Upload
dinhkiet
View
220
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
31
Bab IV Analisis dan Pembahasan
IV.1 Analisis Clustering
Analisis clustering menggunakan jaringan kompetitif Kohonen (Self
Organizing Map) menggunakan 2 vektor masukan x1 dan x2. Vektor x1 diisi
dengan nilai bobot yang didapat dari korelasi sunspot perwilayah, sementara x2
adalah nilai grid point posisi geografis stasiun. Vektor masukan tersebut di
training menggunakan 500 iterasi agar mendapatkan nilai euclidis optimum
(terdekat ) dengan neuron sekitar.
Gambar IV.1 Posisi neuron sebelum pelatihan
Gambar IV.2 Posisi neuron setelah pelatihan (epoch = 500)
32
Dengan jaringan Kohonen, dapat ditentukan jumlah neuron target. Disini
didapat lima kelompok output berdasarkan neuron terdekat yang kemudian
disebut sebagai Zona Prediksi meskipun secara fisis batasan antar zona bukanlah
batasan tegas karena didasarkan pada euclidis (jarak terdekat) antara neuron.
Tabel IV.1 Zona Prediksi
ZONA 1 ZONA 2 ZONA 3 ZONA 4 ZONA 5
Kuala Kayan Paloh Putusibau Tanjung Selor Kotabaru
Banjarmasin Sintang Nangapinoh Tanjung Redeb Banjarbaru
Syamsudin Noor Pontianak Ketapang Samarinda Tarakan
Tanjung Singkawang Pangkalanbun Balikpapan Longiram
Sampit Muarawahau
Palangkaraya Sangkulirang
Muaratewe
Zona Prediksi 1 meliputi sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian
Kalimantan Selatan yang berbatasan dengan Laut Jawa, Zona Prediksi 2
meliputi sebagian besar Kalimantan Barat dimana sebelah baratnya berbatasan
dengan Laut Cina dan Selat Karimata, Zona Prediksi 3 meliputi sebagian
daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, sementara itu Zona Prediksi 4
meliputi sebagian Kalimantan Timur yang berbatasan dengan Selat Makasar,
Zona Prediksi 5 meliputi sebagian daerah Kalimantan Timur bagian Barat dan
sebagian Kalimantan Selatan yang berbatasan dengan Selat Makasar dan Laut
Jawa.
IV.2 Analisis Spektral
Pelacakan sinyal sunspot yang hadir pada data curah hujan masing-
masing zona prediksi dilakukan dengan analis spektral menggunakan Fast
Fourier Transform (FFT) untuk menemukan komponen frekuensi. Selanjutnya
perhitungan densitas power spektral menghasilkan variasi energi frekuensi
(magnitudo). Hasil akhir spektral berupa plotting power versus frekuensi
berupa periodogram yang menunjukkan proses siklik dari data sampel.
33
Secara garis besar analisis spektral periodogram menunjukkan adanya
sinyal sunspot pada setiap deret waktu data curah hujan masing-masing zona
prediksi. Pada Zona Prediksi 1, memperlihatkan adanya periode yang mendekati
periode siklus sunspot dengan magnitude 1.3 x 108. Pada Zona Prediksi 2,
deret waktu data curah hujan memperlihatkan periode 11 tahunan siklus sunspot
dengan magnitudo yang cukup besar yaitu 8.3 x 108. Sementara itu, pada Zona
Prediksi 3, deret waktu data curah hujan memperlihatkan adanya sinyal sunspot
yang hadir dengan magnitude yang tidak terlalu besar yaitu 2.2 x 108.
Gambar IV.3 Spektrum data sunspot
Gambar IV.4 Spektrum data curah hujan pada Zona Predisksi 2
34
Pada Zona Prediksi 4 dan 5, sinyal sunspot yang lemah ditunggangi oleh
adanya gangguan lain meskipun tidak terlalu besar dengan periode 5-6 tahun
yang diidentifikasi sebagai ENSO. Gangguan ini sedikit meredam sinyal sunspot
yang lemah pada deret waktu data curah hujan. Gambaran lengkap periodogram
setiap zona prediksi diperlihatkan pada lampiran L III.4.
Dalam konteks sebenarnya, fenomena sunspot mempengaruhi kondisi
cuaca dan iklim dalam cakupan daerah yang luas dan bersifat global. Peranan
aktivitas matahari pada pembentukan awan dipercayai berkaitan dengan
variabilitas fluks sinar kosmik primer. Partikel-partikel sinar kosmik yang
masuk ke atmosfer bumi dengan kecepatan mendekati 3.108 m/s memiliki energi
lebih dari 10 MeV (1.6 x 10-7 erg). Dengan kecepatan dan energi sedemikian
sangat mungkin terjadi tumbukan antara partikel ketika kosmik memasuki
wilayah atmosfer bumi. Diluar eksosfer terdapat suatu daerah dengan sifat
magnetik bumi yang berinteraksi dengan arus radiasi korpuskuler yang disebut
angin matahari (solar wind). Partikel-partikel bermuatan dari angin matahari
didefleksikan oleh medan magnet bumi dengan sebuah gaya yang tegak lurus
pada medan magnet dan trajektori partikel :
F qv x B=uv v uv
... (IV.1)
Dengan, Fuv
adalah gaya yang bekerja pada partikel bermuatan, q merupakan
muatan partikel, vv
adalah kecepatan partikel bermuatan dan Buv
adalah induksi
magnetik. Buv
memberikan efek defleksi partikel-partikel menjauhi bumi. Efek
partikel kosmik bervariasi pada lintang di bumi sebagai akibat garis medan
magnet bumi.
Partikel-partikel akan ditolak oleh medan magnet bumi, tapi tumbukan
tetap akan terjadi dan mengganggu lintasannya meskipun ada juga yang
terperangkap. Jika hal ini terjadi maka partikel akan bergerak spiral (berpilin)
sebagaimana gambar IV.5. Putaran pilin (spiral) lebih renggang ketika berada
sekitar ekuator dan menjadi lebih rapat ketika mencapai medan magnet yang
lebih kuat ke arah kutub.
35
Helical motion ofElectrons and ionsAround field lines
Iondrift
Ring current
electrondrift
+ -
Gambar IV.5 Gerakan helikal ion dan elektron sepanjang garis gaya magnet
(Sandstorm, 1965).
Partikel-partikel akan bergerak mengikuti lintasan magnet bumi.
Intensitas tumbukan yang kuat terjadi pada densitas yang lebih tinggi di daerah
kutub. Tumbukan partikel kosmik dengan kecepatan dan energi yang besar
mampu memecah komposisi molekul yang berada di atmosfer terutama yang
mengandung ion H+ dalam kaitannya dengan pembentukan inti kondensasi
sehingga dapat dikatakan bahwa partikel-partikel sinar kosmik berhubungan
dengan tingkat tutupan awan dan bervariasi terhadap lintang ataupun bujur
(lihat gambar IV.6 dan IV.7).
Gambar IV.6 Koefisien korelasi antara sinar kosmik primer dan tutupan awan
(Svensmark dan Friis, 1997).
36
Sebaliknya di ekuator karena densitas yang rendah dari medan magnet
bumi menyebabkan intensitas tumbukan menjadi kecil ditambah lagi lintasan
medan yang lebih panjang dibandingkan kutub. Fluks sinar kosmik maksimum
di ekuator berkaitan dengan rendahnya radiasi yang diterima karena terhalang
oleh tutupan awan tinggi yang terbentuk sehingga terjadi pendinginan
permukaan dan berdampak pada lemahnya updraft (udara naik).
180 150 120 90 60 30 30 60 90 120 150 180
%
10
5
-5
-10
W E180 150 120 90 60 30 30 60 90 120 150 180
%
10
5
-5
-10
180 150 120 90 60 30 30 60 90 120 150 180
%
10
5
-5
-10
W E
Gambar IV.7 Intensitas sinar kosmik sebagai fungsi garis bujur
(Sandstorm, 1965)
Intensitas sinar kosmik memperlihatkan suatu hubungan terbalik dengan
siklus sunspot. Kurva gambar IV.8 memperlihatkan bahwa pada saat puncak
siklus sunspot 10-12 tahun terjadi minimum di sinar kosmik atau bisa juga
disebutkan bahwa sinar kosmik mengalami keterlambatan fasa terhadap
aktivitas matahari. Hal ini disebabkan oleh medium antara planet membelokkan
sinar kosmik selama aktivitas matahari tinggi. Akibatnya sinar kosmik terlihat
seperti termodulasi oleh aktivitas matahari.
37
Gambar IV.8 Kurva hubungan sinar kosmik dengan siklus sunspot
Hubungan antara sinar kosmik dan curah hujan dapat diinterpretasikan
bahwa ketika sinar kosmik maksimum di ekuator mengakibatkan terhalangnya
radiasi langsung matahari ke bumi oleh awan-awan tinggi yang terbentuk
sehingga terjadi pendinginan permukaan. Akibatnya konvektivitas menjadi kecil
karena tidak ada gaya angkat ke atas (bouyancy) sehingga jumlah curah hujan
menjadi minimum. Sebaliknya ketika sinar kosmik minimum maka
konvektivitas di ekuator menjadi kuat karena radiasi matahari dapat langsung
diterima oleh permukaan ditandai dengan curah hujan yang maksimum.
Gambar IV.9 memperlihatkan kuatnya hubungan antara sunspot-kosmik
adalah -0.86 yang menunjukkan korelasi terbalik karena beda fasa antara
kosmik dan bilangan sunspot artinya ketika aktivitas matahari maksimum maka
kosmik akan minimum. Sementara itu hubungan radiasi-kosmik juga
memberikan korelasi -0.76 sesuai dengan analisis awal bahwa peningkatan
kosmik akan mengakibatkan minimnya radiasi sehingga konvektivitas menjadi
kecil. Hubungan radiasi-sunspot memberikan korelasi 0.83 artinya ketika terjadi
penguatan medan magnet matahari sebagai indikasi aktif diikuti dengan
penguatan radiasi yang diterima oleh bumi.
Intensitas kosmik yang cenderung kecil di ekuator dibandingkan daerah
kutub memberikan gambaran bahwa di ekuator menerima radiasi yang lebih
38
besar dibandingkan daerah manapun di bumi sehingga berdampak pada kuatnya
konveksi sepanjang tahun.
Gambar IV.9 Kurva hubungan siklus sunspot-radiasi-sinar kosmik,
Radiasi-sunspot =0.83, radiasi-kosmik =-0.76,
sunspot-kosmik=-0.86
Dengan menambahkan data radiasi rata-rata Pontianak pada peta radiasi
matahari LIPI, 2005 (lampiran L III.8) terlihat bahwa intensitas radiasi terbesar
berada pada sebagian besar Zona Prediksi 2. Asumsi fisis ini diperkuat dengan
tingginya jumlah hujan (mm) yang terdistribusi pada Zona Prediksi 2 (gambar
Gambar IV.11).
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 2400
20
40
60
80
100
120
260
284
308
332
356
380
404
Gambar IV.10 Kontur radiasi bulanan rata-rata untuk Indonesia
Dengan distribusi radiasi rata-rata 431.1 cal.cm-2.month-1 sangat
memungkinkan jika terjadi konveksi updraft yang sangat kuat di Zona Prediksi 2.
39
1120 BT 1160 BT
40 LU
00
40 LS 145
165
185
205
225
245
265
Gambar IV.11 Isohyet curah hujan bulanan rata-rata
Ketika kedudukan matahari berada pada lintang 23.50 BBU yang
disebut sebagai soltis musim panas maupun ketika terjadi soltis musim dingin
dengan kedudukan matahari pada lintang 23.50 BBS ekuator tetap menerima
radiasi yang optimum, apalagi ketika posisi matahari pada ekinoks. Dengan
melihat pola kontur radiasi matahari bulanan (gambar IV.10) yang terdapat pada
wilayah bagian barat Kalimantan (zona prediksi 2) cukup memperjelas tentang
tingginya konvektivitas pada wilayah tersebut.
Gambar IV.12 Distribusi radiasi Zona Prediksi 2, rata-rata 431.1 cal.cm-2.month-1
1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006123456789
101112
370
400
430
460
490
520
550
Bulan
Tahun
40
Aktivitas matahari yang ditandai dengan siklus sunspot seharusnya
memberikan pengaruh global pada setiap zona prediksi di Kalimantan. Hanya
saja gangguan ini akan dieliminir oleh adanya dinamika atmosfer yang
berbeda-beda pada masing-masing zona. Jika dilihat dengan pola angin (gambar
IV.13), wilayah barat kalimantan (Zona Prediksi 2) cenderung statik sehingga
inti kondensasi yang bersinergi dengan aktivitas matahari tidak terdisipasi ke
wilayah lain, berbeda dengan daerah selain zona 2 yang cenderung terdisipasi.
a) b)
Gambar IV.13 Pola angin 1000 mb bulan (a) Januari, dan (b) bulan Juli
(sumber : http://www.bom.gov.au/)
2.00
2.40
2.80
3.20
3.60
4.00
4.40
4.80
5.20
5.60
6.00
1120 BT 1160 BT
40 LU
00
40 LS
Gambar IV.14 Kontur Kecepatan Angin Tahunan Rata-rata
Observasi Permukaan
Gambar IV.14 memberikan bukti kuantitatif tentang kondisi atmosfer di Zona
Prediksi 2 yang cenderung statik dibandingkan pada zona lainnya. Lebih engkap
gambaran pola dan kecepatan angin bulanan dapat dilihat pada lampiran L III.
41
Daerah konvergensi (Inter Tropical Conve Zone, ITCZ) dan efek
Coriolis juga berpengaruh dalam mengumpulkan inti kondensasi disekitar
Kalimantan bagian barat yang sebanding dengan jumlah rata-rata curah
hujannya. Kondisi geografis yang sedikit dipengaruhi oleh faktor orografi juga
menjawab mengapa zona prediksi selain Zona Prediksi 2 kurang memberikan
respon langsung pada sinyal sunspot. Gambaran lengkap hubungan aktivitas
matahari-curah hujan dapat dilihat pada lampiran L III.
Gambar IV.15 Korelasi curah hujan – sunspot pada Zona Prediksi 2
IV.3 Prediksi Curah Hujan
Prediksi dilakukan dengan menempatkan curah hujan sebagai prediktor
(1 Prediktor) dan menggunakan sinar kosmik dan sunspot sebagai prediktor (2
Prediktor) pada masing-masing Zona Prediksi dimana curah hujan sebagai
prediktan. Pengujian dilakukan dengan metode ANFIS dan Jaringan Neural
untuk membuat prediksi curah hujan satu tahun (12 bulan) ke depan serta
melakukan variasi panjang data input. Disamping itu juga dilakukan prediksi 14
tahun ke depan (14 titik) untuk masing-masing Zona Prediksi.
Prediksi curah hujan bulanan dengan Metode ANFIS maupun Jaringan
Neural dilakukan dengan panjang data bervariasi yaitu 45 tahun, 30 tahun, dan
15 tahun. Pembelajaran (training) dilakukan dengan menggunakan data input
42
tersebut. Setelah mendapatkan nilai optimum pembelajaran (error mendekati 0)
selanjutnya dilakukan prediksi 12 bulan kedepan.
Gambar IV.16 Hasil Training (atas) dan Error (bawah) dengan Metode ANFIS
1 Prediktor untuk Zona 1 menggunakan panjang data 45 tahun.
Gambar IV.17 Hasil prediksi (2006) dengan Metode ANFIS 1 Prediktor untuk
Zona 1 menggunakan panjang data 45 tahun.
43
Gambar IV.18 Hasil Training (atas) dan Error (bawah) dengan Jaringan Neural
1 Prediktor untuk Zona 1 menggunakan panjang data 45 tahun.
Gambar IV.19 Hasil prediksi (2006) dengan Jaringan Neural 1 Prediktor untuk
Zona 1 menggunakan panjang data 45 tahun.
Secara keseluruhan hasil keluaran Metode ANFIS 1 Prediktor
menunjukkan korelasi positif berkisar 0.46 sampai dengan 0.81 dengan rata-rata
nilai korelasi 0.81 pada panjang data 45 tahun. Nilai RMSE (Root Mean Square
Error) berkisar 15.54 sampai 59.19 dengan rata-rata RMSE 15.54 pada panjang
data 45 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum hasil prediksi cukup
44
baik diterapkan pada seluruh Zona Prediksi. Sementara itu hasil keluaran Model
Jaringan Neural menunjukkan kisaran korelasi negatif (pada Zona Prediksi 5
dengan panjang input 30 th) dan positif dengan rata-rata korelasi keseluruhan
antara 0.48 sampai dengan 0.79 atau rata-rata nilai korelasi 0.82. Nilai RMSE
(root mean square error) berkisar 72.98 sampai 84.88 atau dengan rata-rata
74.42. pada panjang data 30 tahun
Korelasi negatif menunjukkan bahwa peningkatan nilai hasil prediksi
berbanding terbalik dengan data observasi. Hasil prediksi model keluaran
Jaringan Neural 1 Prediktor tidak lebih baik dari keluaran Metode ANFIS 1
Prediktor meskipun secara keseluruhan cukup baik diterapkan pada seluruh
Zona Prediksi.
Berikut ini disampaikan nilai RMSE dan korelasi hasil prediksi curah
hujan menggunakan Metode ANFIS 1 Prediktor maupun Metode Jaringan
Neural 1 Prediktor dengan variasi jumlah data masukan pada masing-masing
Zona Prediksi :
Tabel IV.2 Nilai Error Prediksi, RMSE dan Koefisien Korelasi tiap Zona
Prediksi Dengan Metode ANFIS 1 Prediktor
15 Tahun 30 Tahun 45 Tahun
E P(%) RMSE (mm) Korelasi EP (%) RMSE
(mm) Korelasi EP (%) RMSE (mm) Korelasi
ZONA 1 19.49 46.25 0.69 19.52 48.96 0.79 3.92 10.71 0.80
ZONA 2 24.66 63.86 0.25 18.70 42.07 0.85 4.27 12.47 0.75
ZONA 3 21.71 40.21 0.65 25.32 43.76 0.76 7.37 17.81 0.95
ZONA 4 576.39 77.86 0.67 604.97 89.16 0.46 20.58 20.82 0.92
ZONA 5 23.40 67.75 0.03 19.61 56.08 0.36 6.23 15.88 0.64
Rata-rata 133.13 59.19 0.46 137.62 56.01 0.64 8.47 15.54 0.81
Tabel IV.3 Nilai Error Prediksi, RMSE dan Koefisien Korelasi tiap Zona
Prediksi Dengan Metode Jaringan Neural 1 Prediktor
15 Tahun 30 Tahun 45 Tahun
EP (%)
RMSE (mm)
Korelasi
EP (%)
RMSE (mm)
Korelasi
EP (%)
RMSE (mm)
Korelasi
ZONA 1 37.85 85.38 0.06 30.44 71.50 0.44 36.49 81.79 0.86
ZONA 2 49.45 100.49 0.68 26.73 70.19 0.67 34.59 85.09 0.71
ZONA 3 50.42 104.63 0.42 39.54 82.07 0.82 33.43 70.04 0.73
ZONA 4 227.69 76.57 0.61 66.29 68.28 0.78 96.52 63.22 0.85
ZONA 5 23.46 57.35 0.61 31.42 80.06 -0.16 23.57 64.78 0.82
45
Rata-rata 77.77 84.88 0.48 38.88 74.42 0.51 44.92 72.98 0.79
Sementara itu juga dicoba melakukan prediksi menggunakan sinar
kosmik dan sunspot sebagai prediktor (2 Prediktor) untuk panjang data 45 tahun,
namun memperlihatkan hasil yang kurang baik jika dibandingkan dengan
prediksi menggunakan curah hujan sebagai prediktor (1 Prediktor). Hal ini
dimungkinkan karena aktivitas matahari lebih terasa pengaruhnya pada periode
yang panjang (tahunan). Berikut ini disampaikan tabel deskripsi akurasi prediksi
menggunakan 2 input pada panjang data 45 tahun.
Tabel IV.4 Akurasi tiap Zona Prediksi dengan Metode ANFIS dan Jaringan
Neural 2 Prediktor pada panjang data 45 tahun.
ANFIS 2 Prediktor Jaringan NEURAL 2 Prediktor
EP (%) RMSE Korelasi EP (%) RMSE (mm) Korelasi ZONA 1 31.19 61.83 0.53 37.80 98.53 -0.38 ZONA 2 26.84 66.05 0.30 79.19 166.46 -0.75 ZONA 3 27.95 55.60 0.04 47.56 89.59 -0.75 ZONA 4 907.37 104.89 0.48 535.27 87.40 -0.12 ZONA 5 20.46 60.83 0.66 39.21 104.97 -0.22
Rata-rata 202.76 69.84 0.40 147.81 109.39 -0.44
Secara umum panjang data input 45 tahun cukup ideal untuk
mengeliminir efek global yang dibangkitkan oleh sistem atmosfer – bumi –
lautan. Gambaran hasil training dan prediksi secara keseluruhan untuk panjang
input berbeda ditampilkan dalam lampiran L I.1. Sedangkan tabel nilai RMSE
tiap metode ditampilkan pada lampiran L IV.
Sementara itu prediksi curah hujan tahunan dilakukan menggunakan
Metode ANFIS dengan panjang data 46 tahun (1961-2006) untuk mendapatkan
14 tahun output (2007-2020) terdiri dari ANFIS 1 Prediktor (curah hujan) dan 2
Prediktor (sinar kosmik + sunspot).
46
Gambar IV.20 Hasil Training (atas) dan Error (bawah) dengan Metode
ANFIS 1 Prediktor untuk Zona 1 menggunakan panjang data
46 tahun.
Gambar IV.21 Hasil Prediksi Tahunan Metode ANFIS 1 Prediktor untuk
Zona 1 menggunakan panjang data 46 tahun.
47
Gambar IV.22 Hasil Training (atas) dan Error (bawah) dengan Metode
ANFIS 2 Prediktor untuk Zona 1 menggunakan panjang data
46 tahun.
Gambar IV.23 Hasil prediksi Tahunan Metode ANFIS 2 Prediktor untuk
Zona 1 menggunakan panjang data 46 tahun.
Berikut ini disampaikan nilai RMSE dan korelasi hasil prediksi curah
hujan tahunan menggunakan Metode ANFIS 1 Prediktor maupun maupun
ANFIS 2 Prediktor dengan panjang data input 46 tahun pada masing-masing
Zona Prediksi.
48
Tabel IV.5 Akurasi tiap Zona Prediksi dengan Metode ANFIS 1 Prediktor
pada panjang data 46 tahun.
Error Training (%) Error Prediksi (%) RMSE (mm) Korelasi ZONA 1 15.10 16.31 29.86 0.03 ZONA 2 10.21 11.32 30.09 -0.01 ZONA 3 11.61 12.60 29.93 0.23 ZONA 4 11.13 12.08 23.08 -0.02 ZONA 5 16.94 18.22 41.58 0.09
Rata-rata 13.00 14.11 30.91 0.06
Tabel IV.6 Akurasi tiap Zona Prediksi dengan Metode ANFIS 2 Prediktor
pada panjang data 46 tahun.
Error Training (%) Error Prediksi (%) RMSE (mm) Korelasi ZONA 1 8.29 10.65 20.39 0.34 ZONA 2 7.58 9.28 24.54 -0.12 ZONA 3 7.55 11.37 26.31 0.05 ZONA 4 2.76 10.46 20.23 0.02 ZONA 5 5.31 15.10 36.96 0.12
Rata-rata 6.30 11.37 25.69 0.08
Hasil prediksi curah hujan tahunan memperlihatkan bahwa secara
keseluruhan Metode ANFIS 2 Prediktor memperlihatkan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan Metode ANFIS 1 Prediktor. Hal ini
menunjukkan bahwa fenomena sunspot dan sinar kosmik dapat diperhitungkan
dalam melakukan prediksi jangka panjang karena memberikan akurasi yang
lebih baik dibandingkan jika hanya menggunakan ANFIS 1 Prediktor.
Hasil keluaran ANFIS 2 Prediktor pada Zona Prediksi 2 memperlihatkan
nilai RMSE yang kecil yaitu 24.54, hal ini cukup menunjang analisis awal
bahwa pola hujan Zona Prediksi 2 memberikan respon langsung terhadap
aktivitas matahari sehingga akan memudahkan validasi dalam melakukan
prediksi jangka panjang.
49
Gambar IV.24 Hasil prediksi Metode ANFIS untuk siklus sunspot
Gambar IV.25 Hasil prediksi Tahunan Metode ANFIS 2 Prediktor untuk
Zona 2 menggunakan panjang data 46 tahun.
Lebih lengkap hasil training ANFIS maupun Jaringan Neural untuk prediksi
bulanan maupun tahunan dapat dilihat pada lampiran.