Upload
lamdieu
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
43
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Proses Penyidikan Oleh Kepolisian Dan Kejaksaan
4.2 Sejarah Kejaksaan Negeri Gorontalo
Kejaksaan di Gorontalo telah ada sejak zaman Belanda, bersama-
sama dengan Pengadilan, yang melaksanakan tugas sebagai penegak
hukum yang meliputi memperhatikan ketentuan-ketentuan Undang-
undang, melakukan penuntutan tindak pidana pelanggaran dan kejahatan,
melaksanakan putusan-putusan pengadilan.
Pada tahun 1927 berdasarkan R.B.G (Rechtsreglemen Buiten
Gewesten) Stbl.1927-227 yang menetapkan adanya badan-badan peradilan
umum yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura yaitu :
a. Districgerechten (Pengadilan-pengadilan distrik dan kewedanaan).
b. Regenschapsgerechten (Pengadilan-pengadilan Kabupaten)
c. Landraden (Pengadilan-pengadilan Negeri)
d. Landgerechten (Pengadilan-pengadilan Kepolisian)
e. Residentiegerechten (Pengadilan-pengadilan Kerisedenan)
f. Raad van Justitie (Pengadilan-pengadilan Justisi)
g. Hooggerechtshof (Mahkamah Agung)
Dari ke-7 badan-badan peradilan tersebut maka hanyalah
Pengadilan Negeri (Landraad), Pengadilan Justisi (Raad van Justitie) dan
Mahkamah Agung (Hooggerechtshof) yang ada relevansinya dengan Jaksa
atau Kejaksaan.
44
Dalam ketiga jenis badan peradilan ini ada pegawai-pegawai yang
diberi wewenang selaku pengemban tugas dari suatu lembaga (badan atau
dinas) Negara yang dinamakan Openbaar Minister (O.M). Di Gorontalo
pada tahun 1927 Ketua Pengadilan berkedudukan di Ternate yang wilayah
hukumnya meliputi Irian Barat termasuk Gorontalo yang berlangsung
hingga tahun 1934. Pada tahun 1934 Pengadilan Landraad Gorontalo di
Ketuai oleh Asisten Residen yang berkedudukan di Gorontalo. Adapun
badan peradilan yang berlaku di Gorontalo pada waktu itu selain
Landraad (Pengadilan Negeri) juga terdapat Pengadilan Distrik yang
mengadili perkara-perkara ringan sedangkan Landraad (Pengadilan
Negeri) mengadili perkara-perkara yang lebih berat. Jika ada perkara
kejahatan maka Hakim memanggil Jaksa untuk bersidang melakukan
penuntutan. Keadaan tersebut berlaku hingga tahun 1942, yakni
berakhirnya pemerintahan Belanda.
Pada tahun 1942 Tokoh Nasional/Perintis Kemerdekaan Nani
Wartabone merebut pemerintahan dari tangan Belanda dan Beliau menjadi
pimpinan pemerintahan di Gorontalo. Sebagai pimpinan pemerintahan di
Gorontalo juga menjadi Ketua Pengadilan Negeri (Landraad) yang
berlangsung selama 6 (enam) bulan yakni hingga sampai dengan
masuknya Jepang yang memerintah di Gorontalo. Oleh pemerintah Jepang
tetap saja memberlakukan ketentuan-ketentuan Undang-undang yang
sudah berlaku kecuali yang sudah dicabut.
45
Setelah Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 masih
tetap saja memberlakukan Undang-undang yang mengadili perkara-
perkara berdasarkan H.I.R (Herzien Indlaasch Reglement) Stbl. 1941
No.44. Sejarah terbentuknya Kejaksaan Negeri Gorontalo tidak dapat
dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Pengadilan Negeri Gorontalo
sehingga masa Kejaksaan Negeri Gorontalo sebelum tahun 1960 adalah
Kejaksaan Negeri pada Pengadilan Negeri Gorontalo atau Jaksa pada
Pengadilan Negeri Gorontalo.
Selanjutnya berdasarkan putusan Kabinet Kerja I pada tanggal 22
Juli 1960 yang dikuatkan dengan Keputusan Presiden R.I. Nomor 204
tahun 1960 tanggal 15 Agustus 1960 yang berlaku surut mulai tanggal 22
Juli 1960 terjadi perubahan status Kejaksaan dari Lembaga yang berada
dibawah Kementerian Kehakiman menjadi Lembaga yang berdiri sendiri
menjadi Departemen Kejaksaan sehingga dengan demikian Kejaksaan
Negeri Gorontalo yang sebelumnya bernama Kejaksaan Negeri pada
Pengadilan Negeri Gorontalo berubah menjadi Kejaksaan Negeri
Gorontalo.
Dalam tahun 1960 sewaktu H.CH. Makahanap menjadi Kepala
Kejaksaan Negeri Gorontalo telah mengusulkan pembentukan 2 (dua)
buah Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo yaitu Cabang Kejaksaan Negeri
Gorontalo di Tilamuta dan Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo di
Kwandang. Pada Tahun 1961 diresmikan pembukaan kedua Cabang
Kejaksaan Negeri Gorontalo tersebut berdasarkan Keputusan Jaksa Agung
46
R.I. yakni Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo di Tilamuta dengan
wilayah hukum terdiri dari 5 (lima) kecamatan dipantai Selatan bagian
Barat Gorontalo terdiri dari Kecamatan Paguyaman, Tilamuta, Paguat,
Marisa dan Popayato, sedangkan Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo di
Kwandang yang wilayah hukumnya terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan di
pesisir pantai bagian Utara Gorontalo yaitu Kecamatan Kwandang,
Atinggola dan Sumalata.
Sebelum tahun 1961 di saat Kejaksaan masih berstatus Kejaksaan
Negeri pada Pengadilan Negeri Gorontalo, Kejaksaan Negeri gorontalo
mempunyai wilayah hukum selain daerah Gorontalo meliputi pula
Kewedanaan buol (Sulawesi Tengah), dengan Cabang Kejaksaan Negeri
di Leok.
Selanjutnya dengan dibukanya Pengadilan Negeri Limboto pada
tahun 1977, maka pada tahun 1979 terbentuk pula Kejaksaan Negeri
Limboto sehingga demikian Kejaksaan Negeri Gorontalo yang semula
wilayah hukumnya terdiri dari 2 (dua) daerah Tingkat II yakni Kotamadya
Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo, dipisah menjadi 2 (dua) Kejaksaan
dimana Kejaksaan Negeri Gorontalo dengan wilayah hukumnya adalah 3
(tiga) Kecamatan sebagai wilayah Pemerintahan Daerah Tingkat II
Kotamadya Gorontalo ditambah 4 (empat) Kecamatan yang terletak di
bagian Timur wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Gorontalo
yakni Kecamatan Tapa, Kabila, Suwawa dan Bone Pantai. Karena dari 16
(enam belas) Kecamatan sebagai wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten
47
Tingkat II Gorontalo ada 4 (empat) Kecamatannya termasuk menjadi
wilayah hukum Kejaksaan Negeri Gorontalo, maka ke-12 (dua belas)
Kecamatan lainnya menjadi wilayah hukum Kejaksaan Negeri
Limboto.Dengan terbentuknya Kejaksaan Negeri Limboto maka cabang
Kejaksaan Negeri Gorontalo di Tilamuta dan Cabang Kejaksaan Negeri
Gorontalo di Kwandang telah berubah statusnya menjadi Cabang
Kejaksaan Negeri Limboto di Tilamuta dan Cabang Kejaksaan Negeri
Limboto di Kwandang.
Luas wilayah hukum Kejaksaan Negeri Gorontalo adalah 2.035
KM bujur sangkar yang terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan dengan 103
Kelurahan/Desa. Jumlah penduduk 217.001 jiwa (Sensus tahun 1992).
Kotamadya Gorontalo adalah salah satu daerah Tingkat II yang terletak di
kawasan Barat Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara dan berinteraksi
dengan kegiatan social ekonomi kawasan Teluk Temini. Adapun Kepala
Kejaksaan Negeri Gorontalo yang pernah bertugas di Kejaksaan Negeri
Gorontalo sejak tahun 1959 hingga sekarang adalah :
Tabel 4.2
Kepala Kejaksaan Negeri Gorontalo yang pernah bertugas
di Kejaksaan Negeri Gorontalo sejak tahun 1959 hingga sekarang
NO NAMA TAHUN MASA JABATAN
1
2
3
4
H.CH.Makahanap
Iskandar, SH
Fatahurrahman, SH
Murni Rauf, SH.
1956 – 1959
1965 – 1965 (6 bulan)
1965 – 1967
1967 – 1968
48
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Abdul Gafar Lalusu, SH.
Abdul Wahab Hamzah,SH.
Sofyan Thaib, SH.
Soepomo, SH.
Abidin Dasuki, SH.
Kemal Achmadsyah, SH.
Amir Zainuddin, SH. Sagir
Abdullah, SH.
Alpiah Thalib, SH.
Ny.HazelilponiSasiang,SH.
Ny.TennyM.Podungge,SH.
Wahyudi, SH.
Riwayadi, SH.
Payaman SH,M.Hum
Mamik Suligiono, SH.`
1968 – 1972
1972 – 1975
1975 – 1980
1980 - 1982
1982 – 1987
1982 – 1990
1990 – 1992
1992 - 1995
1995 - 1998
1998 - 2000
2000 – 2003
2003 – 2005
2005 – 2008
2008 – 2012
2012- sekarang
4.2 Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Kepolisian
Kewenangan kepolisian dalam melakukan penyidikan
sebelumnya sudah disebutkan dalam Kitan Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). berdasarkan ketentuan umu pada Pasal 1 ayat (1)
dijelaskan bahwa penyidik merupakan pejabat kepolisian tertentu yang
di beri wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Pada Pasal 4 jo pasal 6 KUHAP dijelaskan bahwa kepolisian memiliki
49
kewenagan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Demikian
juga pada undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia yakni pada Pasal 14 ayat (1) huruf g menyatakan
tugas pokok kepolisian Negara Republik Indonesia adalah melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dasar Hukum Kpolisian dalam melakukan penanganan Tindak
Pidana Korupsi adalah:
1. Kitab undang hukum pidana (KUHP)
2. Kitab hukum acara pidana (KUHAP)
3. Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
4. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang diganti dengan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
5. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
6. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
7. Undang-Undang No, 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih Dan Berwibawa Dan Bebas Korupsi, Kolusi
Dan Nepotisme.
50
Informasi tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi, dapat
bersumber dari berbagai macam sumber informasi antara lain yakni
berupa berita-berita yang ada di media cetak dan media elektronik,
laporan oleh masyarakat secara langsung maupun laporan dari Lembaga
Suwadaya Masyarakat (LSM). Setelah menerima informasi tentang
adanya tindak pidana korupsi, pihak kepolisian kemudian akan
melakukan penelusuran informasi tersebut untuk mengumpulkan data-
data dan bukti-bukti tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi.
Setelah memperoleh keterangan dan beberapa bukti yang cukup,
maka pihak kepolisian akan melakukan tindakan selanjutnya yakni
dengan membentuk tim prnyelidik dan disertai dengan surat perintah
penyelidikan untuk mengetahui ada tidaknya tindak pidana korupsi
tersebut. Dalam surat perintah tersebut secara singkat dijelaskan tentang
dugaan korupsi yang terjadi, susunan tim penyelidik dan asal informasi
yang telah diperoleh.
Setelah tim terbentuk, maka akan dilakukan koordinasi untuk
membahas dan menganalisis data-data yang diperoleh beserta alat-alat
bukti minimal 2 alat bukti dan tersangka dugaan korupsi.
Alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
51
5. Keterangan terdakwa
Apabila telah memenuhi minimal dua alat bukti, maka tim akan
memutuskan bahwa kasus dugaan korupsi yang diperoleh akan
dilakukan tahap pemeriksaan selanjutnya yakni penyidikan. Penyidikan
dimaksudkan untuk pemeriksaan terhadap tersangka, melakukan
penangkapan, penahanan, penggledahan dan penyitaan dokumen berupa
surat-surat berharga serta pemeriksaan saksi-saksi yang bersangkutan
dengan adanya tindak pidana korupsi.
Dengan diserahkanya berkas hasil penyelidikan tentang adanya
dugaan tindak pidana korupsi ke pihak penyidik, maka akan dibentuk
pula tim penyidik yang disertai dengan surat perintah penyidikan atau
yang disingkat dengan P-8. Dalam surat tersebut dicantumkan berupa
keterangan identiras lengkap dari tesangka, serta penjelasan secara
singkat tentang dugaan tindak pidana korupsi dan susunan tim penyidik
sebagaimana pada surat perintah penyelidikan.
Dalam tahap penyidikan, penyidik akan melakukan rencana
pemanggilan terhadap saksi-saksi untuk dimintai keterangan dan
dicantumkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sebelumnya
penyidik akan mengeluarkan surat panggilan kepada tersangka, saksi dan
bahkan saksi ahli tiga hari sebelum menghadap penyidik. Namaun bila
dalam panggilan yang diajukan sebanyak tiga kali panggilan terdakwa
belum juga dating menghadap, maka kepolisian akan melakukan jemput
paksa.
52
Setelah menerima keterangan dari saksi-saksi yang
bersangkutan, tahap selanjutnya yakni pihak penyidik akan melakukan
pemanggilan kepada trdakwa terkait pemeriksaan terhadap tindak pidana
korupsi yang dilakukannya. Setelah melakukan pemeriksaan terhadap
saksi-saksi dan terdakwa akan dilanjutkan dengan penyitaan terhadap
barang bukti berupa surat-surat dan dokumen-dokumen penting serta
barang bukti lainya berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
yang dianggap penting dalam penyidikan perkara pidana korupsi yang
akan didahului dengan penerbitan surat izin penggeledahan dan
penyitaan.
Dari hasil pemeriksaan penyidikan, apabila keterangan-
keterangan dari saksi-saksi dan terdakwa dianggap sudah benar dan alat
bukti dinyatakan sudah lengkap, hasil penyidikan dicantumkan dalam
bentuk laporan Berita Acara Pemeriksaan dan dikoordinasikan dengan
apakah berkas perkara tersebut sudah benar-benar lengkap yang
kemudian akan dilakukan pelimpahan berkas perkara kepada penuntut
umum (P21).
Hasil penyidikan dari penyidik kemudian diperiksa kembali oleh
pihak penuntut umum apakah berkas tersebut sudah memenuhi syarat
formil maupun materil. Apabila belum juga memenuhi persyaratan maka
berkas tersebut akan di kembalikan kepada pihak penyidik untuk di
lengkapi (P18) dalam pengembalian berkas perkara yang belum lengkap
kejaksaan akan menyertai berupa petunjuk-petunjuk untuk melengkapi
53
berkas tersebut (P19). Jika sudah lengkap maka akan dilimpahkan
kembali kepada jeksa penuntut umum untuk dilanjutkan ketahap
persidangan.
Secara umum lembaga Kepolisian memiliki 3 (tiga) fungsi, yaitu:
1. Fungsi memelihara keamanan
2. Fungsi pelayanan masyarakat
3. Fungsi peradilan pidana.
Dengan demikian, fungsi Kepolisian sebagai bagian dari sistem
peradilan pidana sesungguhnya hanyalah merupakan sebagian atau salah
satu dari fungsi Kepolisian. Namun, karena fungsi ini paling banyak
disorot oleh masyarakat, maka kerap kali kegiatan polisi hanya
diidentikkan dengan fungsi ini saja.
Selain tiga fungsi di atas, maka kepolisian juga mempunyai 2
(dua tugas utama, yaitu: tugas penegakan hukum; dan tugas memelihara
ketertiban dan ketenteraman dalam masyarakat. Keseluruhan tugas dan
fungsi polisi tersebut tidak dapat dipisahkan karena saling berhubungan.
Tugas polisi dalam memelihara ketertiban dan ketenteraman masyarakat
berada pada perbatasan antara perilaku warga masyarakat yang bersifat
kriminal dengan yang bersifat non-kriminal.
Dalam menjalankan tugas ini polisi diharapkan dapat
memecahkan setiap masalah yang dihadapinya. Kondisi tersebut
menuntut polisi harus bertindak menurut penilaiannya sendiri. Dan
berkaitan dengan tugas penegakan hukum, polisi memiliki tugas yang
54
harus dijalankan, yaitu tugas penyidikan dan penyelidikan sebagaimana
yang diamanatkan oleh KUHAP.
Dalam menjalankan tugas ini, maka polisi berhubungan dengan
institusi peradilan pidana lainnya, yaitu Kejaksaan. Dalam hal inilah
kerap timbul masalah mengenai mekanisme koordinasi pelaksanaan
tugas dalam menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan. Karena
P.18 yang dikeluarkan oleh Kejaksaan, sering tidak dapat dipenuhi oleh
polisi, karena terlalu teknis, misalkan Kejaksaan minta asli dari S.K.
Menteri atau Peraturan Menteri.
Sejalan dengan uraian di atas, peneliti juga melakukan
wawancara langsung dengan Raidmun Lahmudin selaku Kanit Tipikor
di Polres Kota Gorontalo. Dari hasil wawancara dikatakan bahwa proses
penyidikan tindak pidana korupsi di Polres Gorontalo dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan No. 31 Tahun 1999 yang
telah diubah dengan UU RI No. 20 Thn 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi. Adapun inti dari proses penyidikan yakni penyelidikan
informasi yang diterima (terpenuhi syarat-syaratnya), gelar perkara dan
penyidikan (penelusuran perkara).
Dijelaskan pula oleh Raidmun Lahmudin bahwa hambatan-
hambatan yang ditemui pada proses penyidikan kasus tindak pidana
korupsi yakni kesulitan untuk menemukan data-data atau dokumen-
dokumen asli, kesulitan untuk membongkar kasus-kasus pejabat-pejabat
55
tertentu, kesulitan untuk mendapatkan keterangan ahli yang berada di
luar wilayah Gorontalo1.
Sehubungan dengan hambatan yang dihadapi maka pihak
penyidik Polres melakukan koordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum
dan Pengadilan, Pengacara, dan Instansi yang terkait khususnya BPK
sebagai tolak ukur. Pihak kepolisian juga tetap melakukan koordinasi
secara meluas.
Dari data yang diperoleh di Polres Gorontalo diketahui bahwa
dari tahun 2010 sampai 2013 hanya terdapat 1 (satu) kasus tindak pidana
korupsi yang ditangani yakni korupsi bantuan sosial dinas sosial Provinsi
Gorontalo.
4.3 Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan
Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan
disebutkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. Berdasarkan pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan dijelaskan
bahwa kejaksaaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Kewenangan
kejaksaan ini contohnya kewenangan yang diberikan oleh Undang-
Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.
1 Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR BpkRaidmun Lahmudin, Tanggal, 5-11-2013.
56
20 Tahun 2001, dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang KPK).
Secara umum Undang-Undang Kejaksaan menjelaskan bahwa
kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana
tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-
undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk
melakukan penyidikan.
Dasar Hukum Kejaksaan dalam melakukan penanganan Tindak
Pidana Korupsi adalah:
1) Kitab undang hukum pidana (KUHP)
2) Kitab hukum acara pidana (KUHAP)
3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang diganti dengan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
4) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
5) Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Negara
Republik Indonesia.
6) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
7) Undang-Undang No, 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih Dan Berwibawa Dan Bebas Korupsi, Kolusi
Dan Nepotisme.
57
Materi Tindak Pidana Korupsi merupakan bagian dari Hukum
Pidana Khusus dan pihak yang berhak melakukan penyidikan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi adalah pihak kejaksaan.
Berdasarkan Pasal 1 KUHAP, penyidikan adalah serangkain
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna
menemukan tersangkanya. 2
Proses penyidikan yang dilakukan oleh Pihak Kejaksaan
terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah bahwa Berdasarkan
Keputusan jaksa Agung RI No. KEP-518/ A/ J.A/11/2001 tanggal 1
November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik
Indonesia No.Kep-132/J.A/11/1994 tanggal 7 November 1994 tentang
Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik penanganan
perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi terungkapnya perkara
korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri atau karena
laporan/informasi seseorang tentang telah terjadinya Tindak Pidana
Korupsi.3
Dalam tahap proses penyidikan di Kejaksaan Negeri Gorontalo
calon peneliti melakukan wawancara langsung dengan Bapak Sukandi
2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3 Keputusan jaksa Agung RI No. KEP-518/ A/ J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang
Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No.Kep-132/J.A/11/1994 tanggal 7
November 1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik penanganan
perkara Tindak Pidana Korupsi.
58
Maku selaku sebagai KASI PIDUS bahwa tahap proses penyidikan
tindak pidana korupsi di kejaksaan secara singkat dilakukan dengan
tahapan berikut :
“a. berawal dari laporan dari masyarakat tentantang dugaan
pidana korupsi,atau diperoleh dari media cetak dan elektronik ataupun
dengan cara mencari informasi sendiri yang dilakukan intelijen
kejaksaan dan laporan dari hasil pengawasan dari instansi pemerintah
tertentu. b.. penyelidikan dilakukan oleh intelijen baik operasi tertutup
tanpa punlikasi dan terbuka dapat di publikasikan. c. penyelidikan dan
penyidikan dilakukan harus disertai dengan penerbitan surat perintah
penyelidikan dan perintah penyidikan. d. minimal dua barang bukti dan
tersangka untuk dilakukan penyidikan. e. proses penyelidikan dan
penyidikan dilakukan berdasarkan ketentuan yang ada dalam KUHAP”.
dari penjelasan beliau maka peneliti dapat menjelaskan bawa
pihak pnyidik kejaksaan dapat memperoleh pengaduan
laporan/informasi dari masyarakat yang mengetahui tentang duagaan
adanya tindak pidana korupsi, dari media cetak surat kabar, dari media
elektronik maupun dengan mencari sendiri kasus-kasus dugaan korupsi
dengan mengutus intelijen. Dalam mencari informasi intelijen dari
kejaksaan beroperasi cenderung melakukan secara tertutup maupun
terbuka.
Operasi tertutup artinya intelijen dalam mencari data dan
keterangan dilakukan tanpa adanya publikasi dan tanpa member tahu
kepada setiap orang atau pihak tertentu yang dimintai informasi tentang
adanya tindak pidana korupsi. Sedangkan tertutup yakni intelijen
mengambil data dan keterangan dengan cara memanggil pihak-pihak
tertentu untuk dimintai informasi, namun hasil dari penyelidikan tetap
dirahasiakan. Hasil penyelidikan kemudian akan dilampirkan dalam
59
bentuk laporan, dimana laporan tersebut berisikan waktu dan tanggal
dari penerimaan informasi, penjelasan tentang dugaan adanya tindak
pidana korupsi dan disertai dengan identitas dari si pengadu/pelapor dan
penerima laporan.
Dalam laporan tentang dugaan tndak pidana korupsi yang
memiliki indikasi kuat bahwa informasi tersebut benar-benar telah
terjadi perbuatan korupsi kemudian akan di tindaklanjuti berdasarkan
ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Namun apabila informasi tersebut
dianggap belum melengkapi unsur-unsur tentang adanya kerugian
Negara, maka kejaksaan wajib mengembalikan laporan tersebut kepada
intelijen untuk dilengkapi. Setelah laporan dianggap sudah lengkap,
maka akan dilanjutkan dengan tahap penyelidikan. tersebut dengan
membentuk tim penyelidik yang kemudian disertai dengan
dikeluarkannya surat perintah penyelidikan.
Surat perintah penyelidikan bila telah diterbitkan, aka akan
dilanjutkan dengan tahap penyelidikan. Pada tahap ini tim penyelidik
akan melakukan penelusuran perkara lebih lanjut apakah perkara
tersebut benar-benar sudah mengandung unsure tindak pidana korupsi
atau belum. Hal ini dapat diketahui dengan mencari dokumen-dokumen
atau data-data yang dianggap penting dan alat-alat bukti lainya menurut
ketentuan dalam undang-undang.
Hasil penyelidikan yang sudah dianggap lengkap kemudian
akan disusun dalam bentuk laporan oleh tim penyelidik kejaksaan dan
60
kemudian hasil penyelidikan akan dipaparkan untuk dikoordinasikan
dalam memberikan kesimpulan apakah hasil penyelidikan tersebut sudah
dapat dilakukan penyidikan. Apabila dianggap sudah benar-benar
lengkap, tim penyelidik kemudian menyerahkan langsung hasil
penyelidikan tersebut kepada pihak penyidik kejaksaan untuk dilakukan
tahap selanjutnya yakni tahap penyidikan perkara.
Tahap penyidikan tidak berbeda jauh dengan tahap
penyelidikan. Sebelum melakukan penyeidikan maka akan dibentuk tim
penyidik yang kemudian akan disertai dengan penerbitan surat perintah
penyidikan. Pada tahap ini tim penyidik akan melakukan panggilan
terhadap saksi dan terdakwa untuk dimintai keterangan-keterangan
perkara korupsi yang sedang dalam pemeriksaan. Dalam pemanggilan
saksi dan tersangka tim penyidik kejaksaan akan memberikan surat
panggilan kepada saksi dan terdakwa selambat-lambatnya tiga hari
sebelum menghadap. Pemanggilan ini juga dapat dilakukan kepada
saksi-saksi ahli untuk dimintai keterangan selanjutnya, dimana
penaganan penyidikan ini tidak jauh berbeda dengan penanganan tindak
pidana umum.
Namun dalam panggilan pertama terdakwa tidak datang
menghadap, maka akan dilakukan surat perintah panggilan ke dua.
Pemanggilan ini dilakukan sebanyak tiga kali. Apabila dalam panggilan
yang ketiga terdakwa belum mengahadap juga. Kejaksaan akan
melakukan jemput paksa terhadap terdakwa.
61
Proses selanjutnya yakni tim penyidik kejaksaan akan
melakukan penyitaan dan penggledahan terhadap surat-surat penting dan
harta benda yang ada sangkut pautnya dengan perkara kerugian Negara
yang sedang ditangani. Sebelum melakukan penggledahan dan
penyitaan, tim penyidik harus memiliki surat izin untuk melakukan
penggledahan dan penyitaan sebagai bukti bahwa penggledahan dan
penyitaan ini benar-benar dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan
perkara pidana korupsi yang sedang berjalan.
Setelah proses penyidikan sudah dianggap lengkap, maka data-
data hasil pemeriksaan akan dicantumkan dalam bentuk Berita Acara
Perkara (BAP) yang ditanda tangani oleh penyidik, saksi, dan terdakwa.
Tahap selanjutnya yakni pemberkasan perkara yang kemudian
dilaporkan kepada kepala kejaksaan negeri untuk di analisis dan diteliti
lebih lanjut apakah kasus ini benar-benar merupakan kasus tindak pidana
korupsi dan untuk membuat rencana dakwaannya.
Dalam analisis tersebut akan ditentukan apakah kasus ini
merupakan kasus tindak pidana korupsi, maka akan dilanjutkan ke tahap
selanjutnya. Namun apabila ditemukan tidak memiliki cukup bukti
bahwa kasus ini bukan merupakan kasus tindak pidana korupsi, dengan
sendirinya kasus ini batal demi hokum. Proses tuntutan perkara akan
dihentikan sebagaimana dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a HUHAP dan
akan dikeluarkan surat penetapan pemberhentian penyidikan (SP3).
Apabila kasus tersebut ternyata merupakan kasus tindak pidana korupsi
62
maka hasil penyidikan akan dilanjutkan dengan tahap penuntutan dan
akan dilimpahkan ke tahap persidangan.
Setelah pemberkasan perkara selesai lalu dibuatlah penyerahan
berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum yaitu
berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2), ayat (3) butir a dan b jo Pasal
110 ayat (1) KUHAP, penyerahan berkas perkara Penyidik Kejaksaan
kepada Penuntut Umum dari Kejaksaan dilakukan dengan cara :
Penerimaan berkas perkara tahap pertama berdasarkan ketentuan Pasal 8
ayat (3), Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 138 KUHAP. Penerimaan berkas
perkara dicatat dalam register Penerimaan Berkas perkara tahap pertama
(RP-10) dan pelaporannya menggunakan LP-6. Berdasarkan Surat
Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana No. B.401/E/9/93 tanggal 8
September 1993, penelitian berkas perkara tahap pertama difokuskan
kepada:
a. Kelengkapan formal, yakni meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan formalitas/persyaratan, tata cara penyidikan
yang harus dilengkapi dengan Surat Perintah, Berita Acara,
Izin/Persetujuan Ketua Pengadilan. Disamping penelitian kuantitas
kelengkapan syarat formal, perlu diteliti pula segi kualitas
kelengkapan tersebut, yakni keabsahan sesuai ketentuan Undang-
Undang.
b. Kelengkapan material, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan
alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kriteria
63
yang dapat dipergunakan sebagai tolok ukur kelengkapan material
antara lain:
1) Apa yang terjadi (tindak pidana beserta kualifikasi dan pasal
yang dilanggat).
2) Siapa pelaku, siapa-siapa yang melihat, mendengar, mengalami
peristiwa itu (tersangka saksi-saksi/ahli).
3) Bagaimana perbuatan itu dilakukan (modus operandi).
4) Di mana perbuatan dilakukan (locus delicti).
5) Bilamana perbuatan dilakukan (tempus delicti).
6) Akibat apa yang akan ditimbulkannya (ditinjau secara
viktimologis).
Kemudian, dalam instruksi Jaksa Agung RI No. INS-
006/J.A/4/1995 tanggal 24 April 1995 kelengkapan material ini
diformulasikan dengan : 4
a. Adanya fakta perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana
dirumuskan dalam pasal pidana yang bersangkutan.
b. Adanya fakta kesalahan tersangka baik kesengajaan maupun
kealpaan.
c. Adanya alat-alat bukti yang tersedia, paling tidak harus memenuhi
minimum pembuktian (alat bukti) yang sah.
d. Alat bukti yang tersedia harus diteliti mengenai keabsahan dan
kekuatan alat bukti.
4 Instruksi Jaksa Agung RI No. INS-006/J.A/4/1995 tanggal 24 April 1995
64
e. Hubungan timbal balik/korelasi antara alat bukti dengan perbuatan
dan kesalahan tersangka.
f. Kejelasan tentang peran pelaku dalam melakukan tindak pidana
tersebut (modus operandi).
Kemudian, setelah diteliti kelengkapan formil dan materil
sesuai instruksi No. INS-006/J.A/4/1995 tanggal 24 April 1995 dan
Surat Edaran No. B.401/E/9/93 tanggal 8 September 1993, kemudian
Jaksa Peneliti menyerahkan hasil telaah pada hari kelima kepada Kasi
Pidum/Kajari, lalu memberitahukan kepada penyidik pada hari ketujuh
(Pasal 138 ayat (1) KUHAP), dan bila dari hasil telaah tersebut
merupakan Tindak Pidana Khusus, lalu dilimpahkan kepada Pidsus
untuk ditindaklanjuti.
Ketentuan selanjutnya dalam Pasal 8 KUHAP menyatakan
penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak mengurangi
ketentuan lain dalam undang-undang ini. Ayat (1) penyidik
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Ayat (2)
penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan :5
1. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara
5 Kitab Undang Hukum Acara Pidana
65
2. Dalam hal penyidikan sudah dianggap percaya selesai, penyidik
menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti
kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (3) KUHAP)
Apabila dari hasil analisis perkara tersebut Penuntut Umum
beranggapan bahwa hasil penyidikan sudah dianggap lengkap,
penyidik kemudian menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan
barang bukti kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat (3) sub b KUHAP)
atau P-21. Akan tetapi, apabila hasil penyidikan tersebut ternyata
belum lengkap, jaksa penuntut umum akan mengluarkan Surat Hasil
Penyidikan Belum Lengkap dalam bentuk: P-18 dan Penuntut Umum
mengembalikan berkasa perkara kepada penyidik disertai petunjuk
tentang petunjuk yang harus dilakukan untuk dilengkapi dalam bentuk
P-19 dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan
berkas penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara
itu kepada Penuntut Umum (Pasal 14 huruf b, Pasal 110 ayat (2), (3)
dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP).
Pada dasarnya pengembalian berkas perkara kepada penyidik
untuk dilengkapi sesuai hasil penelitian disertai petunjuk secara cermat
yang menyangkut penerapan hukumnya, jelas dalam hal ini mudah
dimengerti penyidik dan tidak berbelit-belit dan lengkap dengan tidak
akan ada petunjuk susulan lagi kecuali diperlukan pengembangan lebih
petunjuk susulan lagi kecuali diperlukan pengembangan lebih lanjut
sesuai ketentuan Pasal 138 ayat (2) jo Pasal 110 ayat (2) dan (3)
66
KUHAP. Apabila dalam waktu sepuluh hari sejak penyidikan
tambahan telah dilakukan bentuk formulirnya adalah P-20.
Kemudian, setelah penyidikan tambahan tersebut telah
dilakukan penyidik, apabila penyidikan dianggap sudah lengkap,
Kejaksaan lalu memberitahukan bahwa hasil penyidikan sudah
lengkap dan minta agar tersangka dan barang bukti segera diserahkan
dan akan dibuat dan diajukan rendak (Rencana Dakwaan) dengan
bentuk P-21 dan RP-11. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai,
penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti
kepada Penuntut Umum.
Istilah hasil penyidikan dipergunakan antara lain dalam Pasal
110 dan 138 KUHAP. Istilah hasil penyidikan telah dipergunakan
dalam KUHAP, namun KUHAP tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan hasil penyidikan tersebut. Apabila hasil penyidikan dalam
Pasal 110 ayat (2) kita kaitkan dengan ketentuan Pasal 8 KUHAP,
maka nampaknya pembentuk undang-undang mengartikan istilah hasil
penyidikan itu adalah berkas perkara. Hal ini tertangkap dari redaksi
Pasal 110 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal
penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
Sejalan dengan peraturan perundang-undangan, peneliti juga
melakukan wawancara dengan pihak Kejaksaan tentang penyidikan
perkara di Kejaksaan Negeri Gorontalo. Dari hasil wawancara
67
dijelaskan bahwa pelaksanaan proses penyidikan di Kejaksaan bahwa
penyidik kejaksaan tetap saling berkoordinasi dengan pihak kepolisian
dan komisi tindak pidana korupsi (KPK).
Mengenai berakhirnya penyidikan, bahwa penyerahan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dilaksanakan oleh
penyidik setelah penyidikan dianggap selesai. Penyidikan baru
dianggap selesai apabila dalam batas waktu 14 hari penuntut umum
tidak mengembalikan berkas perkara, atau sebelum berakhirnya batas
waktu tersebut tidak ada pemberitahuan dari penuntut umum kepada
penyidik bahwa hasil penyidikan sudah lengkap atau belum.
Dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di
lingkungan Kejaksaan Negeri Gorontalo, jaksa selaku penyidik juga
mendapat kendala dalam melakukan penyidikan tersebut. Hasil
penelitian yang sudah saya lakukan di lingkungan Kejaksaan Negeri
Gorontalo sudah membahas sedikit banyaknya kendala jaksa dalam
melakukan penyidikan. Yang utama dari kendala atas penyidikan
tersebut terletak pada alat bukti, saksi, terdakwa kasus tindak pidana
korupsi.
Ketentuan dalam Pasal 33 UU No. 16 Tahun 2004
menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak
hukum dan keadilan sera badan negara atau instansi lainnya”. Adalah
menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang
68
penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina
kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan
keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem
peradilan pidana terpadu.
Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui koordinasi
horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan
tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kerja
sama antara Kejaksaan dengan instansi penegak hukum lainnya
dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai
dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan
tidak memihak dalam penyelesaian perkara.
Menurut ketentuan hukum positif di Indonesia, ada beberapa
instansi atau lembaga lain untuk melakukan koordinasi dengan
Kejaksaan yaitu pihak kepolisian, tim koordinasi Pemberantasan
Tindak Pidana Koruspi (Tim Tastipikor), Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK), Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan
Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum. Tetapi
ada lembaga lain bisa ikut membantu pihak Kejaksaan dalam
melakukan penyidikan yaitu Pihak Bank misalnya pemblokiran
rekening tersangka mengenai penyitaan barang bukti. Begitu juga
69
halnya di lingkungan Kejaksaan Negeri Gorontalo, jaksa melakukan
koordinasi dengan instansi lain.6
Pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh jaksa penyidik di lingkungan Kejaksaan Negeri
Gorontalo pada tahun 2009-2012 yang dijadikan sampel proses
penyidikan kejaksaan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.2
Data Kasus Korupsi Di Kejaksaan Negeri Gorontalo Tahun 2009-2012
Tahun Penyelesaian Penanganan Keterangan
2010
Aris Umar
Ajis Rajab
Yanson Lasalewo
Tututan
Tututan
Penghentian
Penyidikan
Kasasi
Inkracht
SP3
2011
Alwin Husada,dkk.
Sujarno Aermas, dkk.
penyidikan
penyidikan
Perhitungan
kerugian negara
Perhitungan
kerugian negara
2012
Semi Dj. Salim
Adan Dumbi
Darwis Salim
Syafrudin Djamil
Hadija Doyah
penyidikan
penyidikan
tuntutan
tuntutan
penyidikan
Lab bang Dik
Pemberkasan
Sidang
Sidang
Pemberkasan
2013 - - -
4.4 Perbandingan Proses Penyidikan Oleh Kepolisian Dan Kejaksaan
Dalam undang-undang diatur bahwa kepolisian bisa berperan
sebagai penyelidik dan penyidik (KUHAP pasal 1 ayat 4 dan PP No. 27
Tahun 1983) kemudian dinyatakan bahwa jaksa juga bisa berperan sebagai
penyelidik dan penyidik (Undang-Uundang Kejaksaan No. 16 Tahun 2002).
6 Hasil Wawancara Dengan KASI PIDUS Bpk. Sukandi Maku, Tanggal, 19-11-2013
70
Penyidik Polri adalah pejabat Polri tertentu paling rendah
berpangkat pembantu letnan II atau ajun inspektur polisi II yang
ditunjuk/diangkat Kapolri. Jadi tidak setiap anggota POLRI dengan pangkat
AIPDA bertindak selaku penyidik melainkan terbatas hanya pejabat POLRI
yang ditunjuk/diangkat oleh KAPOLRI atau pejabat lain yang mendapat
pelimpahan wewenang KAPOLRI. Wewenang penyidik POLRI dapat
dilihat dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP.
Penyidik PNS adalah PPNS tertentu paling rendah berpangkat II/b
yang diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul departemen yang
membawahi PPNS bersangkutan. Wewenang penyidik PPNS sesuai
dengan Undang-Uundang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing
dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan
pengawasan penyidik POLRI Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Sebagai contoh
mengenai wewenang Penyidik PPNS yaitu :
Penyidik Pembantu adalah pejabat tertentu paling rendah
berpangkat Sersan Dua (Brigadir II) dan PPNS tertentu di lingkungan
POLRI paling rendah berpangkat golongan II/a yang diangkat selaku
Penyidik Pembantu oleh KAPOLRI. Syarat kepangkatan dan pengangkatan
penyidik sebagai penyidik pembantu diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983
Bab II Pasal 2 dan Pasal 3 yang telah diubah dan diatur dalam PP No. 58
Tahun 2010 jo Keputusan MENKEH NO. M.08 UM.01.06 Tahun 1983
tanggal 16 Desember 1983 tentang Pelimpahan Wewenang Pengakatan
Penyidik PPNS. Penyidik pembantu hanya dikenal dan berlaku di
71
lingkungan POLRI dan mempunyai wewenangyang sama dengan penyidik
POLRI kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan
pelimpahan wewenang dari penyidik (Pasal 11 KUHAP).
Penyidikan di Kejaksaan disesuai dengan ketentuan UU No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, maka tugas pokok Kejaksaan RI melalui
para jaksanya adalah bertindak untuk dan atas nama negara selaku penuntut
umum di depan sidang Pengadilan Negeri. Akan tetapi menurut Pasal 284
ayat (2) KUHAP jo. PP No. 27 Tahun 1983 Bab II yang telah di ubah dalam
telah diubah dan diatur dalam PP No. 58 Tahun 2010 Pasal 17 untuk
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu yang mempunyai
ketentuan khusus acara pidana, selain ditugaskan kepada penyidik yang
diatur dalam KUHAP, ditugaskan pula kepada jaksa sehingga di lingkungan
kejaksaan (Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri) terdapat
jaksa-jaksa yang ditugaskan sebagai penyidik yang dikenal sebagai Jaksa
Penyidik yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
khusus (tertentu).
Tindak pidana khusus yaitu tindak pidana yang diatur dalam
undang-undang tertentu yang didalamnya terdapat ketentuan khusus acara
pidana, misalnya Undang-Uundang No. 7 Drt. 1955 jo UU No. 8 Drt. 1958
yang dikenal dengan Undang-Uundang Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE),
Undang-Uundang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang telah diubah dan diganti dengan Undang-Uundang No. 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Uundang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
72
atas Undang-Uundang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-Uundang No. 11/PNPS/1963 tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi dan lain-lain berdasarkan Undang-
Uundang yang didalamnya terdapat ketentuan khusus acara pidana. Undang-
Uundang subversi tersebut telah dicabut berdasarkan Undang-Uundang No.
26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Uundang No. II/PNPS/Tahun
1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, karena dianggap
bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara hukum.
Adapun proses penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh kepolisian dan kejaksaan memiliki perbandingan baik dari persamaan
dan perbedaan dalam melakukan pemeriksaan perkara korupsi. Dalam tahap
proses penyidikan yang ada di kepolisian dan proses penyidikan yang ada di
kejaksaan tidak jauh berbeda. Pemeriksaan penyidik kepolisian dan penyidik
kejaksaan menggunakan langkah yang sama yakni dengan berdasarkan
proses penyidikan yang sudah ditetapkan dalam Kitab Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dengan tugas dan wewenangnya masing-masing.
Dengan demikian dasar hukum yang digunakan dalam penyidikan oleh
kedua instansi tersebut yakni sama-sama mengacu pada Kitab Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Namun adapun perbedaan yang ditemui oleh penulis dari penyidik
kepolisian dan penyidik kejaksaan selaku penyidik tindak pidana korupsi.
Dalam hal ini mengenai struktur organisasi jumlah personil yang terlibat
dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi. Pada instansi kepolisian Kota
73
Gorontalo penyidik tindak pidana khusus bagian korupsi beranggotakan 4
(empat) personil dan pada umumnya struktur organisasi yang ada di
kepolisia sipilih langsung oleh kapolres Gorontalodan bersifat tetap. 7
Sedangkan struktur organisasi yang ada di Kejaksaan Negeri
Gorontalo hanya beranggotakan 3 (tiga) personil dan tidak bersifat tetap
sebab pada suatu waktu dapat berubah-ubah. Karena dalam instansi
kejaksaan tidak ada perbedaan antara satu dan lainya semua berhak
melakukan penyidikan selama orang tersebut telah di tunjuk oleh Kepala
Kejaksaan Negeri baik saat itu juga dan dipercayayi mampu dalam
melakukan penyidikan perkara tindak pidana khusus terutama korupsi. Maka
sejak itulah orang tersebut berkewenangan penuh dalam melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana khusus.8
Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah kasus Tindak Pidana
Korupsi yang ditangani oleh Polres Gorontalo sejak tahun 2010 sampai
Tahun 2013 sebanyak 1 (satu) kasus, sedangkan jumlah kasus Tindak Pidana
Korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Gorontalo sejak Tahun 2010
sampai Tahun 2013 sebanyak 10 (sepuluh) kasus. Proses penyidikan perkara
yang ada di kepolisian juga lebih membutuhkan waktu yang cukup lama
dibandingkan proses penyidikan yang ada di kejaksaan. Dalam penanganan
penyidikan perkara di kepolisian membutuhkan waktu kurang lebih 8 bulan
dan di kejaksaan membuthkan kurang lwbih minimal 6 bulan. Walaupun
proses penyidikan tindak pidana tidak memiliki batas waktu yang tidak tetap
7 Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR BpkRaidmun Lahmudin, Tanggal, 5-11-2013.
8 Hasil Wawancara Dengan KASI PIDUS Bpk. Sukandi Maku, Op.Cit.
74
seperti halnya pidana umum, namun dapat terlihat jelas bahwa penyidik
Kejaksaan Negeri Gorontalo lebih banyak berperan dalam menangani kasus
Tindak Pidana Korupsi di bandingkan penyidik Polres Gorontalo.
Menurunnya peranan penyidik kepolisian dalam menangani
perkara Tindak Pidana Korupsi, tentu tidak lepas dari faktor-faktor yang
diantaranya adalah kesulitan dalam memperoleh data atau dokumen-
dokumen asli pada saat penyidikan berlangsung. Sebab dalam Tindak
Pidana Korupsi dokumen-dokumen asli tersebut merupakan salah satu alat
bukti utama selain tersangka dan saksi. Selain itu faktor moral juga sangat
mempengaruhi penegakan hukum, karena tindakan penegak hukum yang
tegas terhadap hukum sangat mempengaruhi keberhasilan penanganan suatu
tindak pidana.9
Selain itu yang membedakan penyidikan yang ada di kepolisian
dan kejaksaan yakni mengenai prosedur pelaksanaan gelar perkara. Dalam
melakukan gelar perkara penyidik kepolisian mengundang kejaksaan dan
pengacara dan instansi yang terkait khususnya Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Badan Pemeriksa Keuangan sbagai tolak ukur untuk menentukan
kesimpulan apakah perkara tersebut layak dilanjutkan ke tahap selanjutnya
atau akan di berhentikan dalam hal ini perkara bisa saja ditutup jika ditemui
perkara tersebut ternyata tidak mengakibatkan adanya kerugian Negara. 10
Sedangkan dalam lingkungan kejaksaan, gelar perkara yang
dilakukan oleh penyidik kejaksaan tidak mengundang kepolisian, dan Badan
9 Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR BpkRaidmun Lahmudin, Tanggal 19-12-2013
10 Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR Bpk. Raidmun lahmudin, Op.Cit
75
Pemeriksa Keuangan (BPK). Hanya dilakukan di kalangan jaksa saja. Sebab
dalam perhitungan kerugian Negara, penyidik kejaksaan menyerahkan
langsung kepada pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kejaksaan akan
mengundang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) apabila dalam penyidikan
kasus tindak pidana mengalami kendala dalam menentukan jumlah kerugian
uang Negara, sehingga kejaksaan membutuhkan bantuan audit dari BPK.11
Dalam melakukan tugas dan wewenangnya sebagai penyidik,
kepolisian dan kejaksaan tentunya memiliki cara-cara tersendiri untuk
mempercepat penyidikan agar perkara korupsi tersebut cepat terselesaikan.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pastinya dalam melaksanakan
tugasnya sebagai penyidik, kedua instansi tersebut sering mengalami
kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang dapat memperlambat proses
penyidikan perkara. Hal ini juga dapat memberikan perbedaan proses
penyidikan perkara korupsi yang ada di kepolisian dan di kejaksaan.
Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh penyidik kepolisian
Kota Gorontalo yang berhasil di wawancarai oleh penulis yakni :12
1. Menemukan data-data atau dokumen-dokumen asli
2. Membongkar kasus-kasus pejabat-pejabat tertentu
3. Untuk mendapatkan keterangan ahli yang berada di luar wilayah
Gorontalo.
11
Hasil Wawancara Dengan KASI PIDUS Bpk. Sukandi Maku, Tanggal, Op.Cit 12
Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR Bpk. Raidmun Lahmudin, Op.Cit
76
Hambatan-hambatan inilah yang sering ditemui oleh penyidik
kepolisian dalam mengusut perkara tindaak pidana korupsi, sebab pada
masaalah pertama, untuk menemukan data-data dan dokumen-dokumen asli
biasanya pelaku-pelaku yang terkait dengan sengaja menghilangkannya
sebelum proses penyelidikan dan penyitaan dilakukan. Contoh kecilnya
yakni data-data yang terrdapa di dalam computer. Bisa saja langsung
dihapus sehingga data-data tersebut hilang.
Kendala yang kedua yang dapat menyebabkan proses penydikan
menjadi lambat yakni membongkar kasus-kasus pejabat-pejabat tertentu.
sebab dalam melakukan pemeriksaan, yang menjadi alasan utama agar
pejabat tersebut tidak diperiksa yakni karena tugas keluar daerah dengan
waktu yang tidak jelas. Sehingga penyidik harus menunggu waktu yang
lama untuk melakukan pemeriksaan.
Ketiga yang menjadi kendala kepolisian dalam melakukan
penyidikan yakni keterangan ahli yang berada diluar daerah. Kesulitannya
yaitu untuk mendatangkan saksi ahli untuk dimintai keterangan-keterangan
tentang kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani.
Demikian juga pemeriksaan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan tidak jauh berbeda
dengan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik
kepolisian yang ada di kepolisian.
77
Adapun kendala-kelndala yang sering dihadapi oleh penyidik
kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yaitu :13
1. Alat bukti
2. Saksi
3. Terdakwa
4. Kurangnya personil kejaksaan
5. Lamanya perhitungan kerugian Negara
Dalam hal alat bukti yang menjadi kendala adalah bahwa alat bukti
tersebut sering ditemukan hilang oleh jaksa untuk membantu proses
penyidikan baik itu alat bukti yang sengaja dihilangkan oleh terdakwa
maupun alat bukti yang sudah habis atau tidak sepenuhnya habis dipakai
oleh terdakwa, sehingga untuk mendapatkan keterangan alat bukti tersebut
jaksa melakukan upaya paksa terhadap saksi yang berkaitan terhadap alat
bukti tersebut untuk menggantikan keterangan-keterangan yang membantu
proses penyidikan.
Mengenai saksi yang menjadi kendala dalam proses penyidikan
tindak pidana korupsi adalah bahwa saksi yang berada di luar daerah. Dalam
memperoleh keterangan saksi, penyidik Kejaksaan Negeri Gorontalo harus
melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan kejaksaan luar di mana saksi
berada. Koordinasi ini juga memakan waktu cukup lama melihat kesibukan
jaksa luar. sering saksi juga tidak ditemukan berada di tempat pada saat
13
Hasil Wawancara Dengan KASI PIDUS Bpk. Sukandi Maku, Op.Cit
78
akan di temui, sehingga penyidik kejaksaan membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk memperoleh keterangan saksi tersebut.
Kendala lain yaitu mengenai terdakwa yang sering juga
memberika data dan keterangan yang berbelit-belit, terdakwa sering dalam
keadaan sakit apabila dilakukan penyidikan terhadap dia sehingga
memperlambat proses penyidikannya dan terdakwa sering melarikan diri
apabila dilakukan penyidikan terhadap dia. Sehingga jaksa melakukan
upaya yaitu jaksa melakukan pembantaran terhadap terdakwa yang sakit
untuk di rawat dirumah sakit tetapi tidak mengurangi masa tahanannya dan
melakukan pengejaran untuk menangkap terdakwa yang melarikan diri
dengan melakukan kerja sama dengan pihak kepolisian.
Kurangnya personil penyidik kejaksaan juga sangat mempengaruhi
proses penyidikan. personil Kejaksaan Negeri Gorontalo yang bergerak
dalam penyidikan Tindak Pidana Korupsi hanya berjumlahkan tiga personil.
Ketiga personil ini selain sebagai penyidik mereka juga berperan sebagai
penyelidik. Sehingga penyidik kejaksaan merasa kesulitan karena selain
untuk melakukan penyelidikan mereka juga harus ekstar bekerja keras
melakukan penyidikan dengan berbagai kendala-kendala selalu di temukan
dilapangan.
Perhitungan kerugian Negara yang membutuhkan waktu yang
cukup lama juga sering menjadi hambatan proses penyidikan tindak pidana
korupsi. Sebab perhitungan kerugian negar merupakan inti dari pemeriksaan
perkara korupsi. Karena suatu perkara dapat dikatakan sebagai tindak pidana
79
korupsi apabila tindakan tersebut dapat merugikan keuangan Negara
ataupun daerah. Sehingga dalam melakukan perhitungan kerugian Negara
harus benar-benar dialkukan dengan teliti walaupun harus membutuhkan
waktu yang cukup lama.
Adapun upaya yang dilakukan untuk mempercepat penyidikan oleh
penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan dalam mengusut kasus-kasus
tindak pidana korupsi yakni dengan melakukan kerjasama dan saling
koordinasi satu sama lain. Baik dari kepolisian kekejaksaan ataupun dari
kejaksaan ke kepolisian. Selain itu, sangat di perlukan juga partisipasi dari
seluruh kalangan baik dari instansi-instansi yang terkait dan bahkan
masyarat.
Dilihat dari sudut pandang pendekatan hukum, dasar hukum yang
digunakan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana di Indonesia
sebenarnya sudah dapat dikatakan cukup memadai. Karena sudah
diberlakukannya sejumlah peraturan perundang-undangan yang sifatnya anti
korupsi. Antara lain Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan
nepotisme, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Suap, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sudah dicabut dengan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan saat ini sudah diganti lagi dengan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi.
80
Selain dari undang-undang tersebut masih juga diberlakukan
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negri
Sipil. Dengan mengaacu pada Undang-Undang No. 28 Tahun 1989, maka
subjek hokum yang diatur menyangkut seruh penyelenggara negarayang
berasal dari lembaga tertinggi Negara, lembaga tinggi Negara sampai
gubernur, walikota, bupati, Pemimpin Proyek (PIMPRO), direksi badan
usaha milik Negara/Daerah (BUMN/D), jaksa dan hakim. Seluruh perangkat
hukum yang diatur dalam berbagai undang-undang tersebut sudah sangat
kuat untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi.14
Namun dalam praktiknya, permasalahan pemberantasan korupsi
tidak cukup hanya dilakukan dengan pendekatan hokum semata-mata.
Karena penyakit ini sudsash menyebar luas keseluruh tatanan social dan
pemerintahan hampir di banyak Negara. Oleh karena itu pendekatan yang
dilakukan tidak hanya semata-mata bersifat represif, tetapi juga harus
bersifat preventif dan rehabilitative. Pendekatan preventif yang ampuh
adalah antara lain dengan menciptakan iklim kerja yang sehat dalam lingkup
tugas pemerintahan baik ditingkat pusant dan ditingkat daerah. Tanpa
langkah preventif yang dimaksud maka pemberantasan korupsi hanya akan
berhasil mengatasi gejala saja dan bukan menghancurkan akar penyebabnya
yang tumbuh subur di kalangan masyarakat.15
14
Romli Atmasasmita, 2002. Op.Cit. hlm. 13 15
Ibid, hlm. 14