38
43 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Penyidikan Oleh Kepolisian Dan Kejaksaan 4.2 Sejarah Kejaksaan Negeri Gorontalo Kejaksaan di Gorontalo telah ada sejak zaman Belanda, bersama- sama dengan Pengadilan, yang melaksanakan tugas sebagai penegak hukum yang meliputi memperhatikan ketentuan-ketentuan Undang- undang, melakukan penuntutan tindak pidana pelanggaran dan kejahatan, melaksanakan putusan-putusan pengadilan. Pada tahun 1927 berdasarkan R.B.G (Rechtsreglemen Buiten Gewesten) Stbl.1927-227 yang menetapkan adanya badan-badan peradilan umum yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura yaitu : a. Districgerechten (Pengadilan-pengadilan distrik dan kewedanaan). b. Regenschapsgerechten (Pengadilan-pengadilan Kabupaten) c. Landraden (Pengadilan-pengadilan Negeri) d. Landgerechten (Pengadilan-pengadilan Kepolisian) e. Residentiegerechten (Pengadilan-pengadilan Kerisedenan) f. Raad van Justitie (Pengadilan-pengadilan Justisi) g. Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) Dari ke-7 badan-badan peradilan tersebut maka hanyalah Pengadilan Negeri (Landraad), Pengadilan Justisi (Raad van Justitie) dan Mahkamah Agung (Hooggerechtshof) yang ada relevansinya dengan Jaksa atau Kejaksaan.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses ...eprints.ung.ac.id/762/10/2013-2-74201-271409126-bab4-10012014082700.pdfhukum yang meliputi memperhatikan ketentuan-ketentuan Undang-

  • Upload
    lamdieu

  • View
    217

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

43

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Proses Penyidikan Oleh Kepolisian Dan Kejaksaan

4.2 Sejarah Kejaksaan Negeri Gorontalo

Kejaksaan di Gorontalo telah ada sejak zaman Belanda, bersama-

sama dengan Pengadilan, yang melaksanakan tugas sebagai penegak

hukum yang meliputi memperhatikan ketentuan-ketentuan Undang-

undang, melakukan penuntutan tindak pidana pelanggaran dan kejahatan,

melaksanakan putusan-putusan pengadilan.

Pada tahun 1927 berdasarkan R.B.G (Rechtsreglemen Buiten

Gewesten) Stbl.1927-227 yang menetapkan adanya badan-badan peradilan

umum yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura yaitu :

a. Districgerechten (Pengadilan-pengadilan distrik dan kewedanaan).

b. Regenschapsgerechten (Pengadilan-pengadilan Kabupaten)

c. Landraden (Pengadilan-pengadilan Negeri)

d. Landgerechten (Pengadilan-pengadilan Kepolisian)

e. Residentiegerechten (Pengadilan-pengadilan Kerisedenan)

f. Raad van Justitie (Pengadilan-pengadilan Justisi)

g. Hooggerechtshof (Mahkamah Agung)

Dari ke-7 badan-badan peradilan tersebut maka hanyalah

Pengadilan Negeri (Landraad), Pengadilan Justisi (Raad van Justitie) dan

Mahkamah Agung (Hooggerechtshof) yang ada relevansinya dengan Jaksa

atau Kejaksaan.

44

Dalam ketiga jenis badan peradilan ini ada pegawai-pegawai yang

diberi wewenang selaku pengemban tugas dari suatu lembaga (badan atau

dinas) Negara yang dinamakan Openbaar Minister (O.M). Di Gorontalo

pada tahun 1927 Ketua Pengadilan berkedudukan di Ternate yang wilayah

hukumnya meliputi Irian Barat termasuk Gorontalo yang berlangsung

hingga tahun 1934. Pada tahun 1934 Pengadilan Landraad Gorontalo di

Ketuai oleh Asisten Residen yang berkedudukan di Gorontalo. Adapun

badan peradilan yang berlaku di Gorontalo pada waktu itu selain

Landraad (Pengadilan Negeri) juga terdapat Pengadilan Distrik yang

mengadili perkara-perkara ringan sedangkan Landraad (Pengadilan

Negeri) mengadili perkara-perkara yang lebih berat. Jika ada perkara

kejahatan maka Hakim memanggil Jaksa untuk bersidang melakukan

penuntutan. Keadaan tersebut berlaku hingga tahun 1942, yakni

berakhirnya pemerintahan Belanda.

Pada tahun 1942 Tokoh Nasional/Perintis Kemerdekaan Nani

Wartabone merebut pemerintahan dari tangan Belanda dan Beliau menjadi

pimpinan pemerintahan di Gorontalo. Sebagai pimpinan pemerintahan di

Gorontalo juga menjadi Ketua Pengadilan Negeri (Landraad) yang

berlangsung selama 6 (enam) bulan yakni hingga sampai dengan

masuknya Jepang yang memerintah di Gorontalo. Oleh pemerintah Jepang

tetap saja memberlakukan ketentuan-ketentuan Undang-undang yang

sudah berlaku kecuali yang sudah dicabut.

45

Setelah Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 masih

tetap saja memberlakukan Undang-undang yang mengadili perkara-

perkara berdasarkan H.I.R (Herzien Indlaasch Reglement) Stbl. 1941

No.44. Sejarah terbentuknya Kejaksaan Negeri Gorontalo tidak dapat

dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Pengadilan Negeri Gorontalo

sehingga masa Kejaksaan Negeri Gorontalo sebelum tahun 1960 adalah

Kejaksaan Negeri pada Pengadilan Negeri Gorontalo atau Jaksa pada

Pengadilan Negeri Gorontalo.

Selanjutnya berdasarkan putusan Kabinet Kerja I pada tanggal 22

Juli 1960 yang dikuatkan dengan Keputusan Presiden R.I. Nomor 204

tahun 1960 tanggal 15 Agustus 1960 yang berlaku surut mulai tanggal 22

Juli 1960 terjadi perubahan status Kejaksaan dari Lembaga yang berada

dibawah Kementerian Kehakiman menjadi Lembaga yang berdiri sendiri

menjadi Departemen Kejaksaan sehingga dengan demikian Kejaksaan

Negeri Gorontalo yang sebelumnya bernama Kejaksaan Negeri pada

Pengadilan Negeri Gorontalo berubah menjadi Kejaksaan Negeri

Gorontalo.

Dalam tahun 1960 sewaktu H.CH. Makahanap menjadi Kepala

Kejaksaan Negeri Gorontalo telah mengusulkan pembentukan 2 (dua)

buah Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo yaitu Cabang Kejaksaan Negeri

Gorontalo di Tilamuta dan Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo di

Kwandang. Pada Tahun 1961 diresmikan pembukaan kedua Cabang

Kejaksaan Negeri Gorontalo tersebut berdasarkan Keputusan Jaksa Agung

46

R.I. yakni Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo di Tilamuta dengan

wilayah hukum terdiri dari 5 (lima) kecamatan dipantai Selatan bagian

Barat Gorontalo terdiri dari Kecamatan Paguyaman, Tilamuta, Paguat,

Marisa dan Popayato, sedangkan Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo di

Kwandang yang wilayah hukumnya terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan di

pesisir pantai bagian Utara Gorontalo yaitu Kecamatan Kwandang,

Atinggola dan Sumalata.

Sebelum tahun 1961 di saat Kejaksaan masih berstatus Kejaksaan

Negeri pada Pengadilan Negeri Gorontalo, Kejaksaan Negeri gorontalo

mempunyai wilayah hukum selain daerah Gorontalo meliputi pula

Kewedanaan buol (Sulawesi Tengah), dengan Cabang Kejaksaan Negeri

di Leok.

Selanjutnya dengan dibukanya Pengadilan Negeri Limboto pada

tahun 1977, maka pada tahun 1979 terbentuk pula Kejaksaan Negeri

Limboto sehingga demikian Kejaksaan Negeri Gorontalo yang semula

wilayah hukumnya terdiri dari 2 (dua) daerah Tingkat II yakni Kotamadya

Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo, dipisah menjadi 2 (dua) Kejaksaan

dimana Kejaksaan Negeri Gorontalo dengan wilayah hukumnya adalah 3

(tiga) Kecamatan sebagai wilayah Pemerintahan Daerah Tingkat II

Kotamadya Gorontalo ditambah 4 (empat) Kecamatan yang terletak di

bagian Timur wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Gorontalo

yakni Kecamatan Tapa, Kabila, Suwawa dan Bone Pantai. Karena dari 16

(enam belas) Kecamatan sebagai wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten

47

Tingkat II Gorontalo ada 4 (empat) Kecamatannya termasuk menjadi

wilayah hukum Kejaksaan Negeri Gorontalo, maka ke-12 (dua belas)

Kecamatan lainnya menjadi wilayah hukum Kejaksaan Negeri

Limboto.Dengan terbentuknya Kejaksaan Negeri Limboto maka cabang

Kejaksaan Negeri Gorontalo di Tilamuta dan Cabang Kejaksaan Negeri

Gorontalo di Kwandang telah berubah statusnya menjadi Cabang

Kejaksaan Negeri Limboto di Tilamuta dan Cabang Kejaksaan Negeri

Limboto di Kwandang.

Luas wilayah hukum Kejaksaan Negeri Gorontalo adalah 2.035

KM bujur sangkar yang terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan dengan 103

Kelurahan/Desa. Jumlah penduduk 217.001 jiwa (Sensus tahun 1992).

Kotamadya Gorontalo adalah salah satu daerah Tingkat II yang terletak di

kawasan Barat Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara dan berinteraksi

dengan kegiatan social ekonomi kawasan Teluk Temini. Adapun Kepala

Kejaksaan Negeri Gorontalo yang pernah bertugas di Kejaksaan Negeri

Gorontalo sejak tahun 1959 hingga sekarang adalah :

Tabel 4.2

Kepala Kejaksaan Negeri Gorontalo yang pernah bertugas

di Kejaksaan Negeri Gorontalo sejak tahun 1959 hingga sekarang

NO NAMA TAHUN MASA JABATAN

1

2

3

4

H.CH.Makahanap

Iskandar, SH

Fatahurrahman, SH

Murni Rauf, SH.

1956 – 1959

1965 – 1965 (6 bulan)

1965 – 1967

1967 – 1968

48

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

Abdul Gafar Lalusu, SH.

Abdul Wahab Hamzah,SH.

Sofyan Thaib, SH.

Soepomo, SH.

Abidin Dasuki, SH.

Kemal Achmadsyah, SH.

Amir Zainuddin, SH. Sagir

Abdullah, SH.

Alpiah Thalib, SH.

Ny.HazelilponiSasiang,SH.

Ny.TennyM.Podungge,SH.

Wahyudi, SH.

Riwayadi, SH.

Payaman SH,M.Hum

Mamik Suligiono, SH.`

1968 – 1972

1972 – 1975

1975 – 1980

1980 - 1982

1982 – 1987

1982 – 1990

1990 – 1992

1992 - 1995

1995 - 1998

1998 - 2000

2000 – 2003

2003 – 2005

2005 – 2008

2008 – 2012

2012- sekarang

4.2 Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Kepolisian

Kewenangan kepolisian dalam melakukan penyidikan

sebelumnya sudah disebutkan dalam Kitan Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP). berdasarkan ketentuan umu pada Pasal 1 ayat (1)

dijelaskan bahwa penyidik merupakan pejabat kepolisian tertentu yang

di beri wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Pada Pasal 4 jo pasal 6 KUHAP dijelaskan bahwa kepolisian memiliki

49

kewenagan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Demikian

juga pada undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia yakni pada Pasal 14 ayat (1) huruf g menyatakan

tugas pokok kepolisian Negara Republik Indonesia adalah melakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai

dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dasar Hukum Kpolisian dalam melakukan penanganan Tindak

Pidana Korupsi adalah:

1. Kitab undang hukum pidana (KUHP)

2. Kitab hukum acara pidana (KUHAP)

3. Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

4. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang diganti dengan Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

5. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

6. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang.

7. Undang-Undang No, 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara Yang Bersih Dan Berwibawa Dan Bebas Korupsi, Kolusi

Dan Nepotisme.

50

Informasi tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi, dapat

bersumber dari berbagai macam sumber informasi antara lain yakni

berupa berita-berita yang ada di media cetak dan media elektronik,

laporan oleh masyarakat secara langsung maupun laporan dari Lembaga

Suwadaya Masyarakat (LSM). Setelah menerima informasi tentang

adanya tindak pidana korupsi, pihak kepolisian kemudian akan

melakukan penelusuran informasi tersebut untuk mengumpulkan data-

data dan bukti-bukti tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi.

Setelah memperoleh keterangan dan beberapa bukti yang cukup,

maka pihak kepolisian akan melakukan tindakan selanjutnya yakni

dengan membentuk tim prnyelidik dan disertai dengan surat perintah

penyelidikan untuk mengetahui ada tidaknya tindak pidana korupsi

tersebut. Dalam surat perintah tersebut secara singkat dijelaskan tentang

dugaan korupsi yang terjadi, susunan tim penyelidik dan asal informasi

yang telah diperoleh.

Setelah tim terbentuk, maka akan dilakukan koordinasi untuk

membahas dan menganalisis data-data yang diperoleh beserta alat-alat

bukti minimal 2 alat bukti dan tersangka dugaan korupsi.

Alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP :

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

51

5. Keterangan terdakwa

Apabila telah memenuhi minimal dua alat bukti, maka tim akan

memutuskan bahwa kasus dugaan korupsi yang diperoleh akan

dilakukan tahap pemeriksaan selanjutnya yakni penyidikan. Penyidikan

dimaksudkan untuk pemeriksaan terhadap tersangka, melakukan

penangkapan, penahanan, penggledahan dan penyitaan dokumen berupa

surat-surat berharga serta pemeriksaan saksi-saksi yang bersangkutan

dengan adanya tindak pidana korupsi.

Dengan diserahkanya berkas hasil penyelidikan tentang adanya

dugaan tindak pidana korupsi ke pihak penyidik, maka akan dibentuk

pula tim penyidik yang disertai dengan surat perintah penyidikan atau

yang disingkat dengan P-8. Dalam surat tersebut dicantumkan berupa

keterangan identiras lengkap dari tesangka, serta penjelasan secara

singkat tentang dugaan tindak pidana korupsi dan susunan tim penyidik

sebagaimana pada surat perintah penyelidikan.

Dalam tahap penyidikan, penyidik akan melakukan rencana

pemanggilan terhadap saksi-saksi untuk dimintai keterangan dan

dicantumkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sebelumnya

penyidik akan mengeluarkan surat panggilan kepada tersangka, saksi dan

bahkan saksi ahli tiga hari sebelum menghadap penyidik. Namaun bila

dalam panggilan yang diajukan sebanyak tiga kali panggilan terdakwa

belum juga dating menghadap, maka kepolisian akan melakukan jemput

paksa.

52

Setelah menerima keterangan dari saksi-saksi yang

bersangkutan, tahap selanjutnya yakni pihak penyidik akan melakukan

pemanggilan kepada trdakwa terkait pemeriksaan terhadap tindak pidana

korupsi yang dilakukannya. Setelah melakukan pemeriksaan terhadap

saksi-saksi dan terdakwa akan dilanjutkan dengan penyitaan terhadap

barang bukti berupa surat-surat dan dokumen-dokumen penting serta

barang bukti lainya berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP

yang dianggap penting dalam penyidikan perkara pidana korupsi yang

akan didahului dengan penerbitan surat izin penggeledahan dan

penyitaan.

Dari hasil pemeriksaan penyidikan, apabila keterangan-

keterangan dari saksi-saksi dan terdakwa dianggap sudah benar dan alat

bukti dinyatakan sudah lengkap, hasil penyidikan dicantumkan dalam

bentuk laporan Berita Acara Pemeriksaan dan dikoordinasikan dengan

apakah berkas perkara tersebut sudah benar-benar lengkap yang

kemudian akan dilakukan pelimpahan berkas perkara kepada penuntut

umum (P21).

Hasil penyidikan dari penyidik kemudian diperiksa kembali oleh

pihak penuntut umum apakah berkas tersebut sudah memenuhi syarat

formil maupun materil. Apabila belum juga memenuhi persyaratan maka

berkas tersebut akan di kembalikan kepada pihak penyidik untuk di

lengkapi (P18) dalam pengembalian berkas perkara yang belum lengkap

kejaksaan akan menyertai berupa petunjuk-petunjuk untuk melengkapi

53

berkas tersebut (P19). Jika sudah lengkap maka akan dilimpahkan

kembali kepada jeksa penuntut umum untuk dilanjutkan ketahap

persidangan.

Secara umum lembaga Kepolisian memiliki 3 (tiga) fungsi, yaitu:

1. Fungsi memelihara keamanan

2. Fungsi pelayanan masyarakat

3. Fungsi peradilan pidana.

Dengan demikian, fungsi Kepolisian sebagai bagian dari sistem

peradilan pidana sesungguhnya hanyalah merupakan sebagian atau salah

satu dari fungsi Kepolisian. Namun, karena fungsi ini paling banyak

disorot oleh masyarakat, maka kerap kali kegiatan polisi hanya

diidentikkan dengan fungsi ini saja.

Selain tiga fungsi di atas, maka kepolisian juga mempunyai 2

(dua tugas utama, yaitu: tugas penegakan hukum; dan tugas memelihara

ketertiban dan ketenteraman dalam masyarakat. Keseluruhan tugas dan

fungsi polisi tersebut tidak dapat dipisahkan karena saling berhubungan.

Tugas polisi dalam memelihara ketertiban dan ketenteraman masyarakat

berada pada perbatasan antara perilaku warga masyarakat yang bersifat

kriminal dengan yang bersifat non-kriminal.

Dalam menjalankan tugas ini polisi diharapkan dapat

memecahkan setiap masalah yang dihadapinya. Kondisi tersebut

menuntut polisi harus bertindak menurut penilaiannya sendiri. Dan

berkaitan dengan tugas penegakan hukum, polisi memiliki tugas yang

54

harus dijalankan, yaitu tugas penyidikan dan penyelidikan sebagaimana

yang diamanatkan oleh KUHAP.

Dalam menjalankan tugas ini, maka polisi berhubungan dengan

institusi peradilan pidana lainnya, yaitu Kejaksaan. Dalam hal inilah

kerap timbul masalah mengenai mekanisme koordinasi pelaksanaan

tugas dalam menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan. Karena

P.18 yang dikeluarkan oleh Kejaksaan, sering tidak dapat dipenuhi oleh

polisi, karena terlalu teknis, misalkan Kejaksaan minta asli dari S.K.

Menteri atau Peraturan Menteri.

Sejalan dengan uraian di atas, peneliti juga melakukan

wawancara langsung dengan Raidmun Lahmudin selaku Kanit Tipikor

di Polres Kota Gorontalo. Dari hasil wawancara dikatakan bahwa proses

penyidikan tindak pidana korupsi di Polres Gorontalo dilaksanakan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan No. 31 Tahun 1999 yang

telah diubah dengan UU RI No. 20 Thn 2001 tentang Tindak Pidana

Korupsi. Adapun inti dari proses penyidikan yakni penyelidikan

informasi yang diterima (terpenuhi syarat-syaratnya), gelar perkara dan

penyidikan (penelusuran perkara).

Dijelaskan pula oleh Raidmun Lahmudin bahwa hambatan-

hambatan yang ditemui pada proses penyidikan kasus tindak pidana

korupsi yakni kesulitan untuk menemukan data-data atau dokumen-

dokumen asli, kesulitan untuk membongkar kasus-kasus pejabat-pejabat

55

tertentu, kesulitan untuk mendapatkan keterangan ahli yang berada di

luar wilayah Gorontalo1.

Sehubungan dengan hambatan yang dihadapi maka pihak

penyidik Polres melakukan koordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum

dan Pengadilan, Pengacara, dan Instansi yang terkait khususnya BPK

sebagai tolak ukur. Pihak kepolisian juga tetap melakukan koordinasi

secara meluas.

Dari data yang diperoleh di Polres Gorontalo diketahui bahwa

dari tahun 2010 sampai 2013 hanya terdapat 1 (satu) kasus tindak pidana

korupsi yang ditangani yakni korupsi bantuan sosial dinas sosial Provinsi

Gorontalo.

4.3 Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan

Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan

disebutkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia. Berdasarkan pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan dijelaskan

bahwa kejaksaaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap

tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Kewenangan

kejaksaan ini contohnya kewenangan yang diberikan oleh Undang-

Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.

1 Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR BpkRaidmun Lahmudin, Tanggal, 5-11-2013.

56

20 Tahun 2001, dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang KPK).

Secara umum Undang-Undang Kejaksaan menjelaskan bahwa

kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana

tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-

undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk

melakukan penyidikan.

Dasar Hukum Kejaksaan dalam melakukan penanganan Tindak

Pidana Korupsi adalah:

1) Kitab undang hukum pidana (KUHP)

2) Kitab hukum acara pidana (KUHAP)

3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang diganti dengan Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

4) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

5) Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Negara

Republik Indonesia.

6) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang.

7) Undang-Undang No, 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara Yang Bersih Dan Berwibawa Dan Bebas Korupsi, Kolusi

Dan Nepotisme.

57

Materi Tindak Pidana Korupsi merupakan bagian dari Hukum

Pidana Khusus dan pihak yang berhak melakukan penyidikan terhadap

pelaku tindak pidana korupsi adalah pihak kejaksaan.

Berdasarkan Pasal 1 KUHAP, penyidikan adalah serangkain

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna

menemukan tersangkanya. 2

Proses penyidikan yang dilakukan oleh Pihak Kejaksaan

terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah bahwa Berdasarkan

Keputusan jaksa Agung RI No. KEP-518/ A/ J.A/11/2001 tanggal 1

November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik

Indonesia No.Kep-132/J.A/11/1994 tanggal 7 November 1994 tentang

Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik penanganan

perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi terungkapnya perkara

korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri atau karena

laporan/informasi seseorang tentang telah terjadinya Tindak Pidana

Korupsi.3

Dalam tahap proses penyidikan di Kejaksaan Negeri Gorontalo

calon peneliti melakukan wawancara langsung dengan Bapak Sukandi

2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3 Keputusan jaksa Agung RI No. KEP-518/ A/ J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang

Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No.Kep-132/J.A/11/1994 tanggal 7

November 1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik penanganan

perkara Tindak Pidana Korupsi.

58

Maku selaku sebagai KASI PIDUS bahwa tahap proses penyidikan

tindak pidana korupsi di kejaksaan secara singkat dilakukan dengan

tahapan berikut :

“a. berawal dari laporan dari masyarakat tentantang dugaan

pidana korupsi,atau diperoleh dari media cetak dan elektronik ataupun

dengan cara mencari informasi sendiri yang dilakukan intelijen

kejaksaan dan laporan dari hasil pengawasan dari instansi pemerintah

tertentu. b.. penyelidikan dilakukan oleh intelijen baik operasi tertutup

tanpa punlikasi dan terbuka dapat di publikasikan. c. penyelidikan dan

penyidikan dilakukan harus disertai dengan penerbitan surat perintah

penyelidikan dan perintah penyidikan. d. minimal dua barang bukti dan

tersangka untuk dilakukan penyidikan. e. proses penyelidikan dan

penyidikan dilakukan berdasarkan ketentuan yang ada dalam KUHAP”.

dari penjelasan beliau maka peneliti dapat menjelaskan bawa

pihak pnyidik kejaksaan dapat memperoleh pengaduan

laporan/informasi dari masyarakat yang mengetahui tentang duagaan

adanya tindak pidana korupsi, dari media cetak surat kabar, dari media

elektronik maupun dengan mencari sendiri kasus-kasus dugaan korupsi

dengan mengutus intelijen. Dalam mencari informasi intelijen dari

kejaksaan beroperasi cenderung melakukan secara tertutup maupun

terbuka.

Operasi tertutup artinya intelijen dalam mencari data dan

keterangan dilakukan tanpa adanya publikasi dan tanpa member tahu

kepada setiap orang atau pihak tertentu yang dimintai informasi tentang

adanya tindak pidana korupsi. Sedangkan tertutup yakni intelijen

mengambil data dan keterangan dengan cara memanggil pihak-pihak

tertentu untuk dimintai informasi, namun hasil dari penyelidikan tetap

dirahasiakan. Hasil penyelidikan kemudian akan dilampirkan dalam

59

bentuk laporan, dimana laporan tersebut berisikan waktu dan tanggal

dari penerimaan informasi, penjelasan tentang dugaan adanya tindak

pidana korupsi dan disertai dengan identitas dari si pengadu/pelapor dan

penerima laporan.

Dalam laporan tentang dugaan tndak pidana korupsi yang

memiliki indikasi kuat bahwa informasi tersebut benar-benar telah

terjadi perbuatan korupsi kemudian akan di tindaklanjuti berdasarkan

ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Namun apabila informasi tersebut

dianggap belum melengkapi unsur-unsur tentang adanya kerugian

Negara, maka kejaksaan wajib mengembalikan laporan tersebut kepada

intelijen untuk dilengkapi. Setelah laporan dianggap sudah lengkap,

maka akan dilanjutkan dengan tahap penyelidikan. tersebut dengan

membentuk tim penyelidik yang kemudian disertai dengan

dikeluarkannya surat perintah penyelidikan.

Surat perintah penyelidikan bila telah diterbitkan, aka akan

dilanjutkan dengan tahap penyelidikan. Pada tahap ini tim penyelidik

akan melakukan penelusuran perkara lebih lanjut apakah perkara

tersebut benar-benar sudah mengandung unsure tindak pidana korupsi

atau belum. Hal ini dapat diketahui dengan mencari dokumen-dokumen

atau data-data yang dianggap penting dan alat-alat bukti lainya menurut

ketentuan dalam undang-undang.

Hasil penyelidikan yang sudah dianggap lengkap kemudian

akan disusun dalam bentuk laporan oleh tim penyelidik kejaksaan dan

60

kemudian hasil penyelidikan akan dipaparkan untuk dikoordinasikan

dalam memberikan kesimpulan apakah hasil penyelidikan tersebut sudah

dapat dilakukan penyidikan. Apabila dianggap sudah benar-benar

lengkap, tim penyelidik kemudian menyerahkan langsung hasil

penyelidikan tersebut kepada pihak penyidik kejaksaan untuk dilakukan

tahap selanjutnya yakni tahap penyidikan perkara.

Tahap penyidikan tidak berbeda jauh dengan tahap

penyelidikan. Sebelum melakukan penyeidikan maka akan dibentuk tim

penyidik yang kemudian akan disertai dengan penerbitan surat perintah

penyidikan. Pada tahap ini tim penyidik akan melakukan panggilan

terhadap saksi dan terdakwa untuk dimintai keterangan-keterangan

perkara korupsi yang sedang dalam pemeriksaan. Dalam pemanggilan

saksi dan tersangka tim penyidik kejaksaan akan memberikan surat

panggilan kepada saksi dan terdakwa selambat-lambatnya tiga hari

sebelum menghadap. Pemanggilan ini juga dapat dilakukan kepada

saksi-saksi ahli untuk dimintai keterangan selanjutnya, dimana

penaganan penyidikan ini tidak jauh berbeda dengan penanganan tindak

pidana umum.

Namun dalam panggilan pertama terdakwa tidak datang

menghadap, maka akan dilakukan surat perintah panggilan ke dua.

Pemanggilan ini dilakukan sebanyak tiga kali. Apabila dalam panggilan

yang ketiga terdakwa belum mengahadap juga. Kejaksaan akan

melakukan jemput paksa terhadap terdakwa.

61

Proses selanjutnya yakni tim penyidik kejaksaan akan

melakukan penyitaan dan penggledahan terhadap surat-surat penting dan

harta benda yang ada sangkut pautnya dengan perkara kerugian Negara

yang sedang ditangani. Sebelum melakukan penggledahan dan

penyitaan, tim penyidik harus memiliki surat izin untuk melakukan

penggledahan dan penyitaan sebagai bukti bahwa penggledahan dan

penyitaan ini benar-benar dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan

perkara pidana korupsi yang sedang berjalan.

Setelah proses penyidikan sudah dianggap lengkap, maka data-

data hasil pemeriksaan akan dicantumkan dalam bentuk Berita Acara

Perkara (BAP) yang ditanda tangani oleh penyidik, saksi, dan terdakwa.

Tahap selanjutnya yakni pemberkasan perkara yang kemudian

dilaporkan kepada kepala kejaksaan negeri untuk di analisis dan diteliti

lebih lanjut apakah kasus ini benar-benar merupakan kasus tindak pidana

korupsi dan untuk membuat rencana dakwaannya.

Dalam analisis tersebut akan ditentukan apakah kasus ini

merupakan kasus tindak pidana korupsi, maka akan dilanjutkan ke tahap

selanjutnya. Namun apabila ditemukan tidak memiliki cukup bukti

bahwa kasus ini bukan merupakan kasus tindak pidana korupsi, dengan

sendirinya kasus ini batal demi hokum. Proses tuntutan perkara akan

dihentikan sebagaimana dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a HUHAP dan

akan dikeluarkan surat penetapan pemberhentian penyidikan (SP3).

Apabila kasus tersebut ternyata merupakan kasus tindak pidana korupsi

62

maka hasil penyidikan akan dilanjutkan dengan tahap penuntutan dan

akan dilimpahkan ke tahap persidangan.

Setelah pemberkasan perkara selesai lalu dibuatlah penyerahan

berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum yaitu

berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2), ayat (3) butir a dan b jo Pasal

110 ayat (1) KUHAP, penyerahan berkas perkara Penyidik Kejaksaan

kepada Penuntut Umum dari Kejaksaan dilakukan dengan cara :

Penerimaan berkas perkara tahap pertama berdasarkan ketentuan Pasal 8

ayat (3), Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 138 KUHAP. Penerimaan berkas

perkara dicatat dalam register Penerimaan Berkas perkara tahap pertama

(RP-10) dan pelaporannya menggunakan LP-6. Berdasarkan Surat

Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana No. B.401/E/9/93 tanggal 8

September 1993, penelitian berkas perkara tahap pertama difokuskan

kepada:

a. Kelengkapan formal, yakni meliputi segala sesuatu yang

berhubungan dengan formalitas/persyaratan, tata cara penyidikan

yang harus dilengkapi dengan Surat Perintah, Berita Acara,

Izin/Persetujuan Ketua Pengadilan. Disamping penelitian kuantitas

kelengkapan syarat formal, perlu diteliti pula segi kualitas

kelengkapan tersebut, yakni keabsahan sesuai ketentuan Undang-

Undang.

b. Kelengkapan material, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan

alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kriteria

63

yang dapat dipergunakan sebagai tolok ukur kelengkapan material

antara lain:

1) Apa yang terjadi (tindak pidana beserta kualifikasi dan pasal

yang dilanggat).

2) Siapa pelaku, siapa-siapa yang melihat, mendengar, mengalami

peristiwa itu (tersangka saksi-saksi/ahli).

3) Bagaimana perbuatan itu dilakukan (modus operandi).

4) Di mana perbuatan dilakukan (locus delicti).

5) Bilamana perbuatan dilakukan (tempus delicti).

6) Akibat apa yang akan ditimbulkannya (ditinjau secara

viktimologis).

Kemudian, dalam instruksi Jaksa Agung RI No. INS-

006/J.A/4/1995 tanggal 24 April 1995 kelengkapan material ini

diformulasikan dengan : 4

a. Adanya fakta perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana

dirumuskan dalam pasal pidana yang bersangkutan.

b. Adanya fakta kesalahan tersangka baik kesengajaan maupun

kealpaan.

c. Adanya alat-alat bukti yang tersedia, paling tidak harus memenuhi

minimum pembuktian (alat bukti) yang sah.

d. Alat bukti yang tersedia harus diteliti mengenai keabsahan dan

kekuatan alat bukti.

4 Instruksi Jaksa Agung RI No. INS-006/J.A/4/1995 tanggal 24 April 1995

64

e. Hubungan timbal balik/korelasi antara alat bukti dengan perbuatan

dan kesalahan tersangka.

f. Kejelasan tentang peran pelaku dalam melakukan tindak pidana

tersebut (modus operandi).

Kemudian, setelah diteliti kelengkapan formil dan materil

sesuai instruksi No. INS-006/J.A/4/1995 tanggal 24 April 1995 dan

Surat Edaran No. B.401/E/9/93 tanggal 8 September 1993, kemudian

Jaksa Peneliti menyerahkan hasil telaah pada hari kelima kepada Kasi

Pidum/Kajari, lalu memberitahukan kepada penyidik pada hari ketujuh

(Pasal 138 ayat (1) KUHAP), dan bila dari hasil telaah tersebut

merupakan Tindak Pidana Khusus, lalu dilimpahkan kepada Pidsus

untuk ditindaklanjuti.

Ketentuan selanjutnya dalam Pasal 8 KUHAP menyatakan

penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak mengurangi

ketentuan lain dalam undang-undang ini. Ayat (1) penyidik

menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Ayat (2)

penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

dilakukan :5

1. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara

5 Kitab Undang Hukum Acara Pidana

65

2. Dalam hal penyidikan sudah dianggap percaya selesai, penyidik

menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti

kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (3) KUHAP)

Apabila dari hasil analisis perkara tersebut Penuntut Umum

beranggapan bahwa hasil penyidikan sudah dianggap lengkap,

penyidik kemudian menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan

barang bukti kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat (3) sub b KUHAP)

atau P-21. Akan tetapi, apabila hasil penyidikan tersebut ternyata

belum lengkap, jaksa penuntut umum akan mengluarkan Surat Hasil

Penyidikan Belum Lengkap dalam bentuk: P-18 dan Penuntut Umum

mengembalikan berkasa perkara kepada penyidik disertai petunjuk

tentang petunjuk yang harus dilakukan untuk dilengkapi dalam bentuk

P-19 dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan

berkas penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara

itu kepada Penuntut Umum (Pasal 14 huruf b, Pasal 110 ayat (2), (3)

dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP).

Pada dasarnya pengembalian berkas perkara kepada penyidik

untuk dilengkapi sesuai hasil penelitian disertai petunjuk secara cermat

yang menyangkut penerapan hukumnya, jelas dalam hal ini mudah

dimengerti penyidik dan tidak berbelit-belit dan lengkap dengan tidak

akan ada petunjuk susulan lagi kecuali diperlukan pengembangan lebih

petunjuk susulan lagi kecuali diperlukan pengembangan lebih lanjut

sesuai ketentuan Pasal 138 ayat (2) jo Pasal 110 ayat (2) dan (3)

66

KUHAP. Apabila dalam waktu sepuluh hari sejak penyidikan

tambahan telah dilakukan bentuk formulirnya adalah P-20.

Kemudian, setelah penyidikan tambahan tersebut telah

dilakukan penyidik, apabila penyidikan dianggap sudah lengkap,

Kejaksaan lalu memberitahukan bahwa hasil penyidikan sudah

lengkap dan minta agar tersangka dan barang bukti segera diserahkan

dan akan dibuat dan diajukan rendak (Rencana Dakwaan) dengan

bentuk P-21 dan RP-11. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai,

penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti

kepada Penuntut Umum.

Istilah hasil penyidikan dipergunakan antara lain dalam Pasal

110 dan 138 KUHAP. Istilah hasil penyidikan telah dipergunakan

dalam KUHAP, namun KUHAP tidak menjelaskan apa yang dimaksud

dengan hasil penyidikan tersebut. Apabila hasil penyidikan dalam

Pasal 110 ayat (2) kita kaitkan dengan ketentuan Pasal 8 KUHAP,

maka nampaknya pembentuk undang-undang mengartikan istilah hasil

penyidikan itu adalah berkas perkara. Hal ini tertangkap dari redaksi

Pasal 110 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal

penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera

menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.

Sejalan dengan peraturan perundang-undangan, peneliti juga

melakukan wawancara dengan pihak Kejaksaan tentang penyidikan

perkara di Kejaksaan Negeri Gorontalo. Dari hasil wawancara

67

dijelaskan bahwa pelaksanaan proses penyidikan di Kejaksaan bahwa

penyidik kejaksaan tetap saling berkoordinasi dengan pihak kepolisian

dan komisi tindak pidana korupsi (KPK).

Mengenai berakhirnya penyidikan, bahwa penyerahan

tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dilaksanakan oleh

penyidik setelah penyidikan dianggap selesai. Penyidikan baru

dianggap selesai apabila dalam batas waktu 14 hari penuntut umum

tidak mengembalikan berkas perkara, atau sebelum berakhirnya batas

waktu tersebut tidak ada pemberitahuan dari penuntut umum kepada

penyidik bahwa hasil penyidikan sudah lengkap atau belum.

Dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di

lingkungan Kejaksaan Negeri Gorontalo, jaksa selaku penyidik juga

mendapat kendala dalam melakukan penyidikan tersebut. Hasil

penelitian yang sudah saya lakukan di lingkungan Kejaksaan Negeri

Gorontalo sudah membahas sedikit banyaknya kendala jaksa dalam

melakukan penyidikan. Yang utama dari kendala atas penyidikan

tersebut terletak pada alat bukti, saksi, terdakwa kasus tindak pidana

korupsi.

Ketentuan dalam Pasal 33 UU No. 16 Tahun 2004

menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,

Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak

hukum dan keadilan sera badan negara atau instansi lainnya”. Adalah

menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang

68

penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina

kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan

keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem

peradilan pidana terpadu.

Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui koordinasi

horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan

tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kerja

sama antara Kejaksaan dengan instansi penegak hukum lainnya

dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai

dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan

tidak memihak dalam penyelesaian perkara.

Menurut ketentuan hukum positif di Indonesia, ada beberapa

instansi atau lembaga lain untuk melakukan koordinasi dengan

Kejaksaan yaitu pihak kepolisian, tim koordinasi Pemberantasan

Tindak Pidana Koruspi (Tim Tastipikor), Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (KPK), Badan Pengawas Keuangan dan

Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan

Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum. Tetapi

ada lembaga lain bisa ikut membantu pihak Kejaksaan dalam

melakukan penyidikan yaitu Pihak Bank misalnya pemblokiran

rekening tersangka mengenai penyitaan barang bukti. Begitu juga

69

halnya di lingkungan Kejaksaan Negeri Gorontalo, jaksa melakukan

koordinasi dengan instansi lain.6

Pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh jaksa penyidik di lingkungan Kejaksaan Negeri

Gorontalo pada tahun 2009-2012 yang dijadikan sampel proses

penyidikan kejaksaan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.2

Data Kasus Korupsi Di Kejaksaan Negeri Gorontalo Tahun 2009-2012

Tahun Penyelesaian Penanganan Keterangan

2010

Aris Umar

Ajis Rajab

Yanson Lasalewo

Tututan

Tututan

Penghentian

Penyidikan

Kasasi

Inkracht

SP3

2011

Alwin Husada,dkk.

Sujarno Aermas, dkk.

penyidikan

penyidikan

Perhitungan

kerugian negara

Perhitungan

kerugian negara

2012

Semi Dj. Salim

Adan Dumbi

Darwis Salim

Syafrudin Djamil

Hadija Doyah

penyidikan

penyidikan

tuntutan

tuntutan

penyidikan

Lab bang Dik

Pemberkasan

Sidang

Sidang

Pemberkasan

2013 - - -

4.4 Perbandingan Proses Penyidikan Oleh Kepolisian Dan Kejaksaan

Dalam undang-undang diatur bahwa kepolisian bisa berperan

sebagai penyelidik dan penyidik (KUHAP pasal 1 ayat 4 dan PP No. 27

Tahun 1983) kemudian dinyatakan bahwa jaksa juga bisa berperan sebagai

penyelidik dan penyidik (Undang-Uundang Kejaksaan No. 16 Tahun 2002).

6 Hasil Wawancara Dengan KASI PIDUS Bpk. Sukandi Maku, Tanggal, 19-11-2013

70

Penyidik Polri adalah pejabat Polri tertentu paling rendah

berpangkat pembantu letnan II atau ajun inspektur polisi II yang

ditunjuk/diangkat Kapolri. Jadi tidak setiap anggota POLRI dengan pangkat

AIPDA bertindak selaku penyidik melainkan terbatas hanya pejabat POLRI

yang ditunjuk/diangkat oleh KAPOLRI atau pejabat lain yang mendapat

pelimpahan wewenang KAPOLRI. Wewenang penyidik POLRI dapat

dilihat dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP.

Penyidik PNS adalah PPNS tertentu paling rendah berpangkat II/b

yang diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul departemen yang

membawahi PPNS bersangkutan. Wewenang penyidik PPNS sesuai

dengan Undang-Uundang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing

dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan

pengawasan penyidik POLRI Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Sebagai contoh

mengenai wewenang Penyidik PPNS yaitu :

Penyidik Pembantu adalah pejabat tertentu paling rendah

berpangkat Sersan Dua (Brigadir II) dan PPNS tertentu di lingkungan

POLRI paling rendah berpangkat golongan II/a yang diangkat selaku

Penyidik Pembantu oleh KAPOLRI. Syarat kepangkatan dan pengangkatan

penyidik sebagai penyidik pembantu diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983

Bab II Pasal 2 dan Pasal 3 yang telah diubah dan diatur dalam PP No. 58

Tahun 2010 jo Keputusan MENKEH NO. M.08 UM.01.06 Tahun 1983

tanggal 16 Desember 1983 tentang Pelimpahan Wewenang Pengakatan

Penyidik PPNS. Penyidik pembantu hanya dikenal dan berlaku di

71

lingkungan POLRI dan mempunyai wewenangyang sama dengan penyidik

POLRI kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan

pelimpahan wewenang dari penyidik (Pasal 11 KUHAP).

Penyidikan di Kejaksaan disesuai dengan ketentuan UU No. 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, maka tugas pokok Kejaksaan RI melalui

para jaksanya adalah bertindak untuk dan atas nama negara selaku penuntut

umum di depan sidang Pengadilan Negeri. Akan tetapi menurut Pasal 284

ayat (2) KUHAP jo. PP No. 27 Tahun 1983 Bab II yang telah di ubah dalam

telah diubah dan diatur dalam PP No. 58 Tahun 2010 Pasal 17 untuk

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu yang mempunyai

ketentuan khusus acara pidana, selain ditugaskan kepada penyidik yang

diatur dalam KUHAP, ditugaskan pula kepada jaksa sehingga di lingkungan

kejaksaan (Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri) terdapat

jaksa-jaksa yang ditugaskan sebagai penyidik yang dikenal sebagai Jaksa

Penyidik yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana

khusus (tertentu).

Tindak pidana khusus yaitu tindak pidana yang diatur dalam

undang-undang tertentu yang didalamnya terdapat ketentuan khusus acara

pidana, misalnya Undang-Uundang No. 7 Drt. 1955 jo UU No. 8 Drt. 1958

yang dikenal dengan Undang-Uundang Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE),

Undang-Uundang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang telah diubah dan diganti dengan Undang-Uundang No. 31

Tahun 1999 Jo. Undang-Uundang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

72

atas Undang-Uundang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, Undang-Uundang No. 11/PNPS/1963 tentang

Pemberantasan Kegiatan Subversi dan lain-lain berdasarkan Undang-

Uundang yang didalamnya terdapat ketentuan khusus acara pidana. Undang-

Uundang subversi tersebut telah dicabut berdasarkan Undang-Uundang No.

26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Uundang No. II/PNPS/Tahun

1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, karena dianggap

bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara hukum.

Adapun proses penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan

oleh kepolisian dan kejaksaan memiliki perbandingan baik dari persamaan

dan perbedaan dalam melakukan pemeriksaan perkara korupsi. Dalam tahap

proses penyidikan yang ada di kepolisian dan proses penyidikan yang ada di

kejaksaan tidak jauh berbeda. Pemeriksaan penyidik kepolisian dan penyidik

kejaksaan menggunakan langkah yang sama yakni dengan berdasarkan

proses penyidikan yang sudah ditetapkan dalam Kitab Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) dengan tugas dan wewenangnya masing-masing.

Dengan demikian dasar hukum yang digunakan dalam penyidikan oleh

kedua instansi tersebut yakni sama-sama mengacu pada Kitab Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Namun adapun perbedaan yang ditemui oleh penulis dari penyidik

kepolisian dan penyidik kejaksaan selaku penyidik tindak pidana korupsi.

Dalam hal ini mengenai struktur organisasi jumlah personil yang terlibat

dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi. Pada instansi kepolisian Kota

73

Gorontalo penyidik tindak pidana khusus bagian korupsi beranggotakan 4

(empat) personil dan pada umumnya struktur organisasi yang ada di

kepolisia sipilih langsung oleh kapolres Gorontalodan bersifat tetap. 7

Sedangkan struktur organisasi yang ada di Kejaksaan Negeri

Gorontalo hanya beranggotakan 3 (tiga) personil dan tidak bersifat tetap

sebab pada suatu waktu dapat berubah-ubah. Karena dalam instansi

kejaksaan tidak ada perbedaan antara satu dan lainya semua berhak

melakukan penyidikan selama orang tersebut telah di tunjuk oleh Kepala

Kejaksaan Negeri baik saat itu juga dan dipercayayi mampu dalam

melakukan penyidikan perkara tindak pidana khusus terutama korupsi. Maka

sejak itulah orang tersebut berkewenangan penuh dalam melakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana khusus.8

Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah kasus Tindak Pidana

Korupsi yang ditangani oleh Polres Gorontalo sejak tahun 2010 sampai

Tahun 2013 sebanyak 1 (satu) kasus, sedangkan jumlah kasus Tindak Pidana

Korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Gorontalo sejak Tahun 2010

sampai Tahun 2013 sebanyak 10 (sepuluh) kasus. Proses penyidikan perkara

yang ada di kepolisian juga lebih membutuhkan waktu yang cukup lama

dibandingkan proses penyidikan yang ada di kejaksaan. Dalam penanganan

penyidikan perkara di kepolisian membutuhkan waktu kurang lebih 8 bulan

dan di kejaksaan membuthkan kurang lwbih minimal 6 bulan. Walaupun

proses penyidikan tindak pidana tidak memiliki batas waktu yang tidak tetap

7 Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR BpkRaidmun Lahmudin, Tanggal, 5-11-2013.

8 Hasil Wawancara Dengan KASI PIDUS Bpk. Sukandi Maku, Op.Cit.

74

seperti halnya pidana umum, namun dapat terlihat jelas bahwa penyidik

Kejaksaan Negeri Gorontalo lebih banyak berperan dalam menangani kasus

Tindak Pidana Korupsi di bandingkan penyidik Polres Gorontalo.

Menurunnya peranan penyidik kepolisian dalam menangani

perkara Tindak Pidana Korupsi, tentu tidak lepas dari faktor-faktor yang

diantaranya adalah kesulitan dalam memperoleh data atau dokumen-

dokumen asli pada saat penyidikan berlangsung. Sebab dalam Tindak

Pidana Korupsi dokumen-dokumen asli tersebut merupakan salah satu alat

bukti utama selain tersangka dan saksi. Selain itu faktor moral juga sangat

mempengaruhi penegakan hukum, karena tindakan penegak hukum yang

tegas terhadap hukum sangat mempengaruhi keberhasilan penanganan suatu

tindak pidana.9

Selain itu yang membedakan penyidikan yang ada di kepolisian

dan kejaksaan yakni mengenai prosedur pelaksanaan gelar perkara. Dalam

melakukan gelar perkara penyidik kepolisian mengundang kejaksaan dan

pengacara dan instansi yang terkait khususnya Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK). Badan Pemeriksa Keuangan sbagai tolak ukur untuk menentukan

kesimpulan apakah perkara tersebut layak dilanjutkan ke tahap selanjutnya

atau akan di berhentikan dalam hal ini perkara bisa saja ditutup jika ditemui

perkara tersebut ternyata tidak mengakibatkan adanya kerugian Negara. 10

Sedangkan dalam lingkungan kejaksaan, gelar perkara yang

dilakukan oleh penyidik kejaksaan tidak mengundang kepolisian, dan Badan

9 Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR BpkRaidmun Lahmudin, Tanggal 19-12-2013

10 Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR Bpk. Raidmun lahmudin, Op.Cit

75

Pemeriksa Keuangan (BPK). Hanya dilakukan di kalangan jaksa saja. Sebab

dalam perhitungan kerugian Negara, penyidik kejaksaan menyerahkan

langsung kepada pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kejaksaan akan

mengundang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) apabila dalam penyidikan

kasus tindak pidana mengalami kendala dalam menentukan jumlah kerugian

uang Negara, sehingga kejaksaan membutuhkan bantuan audit dari BPK.11

Dalam melakukan tugas dan wewenangnya sebagai penyidik,

kepolisian dan kejaksaan tentunya memiliki cara-cara tersendiri untuk

mempercepat penyidikan agar perkara korupsi tersebut cepat terselesaikan.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pastinya dalam melaksanakan

tugasnya sebagai penyidik, kedua instansi tersebut sering mengalami

kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang dapat memperlambat proses

penyidikan perkara. Hal ini juga dapat memberikan perbedaan proses

penyidikan perkara korupsi yang ada di kepolisian dan di kejaksaan.

Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh penyidik kepolisian

Kota Gorontalo yang berhasil di wawancarai oleh penulis yakni :12

1. Menemukan data-data atau dokumen-dokumen asli

2. Membongkar kasus-kasus pejabat-pejabat tertentu

3. Untuk mendapatkan keterangan ahli yang berada di luar wilayah

Gorontalo.

11

Hasil Wawancara Dengan KASI PIDUS Bpk. Sukandi Maku, Tanggal, Op.Cit 12

Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR Bpk. Raidmun Lahmudin, Op.Cit

76

Hambatan-hambatan inilah yang sering ditemui oleh penyidik

kepolisian dalam mengusut perkara tindaak pidana korupsi, sebab pada

masaalah pertama, untuk menemukan data-data dan dokumen-dokumen asli

biasanya pelaku-pelaku yang terkait dengan sengaja menghilangkannya

sebelum proses penyelidikan dan penyitaan dilakukan. Contoh kecilnya

yakni data-data yang terrdapa di dalam computer. Bisa saja langsung

dihapus sehingga data-data tersebut hilang.

Kendala yang kedua yang dapat menyebabkan proses penydikan

menjadi lambat yakni membongkar kasus-kasus pejabat-pejabat tertentu.

sebab dalam melakukan pemeriksaan, yang menjadi alasan utama agar

pejabat tersebut tidak diperiksa yakni karena tugas keluar daerah dengan

waktu yang tidak jelas. Sehingga penyidik harus menunggu waktu yang

lama untuk melakukan pemeriksaan.

Ketiga yang menjadi kendala kepolisian dalam melakukan

penyidikan yakni keterangan ahli yang berada diluar daerah. Kesulitannya

yaitu untuk mendatangkan saksi ahli untuk dimintai keterangan-keterangan

tentang kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani.

Demikian juga pemeriksaan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan tidak jauh berbeda

dengan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik

kepolisian yang ada di kepolisian.

77

Adapun kendala-kelndala yang sering dihadapi oleh penyidik

kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yaitu :13

1. Alat bukti

2. Saksi

3. Terdakwa

4. Kurangnya personil kejaksaan

5. Lamanya perhitungan kerugian Negara

Dalam hal alat bukti yang menjadi kendala adalah bahwa alat bukti

tersebut sering ditemukan hilang oleh jaksa untuk membantu proses

penyidikan baik itu alat bukti yang sengaja dihilangkan oleh terdakwa

maupun alat bukti yang sudah habis atau tidak sepenuhnya habis dipakai

oleh terdakwa, sehingga untuk mendapatkan keterangan alat bukti tersebut

jaksa melakukan upaya paksa terhadap saksi yang berkaitan terhadap alat

bukti tersebut untuk menggantikan keterangan-keterangan yang membantu

proses penyidikan.

Mengenai saksi yang menjadi kendala dalam proses penyidikan

tindak pidana korupsi adalah bahwa saksi yang berada di luar daerah. Dalam

memperoleh keterangan saksi, penyidik Kejaksaan Negeri Gorontalo harus

melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan kejaksaan luar di mana saksi

berada. Koordinasi ini juga memakan waktu cukup lama melihat kesibukan

jaksa luar. sering saksi juga tidak ditemukan berada di tempat pada saat

13

Hasil Wawancara Dengan KASI PIDUS Bpk. Sukandi Maku, Op.Cit

78

akan di temui, sehingga penyidik kejaksaan membutuhkan waktu yang

cukup lama untuk memperoleh keterangan saksi tersebut.

Kendala lain yaitu mengenai terdakwa yang sering juga

memberika data dan keterangan yang berbelit-belit, terdakwa sering dalam

keadaan sakit apabila dilakukan penyidikan terhadap dia sehingga

memperlambat proses penyidikannya dan terdakwa sering melarikan diri

apabila dilakukan penyidikan terhadap dia. Sehingga jaksa melakukan

upaya yaitu jaksa melakukan pembantaran terhadap terdakwa yang sakit

untuk di rawat dirumah sakit tetapi tidak mengurangi masa tahanannya dan

melakukan pengejaran untuk menangkap terdakwa yang melarikan diri

dengan melakukan kerja sama dengan pihak kepolisian.

Kurangnya personil penyidik kejaksaan juga sangat mempengaruhi

proses penyidikan. personil Kejaksaan Negeri Gorontalo yang bergerak

dalam penyidikan Tindak Pidana Korupsi hanya berjumlahkan tiga personil.

Ketiga personil ini selain sebagai penyidik mereka juga berperan sebagai

penyelidik. Sehingga penyidik kejaksaan merasa kesulitan karena selain

untuk melakukan penyelidikan mereka juga harus ekstar bekerja keras

melakukan penyidikan dengan berbagai kendala-kendala selalu di temukan

dilapangan.

Perhitungan kerugian Negara yang membutuhkan waktu yang

cukup lama juga sering menjadi hambatan proses penyidikan tindak pidana

korupsi. Sebab perhitungan kerugian negar merupakan inti dari pemeriksaan

perkara korupsi. Karena suatu perkara dapat dikatakan sebagai tindak pidana

79

korupsi apabila tindakan tersebut dapat merugikan keuangan Negara

ataupun daerah. Sehingga dalam melakukan perhitungan kerugian Negara

harus benar-benar dialkukan dengan teliti walaupun harus membutuhkan

waktu yang cukup lama.

Adapun upaya yang dilakukan untuk mempercepat penyidikan oleh

penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan dalam mengusut kasus-kasus

tindak pidana korupsi yakni dengan melakukan kerjasama dan saling

koordinasi satu sama lain. Baik dari kepolisian kekejaksaan ataupun dari

kejaksaan ke kepolisian. Selain itu, sangat di perlukan juga partisipasi dari

seluruh kalangan baik dari instansi-instansi yang terkait dan bahkan

masyarat.

Dilihat dari sudut pandang pendekatan hukum, dasar hukum yang

digunakan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana di Indonesia

sebenarnya sudah dapat dikatakan cukup memadai. Karena sudah

diberlakukannya sejumlah peraturan perundang-undangan yang sifatnya anti

korupsi. Antara lain Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan

nepotisme, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Suap, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sudah dicabut dengan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan saat ini sudah diganti lagi dengan

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi.

80

Selain dari undang-undang tersebut masih juga diberlakukan

Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negri

Sipil. Dengan mengaacu pada Undang-Undang No. 28 Tahun 1989, maka

subjek hokum yang diatur menyangkut seruh penyelenggara negarayang

berasal dari lembaga tertinggi Negara, lembaga tinggi Negara sampai

gubernur, walikota, bupati, Pemimpin Proyek (PIMPRO), direksi badan

usaha milik Negara/Daerah (BUMN/D), jaksa dan hakim. Seluruh perangkat

hukum yang diatur dalam berbagai undang-undang tersebut sudah sangat

kuat untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi.14

Namun dalam praktiknya, permasalahan pemberantasan korupsi

tidak cukup hanya dilakukan dengan pendekatan hokum semata-mata.

Karena penyakit ini sudsash menyebar luas keseluruh tatanan social dan

pemerintahan hampir di banyak Negara. Oleh karena itu pendekatan yang

dilakukan tidak hanya semata-mata bersifat represif, tetapi juga harus

bersifat preventif dan rehabilitative. Pendekatan preventif yang ampuh

adalah antara lain dengan menciptakan iklim kerja yang sehat dalam lingkup

tugas pemerintahan baik ditingkat pusant dan ditingkat daerah. Tanpa

langkah preventif yang dimaksud maka pemberantasan korupsi hanya akan

berhasil mengatasi gejala saja dan bukan menghancurkan akar penyebabnya

yang tumbuh subur di kalangan masyarakat.15

14

Romli Atmasasmita, 2002. Op.Cit. hlm. 13 15

Ibid, hlm. 14