengan Pasal 179 ayat (1) UU Pemilu, maka benar bahwa keberadaan frasa “telah

ditetapkan/” telah menimbulkan ketidakpastian dan dapat menjadi salah satu

penyebab terjadinya perlakuan berbeda antarpartai politik peserta Pemilu.104

Sekalipun demikian, meskipun frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal 173

ayat (1) UU Pemilu telah menimbulkan ketidakpastian dan dapat menyebabkan

103 Ibid., hlm. 108 104 Ibid., hlm. 108-109

Page 16: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

55

terjadinya perlakuan berbeda, namun hal tersebut belum sepenuhnya dapat

disimpulkan demikian sebagaimana didalilkan Pemohon sebelum terlebih dahulu

mempertimbangkan norma Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu. Oleh karena itu,

pertimbangan hukum selengkapnya terkait frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal

173 ayat (1) UU Pemilu akan dipertimbangkan lebih lanjut bersama-sama dengan

pertimbangan konstitusionalitas Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu.105

Menurut MKRI, terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu,

pada pokoknya norma tersebut memuat norma bahwa untuk partai politik yang

telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat

(2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu.

Hal ini mengandung makna bahwa ada partai politik peserta Pemilu yang

dikategorikan telah lulus verifikasi dengan syarat yang telah ditentukan dan ada

partai politik calon peserta pemilu yang belum lulus verifikasi. Dengan ketentuan

tersebut, terhadap dua kelompok partai politik calon peserta Pemilu tersebut diatur

atau diterapkan perlakuan berbeda.106

Pengaturan tentang pengelompokan sekaligus perlakuan yang

membedakan antarpartai politik calon peserta Pemilu sebelumnya telah pula

pernah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 8/2012)

yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang

memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional

ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”.

105 Ibid., hlm. 109 106 Ibid., hlm. 109

Page 17: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

56

Dalam ketentuan tersebut, perbedaan perlakuan terhadap partai politik calon

peserta pemilu dilakukan atas dasar partai politik yang memenuhi ambang batas

perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional dengan partai politik yang

tidak memenuhi ambang batas dan partai politik baru.107

Berdasarkan pertimbangan dalam pengujian terhadap ketentuan UU

8/2012 yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap partai

politik calon peserta pemilu, dapat ditarik benang merah yang harusnya

dipedomani pembentuk undang-undang dalam menentukan syarat maupun untuk

menerapkan syarat kepada setiap calon peserta pemilu. Benang merah dimaksud

adalah (a) Norma UU Pemilu tidak boleh memuat norma yang pada pokoknya

mengandung perlakuan berbeda terhadap calon peserta pemilu, sebab perlakuan

berbeda bertentangan dengan hak atas kesempatan yang sama di dalam hukum

dan pemerintahan; (b) Perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta

pemilu dapat dihindari dengan cara bahwa dalam pelaksanaan pemilu, setiap

partai politik calon peserta pemilu harus mengikuti verifikasi.108

Sekalipun perlakuan berbeda melalui penerapan norma secara berbeda kepada

subjek hukum yang diaturnya bukanlah sesuatu yang tidak selalu dilarang atau

bertentangan dengan UUD 1945, namun pada ranah kepesertaan dalam kontestasi

politik seperti pemilu, perlakuan berbeda sama sekali tidak dapat dibenarkan. Hal

mana, perlakuan berbeda dimaksud tidak sesuai dengan jaminan pemberian

kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk duduk dalam

pemerintahan. Menurut Mahkamah, perlakuan berbeda terhadap calon peserta

pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan konstitusi. Hal mana bukan saja

107 Ibid., hlm. 109-110 108 Ibid., hlm. 111

Page 18: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

57

karena hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan yang sama

dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D

ayat (3) UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab

terjadinya ketidakadilan Pemilu.109

Untuk memastikan tidak ada perlakuan berbeda terhadap setiap calon

peserta pemilu, dari dua kemungkinan alternatif jalan yang dapat ditempuh

sebagaimana dimuat dalam Putusan tersebut, MKRI telah menentukan caranya,

yaitu dengan melakukan verifikasi terhadap seluruh partai politik calon peserta

pemilu 2014. Sementara pembentuk UU Pemilu dalam merumuskan Pasal 173

ayat (3) UU Pemilu justru memberikan perlakuan yang berbeda terhadap partai

politik yang memiliki kursi di DPR berdasarkan hasil pemilu 2014.110

Selain pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, MKRI memandang

penting untuk menekankan mengenai Keadilan bagi Setiap Calon Peserta

Pemilu. Menurut MKRI, perlakuan berbeda terhadap calon peserta pemilu

merupakan hal yang bertentangan dengan konstitusi. Hal mana bukan saja karena

hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan yang sama dalam

pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3)

UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab

terjadinya ketidakadilan pemilu. Merujuk salah satu indikator keadilan pemilu

adalah perlakuan yang sama atau setara antarpeserta pemilu. Baik perlakuan yang

sama antarpeserta pemilu anggota DPR dan DPRD maupun antarseluruh peserta

pemilu yang ditentukan dalam UUD 1945.111

109 Ibid., hlm. 111-112 110 Ibid., hlm. 112 111 Ibid., hlm. 113

Page 19: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

58

Terkait perlakuan yang sama antarpeserta pemilu anggota DPR dan

DPRD, maka seluruh syarat dan penetapan syarat bagi partai politik untuk

menjadi peserta pemilu tidak dapat dibeda-bedakan, baik karena alasan bahwa

partai politik dimaksud memiliki kursi di DPR atau DPRD maupun karena alasan

telah mendapat dukungan dari rakyat melalui pemilu. Perolehan suara partai

politik dan kursi dalam suatu pemilu haruslah dibedakan dari syarat yang harus

dipenuhi setiap partai politik calon peserta pemilu. Dalam hal satu partai politik

tentu memperoleh suara dan kursi dalam pemilu, tidak berarti bahwa hal itu

menjadi alasan bagi partai politik dimaksud untuk langsung dapat ditetapkan

menjadi peserta pemilu berikutnya atau menjadi peserta pemilu tanpa harus

diverifikasi lagi keterpenuhan syarat sebagai calon peserta pemilu.

Bagaimanapun, perolehan suara dan kursi merupakan indikator kepercayaan

rakyat terhadap partai politik dalam sebuah pemilu, sedangkan keterpenuhan

syarat untuk menjadi calon peserta pemilu merupakan indikator bahwa partai

politik dimaksud masih layak untuk turut dalam kontestasi memperebutkan

kepercayaan rakyat dalam pemilu.112

Terkait perlakuan yang sama antar seluruh peserta pemilu, maka perlakuan

dalam pemenuhan syarat untuk ditetapkan sebagai peserta pemilu tidak boleh

dibedakan antara calon peserta pemilu anggota DPR dan DPRD dengan calon

peserta pemilu perseorangan. Dalam hal ini, Mahkamah sependapat dengan

keterangan yang disampaikan ahli dalam persidangan menyangkut substansi

verifikasi kepesertaan pemilu, dalam hal bahwa seluruh peserta pemilu, baik

partai politik maupun perseorangan haruslah diperlakukan sama dalam hal

112 Ibid., hlm. 114

Page 20: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

59

bagaimana masing-masing peserta pemilu dimaksud memenuhi syarat sebagai

peserta pemilu.113

Sehubungan dengan itu, sepanjang sejarah pemilu yang dilaksanakan

setelah perubahan UUD, calon peserta pemilu sama sekali tidak pernah tidak

diverifikasi keterpenuhan syaratnya. Apakah perseorangan untuk calon anggota

DPD dimaksud merupakan calon anggota DPD yang telah dinyatakan memenuhi

syarat sebelumnya, sama sekali tidak dibebaskan dari proses verifikasi

keterpenuhan syarat sebagai calon. Semua calon peserta pemilu anggota DPD,

calon baru ataupun petahana, sama-sama harus mendaftar dan diverifikasi lagi

seluruh syarat yang ditentukan.114

Berdasarkan uraian di atas, menurut MKRI, dalil Pemohon agar frasa

“telah ditetapkan/” dalam Pasal 173 ayat (1) dan seluruh norma dalam Pasal 173

ayat (3) UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah beralasan menurut hukum.115

F. Kritik Substantif Terhadap Pendapat Yudisial Mahkamah

Konstitusi

Isu hukum penelitian ini adalah apakah verifikasi faktual partai politik

calon peserta pemilu 2019 kepada semua partai politik seperti tertuang dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, telah sesuai dengan

prinsip keadilan?”. Berdasarkan isu hukum tersebut, maka hanya point tertentu

113 Ibid. 114 Ibid. 115 Ibid.

Page 21: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

60

dari pendapat yudiasial MKRI yang akan dikiritisi. Pendapat MKRI tersebut

secara spesifik adalah:

“Keadilan Bagi Setiap Calon Peserta Pemilu. Perlakuan berbeda terhadap calon

peserta Pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan Konstitusi. Hal mana bukan

saja karena hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan yang sama

dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3)

UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab terjadinya

ketidakadilan Pemilu. Merujuk salah satu indikator keadilan Pemilu adalah perlakuan

yang sama atau setara antarpeserta Pemilu. Baik perlakuan yang sama antarpeserta

Pemilu anggota DPR dan DPRD maupun antarseluruh peserta Pemilu yang ditentukan

dalam UUD 1945.....”116

Pendapat MKRI di atas dapat dikategorikan sebagai pendapat formal

karena MKRI hanya melihat bahwa partai-partai tersebut merupakan partai-partai

calon peserta pemilu 2019. Padahal kondisinya berbeda, karena ada partai politik

yang telah berkompetisi dalam pemilu 2014 dan ada partai politik yang baru akan

ikut berkompetisi dalam pemilu 2019. Pendapat itu tidak memuaskan dalam

menjustifikasi inkonstitusionalitas Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 173 ayat (3) UU

7/2017. Oleh karena itu, meski setuju dengan kesimpulan bahwa pasal tersebut

inkonstitusional, tetapi penulis akan mengemukakan argumen substantif yang

lebih memuaskan dari pendapat MKRI di atas.

Partai politik yang berkompetisi dalam pemilu 2014 dan turut andil dalam

pengesahan UU 7/2017 tentang Pemilu telah memiliki dukungan dari rakyat, salah

satunya dengan memiliki kursi di DPR RI (“Partai Senayan”). Sebaliknya ada

pula partai politik yang baru akan turut berkompetisi dalam pemilu 2019 (“Parpol

Baru”). Sehingga kondisi untuk berkompetisi dalam pemilu 2019 sangatlah

berbeda. Oleh karena itu, pertanyaannya apakah “Partai Senayan” berhak untuk

dibedakan dari “Partai Baru” terkait dengan pengecualian verifikasi faktual partai

politik peserta pemilu 2019?

116 Ibid

Page 22: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

61

Menurut hemat penulis, “Parpol Senayan” tidak berhak dibedakan dengan

“Parpol Baru” karena “Parpol Senayan” telah mengikuti kompetisi di pemilu

sebelumnya. Sehingga “Parpol Senayan” lebih memiliki kesempatan untuk

menjadi peserta pemilu di pemilu berikutnya. Selain itu, “Parpol Senayan” telah

memiliki sumber daya yang dibutuhkan agar bisa turut serta dalam pemilu 2019.

Sumber daya tersebut antara lain, terpenuhinya legalitas sebagai partai politik dan

telah mendudukkan kader-kadernya sebagai anggota legislatif. Terlebih lagi,

“Parpol Senayan” juga telah memiliki kepengurusan sampai ke desa-desa.

Dworkin dalam Marzuki mengemukakan, “rights are best understood as

trumps over some background justification for political decisions that the state a

good for the community as a whole”.117 Lebih lanjut, Dworkin menyatakan bukan

hak yang diciptakan oleh hukum, melainkan hak yang memaksa adanya hukum.118

Terkait dengan hak, dalam justice as fairness, Rawls mengungkapkan:

Each person has an equal right to a fully adequate scheme of equal basic liberties which

is compatible with a similar scheme of liberties for all.119

Oleh Rawls, asas hak tersebut dijustifikasi dengan kekuatan moral yaitu:

First, the capacity for a sense of justice, exercised in deliberating with others about the

form of shared social institution, and second, the capacity for a conception of the good,

exercised in deliberating about how to live one’s own life.120

Kedua argumen tersebut tampak menonjol dalam penguatan tradisi hak.

Bila dikaitkan dengan argumen tersebut, “Partai Senayan” tidak memiliki alas hak

untuk membuat UU, terkait dengan verifikasi faktual partai politik peserta pemilu

2019, yang menguntungkan dan bermuara mengecualikan mereka dari proses

117 Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, hlm. 178 118 Ibid., hlm.180. 119 Rawls, John, 1996, Political Liberalism, Columbia University Press, New York, hlm. 291. 120 Ibid., hlm. 332-333

Page 23: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

62

verifikasi faktual partai politik peserta pemilu 2019. Selain itu, “Parpol Senayan”

juga telah melakukan tindakan “tidak bermoral” karena tanpa alas hak telah

membuat UU yang menguntungkan mereka dengan membebankan beban yang

lebih berat (verifikasi faktual partai politik peserta pemilu 2019) kepada pihak lain

(“Partai Baru”).

Terlebih lagi, pengaturan mengenai verifikasi faktual partai politik peserta

pemilu telah pernah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU tentang Pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD, dan DPRD121, dan oleh MKRI, pengaturan itu dianggap

inkonstitusional terhadap UUD NRI 1945 melalui Putusan MKRI Nomor

52/PUU-X/2012. Meski DPR RI memiliki kewenangan open legal policy untuk

membuat UU, tapi tindakan “Partai Senayan” dengan menghidupkan kembali

norma yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 merupakan tindakan yang tidak

memiliki alas hak dan alas moral.

Ihwal dihidupkannya kembali norma yang telah pernah dinyatakan

inkonstitusional oleh Mahkamah, telah ditegaskan Mahkamah dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XIV/2016, bertanggal 28 September

2017, yang menyatakan antara lain:

“Sebagai institusi yang diberikan wewenang konstitusional oleh konstitusi untuk

menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 langkah yang paling mungkin dilakukan

Mahkamah merespon dan sekaligus mengantisipasi segala macam pengabaian terhadap

norma-norma atau bagian-bagian tertentu suatu Undang-Undang yang telah

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tetapi dihidupkan kembali dalam revisi

Undang-Undang atau dalam Undang-Undang yang baru, maka bagi Mahkamah hal

demikian akan menjadi bukti yang tidak terbantahkan untuk menyatakan norma

Undang- Undang yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945”.122

121 Pasal 8 ayat (1) UU No. 8/2012 menyatakan “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu

terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional

ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”. 122 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, hlm. 119

Page 24: BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu

63

Berdasarkan argumen-argumen di atas, bila dikaitkan dengan prinsip

keadilan Rawls (justice as fairness) khususnya mengenai prinsip perbedaan (the

difference principle), Rawls menyatakan,“they are to be to the greatest benefit of

the least advantaged members of society”123, maka “Parpol Senayan” bukan

merupakan (kelompok) masyarakat yang ‘disadvantage’/’vulnerable’. Karena

mereka telah memiliki pengalaman di pemilu 2014 dan telah mendudukkan

anggotanya menjadi legislator. Sehingga sudah selayaknyalah apabila “Parpol

Senayan” tidak masuk kualifikasi untuk diperlakukan secara berbeda dengan

“Parpol Baru”. Oleh karena itu, sepatutnyalah apabila “Parpol Senayan” juga

harus mengikuti verifikasi faktual partai politik dan tidak layak berlindung di

sebalik prinsip perbedaan.

123 Rawls, John, 1993, Op.Cit., hlm. 5-6