Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IV
IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. HASYIM ASY’ARI DALAM
MAKLUMAT MENTERI AGAMA NO. 04 TAHUN 1947
A. Situasi dan Kondisi Pelaksanaan Ibadah Haji di Indonesia pada Tahun
1945-1949
Kebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI
1945 berada di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Selanjutnya, pada saat
Indonesia sudah merdeka, Belanda masih memberikan pelayanan terhadap
pelaksanaan ibadah haji. Hal tersebut dilakukan Belanda untuk menarik simpati
bangsa Indonesia supaya berpihak kepada Belanda yang saat itu sedang
melakukan perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia guna menguasai
kembali wilayah Indonesia. Belanda juga menyediakan valuta asing untuk
pelaksanakan ibadah haji.1 Untuk menghalau usaha yang dilakukan oleh Belanda,
K.H. Hasyim Asy’ari sebagai ketua Masyumi mengeluarkan fatwa jihad yaitu
pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia.
Dikeluarkannya Fatwa jihad K.H. Hasyim Asy’ari tentang Pelarangan
sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa hal
yaitu, pertama, sebagai usaha pertahanan dan perlawanan kepada pihak Belanda,
sehingga melalui fatwa tersebut mengandung ajakan dan anjuran kepada rakyat
Indonesia untuk melakukan perlawanan kepada pihak Belanda guna
mempertahankan kemerdekaan RI 1945. Kedua, pada saat pemerintah RI berada
di Yogyakarta, pemerintah tidak mengizinkan para jamaah haji meninggalkan
wilayah RI karena adanya blokade Angkatan Laut Belanda terhadap pelabuhan-
pelabuhan di Indonesia. Oleh karena itu, keadaan di laut sebagai jalur transportasi
haji menjadi tidak aman. Ketiga, pemerintah RI tidak memiliki kapal-kapal untuk
mengangkut jamaah haji Indonesia ke Mekkah.2 Kapal-kapal haji saat itu adalah
perusahaan pelayaran Kongsi Tiga milik pemerintah Belanda sehingga,
1 Pada tahun 1948, nilai valuta asing yang dikeluarkan oleh Belanda adalah sebesar £
1.000.000 dan f 5.000.000. Lihat dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 13.
2 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 18.
penyediaan kapal haji oleh Belanda sama saja menghalangi bangsa Indonesia
untuk melakukan perlawanan terhadap serangan yang dilakukan Belanda terhadap
Republik Indonesia.3 Jadi, bangsa Indonesia yang ingin melaksanakan ibadah haji
khususnya yang berada di wilayah kekuasaan RI belum bisa dilaksanakan. Akan
tetapi, masih ada bangsa Indonesia yang melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.
Pelaksanaan ibadah haji pada masa revolusi fisik dapat ditelusuri melalui
sebuah karya dari K.H. Abdussamad, Melawat ke Mekkah (menunaikan haji).
Beliau berangkat ke Mekkah pada tanggal 13 Agustus 1948 di Pelabuhan Tanjung
Periuk, Batavia dengan menggunakan kapal Prometheus kepunyaan Oceaan. Rute
pelayaran yang dilakukan oleh kapal yang ditumpangi Abdussamad adalah dari
Batavia, Kuala, Selat Sunda hingga Sabang, Colombo, Aden, Bab el-Mandeb dan
Jeddah kemudian ke Madinah dan Mekkah. Ketentuan-ketentuan mengenai Syekh
haji, karantina dan pelayanan selama perjalanan sama dengan yang terjadi
sebelumnya. Dalam bagian penutup, Abdussamad menyatakan bahwa isi dari
karyanya tersebut adalah kitab Manasik Haji, didalamnya dijelaskan mengenai
hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah haji. Keberadaan
Abdussamad masih misterius, dalam naskahnya nama ia ditulis Adbussamad dan
terkait asal daerahnya pun masih menjadi perkiraan yaitu antara asal Kalimantan
Selatan yang lama tinggal di Jakarta atau asal Jakarta yang pindah ke Kalimantan
Selatan. Sehingga, mengenai penjelasan mengapa Abdusamad tetap melaksanakan
ibadah haji walaupun saat itu sudah ada fatwa tentang pelarangan sementara
pelaksanaan ibadah haji dalam Maklumat Menteri Agama No. 04 Tahun 1947
tidak ditemukan dalam naskahnya. Namun, naskah Abdussamad menjadi sumber
informasi tentang bagaimana keadaan pelaksanaan ibadah haji pada masa revolusi
fisik khususnya dalam informasi tentang manasik haji.4
Di Mekkah, para jamaah haji yang mukim ikut melakukan perlawanan
terhadap Belanda. Sebelumnya, sejak bulan Mei 1942 para mukim mendapatkan
tunjangan keuangan dari pemerintah Belanda di Jeddah akibat pecahnya Perang
Dunia II. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan RI 1945, para
3 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 1.
4 K.H Abdussamad, Naik Haji di Masa Revolusi dalam Henri Chambert-Loir, 2013, Naik
Haji di Masa Silam tahun1900-1950, Jakarta: KPG. Hal. 699-743.
mukim tersebut menolak pemberian tunjangan tersebut.5 Selain itu, para mukim
melakukan pertemuan di Mekkah pada tanggal 2 September 1945 dan menyatakan
dukungan mereka terhadap pemerintah Republik Indonesia.6 Para mukim juga
membentuk organisasi Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia dan bendera merah
putih dikibarkan di depan kemah-kemah para mukim di padang Arafah.7 Ibnu
Saud menetapkan peraturan pembatasan kegiatan politik di Hijaz, karena Hijaz
merupakan tempat untuk beribadah bukan tempat untuk melakukan propaganda
politik. Pada saat para mukim melakukan pertemuan untuk mengumpulkan
dukungan untuk RI yang dilakukan di wilayah Mina, para pemimpin organisasi
tersebut ditangkap oleh pemerintah Arab Saudi dan dibebaskan kembali dua jam
kemudian.8 Selain usaha-usaha para mukim di Mekkah, bangsa Indonesia juga
melakukan berbagai upaya demi perbaikan pelaksanaan ibadah haji ke Mekkah.
Dalam upaya perbaikan pelaksanaan ibadah haji para mukim mendirikan
sebuah komite yang disebut Komite Pertolongan Indonesia (Kopindo) di Mekkah
pada tanggal 21 Juli 1946.9 Komite ini didirikan atas izin pemerintah Arab Saudi,
padahal selama ini segala bentuk perkumpulan atau oranisasi dilarang oleh Ibnu
Saud. Tokoh-tokoh Kopindo diantaranya adalah Dja’far Zinuddin, Amir Hakim,
Hasan Ali, Salimun, Abdullatief Sidjantan, Bakur, Sidik, Syekh Abdulkadir,
Abdul Djalil Mukaddasi, Abdul Karim bin Syu’ib, Ahmad Djunaedi dan lain-lain.
Kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah mengumpulkan uang untuk membeli
beras dan kebutuhan lainnya dan dibagikan kepada para mukim.10
Pada periode
1945-1949 para jamaah haji Indonesia yang melakukan ibadah haji dari wilayah-
wilayah yang dikuasai oleh Belanda menyelundupkan mata uang Belanda yang
disebut dengan uang kertas NICA. Uang tersebut ditukarkan dengan mata uang
lokal di Aden, Jeddah dan Mekkah.11
5 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 17.
6 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 191.
7 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 32.
8 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 192.
9 Ibid, Hal. 193.
10 Henri Chambert-Loir, 2013, Naik Haji di Masa Silam tahun 1900-1950, Jakarta: KPG.
Hal. 845.
11 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 162-163.
Di samping gencarnya upaya para mukim dalam menggalang dukungan
untuk pemerintah Republik Indonesia, pemerintah Belanda juga melakukan
upaya-upaya untuk menggalang dukungan dari para mukim supaya mengakui
pemerintah Belanda di Indonesia. Upaya tersebut dilakukan pemerintah Belanda
melalui Konsulat Belanda di Jeddah. Pada tanggal 5 Februari 1946, Kementerian
Luar Negeri Belanda mengirimkan perwakilan surat edaran kepada Dingemans di
Jeddah dan Van Rechteren Limpung di Kairo. Surat edaran tersebut menyatakan
bahwa bantuan keuangan yang diberikan Belanda bagi para mukim akan diberikan
jika mereka menandatangani sumpah kesetiaan yang mengakui pemerintah
Belanda sebagai satu-satunya pemerintah yang sah di Indonesia. Selanjutnya,
surat edaran tersebut dihapuskan pada tanggal 9 Maret 1946 karena mendapat
respon yang tidak baik dari para mukim di Kairo dan sikap ketidaksetujuan dari
Dingemans. Sejak pertengahan bulan April 1945, melalui Konsulat Belanda di
Mekkah, pemerintah Belanda mengumumkan adanya pemulangan para mukim ke
Indonesia secara gratis. Namun, pengumuman tersebut kebanyakan ditolak oleh
para mukim dan hanya sembilan mukim yang mendaftarkan diri kepada Konsul di
Mekkah. Enam berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan tiga berasal dari
Pontianak, Kalimantan Barat dan berangkat pada bulan November 1946 Bagi para
mukim yang menerima tersebut diberi label Nica mukims oleh mukim yang lain.12
Sedangkan bagi jamaah haji yang melaksanakan ibadah haji dari Indonesia
menggunakan kapal Belanda disebut haji NICA.
Pemerintah Belanda juga melakukan misi kehormatan yang awalnya
bernama Emir al-Hadj dari Negara Indonesia Timur yang bermaksud mengunjungi
Ibnu Saud dan menumbuhkan semangat iktikad baik di antara kaum Muslimin.13
Pada tanggal 8 Juli 1947, pemerintah NIT memutuskan untuk menunjuk Syekh
Bachmid yang berasal dari Sulawesi Selatan sebagai pimpinan misi kehormatan.
Pada tanggal 10 September 1947, Kementerian Luar Negeri Saudi
memberitahukan kepada Konsulat Belanda di Jeddah bahwa mereka telah
menyetujui dan akan menerima misi kehormatan yang dikirimkan Belanda. Misi
ini diikuti oleh Sultan Pontianak, Sultan Hamid II al-Kadri sebagai Kepala Daerah
12
Ibid, Hal. 192-193.
13 Ibid, Hal. 18.
Khusus Kalimantan Barat. Anggota dalam misi ini di antaranya adalah anak
Daeng Mttejang, Baso Daeng Malewa, H. Abdurrahman, H. Bustami, Hasan
Zakaria, H. Ziruddin, Darwish Zakaria, H. Wibowo dan Sayyid Abdurrahman al-
Massawa. Misi ini tiba di Jeddah pada tanggal 22 Oktober 1947 dan diterima
sebagai tamu resmi oleh pemerintah Arab Saudi.14
Setelah dikeluarkannya Maklumat Menteri Agama No. 4 Tahun 1947 oleh
Menteri Agama Fathurrahman Kafrawi tentang pelarangan sementara pelaksanaan
ibadah haji di Indonesia dilakukan upaya perbaikan pelaksanaan ibadah haji oleh
pemerintah RI. H.M. Rasjidi mengunjungi Mekkah pada tanggal 13 Oktober
sebagai wakil diplomat RI di Kairo. Setelah kunjungan tersebut, pada tanggal 22
November 1947, H.M. Rasjidi mendapatkan pengakuan dari pemerintah Arab
Saudi atas kemerdekaan RI 1945.15
Pada tanggal 28 November 1948, Menteri
Agama K.H. Masjkur mengirimkan empat orang utusannya ke Mekkah yang
terdiri dari KRH. Muh. Adnan, H. Ismail Banda, H. Saleh Suaidi dan H. Samsir
Sutan Ameh.16
Awalnya, pemerintah RI hanya memfasilitasi jasa pesawat terbang
yang disewa dari Thailand dan berakhir di Bangkok dan selebihnya biaya sendiri.
Untungnya, H. Samsir membawa berlian yang nantinya bisa dijual di Bangkok
sehingga, dapat menyewa maskapai penerbangan dari rute Bangkok-Kairo.
Kebetulan, pada saat itu pesawat yang melayani rute Bangkok-Kairo adalah
perusahaan KLM (Koninklijke Luchtvaart Maastschappij) milik Belanda. Terbesit
keraguan pada rombongan tersebut karena saat itu hubungan RI dan Belanda
memang sedang tidak baik. Namun, keajaiban berpihak kepada RI, dengan
bantuan seorang dokter asal Vietnam, rombongan tersebut diberikan izin oleh
maskapai KLM meskipun sudah jelas bahwa rombongan tersebut bertuliskan misi
haji RI.17
Misi haji tersebut mendapatkan sambutan yang baik dari Raja Abdul
Aziz dari Arab Saudi.
Ali Hasjmy merupakan anggota misi haji RI yang mengunjungi Timur
Tengah untuk melaksanakan tugas diplomasi pada bulan September 1949. Tujuan
14
Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 199-200.
15 Ibid, Hal. 200-201.
16 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 19.
17 Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Op. Cit, Hal. 62.
dari misi ini adalah meningkatkan hubungan antara Republik Indonesia dan
negara-negara Arab, meningkatkan popularitas bangsa Indonesia di dunia Islam
dan menjelaskan bagaimana perjuangan bangsa Indonesia saat itu dalam
memperjuangkan kemerdekaan RI 1945 (kebetulan misi ini dilaksanakan pada
saat akan dilakukannya KMB di Belanda).18
Misi ini berangkat pada tanggal 28
September 1949 dan diterima oleh Ibnu Saud pada tanggal 3 Oktober 1949. Misi
ini kembali ke Indonesia pada tanggal 7 Desember 1949. Selain Ali Hasjmy, misi
ini terdiri dari Syekh H. Abdulhamid, H. Ameh Samsir, M. Noor al-Ibrahim, Prof.
Abdulkahar Muzakkir dan Syekh Awab Sjahbal.19
Data statistik jumlah jamaah haji Indonesia pada tahun 1946-1949.20
Keterangan 1946 1947 1948 1949
Kuota 3000 4000 8767 8600
1. Jawa Barat: (dahulu
terdiri dari Banten,
Batavia, Cirebon
dan Kabupaten
Priangan).
8 360 1727 1600
2. Jawa Tengah dan
Timur dan Madura: 2 62 682
600
3. Sumatera Selatan:
Palembang - 18 44 -
4. Sumatra Timur: - - 11 -
5. Bangka dan
Belitung - - 13 -
6. Kalirnantan Barat: - - 147 -
7. Kalimantan Selatan
dan Kalimantan - 486 3166
3000
18
Ali Hasjmy, Naik Haji sambil Melaksanakan Tugas Diplomasi dalam Henri Chambert-
Loir, 2013, Naik Haji di Masa Silam tahun 1900-1950, Jakarta: KPG. Hal. 736
19 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 206.
20 Loc. Cit.
Timur: (Kalimantan
Tenggara)
8. Sulawesi: 20 1606 - -
9. Maluku: 1 16 3028 3000
10. Kepulauan Sunda
Kecil: (sekarangnya
Nusa Tenggara
sejak tahun 1955)
39 1408 - -
11. Tidak ditentukan
(dari Sumatra): - - - 570
Jumlah jamaah haji 70 3959 8818 8770
Berdasarkan data di atas, jumlah jamaah haji yang melaksanakan ibadah
haji di Indonesia sejak tahun 1946 sampai dengan 1948 mengalami kenaikan
walaupun pada tahun 1949 jumlahnya mengalami penurunan. Seperti diketahui
bahwa pada tahun 1945 telah dikeluarkan fatwa K.H. Hasyim Asy’ari tentang
pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia yang kemudian
dimasukan dalam Maklumat Menteri Agama N0. 04 Tahun 1947 oleh Menteri
Agama Fathurrahman Kafrawi. Keberadaan data di atas menunjukkan bahwa
walaupun sudah ada pelarangan pelaksanaan ibadah haji, antusias jamaah haji
untuk melaksanakan ibadah haji masih terus ada namun demikian, ada juga
jamaah haji yang lebih memilih tidak berangkat haji dan mematuhi perintah
maklumat demi mempertahankan kemerdekaan RI 1945 dari serangan penjajahan
Belanda. Hal tersebut seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan dimana pasukan
gerilya dibawah pimpinan Letjen Hasan Basri melarang siapa pun yang ingin
melaksanakan ibadah haji kecuali benar-benar mendesak. Akibatnya, 540 jamaah
haji memilih tidak berangkat haji.21
Perlu diketahui bahwa, jamaah haji yang tetap
melaksanakan ibadah haji ke Mekkah dengan menggunakan Kongsi Tiga akan
mendapat julukan haji NICA.
21
Budi Setiyono, Haji Republik dan Haji Nica. http://historia.id/agama/haji-republik-vs-
haji-nica. Diunduh pada tanggal 05 Juni 2018 pukul 06.25.
Wilayah-wilayah yang tidak mengirimkan jamaah haji ke Mekkah pada
tahun 1945-1949 adalah Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta), Surakarta
(Kasuhunan Surakarta), Lampung, Jambi, Bengkulu (Bangkahulu), Sumatera
Barat, Tapanuli, Aceh dan Riau. Peristiwa ini menunjukkan bahwa fatwa K.H.
Hasyim Asy’ari tentang pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji di
Indonesia dalam Maklumat Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 dilaksanakan di
beberapa daerah.
Angka-angka tersebut bersumber dari laporan-laporan haji para Konsul
Belanda di Jeddah dan surat-menyurat antara para Konsul Belanda dengan
Kementerian Luar Negeri yang disebut arsip Jeddah Kementerian Luar Negeri.
Angka-angkanya juga masih perlu dipertimbangkan karena hanya sebatas
memperkirakan angka jamaah haji yang sebenarnya (para jamaah haji Indonesia
yang berangkat dari Singapura atau Penang).22
Sebelum penyerahan kedaulatan Belanda kepada bangsa Indonesia, telah
dilakukan gerakan perbaikan perjalanan ibadah haji yang dilakukan oleh Badan
Kongres Muslimin Indonesia dalam kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta
yang berlangsung pada tanggal 20-25 Desember 1949. Resolusi Kongres
Muslimin dalam masalah haji menghasilkan keputusan sebagai berikut.
1. Mendesak pemerintah membuat UU kecil (verordening) yang berkenaan
dengan pelaksanaan ibadah haji.
2. Mengajukan berdirinya badan-badan pelayaran yang berasal dari umat
Islam di Indonesia.
3. Mendesak Arab Saudi untuk melakukan perbaikan pelayanan pelaksanaan
ibadah haji di Mekkah.23
Setelah Konferensi Meja Bundar 1949, H.M Rasjidi diberi tugas oleh
Wakil Presiden Moh. Hatta untuk mengambilalih Kedutaan Belanda di Mekkah
dan Konsulat Belanda di Jeddah. Selain itu, ia juga diangkat sebagai Duta Besar
Indonesia untuk Mesir dan Arab Saudi yang berkedudukan di Kairo.24
Indonesia
pada saat itu negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) sudah mempunyai
22
Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 46-57.
23 Sumuran Harahap dan Mr. Mursidi, Op. Cit, Hal. 57-58.
24 Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), Op. Cit, Hal. 17.
kapa-kapal sendiri untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Kementerian
Agama merupakan kantor yang bertanggungjawab untuk mengawasi pelaksanaan
ibadah haji. Pada tahun 1949/1950 pelaksanaan ibadah haji di Indonesia untuk
pertama kalinya dilaksanakan kembali setelah diberhentikan selama masa revolusi
fisik 1945-1949.
Pada tahun 1948, pemerintah Arab Saudi, menurunkan tarif haji (pajak
khusus yang dikenakan kepada semua jamaah haji) dari £ 36.10 menjadi £ 28.
Tarif haji dan besar ongkos naik haji pada tahun 1949 yaitu tahun di mana untuk
pertama kalinya pelaksanaan ibadah haji dilaksanakan kembali setelah masa
revolusi fisik adalah sebesar Rp. 3.395,-. Pas Haji yang dikeluarkan pada saat
Indonesia merdeka merupakan Pas Haji yang berwarna hitam dan dikeluarkan
oleh bupati setempat.25
B. Implikasi dari lahirnya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari dalam Maklumat
Menteri Agama No. 04 Tahun 1947
Fatwa yang dikeluarkan oleh K. H. Hasyim Asy’ari tentang pelarangan
sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia dituangkan dalam Maklumat
Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 oleh Menteri Agama Fathurrahman Kafrawi.
Walaupun naskah asli dari Maklumat Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 tidak
penulis temukan baik pada arsip Kementerian Agama maupun Arsip Nasional
Republik Indonesia, informasi tentang fatwa K. H. Hasyim Asy’ari setidaknya
memberi sedikit gambaran kurang lebih isi maklumat tersebut. Fatwa tersebut
yaitu, “Haram bagi umat Islam meninggalkan tanah airnya dalam keadaan
melakukan perang melawan agama, tidak wajib pergi haji, di mana berlaku fardhu
‘ain bagi umat Islam melakukan perang melawan penjajah bangsa dan agama”.26
Jadi, Implikasi dikeluarkannya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari dalam Maklumat
Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 ada empat pembahasan.
Pertama, tidak adanya pelayanan pelaksanaan ibadah haji dari pemerintah
Republik Indonesia. Pada masa revolusi fisik 1945-1949, Republik Indonesia
mengalami krisis ekonomi akibat adanya blokade Angkatan Laut Belanda
25
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Op. Cit, Hal. 215-337.
26 Zubaedi, Op. Cit, Hal. 191.
terhadap pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah RI tidak
mampu menyediakan kapal-kapal haji untuk mengangkut jamaah haji Indonesia
ke Mekkah.27
Selain itu, pemerintah RI di Yogyakarta tidak mengizinkan bangsa
Indonesia untuk meninggalkan wilayah RI karena situasi dan kondisi wilayah RI
tidak aman akibat serangan yang dilakukan oleh Belanda, ketidakamanan
perjalanan ibadah haji tersebut menjadi faktor pendorong bangsa Indonesia untuk
melakukan perlawanan terhadap serangan-serangan yang dilakukan oleh Belanda.
Pelawanan tersebut berupa perjuangan fisik melalui pertempuran-pertempuran dan
perjuangan diplomatik melalui perundingan-perundingan. Pertempuran yang
terjadi pada masa revolusi fisik di antaranya adalah adanya insiden bendera di
Hotel Yamato, Surabaya. Pada tanggal 19 September 1945, orang-orang Belanda
yang berada di Hotel Yamato mengibarkan bendera Belanda di puncak hotel,28
pada tanggal 10 November di Tebingtinggi diadakan suatu pertemuan untuk
berjuang di Medan Area,29
pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 November
1945 dan perlawanan yang terjadi di Bandung dikenal dengan perstiwa Bandung
Lautan Api pada tanggal 23 Maret 1946.30
Perjuangan melalui diplomatik yaitu,
perundingan Linggarjati,31
perundingan Renville, perundingan Roem Royen dan
Kenferensi Meja Bundar. Berdasarkan hal tersebut, dikeluarkannya fatwa K.H.
Hasyim Asy’ari dalam Maklumat Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 tentang
pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji telah memberikan implikasi
terhadap pelayanan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia yaitu tidak adanya
pelayanan bagi pelaksanaan ibadah haji oleh pemerintah RI. Karena saat itu,
pemerintah RI malakukan perjuangan bagi mempertahankan kemerdekaan RI.
Kedua, tidak adanya partisipasi dari sebagian jamaah RI atas pelayanan
pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Walaupun
dalam praktiknya masih ada yang melaksanakan ibadah haji yang berangkat ke
Mekkah, keberangkatannya pun menjadi beban moral tersendiri karena jamaah
27
Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 18.
28 Ibid, Hal. 103.
29 Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Op. Cit, Hal. 119-121.
30 Ahmad Mansur Suryanegara, Op. Cit, Hal. 210-213.
31 Sutan Sjahrir (Indonesia), Schermerhorn (Belanda) dan Lord Killearn (Inggris). Lihat
dalam J. Laroppe & R. Soetejo, Op. Cit, Hal. 240.
haji yang melaksanakan ibadah haji dengan menggunakan pelayanan Kongsi Tiga
akan diberikan julukan haji NICA. Dalam sejarah perkembangannya, pelayanan
dalam pelaksanaan ibadah haji di Indonesia dilakukan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Pelayanan tersebut diantaranya adalah disediakannya kapal-kapal haji
yang dikenal dengan nama Kongsi Tiga. Selain kapal haji, peraturan-peraturan
terkait dengan pelaksanaan ibadah haji juga diatur oleh pemerintah Belanda dalam
bentuk kebijakan dan resolusi. Kebijakan tersebut isinya diantanya adalah terkait
pas jalan, ketentuan kapal haji yang layak pakai dan peraturan selama perjalanan.
Pelayanan tersebut terus dilakukan oleh Belanda walaupun Indonesia sudah
merdeka. Hal tersebut Belanda lakukan untuk menarik simpati dan dukungan
bangsa Indonesia terhadap keberadaan Belanda di Indonesia. Pelayanan yang
dilakukan Belanda pada masa revolusi fisik diantaranya adalah disediakannya
kapal haji, pemberian tunjangan dan program pemulangan haji gratis bagi para
mukim di Mekkah. Pada saat dikeluarkannya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari dalam
Maklumat Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 tentang pelarangan sementara
pelaksanaan ibadah haji di Indonesia, para jamaah RI menolak pelayanan tersebut.
Di Kalimantan Selatan, pasukan gerilya dibawah pimpinan Letjen Hasan Basri
melarang siapa pun yang ingin melaksanakan ibadah haji kecuali benar-benar
mendesak. Akibatnya, 540 jamaah haji memilih tidak berangkat haji.32
Ketiga, adanya julukan bagi jamaah haji yang melaksanakan ibadah haji
dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah Belanda yaitu haji NICA dan
mukim NICA. Penolakan terhadap pelayanan pelaksanaan ibadah haji yang
dilakukan oleh Belanda merupakan awal munculnya julukan haji NICA dan
mukim NICA. Julukan tersebut ditujukan kepada jamaah haji Indonesia yang
menerima pelayanan Belanda. Haji NICA adalah mereka yang berangkat
melaksanakan ibadah haji menggunakan kapal-kapal haji milik Belanda dari
Indonesia ke Mekkah. Mukim NICA adalah mereka yang menerima pelayanan
haji yang diberikan Belanda selama di Mekkah. Misalnya, sejak pertengahan
bulan April 1945, melalui Konsulat Belanda di Mekkah, pemerintah Belanda
mengumumkan adanya pemulangan para mukim ke Indonesia secara gratis
32
Budi Setiyono, Haji Republik dan Haji Nica. http://historia.id/agama/haji-republik-vs-
haji-nica. Diunduh pada tanggal 05 Juni 2018 pukul 06.25.
namun, pengumuman tersebut kebanyakan ditolak oleh para mukim dan hanya
sembilan mukim yang mendaftarkan diri kepada Konsul di Mekkah. Enam berasal
dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan tiga berasal dari Pontianak, Kalimantan
Barat dan berangkat pada bulan November 1946. Bagi para mukim yang
menerima tersebut diberi label Nica mukims oleh mukim yang lain.33
Oleh karena
itu, dengan dikeluarkannya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari dalam Maklumat Menteri
Agama No. 04 Tahun 1947 memunculkan adanya julukan haji NICA dan mukim
NICA sebagai sikap yang ditujukan dalam rangka penolakan bangsa Indonesia
terhadap keberadaan Belanda dan bentuk dukungan penuh terhadap kemerdekaan
RI 1945.
Keempat, menunjukkan persaingan antara pemerintah RI dengan
pemerintah Belanda dalam pelaksanaan ibadah haji di Indonesia melalui misi-misi
haji yang dilakukan. Tidak adanya pelayanan pelaksanaan ibadah haji oleh
pemerintah RI tidak menjadikan pelayanan pelaksanaan ibadah haji dilupakan
begitu saja. Pemerintah RI mengirimkan misi-misi haji sebagai upaya untuk
membangun kembali pelayanan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia. Misi haji
pertama, berangkat pada tanggal 28 November 1948, Menteri Agama K.H.
Masjkur mengirimkan empat orang utusannya ke Mekkah yang terdiri dari KRH.
Muh. Adnan, H. Ismail Banda, H. Saleh Suaidi dan H. Samsir Sutan Ameh.34
Misi haji kedua, berangkat pada tanggal 28 September 1949 dan diterima oleh
Ibnu Saud pada tanggal 3 Oktober 1949. Misi ini kembali ke Indonesia pada
tanggal 7 Desember 1949. Selain Ali Hasjmy, misi ini terdiri dari Syekh H.
Abdulhamid, H. Ameh Samsir, M. Noor al-Ibrahim, Prof. Abdulkahar Muzakkir
dan Syekh Awab Sjahbal.35
Selain pemerintah RI, Belanda juga melakukan misi
haji yaitu, misi kehormatan dari Negara Indonesia Timur yang bermaksud
mengunjungi Ibnu Saud dan menumbuhkan semangat iktikad baik di antara kaum
Muslimin. Pada tanggal 8 Juli 1947, pemerintah NIT memutuskan untuk
menunjuk Syekh Bachmid yang berasal dari Sulawesi Selatan sebagai pimpinan
misi kehormatan. Pada tanggal 10 September 1947, Kementerian Luar Negeri
33
Ibid, Hal. 192-193.
34 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 19.
35 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 206.
Saudi memberitahukan kepada Konsulat Belanda di Jeddah bahwa mereka telah
menyetujui dan akan menerima misi kehormatan yang dikirimkan Belanda. Misi
ini diikuti oleh Sultan Pontianak, Sultan Hamid II al-Kadri sebagai Kepala Daerah
Khusus Kalimantan Barat. Anggota dalam misi ini di antaranya adalah anak
Daeng Mttejang, Baso Daeng Malewa, H. Abdurrahman, H. Bustami, Hasan
Zakaria, H. Ziruddin, Darwish Zakaria, H. Wibowo dan Sayyid Abdurrahman al-
Massawa. Misi ini tiba di Jeddah pada tanggal 22 Oktober 1947 dan diterima
sebagai tamu resmi oleh pemerintah Arab Saudi.36
Berdasarkan hal tersebut, fatwa
K.H. Hasyim Asy’ari dalam Maklumat Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 telah
melahirkan persaingan antara pemerintah RI dan Belanda dalam memperjuangkan
pemerintahannya masing-masing di bidang pelaksanaan ibadah haji.
36
Ibid, Hal. 199-200.