BAB Ikmb Cedera Kepala

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cedera kepala

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangSistem persarafan terdiri atas otak, medula spinalis, dan saraf perifer. Struktur ini bertanggung jawab mengendalikan dan menggordinasikan aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls tersebut berlangsung melalui serat-serat saraf dan jaras-jaras. Secara langsung dan terus menerus. Perubahan potensial elektrik menghasilkan respons yang akan mentransmisikan sinyal-sinyal ( Batticaca, F., 2008 ).Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian kranium(adakalanya disebut kalvaria) terdiri atas delapan tulang, dan kerangka wajah terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah ( Pearce, E., 2002 ).Cedera kepala adalah merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak ( Pierce & Borley, 2006 ).Komplikasi yang ditakutkan pada cedera kepala adalah terjadinya hematoma subdural atau epidural, yang dapat mengakibatkan herniasi dan penekanan batang otak yang berakibat fatal (Weiner, H. L., 2001).Kraniotomi adalah mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Prosedur ini dilakukan untuk meghilangkan tumor, mengurangi tekanan intakranial, mengevaluasi bekuan darah dan mengontrol hemoeragi ( Brunner & Suddarth, 2002 ).Cidera kepala atau trauma kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok umur produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Tidak hanya berakibat pada tingginya angka kematian pada korban kecelakaan. Justru, yang harus menjadi perhatian adalah banyaknya kasus kecacatan dari korban kecelakaan. Khususnya, korban kecelakaan yang menderita cedera kepala.Dampak dari menderita cedera kepala tentu akan terdapat komplikasi yang mungkin timbul, terlebih setelah penderita mendapat tindakan pembedahan. Selain itu, kebutuhan perawatan pada pasien dengan menderita cedera kepala akan berbeda-beda, tergantung pada tingkat keparahan atau sesuai dengan kondisi yang dialami pasien.Berdasarkan hal-hal dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk mempelajari kasus dengan judul Asuhan Keperawatan pada klien Tn. D Umur 18 Tahun dengan Gangguan Sistem Persarafan : Trauma Kepala Post Craniotomy

1.2 Rumusan Masalah1.2.1 Bagaimana konsep dasar penyakit trauma kepala?1.2.2 Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada klien dengan trauma kepala?1.2.3 Bagaimana asuhan keperawatan pada Tn. D dengan trauma kepala subdural hematoma post craniotomy?1.2.4 Bagaimana komplikasi yang dapat ditimbulkan pada kondisi yang dialami Tn. D?

1.3 Tujuan Penulisan1.3.1 Untuk mengetahui konsep dasar penyakit trauma kepala1.3.2 Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada klien dengan trauma kepala1.3.3 Untuk memahami asuhan keperawatan pada Tn. D dengan trauma kepala subdural hematoma post craniotomy1.3.4 Untuk mengetahui komplikasi yang dapat ditimbulkan pada kondisi yang dialami Tn. D

1.4 Manfaat PenulisanDiharapkan dengan disusunnya makalah ini, penulis khususnya dapat lebih memahami bagaimana konsep asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan yang mengalami trauma kepala, dan semoga makalah ini dapat menjadi salah satu sumber pembelajaran bagi pembaca.

BAB IILANDASAN TEORI2.1 Konsep Dasar Penyakit 2.1.1 Pengertian a) Cedera kepala Trauma atau cedera kepala dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena haemorargik, serta udim serebral disekitar otak (Batticaca, 2008).Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008)b) Craniotomy Craniotomy adalah perbaikan pembedahan, reseksi atau pengangkatan pertumbuhan atau abnormalitas di dalam kranium, terdiri atas pengangkatan dan penggantian tulang tengkorak untuk memberikan pencapaian pada struktur intracranial (Susan M, Tucker, Dkk. 1998)

2.1.2 Etiologi Penyebab cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, cedera olah raga, kecelakaan kerja, cedera kepala terbuka sering disebabkan oleh pisau atau peluru (Corwin, 2000).2.1.3 PatofisiologiPatofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.

a. Proses PrimerProses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus). Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabut saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.b. Proses SekunderKerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia (kekurangan o2 dlm jaringan) dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi (defisiensi darah suatu bagian) dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.

Pathway cedera kepala

vSumber : www.google.com2.1.4 Kasifikasi dan Manifestasi klinis Berdasarkan Mekanisme , cedera kepala dibagi menjadi dua, yaitu : a. Trauma Tumpul : adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).b. Trauma Tembus : adalah trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.

The Traumatic Coma Data Bank mengklasifisikan cedera kepala berdasarkan Glasgow Coma Scale ( Mansjoer, dkk, 2000) : a. Cedera Kepala Ringan/Minor (Kelompok Risiko Rendah) yaitu, GCS 14-15, pasien sadar dan berorientasi, kehilangan kesadaran atau amnesia < dari 30 menit, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hematom , tidak ada kriteria cedera sedang sampai berat. b. Cedera Kepala Sedang (Kelompok Risiko Sedang) yaitu GCS 9-13 (konfusi, letargi dan stupor), pasien tampak kebingungan, mengantuk, namun masih bisa mengikuti perintah sederhana, hilang kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam, konkusi, amnesia paska trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal). c. Cedera Kepala Berat (Kelompok Risiko Berat) yaitu GCS 3-8 (koma), penurunan derajat kesadaran secara progresif, kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam, tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium. (Arif Muttaqin, 2008) Berdasarkan perdarahan pada otak (Arif Muttaqin,2008) yaitu :

a. Hematoma intraserebral (ISH) adalah pendarahan yang terjadi pada jaringan otak yang biasanya akibat robekan pembulu darah yang ada pada jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi. Pada CT-Scan didapatkan adanya area hiperdens yang merupakan indikasi dilakukannya operasi.b. Hematoma subdural (SDH) adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak dapat terjadi akut dan kronis. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena atau jembatan vena yang biasanya terdapat diantara durameter, perdarahan lambat dan sedikit. Pengertian lain hematoma subdural adalah hematoma yang terletak dibawah durameter dengan sumber perdarahan dapat berasal dari bridging vein, A/V kortikal dan sinus venosus duralis beradasarkan waktu terjadinya perdarahan maka hematoma subdural dibagi 3, yaitu :1. Subdural hematoma akut, terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian.2. Subdural hematoma subakut, terjadi antara 3 hari sampai 3 minggu.3. Subdural hematoma kronik, terjadi lebih dari 3 minggu.Secara klinik subdural hematoma akut ditandai dengan adanya penurunan kesadaran disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi dan pada pemeriksaan CT-Scan menunjukan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit. Gejala dari hematoma subdural meliputi keluhan nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, perubahan proses pikir, kejang, dan udim pupil.Indikasi operasi, menurut Europe Brain Injury Commition (EBIC), pada perdarahan subdural adalah jika perdarahan lebih dari 1 cm. Jika terdapat pergesaran garis tengah labih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebi biasanya tulang tidak dikemalikan (dekompresi) dan disimpan sugalea. Prognosis dari klien SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya klien datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta dijaringan otak, serta usia klien pada klien dengan GCS kurang dari 8 prognosisnya 50%, semakin rendah GCS maka semakin jelek prognosisnya. Semakin tua klien maka semakin jelek prognosisnya. Adanya lesi lain akan memperjelek prognosisnya.Gejala dari subdural hematoma meliputi keluhan nyeri kepala, bingung,mengantuk, menarik diri, perubahan proses pikir (berpikir lambat), kejang, dan edema pupil.c. Hematoma Epidural adalah hematoma yang terletak antara durameter dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya arteri tunika media, vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), vena emisaria, sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa hemiparese/plegi, pupil anisokor, adanya refleks patologi 1 sisi, adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukan lokasi pada EDH. 2.1.5 Komplikasi a. Perdarahan intra cranialb. Kejangc. Parese saraf craniald. Meningitis atau abses otake. Infeksif. Edema cerebrig. Kebocoran cairan serobospinal

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas darah.2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun thorak.6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.8. Kadar Elektrolit:Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial (Musliha, 2010).

2.1.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000). Penatalaksanaan umum adalah: 1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi 2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma 3. Berikan oksigenasi 4. Awasi tekanan darah 5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik 6. Atasi shock 7. Awasi kemungkinan munculnya kejang.

Penatalaksanaan lainnya:1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.3. Pemberian analgetika4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea.

Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu: 1. Pemantauan TIK dengan ketat 2. Oksigenisasi adekuat 3. Pemberian manitol 4. Penggunaan steroid 5. Peningkatan kepala tempat tidur 6. Bedah neuro.

Tindakan pendukung lain yaitu: 1. Dukungan ventilasi 2. Pencegahan kejang 3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi 4. Terapi anti konvulsan 5. Klorpromazin untuk menenangkan klien 6. Pemasangan selang nasogastrik (Mansjoer, dkk, 2000).Adapun penatalaksanaan post op craniotomy mencakup :a. Mengurangi edema serebral seperti pemberian manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari area otak. Cairan ini kemudian disekresikan melalui diuresis osmotik.Deksametason dapat diberikan melalui intravena setiap 6 jam selama 24 jam sampai 72 jam, selanjutnya dosisnya dikurangi secara bertahap.b. Meredakan nyeri dan mencegah kejang. Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu diatas 37,50C dan untuk nyeri. Sering kali pasien mengalami sakit kepala setelah kraniotomy, biasanya sebagai akibat saraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama pembedahan. Kodein diberikan lewat parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan sakit kepala.c. Memantau TIK. Kateter ventrikel atau beberapa tipe drainase sering dipasang pada pasien yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Pirau ventrikel kadang dilakukan sebelum prosedur bedah tertentu untuk mengontrol hipertensi intrakranial, terutama pada pasien dengan tumor fossa posterior.

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Cedera Kepala2.2.1PengkajianPengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.a. AnamnesisKeluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung seberapa jauh dampak trauma kepala yang di sertai dengan penurunan tinngkat kesadaran.

1) Riwayat penyakit saat iniAdanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat Kecelakaan Lalu Lintas (KLL), jatuh dari dari ketinggian dan trauma langsung kepala. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran di hubungkan dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma.

2) Riwayat penyakit terdahuluPengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, DM, penyakit jantung anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol yang berlebihan.

3) Riwayat penyakit keluargaMengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan DM.

4) Pengkajian Psiko-Sosio-SpiritualPengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.

5) Pola Aktifitasa) Pola NutrisiDikaji tentang frekuensi makan, jenis diit, porsi makan, riwayat alergi terhadap suatu jenis makanan tertentu. Pada klien post craniotomy biasanya terjadi penurunan nafsu makan akibat mual dan muntah (Brunner dan Suddarth, 2008).b) Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari. Minuman yang harus dihindari pasien post craniotomy akibat cedera kepala yaitu minuman beralkohol dan yang mengandung kafein karena dapat meningkatkan derajat dehidrasi dan dapat menimbulkan rasa pusing pada kepala. c) Pola EliminasiDikaji frekuensi BAB, warna, bau, konsistensi feses dan keluhan klien yang berkaitan dengan BAB. Pada klien post craniotomy pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus (Muttaqin, 2008 : 160). Setelah pembedahan klien mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan mempergunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol spingter urinarius hilang atau berkurang (Muttaqin, 2008 : 160).d) Pola Istirahat dan Tidur e) Dikaji mengenai kebutuhan istirahat dan tidur, waktu tidur, lamanya tidur setiap hari, apakah ada kesulitan dalam tidur. Pada klien post craniotomy sering terjadi pusing dan sakit kepala dan hal ini mungkin akan mengganggu istirahat tidur klien. f) d). Pola Personal Hygieneg) Dikaji mengenai frekuensi dan kebiasaan mandi, keramas, gosok gigi dan menggunting kuku. Pada klien post craniotomy kemungkinan dalam perawatan dirinya tersebut memerlukan bantuan baik sebagian maupun total. h) Pola Mobilisasi Fisik Dikaji dalam kegiatan yang meliputi pekerjaan, olah raga, kegiatan diwaktu luang dan apakah keluhan yang dirasakan mengganggu aktivitas klien tersebut (Brunner dan Suddarth, 2001).

d. Pemeriksaan fisik Setelah melkukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.

Keadaan umumPada pasien yang mengalami cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran CKR dengan GCS 13-15, CKS dengan GCS 9-12, CKB dengan GCS 8.

Sistem pernfasan Inpeksi : didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas dan peningkatan frekuensi pernafasan, Ekspansi dada pnuh atau tidak dan dilihat kesimetrisanny, pernapasan perut, retraksi otot-otot intercosta, dan respirasi paradok.Palpasi : fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan jika melibatkan trauma pada torak. Perkusi : suara redup sampai pekak pada melibatkan trauma pada torak/hemitoraks.Aukultasi : bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi strior, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batu yang menurun yang sering didapatkan pada klien cedera klien dengan penurunan koma. Pada klien dengan kesadaran compos mentis, taktil fremitus seimbang dan tidak didapatkan bunyi tambahan.Sistem kardiovaskulerDidapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovskuler klien cedera kepala klien pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanana darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeotatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menunjukan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon yang berdampak pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatan konsentrasi elektrolit sehingga memberikan resiko terjadinya gangguan keseimbangan keseimbangan elektrolit pada sistem kardiovaskuler. Sistem persarafan Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama akibat pengaruh penngkatan tekanan intrakranial yang disebakan adanya perdarahan baik bersifat hematoma intraserebral, subdural, dan etidural. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikoma sampai koma.Pengkajian fungsi serebral Pengkajian ini meliputi Status mental: adanya perubahan pada tingkah laku klien, nilai gaya bicara, ekspresi wajah. Fungsi intelektual : adanya penurunan dalam memori jangka panjang maupun jangka pendek.Lobus frontal : kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan jika trama kepala menyebabka kerusakan pada lobus frontal, kapasitas, memori atau kerusakan fungsi intelektual, kortikal yang ebih tinggi. Disfungsi ini dapat ditunjukan dalam lapang perhatian terbata, sulit dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Hemisfer : Cedera kepala kanan didapatkan heiparese sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh kesisi yang berlawanan tersebut. Cedera kepala kiri didapatkan hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan , disfagia global, afasia dan mudah frustasi.Pengkajian saraf kranial Saraf I : adanya kelainan pada fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral. Saraf II : hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapang pandang dan mengganggu fungsi saraf optikus, pendarahan diruang intrakranial terutama hemoragia subarachnoidal dapat disertai dengan perdarahan di retina. Anomali pembuluh darah didalam otak dapat bermanifestasi juga di fundus.Saraf III, IV, VI : gangguan mengangkat kelopak mata, anisokoria. Gejala in harus dianggap seris jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda dini herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot okuler akan menyusun pada tahap berikutya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria, bukan midriasis melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi yang lain, maka pupil yang mitok adalah abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi di lobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti fungsi siliospinal menjadi tidak aktif, sehingga pupil tidak dilatasi melainkan kontriksi .Saraf V : pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkna paralisis saraf trigemnimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.Saraf VII : Persepsi pengecapan mengalami perubahan.Saraf VIII : Pada fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf festibulokoklearis.Saraf IX dan X : Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut.Saraf XI : bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas kelainan cukup baik serta tidak ada artofi otot sternokeidomastoideos dan trapezius.Saraf XII : Indera pengecapan mengalami perubahan.Pengkajian sistem motorik, didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Tanda yang lain adalah tonus oto menurun sampai hilang, tingkat kekuatan otot didapatkan nol, keseimbangan dan koordinasi mengalami gangguan karena hemiparase dan hemiplegia. Pengkajian reflek, pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat reflek pada respon normal. Pemeriksaan refleks patologis pada fase akut refleks fifiologis sisi yang lumpuh akan hilang. Setelah beberapa hari reflek fisiologis akan muncul kembali didahului dengan reflek patologis.Pengkajian sistem sensorik, dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terjadi ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jarak sensori primer diantara mata dan kortek visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial). Sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat beupa kerusakan sentuhan ringan atau lebih berat, dengan kehilangan ropriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh )serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visul, taktil, dan auditorius.Sistem PerkemihanSetelah cedera kepala klien mungkn mengalami inkontinensia urin karena konfusi, ketidamampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kadang kontrol spingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Sistem PencernaanDidapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual dan muntah pada fase akut. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologi luas. Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usu harus dikaji sebelum meakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis.

Dampak Post Craniotomy Terhadap Sistem Tubuh Lain : a. Sistem KardiovaskulerCraniotomy bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler pembuluh darah arteriol berkontraksi. Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.

b. Sistem PernafasanAdanya edema paru dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida akan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi vasokontriksi dan penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan karbondioksida bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan tingginya TIK.Tingginya TIK dapat menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan pada medulla oblongata menyebabkan pernafasan ataksia (kurangnya koordinasi dalam gerakan bernafas).c. Sistem EliminasiPada pasien dengan post craniotomy terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Setelah tiga sampai 4 hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan dapat timbul hiponatremia.d. Sistem PencernaanHipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera ditangani, akan menyebabkan perdarah lambung.e. Sistem MuskuloskeletalAkibat dari post craniotomy dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control volunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur.Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2 kelompok neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada bagian posterior lobus frontalis yang disebut girus presentral atau strip motorik . Di sini kedua bagian saraf itu bersinaps dengan kelompok neuron-neuron motorik bawah yang berjalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot-otot tertentu. Masing-masing dari kelompok neuron ini mentransmisikan informasi tertentu pada gerakan. Sehingga, pasien akan menunjukan gejala khusus jika ada salah satu dari jaras neuron ini cidera. Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, yang pada saatnya dapat membuat komplikasi seperti peningkatan saptisitas dan kontraktur. Diperlukan keterlibatan dan kerjasama dengan keluarga klien dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami penurunan kesadaran yang disertai gelisah, untuk itu, perawat dan keluarga klien dapat bekerjasama terutama dalam mencegah injuri serta ditunjang oleh sarana yang memadai, antara lain tersedianya bed plang.

2.2.2Diagnosa dan Intervensia. Gangguan perfusi jaringan cerebral b.d peningkatan intracranial ditandai denganDS :- Mengatakan kejangDO :- Perubahan tingkat kesadaran- Gangguan atau kehilangan memori- Defisit sensori- Perubahan tanda vital- Perubahan pola istirahat- Retensi urine- Gangguan berkemih- Nyeri akut atau kronis- Demam- Mual , muntahIntervensi1) Ubah posisi klien secara bertahapRasional : Klien dengan paraplegia beresiko menglami luka tekan (dekubitus). Perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai respons klien mencegah terjadinya luka tekan akibat tekanan yang lama karena jaringan tersebut akan kekurangan nutrisi dan oksigen dibawa oleh darah.2) Jaga suasana tenangRasional : Suasana tenang akan memberikan rasa nyama pda klien dan mencegah ketegangan3) Kurangi cahaya ruanganRasional : Cahaya merupakan salah satu rangsangan yang beresiko terhadap peningkatan TIK

b. Resiko tinggi peningkatan tekanan intracranial b.d desak ruang sekunder dari kompresi korteks cerebri ditandai denganDS :DO :- GCS 12 (blackout, post trepanasi)- TD : 67/42 mmHg- N : 76x / menit- Pupil anisocorIntervensi1) Kaji faktor penyebab dari situasi kemungkinan penyebab peningkatan TIK

Rasional : deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.

2) Memonitor TTV tiap 4 jam

Rasional : suatu keadaan normal bila sirkulasi cerebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi local vaskularisasi darah cerebral.

3) Pertahankan kepala atau leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada kepala.

Rasional : perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jigularis dan menghambat aliran darah otak (menghambat drainase pada vena cerebral) untuk itu dapat meningkatkan tekanan intracranial.

c. Gangguan pola pernapasan b.d depresi pusat pernapasan ditandai denganDS:- Kien mengatakan sulit bernapas dan sesak napasDO :- Gangguan visual- Penurunan karbondioksida- Takikardia- Tidak dapat istirhat- Somnolen- Irritabilitas- Hipoksia- Bingung- Dispnea- Perubahan warna kulit (pucat , sianosis)- Hipoksemia

Intervensi :1) berikan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke posisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.Rasional :Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit2) Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.Rasional :Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.3) Jelaskan pada klien tentang etiologi/ faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paruRasional :Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik

d. Kekurangan volume cairan yang b.d penurunan kesadaran dan disfungsi hormonal ditandai denganDS :DO:- Perubahan turgor kulit- Perubahan tanda vital- Akral dingin- Penurunan BB mendadak- Perubahan nilai metabolisme

Intervensi1) Pantau keseimbangan cairanRasioanal : Kerusakan otak dapat menghasilkan disfungsi hormonal dan metabolic2) Pemeriksaan serial elektrolit darah atau urine dan osmolaritasRasional : Hal ini dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi natrium. Retensi natrium dapat terjadi beberapa hari, diikuti dengan dieresis natrium. Peningkatan letargi, konfusi, dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.3) Evaluasi elektrolitRasional : Fungsi elektrolit dievaluasi dengan memantau elektrolit, glukosa serum, serta intake dan output.

e. Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neurovascular yang di tandai denganDS :DO :

- Kelemahan- Parestesia- Paralisis- Ketidakmampuan- Kerusakan koordinasi- Keterbatasan rentang gerak- Penurunan kekuatan otot

Intervensi1) Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan mengobservasi setiap ekstermitasRasional : Lobus frontal dan oxipital berisi saraf-saraf yang mengatur fungsi motorik dan sensorik dan dapat dipengaruhi oleh iskemia atau peningkatan tekanan.2) Ubah posisi klien tiap 2 jamRasional : Mencegah terjadinya luka tekan akibat tidur terlalu lama pada satu posisi sehingga jaringan yang tertekan akan kehilangan nutrisi yang dibawa darah melalui oksigen.3) Lakukan latihan secara teratur dan letakan telapak kaki klien dilantai saat duduk dikursi atau papan penyangga saat di tempat tidur.Rasional : Mencegah deformitas dan komplikasi seperti footdrop

BAB IIIPEMBAHASAN KASUS

3.1 Sistem Saraf : Trauma KepalaTn. D usia 18 tahun dirawat diruang RC 3 Bedah Saraf karena mengalami Trauma Kepala Sedang disertai subdural hematoma. Ketika dikaji diperoleh data: GCS 11 (E2M5V4). Pasien telah dioperasi 2 hari yang lalu, terdapat luka post craniotomy sepanjang 10 cm pada daerah lobus frontal, pasien tampak gelisah dan terpasang mag slang karena masih dipuasakan. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh: TD = 140/90 mmHg, Nadi = 110x/menit, RR = 30x/ menit, dan suhu 38,5 derajat celcius.

3.2 PenugasanDiskusikan trauma kepala dengan tindakan operasi craniotomy, apa yang saudara bisa jelaskan dari kondisi tersebut terkait dengan kebutuhan perawatan pasien dan hal-hal lain terkait dengan komplikasi yang mungkin timbul.

3.3 PembahasanSeperti yang telah dijelaskan di BAB II, trauma kepala adalah deformitas jaringan di kepala yang diakibatkan oleh suatu kekuatan mekanis. Sedangkan hematoma subdural adalah akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena. Post craniotomy yaitu suatu keadaan yang terjadi setelah proses pembedahan untuk memperbaiki abnormalitas didalam kranium untuk mengetahui kerusakan otak. Post craniotomy bagian frontal atas indikasi trauma kepala sedang disertai subdural hematoma ialah operasi pembedahan yang dilakukan untuk membuka tengkorak guna mengevakuasi bekuan darah atas indikasi cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) 11 pada pasien Tn. D disertai akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena di daerah frontal. Ketika terjadi trauma kepala maka akan menyebabkan perlukaan dikulit kepala, serta akan menyebabkan hematoma pada kulit kepala akibat benturan yang akan menyebabkan cedera pada otak. Ketika terjadi trauma kepala disitu juga akan terjadi patahan/fraktur tulang kepala. Diantaranya fraktur linear, fraktur communited, fraktur depressed, dan fraktur basis yang akan menyebabkan tekanan intra kranial meningkat. Ketika terjadi trauma kepala akan menyebabkan kerusakan pula pada jaringan otak dan akan menyebabkan hematom, edema, dan konkusio. Hal tersebut akan mnyebabkan meningkatnya tekanan intra kranial. Dari semua itu maka akan ditemukan kelainan respon fisiologis otak yang berakibat pada cedera otak sekunder dan peningkatan kerusakan sel otak.Peningkatan TIK dapat pula dilakukan proses pembedahan untuk mencegah peningkatan TIK dapat dilakukan dengan 3 cara yang pertama kraniotomi, kraniektomi, kranioplasti. Dari proses pembedahan itu akan menyebabkan perlukaan pada kulit kepala yang merupakan tempat masuknya mikroorganisme yang dapat menyebabkan resiko tinggi infeksi. Dapat pula menyebabkan nyeri karena dari proses pembedahan itu menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan yang merangsang reseptor nyeri, biasanya pasien dengan kraniotomi akan mengalami intoleransi aktivitas karena kelemahan fisik akibat nyeri. Dari proses inflamasi juga akan didapatkan respon yang memungkinkan terjadinya edema otak yang akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan. Dari proses pembedahan dapat pula menyebabkan resti kekurangan cairan dan nutrisi akibat efek dari anastesi selama proses pembedahan. Prosedur anastesi dan pengguanaan ETT pada proses pembedahan akan menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan yang akan memungkinkan terjadinya resiko jalan napas tidak efektif. Adapun penatalaksanaan post op craniotomy mencakup :d. Mengurangi edema serebral seperti pemberian manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari area otak. Cairan ini kemudian disekresikan melalui diuresis osmotik.Deksametason dapat diberikan melalui intravena setiap 6 jam selama 24 jam sampai 72 jam, selanjutnya dosisnya dikurangi secara bertahap.e. Meredakan nyeri dan mencegah kejang. Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu diatas 37,50C dan untuk nyeri. Sering kali pasien mengalami sakit kepala setelah kraniotomy, biasanya sebagai akibat saraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama pembedahan. Kodein diberikan lewat parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan sakit kepala.f. Memantau TIK. Kateter ventrikel atau beberapa tipe drainase sering dipasang pada pasien yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Pirau ventrikel kadang dilakukan sebelum prosedur bedah tertentu untuk mengontrol hipertensi intrakranial, terutama pada pasien dengan tumor fossa posterior.Dampak Post Craniotomy Terhadap Sistem Tubuh Lain : f. Sistem KardiovaskulerCraniotomy bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler pembuluh darah arteriol berkontraksi. Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.

g. Sistem PernafasanAdanya edema paru dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida akan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi vasokontriksi dan penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan karbondioksida bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan tingginya TIK.Tingginya TIK dapat menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan pada medulla oblongata menyebabkan pernafasan ataksia (kurangnya koordinasi dalam gerakan bernafas).h. Sistem EliminasiPada pasien dengan post craniotomy terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Setelah tiga sampai 4 hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan dapat timbul hiponatremia.i. Sistem PencernaanHipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera ditangani, akan menyebabkan perdarah lambung.j. Sistem MuskuloskeletalAkibat dari post craniotomy dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control volunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur.Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2 kelompok neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada bagian posterior lobus frontalis yang disebut girus presentral atau strip motorik . Di sini kedua bagian saraf itu bersinaps dengan kelompok neuron-neuron motorik bawah yang berjalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot-otot tertentu. Masing-masing dari kelompok neuron ini mentransmisikan informasi tertentu pada gerakan. Sehingga, pasien akan menunjukan gejala khusus jika ada salah satu dari jaras neuron ini cidera. Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, yang pada saatnya dapat membuat komplikasi seperti peningkatan saptisitas dan kontraktur. Diperlukan keterlibatan dan kerjasama dengan keluarga klien dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami penurunan kesadaran yang disertai gelisah, untuk itu, perawat dan keluarga klien dapat bekerjasama terutama dalam mencegah injuri serta ditunjang oleh sarana yang memadai, antara lain tersedianya bed plang.

3.4 Asuhan Keperawatan pada Tn. D1. Pengkajiana. Pengumpulan Data1) Identitas KlienNama: Tn. DUmur: 18 tahunJenis Kelamin: PriaAgama: IslamPendidikan: Perguruan TinggiPekerjaan: MahasiswaStatus marital: Belum MenikahSuku bangsa: SundaDiagnosa medis: Post Craniotomy a.i Subdural Hematoma b. Riwayat Kesehatan1) Riwayat Kesehatan Sekarang2. Alasan masuk rumah sakitTerjadi trauma kepala sedang disertai subdural hematoma.c) Keluhan utama saat dikajiPada saat pengkajian, klien nampak gelisah, terpasang maag slang, masih dipuasakan. nilai GCS: 11. Klien membuka mata terhadap rangsang sakit (2), klien dapat mengenali nyeri lokal (5). Klien memberikan respon kata-kata tidak bermakna (4).d) Riwayat kesehatan dahuluTidak terkajie) Riwayat kesehatan keluargaTidak terkaji .c. Pola Aktifitas Sehari-hariNoPola AktifitasDi rumahDi rumah sakit

(1)(2)(3)(4)

1

2

Nutrisi a. MakanFrekuensi Porsi Jenis

b. MinumJenis Jumlah

Personal higienea. Mandi

b. Keramas

c. Gosok gigiTidak terkaji

Tidak terkaji

Tidak terkaji klien masih puasa--

klien masih puasa

sejak masuk RS belum mandi

belum pernah

belum pernah

(1)(2)(3)(4)

3.

4

5Pola eliminasiBAKFrekuensi Warna a. BABFrekuensi Warna Konsistensi Istirahat dan tidura. Tidur siang

b. Tidur malamAktifitas gerakTidak terkaji

Tidak terkaji

Aktifitas mandiriTidak terkaji

Tidak terkaji

Aktifitas perlu dibantu

d. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum: Klien tampak gelisah Tingkat Kesadaran: Sopor Tanda-tanda vital: TD: 140/90 mmHg HR: 110 x/m RR: 30x/m S: 38,50 C1) Sistem PernafasanBelum terpasang nasal canule O2, klien tampak sesak frekuensi nafas: 30x/ menit.2) Sistem KardiovaskulerTD: 140/90 mmHg, nadi: 110x/ mnt3) Sistem PencernaanKlien terpasang NGT 4) Sistem PerkemihanKlien terpasang dower catheter. 5) Sistem EndokrinTidak terkaji. 6) Sistem MuskuloskeletalTidak terkaji.7) Sistem IntegumenTerdapat luka post op craniotomy sepanjang 10 cm pada daerah lobus frontal. Keadaan rambut klien tidak terkaji karena tertutup balutan luka klien, keadaan luka belum kering dan ditutup kassa dan perban. Suhu 38,50C.8) Sistem Persyarafana) Test fungsi serebral(1) Status mental Klien tampak gelisah orientasi terhadap waktu, tempat dan orang belum dapat dikaji daya ingat, belum dapat dikaji perhatian dan perhitungan, belum dapat dikaji fungsi bicara, belum dapat dikaji(2) Tingkat kesadaran kualitas;sopor , klien dapat bangun bila diberi rangsang nyeri kuantitas; nilai GCS: 11, (E: 2, M: 5, V: 4)(3) Pengkajian bicara proses reseptif, belum dapat dikaji proses ekspresif, belum dapat dikajib) Test nervus kranial(1) Nervus I (olfaktorius) Belum dapat dikaji(2) Nervus II (optikus) Belum dapat dikaji(3) Nervus III, IV, VI (okulomotorius, troklearis, abdusen)Belum terkaji(4) Nervus V (trigeminus)Belum dapat dikaji(5) Nervus VII (fasialis)Belum dapat dikaji(6) Nervus VIII (akustikus)Belum dapat dikaji(7) Nervus IX, X (glosofaringeus, vagus)Belum dapat dikaji(8) Nervus XII (hipoglosus)Belum dapat dikajic) Pemeriksaan motorik(1) massa otot normal, (2) kekuatan otot, belum dapat dikajid) Pemeriksaan sensorik(1) rasa sakitklien tampak melokalisir nyeri ketika diberi rangsangan nyeri(2) vibrasi, diskriminasi. Belum dapat dikajie) Fungsi cerebellumBelum dapat dikajif) Reflek Fisiologis(1) Biseps: belum terkaji(2) Triseps : belum terkaji(3) Supinator : belum terkaji(4) Patella: belum terkaji(5) Achiles: belum terkaji(6) Superfisial : belum terkaji g) Reflek patologis(1) Babinski : belum terkaji(2) Caddock : belum terkajih) Iritasi meningen kaku kuduk belum terkaji kernig sign belum terkaji lasaque sign belum terkaji brudzinsky I, II belum terkaji

e. Data PsikologisData psikologis pada klien belum terkaji.f. Data SosialData sosial klien belum terkaji.g. Data Spiritualbelum terkaji. h. Data Penunjang1) Laboratorium: -2) Hasil CT Scan: Subdural hematoma pada daerah lobus frontalTherapi: Craniotomy3) Foto rontgen: -

4) Hasil Laporan Operasi Terdapat bekuan darah pada ruang Subdural di area antara Duramater dan membran Subaraknoid. 5) Therapi : -

i. Analisa DataNoData SenjangEtiologi dari DampakMasalah

(1)(2)(3)(4)

1Ds: -Do: - klien terpasangcanule masal O2 tingkat kesadaran sopor dengan GCS: 11 RR: 30x/ mnt Klien tampak sesak

Trauma kepala

terjadi kerusakan dan peregangan sel-sel endotel dinding kapiler pembuluh darah otak

darah dan cairan masuk ke jaringan

oedema dan perdarahan pada otak

proses desak ruang intra kranial

perubahan pada jaringan sekitar

Herniasi otak

kompresi medula oblongata

Gangguan oksigemasiGangguan Oksigenasi: Ventilasi

2Ds: -Do: - TD: 140/90 mmHg N: 110x/ mnt RR: 30x/mntlambat dan dalam S: 38,50C Pupil isokor diameter 3 mm Kesadaran sopor GCS: 11E: 2, M: 5, V: 4 Reflek cahaya: + - Hasil CT ScanSubdural hematoma- Hasil laporan Operasi terdapat bekuan darah pada ruang Subdural di area antara Duramater dan membran Subaraknoid Trauma kepala

terjadi kerusakan dan peregangan sel-sel endotel dinding kapiler pembuluh darah otak

darah dan cairan masuk ke jaringan

oedema dan perdarahan pada otak

proses desak ruang intra kranial

peningkatan tekanan intra kranialResiko terjadinya peningkatan tekanan intra kranial

3Ds: - Do: - Klien mengalami penurunan kesadaran- klien terpasang NGT dan klien masih dipuasakan- bibir klien nampak kering Trauma kepala

Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan

Penurunan kesadaran

kontrol otot-otot motorik yang digunakan untuk mengunyah dan menelan(masseter)menurun

intake oral menurun

asupan nutrisi kurang dari kebutuhan

Peningkatan metabolisme otak

terjadi penurunan kemampuan pemasukan nutrisi

intake oral menurun

asupan nutrisi kurang dari kebutuhan

(1)(2)(3)(4)

4. Ds: - Do: - ADL klien dipenuhi oleh keluarga kesadaran sopor kulit tampak kotor kulit lengket gigi dan mulut kotor GCS: 11Trauma kepala

penurunan kesadaran

klien tak dapat melakukan aktifitas

ADL klien dipenuhi oleh keluarga

gangguan pemenuhan ADLGangguan pemenuhan ADL: personal higiene

5Ds: -Do: - tampak luka operasi yang belum kering di kepala suhu 38,50C hari ke-2 post op

Tindakan craniotomy

kontinuitas kulit dan jaringan terputus

jaringan kontak dengan dunia luar

media invasi kuman ke jaringan

resiko terjadinya infeksiResiko terjadinya infeksi

j. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan Prioritas Masalah1) Gangguan oksigenasi: ventilasi berhubungan dengan kompresi pusat pernapasan di medula oblangata akibat adanya proses peningkatan tekanan intrakranial 2) Resiko peningkatan tekanan intra kranial berhubungan dengan adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan dan darah di dalam otak3) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan berkurangnya kemampuan menerima nutrisi per oral akibat penurunan kesadaran4) Gangguan pemenuhan ADL berhubungan dengan ketidakmampuan beraktifitas secara mandiri akibat penurunan kesadaran5) Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya kuman pada jaringan luka

53

2. PerencanaanNoDiagnosa KeperawatanTujuanTindakanRasional

1Gangguan oksigenasi: ventilasi berhubungan dengan kompresi pusat pernapasan di medula oblangata akibat adanya proses desak ruang intra kranialTupan:Kebutuhan oksigen terpenuhiTupen:Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2 hari. Klien dapat bernapas dengan normal dengan kriteria: frekuensi nafas 20-24x/ menit irama nafas teratur bunyi napas Vesikuler nilai AGD dalam batas normal 1. Monitor kecepatan, kedalaman, frekuensi irama dan bunyi nafas tiap 4 jam

2. Pertahankan posisi klien dengan posisi semi fowler

perubahan yang terjadi dan hasil pengkajian berguna dalam menunjukkan adanya komplikasi pulmonal dan luasnya bagian otak yang terkena posisi semi fowler akan mengurangi penekanan isi rongga perut terhadap diafragma, sehingga ekspansi paru tidak terganggu, kepala ditinggikan untuk mencegah hiper ekstensi

3. Berikan therapi oksigen

4. Kolaborasi dengan tim medis dan laboratorium untuk dilakukan AGD ulang memenuhi kebutuhan oksigen otak dan mencegah hipoksia

analisa gas darah dapat menentukan keefektifan respirasi, keseimbangan asam basa dan kebutuhan therapi

2Resiko terjadinya peningkatan TIK berhubungan dengan adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan dan darah di dalam otakTupan:Peningkatan TIK tidak terjadiTupen: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 hari, tanda-tanda peningkatan TIK tidak terjadi dengan kriteria:

1. Monitor status neurologis yang berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK terutama GCS tiap 4 jam2. Monitor tanda-tanda vital setiap 8 jam3. Monitor intake dan output Dengan mengetahui tanda-tanda peningkatan TIK, dapat menentukan tindakan selanjutnya

Dapat mendeteksi secara dini peningkatan TIK Mencegah kelebihan

Tekanan darah dalam batas normal Nadi 60-80x/mnt Suhu 37-37,50C Pupil isokor Kesadaran compos mentis Nilai GCS 13-15setiap 8 jam sekali

4. Lanjutkan pemberian therapi antidema

5. Pertahankan posisi head up 300

cairan yang dapat menambah oedema serebri sehingga terjadi TTIK Manitol/ gliserol merupakan cairan hipertonis yang berguna untuk menarik cairan dari intraseluler ke intravaskuler sehingga dapat mengurangi oedema cerebri dan menurunkan TIK. Posisi head up 300 akan meningkatkan dan melancarkan aliran balik darah vena kepala sehingga mengurangi

6. Bantu klien bila sadar dalam menghindari/ membatasi batuk, muntah atau mengedan pada saat BAB

kongesti serebrum, oedema dan mencegah TTIK Aktifitas seperti ini dapat meningkatkan tekanan intra otak dan intra abdomen yang dapat meningkatkan tekanan intra kranial

3Gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan berkurangnya kemampuan menerima nutrisi peroral akibat penurunan kesadaranTupan:Kebutuhan nutrisi terpenuhiTupen:Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 hari, asupan nutrisi adekuat dengan kriteria: BU dalam batas normal 1. Observasi bising usus dan catat bila terjadi penurunan

2. Monitor letak NGT

BU perlu diketahui untuk mengetahui/menentukan pemberian makanan dari mencegah komplikasi NGT dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bila kemampuan menelan klien lemah.

5-15x/mnt Porsi makan klien bertambah Nafsu makan bertambah

3. Puasakan klien sesuai dengan intruksi4. Kolaborasi dengan tim medis dan laboratorium untuk pemeriksaan protein total, globulin, albumin

Melaksanakan program yang telah di intruksikan Hasil Laboratorium dapat mengidentifikasi defisiensi, Nutrisi, fungsi organ dan respon nutrisi

4Gangguan pemenuhan ADL berhubungan ketidakmampuan beraktifitas secara mandiri akibat perubahan kesadaranTupan:Kebutuhan ADL terpenuhi Tupen:Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 hari, klien dapat beraktifitas mandiri sebagian dengan kriteria: Kebutuhan ADL: personal higiene terpenuhi Badan bersih, segar, tidak bau Gerakan otot terkendali Kesadaran compos mentis1. Atur posisi klien dan ubah secara teratur setiap 2 jam sekali

2. Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan personal higiene seperti memandikan3. Latih klien untuk melakukan gerakan-gerakan sendi secara pasif

4. Lakukan massage, perawatan kulit dan mempertahankan alat tenun bersih dan kering- Dapat meningkatkan sirkulasi darah seluruh tubuh dan mencegah adanya penekanan pada bagian tubuh tertentu Dengan dibantu personal higiene, klien dapat terpenuhi sehingga tubuh klien bersih Mempertahankan fungsi sendi dan mencegah penurunan tonus serta mencegah kontraktur Meningkatkan sirkulasi, elastisitas kulit dan integritas kulit

klien dengan penurunan kesadaran3. Kaji ulang adanya faktor-faktor yang mendukung terjadinya injuri dari lingkungan, seperti: adanya benda-benda tajam, tempat tidur tanpa bed plang, tempat tidur terlalu tinggi

Memudahkan intervensi yang tepat dalam melakukan tindakan keamanan

5Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya kuman pada jaringan lukaTupan:Infeksi tidak terjadiTupen:Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 4 hari, infeksi tidak terjadi dengan kriteria: keluarga dapat mengetahui tanda-tanda 1. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan secara aseptik dan anti septik2. Monitor tanda-tanda infeksi setiap hari3. Ganti balutan post op. craniotomy setiap hari Tindakan aseptik dan anti septik akan mengurangi timbulnya mikroorganisme patogen

Mendeteksi secara dini tanda-tanda infeksi Kebersihan luka terjaga dan mengurangi

Infeksi tanda-tanda infeksi tidak terjadi (Suhu tubuh 36,50-37,50 ) luka post craniotomy kering leukosit 3,8-10,6 ribu/mm34. Jelaskan pada keluarga tanda-tanda infeksi dan cara perawatan luka di rumah5. Lanjutkan pemberian antibiotik sesuai dengan program pengobatan : Cefotaxim 3x1gr IV (09.00, 17.00, 01.00)mikroorganisme tubuh Keluarga mengerti cara perawatan luka dan tanda-tanda infeksi

Antibiotik berguna untuk membunuh kuman penyakit yang masuk ke dalam tubuh.

BAB IVPENUTUP4.1 KesimpulanJadi Trauma atau cedera kepala yang dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena haemorargik, serta udim serebral disekitar otak (Batticaca, 2008).Penyebab cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, cedera olah raga, kecelakaan kerja, cedera kepala terbuka sering disebabkan oleh pisau atau peluru (Corwin, 2000).Cedera kepala traumatik dibagi kedalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.Adapun pengertian dari traumatik degan proses primer yaitu proses yang timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus). Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabut saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.Sedangkan pengertian traumatik dengan proses sekunder yaitu Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia (kekurangan o2 dlm jaringan) dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi (defisiensi darah suatu bagian) dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.4.2 SaranAdapun saran dari penulis yaitu mahasiswa dapat melakukan asuhan keperawatan dengan klien trauma atau cedera kepala sesuai dengan teori sehingga dalam pengaplikasiannya mahasiswa menjadi lebih terarah lagi.

DAFTAR PUSTAKA

http://buddifarma.blogspot.com/2013/03/askep-cedera-kepala.htmlBaticaca, Fransisca.2008.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta:SalembaMuttaqin, Arif.2008.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta:Salemba Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.Bruner & Sudarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC.Corwin, Elizabet J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGCM. Tucker. 1998. Standar Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosa, Dan Evaluasi, Edisi 5, Vol 3 . Jakarta : EGC