Upload
trinhminh
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
27
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah Prof.Dr.H. Aloei Saboe Kota Gorontalo pertama
kali dibangun pada tahun 1926 dan dimanfaatkan sejak tahun 1929 dengan nama
Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo. Awalnya berupa satu gedung yang
terdiri dari 4 (empat) ruangan, yaitu : Apotik, Poliklinik dan Rawat Inap.
Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo ditetapkan dengan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 51/Men.Kes/SK/II/79 sebagai
Rumah Sakit Kelas C yang memenuhi persyaratan 4 (empat) Spesialis Dasar.Pada
tanggal 17 September tahun 1987 Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo
berubah nama menjadi Rumah Sakit Umum Prof.Dr.H.Aloei Saboe Gorontalo
berdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya Gorontalo Nomor 97 Tahun 1987.
Nama tersebut diambil dari nama salah seorang perintis kemerdekaan Putera
Gorontalo yang banyak berjasa dalam bidang Kesehatan. Pada Tahun 1991 - 1992
Rumah Sakit Umum Prof. DR. H. Aloei Saboe ketambahan jenis pelayanan yaitu
Spesialis Mata dan Tahun 1995 ketambahan Spesialis Telinga Hidung Tenggerokan
(THT).
28
Pada tanggal 31 Agustus 1995 Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya
Gorontalo mengusulkan kenaikan kelas Rumah Sakit Umum Prof.Dr.H.Aloei Saboe
dari kelas C ke kelas B Non Pendidikan.
Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Walikota Gorontalo Nomor : 315
tanggal 25 Maret tahun 2002 Rumah Sakit Umum Prof. Dr. H. Aloei Saboe
merupakan bagian dari Organisasi Tata Kerja Pemerintah Kota Gorontalo yaitu
Badan Pengelola Rumah Sakit Umum Prof. Dr. H .Aloei Saboe Kota Gorontalo.
Pada tanggal 29 Januari 2009 Rumah Sakit Prof. Dr.H. Aloei Saboe Kota
Gorontalo ditetapkan sebagai Rumah Sakit kelas B berdasarkan SK MENKES Nomor
084 / MENKES/SK/I/2009.
4.1.1.1 Gambaran Umum Ruangan Perawatan Bedah
1. Denah Ruangan Perawatan Bedah
Denah Ruangan Perawatan Bedah adalah sebagai berikut :
1) Timur : Jalan khusus pasien ke lantai 1
2) Barat : Tangga khusus pengunjung kelantai 1
3) Utara : Ruang Interna
4) Selatan : Ruang perawatan bedah atas
29
1. Fasilitas Untuk Pasien
Ruang Perawatan Bedah atas terdiri dari: Ruang kelas I terdiri dari 2 ruangan
dan 2 tempat tidur, Ruang Kelas II terdiri dari 5 ruangan dengan kapasitas 22 tempat
tidur, Kelas III terdiri dari 10 ruangan dengan kapasitas 34 tempat tidur dan 1 ruangan
khusus untuk perawatan pasien.
2. Fasilitas untuk petugas kesehatan
Fasilitas untuk petugas adalah sebagai berikut :
1) Nurse Station berada diantara ruang kelas II dan kelas III dengan fasilitas :
- 1 kamar unutk gudang/inventaris
- 1 kamar mandi / wastafel
- 8 kursi untuk perawat associate
- 1 buah lemari obat/BHP untuk trolley
- 2 meja dan 2 kursi untuk Ketua Tim
2) Ruang administrasi disamping Nurse Station dengan 4 buah kursi, 1 meja dan
2 buah lemari.
3) Ruang Manager Unit dengan fasilitas 1 meja dan 1 kursi kerja, 1 set kursi
tamu, dan satu buah lemari.
4) Ruang perawat dengan fasilitas 3 buah tempat tidur, 2 buah meja, AC, 1 buah
televisi, 1 buah dispenser, 1 buah locker petugas dan kamar mandi.
30
3. Fasilitas alat dan bahan kesehatan
Fasilitas alat dan bahan kesehatan terdiri dari : E C G, Tensi Meter, Steteskop
, Termometer, Oksigen manometer, Bak instrumen, Bak injeksi, Minor surgensi set,
Bengkok, Standar infus, Pispot, Urinal, Baskom mandi, Tabung oksigen, Gunting
verband, Korentang, Timbangan , Tromol besar, dan Tromol kecil
4. Sumber Daya/Ketenagaan
1) Tenaga Keperawatan
Tenaga Keperawatan diruang Perawatan Bedah atas berjumlah 18 orang
dengan rincian
- Manager Unit : 1 orang
- Perawat primer : 3 orang (D III Keperawatan : 3 orang)
- Perawat Asociate : 22 orang (D III Keperawatan : 11 orang, S1
2, dan Ners 1 orang )
2) Dokter : 3 orang
3) Tenaga Non Keperawatan
- Tenaga administrasi : 3 orang ( SLTA)
- Tenaga Evakuasi : 3 orang (2orang SLTP, 1 orang SLTA)
- Tenaga inventaris : 1 orang (SLTA)
31
5. Jenis Penyakit di tahun 2012
Adapun jenis-jenis penyakit yang terbanyak di tahun 2012 yaitu :
Appendisitis, Ca. Mamae, Fraktur, Tumor Coli, Vesikolitiasis, Hemoroid, Hernia,
Diabetes Melitus.
4.1.2 Karakteristik Responden
Data responden dalam penelitian ini diperoleh dari lembar observasi yang
dilakukan peneliti pada saat penelitian pada pasien yang berada di ruang G2 (bedah)
RSUD.Prof.dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo. Adapun data responden meliputi, Jenis
Kelamin, Umur, Pekerjaan, Diagnosa Medis. Berdasarkan hasil observasi didapatkan
data sebagai berikut :
4.1.2.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe
kota gorontalo diperoleh distribusi responden menurut jenis kelamin yang dapat
dilihat pada tabel 4.1 berikut ini :
Tabel 4.1
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Diruang G2 (Bedah)
RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo
Jenis kelamin Frekuensi ( % )
Laki-laki 16 45.7
Perempuan 19 54.3
Total 35 100
32
Berdasarkan hasil Penelitian dapat dilihat dari 35 responden, yang
berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang dengan presentase 54.3% dan laki-
laki sebanyak 16 orang dengan presentase 45.7%
4.1.2.2 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe
kota gorontalo diperoleh distribusi responden menurut umur yang di golongkan
menjadi 3 yang dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini :
Tabel 4.2
Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia Diruang G2 ( Bedah )
RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
Kelompok Usia Frekuensi ( % )
17-21 3 8.6
22-40 18 51.4
41-60 14 40.0
Total 35 100
Berdasarkan hasi penelitian dapat dilihat bahwa dari keseluruhan responden
diruang bedah yang berjumlah 35 responden (100%). Dimana yang paling banyak
berada pada golongan usia 22-40 tahun berjumlah 18 orang (51.4%) dan yang paling
sedikit berada pada golongan usia 17-21 tahun berjumlah 3 orang (5.7%)
33
4.1.2.3 Distribusi Responden Berdasarkan Penyakit (Diagnosa Medis)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe
kota gorontalo diperoleh distribusi responpden menurut penyakit ( Diangonas Medis )
yang dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini :
Tabel 4.3
Distribusi Responden Berdasarkan Penyakit (Diagnosa Medis) Diruang G2
(Bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
Diagnosa medis Frekuensi ( % )
Appendisitis 13 37.1
Batu Urine 2 5.7
Luka Bakar 1 2.9
BPH 3 8.6
STT 1 2.9
Diabetes Melitus 7 20.0
Leparatomi 1 2.9
Hemoroid Internal 2 5.7
Trauma Otak 1 2.9
Hematuria 1 2.9
Hemoroid Eksternal 1 2.9
Spondilitis TB 1 2.9
Limfagioma 1 2.9
Total 35 100
Berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 35 responden (100%) yang berdah
diruang G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr Aloei Saboe kota Gorontalo bahwa diagnoasa
medis yang paling banyak yaitu appendisitis sebanyak 13 orang (37.1%) dan yang
paling sedikit yaitu dengan diagnoasa medis luka bakar,STT,leparatomi,trauma
otak,hematuria,hemoroid eksternal,spondilitis TB, dan limafagioma masing
berjumlah 1 orang (2.9%).
34
4.1.3 Variabel Penelitian
Pelaksanaan penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang
kejadian flebitis diruan G2 ( bedah ) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo
tahun 2013
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 20 mei sampai pada tanggal
5 juni 2013 maka didapatkan data sebagai berikut :
4.1.3.1 Distribusi Kejadian Flebitis
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe
Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis yang dapat dilihat pada tabel 4.5
berikut ini :
Tabel 4.4
Distribusi Kejadian Flebitis Diruang G2 (Bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe
Kota Gorontalo Tahun 2013
Kejadian flebitis Frekuensi ( % )
Tidak Flebitis 24 68.6
Flebitis 11 31.4
Total 35 100
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kejadian flebitis di ruang
G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo yaitu tinggi, dengan
menderita flebitis sebanyak 11 orang dengan presentase 31.4% dan tidak flebitis
sebanyak 24 orang dengan presentase 68.6 % dikatakan tinggi karena masih diatas >
5 % sesuai standar yang di berlakukan oleh INS.
35
4.1.3.2 Distribusi kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Katater Infus
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe
Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan ukuran kateter infus
yang dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut ini :
Tabel 4.5
Distribusi Flebitis Berdasarkan Ukuran Katater Infus Diruang G2 (Bedah)
Rsud.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo
Ukuran kateter
infus
Kejadian Flebitis
Total Flebitis Tidak Flebitis
Ukuran 20 G (gauge) 9 7 16
% 56.25 43.75 100
Ukuran 22G (gauge) 2 17 19
% 10.53 89.47 100
Total 11
31.4
24
68.6
35
100
Berdasrkan hasil penelitian, bahwa dari 35 respoden, Responden yang
mengalami flebitis lebih banyak terjadi pada Responden yang terpasang infus dengan
ukuran 20 G berjumlah 9 orang dengan presentase 56.25 %, kemudian Responden
yang terpasang infus dengan ukuran 22 G berjumlah 2 orang dengan presentase 10.53
% dan Responden yang tidak mengalami Flebitis dengan memakai ukuran kateter
infus 22 G sebanyak 17 orang dengan presentase 89.47 %, responden yang memakai
ukuran kateter infus 20 G sebanyak 7 orang dengan presentase 43.75 %
36
4.1.3.3 Distribusi Flebitis Berdasarkan Letak Pemasangan Infus
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe
Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan letak pemasangan
infus yang dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut ini :
Tabel 4.6
Distribusi Flebitis Berdasarkan Letak Pemasangan Infus diruang G2 ( Bedah )
RSUD.Prof.Dr.aloei Saboe kota Gorontalo Tahu n 2013
Letak pemasangan
infus
Kejadian Flebitis
Total Flebitis Tidak Flebitis
Vena Pergelangan
Tangan
3 13 16
% 18.8 81.2 100
Vena Punggung tangan 8 11 19
% 42.1 57.9 100
Total 11
31.4
24
68.6
35
100
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat dari 35 responden, letak
pemasangan infus yang paling banyak terjadi flebitis yaitu divena pergelangan
tangan sebanyak 3 orang dengan presentase 18.8%. vena punggung tangan atau
metakarpal sebanyak 8 orang dengan presentase 42.1%, Kemudian yang tidak
mengalami flebitis sebanyak 13 orang dengan presentase 81.2% yaitu vena
pergelangan tangan, dan vena pergelangan tangan yaitu berjumlah 11 orang dengan
presentase 57.9%.
37
4.1.3.4 Distribusi Flebitis Berdasarkan Fiksasi Kateter Infus
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe
Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan fiksasi kateter infus
yang dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini :
Tabel 4.7
Distribusi Flebitis Berdasarkan Fiksasi Kateter Infus diruang G2 ( Bedah )
RSUD.Prof.Dr.aloei Saboe kota Gorontalo Tahun 2013
Fiksasi kateter
infus
Kejadian Flebitis Total
Flebitis Tidak Flebitis
Tidak adekuat 7 8 15
% 46.7 53.3 100
adekuat 4 16 20
% 20.0 80.0 100
Total 11
31.4
24
68.6
35
100
Berdasarkan hasil penelitian ditunjukan dimana responden yang paling
banyak mengalami flebitis yaitu Responden yang fiksasi kateter infus yang tidak
adekuat sebanyak 7 orang dengan presentase 46.7%, dan fiksasi kateter infus yang
adekuat sebanyak 4 orang dengan presentase 20.0%. Kemudian Responden yang
tidak mengalami flebitis lebih banyak pada Responden yang memiliki fiksasi kateter
yang adekuat berjumlah 16 orang dengan presentase 80.0% dan yang tidak
mengalami flebitis pada responden yang memiliki fiksasi kateter yang tidak adekuat
berjumlah 8 orang dengan presentase 53.3%
38
4.1.3.5 Distribusi Flebitis Berdasarkan Faktor Usia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe
Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan faktor usia yang
dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut ini :
Tabel 4.8
Distribusi Flebitis Berdasarkan Faktor Usia Reponden Diruang G2 ( Bedah )
RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo
Usia Kejadian Flebitis Total
Flebitis Tidak Flebitis
17-21 1 2 3
% 33.3 66.7 100
22-40 4 14 18
% 22.2 77.8 100
41-60 6 8 14
% 42.9 57.1 100
Total 11
31.4
24
68.6
35
100
Berdasarkan hasil penelitian dari 35 responden setelah dilakukan observasi
responden yang mengalami flebitis paling banyak berusia 41-60 tahun sebanyak 6
orang dengan presentase 42.9%,responden yang berusia 22-40 tahun sebanyak 4
orang dengan presentase 22.2% dan responden yang berusia 17-21 berjumlah 1 orang
dengan presentase 33.3%. Kemudian responden yang tidak mengalami Flebitis paling
banyak berusia 22-40 tahun sebanyak 14 orang dengan presentase 77.8%, responden
yang berusia 41-60 tahun berjumlah 8 orang dengan presentase 57.1% dan usia 10-20
sebanyak 2 orang dengan presentase 66.7%
39
4.1.3.6 Distribusi Flebitis Berdasarkan Lama Pemasangan Infus.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe
Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan hari infeksi yang
dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut ini :
Tabel 4.9
Distribusi Flebitis Berdasarkan lama Pemasangan Infus Diruang G2 ( Bedah )
RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo
Lama
pemasangan infus
Kejadian Flebitis Total
Flebitis Tidak Flebitis
Hari ke 1 0 3 3
% 0.0 100 100
Hari ke 2 3 3 6
% 50.0 50.0 100
Hari ke 3 3 6 9
% 33.3 66.7 100
> 3 hari 5 12 17
% 29.4 70.6 100
Total 11
31.4
24
68.6
35
100
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di ruang G2 (bedah)
RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo bahwa yang paling banyak kejadian
flebitis terjadi pada lama pemasangan infus di atas 3 hari yaitu sebanyak 5 orang
29.4%. Hari ke 3 sebanyak 3 orang 33.3% hari ke 2 sebanyak 3 orang 50.0% hari
pertama tidak ada kejadian flebitis, kemudian yang tidak flebitis paling banyak terjadi
pada lama pemasangan infus di atas 3 hari sebanyak 12 orang 70.6% pada hari ke 3
40
sebanyak 6 orang 66.7% hari ke 2 sebanyak 3 orang 50.0% dan hari pertama
sebanyak 3 orang 100%.
4.2.Pembahasan
Flebitis adalah peradangan pada tunika intima vena yang merupakan
komplikasi pada pemberian terapi intra vena (IV) dan ditandai dengan gejala khas
peradangan yaitu: bengkak, kemerahan sepanjang vena, nyeri, peningkatan suhu pada
daerah insersi kanula dan penurunan kecepatan tetesan infus (Brooker,et all dalam
Sugiarto, 2006). Flebitis yaitu daerah yang mengalami bengkak, panas, dan nyeri
pada kulit tempat kateter intravaskuler dipasang (kulit bagian luar). Jika flebitis
disertai dengan tanda-tanda infeksi lain seperti demarn dan pus yang keluar dari
tempat tusukan, ini dapat digolongkan sebagai infeksi klinis bagian luar (Saifuddin,
2004). Dalam kejadian flebitis telah diberlakukan standard oleh INS ( Infusion Nurses
Society ) dimana kejadian flebitis harus dibawah dari 5%
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe
kota gorontalo di dapatkan hasil sebagai berikut :
4.2.1 Karakteristik Responden.
Berdasrkan hasil analisis bahwah dari 35 responden yang dilihat berdasarkan
jenis kelamin yang paling banyak berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang
(54.3%), kemudian diagnosa medis yang paling banyak yaitu appendisitis sebanyak
13 orang (37.1%).
41
4.2.2 Kejadian Flebitis
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa kejadian flebitis dirumah
sakit.Prof.Dr.Aloei Saboe yaitu Tinggi dengan menghitung kejadian flebitis dari
aplikasi SPSS. Maka didapatkan hasil infeksi flebitis sebesar 31.4% dikatakan tinggi
dimana insiden flebitis di RSUD. Prof.Dr.Aloei Saboe masih tinggi di atas 5%.
sesuai standar yang diberlakukan oleh INS harus dibawah 5 %.
Peneliti berpendapat bahwa tingginya infeksi flebitis di sebebabkan oleh
beberapa faktor/domain seperti : ukuran kateter infus, letak pemasangna infus, fiksasi
infus, faktor usia dan lama pemasangan infus. Bukan dari jenis kelamin dan diagnosa
medis, karena hal ini disebabkan oleh yang berkaitan langsung dengan flebitis yaitu
terapi intravena (ukuran kateter infus, letak pemasangna infus, fiksasi infus) dan usia,
hal ini karena usia berpengaruh langsung pada flebitis dimana dilihat dari segi fungsi
vena pasien.
flebitis terjadi karena faktor mekanik yaitu ukuran kateter infus, letak
pemasangan infus, fiksasi infus (Gabriel, et al, 2005), hal yang sama juga dinyatakan
oleh INS bahwa kejadian flebitis di sebabkan oleh pemasangan infus yang terlalu
lama, dan flebitis terjadi karena faktor umur sesuai yang di nyatakan oleh ( Phillips,
2010).
Sesuai data yang di dapatkan peneliti bahwa Selama tahun 2012 telah tercatat
infeksi flebitis sebanyak 7.51% di RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe kota Gorontalo
42
Pencegahan flebitis dapat dilakukan dengan cara bagaimana perawat bisa
memilih ukuran yang tepat untuk vena pasien, letak pemasangan yang jauh dari
daerah yang banyak dilakukan pergerakan oleh pasien sehingga meminimalkan
trauma pada tunika intima, diberikan fiksasi yang adekuat dan fiksasi yang jauh dari
letak pemasangan infus yang dekat dengan persendian yang dapat membuat plester
dapat kendur akibat pergerakan yang berlebihan, kemudian faktor umur dimana
perawat harus jeli melakukan terapi intravena, dari pemilihan ukuran kateter infus
sampai pada perawatan infus karena yang sudah lanjut usia mengalami penurunan
fungsi vena, dan lama pemasangan infus harus dibawah dari 3x24 jam disesuaikan
dengan standar yang diberlakukan oleh INS.
Adapun domain/ faktor-faktor yang berdistribusi pada kejadian flebitis yang
digambarkan oleh peneliti yaitu pemasangan infus, ukuran kateter infus, fiksasi
infus,umur pasien dan lama pemasangna infus.
1. Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Infus
Berdasarkan hasil penelitian di ruang G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr Aloei Saboe
kota gorontalo. Bahwa yang mengalami flebitis paling banyak disebabkan oleh
ukuran kateter infus 20 G berjumlah 9 orang, ( 56.25 %) dan yang tidak mengalami
flebitis pada ukuran 22G sebanyak 17 orang (89.47%)
Peneliti berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh ukuran kateter 20 G, lebih
besar dari ukuran kateter 22 G, dimana resiko mencedrai vena cukup tinggi di ukuran
43
kateter 20 G, yang bisa menyebabkan flebitis, atau hal ini dikarenakan bahwa perawat
tidak mempertimbangkan ukuran kateter dengan ukuran vena pasien sehingga
mencendrai vena pasien dapat terjadi karena tidak sesuai dengan vena pasien, atau hal
ini bisa saja terjadi karena keterbatasan stok kateter infus sehingga perawat tidak ada
pilihan lain selain menjalankan tindakan keperawatan dengan kateter yang
tersedia/ada yang diberikan sesuai fungsi dari setiap ukuran kateter infus yaitu untuk
terapi intravena. jadi ukuran yang digunakan untuk terapi intravena yaitu yang
berukuran 22G untuk mengurangi resiko terjadi flebitis.
Penelitian sebelumnya juga membuktikan bahwah ada kaitannya ukuran
kateter infus dengan angka kejadian flebitis. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Asrin (2006), dengan judul analisis faktor-faktor terjadinya flebitis di dapatkan hasil
dari 74 responden yang mengalami flebitis sebanyak 17 (22,9 % ) dikarenakan ukuran
kateter 20 G (gauge).
Flebitis yang disebabkan oleh ukuran kateter infus bisa di minimalisir jika
perawat mempunyai pengetahuan tentang flebitis atau cara meminimalisir yaitu dari
cara mempertimbangkan ukuran kateter infus dengan vena pasien, menyesuaikan
ukuran infus sesuai fungsinya yaitu misalnya untuk usia lanjut harus memakai ukuran
22G karena kondisi vena yang sudah buruk akibat penurunan fungsi fisiologis pasien
itu sendiri sehingga dapat mengurangi resiko cederanya vena pasien dan tentunya
dapat meminimalisir inseden flebitis.
44
2. Kejadian Flebitis Berdasarkan Letak Pemasangan Infus
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diruang G2 (bedah)
RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo didapatkan bahwa kejadian flebitis lebih
banyak terjadi di vena punggung tangan/metakarpal yaitu berjumlah 8 orang, (42.1%)
dan yang tidak mengalami flebitis paling banyak di vena pergelangan tangan
sebanyak 13 orang (81.2%).
Peneliti berpendapat bahwa hal ini terjadi karena lokasi punggung tangan
/metakarpal dan vena pergelangan tangan ini merupakan alat gerak yang paling
dominan dan memiliki nila yang tidak jauh berbeda maka bisa menyebabkan
flebitis, pada lokasi ini juga terdapat Sendi pelana dimana sering terjadi pergerakan
akibat aktivitas pasien misalnya digunakan sebagai penopang saat posisi tidur untuk
duduk, dan dari posisi duduk untuk berdiri.
Sesuai teori yang dikemukakan oleh potter dan perry (2010, hlm. 141-142)
bahwa posisi ekstremitas yang berubah, khususnya pada pergelangan tangan atau siku
dapat mengurangi kecepatan aliran infus dan mempengaruhi aliran dalam darah. Hal
ini juga dinyatakan oleh (Rocca, 1998). Yaitu dimana lokasi-lokasi yang sering
menyebabkan komplikasi seperti flebitis, infiltrasi dll adalah seperti vena digitalis
sampai vena dorsalis. Vena dorsalis (metacarpal/punggung tangan) berasal dari
gabungan vena digitalis, dimana kerugiannya tempat/letak digunakan untuk aktivitas
sehari-hari seperti makan, minum, cuci tangan dll, hal inilah yang dapat menimbulkan
komplikasi flebitis.
45
Di lihat dari penelitian sebelumnya yang di laukan oleh Mulyani (2010),
bahwa dalam penelitiannya menunjukkan bahwa lokasi pemasangan infus terletak
pada vena sefalika dan tidak terjadi flebitis sebanyak 11 responden (91,7%).
Sedangkan lokasi pemasangan infus terletak pada vena metacarpal dan terjadi flebitis
sebanyak 20 responden (41,7%).
Kejadian flebitis yang disebabkan oleh letak pemasang infus bisa di
minimalisirkan dengan menggunakan vena yang lokasinya jauh dari pergelangan
tangan/persendian sebagai lokasi untuk pemasangan terapi intravena yang bagus,
untuk mengurangi kejadian flebitis yaitu seperti median antebrachial vein (Smeltzer,
2010)
3. Kejadian Flebitis Berdasarkan Fiksasi Infus
Berdasarkan hasil penelitian di RSUD. Prof.Dr Aloei Saboe, di dapatkan
bahwa flebitis tinggi pada fiksasi kateter yang tidak adekuat yaitu sebanyak 7 orang,
(46.7%) dan yang tidak mengalami flebitis paling banyak pada fiksasi yang adekuat
sebanyak 16 orang (80.0%).
Peneliti berpendapat bahwa fiksasi kateter yang tidak adekuat dilihat dari
plester yang digunakan tidak merekat dengan kuat dikulit, hal ini dikarenakan
lembabnya permukaan kulit pasien karena berkeringat sehingga lama-kelamaan
plester tidak merekat dengan baik dikulit dan didukung lagi dengan letak pemasangan
infus didaerah persendian atau didaerah yang sering dilakukan pergerakan oleh pasien
untuk kebutuhan sehari-harinya maka dengan ini plester akan mudah terlepas atau
46
kendur sehingga dengan mudah kateter infus keluar masuk divena dimana resiko
mencendrai vena dapat terjadi dan resiko terpaparnya kateter infus dengan
lingkungan luar yang bisa masuknya bakteri dalam vena. yang mengakibatkan
flebitis.
Menurut teori yang di kemukakan oleh (Pujasari dalam Sugiarto, 2006),
bahwa flebitis terjadi diakibatkan karena pengaruh kanul yang tidak terfiksasi adekuat
pada vena di area persendian yang memungkinkan pasien melakukan pergerakan.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Gayatri dan Handayani di
rumah sakit siti khadijah Palembang menyatakan bahwa 35% dari 60 responden
mengalami flebitis dengan Hal ini disebabkan karena kurangnya fiksasi ( tidak
adekuat ) dan dekatnya persambungan selang kanul dengan persendian lainnya.
Flebitis yang disebabkan oleh fiksasi kateter infus yang tidak adekuat bisa di
minimalisir dengan memilih letak pemasangan infus yang jauh dari area persendian
atau menghindari letak pemasangan yang sering digunakan pasien untuk beraktivitas.
4. Kejadian Flebitis Berdasarkan Faktor Usia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe
Kota Gorontalo, bahwah kejadian flebitis paling banyak terjadi pada usia41-60 tahun
yaitu sebanyak 6 orang, (42.9%). Dan yang tidak mengalami flebitis paling banyak
pada usia 22-40 sebanyak 14 orang (77.8%).
Peneliti berpendapat bahwa orang yang sudah berusia lanjut/lansia sudah
tidak memiliki fungsi vena yang baik karena penurunan fungsi fisologis sehingga
47
resiko cederanya vena yang disebabkan oleh kateter infus itu bisa terjadi dan dapat
menyebabkan flebitis, hal ini juga bisa dikarenakan oleh ukuran kateter infus,
dimana jika ukuran kateter infus lebih besar di pakai pada pasien yang sudah
menurun fungsi venanya, maka dapat terjadi resiko kerusakan pembuluh darah vena
yang bisa menyebabkan terjadinya flebitis
Sesuai pernyataan dari Phillips (2010), bahwa resiko untuk terjadi infeksi
flebitis lebih besar pada orang yang berusia lanjut/lansia karena orang yang berusia
lanjut akan mengalami kekakuan pembuluh darah hal ini juga yang menyebabkan
semakin sulit untuk dipasang terapi intravena/resiko mencedrai vena itu bisa terjadi.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kamma (2010) di
RSUD Tugurejo Semarang, berjudul hubungan antara pemasangan infus dan tingkat
usia dengan kejadian flebitis . Di dapatkan dari 100 responden yang mengalami
flebitis pada usia yang sudah tua yaitu 35-65 sebesar 46,7 %.
Faktor umur merupakan salah satu penyumbang insiden flebitis, hal ini bisa di
minimalisir kejadian flebitisnya dengan menggunakan ukuran kateter infus yang
sesuai dengan vena pasien atau ukuran infus yang digunakan sesuai kondisi vena
pasien yang sudah lanjut usia yaitu menggunakan ukuran kateter yang berukuran
22G sebagaiman yang direkomndasikan oleh INS dalaam penggunakan kateter infus
untuk lansia dan anak-anak.
48
2. Kejadian Flebitis Berdasrkan Lama Pemasangan Infus
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang paling
banyak mengalami flebitis yaitu dengan lama pemasangan diatas 3 hari sebanyak 5
orang (29.4%). Dan yang tidak mengalami flebitis paling banyak pada lama
pemasangan 3 hari sebanyak 6 orang (66.7%).
lama pemasangan infus sering dikaitkan juga dengan insiden flebitis, Peneliti
berpendapat bahwa hal ini mungkin terjadi karena pada awalnya vena mungkin
meradang karena kateter infus yang terlalu besar, atau mungkin karena terpaparnya
kateter infus dengan bakteri-bakteri dari luar akibat fiksasi yang tidak adekuat
sehingga semakin lama pemasangan infus dengan diawali oleh hal-hal seperti
awalnya terjadi peradangan kemudian terpaparnya kateter infus dengan kuman-
kuman dan di dukung oleh lama pemasangan infus tanpa dilakukan perawatan maka
semakin tinggi bakteri berkembangbiak sehingga resiko terjadi flebitis juga semakin
tinggi.
Sesuai pernyataan oleh perry and potter, 2005, Di katakan bahwa hal ini
dikarenakan pada hari pertama penusukan terjadi kerusakan jaringan, di mana apabila
ada jaringan yang terluka atau terbuka akan memudahkan mikroorganisme masuk.
Dengan masuknya mikroorganisme tersebut maka tubuh akan merespon dan ditandai
adanya proses inflamasi. Proses inflamasi yang merupakan reaksi tubuh terhadap luka
dimulai setelah beberapa menit dan berlangsung selama 3 hari atau lebih setelah
cedera.
49
Hal ini juga di lihat dari penelitian sebelumnya oleh Masiyati di dapatkan
angka kejadian flebitis paling tinggi dengan lama pemasangan infus 96-120 jam
sebesar 60 % dari 30 sampel.
Flebitis yang didasarkan oleh lama pemasangan infus bisa di minimalisir
dengan cara menerapkan prosedur yang diterapkan oleh INS, bawah pergantian set
infus dilakukan 3x24 jam atau kurang, jika terjadi kontaminasi atau komplikasi.