Upload
habao
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
38
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tindakan Medis yang di Kategorikan Sebagai Malpraktek
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.
Jadi meskipun perbuatannya melanggar hukum dalam Undang–Undang dan
tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan
pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang
yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.
Sehubungan dengan hal tersebut akan bertentangan dengan rasa keadilan
apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah.
Orang tidak mungkin dijatuhi pidana kalau dia tidak melakukan perbuatan
pidana, akan tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, dia tidak selalu
dapat dipidana sehingga apa yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap
kejahatan malpraktek ini dapatlah dikenakan sanksi pidana penjara, seperti
halnya tindak pidana pemalsuan yang sebagaimana diatur dalam pasal,
sebagai berikut :
a. Kejahatan Terhadap Pemalsuan Pasal 267 KUHP
(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat keterangan palsu
tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun Pasal 267 KUHP di
atas memang pasal khusus yang hanya dikenakan bagi dokter.
Maksudnya yaitu hanya orang tertentu yang mempunyai sifat atau
39
kualitas pribadi sebagai dokter saja yang dapat dijadikan subjek
hukum yang melakukan kejahatan pemalsuan ini. Agar rumusan Pasal
267 ini bisa dikenakan kepada dokter, unsur sengaja harus terpenuhi,
karena bisa saja terjadi dokter salah dalam menentukan diagnosa,
sehingga salah pula dalam menerbitkan surat keterangan yang
dibuatnya. Saran penulis terhadap pasal ini sebaiknya dimasukkan
juga unsur kelalaian yang dilakukan oleh dokter.
b. Pengguguran Kandungan
Pengguguran kandungan terdapat di dalam Pasal 299, 346, 348 dan
pasal 349 KUHP. Sebagai salah satu contoh dapat dilihat dalam : Pasal
299 (1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang pasien atau
menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan
harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan
,diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda
paling banyak tiga ribu rupiah.
Ketentuan ini sebetulnya membuat dilemma dan menimbulkan
ketakutan bagi dokter karena apabila ada indikasi medis dimana dalam
keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa Ibu hamil , mengharuskan
menggugurkan kandungan ibu hamil tersebut, oleh karena itu menurut
penulis sebaiknya ketentuan ini diberi pengecualian bagi dokter apabila
ada indikasi medis, dengan demikian dapat memberikan rasa tenang
atau nyaman bagi dokter di dalam melaksanakan tugasnya
40
menyelamatkan nyawa pasien dan untuk menghindari tuduhan adanya
malpraktik kedokteran.
c. Tentang Penganiayaan Pasal 351
( 1 ) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah
( 2 ) Jika Perbuatan mengakibatkan luka – luka berat yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama lma tahun.
( 3 ) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama
tujuh tahun Dalam praktik hukum mengenai masalah yang
berhubungan dengan kesehatan dipersoalkan juga tentang akibat
rasa sakit sebagai satu–satunya tujuan penganiayaan, artinya jika
rasa sakit yang disadari itu tidak dapat dihindari, dalam upaya
mencapai tujuan yang patut, misalnya dokter menyunat anak,
dimana maksud mencapai tujuan yang lebih patut dan timbul rasa
sakit tidak dapat dihindari maka bukan termasuk penganiayaan.
d. Kejahatan Terhadap Nyawa
Pasal – pasal kejahatan terhadap nyawa yang dapat dikaitkan
dengan Euthanasia yaitu Pasal 338, 340 , 344, 345 , 359 KUHP jika
dihubungkan dengan dunia kesehatan sebagai upaya penanggulangan
tindak pidana malpraktik di Indonesia menegaskan bahwa euthanasia
baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang.
Berdasarkan Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
kesehatan,bahwa:
41
a. Berkaitan dengan Kelalaian Pasal 29 Undang – Undang Nomor
36 Tahun 2009 berbunyi :
“ Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi “
Kalau calon peneliti cermati Undang – Undang Nomor 36 Tahun
2009 Pasal 29 tersebut di atas mengenai kelalaian tentu
merupakan kebijakan formulasi hukum kesehatan yang baik
sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana
malpraktik kedokteran. Pasal mengenai kelalaian ini juga terdapat
di Pasal 54 Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan .
b. Berkaitan Dengan Perlindungan Pasien
Pasal 56 a. Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian
atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya
setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap.
c. Mengenai Ganti Rugi
Pasal 58 ayat (1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.(2)
Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
42
berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam
keadaan darurat.
d. Mengenai Transplantasi Organ
Pasal 64 (1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan
rekonstruksi, serta penggunaan sel punca. (2) Transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
dikomersialkan. (3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang
diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Sedangkan Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Dokter, dimana Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 4/PUU/- V/2007 terhadap uji materiil Undang – Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktek Kedokteran, menyatakan
permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang
mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau”
dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling
lama 1 (satu)tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang
mengenai kata-kata“atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29
43
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai
kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79
sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1
(satu)tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-
kata “atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4431) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, Kalau dianalisa Pasal 75 (1), Pasal 76, Pasal 79
huruf a dan Pasal 79 huruf c sebelum putusan mahkamah
konstitusi materi muatan yang terdapat di dalam Undang- Undang
Nomor 29 Tahun 2004 telah menimbulkan kriminalisasi terhadap
tindakan dokter yang berpraktik kedokteran yang tidak dilengkapi
STR, SIP dan tidak memasang papan nama, serta tidak
menambah ilmu pengetahuan dengan ancaman pidana yang cukup
berat dan denda yang sangat tinggi .
Disisi lain seorang dokter diatur oleh kode etik kedokteran
seperti dijelaskan pada kewajiban umum, antara lain :
44
KEWAJIBAN UMUM
Pasal1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan Sumpah Dokter.
Pasal2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan standard profesi yang tertinggi.
Pasal3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang
bersifat memuji diri.
Pasal5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya
tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan
kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal6
Setiap dokter harus senantiasa berhati hati dalam mengumumkan
45
dan menerapkan setiap penemuan tehnik atau pengobatan baru
yang belum diuji kebenarannya dan hal hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya..
Pasal7a
Seorang dokter harus, dalam setiappraktek medisnya,
memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (
compassion ) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan
pasien dansejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter
atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal7c
Seorang dokter harus menghormati hak hak pasien, hak hak
sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga
kepercayaan pasien.
46
Pasal7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup mahluk insani.
Pasal8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus
memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan
semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh ( promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif ), baik fisik maupun psiko-
sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat
yang sebenar benarnya.
Pasal9
setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang
kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling
menghormati.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam
hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk
47
pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit
tersebut.
Pasal11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien
itu meninggal dunia.
Pasal13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
bersedia dan mampu memberikannya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia
sendiri ingin diperlakukan.
Pasal15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman
48
sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur
yang etis.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat
bekerja dengan baik.
Pasal17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi kedokteran/kesehatan.
Hal demikian dapat menimbulkan rasa takut bagi dokter di
dalam melakukan pengobatan terhadap pasien, sehingga dokter
tidak tenang di dalam melaksanakan tugasnya untuk menolong
pasien atau korban tersebut. Setelah putusan mahkamah konstitusi
diharapkan dokter dapat lebih tenang sehingga dapat bekerja
dengan baik untuk menyelamatkan pasien. Pekerjaan dokter
merupakan profesi berbeda dengan okupasi, sehingga pembentuk
Undang – Undang dalam hal ini legislatif harus hati-hati dalam
menentukan aspek pidana. Hukum pidana harus benar-benar
digunakan sebagai ultimum remidium bukan premium remidium,
lebih efektif dengan penerapan hukum administratif pasien.
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut setidaknya dokter
49
dapat bekerja lebih tenang dan nyaman di dalam usaha
menyelamatkan nyawa Pasien .
Kebijakan formulasi yang akan datang nantinya akan
menjadikan antisipasi terhadap adanya pro dan kontra terhadap
persoalan malpraktek untuk menentukan kebijakan formulasi
yang akan datang maka calon peneliti menggunakan kajian
perbandingan diantaranya KUHP, Konsep KUHP, Undang -
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Pasca Putusan Mahlamah
Konstitusi, Tentang Mengakibatkan mati atau luka karena
kealpaan Pasal 592 Konsep KUHP 2009 Konsep KUHP Pasal
592 Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang
lain luka sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
jabatan, profesi,atau mata pencaharian selama waktu tertentu ,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua) tahun.
Pasal 359
Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun.
Pasal 593
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 592 dilakukan
dalam menjalankan suatu jabatan atau profesi, maka pidananya dapat
ditambah dengan 1/3 ( sepertiga ).
Pasal 360
50
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat
luka – luka berat, diancam dengan dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Ada hal yang membedakan ke duanya adalah mengenai jenis dan lamanya
pidana yang dijatuhkan. Dalam KUHP dikenal dengan pidana kurungan
sedangkan dalam konsep tidak lagi mengenal pidana kurungan. Jenis dan lamanya
pidana yang dijatuhkan yaitu :
1. Karena kelalaian mengakibatkan luka Dalam KUHP diancam pidana penjara
paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan, atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah. Sedangkan di dalam konsep diancam dengan
pidanan penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak.
2. Karena kelalaian mengakibatkan luka berat Dalam KUHP diancam pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun ,
sedangkan dalam konsep diancam pidana penjara paling lama tiga tahun atau
denda paling banyak.
3. Karena kelalaian mengakibatkan mati, dalam KUHP diancam pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun, sedangkan dalam
konsep diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak.
Pasal 593 merupakan Pasal pemberatan pidana bagi pelaku dalam menjalankan
suatu jabatan atau pencaharian, melakukan tindak pidana yang disebut dalam
Pasal 592. Pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan dalam menjalankan
suatu jabatan atau profesi ditambah 1/3 ( sepertiga ) dari pidana bagi pelaku yang
bukan dalam menjalankan suatu jabatan atau profesi. Pasal ini merupakan suatu
51
bentuk perlindungan juga terhadap pasien dalam hal terjadinya kelalaian atau
kealpaan yang dilakukan oleh dokter dalam pelayanan kesehatan.
Mengenai Pertanggungjawaban korporasi sebenarnya telah diatur di dalam
Pasal 41 ayat 2 Undang – Undang Praktik kedokteran yaitu membuat daftar dokter
atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan
kesehatan yang bersangkutan, tetapi sanksi terhadap pelanggaran kewajiban
tersebut tidak diatur secara jelas mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan.
Sanksi yang berkaitan dengan korporasi hanya yang berkaitan dengan
larangan yang tercantum dalam Pasal 42 Undang – Undang 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran dimana sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan
dokter berpraktik tanpa ada surat izin praktik . Ketentuan tentang sanksi yang
berkaitan dengan korporasi tersebut diatur di dalam Pasal 80 ayat 2 Undang–
Undang Praktik kedokteran. Oleh karena itulah maka kebijakan formulasi hukum
pidana yang akan datang khususnya yg terdapat di dalam Undang–Undang 29
Tahun 2004 dapat diperluas tidak hanya terpusat pada pelanggaran membuat
daftar dokter semata. Adapun daftar tabel dibawah ini menggambarkan kasus
malpraktek di RS otanah, antara lain :
52
Tabel II
Kategori Malpraktek Yang Terjadi Di RS Otanaha
TAHUN 2010-2012
NO TAHUN
Kategori
Malpraktek
1 2010 -
2 2011 1
3 2012 1
JUMLAH 2
Sumber Data. RSU OTANAHA. 2012
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, yaitu periode tahun 2010
sampai dengan tahun 2012 tercatat kategori malpraktek di RSU Otanaha
sebanyak 2 (Dua) yang diproses atau dilakukan klarifikasi kepada keluarga
korban dan sudah diselesaikan secara musyawarah.
Setelah dicermati oleh peneliti dari hasil wawancara antara peneliti
dengan perawat, 3/12/2013, bahwa malpraktek yang terjadi dirumah sakit
tersebut hanya dikategorikan sebagai civil malpractice karena dalam point a,b,c
dan d, dimana sehingga kategori malpraktek tersebut tidak sampai pada proses
peradilan yang di sebabakan ada bentuk kategori malpraktek.1. seperti
diuraikan dibawah ini adalah Civil malpractice, antara lain :
1 hasil wawancara peneliti dengan perawat ibu nita ali, 3/12/2013
53
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice
apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya
sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan
yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau
korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius
liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat
bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga
kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas
kewajibannya.
54
4.2 Faktor – faktor apakah yang menyebabkan terjadinya malpraktik oleh
Seorang Dokter.
Malpraktek bisa terjadi karena beberapa factor berikut ini yaitu, minimnya
pengalaman tenaga medis, kesalahan diagnosis, dokter palsu (dokter yang
kurang mumpuni) dan juga karna factor ketidak sengajaan. Dan berikut
penjelasannya
1. Minimnya pengalaman tenaga medis menyebabkan peluang terjadinya
kesalahan tindakan medis (malpraktek ) saat memberikan tindakan kepada
pasien sperti contohnya, kesalahan pemberian obat, kesalahan
prosedur/tindakan yang semestinya harus dilakukan.
2. Kesalaan diagnosis dapat berakibat fatal bagi pasien, akibatnya bisa
bermacam-macam, seperti terjadinya kelumpuhan, kerusakan organ dalam,
dan juga dapat berakibat fatal yang berujung dengan kematian.
3. Dokter aspal (asali tapi palsu/dokter yang kurang mumpuni), di zaman
seperti ini banyak sekali orang yang memanfaatkan uangnnya untuk masuk
dalam sekolah kedokteran di universitas. Tak sedikit dari mereka
mempunyai gelar dokter tapi kurang menguasai ilmu kedokteran,
sedangkan untuk menjadi seorang dokter harus mempunyai kecerdasan
yang benar-benar mumpuni agar menjadi dokter yang sesungguhnya dan
segala tindakan medisnya bisa dipertanggungjawabkan.
4. Factor ketidaksengjaan, faktor ini bisa terjadi karena kelalaian dari petugas
medis, atau mungkin ketidak telitian petugas medis saat menangani pasien.
55
Malpraktek merupakan kesalahan pengambilan tindakan medis yang
dilakukan oleh tenaga medis professional maupun tenaga medis amatir baik
secara disengaja atau tidak disengaja.
Saat ini Malpraktek telah memakan banyak korban di Indonesia
khususnya di Gorontalo belum banyak kasus malpraktek terjadi di Gorontalo.
Beberapa tahun belakangan marak terdengar mengenai tuntutan malpraktek
oleh dokter di berbagai daerah di Indonesia. Tren ini juga terlihat dari
meningkatnya jumlah kasus dugaan malpraktek yang dilaporkan ke MKEK
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran. Sebelum tahun 2000, hanya terdapat 7-
13 laporan malpraktek ke MKEK. Pada tahun 2000-2001 jumlah ini meningkat
pesat menjadi 20-30 kasus per tahun.
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan kasus dugaan
malpraktek di Indonesia terutama di Gorontalo. Salah satunya adalah perbaikan
tingkat pendidikan dan peningkatan kesadaran pasien akan hak. Pasien menjadi
lebih kritis mempertanyakan penyakit, pemeriksaan, pengobatan dan tindakan
yang akan dilakukan pada dirinya. Faktor lainnya adalah komersialisasi
pelayanan kesehatan, berefek pada peningkatan biaya layanan medis dan
karenanya peningkatan pengharapan akan hasil tindakan medis. Terakhir,
peningkatan gugatan malpraktek juga disebabkan oleh gencarnya promosi oleh
ahli hukum mengenai malpraktek.
Peningkatan kesadaran ini sebenarnya memiliki efek baik, yaitu
berjalannya pengawasan kualitas layanan oleh pasien. Namun, tekanan yang
besar kepada dokter juga berefek timbulnya kedokteran defensif. Kedokteran
56
defensif terjadi ketika dokter mengajukan dan melakukan prosedur medis,
pemeriksaan medis, kunjungan pasien, atau menghindari pasien/prosedur risiko
tinggi, dengan pertimbangan utama untuk menghindarkan kemungkinan
tuntutan malpraktek.
Praktek semacam ini akan meningkatkan biaya layanan kesehatan dan
meningkatnya perlakuan tindakan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Selain
itu, penghindaran dokter untuk melakukan tindakan beresiko tinggi atas alasan
ketakutan tuntutan malpraktek juga akan memperlambat penanganan bagi
pasien. Untuk menghindari hal ini perlu dilakukan berbagai upaya untuk
memperbaiki komunikasi antara dokter dan pasien, dan diperlukan edukasi
mengenai malpraktek, baik kepada pasien maupun dokter, terlihat bahwa
terdapat 4 poin penting yang berkaitan dengan kejadian malpraktek.
1. adanya kegagalan dokter untuk melakukan tatalaksana sesuai standar
terhadap pasien. Standar yang dimaksud di sini dapat mengacu pada
standar prosedur operasional yang ditetapkan di lembaga kesehatan
tersebut, atau di tempat lain dengan keadaan yang serupa;
2. kurangnya keterampilan dokter.;
3. adanya faktor pengabaian;
4. adanya cidera yang merupakan akibat langsung salah satu dari ketiga faktor
tersebut.
Dalam uraiannya, mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis
adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga
sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang
57
sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke
dalam pengertian malpraktik atau kelalaian medik.
Setiap kejadian kegagalan medis dikaitkan dengan kejadian malpraktek
dan menjadi suatu tuntutan. Padahal, kegagalan medis dapat disebabkan oleh
empat hal, yaitu:
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan
tindakan medis yang dilakukan dokter.
2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat
diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah
diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak dapat/tidak mungkin
dihindari (unavoidable), karena tindakan yang dilakukan adalah satu-
satunya cara terapi. Risiko tersebut harus diinformasikan terlebih dahulu.
3. Hasil dari suatu kelalaian medik.
4. Hasil dari suatu kesengajaan.
Dari keempat faktor tersebut, yang dapat dikategorikan sebagai suatu
malpraktek adalah kegagalan medis akibat kelalaian (culpa), dan pelaksanaan
tindakan medis tanpa persetujuan. Perlakuan lainnya yang dapat dimasukkan
dalam kategori malpraktek adalah wanprestasi. Kegagalan medis yang merupakan
suatu perjalanan alami penyakit dan resiko yang tidak dapat diketahui sebelumnya
(unforeseeable) atau diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak dapat
dihindari (unavoidable) bukanlah suatu malpraktek. Sedangkan, kegagalan medis
yang disebabkan oleh kesengajaan juga tidak termasuk dalam malpraktek, tapi
merupakan suatu professional misconduct dan merupakan tindak pidana.
58
Dari pembahasan ini dapat terlihat bahwa faktor kelalaian berhubungan
dengan kejadian malpraktek. Untuk dapat dikategorikan sebagai suatu kelalaian,
harus dapat memenuhi 4 syarat di bawah ini (4D):
1. Duty (duty of care)
Kewajiban profesi
Kewajiban kontrak dengan pasien
2. Dereliction / breach of duty
Pelanggaran kewajiban tersebut
3. Damages
Cedera, mati atau kerugian
4. Direct causalship
Hubungan sebab akibat langsung
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan
nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum
atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan
medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah
improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat
tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya
melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak
melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya.
Kelalaian atau culpa dapat juga dibagi dalam tiga tingkatan:
1. Culpa lata: sangat tidak berhati-hati, kesalahan serius, sembrono (gross
fault or neglect)
59
2. Culpa levis: kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)
3. Culpa levissima: kesalahan ringan (slight fault or neglect)
Pada culpa lata tidak berlaku lagi hukum perdata, melainkan pidana. Pada culpa
levis dan culpa levissima yang tidak dapat dikenakan hukum pidana maka
ditampung dalam hukum perdata. Penyebab lainnya kegagalan medis, yaitu
kesengajaan, masuk dalam kategori professional misconduct. Professional
misconduct merupakan kesengajaan yang dapat dilakukan dalam bentuk
pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta
hukum pidana dan perdata seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien,
fraud, penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi
illegal, euthanasia, keterangan palsu, menggunakan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran yang belum teruji/diterima, berpraktik tanpa SIP, berpraktik
di luar kompetensinya, dan lain-lain.
Salah satu faktor penting yang sering menimbulkan gugatan malpraktek
adalah kegagalan komunikasi dokter-pasien. Komunikasi yang tidak efektif antara
dokter dan pasien rentan menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada
tuntutan malpraktek jika terjadi kegagalan medis yang sebenarnya memang
merupakan suatu akibat dari perjalanan alamiah penyakit ataupun suatu resiko
medis. Hal ini disoroti pula oleh Hillary Clinton dan Barrack Obama dalam
artikelnya yang berjudul “Making Patient Safety the Centerpiece of Medical
Liability Reform” yang menyatakan bahwa tuntutan malpraktek seringkali terjadi
ketika suatu efek samping yang tidak diharapkan muncul disertai dengan
60
kurangnya empati dari dokter dan adanya suatu penangguhan informasi penting,
baik yang dipersepsikan oleh pasien maupun yang benar-benar terjadi.
Menghindari terjadinya malpraktek medis, sebagai pasien mintalah
informasi yang jelas pada dokter anda. Diskusikan mengenai penyakit,
pemeriksaan yang perlu dilakukan, hasil pemeriksaan, pengobatan, kemungkinan
kesembuhan hingga biaya dengan jelas. Kemukakan juga kekhawatiran dan
pertanyaan-pertanyaan yang anda punya secara terbuka hingga tercapai suatu
pemahaman yang jelas mengenai penyakit yang diderita.
Seorang dokter pun sebaiknya berusaha menjalin hubungan antara dokter-
pasien yang baik dan senantiasa meningkatkan kualitas komunikasi dengan
pasien. Biasakan memancing pasien untuk mengungkapkan kekhawatirannya
mengenai penyakit dan memberikan assurance sesuai dengan keadaan. Lakukan
informed consent dengan baik dan lengkap, serta senantiasa melengkapi rekam
medis dengan format yang baku. Terakhir, selalu perbarui ilmu untuk memenuhi
standar kompetensi yang diharuskan.
Malpraktek medis merupakan suatu masalah yang luas dan rumit.
Malpraktek sendiri memiliki pengertian yang terlalu umum. Kejadian tuntutan
malpraktek dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan baik pasien maupun dokter
harus mengerti mengenai malpraktek untuk dapat bersama-sama menghindari
terjadinya malpraktek. Kesadaran pasien akan menimbulkan efek baik yaitu
pengawasan bagi dokter, namun jika berlebihan akan menimbulkan praktek
kedokteran defensif yang meningkatkan biaya dan risiko. Upaya bersama oleh
dokter dan pasien harus dilakukan untuk mencegah terjadinya malpraktel.
61
Memperbaiki hubungan dan komunikasi dokter-pasien adalah salah satu poin
penting dalam upaya tersebut.
Pada tahun 2012 telah terjadi 5 kasus malpraktek di gorontalo, seperti teori
gunung es data tersebut hanyalah data yang nampak di permukaan kasus yang
terjadi kemungkinan besar jauh lebih banyak dibandingkan dengan data yang
terpaparkan tersebut. Padahal dokter sebagai pelaku sebagian besar kasus mal
praktek merupakan seorang ahli yang telah mumpuni di bidangnya, sang dokter
telah mengikuti kuliah selama bertahun-tahun dengan disiplin yang ketat sehingga
diharapakan mampu melayani pasien dengan baik. Adapun jenis-jenis dari
malpraktek tersebut adalah :
1. adanya unsur kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
dalam menjalankan profesinya;
2. adanya perbuatan yang tidak sesuai dengan standar prosedur operasional;
3. adanya luka berat atau mati, yang mengakibatkan pasien cacat atau
meninggal dunia;
4. adanya hubungan kausal, dimana luka berat yang dialami pasien
merupakan akibat dari perbuatan dokter tidak sesuai dengan standar
pelayanan medis.
Diskusi internal Ikatan Dokter Indonesia pada pertengahan tahun lalu
dimunculkan beberapa akar penyebab tersebut, yaitu:
1. Pemahaman dan penerapan etika kedokteran yang rendah. Hal ini diduga
merupakan akibat dari sistem pendidikan di Fakultas Kedokteran yang
62
tidak memberikan materi etika kedokteran sebagai materi yang juga
mencakup afektif – tidak hanya kognitif.
2. Paham materialisme yang semakin menguat di masyarakat pada umumnya
dan di dalam pelayanan kedokteran khususnya.
3. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin
akuntabilitas profesi kedokteran (saat ini kita sedang menunggu
diundangkannya UU Praktik Kedokteran yang diharapkan dapat mengatur
praktek kedokteran yang akuntabel).
4. Belum adanya good clinical governance di dalam pelayanan kedokteran di
Indonesia, yang terlihat dari belum ada atau kurangnya standar
(kompetensi, perilaku dan pelayanan) dan pedoman (penatalaksanaan
kasus), serta tidak tegasnya penegakan standar dan pedoman tersebut.
Kesalahan manusia juga memberi efek yang sangat besar, penyebab
seorang ahli bedah yang telah bekerja bertahun-tahun meninggalkan benda di
tubuh pasien diantaranya adalah kesalahan asumsi dan kurangnya perhatian akan
benda yang tidak terduga. Dokter bedah yang telah bertahun-tahun bekerja
biasanya hanya berfokus pada prosedur yang telah dijalani secara berulang-ulang,
sehingga ketika terdapat benda asing yang masuk kedalam tubuh pasien ahli
bedah tersebut cenderung tidak melihatnya karena telah berasumsi tidak akan ada
benda tersebut yang masuk ke tubuh pasien.
Oleh karena itu maka sebaiknya perlu dilakukan perbaikan sistem secara
menyeluruh. Dimulai dari sistem pendidikan kedokteran di Indonesia dari
penyeleksian ujian masuk kedokteran yang lebih ketat sampai dengan lembaga-
63
lembaga yang bertanggung jawab mengawasi praktek yang dilakukan oleh para
dokter. Pasien juga diharapkan turut serta mengawasi kinerja dari para dokter
karena biar bagaimanapun dokter hanyalah manusia biasa yang masih mungkin
melakukan kesalahan, namun dengan kerjasama dari seluruh pihak yang terkait
kemungkinan malpraktek dapat diminimalisir.