Upload
doanduong
View
223
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
66
BAB IV
ANALISA KRITIS TERHADAP REALITA LESBIAN DI MANADO
4.1 Pengantar
Keberadaan kaum lesbian di Indonesia saat ini belum terlalu mendapat perhatian dari
masyarakat khususnya gereja dalam hal ini. Melihat perkembangannya yang cukup pesat
dalam bermasyarakat, fenomena kaum lesbian ini perlu ditindak-lanjuti khususnya oleh
gereja, karena tidak sedikit dari mereka beragama Kristen.
Dalam pembahasan bab ini, penulis akan memaparkan analisa kritis terhadap realita
lesbian yang ada di kota Manado yang di kaji dalam kajian jender. Dimana peneliti
sebelumnya telah melakukan penelitian di Jemaat GMIM “Betani” Sindulang – Singkil,
Manado dengan 5 narasumber seorang lesbian, dan beberapa anggota jemaat. Dalam bab ini
juga penulis akan menuliskan refleksi teologis dari permasalahan lesbian yang ada.
4.2 Analisa kritis
4.2.1 Faktor penyebab seorang menjadi lesbian
Berdasarkan hasil penelitian, observasi, dan wawancara yang dipaparkan pada bab
sebelumnya yakni bab 3, peneliti mengelompokan penyebab atau latar belakang seorang
menjadi lesbian seperti yang disimpulkan oleh Tan dalam Mengenal Perbedaan Orientasi
Seksual Remaja Puteri.78
a. Pengaruh keadaan keluarga dan kondisi hubungan orang tua
Adapun beberapa narasumber yang memiliki latar belakang keadaan keluarga adalah;
1. Acha (Nama disamarkan)
78 Poedjiati Tan, Mengenal Perbedaan Orientasi Remaja Puteri (Suara Earnest, Surabaya. 2005)
67
Pada dasarnya Acha telah memiliki kesadaran sendiri mengenai identitas dirinya
yang berbeda. Tapi kemudian keadaan seperti ini didukung dengan kondisi orang
tuanya yang sering bertengkar dan cuek, sehingga tidak ada bentuk perhatian dan
kontrol yang seharusnya dilakukan oleh orang tua. Selain itu, faktor ketiadaan
sikap penerimaan dari saudara laki-lakinya membuatnya menyimpan sedikit rasa
benci pada laki-laki.
2. Grita dan Dila (Nama disamarkan)
Pengalaman pahit Grita karena absennya figure ayah dan renggangnya hubungan
mereka menjadi point penting keputusannya menjadi lesbi. Selain itu Dila yang
juga dikecewakan oleh suaminya.
Menurut peneliti, Keluarga sangat berperan penting dalam proses kehidupan anak,
khususnya proses sosialisasi anak diluar rumah. Apa yang ia peroleh di dalam
rumah, kemudian diinterpretasikan melalui tindakan saat berada diluar rumah. Hal
ini menjadi pemicu terjadinya kegiatan-kegiatan yang dapat memicu terjadinya
kenakalan, khusunya dalam proses bergaul lesbian yang berasal dari keluarga
yang kurang harmonis, sebab mendapat kasih sayang yang terbatas.
Menurut Setiadi dan Usman dalam buku pengantar sosiologi, pengaruh keluarga
dalam proses tumbuh kembang anggotanya, merupakan hal yang sangat penting.
Sebab keluarga merupakan institusi yang paling berpengaruh terhadap proses
sosialisasi79. Hal ini dimungkinkan sebab berbagai kondisi keluarga sebagaimana
yang diungkap Setiadi dan Usman; Pertama. Keluarga merupakan kelompok
primer yang selalu bertatap muka di antara anggotanya, sehingga dapat selalu
mengikuti perkembangan anggota-anggotanya. Kedua, orang tua memiliki kondisi
yang tinggi untuk mendidik anak-anaknya, sehingga menimbulkan hubungan
79 M. Elly Setiadi dan Kolip Usman. Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta Dan Gejala Permasalahan Sosial; Teori Aplikasi Dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group.2011), Hal 177
68
emosional yang hubungan ini sangat memerlukan proses sosialisasi. Ketiga,
adanya hubungan sosial yang tetap, maka dengan sendirinya orang tua memiliki
perenan yang penting terhadap proses sosialisasi.80
b. Pengalaman Seksual yang buruk
Dari 5 informan yang penulis teliti, terdapat 1 informan yang mempunyai
pengalaman buruk dengan laki-laki. Korban pemerkosaan dialami oleh Sinta
(Nama samaran) ketika berada di bangku SMA dengan saudara laki – lakinya
yang menjadikan Sinta kini menjadi pendiam dan benci kepada laki – laki.
Hubungan dengan orang tua yang tidak intens membuat Sinta memiliki jarak
dalam berkomunikasi dengan orang tuanya. Selain itu Sinta sering dikecewakan
oleh orang-orang disekitarnya pada tahap relasi yang lebih serius, khususnya
dengan laki-laki. Padahal Sinta mengharapkan hubungan yang baik.
Dari 5 informan lesbian beberapa mengatakan esensi penyebab yang
sebenarnya adalah masalah kejiwaan, karena para lesbian ini sesungguhnya telah
kehilangan jati dirinya sebagai seorang wanita. Dalam konteks mahluk sosial dan
hakikat penciptaannya para wanita lesbi mengalami suatu ketakutan baik disadari
atau tidak disadari terhadap para pria, karena merasa sisi kelembutan dan
keibuannya bagai terabaikan ketika berhubungan dengan seorang pria, sehingga
hal ini pun akhirnya mendorong seorang wanita terbuai untuk memuaskan sisi
kelembutannya dari pihak yang mengerti, dan hanya perempuan pula-lah yang
mampu memahami kelembutan seperti apa yang diimpikan oleh seorang wanita.
Trauma kekerasan seksual dan ketak-acuhan para pria inilah salah satu yang
menjadi latar-belakang umum seseorang menjadi lesbian.
80 Setiadi dan Usman, Pengantar Sosiologi, 177
69
Pengaruh seksual yang buruk ini menguatkan teori feminisme radikal
yang mengecam penindasan atas fisik perempuan. Peran dari tubuh dan sesualitas
bagi teori ini mempunyai tempat yang sangat penting, karena penindasan berawal
dari dominasi atas tubuh dan seksualitas perempuan yang ditemui di ranah privat.
Teori feminis radikal ini berpegang pada “the personal is political” (yang pribadi
adalah yang politis), yang berarti bahwa berbagai penindasan dalam sistem
patriakhi yang terjadi di ruang pribadi/privat juga merupakan penindasan di
bidang publik. Menurut Millet dalam tulisan Tong, usulan yang di ajukan untuk
menuju kepada kesetaraan jender adalah jika ada pengadopsian pemahaman
androgini, menolak kontrol atas tubuh, melakukan penyadaran serta edukasi
tentang konsep patriakhi dan dampaknya.81
c. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan mempunyai andil yang cukup besar dalam perkembangan
karakter seseorang. Dari beberapa narasumber yang diwawancarai, faktor
lingkungan atau pengaruh terhadap lingkungan juga menjadi penyebab seseorang
menjadi lesbi selain dari faktor keadaan keluarga dan kondisi hubungan orang tua
dan seksaul. Dalam kasus Erli (Nama disamarkan), keberadaan orang lain
didekatnya ketika Erli sedang berada dalam kondisi membutuhkan perhatian, tak
pelak menjadi pemicu. Selain itu intensitasnya yang cukup tinggi berada dekat
komunitas lesbian juga membuatnya terpengaruh. Hal sama juga terjadi pada
Dila. Kebiasaannya berada dalam komunitas lesbi ketika masih tidak menjalin
hubungan dengan lawan jenis ternyata dapat mempengaruhinya mengambil
keputusan sebagai lesbi. Demikian pula dengan Grita yang sedari kecil dia
memang banyak mendapat informasi tentang lesbian karena tinggal dalam
81 Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. (Yogyakarta: Jalasutra 2004)
70
lingkungan yang mayoritas lesbian. Setiap hari memperhatikan gerak-gerik,
ekspresi dan pengalaman-pengalaman hidup lesbian. Sehingga pada akhirnya
mempengaruhi identitas dirinya; Dila yang berawal dari absennya figur ibu dalam
hidupnya, membuatnya tumbuh dalam didikan kemaskulinan ayahnya namun
sangat tertarik pada kelembutan perempuan dari interaksi pergaulannya.
Sebuah kalimat bijak menyatakan bahwa, “Jika ingin mengenal seseorang,
maka terlebih dahulu lihatlahlah teman-temannya”. Interaksi didalamnya terjadi
sosialisasi. Sosiolog Robert Lawang dalam tulisan Setiadi dan Usman membagi
sosialisasi menjadi dua macam82: pertama sosialisasi primer yaitu proses
sosialisasi yang terjadi pada saat usia seseorang masih usia balita. Pada fase ini
anak dibekali pengetahuan tentang orang-orang yang berada di lingkungan sosial
sekitarnya melalui interaksi, seperti dengan ayah, ibu, kakak dan anggota
keluarga lainnya. Kedua, sosialisasi sekunder, yaitu sosialisasi yang berlangsung
setelah sosialisasi primer, yaitu semenjak usia 4 tahun hingga selama hidupnya.
Jika proses sosialisasi primer dominasi peran keluarga sangat kuat, akan tetapi
dalam sosialisasi sekunder proses pengenalan akan tata kelakuan adalah
lingkungan sosialnya, seperti teman sepermainan, teman sejawat, sekolah, orang
lain yang lebih dewasa hingga pada proses pengenalan adat istiadat yang berlaku
dilingkungan sosialnya. Dalam proses ini, seorang individu akan memperoleh
berbagai pengalaman dari lingkungan sosial yang bisa saja terdapat perbedaan
bentuk atau pola-pola kelakuan yang ada di antara lingkungan sosial keluarganya.
Pada fase ini sang anak akan melakukan identifikasi terutama tentang pola-pola di
lingkungan sosial di luar lingkungan keluarganya.
82 Setiadi dan Usman, Pengantar Sosiologi, 167 – 168
71
Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian, observasi dan wawancara di lapangan,
peneliti menemukan bahwa keadaan keluarga, kondisi hubungan orang tua dan lingkunganlah
yang sangat berperan secara dominan dalam mempengaruhi seseorang memutuskan dirinya
sebagai lesbian. Kurangnya perhatian dari keluarga serta bebasnya seorang anak bergaul di
lingkungan yang buruk maka besar kemungkinan seorang anak dapat mengikuti keadaan
lingkungannya. Peneliti menyikapi, keluarga seharusnya berusaha untuk mempersiapkan
bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan memperkenalkan tingkah laku, sikap,
keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat serta mempelajari peranan
yang diharapkan akan dijalankan mereka.
4.2.2 Sudut pandang studi jender terhadap realita lesbian di Jemaat
Bangsa Indonesia pada umumnya, dan jemaat GMIM “Betani” pada khusunya
menganut budaya ke-Timur-an yang masih sangat kental dan dijunjung tinggi, serta sangat
kental dengan sopan santunnya, prilaku yang baik dan masih menganut paham patriarkhi
dimana kaum laki - laki yang memegang kendali. Namun dengan adanya komunitas lesbian,
seolah-olah ingin menunjukkan bahwa perempuan pun mampu untuk memimpin dan ingin
diakui keberadaannya. Kesetaraan jender merupakan modal awal dari kaum perempuan untuk
mendobrak budaya patriarkhi yang selama ini masih kental dalam berjemaat. Kehidupan kita
sebagai individu, sejak kita memasuki keluarga pada saat lahir, melalui pendidikan, kultur
pemuda, dan ke dalam dunia kerja dan kesenangan, perkawinan dan kita mulai membentuk
keluarga sendiri, memberi pesan yang jelas kepada kita bagaimana orang “normal”
berperilaku sesuai dengan jendernya.83
83 Julia Cleves Mosse. Gender dan Pembangunan. (Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center dan Pustaka Pelajar, 1996)
72
Mengalisa tanggapan jemaat GMIM “Betani” mengenai tanggapan terhadap lesbian
dalam jemaat, peneliti kaitkan menurut teori nature dan nurture, karena konstruksi sosial
budaya jender, seorang perempuan yang karena dia lahir dengan jenis kelamin perempuan
maka dia pun kemudian dibentuk untuk menjadi seorang perempuan sesuai dengan kriteria
yang berlaku dalam suatu masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya
bahwa karena dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi “kodrat” pula
bagi dia untuk menjadi sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional dan sebagainya.
Penanaman citra bahwa seorang perempuan itu lebih cocok berperan sebagai seorang ibu
dengan segala macam tugas domestiknya yang selalu dikatakan sebagai “urusan perempuan”,
seperti membersihkan rumah, mengurus suami dan anak, memasak, berdandan dan
sebagainya.
Dalam hal pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan jender mungkin tidak
akan mendatangkan masalah jika tidak ada pembedaan dalam jender atau ketidak-adilan
jender (gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan.
Meskipun pada akhirnya ketidakadilan itu lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan.
Ketidakadilan jender tersebut antara lain termanifestasi pada penempatan perempuan dalam
stratifikasi sosial masyarakat, yang pada kelanjutannya telah menyebabkan kaum perempuan
mengalami ketidak-adilan jender.
Dari penelitian, observasi dan wawancara, peneliti menyikapi bahwa dari realita
lesbian yang terjadi di jemaat perlu di analisa menurut pemahaman studi jender yang ada,
dimana studi jender berperan dalam melihat adanya manifestasi ketidakadilan terhadap
perempuan yang ditimbulkan oleh adanya asumsi jender sebagai berikut:
1. Menurut Fakih dalam buku analisis jender, adanya marginalisasi (kemiskinan
ekonomi) terhadap kaum perempuan. Meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan
73
yang disebabkan oleh ketidakadilan jender, yang dipersoalkan dalam analisis jender
adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan jender.84 Seperti dalam kasus
yang di alami Sinta ( bukan nama sebenarnya ) seorang anak perempuan yang dalam
keluarganya selalu mendapat perlakuan tidak adil dari orang tua, karena orang tua
lebih memihak kepada anak laki-laki.
2. Pendapat Fakih dalam hal terjadinya subordinasi pada salah satu jenis sex yang
umumnya pada kaum perempuan yan dalam hal ini rumah tangga, masyarakat,
maupun negara, bahkan gereja banyak kebijakan dibuat tanpa “menganggap penting”
kaum perempuan. Dari observasi lapangan peneliti menemukan beberapa kesimpulan
dari pendapat jemaat tentang perempuan yang mengatakan bahwa wanita pada
akhirnya akan ke dapur, sehingga untuk apa wanita itu sekolah tinggi-tinggi dan juga
menganggap bahwa wanita itu lemah, dan tidak bisa melakukan pekerjaan laki-laki.
3. Mutali’in menanggapi mengenai pelabelan negative (stereotype) terhadap jenis
kelamin tertentu, terutama kaum perempuan dan akibat dari stereotype itu terjadi
diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya.85 Dalam berjemaat di GMIM
“Betani” banyak sekali stereotype yang dilabelkan pada kaum perempuan yang
akibatnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan.
Misalnya dalam hal bergereja di GMIM, jarang ditemukan seorang ketua wilayah
perempuan.
4. Kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, karena
perbedaan jender. Menurut Fakih, kekerasan di sini mulai dari kekerasan fisik seperti
pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus
seperti pelecehan (seksual harassment) dan penciptaan ketergantungan. Peneliti
menyikapi bahwa manifestasi ketidak-adilan terhadap perempuan yang dalam hal
84 Mansour Fakih. Analisi Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), 12-23 85 Achmad Mutali’in. Bias Jender Dalam Pendidikan. (Surakarta: Muhamadiah University Press.2001), 32-40
74
mengalami kekerasan yang pada akhirnya kekerasan atau pelecehan seksual ini yang
sering menjadi alasan utama seorang wanita menjadi penyuka sesama jenis atau
lesbian.
5. Karena peran jender, pekerjaan perempuan adalah mengelola rumah tangga, banyak
perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama. Dengan
kata lain “peran jender” perempuan yang menjaga dan memelihara kerapian tersebut
telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka
harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik.
Sosialisasi peran jender tersebut menjadikan rasa bersalah bagi perempuan yang tidak
melakukannya, sementara bagi kaum laki-laki, tidak saja merasa bukan tanggung
jawabnya, bahkan dibanyak tradisi dilarang untuk berpartisipasi. Meskipun demikian
secara ekonomi dan secara sosial starusnya di dalam masyarakat dianggap kurang
berharga dan rendah.86
Manifestasi ketidakadilan itu tersosialisasi baik kaum laki-laki maupun perempuan
secara mantap, yang lambat laun baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan
akhirnya percaya bahwa peran jender itu seolah-olah menjadi kodrat. Lambat laun terciptalah
suatu struktur dan sistem ketidak-adilan jender yang diterima dan sudah tidak lagi dapat
dirasakan adanya sesuatu yang salah.
Peneliti menyikapi bahwa Mutali’in dan Fakih melalui model manifestasi ketidak-
adilan mau menyimpulkan bahwa mayoritas yang menjadi korban ketidakadilan jender
adalah kaum perempuan, analisis jender seharusnya hanya menjadi alat perjuangan kaum
perempuan, namun analisis jender justru menjadi alat gerakan feminisme untuk menjelaskan
sistem ketidakadilan. Lebih lanjut, analisis jender ini memungkinkan gerakan feminisme
memfokuskan pada relasi (struktur) jender serta keluar dari pemikiran yang memfokuskan 86 Mutali’in. Bias Jender, 39
75
pada ”perempuan”, dengan demikian yang menjadi agenda utama setiap usaha perubahan
sosial tidak sekedar menjawab kebutuhan praktis atau merubah kondisi kaum perempuan,
melainkan juga menjawab kebutuhan strategis kaum perempuan, yakni memperjuangkan
posisi kaum perempuan.
Komunitas lesbian di Manado sudah tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya,
meskipun keberadaan mereka kerap kali ditolak oleh masyarakat sekitar mereka. Keberadaan
komunitas lesbian yang dianggap suatu penyimpangan, melanggar norma agama serta
menentang kodrat yang menyebabkan belum bisanya komunitas tersebut diterima
sepenuhnya oleh masyarakat dan negara. Keberadaan komunitas lesbian yang terpinggirkan
tersebut masih dianggap seperti suatu “penyakit menular” yang harus dihindari. Dengan gaya
berpakaian seorang butch yang dipandang aneh oleh masyarakat, serta pencitraan mereka
(komunitas lesbian) yang kurang baik di mata masyarakat, menyebabkan adanya penolakan
pengakuan dari masyarakat pada umumnya.
Menurut hasil penelitian yang ada, peneliti menemukan bahwa pada umumnya, kaum
homoseksual yang ada di Indonesia saat ini khususnya di Manado mempunyai sex role yang
cenderung berubah-ubah. Karena itu, tampak pada lesbian, sifat gaya kelaki-lakiannya.
Walaupun ini disembunyikan, namun akan tetap tampak karakter laki-lakinya. Itu hanya
disebabkan lesbian cenderung lebih tertutup karena adanya tuntutan budaya yang
mengarahkan pada tataran hidup normatif. Menurut penelitian, ada juga kemungkinan bahwa
para lesbian ini awalnya hanya ingin merasakan nikmatnya berhubungan seksual, namun
mereka takut mengalami kehamilan. Sebab itulah, mereka akhirnya jatuh ke dalamnya.
Menurut pengamatan peneliti, ketidak-adilan yang dialami kaum perempuan dalam
hal ini kaum lesbian di Manado menuntut adanya kesetaraan jender. Dimana mereka bebas
untuk menentukan identitas diri mereka sesungguhnya dengan tidak ada lagi manifestasi
76
ketidak-adilan jender terhadap perempuan. Kaum lesbian ini menganggap bahwa
penyimpangan jender yang mereka alami itu adalah sebuah akibat dari manifestasi ketidak-
adilan jender itu sendiri. Mereka menganggap diri mereka “orang yang dipinggirkan” karena
orientasi seksual mereka yang berbeda. Begitu juga di Manado pada umumnya dan di jemaat
GMIM “Betani” secara khusus, sampai saat ini belum mendapatkan pengakuan dan
penerimaan sepenuhnya dari masyarakat. Mereka (kaum lesbian) kerap mendapatkan
beragam bentuk ketidakadilan, seperti kekerasan psikis, seksual, maupun ekonomi, yang
terjadi baik itu di dalam rumah, sekolah, tempat bekerja, tempat ibadah dan masyarakat
sekitar. Mereka juga mendapatkan beragam stigma/label, seperti sebutan ”abnormal”, ”sakit”,
”dosa”, ”kotor”, dan lain-lain sebutan. Kondisi ini menjadikan sebagian lesbian akhirnya
lebih memilih menutup diri dan hidup dengan identitas yang bukan sesungguhnya dan hanya
membuka jati diri di kalangan mereka sendiri.
Berdasarkan teori Queer yang dipaparkan oleh Butler; “ gender is a kind of imitation
for witch there is no original; in fact, it is a kind of imitation that produce the very notion of
the original as an effect and consequence of imitation it self”. Butler menegaskan bahwa
tidak ada identitas jender dibalik ekspresi jender.87 Butler juga menolak koherensi yang tetap
antara identitas jender dan identitas seksual. Jender adalah sebuah peniruan sehingga tidak
ada yang asli. Ketika seorang telah diidentifikasi sebagai perempuan, maka ia akan meniru-
niru performansi perempuan. Dalam hal ini Peneliti menyikapi bahwa Teori Queer berkenaan
dengan relasi-relasi yang aneh atau yang tidak biasa seperti para kaum lesbian. Teori queer
berakar dari materi bahwa identitas tidak bersifat tetap dan stabil. Identitas bersifat historis
dan dikonstruksi secara sosial. Dalam konteks teori, teori ini dapat digolongkan sebagai
sesuatu yang anti identitas. Ia bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tidak normal atau aneh.
Dalam teori ini terdapat tiga makna intelektual dan politik, meskipun sulit membuat batasan-
87 Judith Butler. Gender Trouble: Feminism and the subversion of identity. (New York:Routledge.1990), 145
77
batasannya. Melalui hal ini Queer mengisyaratkan bahwa sesungguhnya kaum lesbian di
jemaat mengalami perlakuan tidak adil dibanding kaum heteroseksual pada umumnya.
Karakter kehidupan seorang lesbian sebenarnya sama seperti aktor dalam
memerankan sebuah film, dimana dalam keseharian seorang aktor sesungguhnya berbeda
dengan apa yang diperankannya. Namun, tidak sering akibat peranan yang dilakoninya aktor
tersebut mendapat pendiskriminasian dari masyarakat luas. Jemaat atau masyarakat dalam hal
ini seharusnya melihat mereka lebih jelas dari dekat dan kemudian berhenti mendiskriminasi
mereka. Stigma atau pandangan jemaat terhadap mereka inilah yang perlu di ubah. Perubahan
tersebut melibatkan studi jender untuk membuka pemikiran yang baru. Jender adalah istilah
yang merujuk pada seperangkat karakteristik yang dipandang manusia sebagai hal yang
membedakan antara lelaki dan wanita, dari hal biologis seperti jenis kelamin sampai dengan
peran sosial dan identitas gender. Jemaat seharusnya mampu mengaplikasikan pemahaman
studi jender terhadap kaum lesbian.
4.3 Refleksi Teologis
Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan sebuah refleksi dari penyimpangan sekusal /
orientasi sesksual yang berbeda tersebut yang terjadi pada perempuan. Lesbian, adalah
merupakan orientasi seksual yang berbeda yang terjadi pada perempuan. Penyimpangan ini
membuat mereka menjadi kaum minoritas atau kaum yang dipinggirkan dari kehidupan
heteroseksual.
Kehidupan manusia sesungguhnya telah di kodratkan untuk hidup berpasangan satu
dengan yang lain. Namun, pada kenyataannya ada suatu orientasi seksual yang berbeda
sehingga seorang merasa lebih nyaman dengan sesama jenisnya. Orientasi seksual yang
berbeda ini terjadi pada laki-laki dan perempuan. Orientasi seksual yang berbeda ini disebut
dengan homoseksual.
78
Menurut pendapat seorang pendeta yang peneliti wawancarai, yakni Pdt. J.Sualang
mengatakan bahwa Alkitab sesungguhnya menyatakan kepada kita agar hidup dalam
perdamaian dengan semua orang. Sebagai orang-orang Kristen kita dapat melakukannya
dengan semua orang, termasuk dengan mereka yang homoseksual. Seperti yang kita ketahui
beberapa mereka yang mengklaim sebagai orang-orang Kristen yang mengajak untuk
membenci dan berlaku kasar terhadap mereka yang homoseksual, dan juga berpijak pada
posisi menentang mereka yang menganjurkan hal demikian, dengan kata lain orang Kristen
tidak boleh melakukan pelecehan dan bersikap kasar terhadap mereka yang homoseksual.
Alkitab dengan jelas mengecam perilaku homoseksualitas sebagai dosa dan orang-
orang Kristen yang mengikuti semua firman Tuhan dengan serius harus juga mengecam
perilaku ini sebagai dosa. Melalui ayat – ayat dalam Alkitab misalnya, Imamat 18:22;
“Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena
itu suatu kekejian.”, dan juga beberapa ayat dalam Alkitab yang lain misalnya Imamat 20:13
yang mengungkapkan bahwa bila ada persetubuhan sesama jenis akan di hukum mati;
“Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”.
Dalam I Korintus 6 :9-10 mengungkapkan bahwa orang yang dianggap banci atau penyuka
sesama jenis tidak akan mendapat tempat dalam kerajaan Allah;
“...Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit,pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.”
Juga dalam Roma 1:26-28 yang menegaskan bahwa persetubuhan sesama jenis merupakan
sebuah kesesatan yang membuat Allah murka hingga mengutuk mereka yang melakukan hal
itu;
79
“Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar.Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.Dan karena mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk, sehingga mereka melakukan apa yang tidak pantas”
Dari pernyataan-pernyataan dalam ayat Alkitab di atas, yang sangat jelas menentang
homoseksualitas, sangat sulit melihat bahwa Alkitab mendukung adanya homoseksualitas.
Kebenarannya adalah Tuhan menciptakan laki – laki dan perempuan, bukan laki-laki dan
laki-laki, atau wanita dengan wanita. Namun, dalam Alkitab penyimpangan ini adalah dosa.
Seorang yang diketahui homoseksual tidak berarti kita tidak dapat mengasihinya atau
berdoa baginya. Lesbian adalah sebuah dosa yang sama dengan dosa lainnya, yang hanya
dapat diatasi dengan satu jalan yakni pertobatan. Dosa itu harus diletakan pada salib dan
bertobat. Orang-orang Kristen harus berdoa bagi keselamatan homoseksual seperti halnya
berdoa bagi orang lainnya yang terlibat dalam sebuah dosa. Mereka harus memperlakukan
kelompok homoseksual dengan sikap hormat yang sama sebagaimana terhadap orang lainnya
karena suka atau tidak, mereka diciptakan dalam citra Tuhan. Akan tetapi ini tidak berarti
bahwa orang-orang Kristen harus menyetujui perbuatan dosa mereka.
Homoseksualitas pada perempuan maupun pada laki-laki tidak pernah disebutkan
dalam Alkitab sebagai perilaku yang dapat diterima, bilamana perilaku ini dijalankan oleh
individu-individu yang memiliki hubungan saling mencintai satu sama lain.
Homoseksualitas selalu dikecam. Tindakan-tindakan homoseksualitas bukanlah perilaku
alamiah dan mereka melawan ketetapan ciptaan Tuhan.
Dalam Perjanjian Lama dikatakan bahwa manusia diciptakan didunia ini bepasang-
pasangan (Kej 1:27) yang kemudian Tuhan memerintahkan manusia untuk beranak cucu dan
memenuhi bumi (Ay.28). Secara seksual, manusia tidak akan mungkin menghasilkan
80
keturunan jika tidak berhubungan dengan lawan jenisnya. Oleh karena itu penulis
menganggap bahwa kaum lesbian adalah kaum yang menentang perintah dan ketetapan dari
Tuhan.
Banyak alasan bagi kaum lesbian untuk menutupi latar belakang mereka sebagai
seorang homoseksual. Misalnya dengan mengatakan bahwa orientasi seksual mereka yang
berbeda sudah ada sejak lahir, namun sesungguhnya sebagian besar dari kaum lesbian ini
adalah hasil dari ketidak-adilan jender secara psikologis, misalnya karena kurangnya
keharmonisasian dalam keluarga, atau kurangnya kasih dan perhatian dari orang tua terhadap
anaknya, dan bahkan mungkin karena kekerasan seksual di masa lalu yang pernah dialami.
Perlakuan homokseksual untuk pertama kalinya dalam Alkitab dapat kita baca dalam
Kejadian 18:20 yang mengatakan; “Sesudah itu berfirmanlah TUHAN: "Sesungguhnya
banyak keluh kesah orang tentang Sodom dan Gomora dan sesungguhnya sangat berat
dosanya.” Demikian juga dalam Kejadian 19:24-25 mengatakan;
“Kemudian TUHAN menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal dari TUHAN, dari langit; dan ditunggangbalikkan-Nyalah kota-kota itu dan Lembah Yordan dan semua penduduk kota-kota serta tumbuh-tumbuhan di tanah.”
Asal mula penyimpangan naluri bersadarkan perspektif firman Tuhan, tersirat dalam
Kejadian 8:21 yang mengatakan; “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia,
sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya”. Kalimat “jahat dari
sejak kecil” hendak menggambarkan bahwa kecenderungan hati manusia adalah menyimpang
dari jalan & kehendak Tuhan. Hal itu sinkron dengan penjelasan dari kitab Roma yang
mengatakan bahwa semua orang telah berbuat dosa (Roma 3:23). Dapat disimpulkan bahwa
penyebab utama penyimpangan orientasi seksual adalah keberdosaan manusia. Hal itu yang
kemudian mempengaruhi segala aspek pemicu baik psikologis dan sosial.
Penyimpangan ini dapat berubah atau dipulihkan, namun itu semua berakar dari diri
seorang lesbian itu sendiri ingin berubah atau tidak. Dengan adanya pendampingan yang
81
intens bagi mereka, maka besar kemungkinan bagi mereka untuk dapat dipulihkan. Kaum
minoritas ini tidak dapat disalahkan, mereka hadir dengan berbagai latar belakangnya
masing-masing, yang perlu disalahkan dalam hal ini adalah sikap penolakan kaum
heteroseksual terhadap keberadaan mereka.
Menurut peneliti, meskipun Alkitab secara lantang mengatakan bahwa perilaku
mereka adalah dosa, namun kita manusia tetaplah harus hidup dalam kasih, terutama pada
kaum yang terpinggirkan ini dengan tidak menjauhi mereka melainkan membantu mereka
mengubah cara pandang kehidupan mereka. Membantu mereka memang tidaklah mudah,
membutuhkan usaha yang besar, karena mengubah kebiasaan seseorang adalah sesuatu hal
yang sukar. Sedikit orang yang menyukai akan perubahan. Karena lebih mudah bagi seorang
untuk tetap berada pada sesuatu yang sudah kita kenal meskipun menyakitkan, dari pada
memasuki suatu perubahan tanpa adanya kepastian. Perubahan membutuhkan kesabaran
seperti menanam benih jagung. Untuk menanam benih jagung dibutuhkan kesabaran serta
usaha untuk menyiraminya, mengolah tanahnya, mencabut gulma-gulma, dan merawat
tanaman itu. Apabila tiba saatnya, seorang pemenang akan memetik hasilnya. Demikian juga
dengan kita, jika kita dengan kesabaran dan usaha untuk mengubah seorang homoseksual,
maka akan tiba saatnya bagi kita untuk berhasil.
4.4 Kesimpulan
Pada kenyataannya beberapa dari masyarakat ada yang sudah menerima keberadaan
mereka, tetapi pada umumnya masyarakat masih belum bisa menerima keberadaan komunitas
tersebut. Di Indonesia pada umumnya dan di Manado pada khususnya, masih banyak yang
menganggap kaum homoseksual khususnya lesbian itu sebagai penyimpangan seksual
sterotype negative terhadap homoseksual, hal ini disebut homophobia. Munculnya eksistensi
komunitas lesbian di Manado juga sebagai bentuk perlawanan yang lahir dari masyarakat
82
yang terpinggirkan dengan kondisi masyarakat saat ini. Komunitas ini sebagai simbol
perlawanan dan eksistensi mereka dalam menunjukkan simbol kebebasan dari segala macam
aturan dan norma ke-Timur-an yang serba mengikat. Mereka mencoba melepaskan diri dari
suatu bentuk kemapanan, identitas sosial. Mereka ingin menampilkan sesuatu yang baru dan
lain yang diyakini sebagai gaya hidup/life style.
Berdasarkan pandangan Kekristenan, Homoseksualitas adalah salah satu dari banyak
kemungkinan dosa-dosa yang dapat menguasai manusia. 1 Korintus 6:9 memproklamasikan
bahwa para pelaku homoseksual tidak akan masuk kedalam kerajaan Tuhan.
Homoseksualitas bukanlah dosa yang lebih besar daripada dosa-dosa lainnya. Semua dosa
adalah kejahatan dimata Tuhan. Homoseksualitas salah satu dari banyak dosa yang terdaftar
dalam I Korintus 6:9-10 yang mengakibatkan seseorang terpisah dari kerajaan Tuhan.
Pengampunan Tuhan juga tersedia bagi homoseksual sebagaimana kepada penzinah,
penyembah berhala, pembunuh, pencuri, dan sebagainya. Tuhan juga menjanjikan kekuatan
untuk kemenangan atas dosa, termasuk homoseksualitas, bagi semua orang yang percaya
kepada Yesus Kristus untuk keselamatan mereka ( IKorintus 6:11 ; 2 Korintus 5:17).