Upload
truongthien
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
24
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Desa Tegalrejo Kota Salatiga
Desa Tegalrejo adalah sebuah desa yang termasuk dalam wilayah
Kecamatan Argomulyo. Luas wilayah Desa Tegalrejo 1.884 Km2. Di sebelah
barat berbatasan dengan Kelurahan Mangunsari dan Desa Kumpulrejo, di
sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Ledok dan Kelurahan
Gendongan. Di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Kalicacing
sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Randuacir. Desa
Tegalrejo terbagi dalam 9 RW dan 58 RT. Desa Tegalrejo termasuk dataran
tinggi sehingga memiliki hawa yang sejuk. Keadaan alam Desa Tegalrejo
berupa kebun atau tegalan. Tanahnya tidak banyak mengandung air sehingga
kurang baik ditanami padi. Kebanyakan masyarakatnya menanami tanahnya
dengan tanaman ketela.
Jumlah penduduk 12.461 jiwa terbagi dalam 56.348 jiwa laki-laki dan
6.124 jiwa perempuan. Dari jumlah penduduk itu terbanyak pada usia 25
tahun – 29 tahun yaitu sejumlah 1.376 jiwa, diikuti berturut-turut usia 30
tahun – 34 tahun sejumlah 1.351 jiwa, yang berarti banyak orang berusia
produktif. Disusul usia 5 tahun – 9 tahun sebanyak 1.011 jiwa, ini berarti
angka kelahiran di Desa Tegalrejo cukup tinggi.
Jumlah rumah ibadah di Kelurahan Tegalrejo terdapat 7 masjid, 5
gereja dan 1 wihara. Jumlah penduduk yang memeluk agama Islam ada
25
8.932 jiwa, Kristen Protestan 2.491 jiwa, Katolik 976 jiwa, Budha 37 jiwa,
sedangkan Hindu ada 28 jiwa. Kehidupan keagamaan sangat kondusif, antara
pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain saling
menghormati. Sikap hormat menghormati ini bisa dilihat dari hidup
keseharian maupun ketika merayakan hari besar keagamaan. Ketika umat
islam merayakan hari besar Islam, umat Kristen biasa untuk mengucapkan
selamat, begitu juga sebaliknya.
Tingkat pendidikan di wilayah Kelurahan Tegalrejo tamatan SLTA
merupakan jumlah tertinggi, sejumlah 4.329 orang. Tamatan SLTP sejumlah
1.649 orang, Strata 1 sejumlah 1.323 orang, tamatan SD sejumlah 1.220
orang. Diikuti Diploma III 524 orang, Diploma I 136 orang, Strata 2 101
orang dan Strata 3 sejumlah 5 orang. Angka pengangguran di wilayah
Kelurahan Tegalrejo tergolong tinggi sejunlah 2.248 orang menganggur.
Namun sebagian besar penduduk bekerja sebagai karyawan swasta sejumlah
2.123 orang. Mereka tersebar pada industri tekstil, garmen, industri rokok
yang ada di Salatiga maupun disekitarnya seperti Ungaran, Semarang dan
Boyolali. Diikuti wiraswasta, TNI, buruh bangunan, Pegawai Negeri,
pedagang, dosen, jasa angkutan , dan pengusaha kecil. ( Data Monografi
Kependudukan dan Pencatatan Sipil kelurahan Tegalrejo Kecamatan
Argomulyo tahun 2017 bulan Maret )
Adat istiadat atau tradisi yang masih berlangsung dan dipelihara
keberadaannya sampai sekarang ini misalnya tradisi saparan yang
dilaksanakan pada bulan Jawa Sapar (bulan dalam perhitungan jawa),
26
ruwahan (bulan dalam perhitungan jawa) yang dilaksanakan pada bulan
Jawa Ruwah. Jenis kesenian tradisional yang ada dan juga dipelihara
keberlangsungannya di Desa Tegalrejo adalah kesenian prajuritan, yang
merupakan sendra tari kas asli dari tegalrejo yang sudah diakui oleh
pemerintah kota Salatiga. Kelompok kesenian ini sekarang diberi nama
Lestari Budi Tamtama. Kesenian prajuritan ini digolongkan menjadi dua
yaitu satu kelompok bagi usia anak-anak dan satu kelompok lagi bagi yang
sudah dewasa. Selain tari prajuritan terdapat juga seni-seni yang lain yang
berkembang di dusun tegalrejo yaitu:
1. Seni tari kuda lumping
2. Seni tari tari gambyong
3. Paguyuban kerawitan remaja-remaja
4. Paguyuban ketoprak
(Wawancara/Ngatemin (68)/07/02/2017).
Kegiatan-kegiatan yang berkembang di dusun tegalrejo berupa seni-
seni tradisional selama ini masih berjalan dan masih aktif. Semua kegiatan-
kegiatan yang bersifat melestarikan kebudayaan jawa sampai saat ini masih di
dukung dari pihak warga dan masyarakat.
Untuk menuju Desa Tegalrejo dari pusat Kota Salatiga kira-kira
berjarak 5 km. Sangat mudah untuk menemukan Desa Tegalrejo, karena dari
pusat kota sudah ada angkutan umum (angkota) yang menuju Desa Tegalrejo.
27
B. Terjadinya Desa Tegalrejo Kota Salatiga
Sebuah tradisi yang ada di suatu daerah tidak akan terlepas dari
masyarakat pendukungnya. Masyarakat disini bisa dari masyarakat yang
hidup pada masa yang lalu sampai masyarakat yang hidup pada jaman kini.
Demikian juga tradisi saparan (menyongsong datangnya bulan sapar dalam
perhitungan Jawa) di Desa Tegalrejo Kota Salatiga tidak bisa dilacak tanpa
harus menyertakan masyarakat pendukungnya yang pada waktu itu telah
membentuk terjadinya Desa Tegalrejo. Oleh karena itu sebelum menguraikan
tradisi saparan (menyongsong datangnya bulan sapar dalam perhitungan
Jawa) di Desa Tegalrejo Kota Salatiga penulis akan menuliskan terlebih
dahulu sejarah terbentuknya Desa Tegalrejo Kota Salatiga.
Menurut Ngatemin selaku informan sekaligus sesepuh setempat,
sejarah terjadinya Desa Tegalrejo diawali dari sekitar tahun 1800 an yaitu
sebelum pecahnya perang Diponegoro. Pada waktu itu Kerajaan Kartasura
sedang berperang melawan Belanda. Karena tidak imbang dalam persenjataan
maka pasukan dari Kartasura kewalahan menghadapi pasukan Belanda.
Banyak prajurit Kartasura yang gugur dalam peperangan tersebut dan
banyak pula yang melarikan diri untuk mengungsi. Dalam pelariannya itu
banyak prajurit yang menggunakan nama samaran. Penggunaan nama
samaran oleh para prajurit yang mengungsi serta rakyat yang menyertainya
mempunyai tujuan untuk menghindarkan diri dari kejaran prajurit Belanda.
Salah satu dari pengungsi yang menyamar adalah Kyai Sufi, yang sebenarnya
bernama Pangeran Purbaya/ Kertapati. Kertapati ini adalah salah seorang
28
prajurit Kartasura yang berasal dari desa Nguwangga, perbatasan antara
Klaten dan Kartasura.
Berhubung Kyai Sufi merasa lelah dan sakit, maka beristirahatlah ia
di bawah pohon beringin, selanjutnya Kyai Sufi memutuskan untuk menetap
di daerah tersebut. Daerah tersebut selanjutnya diberi nama Desa Selara dari
kata kesel lan lara ( lelah dan sakit ). Setelah sekian lama hidup dan menetap
di Desa Selara, akhirnya Kyai Sufi meninggal di desa tersebut karena usia
lanjut. Jasadnya dimakamkan pada desa yang sama. Sebelum meninggal
Kyai Sufi sempat berpesan kepada putranya bahwa makamnya kelak
tidak boleh dibuatkan cungkup. Oleh karena itu makamnya keturunan Kyai
Sufi sampai sekarang tidak ada yang dicungkup.
Seiring dengan berjalannya waktu, penduduk yang mendiami Desa
Selara semakin lama semakin bertambah banyak dan desa tersebut semakin
ramai. Oleh karena itu, salah seorang putra dari Kyai Sufi memiliki gagasan
untuk memilih seorang pemimpin agar pemerintahan desa tersebut dapat
berjalan dengan baik. Sehubungan dengan hal itu, dilakukanlah pemilihan
kepala desa yang pertama di Desa Selara.
Pada pemilihan kepala desa yang pertama itu, Singayudha (cucu dari
Kyai Sufi) terpilih sebagai kepala desa. Atas usulnya, Desa Selara diganti
nama menjadi Desa Tegalrejo, karena disesuaikan dengan keadaan desa yang
berupa tanah ladang (jawa: tegalan) yang sudah menjadi ramai (jawa: rejo).
Sedangkan untuk menghormati kakeknya yang telah tiada dan sebagai pendiri
Desa Selara maka pasarean atau makam di Desa Selara yang kemudian
29
disebut Tegalrejo dinamakan makam Sufi.
Pada saat itu Sumur Bandung merupakan sumber air satu-satunya
yang ada di Desa Tegalrejo, maka oleh penduduk sekitar sumber air ini
sangat dijaga keberadaannya, dan pada waktu-waktu tertentu dibersihkan
dengan teratur secara bergotong royong. Sumur Bandung ini ada pula yang
menyebut sumur Wali karena konon ceritanya sumur ini pernah digunakan
sebagai persinggahan dan bertapa oleh salah seorang dari Wali Sanga, ada
pula yang menyebut sumur Gandhul karena kedudukan sumur ini terletak di
atas sungai (nggandhul). Anehnya walaupun sungai yang ada dibawahnya
kering ketika musim kemarau, sumur ini tidak pernah kering.
Sebagai kepala desa, Singayuda tetap meneruskan kebiasaan-kebiasaan yang
telah dilakukan oleh leluhurnya seperti mengingat siapa cikal bakal penduduk
desa Tegalrejo, menjaga dan membersihkan sumber air, menjaga keamanan
lingkungan dan kerja bakti, serta menjaga kerukunan dan keguyuban dengan
mengumpulkan warga di balai desa dengan hiburan kesenian tayub dan
prajuritan. Kesenian tayub dan prajuritan ini merupakan kesenian yang harus
ada, dan tidak boleh digantikan dengan bentuk kesenian yang lain karena
konon ceritanya tayub ini merupakan kesenian kesukaan dari Kyai Sufi. Maka
tidak heran lagi jika di desa Tegalrejo tidak pernah menampilkan atau
nanggap kesenian lain terutama wayang kulit, karena Kyai sufi tidak suka.
Menurut penuturan warga pernah beberapa kali ada warga yang nanggap
wayang kulit rumahnya terbakar habis, yang pasti akan terkena bencana jika
menampilkan wayang kulit di Desa Tegalrejo. Maka sampai sekarang ini
30
tidak pernah lagi masyarakat tegalrejo menampilkan kesenian wayang kulit.
Kebiasaan-kebiasaan itu kemudian dilaksanakan setiap tahun sekali yaitu
pada bulan Jawa Sapar, maka tradisi itu oleh masyarakat sekarang disebut
tradisi saparan. (Wawancara/Ngatemin (68)/09/02/2017).
C. Seni Tari Prajuritan Kelurahan Tegalrejo
Seni Tari Prajuritan pertama dibentuk pada tahun 1959. Sebelum
dikenal dengan nama Prajuritan awalnya dikenal dengan nama jatilan, karena
semakin banyak anggota dan semakin banyak yang menyukai seni tari
tersebut maka seni tari tersebut banyak bertambah anggotanya, dikreasikan
dan disebut dengan ndeng thek. Setelah itu seni tari ini semakin lama semakin
maju dan semakin berkembang maka pada akhirnya seni tari ini dinamakan
seni tari Prajuritan hingga sampai sekarang ini kelompok tarian ini diberi
nama Lestari Budi Tamtama . Seni tari prajuritan hanya ada dan khas di
tegalrejo bahkan satu-satunya di Salatiga, adapun yang dianggap mirip seni
prajuritan yaitu seni kuda lumping atau disebut reog yang ada di Salatiga
karena tari prajuritan ini menggunakan jaran kepang yang dipakai pada saat
menari. (Wawancara/Ngatemin (68)/09/02/2017).
Namun ada ciri khas tersendri yang jelas dilihat membuat seni
prajuritan ini berbeda dengan seni tari yang menggunakan jaran kepang, yaitu
yang diutamakan dalam prajuritan adalah keseniannya atau murni keindahan
seni tarinya. Karena pada umumnya seni tari kuda lumping yang diutamakan
adalah mabuknya atau biasa orang menyebut dengan kesurupan. Namun pada
31
kenyataannya memang seni yang berbau jaran kepang terkesan magis, pada
saat Prajuritan dipentaskan terkadang juga pun pemain seni tarian ini juga
pernah mengalami yang namanya kesurupan namun secara tidak sengaja
karena pada dasarnya pada seni tari kuda lumping pada saat kesurupan
memang sengaja dibuat mabuk dengan mengisi roh halus kedalam
pemainnya. Konon sebelum membentuk grup jatilan ini dulunya pada saat
jatilan belum mempunyai jaran kepang, desa ini masih meminjam jaran
kepang dari mbah Jomakowan yang dibawa dari banyuwangi. Menurut
Ngatemin yang merupakan sesepuh desa ini merupakan jaran kepang yang
ampuh dan luar biasa bahkan dibakar pun tidak terbakar karena memang sakti
dan kuat jaran kepang ini. Menurut cerita dari Ngatiman dulu pada saat mbah
Jomakowan meninggal, jaran kepang ini diletakkan di tembok rumah karena
tidak ada orang yang bisa merawat jaran kepang tersebut akan dihilangkan
dengan cara dibuang dan meminta tolong kepada orang dibuang ke rawa
pening yang pada saat itu belum ada kendaraan, yang jauh jarakknya
ditempuh dengan jalan kaki dan dibuang ke rawa tersebut sejumlah dua jaran
kepang. Tidak disangka 2 orang yang membuang jaran kepang belum sampai
rumah jaran kepang tadi sudah sampai ditempat semula. Jaran kepang ini
diberi nama mega mendung, tidak heran lagi bagi para pemain seni tari
prajuritan ini jika pada saat pentas dengan suasana panas terik tiba-tiba hujan
gerimis dan menjadi teduh, karena para pemain seni ini percaya walaupun
sudah tidak ada wujud asli dari jaran kepang ini namun masih melekat kuat
dalam kesenian prajuritan ini sendiri. Tidak dapat dipungkiri terkadang
32
datang saat seni ini dipentaskan. Walaupun sebetulnya sendra tari yang
diutamakan dalam seni tarinya. (Wawancara/Janjang Purnomo
(45)/09/02/2017).
D. Unsur yang terkandung dalam seni tari prajuritan
1. Pakaian
Tata busana sudah mengalami perkembangan, dahulu penari
prajuritan dalam berbusana sangat sederhana sekali bahkan ada ngligo
(tidak pakai baju) mereka hanya bercelana panjen dan kain saja, tapi
untuk sekarang sudah berkembang berbagai macam kostum misalnya
memahami surjari lengkap dengan celana panjen, kain dan ikat kepala.
Busana yang dipakai prajurit terdiri dari celana biasa seatas lutut, kain
loreng, beskap, songkok dan sampur. Sedangkan Manggoloyudo
menggunakan kostum, celana biasa sebatas lutut, kain loren, beskap,
blangkon, keris dan peluit. Tari prajuritan dahulu ditarikan oleh penari
putra maupun putri, tapi untuk saat ini hanya penari pria. Oleh karena itu
tata rias yang digunakan adalah tata rias laki – laki, meskipun
menggunakan tata rias yang sederhana dan murah mereka mampu
membuat tata rias yang jelas dan sesuai dengan karakter penarinya.
Antara prajurit dan Manggoloyudo tidak ada perbedaan. Bentuk alis
adalah alis asli yang dipertebal dan diberi bentuk agak runcing pada
ujungnya dan tambahan sedikit pada bagian atas, pada kelopak mata
diberi eye shadow, kumis dibentuk menyesuaikan dengan bentuk bibir.
33
Pada bagian pipi diberi pewarna pipi untuk memberi kesan cerah. Makna
dari busana penari adalah menggambarkan sosok prajurit Jawa yang yang
akan berperang. (Wawancara/Suparmi (43)/14/03/2017)
2. Ritual
Tidak ada ritual kusus sebetulnya dalam pementasan tari
prajuritan hanya saja pada saat bulan sapar ikut dikaitkan dengan acara
merti desa, tari prajuritan merupakan hiburan yang utama pokok harus
dipentaskan.
3. Gerakan
a Lumaksono, melakukan tanggung jawab yang serius, tugas yang benar
– benar serius penuh tanggung jawab selalu ingat dengan yang Kuasa.
b Merong Megar, eling kanan kiri, supaya bisa menerapkan
kewajibannya sampai benar dan tanggung jawab.
c Garuda Nglayang, dapat diambil dari lambang negara Indonesia yaitu
Garuda dan mempunyai makna arti jika melakukan tindakan apapun
harus melihat tatanan negara yaitu garuda Pancasila.berani
menerapkan tatanan negara.
d Nyongklang
e Gedruk, bersyukur pada yang maha kuasa, eling iba bapa kuasa ibu
pertiwi.
34
f Sendal Pancing, menghadapi keadaan dengan sabar , supaya bisa
melakukan apapun dengan baik, jangan mudah emosi. Melakukan
semua tindakan tidak terburu-buru supaya tidak keliru.
g Lumbung, semua hasil kegiatan atau pekerjaan digunakan dan
disimpan dengan baik.
4. Iringan
Iringan dalam prajuritan terdiri dari 6 buah alat musik yaitu:
a. Satu buah jedhor, bentuk seperti bedhug terbuat dari kayu jati ditutup
dengan kulit kambing pada kedua sisinya. Pemukulnya terbuat dari
kayu jati yang dililit karet hitam pada ujungnya. Ukuran jedhor
berdiameter 25 cm. Seiring perkembangan zaman alat musik ini
digantikan dengan bas drumband yg ringan dan mudah dibawa, karena
dahulu menggunakan bedhugyg dibawa dari masjid warga yang sangat
berat.
b. Satu buah drendeng, bentuknya lebih kecil dari jedhor, terbuat dari
kayu jati dan ditutup kulit kambing pada salah satu sisinya, sedangkan
sisi yang lain dibiarkan terbuka. Ukuran dhodhog berdiameter 12,5 cm
dengan panjarig 15 cm. Pemukulnya terbuat dari kayu jati yang dililit
dengan karet hitam pada salah satu ujungnya, panjarignya 26 cm .
c. Jurusan, terbuat dari besi hitam dengan diameter 20 cm, ukuran lebih
besar dari bedhe yang lain. 2. Keprah, terbuat dari besi kuning dengan
diameter 18 cm. ukurannya lebih kecil dari jurusan.
35
d. Penerus, terbuat dari besi kuningan juga dengan diameter 18 cm,
diantara keempat bendhe hanya kenthing lah yang bentuknya paling
kecil.
e. Kenthing terbuat dari besi hitam dengan diameter 15.
f. Menurut salah seorang pengiring tari prajuritan, cara memukul alat
musik jedhor dan dhodhog hampir bersamaan, hanya berselang satu
ketukan saja. Jurusan dan keprak di tabuh secara monoton, sedangkan
penerus dan kenthing ditabuh imbal atau bergantian, dan peluit
digunakan bila akan berganti gerakan.
5. Tema
Tema adalah sebuah garapan yang merupakan pokok yang
menjadi sumber dari apa yang ingin disampaikan atau diekspresikan.
Tema mendasari sebuah pengolahan atau penyusunan gerak dan bunyi.
(Endang Ratih E.W. 2004 : 81) Untuk menggambarkan isi tari, tema
dalam tari ada tiga macam yaitu tari yang bertemakan erotik yaitu suatu
tarian yang menggambarkan percintaan atau kasih sayang, tari yang
berthemakan heroik adalah tarian yang berisikan tentang kepahlawan dan
pantomim yaitu tarian yang berisi gerak – gerak simbolis saja.
(Soedarsono, 1978: 33)
Dalam seni tari penggambaran tema itu sangat penting kaitannya
dengan tujuan isi supaya dapat dimengerti oleh penonton. Seperti seni
tari prajuritan ini mengambil cerita Arya Penangsang Gugur melawan
36
Suta Wijaya. Seni tari Prajuritan ini merupakan seni tari yang
menggambarkan peperangan maka adapun kisahnya sebagai berikut.
Arya penangsang lahir di Demak Bintara. Bapaknya bernama
Suryawiyata atau Raden Kikin atau bisa disebut juga Pangeran Sekar.
Sebelum Arya Penangsang lahir, terjadi gejolak politik di Demak Bintara
yaitu perebutan kekuasaan. Sebelumnya, Demak Bintara dipimpin oleh
Raden Patah. Raden Patah mempunyai anak yaitu yang pertama
Pangeran Pati Unus (oleh orang Portugis), yang kedua Suryawiyata, dan
yang ketiga Sultan Trenggana. Setelah Raden Patah meninggal,
seharusnya tahta dipimpin oleh anak yang pertama. Namun, karena
Pangeran Pati Unus meninggal di malaka setelah melawan portugis,
Seharusnya tahta jatuh ke tangan Suryawiyata anak yang kedua. Tetapi
tidak tau para Sunan, bagaimana keputusannya. Mungkin karena ada
gejolak politik perebutan kekuasaan.
Akhirnya Sunan Bonang membuat sayembara, “ siapa yang
berhasil menduduki kursi Raden patah, maka dialah yang akan menjadi
raja”. Dan akhirnya Sultan Trenggana yang berhasil menduduki kursi
Raden Patah. Melihat Sultan Trenggana berhasil menduduki kursi Raden
Patah, Suryawiyata tidak terima. Karena seharusnya yang menduduki
kursi Raden Patah adalah beliau. Dan akhirnya, Suryawiyata meminta
tusuk konde Ibu Nyai Sunan Kudus untuk di jadikan pusaka. Dan pusaka
tersebut diberi nama Kyai Brongot Setan Kober. Pusaka tersebut
digunakan untuk membunuh Sultan Trenggana.
37
Sultan Trenggana mempunyai anak yaitu Sunan Mukmin (Sunan
Prawata). Sunan Mukmin mengetahui kalau Sunan Trenggana akan
dibunuh. Kemudian Sunan Mukmin ingin mencuri pusaka Kyai Brongot
Setan Kober. Pusaka tersebut disimpan oleh Ibu Nyai Sunan Kudus. Lalu
Sunan Mukmin (Sunan Prawata) berpura-pura mencintai Ibu Nyai Sunan
Kudus agar bisa mencuri pusaka tersebut. Ibu Nyai Sunan Kudus di ajak
selingkuh. Kemudian Sunan Mukmin (Sunan Prawata) menanyakan
dimana pusaka tersebut disimpan. Ibu Nyai Sunan Kudus pun
memberitahu dimana ia menyimpannya. Setelah mengetahuinya,
diambillah pusaka itu oleh Sunan Mukmin. Setelah mendapatkan pusaka
tersebut, Sunan Mukmin (Sunan Prawata) pun berangkat untuk
membunuh Suryawiyata/Pangeran Sekar setelah shalat jum’at. Sebelum
membunuh Suryawiyata, Sunan Mukmin (Sunan Prawata) sudah
diberitahu, kalau membunuh Suryawiyata jangan sampai mengenai
istrinya. Karena istri Suryawiyata sedang mengandung Arya Penangsang.
Kejadian pembunuhan terjadi di dekat sungai/kali. Sunan Mukmin
(Sunan Prawata) menusuk Suryawiyata dari belakang, dan darahnya
moncrat mengenai mata Sunan Mukmin (Sunan Prawata) dan matanya
menjadi remang-remang sehingga Sunan Mukmin (Sunan Prawata)
menjadi buta.
Ketika ditusuk, Suryawiyata bersama dengan istrinya dan
memeluk istrinya. Sehingga tembus mengenai istrinya. Lalu Suryawiyata
dan Istrinya meninggal. Sebelum meninggal istri Suryawiyata sempat lari
38
dan bertemu dengan Sunan Kudus. Ketika itu istri Suryawiyata mau
melahirkan. Sebelumnya, istri Suryawiyata menceritakan semua kejadian
itu kepada Sunan Kudus. Setelah itu Arya Penangsang lahir. Ketika Arya
Penangsang lahir, ari-arinya masih melekat pada tubuhnya dan belum
dipotong. Lalu Arya Penangsang dibawa lari oleh Sunan Kudus ke
Jipang. Sebelumnya, Raden Patah (kakek Arya Penangsang) adalah
menantu Bupati Jipang. Arya Penangsang di Jipang menduduki sebagai
eyang buyut dari Raden Patah. Ketika itu Arya Penangsang masih kecil.
Sebelum Arya Penangsang dewasa, pemerintahan kekuasaan dipegang
oleh Patih Mantahun. Di Jipang, Arya Penangsang di asuh oleh Mbok
Ban Agung. Lambat laun Arya Penangsang tumbuh menjadi dewasa.
Setelah dewasa, Arya Penangsang diceritakan oleh Sunan Kudus semua
tentang kejadian yang menimpa kedua orang tuanya sebelum dia lahir.
Sebenarnya Arya Penangsang adalah anak yang alim dan sopan. Lalu
setelah mendengar cerita dari Sunan Kudus, Arya Penansang menjadi
panas dan menjadi anak yang pendendam.
Kemudian pada suatu malam, Arya Penangsang mengirim
pasukan sureng yang dipimpin oleh Rangkud untuk pergi ke Demak dan
membunuh Sunan Mukmin (Sunan Prawata). Ketika sampai disana,
terjadilah perang dan pasukan sureng yang dipimpin oleh Rangkud
berhasil membunuh Sunan Mukmin (Sunan Prawata). Sebelum
meninggal, Sunan Mukmin (Sunan Prawata) sempat membunuh
Rangkud. Jadi, Sunan Mukmin (Sunan Prawata) mati Rangkud pun juga
39
ikut mati karena dibunuh oleh Sunan Mukmin (Sunan Prawata). Setelah
Sunan Mukmin (Sunan Prawata) mati, Ratu Kalinyamat adik Sunan
Mukmin (Sunan Prawata) lari ke Gunung Danaraja, Jepara. Ratu
Kalinyamat juga mempunyai dendam dengan Arya Penangsang karena
telah membunuh Sunan Prawata. Ratu Kalinyamat lalu bertapa tanpa
busana di Gunung Danaraja. Dan dia tidak akan turun, sebelum dia
mandi darahnya Arya Penangsang. Setelah Arya Penangsang berhasil
membunuh Sunan Mukmin (Sunan Prawata), karena disitu ada
persaingan politik antara Jipang dan Pajang untuk merebutkan kekuasaan
Demak Bintara. Sebelumnya Arya Penangsang berada di Blambangan
Lasem Tuban, sebelum memimpin Jipang.
Setelah Sunan Mukmin meninggal timbul dendam. Karena Sunan
Kudus mempunyai murid lain yaitu Adipati Sultan Hadiwijaya (Jaka
Tingkir/Mas Karebet) yang merupakan menantu Sultan Trenggana dan
seorang Bupati di Pajang. Adipati Sultan Hadiwijaya mempunyai anak
angkat yaitu Danang Sutawijaya (anak daripada Pamanahan), Pamanahan
adik ipar daripada Ki Juru Martani. Setelah itu terjadi geolak politik
perebutan kekuasaan Demak Bintara dan saling beradu ilmu. Sunan
Kudus mempunyai murid kesayangan yaitu Arya Penangsang, karena tau
sejarahnya. Adipati Sultan Hadiwijaya perang melawan Arya
Penangsang dan saling beradu ilmu untuk merebutkan kekuasaan Demak
Bintara. Setalah terjadi gejolak politik, dalam perjalanan pulang ke
Pajang, rombongan Adipati Sultan Hadiwijaya mampir singgah ke
40
Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Sebelum sampai di
tempat Ratu kalinyamat bertapa, Adipati Sultan Hadiwijaya berganti
pakaian rakyat biasa untuk menyamar supaya tidak diketahui oleh orang-
orang Jipang. Adipati Sultan Hadiwijaya berserta Ki Ageng Pamanahan
dan prajurit yang sudah dipilih berangkat ke Gunung Danaraja untuk
menemui Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa. Mereka menyamar
sebagai pedagang keliling.
Akhirnya, Adipati Sultan Hadiwijaya sampai di Gunung
Danaraja. Kedatangan Adipati Sultan Hadiwijaya beserta rombongan
menimbulkan kecurigaan dari beberapa prajurit Pajang yang berjaga
dimulut Gua. Namun, tanpa sengaja Adipati Sultan Hadiwijaya dikenali
oleh prajurit Pajang. Setelah mengetahui kalau yang menyamar itu
Adipati Sultan Hadiwijaya, prajurit Pajang langsung mempersilahkan
masuk. Lalu Adipati Sultan Hadiwijaya segera menemui Ratu
Kalinyamat. Kemudian Ratu Kalinyamat menceritakan semua kejadian
yang dulu menimpa Sunan Mukmin (Sunan Prawata). Ratu Kalinyamat
mendesak Adipati Sultan Hadiwijaya agar segera menumpas Arya
Penangsang. Ratu Kalinyamat mengaku sebagai pewaris tahta Sunan
Mukmin (Sunan Prawata) dan berjanji akan memberikan Demak dan
Jepara jika Adipati Sultan Hadiwijaya berhasil mengalahkan dan
membunuh Arya Penangsang.
Kemudian rombongan Adipati Sultan Hadiwijaya pulang ke
Pajang. Adipati Sultan Hadiwijaya melakukan sayembara, “siapa yang
41
berhasil membunuh Arya Penangsang, akan dikasih separo Bumi Pajang
(sigar semongko menurut jawa)”. Ki Juru Martani dan Ki Ageng
Pamanahan ikut dalam sayembara itu. Mereka menyusun siasat dan
melibatkan Danang Sutawijaya (anak angkat Adipati Sultan Hadiwijaya).
Dalam menyusun siasat itu mereka menggunakan kuda betina dan pusaka
tombak kyai plered milik Adipati Sultan Hadiwijaya.
Arya Penangsang mengirim utusan pasukan sureng untuk
membunuh Adipati Sultan Hadiwijaya dengan membawa keris kyai
brongot setan kober. Akan tetapi pasukan sureng tidak berhasil
membunuh Adipati Sultan Hadiwijaya dan kerisnya direbut oleh Adipati
Sultan Hadiwijaya. Mereka malah tertangkap ketika mau membunuh
Adipati Sultan Hadiwijaya. Akan tetapi, mereka tidak dihukum
melainkan diberi hadiah dan disuruh kembali ke Jipang. Kemudian
pulanglah para utusan Arya Penangsang ke Jipang. Lalu setelah sampai
di Jipang para utusannya menghadap kepada Arya Penangsang. Para
utusan tersebut mengatakan bahwa mereka tertangkap oleh Adipati
Sultan Hadiwijaya pada saat mau membunuhnya, dan mereka diberi
hadiah. Mendengar perkataan para utusannya itu, yang juga membawa
hadiah dari Adipati Sultan Hadiwijaya, Arya Penangsang merasa
tersinggung dan sangat marah.
Kemudian Adipati Sultan Hadiwijaya berniat untuk
mengembalikan keris kyai brongot setan kober yang berhasil direbut dari
pasukan para sureng yang diutus oleh Arya Penangsang. Sebelum
42
Adipati Sultan Hadiwijaya datang, Sunan Kudus berkata kepada Arya
Penangsang “ ngene ngger mengko yen Hadiwijaya rene, kon lenggah
ing kursiku iki (kursinya sudah diberi japa supaya Adipati Sultan
Hadiwijaya apes dan kesaktiannya hilang)”. Namun, setelah Adipati
Sultan Hadiwijaya sampai, malah Arya Penangsang yang duduk di kursi
tersebut. Karena Arya Penangsang lupa dan menduduki kursi tersebut,
kesaktian Arya Penangsang berkurang dan hilang.
Lalu untuk mengembalikan kesaktiannya, Arya Penangsang di
suruh untuk berpuasa selama 40 hari tanpa makan, minum, tidak boleh
melihat orang lain dan juga tidak boleh tidur. Ketika itu, Adipati Sultan
Hadiwijaya mengadakan sayembara untuk melawan Arya Penangsang,
“Barang siapa yang mampu membunuh Arya Penangsang, akan di beri
hadiah tanah pati dan hutan mataram”. Ki Juru Martani, Ki Ageng
Pamanahan dan adik angkatnya Ki Penjawi yang merupakan abdi dalem
Adipati Sultan Hadiwijaya, ikut dalam sayembara itu. Ki Ageng
Pamanahan dan Ki Juru Martani menyusun siasat perang untuk melawan
Arya Penangsang. Ki Juru Martani menyarankan kepada Ki Ageng
Pamanhan agar membawa tombak pusaka Kyai Plered milik Adipati
Sultan Hadiwijaya. Karena dengan tombak itulah yang hanya mampu
membunuh Arya Penangsang.
Atas saran tersebut, Ki Ageng Pamanahan memohon kepada
Adipati Sultan Hadiwijaya, agar mengikut sertakan anak angkatnya yang
bernama Danang Sutawijaya untuk ikut perang. Dengan begitu, pasti
43
Adipati Sultan Hadiwijaya akan meminjamkan tombak pusaka miliknya.
Kemudian Adipati Sultan Hadiwijaya setuju dan meminjamkan tombak
pusakanya kepada Danang Sutanwijaya. Setelah itu, Ki Ageng
Pamanahan beserta rombongannya berangkat ke Jipang. Penyarangan
dipimpin oleh Ki Juru Martani. Ketika tiba di tepi sungai Bengawan Solo
yang merupakan tapal batas dengan wilayah Jipang. Ki Juru Martani
segera untuk menyusun siasat. Dengan Sutawijaya yang tampak berdiri
disamping kuda putih yang akan ditungganginya untuk melawan Arya
Penangsang. Dan di tangannya tergenggam tombak pusaka Kyai Plered
yang ujungnya sudah ditutupi kain putih dan diberi rangkaian bunga
melati.
Lalu di tepi sungai tampak seorang pekatik kuda yang sedang
mencari rumput untuk kuda milik Araya Penangsang. Ki Juru Martani
segera menangkap pekatik kuda tersebut dan memotong telinganya lalu
di kalungkan surat tantangan atas nama Adipati Sultan Hadiwijaya.
Kemudian si pekatik kuda di suruh segera kembali ke Jipang untuk
menghadap Arya Penangsang. Pada saat itu, Arya
Penangsang sedang berpesta merayakan keberhasilannya berpuasa 40
hari. Kemudian datanglah pekatik kuda tersebut dan menyerahkan surat
tantangan atas nama Adipati Sultan Hadiwijaya itu kepada Arya
Penangsang. Setelah membaca isi surat tantangan tersebut, Arya
Penangsang langsung menggebrak meja. Lalu segera mengenakan
pakaian perang dan membawa keris pusakanya Kyai Brongot Seta Kober.
44
Dengan penuh amarah, Arya Penangsang segera menunggangi kudanya
Kyai Gagak Rimang menuju sungai tapal batas wilayah Jipang.
Setibanya di tepi sungai, Arya Penangsang melihat anak kecil yang
menunggangi kuda putih dengan membawa tombak diseberang sungai.
Anak kecil tersebut tak lain adalah Danang Sutawijaya. Melihat Danang
Sutawijaya, Arya Penangsang tambah semakin marah, karena merasa
diremehkan untuk melawan anak kecil yang masih berumur 10 tahun.
Arya Penangsang tidak sanggup menahan emosinya dan segera
menarik tali kekang Kyai Gagak Rimang. Sehingga kuda itu meringkik
dan berlari menapaki dasar sungai bengawan. Tanpa ragu Danang
Sutawijaya segera menghela kuda putih yang di tungganginya. Begitu
berhadap-hadapan dengan Arya Penangsang, Danang Sutawijaya segera
memutar arah kudanya sehingga membelakangi kuda Arya Penangsang.
Kuda hitam kesayangan Arya Penangsang tiba-tiba bertingkah aneh dan
menjadi liar karena melihat kuda yang di tunggangi Danang Sutawijaya
adalah kuda betina.
Semakin lama kuda Arya Penangsang semakin liar dan berontak
sehingga Arya Penangsang kerepotan. Melihat Arya Penangsang sibuk
mengendalikan kudanya, Danang Sutawijaya segera menusukkan tombak
pusaka Kyai Plered ke perut Arya Penangsang dan ususnya terurai
keluar. Arya Penangsang yang sakti itu segera meraih ususnya yang
terurai itu dan dililitkan ke tubuhnya. Dan segera menarik tali kekang
kudanya untuk mengejar Danang Sutawijaya. Arya Penangsang segera
45
merai tubuh Danang Sutawijaya dan membantingnya ke tanah hingga tak
berdaya. Arya Penangsang segera turun dari kudanya, lalu menginjak
dada Danang Sutawijaya. Melihat Danang Sutawijaya dalam bahaya, Ki
Ageng Pamanahan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Ia
segera menggunakan siasat dengan berpura-pura memihak kepada Arya
Penangsang. Ki Ageng Pamanahan berkata, “Hai, Penangsang! Habisilah
nyawa anak Hadiwijaya itu”.
Arya Penangsang baru menyadari bahwa Danang Sutawijaya
adalah anak musuhnya. Dengan geram, Arya Penangsang segera
mencabut keris Kyai Brongot Setan Kober dari pinggangnya. Namun,
Arya Penangsang lupa bahwa ususnya tersampir diwarangka keris pusaka
itu. Begitu mengangkat kerisnya ususnya langsung putus. Arya
Penangsang pun meninggal. Setelah Arya Penangsang meninggal, Ki
Ageng Pamanahan dan rombongannya kembali ke Pajang. Dan
melaporkan kepada Adipati Sultan Hadiwijaya, bahwa Arya Penangsang
sudah gugur. Adipati Sultan Hadiwijaya pun senang mendengar kabar
tersebut. Sesuai dengan perjanjiannya, maka Adipati Sultan Hadiwijaya
memberikan hadiah yang sudah dijanjikannya yaitu tanah pati dan tanah
di hutan mataram. Tak menunda waktu lama, diutuslah beberapa prajurid
ke Jepara untuk mengabarkan hal serupa kepada Ratu Kalinyamat. Ratu
Kalinyamat bergembira dan bersedia menyudahi tapa telanjangnya. Dia
lantas ikut rombongan pasukan Pajang menuju ibukota Pajang. Tewasnya
46
Arya penangsang membuat gempar seluruh bangsawan Jawa, tak
terkecuali Sunan Kudus.
Kini, tidak ada lagi penguasa Jawa yang kuat selain Adipati
Sultan Hadiwijaya di Pajang. Beberapa minggu kemudian, upacara besar
dilaksanakan. Disaksikan oleh para pembesar Demak Bintara, Ratu
Kalinyamat menyerahkan tahta Demak Bintara kepada adik iparnya,
Adipati Sultan Hadiwijaya. Keputusan ini banyak disokong oleh berbagai
pihak. Namun sesuai janji semula, Pajang harus berbentuk Kesultanan,
bukan Kerajaan. Oleh karenanya, Adipati Sultan Hadiwijaya lantas
dikukuhkan sebagai seorang Sultan dengan gelar Kangjeng Adipati
Sultan Hadiwijaya. Putra Ki Ageng Pengging, kini telah resmi
memegang tampuk pemerintahan Jawa. Ramalan Sunan Kalijaga,
terbukti sudah. Kini, Ki Mas Karebet atau Jaka Tingkir telah menjadi
seorang Raja penguasa Tanah Jawa.
Susunan penokohan dalam tari Prajuritan, sebagai panutan
adalah manggala (cucuk lampah) jika dalam cerita manggala ini
menggambarkan Sunan Kudus yaitu guru dari 2 muridnya yaitu Arya
penagsang dan Hadiwijaya, mengatur semua prajurit, pertama mengawal
atau membuka dan mengatur berlangsunya seni tari ini. Setelah
manggala dikuti dengan wiratama berjumlah 2 orang yang menggunakan
jaran kepang ini menggambarkan Arya penangsang yang menduduki di
Jipang dan Hadiwijaya yang berada di Pajang, dengan nama gagak
rimang diambil dari cerita Arya Penagsang gugur, gagak Arya
47
penagsang, rimang Hadiwijaya, selanjutnya diikuti Tamtama yang
membawa tombak, tembung yang membawa bindi tameng dan tombak,
dan pekatik atau pesuruh.
E. Arti Penting Seni Tari Prajuritan di Desa Tegalrejo.
Seni prajuritan ini merupakan seni asli turun temurun yang harus di
tampilkan pada bulan sapar dalam acara merti desa. Seni tari prajuritan ini
juga sebagai icon identitas desa Tegalrejo karena pada mulanya, dulu
sebelum masyarakat desa tegalrejo belum mengenal seni, prajuritan ini
adalah kesenian yang pertama dikenal oleh masyarakat Tegalrejo pada
khususnya dan kota Salatiga pada umumnya. Prestasi prajuritan ini pun bisa
dibanggakan pernah 2 kali mewakili kota Salatiga bahkan Jawa Tengah
untuk tampil di Taman Mini Indonesia.
Ritual bulan sapar merti desa ikut dikaitkan dengan seni prajuritan
sendiri Dari segi kepercayaan pun pentingnya prajuritan ini harus dan wajib
ditampilkan pada saat merti desa konon katanya sebagai syarat karena
danyang (arwah leluhur) di desa Tegalrejo menyukai kesenian ini. Maka
dari itu pada saat bulan sapar merti desa atau disebut dengan saparan,
prajuritan harus tampil walaupun mungkin tidak tepat waktu pada saat hari
perayaan saparan. Menurut kepercayaan warga masayarakat desa tegalrejo
jika belum tampil akan dianggap sebgai utang oleh danyang (arwah leluhur)
yang ada di tegalrejo maka mau tidak mau harus tetap tampil. Jika tidak
ditampilkan sesuatu bencana diyakini akan datang menghampiri desa
48
tegalrejo. Adapun kesenian lain yang dikutsertakan pada saat saparan yaitu
tayub yang juga disukai oleh danyang (arwah leluhur) desa Tegalrejo. Dua
kesenian itu harus wajib ditampilkan dalam acara saparan tidak dapat
digantikan dengan kesenian lainnya hingga sekarang.
F. Pergeseran Makna Seni Tari Desa Tegalrejo
1. Pergeseran makna seni tari prajuritan.
Pergeseran makna seni tari terlihat dari kurangnya antusias dari kalangan
kaum muda Desa Tegalrejo untuk berpartisipasi dalam kelompok seni tari
prajuritan ini, lambat laun terutama generasi muda lebih memilih kesenian
baru yang banyak berkembang di lingkungan desa Tegalrejo seperti drum
blek dan reog. Kurangnya dukungan pemerintah terutama kelurahan
tegalrejo dalam memberikan dukungan berupa bantuan finansial yang
digunakan untuk biaya pementasan dalam acara merti desa menjadi salah
satu penyebab. Akibatnya seperti saparan yang berlangsung pada tahun
2016 lalu seni tari prajuritan yang seharusnya menjadi icon penting dan
wajib dipentaskan tidak ikut dalam upacara kirab budaya karena
kurangnya dukungan yang dibutuhkan untuk pementasan. Biaya dalam
pementasan seni tari prajuritan menjadi sangat vital karena digunakan
untuk pengadaan sarana pentas seperti tata rias, tata busana/perlengkapan
tari, dan pengadaan konsumsi bagi anggota kelompok seni tari prajuritan
yang melakukan pentas. Seni tari prajuritan dalam pementasannya saat ini
sangat bergantung dengan bantuan dana desa karena dari kas kelompok
49
kesenian sendiri tidak mencukupi, hal ini disebabkan oleh kurangnya
pemasukan akibat sudah jarang pentas (menerima tanggapan), disisi lain
mayoritas anggota kelompok seni tari prajuritan berasal dari kalangan
masyarakat ekonomi menengah kebawah.
2. Pergeseran makna laku ritual dalam pementasan seni tari prajuritan.
Pergeseran makna ritual terlihat pada para penari yang akan
mementaskan tari Prajuritan tidak didahului dengan melakukan ritual
puasa seperti yang dilakukan para penari terdahulu. Ritual puasa dilakukan
untuk membersihkan hati dan pikiran supaya pada saat pementasan mudah
berkonsentrasi. Disisi lain laku puasa yang dilakukan oleh para penari
merupakan suatu ajaran kejawen yang sudah melekat dan erat kaitanya
dengan seni budaya yang sudah menjadi tradisi orang Jawa. Orang Jawa
dengan ajaran Kejawennya tidak bisa lepas dengan suatu istilah yang
disebut dengan tirakat, tirakat sendiri bentuknya bermacam-macam. Untuk
laku puasa yang dilakukan oleh para penari parjuritan merupakan suatu
bentuk tirakat dengan jalan menahan hawa nafsu keduniawian yang
dimaksudkan untuk menyatu dengan leluhur dan mensakralkan seni tari
prajuritan itu sendiri, karena ada kejadian ketika pementasan berlangsung
ada penari yang kehilangan kesadaran (kerasukan roh leluhur). Kerasukan
ini dianggap sebagai perwujudan kehadiraan leluhur saat berlangsungnya
pementasan seni tari prajuritan.
50
3. Pergeseran makna kekhusukan.
Makna kekhusyukan dalam tari Prajuritan juga telah mengalami
pergeseran. Pada saat penulis menyaksikan latihan tari Prajuritan, para
penari tampak menari dengan terkesan biasa saja antusiasme kurang.
Bahkan diantara mereka ada yang menggaruk-garuk kepala pada saat
menari. Para penari sekarang ini kurang begitu tahu tentang makna penting
prajuritan itu sendiri, para penari hanya sebatas menari saja. Para penari
akan terlihat serius pada saat acara pementasan. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa kekhusukan para penari disebabkan oleh penonton dan
bukan karena adanya kesadaran dari penari bahwa itu merupakan tarian
yang harus dibawakan dengan keseriusan.