Upload
hanhi
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Duduk Perkara
a. Identitas Terdakwa
Nama Lengkap : Fifi Tanang
Tempat Lahir : Ujung Pandang
Umur/Tanggal Lahir : 55 Tahun / 22 Agustus 1952
Jenis Kelamin : Perempuan
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Jalan Danau Agung 15 Nomor 16 RT 007, RW
016, Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Tanjung
Priok, Jakarta atau Apartemen Mangga Dua Court
Lantai 15 Nomor 03 West Tower Jakarta Pusat
Agama : Kristen
Pekerjaan : Pemilik Kios STEP ON dan FIFI, Ketua Pengurus
Perhimpunan Penghuni Mangga Dua Court
b. Perbuatan Terdakwa
Berawal pada hari Sabtu tanggal 04 November 2006 atau
setidaknya pada suatu waktu tertentu dalam tahun 2006, di kantor Surat
Kabar Harian Investor Daily Sudirman Tower Condominium Tower A
Lantai 1 Jalan Garnisun Dalam Nomor 8 Karet Semanggi, Jakarta Selatan
atau Jalan Padang Nomor 19-21 Manggarai Jakarta Selatan atau setidak-
70
tidaknya pada suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, telah melakukan kejahatan menista atau menista dengan
tulisan, dalam ia diijinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika tiada
dapat membuktikan dan jika tuduhan dilakukannya sedang diketahuinya
tidak benar, yang dilakukan terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut:
1) Bahwa terdakwa Fifi Tanang sebagai pemilik kios STEP ON dan FIFI
yang terletak di ITC Mangga Dua Lantai 2 Blok A/98-100 lantai 4 Blok
AA/10-11 Jakarta Utara, awalnya terdakwa telah membeli kios dari PT.
Duta Pertiwi yang terletak di ITC Mangga Dua lantai 2 Blok A/98-100
dan lantai 4 Blok AA/10-11 dibeli dari Sudarno Tasmin sejak tanggal 1
Maret 1999 dengan bukti kepemilikan berupa: Akte Jual Beli Notaris
Arikanti Natakusumah, S.H. Nomor 37/Pademangan/1999 tanggal 04
Februari 1999, Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Nomor
205/IV/1A atas nama Fifi Tanang, kios berdiri diatas tanah SHGB Hak
Atas Tanah Bersama Nomor 442/Ancol;
2) Bahwa PT. Duta Pertiwi Tbk adalah pengembang yang membangun kios-
kios dan rumah susun dimana sebagai Direktur Utama Mukhtar Wijaya
dan Ir. Glen Hendra Gunadirja sebagai Direktur dan bidang tanah itu
sejak semula adalah Hak Guna Bangunan (HGB) diatas Hak Pengelolaan
Lahan (HPL) yang memegang haknya adalah PEMDA DKI Jakarta masa
berlaku selama 20 tahun dan akan berakhir pada tanggal 17-07-2008;
3) Bahwa dalam menerbitkan Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun
pada saat dilakukan transaksi penjualan kios di ITC Mangga Dua kantor
71
BPN melaksanakan penerbitan sertifikat belum seragam dengan menulis
secara lengkap Sertifikat HGB di atas HPL dan sejak diterbitkannya PP
No. 40 Tahun 1996 pengisian buku tanah diseragamkan dan harus ditulis
secara lengkap Sertifikat HGB di atas HPL;
4) Bahwa ketika akan dilakukan perpanjangan HGB di atas tanah ada
beberapa pemilik kios termasuk terdakwa yang merasa keberatan untuk
mengeluarkan biaya perpanjangan HPL kepada PEMDA DKI, kemudian
pada tanggal 31 Agustus 2006 Perhimpunan Penghuni ITC Mangga Dua
telah mengadakan rapat umum yang dihadiri oleh dari Kantor Pertanahan
Jakarta Utara, Dinas Perumahan DKI Jakarta, para anggota Perhimpunan
Penghuni ITC Mangga Dua dan rapat umum tersebut hadir juga terdakwa
Fifi Tanang untuk membahas mengenai Sertifikat HGB di atas HPL
tanah ITC Mangga Dua dan pembayaran perpanjangan Sertifikat HGB di
atas tanah HPL ITC Mangga Dua adalah selain membayar perpanjangan
HGB juga harus membayar perpanjangan HPL kepada PEMDA DKI
guna mendapatkan surat rekomendasi dari PEMDA DKI untuk
perpanjangan HGB dan dilanjutkan kembali pada Rapat Umum
Perhimpunan Penghuni ITC Mangga Dua pada tanggal 11 September
2006 dan Anggota Perhimpunan Penghuni ITC Mangga Dua telah
menyetujui untuk memperpanjang Sertifikat HGB di atas HPL atas tanah
ITC Mangga Dua karena PT. Duta Pertiwi hanya menjual kios-kios;
5) Kemudian tanggal 13 September 2006 Ketua Pengurus Perhimpunan
pemilik kios yang memberitahukan Keputusan Rapat Umum Tahunan
72
Perhimpunan ITC Mangga Dua menyetujui untuk memperpanjang
Sertifikat HGB atas tanah bersama ITC Mangga Dua dengan status
Sertifikat HGB di atas HPL dan terdakwa juga sebagai anggota telah
menerima Surat Edaran tersebut;
6) Pada hari Sabtu tanggal 4 November 2006 telah dikirimkan Surat Edaran
tentang Sertifikat HGB di atas HPL, terdakwa Fifi Tanang telah
mengirim surat ke Surat Kabar Harian Inverstor Daily yang dikirim dan
dimuat pada halaman 9 rubrik Surat Pembaca dengan judul berita “Hati-
hati Modus Operandi Penipuan PT. Duta Pertiwi” yang isinya antara
lain”…bagaimana mungkin, Sertifikat yang tidak pernah ditulis bahwa
status HGB di atas HPL Pemda DKI Jakarta ternyata berstatus HGB di
atas HPL siapapun pasti akan tertipu dengan kejadian ini. Perlu diketahui
masalah penipuan oleh Developer PT. Duta Pertiwi (Sinar Mas Group)
telah kami laporkan ke Kepolisian pada tanggal 25 agustus 2006”.
7) Bahwa benar pada tanggal 25 Agustus 2006 terdakwa Fifi Tanang
melaporkan Mokhtar Wijaya dan Ir. Glen Hendra Gunadirja ke Polda
Metro Jaya dan tanggal 10 November 2006 terdakwa Fifi Tanang juga
telah melaporkan Mukhtar Wijaya dari PT. Duta Pertiwi ke Polda Metro
Jaya dengan tuduhan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
Pasal 378 KUHPidana, Pasal 266 KUHPidana dan Pasal 335
KUHPidana;
8) Bahwa laporan terdakwa ke Polda Metro Jaya tanggal 10 November
2006 terhadap Mukhtar Wijaya dari PT. Duta Pertiwi telah dihentikan
73
penyidikannya berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penghentian
Penyidikan No. Pol. S. Tap/SK/170/IV/2007/Ditreskrimum tanggal 30
April 2007 karena bukan merupakan tindak pidana dan laporan terdakwa
tanggal 25 Agustus 2006 terhadap Mukhtar Wijaya dan Ir. Glen Hendra
Gunadirdja dari PT. Duta Pertiwi ke Polda Metro Jaya juga telah
dihentikan berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penghentian Penyidikan
No. Pol. S. Tap/185/V/2007/Ditreskrimum tanggal 2 Mei 2007 karena
bukan merupakan tindak pidana;
9) Bahwa pernyataan terdakwa yang dimuat di Surat Kabar Harian Investor
Daily yang dimuat pada Rubrik Opini halaman 9 dengan judul “Hati-hati
Modus Operandi Penipuan PT. Duta Pertiwi” telah mengakibatkan nama
baik PT. Duta Pertiwi sebagai badan hukum maupun nama baik Mukhtar
Wijaya selaku Direktur Utama PT. Duta Pertiwi Tbk dan Ir. Glen Hendra
Gunadirdja selaku Direktur PT. Duta Periwi telah tercemar;
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan yang
disusun secara subsidair, yaitu sebagai berikut:
a. Dakwaan Pertama
Terdakwa Fifi Tanang, telah mengirim Surat ke Surat Kabar Harian
Investor Daily yang dikirim dan dimuat pada halaman 9 Rubrik Surat
Pembaca dengan judul berita “Hati-hati Modus Operandi Penipuan PT.
Duta Pertiwi” yang isinya antara lain”… bagaimana mungkin, Sertifikat
yang tidak pernah ditulis bahwa status HGB di atas HPL Pemda DKI
74
Jakarta ternyata berstatus HGB di atas HPL siapapun pasti akan tertipu
dengan kejadian ini. Perlu diketahui masalah penipuan oleh Developer PT.
Duta Pertiwi (Sinar Mas Group) telah kami laporkan ke Kepolisian pada
tanggal 25 Agustus 2006”.
Perbuatan terdakwa Fifi Tanang mengirim Surat Pembaca yang
isinya berupa tuduhan penipuan membuat PT Duta Pertiwi merasa tercemar
nama baiknya. Atas perbuatan tersebut, terdakwa Fifi Tanang didakwa telah
melanggar Pasal 311 ayat (1) KUHP tentang memfitnah secara tertulis.
Atau,
b. Dakwaan Kedua
Terdakwa Fifi Tanang, telah dengan sengaja merusak kehormatan
atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh melakukan suatu
perbuatan yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, yang dilakukan dengan
tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau
ditempelkan, yang dilakukan Tedakwa dengan cara mengirim Surat ke Surat
Kabar Harian Investor Daily yang dikirim dan dimuat pada halaman 9
Rubrik Surat Pembaca dengan judul berita “Hati-hati Modus Operandi
Penipuan PT. Duta Pertiwi” yang isinya antara lain”…bagaimana mungkin,
Sertifikat yang tidak pernah ditulis bahwa status HGB di atas HPL Pemda
DKI Jakarta ternyata berstatus HGB di atas HPL siapapun pasti akan tertipu
dengan kejadian ini. Perlu diketahui masalah penipuan oleh Developer PT.
Duta Pertiwi (Sinar Mas Group) telah kami laporkan ke Kepolisian pada
tanggal 25 agustus 2006”.
75
Perbuatan terdakwa Fifi Tanang mengirim Surat Pembaca yang
isinya berupa tuduhan penipuan membuat PT Duta Pertiwi merasa tercemar
nama baiknya. Atas perbuatan tersebut, terdakwa didakwa telah melanggar
Pasal 310 ayat (2) KUHP tentang pencemaran nama baik secara tertulis.
3. Tuntutan Penuntut Umum
Tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum Kejaksaan Negeri di Jakarta
Selatan, tanggal 19 Maret 2009 sebagai berikut:
a. Menyatakan terdakwa Fifi Tanang bersalah melakukan perbuatan tindak
pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair melanggar Pasal
311 ayat (1) KUHPidana;
b. Menghukum dengan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dengan masa
percobaan 2 (dua) tahun;
c. Barang bukti berupa surat-surat:
1) 1 SKH INVESTOR DAILY tangal 2-3 Desember 2000;
2) 1 exp foto copy Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga
Perhimpunan Penghuni Rumah Susun;
3) 1 exp foto copy Perjanjian Perikatan Jual Beli;
4) 1 exp foto copy Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 442, 443, 444 dan
445/Ancol;
5) 1 exp foto copy Sertifikat Hak Milik Bangunan Atas Satuan Rumah
Susun No. 148/IV No. 205/IV/IA;
Dilampirkan dalam berkas;
6) Membayar ongkos perkara Rp. 5. 000,- (lima ribu rupiah);
76
4. Putusan
a. Putusan Pengadilan Negeri
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel. tanggal 7 Mei 2009 yang amar lengkapnya
sebagai berikut:
1) Menyatakan terdakwa Fifi Tanang telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencemaran Nama
Baik”;
2) Menjatuhkan Pidana oleh karena itu terhadap terdakwa tersebut dengan
Pidana Penjara selama: 6 (enam) bulan;
3) Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak harus dijalani di dalam rumah
Tahanan Negara ataupun Lembaga Pemasyarakatan, kecuali ada putusan
lain yang telah kekuatan hukum sebelum berakhirnya masa percobaan
selama 1 (satu) tahun;
4) Menetapkan agar barang bukti berupa:
a) 1 SKH KOMPAS tanggal 22 November 2006;
b) 1 SKH INVESTOR DAILY tangal 2-3 Desember 2006;
c) 1 exp foto copy Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga
Perhimpunan Penghuni Rumah Susun;
d) 1 exp foto copy Perjanjian Perikatan Jual Beli;
e) 1 exp foto copy Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 442, 443, 444 dan
445/Ancol;
77
f) 1 exp foto copy Sertifikat Hak Milik Bangunan Atas Satuan Rumah
Susun No. 148/IV No. 205/IV/IA;
g) Buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP karangan M.
Yahya Harahap hal. 125, 126 dam 151;
h) Buku Kemahiran dan Ketrampilan Praktik Hukum Pidana karangan
Drs. Adam Chazawi, hal. 112, 113 dan 114;
i) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
205/Pdt.G/2007/PN.JKT.Pst;
j) Surat jawaban dari PPAT Arikanto Natakusumah tertanggal 25 Juni
2007;
k) Surat dan dokumen dari kantor Pertanahan Jakarta Pusat;
l) 5 eksempelar Sertifikat Apartemen Mangga Dua Court;
m) 2 buah Akte Jual Beli No. 254/Sawah Besar. 2007 tanggal 10 Maret
2007;
n) Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli Apartemen Mangga Dua Court;
o) Keputusan Kakanwil BPN DKI Jakarta No. 013/03-550.2-09.01-2006;
p) Surat Keterangan dari ahli Hukum Pertanahan Prof. Boedi Harsono,
SH;
q) Surat dari PT. Duta Pertiwi Tbk No.034/PM-MDC/HJ/III/97 tanggal
13 Maret 1997;
r) Risalah Pemeriksaan Tanah (Konstatering Rapport) dari Kantor
Pertanahan Kodya Jakarta Pusat N0.330/2006 tanggal 29 Juni 2006;
s) Faktur-faktur Pajak;
78
t) Komentar Prof. Boedi Harsono di Majalah Forum Keadilan No.09, 24
juni 2007;
Agar tetap terlampir dalam berkas perkara;
5) Menghukum pula terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp.
2.000,- (dua ribu rupiah);
b. Putusan Pengadilan Tinggi
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.234/Pid/2009/PT.DKI.
tanggal 07 September 2009 yang amar lengkapnya sebagai berikut:
1) Menerima Permintaan Banding dari Penuntut Umum dan Terdakwa;
2) Menguatkan Putusan Pengadilan negeri Jakarta Selatan Nomor:
1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel tanggal 07 Mei 2009 yang dimintakan
banding tersebut;
3) Membebankan biaya perkara ini kepada terdakwa di dalam kedua tingkat
peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp. 2.000,-;
5. Kasasi
Alasan-alasan yang diajukan Pemohon Kasasi/Terdakwa Fifi Tanang
pada pokoknya adalah sebagai berikut:
a. Pertimbangan Judex Facti tingkat Banding telah melanggar ketentuan
hukum karena tidak memberikan pertimbangan hukum yang cukup dan
layak (onvoldoende gemotiveerd);
Bahwa Judex Facti tingkat Banding dalam mengadili dan memutus
perkara No.234/PID/2009/PT.DKI terbukti telah tidak menerapkan
peraturan hukum dan menerapkannya tidak sebagaimana mestinya. Judex
79
Facti Tingkat Banding berpendapat: “bahwa dalam memori banding tidak
ada hal-hal yang dapat merubah putusan a quo, sehingga memori banding
tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut”. Hal tersebutlah yang
menyebabkan Judex Facti Tingkat Banding tidak memberikan
pertimbangan hukumnya sendiri. Pertimbangan hukum yang demikian
adalah pertimbangan hukum yang tidak tepat dan tidak benar. Bahwa
dengan telah salah serta melanggar hukumnya Putusan Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta dalam perkara a quo, yang tidak disertai dengan pertimbangan-
pertimbangan yang cukup, maka Mohon kepada Judex Juris untuk
menyatakan Putusan Judex Faxti dalam a quo batal demi hukum;
b. Bahwa pertimbangan Judex Facti Tingkat Pertama yang diambil alih oleh
Judex Facti Tingkat Banding telah cacat hukum;
Bahwa Pemohon Kasasi keberatan terhadap putusan Judex Facti
karena sama sekali tidak mempertimbangkan keberatan-keberatan yang
diajukan oleh pemohon kasasi dalam nota pembelaan baik mengenai perihal
yang berhubungan dengan fakta-fakta maupun yang berhubungan dengan
penerapan hukumnya, dimana putusan Judex Facti sangat bertolak belakang
dengan fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap di persidangan. Putusan
MA RI No.47/K/KR/1956 tanggal 28 Maret 1957 menyatakan sebagai
berikut: “yang menjadi dasar pemeriksaan oleh Pengadilan ialah Surat
Tuduhan jadi bukan tuduhan yang dibuat oleh Polisi”;
Bahwa dengan demikian, antara dakwaan dan putusan haruslah
bersesuaian, namun dalam perkara a quo, Pemohon Kasasi didakwa telah
80
mencemarkan nama baik PT. DUTA PERTIWI Tbk, quod non, melalui
tulisan yang dimuat pada surat kabar harian Investor Daily, padahal,
Pemohon Kasasi dalam tingkat Penyidikan telah disidik dengan tuduhan
melakukan pencemaran nama baik PT. DUTA PERTIWI Tbk dalam surat
kabar Harian Kompas dan Warta Kota. Sehingga terlihat bahwa tidak
terdapat kesesuaian antara Berita Acara Penyidikan dan Surat Dakwaan
Jaksa Penuntut Umum. Sedangkan, dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang
tidak cermat tersebut telah dijadikan sebagai dasar bagi Judex Facti dalam
memutus perkara a quo. Maka putusan Judex Facti telah mengandung suatu
kecacatan hukum yang harus diperbaiki oleh Judex Juris. Dengan demikian,
putusan yang diambil oleh Judex Facti dengan didasarkan atas bukti-bukti
yang keliru tersebut telah mengakibatkan putusan tersebut cacat hukum;
c. Mengenai Judex Facti Tingkat Pertama maupun Tingkat Banding telah
melanggar hukum karena tidak memperhatikan Pasal 319, Pasal 72-79
KUHP;
Pasal 319 KUHP menyatakan bahwa:
Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak
dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan
itu, kecuali berdasarkan Pasal 316;
Bahwa selanjutnya, dalam Pasal 72 KUHP dinyatakan bahwa;
Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas
pengaduan, dan orang itu umurnya belum dewasa, atau selama ia
berada di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain dari
pada keborosan, maka wakilnya yang sah dalam perkara perdata
yang berhak mengadu”
81
Bahwa dalam perkara a quo yang menjadi Pelapor atas tindak pidana
yang dituduhkan bukanlah orang yang merasa tercemar nama baiknya akan
tetapi oleh Saudara Dormauli Limbong, SH., MH seorang kuasa hukum
yang bekerja pada kantor Pengacara Haposan Hutagalung SH & Partners,
dan bukan oleh orang yang mengadu sebagai korban sendiri;
Bahwa Saudara Dormauli Limbong, SH., MH bertindak sebagai
Pelapor berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 24 November 2005
selaku Pendamping dan bukan selaku Pelapor. Sehingga secara hukum
seharusnya Laporan Polisi yang dibuat oleh saudara Dormauli Limbong,
SH., MH adalah laporan yang cacat hukum karena tidak memenuhi unsur
Laporan atas suatu delik pidana dengan Pengaduan Absolut. Dengan
demikian, tanpa pengaduan atas tindak pidana yang dikenakan kepada
Pemohon Kasasi tidak dapat dilakukan Penuntutannya. Bahwa dalam
perkara a quo, Saudara Muktar Widjaja selaku Direktur Utama PT. Duta
Pertiwi Tbk yang mengaku menjadi korban, tidak hanya bukan menjadi
pihak yang melaporkan sebagaimana diatur oleh hukum. Sedangkan
terdapat fakta bahwa Pemohon Kasasi telah ditetapkan sebagai Tersangka
sebelum adanya pemeriksaan oleh Penyidik terhadapa Pelapor. Terlebih
lagi, saudara Muktar Widjaja (yang mengaku menjadi korban) tidak pernah
diperiksa di baik tingkat penyidikan mapun di tingkat pengadilan;
Bahwa dengan demikian, oleh karena tindak pidana yang dikenakan
kepada Pemohon Kasasi adalah Delik Aduan Absolut, di mana dalam
ketentuan Pasal 72 KUHP, suatu delik aduan absolut haruslah dilaporkan
82
orang yang benar-benar merasa tercemar nama baiknya, sedangkan dalam
perkara a quo, yang bertindak sebagi Pelapor adalah Kuasa Hukum dan
bukan korban, sehingga dapat terlihat bahwa Judex Facti Tingkat Pertama
mapun Judex Facti Tingkat Banding telah mengabaikan suatu ketentuan
hukum yang pasti mengenai delik aduan absolut, sehingga putusan Judex
Facti dalam kedua tingkatan tersebut telah bertentangan dengan undang-
undang yang berlaku, maka akibatnya adalah batalnya putusan yang
bersangkutan;
d. Judex Facti telah tidak menerapkan ketentuan hukum sebagaimana diatur
dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers;
Bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada Pemohon Kasasi
adalah tindak pidana yang menyangkut Undang-undang Pers. Undang-
undang Pers telah memberikan pengaturan secara lebih spesifik (Lex
Specialist) mengenai segala perbuatan, termasuk perbuatan pidana yang
menyangkut Pers. Dengan demikian, maka seharusnya, penyidik yang tidak
mendalami mengenai Undang-undang Pers dapat mendatangkan ahli dari
Dewan Pers yang dapat memberikan pendapatnya mengenai apakah
Pemohon Kasasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana
atau tidak. Sebab, Undang-undang Pers telah mengatur secara jelas tentang
siapa yang harus bertanggung jawab apabila terdapat suatu pemberitaan
yang dimuat oleh Pers.
Bahwa berdasar ketentuan pasal-pasal dalam Undang-undang Pers,
telah jelas mengenai hak-hak seseorang yang merasa keberatan ataupun
83
tercemar nama baiknya sehubungan dengan adanya pemberitaan, maka
dapat melaporkan dan mengadukan pers yang bersangkutan ke Dewan Pers.
Apabila ternyata orang/sekelompok orang yang merasa tercemarkan nama
baiknya tersebut masih kurang mersa puas, masih terbuka peluang bagi
orang yang meras dirugikan tersebut untuk mengajukan gugatan kepada
Penanggungjawab dari Media yang bersangkutan. Bahwa dengan telah
diaturnya dalam Undang-undang Pers mengenai diajukannya gugatan
kepada Penanggungjawab Media dan bukan penulis berita, maka perkara
pidana yang dikenakan kepada Pemohon Kasasi telah tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana telah diatur secara Lex Specialist berdasarkan
Undang-undang Pers. Oleh karenanya Judex Facti telah salah menerapkan
hukum dan karenanya Putusan Judex Facti Tingkat Banding dalam perkara
a quo harus dibatalkan;
e. Bahwa Judex Facti Tingkat Pertama dan Judex Facti Tingkat Banding telah
salah dalam menerapkan hukum mengenai Pasal 311 ayat (1) KUHP yang
dikenakan kepada Pemohon Kasasi;
Bahwa Pasal 311 ayat (1) KUHP yang dikenakan terhadap Pemohon
Kasasi berdasar atas ketentuan hukum merupakan suatu tindak pidana yang
menganut ketentuan adanya Delik Aduan Absolut. Dimana dalam ketentuan
Bab VII Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan Dalam Kejahatan-
Kejahatan yang Hanya Dituntut Atas Pengaduan, khususnya Pasal 72
KUHP, terhadap Pasal-Pasal Perbuatan Pidana yang mengenai Delik Aduan
Absolut, harus dilaporkan/diadukan oleh orang yang benar-benar merasa
84
tercemar nama baiknya atau dengan kata lain pelaporan atau pengaduan
harus dilakukan oleh orang yang menjadi korban;
Bahwa unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP mensyaratkan sebagai
berikut: Jika yang melakukan kejahatan, pencemaran atau pencemaran
tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak
membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang
diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling
lama empat tahun;
Bahwa selain hal tersebut diatas, mengenai tindak pidana
pencemaran nama baik, harus dibuktikan mengenai apa yang dituduhkan
oleh pelaku tindak pidana itu tidak benar. Hal ini didukung oleh Keterangan
Ahli Drs. Sutiman, M.Hum, yang dibawah sumpah memberikan keterangan
sebagai berikut: “Bahwa kalau tulisan tersebut ternyata benar, maka bukan
termasuk Pencemaran Nama Baik”. Begitu pula dengan keterangan Ahli Dr.
Rudy Satrio, SH., M.H., “Bahwa dalam Pasal 310 ayat (3) ada 2 unsur:
kepentingan umum dan kepentingan pembelaan dalam proses persidangan.
Kalau yang dilakukan berguna dan dapat menyelamatkan orang lain, maka
hapuslah unsur pidana perbuatan tersebut.”;
Bahwa kalaupun benar tulisan Pemohon Kasasi dalam Harian
Investor Daily, adalah suatu tulisan yang pada intinya Pemohon Kasasi atas
nama Ketua Pengurus Perhimpunan Penghuni Apartemen Mangga Dua
Court merasa telah menjadi korban atas status kepemilikan tanah Apartemen
Mangga Dua Court yang dalam Sertifikat Kepemilkan Pemohon Kasasi
85
beserta lainnya dinyatakan sebagai tanah dengan status Hak Guna Bangunan
(HGB) atas nama PT. Duta Pertiwi Tbk, namun pada saat akan
dilakukannya perpanjangan atas HGB tersebut ternyata status tanah yang di
atasnya berdiri Apartemen Mangga Dua Court adalah tanah HGB yang
berdiri di atas tanah HPL (Hak Pengelolaan) yang terdaftar atas nama
Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Bahwa dengan demikian, Pemohon Kasasi
merasa tertipu atas perbuatan PT. Duta Pertiwi tersebut;
Bahwa mengenai permasalahan status tanah tersebut saat ini baru
sampai pada pemeriksaan di Tingkat Banding dan akan segera diajukan
Permohonan Kasasinya dan saat ini Pemohon Kasasi masih menunggu
diterimanya relaas pemberitahuan Putusan Banding atas perkara perdata
No.205/PDT.G/2007/PN.JKT.PST. Dengan demikian, belum ada putusan
yang berkuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) atas permasalahan
tersebut di atas. Sehingga mengenai perbuatan Pemohon Kasasi yang
dianggap telah mencemarkan nama baik PT. Duta Pertiwi Tbk seharusnya
secara hukum tidak dapat dikenakan kepada Pemohon Kasasi, sebab masih
terbuka luas mengenai kemungkinan bahwa apa yang menjadi objek tulisan
Pemohon Kasasi adalah benar dan terbukti secara hukum dan bukanlah
merupakan suatu bentuk pencemaran nama baik;
Bahwa berdasarkan atas dalil-dalil tersebut diatas, Pemohon Kasasi
memohon kepada Judex Juris untuk dapat mempertimbangkan kembali
mengenai unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP yang dikenakan terhadap
Pemohon Kasasi, sebab sebagaimana telah Pemohon Kasasi uraikan di atas,
86
bahwa mengenai isi objek tulisan Pemohon Kasasi tersebut masih diuji
kebenarannya secara hukum pada pemeriksaan di tingkat Kasasi;
6. Putusan Mahkamah Agung
a. Dasar Pertimbangan
Berdasarkan alasan-alasan kasasi yang diajukan terdakwa Fifi
Tanang, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan kasasi tersebut
dapat dibenarkan oleh karena:
1) Bahwa dalam kasus ini yang menjadi objek pencemaran adalah Badan
Hukum PT. Duta Pertiwi yang Dirutnya adalah Bapak Mukhtar Wijaya;
2) Bahwa sebagai pelapor atas tindak pidana tersebut adalah pihak yang
tercemar (PT. Duta Pertiwi) sehingga seharusnya sebagai pelapor adalah
Dirut PT. tersebut, karena Dirutlah yang mewakili suatu PT., sedangkan
dalam kasus a quo yang melapor adalah Dormauli Limbong, SH., MH
kuasa hukum yang mendampingi PT. Duta Pertiwi, sedangkan menurut
Pasal 72 KUHP dalam Delik Aduan Absolut, seharusnya yang melapor
adalah Dirut yang mewakili PT. Duta Pertiwi;
3) Bahwa dengan demikian pengaduan dianggap tidak ada;
4) Bahwa atas dasar hal tersebut terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan
hukum;
b. Amar Putusan
Mengadili:
1) Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Fifi Tanang
tersebut;
87
2) Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
No.234/Pid/2009/PT.DKI. tanggal 07 September 2009 yang menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No.1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel. tanggal 07 Mei 2009;
MENGADILI SENDIRI
a. Menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan
maupun pelanggaran;
b. Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum;
c. Memerintahkan agar terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan, kecuali
terdakwa ditahan karena perkara lain;
d. Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada
Negara;
Putusan tersebut diputuskan dalam Rapat Musyawarah Mahkamah
Agung pada hari Kamis, tanggal 20 Mei 2010 oleh Dr. Harifin A. Tumpa,
SH., MH, yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Majelis, I Made Tara, SH., dan Prof. Dr. H. MUCHSIN, SH., Hakim-Hakim
Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota
tersebut, dan dibantu oleh RITA ELSY, SH., MH, Panitera Pengganti
dengan tidak dihadiri oleh Pemohon Kasasi: Terdakwa dan Jaksa/Penuntut
Umum.
88
B. PEMBAHASAN
Putusan Mahkamah Agung Nomor 183 K/PID/2010 menyatakan bahwa
terdakwa Fifi Tanang terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
akan tetapi perbuatan tersebut bukan kejahatan maupun pelanggaran. Namun
Mahkamah Agung berpendapat bahwa kasus ini tidak ada aduan dari korban yang
berhak mengadu sehingga Mahkamah Agung melepaskan terdakwa Fifi Tanang
dari segala tuntutan hukum. Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan
Mahkamah Agung Nomor 183 K/PID/2010 serta dengan melakukan studi pustaka
tentang bahan-bahan serta materi yang berhubungan dengan objek penelitian,
maka dapat disusun pembahasan sebagai berikut:
1. Penerapan unsur-unsur tindak pidana pencemaran nama baik terhadap
badan hukum melalui media massa dalam Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Nomor 1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel dan Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta No.234/Pid/2009/PT.DKI
Penulis akan membahas lebih dulu mengenai penerapan unsur-unsur
tindak pidana pencemaran nama baik terhadap badan hukum melalui media
massa dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No.1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel dan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
No.234/Pid/2009/PT.DKI yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri.
Mahkamah Agung menyatakan terdakwa Fifi Tanang terbukti melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya artinya Mahkamah Agung sepakat
dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel. yang menyatakan bahwa terdakwa Fifi Tanang
89
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Pencemaran Nama Baik”.
Tindak pidana pencemaran nama baik masuk dalam pencemaran
(smaad) dan pencemaran tertulis (smaadscrift) yang diatur dalam Pasal 310
ayat (1) dan (2) KUHP. Pasal 310 KUHP masuk titel XVI buku II KUHP yang
secara umum membahas mengenai “Penghinaan” (beleediging). Terdakwa Fifi
Tanang dalam kasus ini didakwa melakukan tindak pidana pencemaran nama
baik yang diatur dalam Pasal 310 KUHP dan fitnah yang diatur dalam Pasal
311 ayat (1) KUHP. Pembahasan hasil penelitian ini akan dimulai dari semua
unsur tindak pidana pencemaran nama baik yang terdapat dalam Pasal 310
KUHP karena harus lebih dulu dibuktikan adanya tindak pidana pencemaran
nama baik. Penulis akan membahas mengenai penerapan unsur-unsur tindak
pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP dan
Pasal 311 ayat (1) KUHP berdasar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel, yaitu sebagai berikut:
a. Perbuatan yang memenuhi rumusan Undang-undang;
1) Pencemaran nama baik;
Pasal 310 ayat (1) KUHP menentukan:
Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seorang, dengan menuduh suatu hal, yang dimaksudnya terang
supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran,
dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah.
Unsur pertama dari pidana adalah perbuatan atau tindakan
seseorang, tindakan orang itu merupakan penghubung atau dasar untuk
90
adanya pemberian pidana. Perbuatan itu meliputi berbuat dan tidak
berbuat dan yang memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-
undang, yang merupakan konsekuensi dari asas legalitas.106
Soedarto
menyatakan bahwa perbuatan yang memenuhi atau yang mencocoki
rumusan tindak pidana dalam undang-undang berarti perbuatan konkrit
dari si pembuat. Dan perbuatan itu harus mempunyai ciri-ciri dari delik
itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang.
Sehingga perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-
undang sebagai tindak pidana tidak dapat dipidana dan peraturan
perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. 107
Berdasarkan uraian di atas tindak pidana pencemaran nama baik
yang terdapat dalam Pasal 310 KUHP mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut yang akan dibahas satu persatu, yaitu sebagai berikut:
Unsur-Unsur Objektif:
a) Unsur Barangsiapa;
Kata tersebut menunjukkan “orang”, yang apabila “orang”
tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang
dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 310
KUHP maka ia dapat disebut sebagai pelaku atau “dader” dari tindak
pidana tersebut. Barangsiapa yaitu siapa saja orangnya yang dapat
menjadi subjek hukum dan menjadi pelaku dari suatu perbuatan
pidana dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidana itu.
106
Soedarto, 1990, op. cit, hlm. 30. 107
Ibid. hlm. 31.
91
Terdakwa Fifi Tanang, dapat dimasukkan sebagai katagori
subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan yang dirumuskan
dalam undang-undang. Barangsiapa dalam perkara ini, tidak lain
adalah Fifi Tanang yang berdasar fakta yang diperoleh dipersidangan
terbukti melakukan perbuatan pencemaran nama baik.
Majelis Hakim mendasarkan pada telah diajukannya ke
persidangan seorang terdakwa bernama Fifi Tanang yang ketika
diperiksa identitasnya ternyata cocok dan sesuai dengan identitas yang
tertulis dalam surat dakwaan Penuntut Umum sebagaimana telah
dibenarkan oleh saksi-saksi dan terdakwa. Berdasarkan hal tersebut,
Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur barangsiapa telah dibuktikan
secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
b) Menyerang kehormatan atau nama baik ”seseorang”;
Bahwa yang dimaksud dengan ”menyerang kehormatan atau
nama baik” di dalam rumusan Pasal 310 KUHP adalah setiap ucapan
maupun tindakan yang menyinggung harga diri atas kehormatan, dan
nama baik ”seseorang”. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
menafsirkan “seseorang” berdasarkan perluasan makna subjek hukum
pidana yaitu orang (rechtpersoon) dan badan hukum
(naturlijkpersoon). “Seseorang” yang menjadi korban pencemaran
nama baiknya dalam perkara ini adalah badan hukum yaitu PT. Duta
Pertiwi. Mengenai bisa tidaknya suatu badan hukum menjadi korban
pencemaran nama baik atau fitnah, Hakim menyinggung
92
yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No 68 K/Kr/1973 tanggal 16
Desember 1976. Menurut Majelis Hakim, dalam putusan itu suatu
badan hukum bisa menjadi korban pencemaran nama baik bukan
hanya orang pribadi.
Subjek hukum sendiri ada dua yaitu orang (rechtpersoon) dan
badan hukum (naturlijkpersoon). Awalnya KUHP mengenal subjek
hukum yaitu orang. Namun timbul pemahaman baru mengenai subjek
hukum pidana karena dalam perkembangannya bukan hanya manusia
saja yang dapat menjadi subjek hukum, melainkan juga perkumpulan
manusia bersama-sama dapat mempunyai kemampuan untuk menjadi
subjek hubungan hukum. Sekumpulan manusia itu dinamakan badan
hukum dan badan hukum ini sebagai subjek hukum yang baru serta
mandiri. Di sini badan hukum adalah suatu realitas di samping
manusia sebagai subjek hukum.108
Sebagai subjek hukum, badan hukum dapat digugat maupun
menggugat. Maka dari perluasan subjek hukum tersebut dapat
disimpulkan badan hukum juga mempunyai kehormatan. Karena pada
dasarnya bila badan hukum dicemarkan nama baiknya pada akhirnya
akan berlaku juga bagi manusia yang dicemarkan dan dihina
kehormatan dan nama baiknya, yaitu orang-orang yang ada dalam
badan hukum tersebut, seperti pengurus dan anggota-angotanya. Maka
unsur menyerang kehormatan atau nama baik seseorang adalah
108
Chaidir Ali, op. cit. hlm. 10.
93
tindakan dari pelaku yang merusak rasa harga diri atau harkat dan
martabat yang dimiliki oleh orang dalam pergaulan hidup masyarakat
terhadap seseorang (pribadi) sebagai makhluk hidup maupun terhadap
badan hukum (naturlijkpersoon). Penerapan unsur menyerang
kehormatan atau nama baik ”seseorang” dalam perkara ini adalah
bahwa terdakwa Fifi Tanang mencemarkan nama baik badan hukum
yaitu PT Duta Pertiwi yang dalam perkembangannya merupakan
subjek hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka unsur menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang telah dibuktikan secara sah dan
meyakinkan menurut hukum.
c) Dengan menuduhkan suatu hal;
Menuduhkan suatu hal juga sering diartikan sebagai
menuduhkan perbuatan tertentu, sebagai terjemahan dari kata Bahasa
Belanda: bepaald feit dalam arti bahwa perbuatan yang dituduhkan
tersebut dinyatakan dengan jelas, baik tempat maupun waktunya. Jika
tidak jelas disebut waktu dan tempat perbuatan tersebut maka
perbuatan pelaku tersebut adalah penghinaan biasa (ringan), misalnya:
i. kau pembohong
ii. kau pencuri dan penipu
iii. kau pemeras109
Perbuatan tertentu itu harus telah dituduhkan. Tuduhan
terpenuhi apabila dari kata-kata secara logis dapat ditarik kesimpulan,
109
Leden Marpaung, op. cit. hlm. 15-16.
94
bahwa yang dimaksudkan adalah pemberitahuan atas suatu perbuatan
yang seakan-akan dilakukan oleh seorang yang dituduh. 110
Unsur
diatas bila dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor 1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel. adalah bahwa terdakwa
Fifi Tanang telah mengirim surat ke Surat Kabar Harian Inverstor
Daily yang dikirim dan dimuat pada halaman 9 rubrik Surat Pembaca
dengan judul berita “Hati-hati Modus Operandi Penipuan PT. Duta
Pertiwi” yang isinya antara lain”…..bagaimana mungkin, Sertifikat
yang tidak pernah ditulis bahwa status HGB di atas HPL Pemda DKI
Jakarta ternyata berstatus HGB di atas HPL siapapun pasti akan
tertipu dengan kejadian ini. Perlu diketahui masalah penipuan oleh
Developer PT. Duta Pertiwi (Sinar Mas Group) telah kami laporkan
ke Kepolisian pada tanggal 25 agustus 2006”.
Pernyataan terdakwa tersebut telah mengakibatkan nama baik
PT. Duta Pertiwi sebagai badan hukum maupun nama baik Mukhtar
Wijaya selaku Direktur Utama PT. Duta Pertiwi Tbk dan Ir. Glen
Hendra Gunadirdja selaku Direktur PT. Duta Pertiwi telah tercemar.
Terdakwa Fifi Tanang telah memenuhi unsur “dengan menuduhkan
perbuatan tertentu”, karena Surat Pembaca itu menyatakan tuduhan
bahwa PT Duta Pertiwi telah melakukan perbuatan tertentu yaitu telah
melakukan tindak pidana penipuan. Berdasarkan alat bukti keterangan
saksi dan 1 fotocopy SKH Daily Investor tangal 2-3 Desember 2000,
110
H. A. K. Moh Anwar, op. cit, hlm. 136.
95
telah terbukti secara meyakinkan bahwa terdakwa Fifi Tanang telah
menuduh PT. Duta Pertiwi telah melakukan penipuan.
Unsur Subjektif:
a) Dengan sengaja (opzettelijk);
Menurut doktrin (ilmu pengetahuan), sengaja termasuk
unsur subjektif, yang ditujukan pada perbuatan. Artinya pelaku
mengetahui perbuatannya ini, pelaku menyadari mengucapkan
kata-katanya yang mengandung pelanggaran terhadap kehormatan
atau nama baik orang lain.111
Apakah pelaku tersebut bermaksud untuk menista, tidak
termasuk unsur ”sengaja”. Sengaja di sini, tidak begitu jauh karena
di sini tidak diperlukan ”maksud lebih jauh”, jadi tidak diperlukan
animus injuriandi (niat untuk menghina), sebagaimana dimuat oleh
yurisprudensi berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia No. 37 K/Kr/1957, tanggal 21 Desember 1957.112
Penerapan unsur “dengan sengaja” dalam perkara Fifi
Tanang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
mendasarkan pada fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan,
yaitu: dimaksud dengan sengaja adalah terdakwa Fifi Tanang
menyadari sepenuhnya dan memahami perbuatannya dan apa
akibatnya. Unsur ini terdapat pada fakta hukum sebagai berikut:
Terdakwa Fifi Tanang telah mengirim surat ke Surat Kabar Harian
111
Leden Marpaung, op. cit, hlm. 13. 112
Ibid., hlm. 13-14.
96
Inverstor Daily yang dikirim dan dimuat pada halaman 9 rubrik
Surat Pembaca dengan judul berita “Hati-hati Modus Operandi
Penipuan PT. Duta Pertiwi” yang isinya berupa tuduhan bahwa PT
Duta Pertiwi melakukan penipuan.
Dari fakta hukum diatas terdakwa Fifi Tanang terbukti
telah menulis Surat Pembaca secara sadar di Surat Kabar Harian
Daily Investor dan terdakwa menyadari bahwa perbuatannya
tersebut akan menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan
demikian unsur “dengan sengaja” terpenuhi karena terdakwa Fifi
Tanang melakukan perbuatannya yaitu mengirim Surat Pembaca
dengan sengaja, menyadari sepenuhnya dan memahami tentang
perbuatannya dan apa akibatnya meskipun Fifi Tanang tidak ada
niat untuk menghina.
b) Dengan maksud yang terang (kenlijk doel) supaya tuduhan itu
diketahui umum (ruchtbaarheid te geven);
Hakim untuk dapat menghukum pelaku dalam perkara ini,
maka disyaratkan bahwa pelaku harus terlebih dulu memenuhi
unsur delik, kemudian harus memenuhi semua unsur
pertanggungjawaban yang merupakan unsur pelaku. Unsur ini
dalam penerapannya memerlukan kecermatan karena harus dapat
dibuktikan “maksud nyata untuk menyiarkan…”, misalnya:
i. diberitakan kepada satu orang di hadapan umum, dengan suara
yang dapat didengar oleh orang lain;
97
ii. X dan Y bertengkar, dimana Y dengan suara lantang yang
dapat didengar oleh banyak orang, menuduh X telah
melakukan Pencurian di rumah B pada hari Senin yang lalu.113
Unsur ini berkaitan dengan Pasal 310 ayat (3) KUHP dan
unsur pertanggungjawaban pidana pelaku yang akan di bahas di
bawah. Penerapan unsur ini adalah bahwa terdakwa Fifi Tanang
dengan sengaja telah mengirim Surat Pembaca ke Surat Kabar
Harian Inverstor Daily yang isinya berupa tuduhan bahwa PT Duta
Pertiwi telah melakukan penipuan. Fifi Tanang menyadari bahwa
Surat Pembaca tersebut akan dibaca khalayak ramai karena dimuat
oleh media massa. Jadi unsur “maksud nyata untuk menyiarkan..”
telah terbukti dengan meyakinkan karena terdakwa Fifi Tanang
dengan sengaja menyiarkan bahwa PT Duta Pertiwi telah
melakukan penipuan melalui Surat Pembaca di media massa
Investor Daily untuk diketahui oleh masyarakat umum.
2) Pencemaran nama baik secara tertulis;
Pasal 310 ayat (2) KUHP, menentukan:
Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang
disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka
yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan
hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-.
Pasal 310 ayat (2) KUHP ini mengatur mengenai kejahatan
(misdrif) penistaan (smaadmisdrif) yang dilakukan seseorang baik lewat
113
Ibid., hlm. 16.
98
gambar maupun lewat surat (tulisan). Jelas menurut rumusan pasal di
atas, pelaku tindak kejahatan yang dimaksud adalah penulis atau pembuat
gambar yang isinya mampu membuat nama orang lain tercemar.
Berdasarkan rumusan diatas maka menista dan menista dengan
tulisan mempunyai unsur-unsur yang sama, bedanya adalah bahwa
menista dengan tulisan dilakukan dengan tulisan atau gambar sedangkan
unsur-unsur lainnya tidak berbeda. Unsur-unsur tersebut yaitu:
i. Barangsiapa;
ii. Dengan sengaja;
iii. Menyerang kehormatan atau nama baik ”seseorang”;
iv. Dengan tulisan atau gambar yang disiarkan;
v. Dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan.
Kata “disiarkan” terjemahan dari bahasa Belanda atas kata
verspreid yang juga dapat diterjemahkan dengan “disebarkan”. Tulisan
atau gambar lebih tepat mempergunakan terjemahan “disebarkan”.114
“Disebar” atau disiarkan mengandung arti bahwa tulisan atau gambar
tersebut, lebih dari satu helai atau satu eksempelar.115
“Dipertunjukkan” dimaksud bahwa tulisan atau gambar, tidak
perlu jumlah banyak tetapi dapat dibaca atau dilihat orang lain. Kata-kata
“disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan” semua bermakna agar
dapat dibaca atau dilihat orang lain. Jika suatu gambar ditempel di
ruangan tertutup maka hal itu bukan dimaksudkan untuk diketahui orang
114
Ibid., hlm. 18. 115
Ibid., hlm. 19
99
lain, atau dipertunjukkan untuk umum karena ruangan tertutup berarti
tidak dapat dimasuki setiap orang atau umum.116
Maka unsur-unsur dalam tindak pidana penistaan dengan tulisan
atau gambar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP,
yaitu kejahatan penistaan itu dilakukan dengan disiarkan, dipertunjukkan
dan ditempelkan. Dengan kata lain, Pelaku harus mengharapkan bahwa
tulisan atau gambar tersebut diperuntukkan untuk diedarkan,
ditempelkan, dipertunjukkan atau dikirimkan pada khalayak umum,
tulisan yang oleh pemiliknya tidak diperuntukkan guna diumumkan atau
diedarkan, tidak menimbulkan kejahatan menista dengan tulisan.117
Penerapan unsur ini yaitu bahwa terdakwa Fifi Tanang telah
mengirim surat ke Surat Kabar Harian Inverstor Daily yang dikirim dan
dimuat pada halaman 9 rubrik Surat Pembaca dengan judul berita “Hati-
hati Modus Operandi Penipuan PT. Duta Pertiwi” yang isinya berupa
tuduhan bahwa PT Duta Pertiwi melakukan penipuan. Pasal 310 ayat (2)
KUHP mempunyai unsur-unsur yang sama dengan Pasal 310 ayat (1)
KUHP bedanya adalah bahwa menista dengan tulisan dilakukan dengan
tulisan atau gambar sedangkan unsur-unsur lainnya tidak berbeda. Bahwa
tuduhan terdakwa Fifi Tanang telah “disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempelkan” semua bermakna agar dapat dibaca atau dilihat orang lain.
“Disiarkan” dan “Dipertunjukkan” yaitu tulisan terdakwa Fifi
Tanang di Surat Pembaca Investor Daily lebih dari satu helai atau satu
116
Ibid., 117
H. A. K. Moh Anwar, op. cit, hlm. 138.
100
eksempelar agar dapat dibaca atau dilihat orang lain karena Investor
Daily merupakan sebuah media massa, sehingga membuat PT. Duta
Pertiwi merasa tercemar nama baiknya. Berdasarkan uraian tersebut
maka terdakwa Fifi Tanang telah terbukti secara meyakinkan telah
melakukan tindak pidana pencemaran nama baik secara tertulis terhadap
badan hukum melalui media massa.
3) Alasan peniadaan pidana pencemaran nama baik;
Pasal 310 ayat (3) KUHP, menentukan:
Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika
perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena
terpaksa untuk bela diri.
Dari rumusan Pasal 310 ayat (3) KUHP, perbuatan sebagaimana
dalam Pasal 310 ayat (1) dan Pasal 310 ayat (2), bukan merupakan smaad
atau smaadschrift, kalau perbuatan itu dilakukan demi kepentingan
umum atau karena terpaksa untuk bela diri. Dengan demikian Pasal 310
ayat (3) tersebut merupakan alasan peniadaan pidana. Kalau tertuduh
mengajukan alasan bahwa ia melakukan perbuatan tersebut karena
kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri, maka ia harus
terlebih dulu membuktikan kebenaran, bahwa hal itu untuk kepentingan
umum atau karena terpaksa untuk bela diri. Kalau ia tidak berhasil
membuktikan kebenaran dalihnya itu, sedangkan Jaksa dapat
membuktikan maka ia melakukan kejahatan memfitnah sebagaimana
diatur dalam Pasal 311 aayat (1) KUHP.
101
Mengenai Pasal 310 ayat (3) Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Fifi
Tanang bukan untuk kepentingan umum maupun karena terpaksa untuk
bela diri. Diantara 2900 orang pemilik Rusun ITC Mangga Dua yang
keberatan adalah kurang lebih 20 orang, sehingga apa yang diungkapkan
oleh terdakwa bahwa tujuannya melakukan tulisan tersebut di Koran
adalah untuk kepentingan umum tidaklah dapat dibenarkan, karena
apabila dibandingkan yang keberatan dengan yang tidak keberatan adalah
2900 berbanding 20 orang, sehingga tidaklah dapat dikatakan mewakili
pemilik Rusun ITC Mangga Dua. Hal tersebut tentunya memerlukan
penafsiran dari Hakim untuk mengukur bahwa tindak pidana tersebut
ditujukan sesuai dengan dasar pembenar atau tidak. Hal ini tentunya
menimbulkan ketidakpastian dalam penegakkan hukum.
Semua unsur dalam Pasal 310 KUHP telah terpenuhi, utamanya
unsur Pasal 310 ayat (2) KUHP mengenai tindak pidana pencemaran
nama baik secara tertulis. Maka terdakwa Fifi Tanang telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
pencemaran nama baik seperti didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
4) Tindak pidana fitnah sebagaimana diatur dalam Pasal 311 ayat (1)
KUHP;
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa tindak pidana
fitnah diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP yang menentukan:
Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran
tertulis, dalam hal diperbolehkan untuk membuktikan bahwa apa
102
yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan
dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia
diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP
tersebut tidak berdiri sendiri. Artinya tindak pidana tersebut masih terkait
dengan ketentuan tindak pidana yang lain, dalam hal ini yang erat terkait
adalah ketentuan Pasal 310 KUHP. Sehingga dapat ditarik unsur-unsur
kejahatan yang terkandung yaitu :
a) Semua unsur (objektif dan subjektif) dari:
I. pencemaran Pasal 310 ayat (1); atau
II. pencemaran tertulis Pasal 310 ayat (2)
b) Si pembuat dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkannya
itu benar;
c) Tetapi si pembuat tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya ;
d) Apa yang menjadi isi tuduhannya adalah bertentangan dengan yang
diketahuinya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Adami Chazawi bahwa unsur 2, 3
dan 4 adalah berupa unsur kumulatif yang berupa tambahan agar suatu
tindak pidana pencemaran atau pencemaran tertulis dapat dikatakan
sebagai tindak pidana fitnah. Bahwa dengan melihat pada unsur dalam
poin (2) dan (3) nampak bahwa dakwaan fitnah baru boleh dilakukan,
dalam hal apabila terlebih dahulu terdakwa didakwa mengenai
pencemaran atau pencemaran tertulis, dan terhadap pencemaran tersebut
terdakwa telah tidak dapat dibuktikan kebenaran tuduhannya.
103
Seperti sudah diuraikan sebelumnya bahwa perbuatan terdakwa
Fifi Tanang telah memenuhi semua unsur (objektif dan subjektif) pada
Pasal 310 ayat (1) dan Pasal 310 ayat (2) KUHP. Berarti kini Majelis
Hakim harus membuktikan unsur dalam rumusan Pasal 311 ayat (1)
KUHP.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan
terdakwa Fifi Tanang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana pencemaran nama baik. Perbuatan Fifi Tanang memenuhi
unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP karena Fifi Tanang tidak dapat
membuktikan kebenaran apa yang dituduhkannya. Hal ini karena belum
ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap bahwa PT
Duta Pertiwi telah melakukan penipuan mengenai status kepemilikan
tanah Apartemen Mangga Dua Court.
Kasus ini sebenarnya memasuki ranah Hukum Pers, karena Fifi
Tanang didakwa melakukan tindak pidana pencemaran nama baik
melalui media massa dengan cara menulis Surat Pembaca. Mengenai
delik pers telah diatur dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers. Undang-undang Pers telah mengatur secara jelas tentang siapa yang
harus bertanggung jawab apabila terdapat suatu pemberitaan yang dimuat
oleh Pers. Prosedur keberatan bagi orang yang merasa tercemar nama
baiknya adalah sebagai berikut:
a) Dengan menggunakan Hak Jawab;
b) Mengadukan Pers yang bersangkutan ke Dewan Pers;
104
c) Jika orang yang merasa keberatan dan tercemar nama baiknya tersebut
masih belum merasa puas, maka yang bersangkutan dapat menggugat
dan menuntut pertanggungjawab dalam pers itu sendiri.
Banyak argumen yang mengatakan bahwa Undang-undang No 40
Tahun 1999 merupakan Lex specialis, sehingga seluruh kasus-kasus pers
harus diselesaikan menurut Undang-undang No 40 Tahun 1999. Namun,
apabila ditinjau dari muatan Undang-undang No. 40 Tahun 1999, maka
sebenarnya tidak ada satupun ketentuan yang secara jelas mewajibkan
ditempuhnya prosedur Hak Jawab. Batang tubuh Undang-undang No. 40
Tahun 1999 praktis hanya menyebut di dalam pasal 1 angka 11 tentang
definisi Hak Jawab dan pasal 5 ayat (2) mengenai kewajiban pers untuk
melayani Hak Jawab.
Pasal 63 ayat (2) KUHP menentukan:
Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana
yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka
hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal diatas adalah bentuk dari asas Lex Specialis Derogat Legi
Generali, yang artinya undang-undang yang bersifat khusus
menyampingkan undang-undang umum, jika pembuatnya sama.118
Undang-undang Pers mengatur mengenai tindak pidana pencemaran
118
C.S.T. Kansil, 1992, Pengantar Ilmu Hukum, Jilid 1, Jakarta: Balai Pustaka, hlm.
156.
105
nama baik melalui pers, hanya saja tidak secara rinci. Sehingga timbul
pro kontra apakah Undang-undang Pers adalah Lex Specialis dari KUHP.
Sampai saat ini perdebatan apakah Undang-undang Pers dapat
digunakan sebagai Lex Specialis dari KUHP dalam kasus pencemaran
nama baik, penghinaan dan fitnah, masih terus berlangsung dan belum
menemukan titik temu. Pro dan kontra Undang-undang No. 40 Tahun
1999 sebagai Lex Specialis mengemuka dengan argumentasi yang sama
kuat. Di satu sisi, menjadikan Undang-undang No. 40 Tahun 1999
sebagai Lex Specialis adalah jaminan menegakkan kemerdekaan pers,
namun di disi lain secara hukum formal dan material kedudukan
Undang-undang No. 40 Tahun 1999 sebagai Lex Specialis dinilai oleh
sebagian pihak belum memenuhi syarat dan memiliki banyak kelemahan.
Penulis sependapat dengan yang kontra karena Undang-undang
Pers tidak memuat ketentuan pidana mengenai pencemaran nama baik
yang dilakukan oleh pers. Alasan lainnya adalah:
a) Dalam penjelasan umum Undang-undang Pers tidak secara tegas
dikatakan bahwa Undang-undang Pers dijadikan Lex Spesialis. Dalam
penjelasan disebutkan “untuk menghindari peraturan yang tumpang
tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”.
b) Baik dalam ketentuan peralihan dan ketentuan penutup maupun dalam
penjalasan dari Undang-undang Pers tersebut tidak mencabut
ketentuan KUHP.
106
c) Undang-undang Pers tidak menyebut soal pencemaran nama baik dan
sama sekali tidak membahas soal hukum yang sangat kompleks itu.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Undang-undang
Pers bukan Lex Specialis dari KUHP, baik spesialitas logis maupun
spesialitas sistematis, karena dalam Undang-undang Pers tidak mengatur
secara khusus tentang pencemaran nama baik oleh pers. Sekalipun
demikian dalam membuktikan adanya pencemaran nama baik oleh Pers,
aparat penegak hukum wajib memperhatikan Undang-undang Pers dan
kode etik jurnalistik. 119
Pelaksanaan mekanisme hukum pers dan kode etik jurnalistik,
sangat menentukan dalam adanya “sifat melawan hukum” dari suatu
pemberitaan pers, yang dipandang melanggar asas praduga tidak
bersalah. Tidak dapat dipandang suatu pencemaran nama baik, jika
mereka yang merasa “dirugikan nama baiknya”, belum menggunakan
“hak jawab” (Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 1 angka 11 Undang-undang Pers).
Hal inipun dalam hal Pers dapat membuktikan bahwa yang diberitakan
tersebut adalah suatu “fakta”. Tidak dapat dipandang suatu pencemaran
nama baik, jika mereka yang merasa “diberitakan secara keliru” belum
menggunakan “hak koreksi” (Pasal 5 ayat (3) jo Pasal 1 angka 12
Undang-undang Pers). Hal inipun dalam hal Pers dapat membuktikan
119
Chairul Huda, 2010, “Makna Asas Praduga Tidak Bersalah dan Pemakainnya dalam
Praktek Pers”, Jurnal Dewan Pers Edisi 2, Jakarta: Dewan Pers, hlm. 39-40.
107
bahwa kekeliruan pemberitaan tersebut bukan sesuatu yang
“disengaja”.120
Mengenai pertanggungjawaban atas pemberitaan Surat Pembaca
sendiri dapat dilihat dari pendapat para ahli komunikasi, yaitu Sabam
Leo Batubara dan Bambang Harymurti. Mereka menguraikan
pendapat tentang pertanggungjawaban dalam Surat Pembaca dalam
pemeriksaannya sebagai saksi ahli dalam kasus pidana pencemaran nama
baik atas nama terdakwa Khoe Seng-Seng. Sabam Leo Batubara
memberikan pendapat sebagai saksi ahli dalam perkara pidana
pencemaran nama baik atas nama Khoe Seng-Seng di Pengadilan Jakarta
Timur, sebagai berikut:
Surat pembaca adalah semua pendapat umum yang disampaikan
berupa informasi dan sesuai dengan konsep Undang-Undang No.
40 Tahun 1999 Tentang Pers yang bertanggungjawab adalah
redaktur surat pembaca karena surat pembaca melalui redaktur
atau orang yang diberi wewenang.
Berdasarkan pendapat tersebut, pihak perusahaan pers yang
bertanggungjawab atas pemberitaan Surat Pembaca adalah redaktur atau
pihak yang diberi wewenang terhadap Surat Pembaca. Selain itu,
pendapat ini dipertegaskan oleh Bambang Harymurti, selaku ahli pers,
yaitu pemuatan surat pembaca menurut Undang-Undang Pers adalah
menjadi tanggungjawab Pemimpin Redaksi. Undang-undang Pers tidak
mengatur secara tegas terhadap pertanggungjawaban terhadap penulisan
Surat Pembaca secara khusus. Akan tetapi, Undang-undang No. 40
120
Ibid., hlm. 40.
108
Tahun 1999 hanya melakukan pengaturan tentang pertanggungjawaban
atas segala informasi atau opini pada pers. Penulis menyimpulkan bahwa
Surat Pembaca merupakan jenis opini dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal 5 ayat (1) menentukan:
Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini
dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Sementara Pasal 12 menentukan:
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan
penanggung jawab secara terbuka melalui media yang
bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan
alamat percetakan.
Penjelasan Pasal 12 Undang-undang No. 40 Tahun 1999
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah
penanggungjawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan
bidang redaksi. Tindakan fitnah yang dilakukan oleh Fifi Tanang
melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 40 Tahun 1999
karena muatan Surat Pembaca Fifi Tanang melanggar unsur praduga tak
bersalah. Berdasarkan Pasal 18 ayat 2 Undang-undang No. 40 Tahun
1999, pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 40 Tahun
1999 merupakan tindak pidana. Sedangkan, pihak yang
bertanggungjawab adalah perusahaan pers.
Berarti perusahaan pers dapat juga dikenakan Pasal 56 KUHP atas
perannya dalam membantu Fifi Tanang melakukan tindak pidana.
109
Substansi dari Pasal 56 KUHP mengatur tentang para pihak yang
membantu kejahatan, yaitu:
Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) suatu kejahatan:
ke-1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu
kejahatan dilakukan;
ke-2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan;
Berdasar ketentuan pasal diatas maka perbuatan dari perusahaan
pers atas peranannya menerbitkan Surat Pembaca telah memenuhi unsur
sebagai pembantu kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP.
Perusahaan pers seharusnya ikut dinyatakan bersalah dan dipidana,
karena telah membantu Fifi Tanang untuk menyebarkan fitnah melalui
Surat Pembaca. Bantuan tersebut berupa memperbolehkan tulisan dalam
Surat Pembaca tersebut untuk dimuat dalam media massa yang dimiliki
oleh perusahaan pers tersebut. Hal ini dikarenakan proses pemuatan Surat
Pembaca masuk melalui redaksi dari perusahaan pers. Akan tetapi,
perusahaan pers tersebut tidak ikut diperiksa dan dinyatakan bersalah di
peradilan tersebut. Oleh karena itu, perkara ini sebenarnya para pihak
yang bertanggungjawab secara pidana yang diajukan ke pengadilan
kurang lengkap, karena perusahaan pers sebagai pihak yang membantu
kejahatan fitnah tersebut tidak diajukan untuk diadili di Pengadilan.
Berdasarkan uraian diatas maka putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Nomor 1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel terdapat unsur-unsur
dalam ketentuan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 dan KUHP yang
tidak diterapkan dengan tepat. Begitu juga unsur-unsur Pasal 311 ayat (1)
110
KUHP yang dikenakan terhadap Fifi Tanang tidak terpenuhi sebab
sebagaimana uraikan di atas, bahwa apa yang disampaikan terdakwa Fifi
Tanang adalah fakta. Oleh karena itu menurut penulis terdakwa Fifi
tanang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana pencemaran nama baik seperti yang didakwakan.
b. Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum;
Soedarto menyatakan salah satu unsur dari tindak pidana adalah
sifat melawan hukum, yaitu:
Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, atau perbuatan yang
melanggar perintah di dalam undang-undang itulah perbuatan yang
melawan hukum, karena bertentangan dengan apa yang dilarang
oleh atau diperintahkan di dalam dalam undang-undang. Sifat
melawan hukum tersebut terdiri dari sifat melawan hukum yang
formil dan sifat melawan hukum yang materiil. 121
Diperoleh fakta bahwa perbuatan terdakwa Fifi Tanang merupakan
perbuatan yang bersifat melawan hukum formil, sebab perbuatan terdakwa
tersebut telah memenuhi rumusan tindak pidana seperti diatur dalam Pasal
310 KUHP, yaitu mengenai tindak pidana pencemaran nama baik. Namun
jika dilihat dari kacamata Hukum Pers perbuatan Fifi Tanang tidak melawan
hukum karena apa yang disampaikan merupakan fakta.
c. Adanya kesalahan;
Meskipun perbuatan terdakwa telah memenuhi rumusan tindak
pidana dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut
belum memenuhi syarat-syarat penjatuhan pidana. Untuk adanya pemidaan
121
Soedarto, 1990, op. cit, hlm. 44.
111
masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau bersalah. Unsur kesalahan sangat menentukan
dari perbuatan seseorang, sehingga apabila seseorang dianggap bersalah
oleh pengadilan, maka ia dapat dijatuhi pidana. Di sini berlaku asas “tiada
pidana tanpa kesalahan”.
Menurut Soedarto kesalahan itu mempunyai tiga arti yaitu:
1) Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat
disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam
hukum pidana”, didalamnya terkandung makna dapat dicelanya
(verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannya.
2) Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldnorm) yang
berupa:
a) Kesengajaan (dolus);
b) Kealpaan (culpa).
3) Kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa) seperti yang
disebutkan dalam 2.b diatas.122
Selanjutnya dijelaskan bahwa kesalahan dalam arti seluas-luasnya
terdiri atas tiga unsur, yaitu sebagai berikut:
1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat, artinya
keadaan si pembuat harus normal;
2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang
berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa);
3) Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada
alasan pemaaf.123
Bila ketiga unsur tersebut terpenuhi maka orang bersangkutan
dinyatakan bersalah atau mempunyai tanggungjawab pidana, sehingga orang
tersebut dapat dipidana.124
Berikut akan diuraikan mengenai ketiga unsur
kesalahan tersebut di atas:
1) Adanya kemampuan bertanggungjawab;
122
Ibid., hlm. 3. 123
Ibid., hlm. 4. 124
Ibid.
112
Mengenai kemampuan bertanggungjawab KUHP tidak
menentukan secara tegas mengenai arti kemampuan bertanggungjawab,
tetapi ada pasal yang menunjuk ke arah itu, yaitu Pasal 44 ayat (1) KUHP
yang menentukan sebagai berikut:
Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya
cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ont wikkelink) atau terganggu
karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.
Ketentuan undang-undang ini tidak memuat apa yang dimaksud
dengan “tidak dapat bertanggungjawab”, pasal ini hanya memuat alasan
yang terdapat pada diri si pembuat, sehingga perbuatan yang dilakukan
tidak dapat dipertanggungjawabkan.125
Sebagai dasar dapatlah dikatakan
bahwa orang yang mampu bertanggungjawab adalah orang yang normal
jiwanya, ia mampu untuk menilai dengan pikiran atau perasaan bahwa
perbuatannya itu dilarang, artinya tidak dikehendaki oleh undang-undang
dan berbuat sesuai dengan pikiran dan persaannya itu.126
Terdakwa mengetahui bahwa tindakan pencemaran nama baik
melalui Surat Pembaca yang dikirimkan ke Surat Kabar Harian Invertor
Daily adalah perbuatan yang dilarang, tapi dengan sengaja dikirimkan
kepada surat kabar tersebut dan mengetahui akan akibatnya yaitu PT.
Duta Pertiwi akan merasa malu dan tercemar nama baiknya. Dengan
demikian terdakwa dinilai mampu bertanggungjawab dan mapu untuk
125
Ibid. 126
Ibid. hlm. 5.
113
menilai bahwa perbuatan yang telah dilakukannya adalah suatu perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang.
2) Adanya kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa);
Menurut Soedarto, untuk dapat mengetahui arti kesengajaan,
dapat diambil dari MvT (Memorie van Tolichting) yang mengartikan
kesengajaan (opzet) sebagai menghendaki atau mengetahui. Jadi dapatlah
dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang
dilakukan.127
Perbuatan yang dilakukan terdakwa termasuk
“kesengajaan” (dolus). Terdakwa dalam melakukan perbuatannya
mengetahui akibatnya, yaitu dengan maksud/sengaja melakukan
pencemaran nama baik dengan tulisan melalui Surat Pembaca.
3) Tidak adanya alasan pemaaf;
Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti
bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum), meskipun
perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi di sini ada alasan yang
menghapuskan kesalahan si pembuat. Alasan pemaaf sebagaimana diatur
dalam Pasal 44 KUHP (tidak mampu bertanggungjawab), Pasal 51 ayat
(2) KUHP keterpaksaan (moodweerexces) dan Pasal 51 ayat (2) KUHP
(dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang sah).128
Menurut Pasal 310 ayat (3) tidak merupakan pencemaran atau
pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan
umum atau karena terpaksa untuk bela diri. Pasal 310 ayat (3) tersebut
127
Ibid. hlm. 11.
128
Ibid.. hlm. 34.
114
merupakan alasan peniadaan pidana. Fifi Tanang terbukti bahwa dalam
melakukan perbuatannya, tidak terdapat alasan pemaaf, karena perbuatan
terdakwa untuk kepentingan sendiri yang kecewa terhadap PT Duta
Pertiwi dan bukan untuk kepentingan umum.
Kasus ini pada dasarnya merupakan delik aduan absolut sehingga harus
ada aduan dari orang yang berhak mengadu agar kasus ini bisa dituntut. Pasal
319 KUHP menentukan bahwa:
Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut
jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali
berdasarkan Pasal 316;
Dari rumusan pasal diatas jelas bahwa tindak pidana pencemaran nama
baik yang diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311 ayat (1) KUHP hanya dapat
dituntut apabila ada pengaduan dari orang atau korban, yang dikenal dengan
delik aduan. Berarti pengaduan termasuk dalam unsur-unsur tindak pidana
pencemaran nama baik selain unsur-unsur yang ada pada Pasal 310 KUHP.
Berkaitan dengan kasus Fifi Tanang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
tidak mempertimbangkan sama sekali ketentuan formil mengenai delik aduan
yang diatur dalam Pasal 319 KUHP. Padahal dalam kasus ini yang mengadu
adalah Dormauli Limbong, SH., MH bukan Muktar Widjaya selaku Dirut PT.
Duta Pertiwi yang merasa menjadi korban pencemaran nama baik. Dormauli
Limbong, SH., MH bertindak sebagai Pelapor berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 24 November 2005 selaku Pendamping dan bukan selaku Pelapor.
115
2. Akibat hukum apabila tindak pidana pencemaran nama baik melalui media
massa tidak diadukan sendiri oleh korban menurut Putusan Mahkamah
Agung Nomor 183 K/PID/2010
Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-
cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
Hakim Mahkamah Agung sebagai salah satu aparat penegak hukum
memiliki peranan yang sangat penting dalam penegakkan hukum khususnya
disini terhadap tindak pidana pencemaran nama baik. Hakim dalam menjatuhkan
putusan terlebih dahulu menyusun pertimbangan hukum yang berisi mengenai
fakta dan keadaan beserta alat bukti yang diperoleh dari pemeriksaan saat sidang
yang menjadi dasar penentuan terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa. Setiap
putusan yang diberikan oleh hakim harus disertai dengan pertimbangan-
pertimbangan hukumnya sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat dan
Negara. Juga mengemukakan alasan hakim untuk menjatuhkan putusan tersebut
sehingga putusan yang dijatuhkan memiliki nilai yang objektif.
Selain itu, dalam memutuskan suatu perkara pertimbangan-pertimbangan
yang dikemukakan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan yang dapat
ditinjau dari faktor yuridis dan faktor non yuridis. Ditinjau dari faktor yuridis,
pertimbangan hakim didasarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan
116
yang ada. Ditinjau dari faktor non yuridis, pertimbangan hakim didasarkan pada
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, hal ini sesuai dengan ketentuan yang
ada pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyebutkan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian dalam memutuskan suatu perkara hakim harus benar-benar
menguasai hukumnya dengan mewakili rasa keadilan dalam masyarakat.
Berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 183 K/PID/2010,
bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum hakim sebagai berikut:
a. Bahwa dalam kasus ini yang menjadi objek pencemaran adalah Badan
Hukum PT. Duta Pertiwi yang Dirutnya adalah Bapak Mukhtar Wijaya;
b. Bahwa sebagai pelapor atas tindak pidana tersebut adalah pihak yang
tercemar (PT. Duta Pertiwi) sehingga seharusnya sebagai pelapor adalah
Dirut PT. tersebut, karena Dirutlah yang mewakili suatu PT., sedangkan
dalam kasus a quo yang melapor adalah Dormauli Limbong, SH., MH kuasa
hukum yang mendampingi PT. Duta Pertiwi, sedangkan menurut Pasal 72
KUHP dalam Delik Aduan Absolut, seharusnya yang melapor adalah Dirut
yang mewakili PT. Duta Pertiwi;
c. Bahwa dengan demikian pengaduan dianggap tidak ada;
d. Bahwa atas dasar hal tersebut terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan
hukum;
Mahkamah Agung sendiri memutus perkara ini belum pada pokok
perkara tapi masih dalam masalah prosedural yaitu siapa yang berhak mengadu.
117
Majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdakwa Fifi Tanang
terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan yaitu melakukan pencemaran
nama baik, tetapi terdakwa Fifi Tanang dilepas dari segala tuntutan hukum
karena tidak ada pengaduan dari korban yang merasa dicemarkan.
Putusan Mahkamah Agung tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 191
ayat (2) KUHAP. Pasal 191 ayat (2) KUHAP menentukan:
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Maksudnya penyebab seseorang diputus lepas dari segala tuntutan
hukum adalah perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti, tetapi bukan
merupakan suatu tindak pidana.129
Menurut Leden Marpaung, terdakwa lepas
dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan:
a. Salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan tidak cocok
dengan tindak pidana.
Misalnya terdakwa mengambil barang untuk memakai, tidak ada niat
memiliki.
b. Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa
tidak dapat dihukum.
Misalnya: karena Pasal 44, 48, 49, 50, 51 KUHP.130
Sementara untuk putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat
diterima pada hakikatnya termasuk kekurangcermatan Penuntut Umum karena
putusan tersebut dijatuhkan karena:
129
Leden Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana, Buku 2, Jakarta: Sinar
Grafika, hlm. 135
130 Ibid.
118
a. Pengaduan yang seharusnya sebagai penuntutan tidak ada (delik
pengaduan);
b. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, telah pernah diadili
(nebis in idem);
c. Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluarsa (verjaring).131
Dasar hakim memutus lepas terdakwa Fifi Tanang berdasarkan
pertimbangan bahwa sebagai pelapor atas tindak pidana tersebut adalah pihak
yang tercemar (PT. Duta Pertiwi) hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 319
KUHP sehingga seharusnya sebagai pelapor adalah Dirut PT. tersebut, karena
Dirutlah yang mewakili suatu PT., sedangkan dalam kasus a quo yang melapor
adalah Dormauli Limbong, SH., MH kuasa hukum yang mendampingi PT. Duta
Pertiwi, sedangkan menurut Pasal 72 KUHP dalam Delik Aduan Absolut,
seharusnya yang melapor adalah Dirut yang mewakili PT. Duta Pertiwi.
Pasal 319 KUHP menentukan bahwa:
Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut
jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali
berdasarkan Pasal 316;
Dari rumusan pasal diatas jelas bahwa tindak pidana pencemaran nama
baik yang diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311 ayat (1) KUHP hanya dapat
dituntut apabila ada pengaduan dari korban, yang dikenal dengan delik aduan.
Berarti pengaduan termasuk dalam unsur-unsur tindak pidana pencemaran nama
baik selain unsur-unsur yang ada pada Pasal 310 dan Pasal 311 ayat (1) KUHP.
Menurut P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, pengaduan adalah suatu
pemberitahuan dari seseorang kepada alat-alat kekuasaan Negara yang dianggap
131
Ibid., hlm. 134.
119
berwenang untuk menerima pengaduan tentang telah dilakukannya suatu tindak
pidana oleh orang lain yang telah merugkan kepentingan hukum dirinya sendiri
atau diri orang lain yang menjadi tanggungjawabnya untuk memelihara,
mengawasi atau mendidik orang tersebut.132
Mengenai delik aduan diatur dalam
Pasal 72 KUHP yang menentukan mengenai siapa-siapa yang berhak maju
sebagai pengadu atau yang berhak menggantikan pengadu yang orijiner.
Pasal 72 ayat (1) KUHP menentukan:
Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya dituntut atas
pengaduan, belum enam belas tahun dan juga belum cukup umur atau
orang yang dibawah pengampuan karena suatu sebab lainnya keborosan,
maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara
pedata.
Pasal 72 ayat (2) KUHP menentukan:
Jika itu tidak ada, atau harus diadukan sendiri, maka penuntutan
dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau
majelis yang menjadi pengampu pengawas: juga mungkin atas
pengaduan istrinya, atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus atau
jika itu tidak ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis
menyimpang sampai derajat ketiga.
Jika tidak ada wakil sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal
72 ayat (1), atau wakilnya itu sendiri adalah si pembuat yang harus
diadukan, maka orang yang berhak mengajukan pengaduan itu adalah:
a. Wali Pengawas;
b. Pengampu Pengawas;
c. Majelis yang menjadi wali pengawas atau menjadi pengampu
pengawas;
132
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit. hlm. 49.
120
d. Istrinya;
e. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak
ada, maka pengaduan dilakukan oleh;
f. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai
derajat ketiga (Pasal 72 ayat 2 KUHP).133
Berkaitan dengan kasus ini yang mengadu adalah Dormauli Limbong,
SH., MH bukan Muktar Widjaya selaku Dirut PT. Duta Pertiwi yang merasa
menjadi korban pencemaran nama baik. Dormauli Limbong, SH., MH bertindak
sebagai Pelapor berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 24 November 2005
selaku Pendamping dan bukan selaku Pelapor. Dalam surat kuasa tersebut
Dormauli Limbong, SH., hanya diberi kuasa untuk mendampingi Mukhtar
Wijaya selaku korban dalam persidangan. Dalam Surat Kuasa tersebut juga tidak
terdapat permintaan kepada Dormauli Limbong, SH., M.H untuk mengadukan
perbuatan terdakwa Fifi Tanang.
Surat kuasa khusus harus memenuhi ketentuan Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) RI No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus, yang
menentukan:
1) Surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut undang-undang harus
dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan
untuk keperluan tertentu, misalnya:
a) dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai
Penggugat dan B sebagai Tergugat, misalnya dalam perkara waris
atau hutang piutang tertentu dan sebagainya.
b) dalam perkara pidana harus dengan jelas dan lengkap menyebut
pasal-pasal KUHP yang didakwakan kepada terdakwa.
133
P.A.F Lamintang, op.cit. hlm. 206.
121
2) Apabila dalam surat kuasa khusus disebutkan bahwa kuasa tersebut
mencakup pula pemeriksaan pada tingkat banding dan kasasi maka
surat kuasa khusus tersebut tetap sah berlaku hingga pemeriksaan
pada tingkat kasasi tanpa diperlukan surat kuasa khusus yang baru.
Yurisprudensi MA No. 76/K/Kr/1969 tanggal 3 Februari 1972 yang
menyatakan keberatan yang diajukan Pemohon Kasasi sebagai berikut: “bahwa
perkara ini termasuk “delik aduan yang absolut”, maka harus ada pengaduan dari
yang terhina dan dalam surat pengaduan harus ada kata-kata permintaan agar
peristiwa itu dituntut, tidak dapat diterima, karena klacht delicten tidak terikat
pada bentuk tertentu”. Meskipun demikian ada dua unsur esensial pengaduan
yaitu:
a. Pernyataan tentang telah diperbuatnya tindak pidana oleh seseorang, disertai
b. Permintaan untuk diadakan pemeriksaan (penyidikan) untuk dilakukan
penuntutan pidana ke sidang pengadilan.134
Sementara itu menurut pendapat M. Yahya Harahap, menyatakan
bahwa undang-undang telah membagi dua kelompok pelapor, yaitu:135
a. Orang yang diberi hak melapor atau mengadu.
Orang tertentu, yakni orang yang mengalami, melihat, menyaksikan
atau orang yang menjadi korban tindak pidana terjadi, berhak menyampaikan
laporan kepada penyelidik atau penyidik. Hak menyampaikan laporan atau
pengaduan, tidak diberikan kepada orang yang mendengar. Menurut M.
Yahya Harahap pendengaran tidak dimasukkan dalam katagori orang yang
berhak melapor adalah realistis dan rasional, karena sangat sulit menjamin
134
Ibid., hlm 201. 135
M. Yahya Harahap, 1985, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 118-119.
122
kebenaran atau keobjektifan pendengaran, bisa merupakan berita palsu atau
bohong atau tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
b. Kelompok pelapor atas dasar kewajiban hukum.
Kelompok ini merupakan kebalikan dari kelompok a, dalam kelompok
ini sifat pelaporan merupakan kewajiban bagi orang-orang tertentu, yaitu
orang-orang yang mengetahui pemufakatan untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketentraman umum, atau terhadap jiwa atau hak milik atau setiap
pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugas, mengetahui tentang
terjadinya tindak pidana.
M. Yahya Harahap berpendapat bahwa hakikat dari pelaporan dan
pengaduan adalah merupakan pemberitahuan oleh seseorang terhadap pejabat
yang berwenang tentang suatu kejadian peristiwa pidana. Perbedaannya, pada
pengaduan oleh karena sifatnya terkait pada jenis-jenis delik aduan, maka orang
yang menyampaikan pemberitahuan harus orang tertentu seperti yang disebut
dalam rumusan pasal pidana yang bersangkutan. Jadi, pada pengaduan,
pemberitahuan hanya dapat dilakukan oleh orang yang tertentu yang menjadi
korban peristiwa pidana, barulah pihak yang berwenang dapat melakukan
penyidikan dan penuntutan.
Polisi melakukan penyelidikan dalam kasus a quo terhadap dugaan
terjadinya tindak pidana pencemaran nama baik atau fitnah yang dilakukan oleh
Fifi Tanang adalah berdasarkan laporan dari Saudara Dormauli Limbong, SH.,
MH yang bertindak sebagai Pelapor berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal
24 November 2005 selaku Pendamping dan bukan selaku Pelapor.
123
Bila kita mendasarkan pada pendapat ahli pidana M. Yahya Harahap
dan melihat ketentuan Pasal 72 ayat (1) KUHP dari konstruksi hukum secara
argumentum a contrario terhadap delik-delik atau tindak pidana, yang
merupakan delik aduan (klacht delict) hanya dapat diproses apabila adanya
pengaduan langsung dari korban, kecuali apabila: korban belum berumur enam
belas tahun dan/atau belum cukup umur; dan/atau orang di bawah pengampuan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan laporan yang diajukan
oleh Kuasa Hukum Mukhtar Wijaya tidak tepat. Walaupun ada persamaan sifat
dengan laporan, karena laporan juga merupakan pernyataan mengenai telah
diperbuatnya tindak pidana, namun ada perbedaan yang mendasar dengan
pengaduan. Kesimpulan dari pendapat tersebut, penuntutan delik aduan hanya
dapat diterima apabila telah masuk pengaduan dari korban atau dari seseorang
yang berhak mengadu/apabila pengajuan suatu delik aduan ke pengadilan tanpa
dilengkapi dengan pengaduan (tertulis atau lisan yang dicatat oleh petugas
penerima aduan) harus dinyatakan sebagai tidak dapat diterima.
Berdasarkan uraian diatas terdapat fakta hukum bahwa tidak ada
pengaduan dari korban yang merasa dicemarkan nama baiknya yaitu Dirut PT
Duta Pertiwi, Mukhtar Wijaya. Berdasar pertimbangan tersebut Mahkamah
Agung menyatakan perbuatan terdakwa Fifi Tanang bukan merupakan kejahatan
maupun pelanggaran sehingga memutus terdakwa lepas dari segala tuntutan
hukum.
Tidak adanya aduan sendiri merupakan dasar ketidakwenangan Penuntut
Umum untuk melakukan penuntutan bukan dasar peniadaan pidana. Keduanya
124
merupakan hal yang berbeda, dasar peniadaan pidana ditujukan pada hakim,
sedangkan dasar ketidakwenangan Penuntut Umum melakukan penuntutan
ditujukan pada penuntut umum. Dasar peniadaan pidana telah diatur dalam Buku
I Bab III KUHP yaitu tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau
memberatkan pengenaan pidana. Menurut Adami Chazawi ada tujuh dasar yang
menyebabkan tidak dapat dipidananya si pembuat, ialah:136
a. Adanya ketidakmampuan bertanggung jawab si pembuat:
ontoerekeningvatbaarheid, Pasal 44 ayat (1);
b. Adanya daya paksa: overmacht, Pasal (48);
c. Adanya pembelaan terpaksa: noodweer, Pasal 49 ayat (1);
d. Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas: noodwerexes,
Pasal 49 ayat (2);
e. Karena sebab menjalankan perintah UU: Pasal 51 ayat (1);
f. Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah: Pasal 52 ayat (1);dan
g. Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan I’tikad
baik: Pasal 52 ayat (2).
Jika Penuntut Umum dalam delik aduan, tetap menuntut pelaku meski
tidak ada aduan dari korban yang berhak mengadu, maka hakim akan memutus
berupa penetapan. Penetapan majelis hakim akan berisi bahwa jaksa penuntut
umum tidak berwenang menuntut (niet-onvankelijk verklaring van bet Openbaar
Ministerie), tidak diperlukan membuktikan tentang telah terwujud atau tidaknya
tindak pidana itu. Artinya pokok perkara tidak perlu diperiksa oleh majelis
sehingga juga tidak diputus pokok perkaranya. Majelis hanya memutus tentang
tidak berwenangnya Negara (in casu jaksa PU) menuntut perkara itu. Tindakan
yang dilakukan majelis hakim ini bukanlah vonis, tetapi berupa penetapan
(beschiking) belaka.137
136
Adami Chazawi, op. cit, hlm. 18. 137
Adam Chazawi, op. cit. hlm 17.
125
Akibat hukum dari putusan pelepasan dari tuntutan hukum dengan
penetapan yang berisi penuntut umum tidak berwenang mengadili juga
mengandung perbedaan yang mendasar. Karena putusan lepas dari dari tuntutan
hukum mengenai tindak pidana yang didakwakan atau mengenai pokok
perkaranya, putusan itu tunduk pada ketentuan ayat (1) Pasal 76 KUHP. Artinya,
setelah putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde
zaak), perbuatan itu tidak dapat lagi diajukan penuntutan kedua kalinya. Akan
tetapi, terhadap penetapan yang berisi penuntut umum tidak berwenang
menuntut, karena bukan mengenai hal tindak pidana yang didakwakan, maka
penetapan majelis hakim itu tidak tunduk pada ketentuan Pasal 76 KUHP. Ketika
dasar peniadaan penuntutan itu telah ditiadakan, misalnya dalam tindak pidana
aduan-telah dipenuhi syarat pengaduan, maka terhadap pembuat, jaksa penuntut
umum wajib mengajukan tuntutan ke sidang pengadilan kembali.138
Berdasar uraian diatas penulis sepakat bahwa dalam perkara ini tidak ada
aduan, karena berdasarkan Pasal 72 KUHP maka yang berhak mengadu adalah
Muchtar Widjaja selaku Dirut PT Duta Pertiwi, sehingga putusan Mahkamah
Agung yang melepaskan terdakwa Fifi Tanang dari segala tuntutan hukum sudah
tepat. Kasus ini sendiri pada hakikatnya termasuk kekurangcermatan Penuntut
Umum sehingga harus diputus diawal-awal persidangan berupa penetapan yang
isinya bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak berwenang menuntut (niet-onvankelijk
verklaring van bet Openbaar Ministerie).
138
Ibid.