Upload
trinandadeva
View
220
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IV
RAGAM MENU RITUAL
Secara umum ritual dapat didefinikan sebagai aktivitas adat yang dibakukan,
yang berulang secara periodik dalam hubungan-hubungan manusia secara teknis,
sosio-kultural, rekreasional dan religius.1 Tujuannya adalah untuk mewujudkan
atau mengulangi peristiwa primodial, yang hampir selalu berdasarkan mitos
tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ritual merupakan agama dalam
tindakan.2
Agama menurut Brian Morris3 adalah suatu institusi sosial, suatu sistem
sosio-budaya, dan tidak sekedar sebagai ideologi atau sistem kepercayaan. Semua
agama baik yang bersifat antroposentrik maupun theosentrik, selalu
mempermasalahkan bagaimana manusia mengkonsepsikan alam transenden dalam
hubungannya dengan alam mondial terutama dengan diri manusia. Di antara
kedua alam yang berbeda dimensinya itu, dipersepsikan terjalin hubungan timbal
balik yang kemudian dituangkan menjadi doktrin-doktrin tentang mkhluk
adimanusiawi termasuk Tuhan, menjadi narasi mitologi, etika moral dan ritual.4
Dalam kenyataannya tindakan agama juga mencerminkan kesadaran manusia
terhadap yang transenden, atau suatu rasa terhadap yang numinous, dan yang
1 Suhardi, 2009: 11-12.2 Dhavamony, 1995: 168.3 Morris, 2006: 1.4 Suhardi, 2009: 11.
paling penting adalah bahwa agama pada tataran praktis dan mitologis adalah
suatu sistem simbol.5
Ritual dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:
1. Tindakan magi, terkait dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena
daya-daya mistis;
2. Tindakan religius, dan kultus para leluhur, juga bekerja karena daya-daya
mistis;
3. Ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan
merujuk pada pengertian-pengertian mistis;
4. Ritual faktitif yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian
dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi
suatu kelompok.6
Ritual yang dilakukan oleh masyarakat Sunda sangat beragam. Dalam ritual
itu, makanan berupa sesaji maupun makanan yang nantinya akan dimakan
bersama, merupakan salah satu syarat berlangsungnya suatu ritual. Sesaji yang
diperuntukan bagi karuhun dan Nyi Pohaci atau Dewi Sri sebagai tokoh yang
sangat penting dalam pertanian, dan tentunya adalah Tuhan Yang Maha Esa
sebagai pencipta, pemelihara, dan mengambil kembali apa-apa yang sudah
diberikannya kepada manusia, bentuk dan maknanya tidak jauh berbeda dengan
sesaji suku-suku bangsanya lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, pengadaan
5 Tambiah (1970), dan Otto (1917) dalam Suhardi, 2009: 2; Geertz, 1973: 90.6 Dhavamony, 1995: 175.
makanan untuk keperluan ritual di suatu tempat akan sama, hanya saja bentuk
makanannya akan sangat bervariasi.
Terkait dengan hal itu, manusia senantiasa mencari jalan keselamatan baik
secara fisik maupun secara psikologis dan spiritual. Keselamatan (salvation)
adalah tujuan akhir dari kehidupan manusia, yang dalam cara pencapaiannya
sesuai dengan ajaran masing-masing agama, yang intinya adalah keinginan untuk
menjalin komunikasi dan hasrat bersekutu dengan Tuhan. Berkenaan dengan asal
usul agama, pencarian jalan keselamatan pun memiliki perspektif yang berbeda.
Pada agama antroposentrik, perspektif keselamatannya bersifat kosmologis,
sedangkan pada agama theosentrik, perspektif keselamatannya bersifat
soteriologis.7
Makanan berupa sesaji ataupun makanan yang disajikan sebagai wujud
kebersamaan, bentuk dan maknanya secara menyeluruh hampir sama di kawasan
berbudaya Sunda di wilayah Provinsi Jawa Barat. Kepercayaan adanya
pengkultusan terhadap leluhur, serta adanya kesejajaran antara makrokosmos dan
mikrokosmos menjadi dasar perkembangan ritual yang berlangsung selama
berabad-abad. Walaupun demikian, pergeseran nilai yang terjadi karena
perkembangan agama yang mempengaruhi wilayah Sunda di Jawa Barat, tidak
menghilangkan bentuk ritual dengan segala perlengkapannya. Tidak kurang dari
40 jenis kegiatan ritual yang selama ini dilakukan oleh masyarakat Sunda. Salah
satu dari beragam ritual itu, beberapa di antaranya adalah ritual lingkaran hidup
yang dilakukan baik oleh masyarakat umum maupun komunitas adat, sedangkan
7 Suhardi, 2009: 13-14.
ritual lainna, di antaranya ruwatan (ngaruat bumi, ngaruat laut, dan sebagainya),
seren taun, ngalaksa, dan sebagainya. Beberapa di antaranya diurai dalam sub bab
berikut:
4.1 LINGKARAN HIDUP (LIFE CIRCLES)
A. PRA KELAHIRAN
TINGKEBAN (HAMIL 7 BULAN)
Tingkeban8 merupakan ritual yang diselenggarakan ketika seorang
perempuan hamil 7 bulan. Tujuannya adalah untuk berterimakasih atas calon janin
yang diberikan, sekaligus memohon keselamatan dan kelancaran selama proses
dan sesudah persalinan, serta ibu dan bayi diberi kesehatan. Ritual ini pada
umumnya dilakukan oleh masyarakat Sunda9 terutama lapisan menengah ke atas.
Penyelenggaraannya biasanya pada pagi pukul 07.00, atau malam pukul 19.00,
tergantung dari keluarga yang bersangkutan.
Makanan sebagai salah satu syarat ritual yang berfungsi sebagai makanan
pengiring doa, bisa bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lain, walaupun
pada prinsipnya tidak menyalahi aturan yang berlaku. Misalnya, pada salah satu
wilayah di Kabupaten Bandung, jenis makanan yang disajikan, yaitu:
1. Makanan wajib berupa sesaji yang bermakna sebagai tanda terimakasih kepada
para karuhun, terdiri dari
8 Intani, dkk.. 1998. Sajian dalam Upacara Adat di Desa Ciapus, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, hlm. 14-29.
9 Masyarakat yang dimaksud dalam uraian ini adalah masyarakat Sunda yang berada di Desa Ciapus, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung.
a. Rujak (rurujakan) 7 macam, yaitu rujak kelapa, rujak roti, rujak asem, rujak
jeruk nipis, rujak nanas, rujak pisang manggala, dan rujak pisang Ambon.
Masing-masing rujak ditempatkan dalam wadah berbentuk limas, lalu
diletakan dalam sebuah baki. Rurujakan ini merupakan simbol rasa hormat,
baik anak kepada orang tua, maupun keluarga kepada karuhunnya;
b. Beras, dan telur ayam kampung 1 butir, disajikan pada sebuah rantang;
c. Kue-kue (hahampangan) 7 macam terdiri dari ranginang, opak, kolontong,
widara, tengteng, simping, dan semprong, disajikan pada sebuah baki;
Ketujuh jenis rurujakan dan hahampangan merupakan simbol hari
(seminggu terdiri dari 7 hari), dan bermakna pula janin dalam kandungan sudah
mencapai bulan ketujuh, artinya janin sudah dipersiapkan untuk lahir. Oleh
karena itu, jika tidak dijaga dengan baik, sewaktu-waktu janin bisa lahir ke
dunia;
d. Tangtang angin;
e. Buras;
f. Kupat keupeul;
g. Leupeut.
2. Makanan yang tidak termasuk sesaji tetapi harus ada, hanya saja keperluannya
adalah untuk disajikan atau dibagikan pada para tamu, yaitu:
a. Rujak Kanistren, disajikan dalam sebuah baskom, banyaknya tergantung
dari keluarga penyelenggara.
b. Tumpeng nasi kuning beserta lauk pauk berupa kentang, telur rebus, dan
ikan teri, disajikan pada sebuah nyiru. Tumpeng bisa berarti tumpak-tumpak
yang bermakna meskipun berbeda-beda tetap satu.
c. Minuman berupa air, teh, atau kopi.
Dalam penyelenggaraan ritual ini, yang terlibat adalah orang tua dan kerabat
dari kedua belah pihak baik istri maupun suami, para tetangga dan pemimpin
ritual yaitu paraji (indung beurang). Mereka duduk bersama dalam satu lingkaran
beralaskan tikar/karpet untuk membacakan doa selamat. Setelah itu, rujak
kanistren dan tumpeng dibagikan kepada yang hadir untuk disantap bersama.
Khusus untuk rujak kanistren, rujak ini dibagikan kepada anak-anak dengan
menukarkan uang terbuat dari genteng berbentuk bulat.
Variasi makanan lainnya dalam ritual Tingkeban, misalnya:
1. Makanan wajib berupa sesaji, yaitu:
a. Umbi-umbian (beubeutian) rebus 7 macam, yaitu ganyol, sampeu, hui, tales,
suuk, sagu, seupan waluh;
b. Buah-buahan 7 macam, misalnya jambu air, jambu batu, kedondong, jeruk,
delima, mangga, ketimun.
Kedua jenis makanan ini melambangkan kesuburan, kesehatan, dan
kemakmuran;
c. Rujak (rurujakan 7 macam, yaitu rujak kelapa, rujak roti, rujak asem, rujak
jeruk nipis, rujak nanas, rujak pisang manggala, rujak pisang Ambon.
d. Kue-kue (hahampangan) 7 macam, misalnya ranginang, kolontong, wajit,
angleng, dodol, kiripik pisang, kiripik talas, yang melambangkan agar ibu
hamil selama kehamilannya tidak merasa berat;
Meskipun makanan ini dimaksudkan untuk sesaji, setelah pemimpin ritual
membacakan doa, makanan tersebut akan dibagikan kepada yang hadir seusai
ritual;
2. Minuman berupa air, teh, atau kopi;
3. Kelapa gading bertuliskan huruf Arab serta gambar tokoh Arjuna dan Sembadra
yang melambangkan keinginan orang tua agar anaknya tampan seperti Arjuna
atau cantik seperti Sembadra. Kelapa ini pada saat ritual akan dibelah oleh
suami si ibu hamil. Jika gambar Arjuna yang terbelah maka anaknya laki-laki,
namun jika gambar Sembadra yang terbelah, maka anaknya perempuan.
Variasi makanan pada ritual Tingkeban di wilayah lain di Kabupaten Bandung,
yaitu:
1. Makanan wajib berupa sesaji terdiri dari:
a. Umbi-umbian (beubeutian) rebus 7 macam, yaitu ganyol, sampeu, hui, tales,
suuk, sagu, seupan waluh;
b. Buah-buahan 7 macam, misalnya jambu air, jambu bstu, kedondong, jeruk,
delima, mangga, ketimun. Ketujuh jenis buah-buahan ini sebagian dibiarkan
utuh, dan sebagian lagi untuk rujak kanistren.
Kedua jenis makanan ini melambangkan kesuburan, kesehatan, dan
kemakmuran.
c. Kue-kue (hahampangan) 7 macam, misalnya ranginang, kolontong, wajit,
angleng, dodol, kiripik pisang, dan kiripik talas. Kue-kue ini melambangkan
agar ibu hamil selama kehamilannya tidak merasa berat;
d. Rujak (rurujakan) 7 macam, yaitu rujak kelapa, rujak roti, rujak asem, rujak
jeruk nipis, rujak nanas, rujak pisang manggala, dan rujak pisang Ambon.
Makanan serba manis dibungkus daun kawung, yang masing-masing diwadahi
dengan wadah dari daun pisang (pontrang), demikian pula dengan rurujakan;
e. Tujuh macam ikan asin goreng;
f. Tangtang angin;
g. Kupat keupeul;
h. Leupeut;
Pada wilayah lainnya, adakalanya makanan wajib ditambah dengan 7 piring
kecil (pisin) bubur beureum dan bubur bodas.10
2. Makanan yang bukan sesaji, yaitu:
a. Rujak kanistren, sebanyak 3 lumpang, masing-masing diwadahi dengan
wadah dari daun pisang, untuk kemudian.dibagikan kepada masyarakat,
terutama anak-anak yang hadir dalam ritual tersebut;
b. Tumpeng untuk sajian (ditengkor), yaitu dibungkus dengan daun pisang
berbentuk persegi, yang kedua ujungnya ditusuk dengan lidi atau sejenisnya.
c. Nasi putih (sangu pera);
10 Herayati, dkk., 1993: 86.
d. Lalaban, misalnya antanan, daun bluntas, daun mangkok, daun cangkudu,
daun katuk, daun kenikir, surawung;
e. Minuman berupa air, teh, atau kopi.
Khusus ibu hamil, dilarang memakan makanan yang berasal dari hewan potong,
misalnya ayam atau kambing.
Setelah makanan baik makanan untuk sesaji maupun makanan yang
disajikan untuk dimakan bersama atau dibawa pulang oleh para tamu, disajikan di
atas tikar atau karpet, pemimpin ritual membacakan doa. Doa yang biasanya
dibacakan adalah doa yang dikirimkan kepada para sahabat dan aulia, serta para
karuhun dengan membaca Al-Fatihah. Kemudian dilanjutkan dengan bershalawat
kepada Rasulullah Muhammad SAW, dan membacakan doa selamat, di antaranya
doa Isy-fahu, yaitu:
“Allahumma isy-fahu bis syafaaika wad wahu bi’dawa ika wa man kholfahu min balaika syufaan azalan min alqil quranil adzim. Birahmatikatihi nabiyil kal karim, birahmatika Ya Rohaman Ya rohimin”.
HAMIL 9 BULAN
Hamil 9 bulan11 merupakan ritual yang diselenggarakan ketika seorang
perempuan hamil 9 bulan. Tujuannya adalah untuk berterimakasih atas calon janin
yang diberikan, sekaligus memohon keselamatan dan kelancaran selama proses
dan sesudah persalinan, serta ibu dan bayi diberi kesehatan. Ritual ini pada
umumnya dilakukan oleh masyarakat Sunda lapisan bawah. Penyelenggaraaannya
biasanya pada pagi atau siang, tergantung dari keluarga yang bersangkutan.
11 Herayati, dkk., 1993: 87.
Makanan wajib berupa sesaji terdiri dari 7 piring bubur lolos. Makanan
lainnya, yang akann disajikan untuk para tamu adalah satu nasi tumpeng atau satu
baskom nasi wuduk, dan satu sisir pisang. Sebagai pelengkap disajikan minuman
berupa air, teh, atau kopi.
Setelah makanan disajikan di atas tikar atau karpet, keluarga, paraji, dan
tamu undangan duduk mengelilingi makanan tersebut. Pemimpin ritual
membacakan doa selamat. Setelah itu, keluarga dan para tamu menyantap
hidangan yang disajikan.
B. PASCA KELAHIRAN
SELAMATAN TURUN MURANGKALIH (OROK)
Ritual pascakelahiran12 merupakan kelanjutan dari ritual prakelahiran yang
bertujuan untuk mengucap syukur atas kelahiran bayi, serta harapan agar bayi
tersebut mendapat berkah, sekaligus sebagai upaya pemulihan bagi kesehatan ibu
yang baru melahirkan.
Adapun makanan wajib yang disajikan berupa:
- Bekakak (ayam panggang) 1 ekor. Ketika dipotong, darah ayam tersebut
melambangkan pengganti darah yang keluar bersama bayi sewaktu lahir;
- Sambel goreng ubi 1 piring;
- Oseng cabai 1 piring;
12 Intani, dkk., 1998: 33.
- Rurujakan, yaitu rujak pisang ambon, rujak pisang manggala, rujak pisang susu,
rujak pisang emas, rujak pisang nangka, rujak pisang bogo, rujak pisang raja,
masing-masing 1 gelas, melambangkan hari (7 hari dalam seminggu);
- Air kopi manis 1 gelas.
Sajian tersebut diletakan di atas tikar, demikian pula keluarga, paraji, dan
orang yang berdoa duduk di atas tikar, kemudian pendoa membacakan doa, yaitu:
“Ukur Adamluhur nu suci rupa agung ratu mang mutug Ratu agung kang mulyanu nerus pitung langit pitung bumiastana kuna janggeleknu calik jeneng gumentercer putih sang kulincersang eleg sang gulunggang herangmas cahaya nu bunder ngarasakeun bundernu calik di puncak gunung tiisnu muter sajagat kabehRaden Santri kumaralahnu calik di Cirebon Girangnu mimiti kagungan sahadat SundaAsyhadu kadua wekasanpasihan Allah nu murba”.
(Dibisikan pada telinga bayi)
“Bismillahir rahmaanir rahiimDangdaring manuk dangdaringeunteup dina pari layaeuweuh aing tanyakeun aingaya aing tanyakeun ainglos ka gedong asa kosongbale gede asa rehedayeuh maneh asa keueungcai asa tuak bari
kejo asa catang bobolauk asa tatal jatianggel asa psngganjelsimbut asa pangrurugjauh kairut deukeut ka pureutmangka welas mangka asihsih asih ka budak abdi”.
PUPUT PUSEUR (CUPLAK PUSEUR)
Puput Puseur (Cuplak Puseur)13 merupakan ritual yang diselenggarakan 3
sampai 15 hari pascakelahiran bayi, tergantung dari lepasnya ujung plasenta dari
puser bayi. Penyelenggaraan ritual dilakukan pada siang hari antara pukul 13.00-
16.00. Tujuannya adalah untuk mensyukuri karunia Allah SWT atas satu fase
kehidupan yang telah dilalui oleh bayi yaitu lepasnya tali ari-ari dari puser bayi,
dan memohon keselamatan bayi tersebut. Ritual ini pada umumnya dilakukan
oleh masyarakat Sunda lapisan menengah ke atas.
Adapun makanan wajib yang disajikan berupa:
- Bubur merah (beureum) dan bubur putih (bodas), yang melambangkan merah
sebagai warna kulit bayi yang kemerahan, sedangkan putih melambangkan
kesucian bayi yang belum berdosa;
- Kue-kue (hahampangan), berupa ranginang, opak, kolontong, kiripik, wajit,
semprong, borondong;
- Rurujakan, berupa rujak pisang emas, rujak pisang raja bulu, rujak pisang kapas,
jeruk nipis, kelapa muda, asem, gula merah. Pisang tidak boleh dempet
(bersatu/dua menjadi satu).
13 Intani, dkk., 1998: 33-43.
Jumlah dan jenis makanan yang disajikan disesuaikan dengan hari kelahiran
bayi (weton), yaitu senin (empat), selasa (tiga), rabu (tujuh), kamis (delapan),
jumat (enam), sabtu (sembilan), minggu (lima). Jika hari senin, maka makanan
yang disajikan terdiri dari 4 macam, dan seterusnya.
Setelah semua makanan diberi wadah masing-masing, makanan tersebut
diletakan di atas tikar, beserta minuman berupa air, teh, atau kopi.. Keluarga,
paraji, dan orang yang berdoa duduk mengelilingi sajian kemudian membaca doa
selamat.
Pada wilayah lainnya di Kabupaten Bandung, jenis makanan pada ritual
Puput Puseur (Cuplak Puseur) berupa:
- Makanan wajib berupa rurujakan, misalnya rujak pisang manggala, rujak pisang
emas, rujak pisang bogo, rujak pisang susu, rujak pisang ambon, rujak pisang
nangka, rujak pisang raja; rujak kelapa dari kelapa muda, rujak jeruk nipis;
Bubur merah (beureum) dan bubur putih (bodas); rurujakan dan bubur masing-
masing ditempatkan dalam 7 wadah.
Makanan wajib ini dimaknai sebagai perlambangan, misalnya pisang raja
melambangkan kepemimpinan, pisang nangka melambangkan keharuman,
pisang susu melambangkan kesucian, pisang emas melambangkan larangan agar
tidak memakan buah tersebut sehingga tidak mendapat majikan yang
temperamental, pisang manggala melambangkan agar dalam hidup nanti dapat
memisahkan antara yang hak dan yang batil, pisang ambon melambangkan
kebesaran jiwa, pisang bogo melambangkan kepribadian khas. Rujak jeruk nipis
melambangkan menghilangkan hal-hal yang kurang baik sebagaimana kegunaan
jeruk nipis sebagai penghilang bau (amis). Bubur merah dan bubur putih
melambangkan darah merah dan darah putih sebagai simbol keseimbangan
tubuh.
- Kue-kue (hahampangan) berupa ranginang, opak, kolontong, kiripik, wajit,
semprong, borondong, yang akan disajikan pada hadirin. Jenis dan jumlahnya
bisa ditambah tergantung dari keadaan ekonomi keluarga yang bersangkutan.
Setelah semua makanan diberi wadah masing-masing, makanan tersebut
diletakan di atas tikar, beserta minuman berupa air, teh, atau kopi. Keluarga,
paraji, dan pemimpin ritual duduk mengelilingi sajian. Setelah pembacaan doa
syukur, para hadirin menyantap hidangan bersama-sama.
Demikian pula pada wilayah lainnya di Kabupaten Bandung, jenis makanan
pada ritual Puput Puseur (Cuplak Puseur) berupa:
- Makanan wajib berupa rurujakan, misalnya rujak pisang manggala, rujak pisang
emas, rujak pisang bogo, rujak pisang susu, rujak pisang ambon, rujak pisang
nangka, rujak pisang raja; rujak kelapa dari kelapa muda, rujak jeruk nipis;
Bubur merah (beureum) dan bubur putih (bodas);
Makanan wajib ini dimaknai sebagai perlambangan, misalnya beragam pisang
melambangkan sifat-sifat luhur yang diharapkan ada pada bayi. Sementara itu,
bubur merah dan bubur putih melambangkan kehidupan lahir dan batin
- Kue-kue (hahampangan) berupa ranginang, opak, wajit, kacang rebus, pisang
rebus, dan umbi-umbian rebus;
- Tumpeng atau nasi putih.
Semua makanan ditempatkan dalam sebuah nyiru setelah masing-masing
makanan ditempatkan dalam wadah, disertai dengan minuman berupa air, teh,
atau kopi. Setelah itu, makanan diletakan di atas tikar. Keluarga, paraji, dan
pemimpin ritual duduk mengelilingi sajian. Setelah pembacaan doa, para hadirin
menyantap hidangan bersama-sama.
Bagi ibu yang baru melahirkan dilarang meminum air panas sebab akan
mempengaruhi ASI.
EKAH
Ekah14 merupakan ritual yang diselenggarakan ketika bayi baru lahir, dan
akan diberi nama. Penyelenggaraan ritual dilakukan pada siang, sore, atau malam
hari. Tujuannya adalah memenuhi ajaran agama Islam, yaitu jika anak yang lahir
perempuan, maka disembelih 1 ekor domba jantan, dan jika anak yang lahir laki-
laki disembelih 2 ekor domba jantan. Ritual ini pada umumnya dilakukan oleh
masyarakat Sunda lapisan menengah ke atas.
Makanan wajib berupa nasi, daging domba yang sudah dimasak menjadi
sate dan atau gulai, acar ketimun, sambal, dan lalab. Sebagai pelengkap disajikan
pisang ambon atau pisang raja, wajid, ranginang, dan opak, serta minuman berupa
air, teh, atau kopi..
Semua makanan ditempatkan dalam wadah masing-masing. Setelah itu,
makanan diletakan di atas tikar. Keluarga, kyai, dan tetangga terdekat duduk
14 Herayati, dkk., 1993: 88.
mengelilingi sajian. Setelah pembacaan doa, para hadirin menyantap hidangan
bersama-sama.
EMPAT PULUH HARI
Empat puluh hari15 merupakan ritual yang diselenggarakan ketika bayi
berumur 40 hari. Tujuannya adalah untuk memohon keselamatan ibu dan bayi,
terutama ibu yang baru melahirkan agar tubuhnya cepat pulih. Penyelenggaraan
ritual dilakukan pada pagi hari. Ritual ini pada umumnya dilakukan oleh semua
lapisan masyarakat Sunda.
Makanan wajib berupa bubur merah (beureum) dan bubur putih (bodas);
angeun pahinum yaitu sayur yang terbuat dari 40 bahan makanan, terdiri dari
umbi-umbian berupa ganyol, singkong, ubi, talas, sagu, kentang, bengkuang;
kacang-kacangan berupa kacang merah, kacang tanah, roay, kacang polong, dan
lain-lain; umbut antara lain umbut kacang, umbut kelapa, umbut nibung, ikan asin;
bandrek, bekakak ayam; tumpeng, pamasangan atau tumis khusus yang diberikan
pada paraji; makanan yang diolah dari beras, misalnya tangtang angin, leupeut,
buras, kupat; kue-kue (hahampangan) berupa ranginang asin dan manis, opak,
wajit, angleng, kacang rebus, pisang rebus, dan umbi-umbian rebus.
Sebagai pelengkap disajikan pisang, minuman berupa air, teh, atau kopi.
Semua makanan ditempatkan dalam wadah masing-masing. Setelah itu,
makanan diletakan di atas tikar. Keluarga, paraji (indung beurang), dan tetangga
terdekat duduk mengelilingi sajian. Setelah pembacaan doa, para hadirin
15 Herayati, dkk., 1993: 89.
menyantap hidangan bersama-sama. Bandrek hanya diminum oleh ibu yang baru
melahirkan, dan ibu itu pantang makan makanan asam, pisang, pepaya.
MARHABAAN
Sebelum acara marhabaan, dilakukan ritual ngahuripan16 yang biasanya
diselenggarakan pada pukul 14.00. Perlengkapan yang harus disediakan adalah
rurujakan, beras I liter yang akan digunakan sebagai makanan ayam, ayam
kampung hidup yang masih muda 1 ekor, telur ayam kampung 1 butir, kunyit
untuk mewarnai benang yang akan dijadikan gelang tangan dan kaki, serta kalung
si anak.
Perlambangan yang termaktub pada ayam dan beras adalah apabila ayam
kampung langsung mematuki beras yang disediakan sehingga beras tampak
berhamburan, maka pertanda kelak si anak akan banyak rejeki, dan si anak pun
akan membagikan rejekinya pada orang yang membutuhkan.
Doa yang menyertai ritual ini adalah Al-fatihah, dilanjutkan dengan
pembacaan mantra disertai dengan membakar kemenyan:
“Bul kukus ka sang rumuhunka handap ka sang bataramuga ji sim abdi bade nyanggakeun ka sunan ibu sareng ka sunan ramabade nyanggakeun saderekna jabang bayi nu opat kalima panserbilih aya hiri dengki jail kaniaya ser seor.Lailaha illallah muhammad darasullullah”
16 Intani, dkk., 1998: 50-53.
Setelah ritual ngaruhipan selesai, dilanjutkan dengan ritual Marhabaani17
yang diselenggarakan berkenaan dengan pengguntingan rambut bayi.
Penyelenggaraan ritual dilakukan pada sore atau malam hari. Ritual ini pada
umumnya dilakukan oleh semua lapisan masyarakat Sunda, terutama lapisan
menengah ke atas.
Makanan yang disajikan berupa nasi dengan lauk pauknya seperti semur
daging, goreng ikan atau acar ikan, goreng tahu, goreng tempe, sambal goreng
kentang, kerupuk atau emping, dan bihun goreng, acar ketimun. Sebagai
pelengkap disajikan kue-kue (hahampangan), misalnya wajit atau dodol, angleng,
ranginang, opak, bugis, papais atau nagasari, dan minuman berupa air, teh, atau
kopi.
Semua makanan ditempatkan dalam wadah masing-masing. Setelah itu,
makanan diletakan di atas tikar. Keluarga, paraji (indung beurang), dan tetangga
terdekat duduk mengelilingi sajian. Setelah pembacaan doa, para hadirin
menyantap hidangan bersama-sama.
GUSARAN
Gusaran merupakan ritual yang diselenggarakan berkenaan dengan
pemotongan gigi. 18 Penyelenggaraan ritual dilakukan pada pagi hari.
Makanan wajib berupa kue-kue (hahampangan) berupa ranginang, opak,
wajit, kacang rebus, pisang rebus, dan umbi-umbian rebus; Rurujakan, misalnya
rujak pisang manggala, rujak pisang emas, rujak pisang bogo, rujak pisang susu,
17 Herayati, dkk., 1993: 89-90.18 Herayati, dkk., 1993:90-91;
rujak pisang ambon, rujak pisang nangka, rujak pisang raja; rujak jeruk nipis;
duwegan; pisang emas, dan air kopi.
Sebagai makanan pelengkap disajikan wajit, papais tepung beras, bugis,
ranginang, opak, gulampo, pisang lainnya, dan air minum.
Pada beberapa daerah, misalnya di Kabupaten Bandung, ritual ini sekaligus
juga untuk keperluan tindik, atau khitanan bagi anak perempuan. Penyelenggaraan
ritual dilakukan pada sore hari antara pukul 14.00-15.00. Tujuannya adalah
memohon keselamatan pada Yang Maha Kuasa untuk anak yang akan ditindik,
dipotong gigi, atau dikhitan. Ritual ini pada umumnya dilakukan oleh masyarakat
Sunda lapisan menengah ke atas.
- Makanan wajib berupa bubur merah (beureum) dan bubur putih (bodas); Beras;
Rurujakan, misalnya rujak pisang manggala, rujak pisang emas, rujak pisang
bogo, rujak pisang susu, rujak pisang ambon, rujak pisang nangka, rujak pisang
raja; rujak kelapa dari kelapa muda, rujak jeruk nipis; Kue-kue (hahampangan)
berupa ranginang, opak, wajit, kacang rebus, pisang rebus, dan umbi-umbian
rebus;
Banyaknya makanan wajib disesuaikan dengan hari lahir (weton) si anak.
- Tumpeng dan atau nasi putih dengan lauk pauknya untuk menjamu para tamu.
Semua makanan ditempatkan dalam sebuah nyiru setelah masing-masing
makanan ditempatkan dalam wadah, disertai dengan minuman berupa air, teh,
atau kopi. Setelah itu, makanan diletakan di atas tikar. Keluarga, paraji, dan
pemimpin ritual duduk mengelilingi sajian.
Pemimpin ritual sambil membakar kemenyan, membaca mantra sebagai
berikut:
“Bul kukus ka sang rumuhunka handap ka sang bataramuga ji sim abdi bade nyanggakeun ka sunan ibu sareng ka sunan ramabade nyanggakeun saderekna jabang bayi nu opat kalima panserbilih aya hiri dengki jail kaniaya ser seor”.
Setelah itu, dibacakan doa-doa misalnya Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Ayat Qursi,
dan lain-lain tergantung pada si pemimpin ritual.
Setelah pembacaan doa, para hadirin menyantap hidangan bersama-sama.19
SEPITAN/KHITANAN
Sepitan20 merupakan ritual yang diselenggarakan berkenaan dengan
nyepitan atau mengkhitan anak laki-laki. Penyelenggaraan ritual dilakukan pada
pagi hari, selepas sholat shubuh.
Makanan yang disajikan sebagai syarat adalah untuk anak yang dikhitan
berupa satu piring nasi tumpeng atau nasi wuduk, satu atau dua ekor bekakak
ayam, satu atau tiga tususk sate ati ayam, satu piring goreng daging dan ati
domba, satu piring sate domba. Satu piring kue-kue terdiri dari opak beureum dan
opak bodas, gogodoh, wajit, angleng, ketupat, panggang ketan, ranginang. Satu
sisir pisang ambon raja, dan satu gelas air teh. Makanan dan minuman yang
disebut dengan bagugan ini disajikan di atas meja. Makanan untuk paraji sunat
adalah satu tumpeng, goreng paha ayam atau paha domba, kue-kue, dan satu sisir
19 Intani, dkk., 1998: 44-49.20 Adimihardja, 2005: 46-47.
pisang ambon raja. Semua makanan yang disebut parawanten ini khusus untuk
dibawa pulang oleh paraji.
Selain itu, makanan untuk keluarga dan para tamu, disajikan satu nasi
tumpeng atau satu baskom nasi wuduk sebagai syarat, nasi putih, daging ayam,
sambal goreng kentang, acar cabai, kerupuk, sayur, pisang, dan air teh atau air
putih.
Keluarga dan para tamu duduk melingkar di atas tikar/karpet. Setelah paraji
sunat membacakan doa selamat, mereka makan bersama, dan kadang-kadang para
tamu membawa makanan untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.
C. NIKAHKEUN
Nikahkeun21 merupakan ritual yang diselenggarakan berkenaan dengan
pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Penyelenggaraan
ritual dilakukan pada pagi hari sebagai acara walimahan atau wanci pecat sawet.
Pada saat ini, ritual setebisa diselenggarakan siang atau malam hari sesuai dengan
jadwal penghulu.
Makanan yang disajikan adalah nasi tumpeng atau nasi wuduk sebagai
syarat, nasi putih, lauk pauk berupa sate domba, daging ayam, ikan, sambal
goreng kentang, sayur, gulai, sambal goreng ati dan peuteuy, kerupuk. Sebagai
pelengkap disajikan pisang ambon raja atau pisang ambon lumut dan air minum
baik air teh maupun air putih.
21 Adimihardja, 2005: 48-49.
Keluarga dan para tamu duduk melingkar di atas tikar atau karpet. Setelah
acara pernikahan selesai, dilakukan acara huap lingkung sebagai bagian dari
prosesi adat pernikahan. Adapun makanan yang disajikan adalah nasi tumpeng,
satu ekor bakakak ayam, dan air minum. Kedua mempelai duduk bersama dan
saling menyuapi disaksikan oleh mereka yang hadir dalam acara tersebut. Setelah
itu, barulah keluarga, kerabat, dan para tamu makan bersama.
Keesokan harinya dilakukan ritual Numba,s22 yaitu ritual yang
diselenggarakan setelah kedua mempelai tidur bersama. Hal itu dimaksudkan
bahwa pengantin wanita yang sebelumnya masih suci, sesudah malam itu tidak
lagi suci. Penyelenggaraan ritual dilakukan pada pagi atau sore hari.
Makanan yang disajikan berupa nasi kuning, puncak manik (congcot),
bakakak ayam, sayur mayur, aneka sambal misalnya sambal terasi, sambal bajag
atau sambal oncom, dan lauk pauk lainnya seperti ikan, dan goreng ayam, aneka
lalaban, serta pisang. Semua makanan ini dikirim dari pihak keluarga laki-laki.
Keluarga kedua mempelai duduk bersama di atas tikar/karpet. Setelah
pembacaan doa selamat yang dilakukan oleh salah seorang dari keluarga
mempelai selesai, mereka makan bersama.
D. KEMATIAN
Ritual kematian23 diselenggarakan berkenaan dengan seseorang yang telah
meninggal dunia. Pengelenggaraan ritual berlangsung pada malam hari sesudah
sholat Isya, dan ritual ini lebih dikenal dengan Tahlilan, baik pada hari kematian
22 Adimihardja, 2005: 49.23 Adimihardja, 2005: 50.
ke-1 hingga ke-7, ke-40, ke-100 (natus), ke 1000, atau setiap tahun (mendak
taun).
Makanan yang disajikan berupa kue-kue misalnya bugis, papais, nagasari,
wajit, dodol, ranginang, opak, pisang, dan air minum baik teh, kopi, atau air putih,
serta nasi dengan lauk pauknya untuk dibawa pulang oleh para tamu.
Keluarga dan para tamu duduk bersama beralaskan tikar atau karpet.
Setelah pemimpin ritual membacakan doa diiringi oleh keluarga dan para tamu,
yang bertujuan untuk menghantarkan arwah orang yang meninggal selesai,
makanan dan minuman disajikan untuk disantap, kemudian pihak keluarga
membagikan makanan berisi nasi beserta lauk pauk, dan kue-kue kepada para
tamu. Bagi tetangga yang tidak bisa hadir, makanan tersebut dikirimkan ke rumah
masing-masing.
4.2 SEDEKAH BUMI
Ritual Sedekah Bumi merupakan ritual yang diselenggarakan oleh sebagian
masyarakat Sunda di Jawa Barat dengan nama berbeda, seperti Ngaruat Bumi,
Ngarot, dan sebagainya, yang intinya adalah mengucap syukur atas berkah yang
diberikan Tuhan kepada manusia, sekaligus sebagai ritual tolak bala agar
masyarakat hidup tentram, damai, dan sejahtera. Dari berbagai masyarakat Sunda
terutama masyarakat umum yang masih melestarikan ritual tersebut, maupun
masyarakat adat yang memang harus menjalankan warisan leluhur, masyarakat
Desa Lelea di Kabupaten Indramayu, dan komunitas Adat Banceuy di Kabupaten
Subang menjadi percontohan dalam uraian berikut:
DESA LELEA (KABUPATEN INDRAMAYU)
Ritual Sedekah Bumi24 pada masyarakat Desa Lelea, Indramayu
diselenggarakan setiap tahun sekali di penghujung musim kemarau atau awal
musim hujan, pada hari Rabu Pon25 sekitar bulan September atau Oktober.
Penyelenggaraan dilakukan di sebuah gubug di tengah sawah dan di makam
Buyut Kapol.
Ritual ini bertujuan agar panen di tahun yang akan datang mendapatkan
hasil yang melimpah. Disamping itu, ritual ini juga dimaksudkan sebagai
ungkapan rasa syukur, dan mohon keridhoan Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus
sebagai penghormatan kepada leluhur pendiri Desa Lelea. Cara bersyukur bagi
mereka adalah dengan memberi sesaji kepada bumi yang telah memberi
kehidupan berupa tanah pertanian yang subur dan panen berlimpah. Bumi adalah
milik Tuhan, sehingga harus dipelihara dengan baik. Demikian pula ketika
berziarah ke makam Buyut Kapol, masyarakat Lelea tidak bermaksud untuk
meminta sesuatu kepada leluhur yang telah meninggal melainkan untuk
mendoakan leluhur yang telah berjasa bagi kemakmuran Desa Lelea agar ruhnya
dilapangkan jalannya menuju surga.
Penyelenggaraan ritual tersebut tidak lepas dari latar belakang munculnya
kegiatan itu. Menurut sumber tradisi, pada sekitar abad ke-15 penduduk Lelea
mulai menyebar ke arah timur dan selatan di sepanjang bantaran sungai. Seorang
24 Sedekah berarti memberi; dan Bumi berarti tanah pertiwi. Sedekah bumi dimaksudkan sebagai memberi (sesaji) pada Bumi Pertiwi, sekaligus sebagai ucapan syukur pada Tuhan YME atas pemberian berupa kesuburan tanah (Rostiyati, dkk., 2010: 32).
25 Rabu Pon dianggap sebagai hari sakral bagi umat Hindu dan Budha pada waktu itu, sedangkan ritualnya dilaksanakan pada hari Selasa dan Rabu.
tokoh perempuan bernama Nyi Denok Ambusiah menikah dengan Ki Buyut
Kapol, seorang prajurit dari Demak yang tinggal di Desa Lelea. Buyut Kapol
kemudian mengajarkan anak-anak muda di desa itu cara bercocok tanam di
sawah. Atas ajarannya itu, hasil panen melimpah ruah, padahal tanah di desa itu
kurang subur yaitu jika musim hujan tanahnya berlumpur, sementara pada musim
kemarau tanahnya gersang dan pecah-pecah. Buyut Kapol mengajarkan, sebelum
mengerjakan sawah masyarakat diwajibkan untuk melakukan ritual sedekah bumi
di penghujung musim kemarau atau di awal musim hujan, yaitu sekitar bulan
September atau Oktober. Ritual ini bertujuan selain sebagai ucapan syukur, juga
memohon keselamatan pada Tuhan YME dan para leluhur agar hasil panen
melimpah. Amanat itu kemudian dilestarikan oleh masyarakat Lelea hingga kini.
Sementara itu, Nyi Denok Ambusiah mengajarkan para ibu untuk mencari
belut sebagai lauk pauk. Oleh karena itu, tempat tersebut kemudian disebut Kebon
Belut. Ketika Nyi Denok meninggal, dia dimakamkan di ujung kampung yang
berbatasan dengan Desa Kasmaran sehingga makam itu dikeramatkan sebagai
makam keramat Buyut Muad (Muwad). Untuk mengenang jasa Nyi Denok,
kampung ini kemudian diberi nama Kampung Lengoh.26
Penyelenggaraan ritual Sedekah Bumi dimulai dengan memotong kerbau,
melekan di malam hari, berziarah ke makam leluhur, menanam kepala kerbau dan
mengirim tumpeng, serta pertunjukan wayang kulit dan pasar malam. Pihak yang
terlibat dalam ritual itu adalah Kuncen sebagai pemimpin ritual, Kuwu dan para
pembantunya, para pemuda dari Karang Taruna sebagai panitia, para pemain
26 Dalam bahasa Indramayu, artinya kampung lengohan (sendirian) (Rostiyati, dkk., 2010: 35).
dalam kesenian Wayang Kulit, dan para ibu yang menyiapkan sesaji dan masakan,
serta beberapa orang yang bertugas membuat tenda di gubug sawah Kasinoman
dan beberapa orang yang memotong kerbau.
Upacara Sedekah Bumi diselenggarakan secara swadaya. Pada hari Selasa
pagi para ibu menyiapkan bahan untuk tumpeng dan lauk pauknya berupa telur
opor, sambal telur, dan sebagainya, sambal goreng kentang, tahu goreng, tempe
goreng, kerupuk ung atau sejenisnya, ikan pindang atau ikan goreng, daging ayam
goreng. Selain itu, disiapkan pula gulai kerbau, kue-kue di antaranya opak, wajit,
dan ranginang.
Sementara itu, sesaji yang dipersiapkan adalah:
1. Lemareun terdiri dari daun sirih, kemenyan, gambir, cerutu, rokok, apu, dan
tembakau;
2. Pucuk manik terdiri dari ketan dan telur;
3. Satu ekor kerbau jantan yang mulus, gemuk, dan memiliki unyeng-unyeng
genap di kepala; Kerbau jantan melambangkan keberanian.
4. Rurujakan terdiri dari rujak asem, rujak kelapa, dan rujak pisang;
5. Aneka bumbu dapur;
6. Nasi tumpeng berwarna kuning yang di dalamnya terdapat ikan asin;
7. Beberapa butir kelapa muda dan serabut kelapa;
8. Telur, gula, dan kopi;
9. Bunga tujuh rupa antara lain mawar, melati, kenanga;
10. Aneka daun, antara lain hanjuang, tebu, jawer kotok, beringin, banarusa,
telaga meneung, dan daun talas;
11. Tempat sesaji, antara lain nyiru, bokor, atau tetenong dari bambu, atau
rangkap (anyaman bambu untuk sesaji).
Sesaji yang diperuntukan pada leluhur yang dianggap sebagai media pada Tuhan
Yang Maha Esa ini dipersiapkan sebelum maupun pada saat ritual berlangsung.
Makanan tersebut baik untuk sesaji maupun makanan yang nantinya akan
dimakan bersama tidak hanya sekedar untuk mengenyangkan perut melainkan
mempunyai makna tertentu.
Tumpeng merupakan nasi yang berbentuk gunung, dimaksudkan sebagai
simbol perjalanan batin manusia yang dapat dicapai mulai dari tiat yang paling
rendah hingga ke tingkat yang paling tinggi. Jika manusia telah mencapai tingkat
yang paling tinggi, kelak dia akan bisa mencapai tempat para leluhur dan di atas
semua itu, tentu saja merupakan tempat Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu,
masyarakat Lelea menyebut pucuk tumpeng dengan nama poncot, dan bentuknya
yang runcing itu sekaligus juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan.
Sementara itu, telur yang berbentuk bulat merupakan simbol kebulatan tekad
masyarakat Lelea untuk bersatu. Daun sirih yang diletakan di atas makam
merupakan simbol daun kurma yang dahulu digunakan oleh Nabi Muhammad
SAW. Bunga tujuh rupa merupakan simbol untuk mengharumkan nama leluhur
yang dimakamkan. Dengan demikian, masyarakat Lelea harus menjaga nama baik
para leluhur dengan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan adat.
Dengan mendoakan dan mengharumkan nama para leluhur, diharapkan akan
mendapat berkah dari Tuhan.
Pada saat pemotongan kerbau dan menanam kepala kerbau, darah kerbau
merupakan simbol kehidupan sehingga jika darah itu menetes ke dalam tanah
dimaksudkan agar darah itu dapat menyuburkan tanah pertanian. Selain itu,
masyarakat yang mendapatkan sesaji berupa darah kerbau juga akan mendapatkan
berkah. Misalnya, bagi orang yang belum menikah, jika dia mengoleskan darah
tersebut ke bagian anggota tubuh, akan cepat mendapatkan jodoh. Bagi orang
yang sedang tidak sehat, jika mengoleskan darah pada bagian anggota badan yang
sakit maka akan diberi keberkahan cepat kembali sehat. Jika ingin cantik/tampan
atau awet muda, dengan mengoleskan darah kerbau ke wajah, maka akan
terlaksana keinginannya, dan lain-lain. Dalam pada itu, kepala kerbau yang
dikubur ke dalam tanah merupakan simbol bahwa jika menjadi kepala harus
bersikap adil dan bijaksana sehingga bisa menjadi contoh bagi bawahannya.
Bumbu dapur, antara lain bawang merah dimaksudkan agar padi dapat
tumbuh dengan baik dan butiran padi bisa sebesar bawang merah. Daun salam
bermakna agar masyarakat Lelea selamat. Cabai merah bermakna agar padi bisa
tumbuh panjang seperti cabai merah. Sementara itu, kelapa merupakan simbol
makanan kegemaran Dewi Sri. Ubi jalar dan gula merah merupakan makanan
kegemaran Buyut Kapol. Ikan asin petek sebagai simbol Dewi Sri, bermula dari
mitos Dewi Sri yang disukai oleh Buduk Basu yang badannya pebuh kudis. Dewi
Sri tidak mau dengan Buduk Basu sehingga dia dikutuk menjadi ikan petek.
Sayuran dalam nasi tumpeng antara lain pucuk daun pace, turi, meranti, dan
kangkung merupakan simbol bahwa pucuk-pucuk daun itu sama dengan daun
muda yang terus hidup dan berkembang. Artinya, masyarakat Lelea harus hidup
sehat dan berkembang.
Aneka rujak merupakan simbol pengembalian tenaga karena sifat rujak yang
menyegarkan. Kopi manis, kopi pahit, dan air tawar adalah simbol kehidupan
manusia yang penuh suka dan duka. Oleh karena itu, manusia wajib diingatkan
bahwa dalam keadaan apa pun mereka harus tawakal. Bubur merah dan putih
merupakan simbol asal usul manusia yaitu diciptakan oleh Tuhan melalui ayah
dan ibu. Bayi yang terlahir suci, dalam perkembangan hidup selanjutnya mulai
melanggar larangan-Nya sehingga mendapat dosa. Oleh karena itu, manusia
senantiasa hormat dan ingat akan orang tua dan Tuhannya. Aneka bumbu, beras
dan daun merupakan simbol hasil bumi pemberian Tuhan untuk kelangsungan
hidup, sehingga harus dijaga dan dipelihara. Dalam pada itu, darah hewan yang
dipotong untuk keperluan ritual dianggap dapat menyuburkan tanah.
Sesaji berupa beras kuning dan uang logam yang disebarkan pada saat ritual
dimaksudkan sebagai penolak bala, sehingga diharapkan masyarakat Lelea
terhindar dari mala petaka.
Setelah pembacaan doa selesai, semua sesaji dikubur dalam satu lubang. Hal
itu dimaksudkan bahwa apa yang berasal dari tanah dan telah diberikan Tuhan
kepada manusia akan dikembalikan lagi ke dalam tanah agar kelak dapat tumbuh
lebih subur.
Sesaji lain yang dipersiapkan untuk pertunjukan Wayang Kulit adalah:
1. Bubur merah dan putih, sebagai simbol bahwa manusia berasal dari ayah dan
ibu, sehingga orang tua harus dihormati;
2. Kain putih, sebagai simbol suci dan bersih. Artinya manusia dalam mencari
ilmu dan budi pekerti harus berdasarkan pada kebersihan, kebersihan hati dan
tujuan yang mantap;
3. Kupat, leupeut, dan tang tang angin, sebagai simbol bahwa manusia dalam
berbicara jangan bersikap kasar, harus lemah lembut agar tidak menyakiti hati
orang lain;
4. Air yang berasal dari tujuh sumur, dan bunga tujuh rupa, sebagai simbol bahwa
manusia dalam kehidupannya harus bisa berpindah tempat, dan mengikuti adat
dimana dia tinggal, bisa membawa diri dan menjaga harga diri sehingga orang
akan menghormatinya, bagai bunga yang harum semerbak;
5. Kelapa muda (dawegan), sebagai simbol bahwa jika manusia sudah membuang
kotoran dari tubuhnya akan terasa dingin dan mendapat kemulyaan hati;
6. Gobang atau bedog yang tajam, sebagai simbol bahwa ucap seperti tajamnya
sebuah pisau sehingga manusia harus bisa menjaga mulutnya agar bisa hidup
selamat;
7. Payung, sebagai simbol perlindungan. Artinya manusia harus bersikap hati-hati
dan senantiasa memohon perlindungan dari Tuhan agar selamat dunia dan
akhirat;
8. Hibid, damar, cai herang, taneuh porang, sebagai simbol dari air, bumi, angin,
dan tanah;
9. Pangradinan terdiri dari beras, telur ayam, sisir, dan minyak. Beras merupakan
pokok syarat hidup, telur ayam sebagai simbol kebulatan tekad, sisir dan
minyak sebagai simbol bahwa manusia harus luwes dalam pergaulan agar
selamat dalam hidup di dunia dan akhirat;
10. Puncak manik, sebagai simbol sesuatu yang paling atas (luhur). Hal itu berarti
bahwa dalam kehidupan, manusia jangan sombong karena hanya Tuhan yang
maha segalanya.
Setelah makanan tersebut selesai dipersiapkan, sesaji diserahkan pada
kuncen untuk didoakan dan disajikan pada tempat-tempat tertentu sesuai dengan
urut-urutan jalannya ritual. Sementara itu, tumpeng dan lauk pauknya, kue-kue
dan minuman diletakan bersama di gubuk sawah Kasinoman. Setelah doa bersama
yang dipimpin oleh kuncen, mereka pun makan bersama sebagai wujud
kebersamaan masyarakat Lelea.27
KOMUNITAS ADAT KAMPUNG NAGARA BANCEUY (KABUPATEN
SUBANG)
Ritual Ngaruat Bumi28 merupakan ritual yang diselenggarakan antara
tanggal 25 s.d. 28 Rayagung/Zhulhijah pada hari Rabu di akhir bulan. Bulan
Rayagung dianggap bulan yang baik untuk kesuburan lahan pertanian,
kemakmuran, dan keselamatan masyarakat Banceuy, sekaligus bulan penutup
tahun, atau awal tahun baru Hijriyah. Tujuannya adalah sebagai ungkapan syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan keselamatan,
keberhasilan dan limpahan berupa hasil bumi serta tanah subur bagi masyarakat
Banceuy. Selain itu, dimaksudkan pula sebagai permohonan agar masyarakat
27 Rostiyati, dkk., 2010: 31-61.28 Rosyadi, dkk., 2005: 50-101.
Banceuy terhindar dari malapetaka, juga sebagai penghormatan terhadap karuhun
yang dianggap pendiri Kampung Banceuy, dan sekaligus sebagai pesta rakyat,
sebagaimana diungkapkan oleh Abah Karlan, salah seorang tokoh adat Kampung
Banceuy:
“Hajat Ngaruat Bumi ieu lumangsung jeung ngingetkeun jeung syukuran taun nu katukang, ngadu’aan taun nu rek datang”
(Ritual Ngaruat Bumi dilaksanakan untuk mengingatkan serta syukuran tahun yang lalu, mendoakan tahun yang akan datang).
Menurut sumber tradisi, awal penyelenggaraan ritual ini bermula dari
peristiwa badai berupa angin puyuh pada tahun 1807, yang berlangsung selama
tiga hari berturut-turut. Badai itu meluluhlantahkan kampung beserta
penghuninya. Kampung Banceuy yang ketika itu bernama Kampung Negla,
terletak di sebelah timur perbukitan Wangunharja. Pada mulanya kampung itu
dihuni oleh tujuh keluarga, yaitu keluarga Eyang Ito, Ismail Saleh atau Aki
Leutik, Aki Malim, Eyang Uti, Eyang Ono, Aki Arsiam, dan Aki Alman. Ketujuh
keluarga tersebut berkembang, sampai akhirnya menjadi warga kampung yang
hidup dengan rukun, damai, dan sejahtera, serta bekerja sebagai petani.
Setelah badai melanda kampung itu, warga yang hidup dipimpin oleh Aki
Leutik, bermusyawarah untuk melakukan ritual tolak bala atau ruwatan yang
bertujuan agar kampung mereka selanjutnya terhindar dari bencana. Sejak saat itu,
Kampung Negla berubah nama menjadi Kampung ritual.29 Pada awal
penyelenggaraan, ritual Tolak Bala dipimpin oleh Aki Ito. Setelah
menyelenggarakan ritual tersebut, mereka percaya bahwa kampung Banceuy
menjadi aman dan lahan pertanian akan subur. Sejak saat itu, ruwatan diwariskan
29 Banceuy berasal dari kata ngabanceuy yang artinya bermusyawarah.
sebagai ritual adat yang harus dilaksanakan setiap tahun. Sebelum meninggal, Aki
Ito berpesan agar ritual Ngaruat Bumi dipimpin oleh keturunannya.
Adapun tahapan yang harus dilakukan adalah dadahut, ngalawar,
shalawatan dan gembyungan, numbal, helaran/ngarak Dewi Sri, sawer, dan ijab
qobul. Dalam pada itu, pihak yang terlibat dalam ritual itu adalah Ketua Adat
sebagai pemimpin ritual; sesepuh kampung; para pemuda selaku panitia; group
kesenian gembyung; pembuat dongdang untuk hasil bumi serta nini goah untuk
Dewi Sri dan pasangannya; para ibu yang memasak dan membuat sesaji; warga
yang membuat hek yaitu gapura terbuat dari daun kawung dan bambu; petugas
keamanan; aparat pemerintah, instansi terkait Kabupaten Subang dan Provinsi
Jawa Barat.
Secara keseluruhan, makanan yang disiapkan untuk ritual itu berupa sesaji,
tumpeng beserta lauk pauknya, kue-kue, minuman, dan buah-buahan.
Sesaji yang disajikan pada ritual ini, pada intinya bentuk dan maknanya
hampir sama dengan sesaji pada ritual Sedekah Bumi di wilayah lainnya di Jawa
Barat. Berdasarkan tempat penyimpanan dan fungsinya, sesaji yang dipersiapkan
sebagai berikut:
1. Ritual Ngadiukkkeun dilaksanakan di Goah, yaitu tempat menyimpan
padaringan (wadah beras) yang terletak di pojok dapur. Sesaji yang disimpan
di Goah yaitu rurujakan antara lain rujak kalapa, rujak cau, rujak asem, rujak
tebu; hahampangan, kopi, teh pahit, air tawar dan uang, duwegan, bunga tujuh
rupa, aseupan, beras yang di atasnya terdapat telur beralaskan daun sirih,
pisang, seuseungan (minyak wangi), kemenyan, kendi berisi air dan hanjuang,
serta daun tebu. Selain itu, untuk acara Balagudeg, yaitu membacakan doa oleh
Ketua Adat di Goah, sesajinya sama dengan sesaji pada acara Ngadiukkeun,
dilengkapi dengan tumpeng kecil, tang tang angin, dan nasi, yang nantinya
akan diarak pada acara helaran..
2. Ritual Ngalawar, yaitu pemberitahuan kepada seluruh warga kampung bahwa
ruwatan akan dilaksanakan. Pemberitahuan itu dilakukan dengan cara
menyimpan sesaji di lima tempat, yaitu pusat (puseur), dan empat arah mata
angin (kidul, kulon, kaler, dan wetan). Kelima tempat itu dipercaya sebagai
tempat bersemayamnya penunggu, antara lain Eyang Singa Diraksa dan Maha
Jisaka (selatan), Mbah Janggot dan Mbah Jambrong (barat), Aki Leutik (utara),
dan Eyang Malim (timur). Khusus tempat penyimpanan sesaji di pusat
kampung, berukuran 1,5 x 1,5 m, dan di dalamnya terdapat pohon tebu (tiwu),
hanjuang, dan jawer kotok. Sesaji ini berupa perlengkapan dan aneka makanan
yang disimpan dalam anyaman bambu. Selain cerutu, alat berhias, dan bunga,
makanan yang disajikan antara lain telur ayam, kopi, gula batu, buah-buahan,
ubi, kupat, rurujakan, beras, bubur merah dan putih, serta tumpeng.
3. Sesaji untuk pagelaran Gembyung adalah minuman berupa kopi pahit, teh
pahit, sirop, rurujakan, hahampangan, dan kemenyan.
4. Sesaji untuk ritual Numbal, yaitu permohonan agar segala sesuatu yang
dilakukan penduduk dan hasil bumi Kampung Banceuy dapat bermanfaat bagi
masyarakat. Sesaji itu berupa congcot/puncak manik (nasi ketan dan telur di
puncaknya), bubur merah dengan irisan kelapa di atasnya, bubur putih, pisang,
aneka makanan terbuat dari beras antara ak, ranginang, tang tang angin, noga,
ali agrem, opak ceos (gogodoh), ulen bakar dan gula merah, opak putih dan
merah, kupat, leupeut, rurujkan (rujak kalapa, rujak asem, rujak cau) , kopi
pahit, beras, minyak, uang logam, tektek (daun sirih, apu, gambir, jambe),
minyak, bumbu dapur berupa gula merah, garam, sereh, laja, cikur, koneng,
pala, bawang beureum, bawang bodas, cabe areuy, cabe beureum/hejo,
muncang, terasi, bako, cerutu, panglay, kembang, kaca, minyak wangi,
duwegan, air beras merah, ayam hidup, pohon hanjuang, pisang, jawer kotok,
dan tebu;
5. Satu ekor kerbau jantan untuk dipotong setelah ritual Dadahut dan
Ngadiukkeun;
6. Salah satu perlengkapan helaran Dewi Sri, yaitu Dongdang/Jempana berisi
sepasang replika pengantin laki-laki dan wanita (Dewi Sri/Nyi Pohaci).
Jempana dibuat dari bambu, sedangkan replika pengantin wanita sebagai
simbol Dewi Sri dibuat dari batang padi berbalut kain, kebaya, dan selendang.
Sesaji untuk ngamumule Dewi Sri terdiri dari rurujakan, yaitu rujak kalapa
sebagai pangundang pangawasa, rujak asem sebagai tamba leuleus, rujak cau
sebagai pangalesu, dan rujak tebu; kopi pahit dan teh pahit; tektek/lemareun;
seuseungitan; kemenyan; duwegan; hahampangan; beras yang di atasnya
diletakan telur beralaskan daun sirih; air dalam mangkuk kecil berisi uang
logam cangklub yang diibaratkan sebagai paniisan, memiliki makna cantik,
memberi cahaya pangersa; kendi berisi air yang diberi daun jawer kotok yang
bermakna sebagai ngotok ngowo (lama tinggal) di pertanian (ladang),
handarusa yang berarti menjaga, diriksa, dan hanjuang yang berarti semangat
juang. Daun-daun itu mengingat dijaga dan kan kaum muda bahwa pertanian,
ladang, dan peninggalan leluhur sudah selayaknya dijaga dan diriksa serta
harus selalu diperjuangkan keberadaannya; cerutu yang dimaksudkan sebagai
suguhan kepada karuhun; bunga tujuh rupa yang bermakna sebagai
pengharapan untuk berkembang; aseupan yang berarti kersana Nyai. Sesaji
tersebut disimpan oleh Ketua Adat di Goah.
7. Dongdang berisi beragam hasil bumi warga Banceuy berupa sayur mayur, padi,
dan buah-buahan.
8. Satu tumpeng raksasa yang diletakan di atas tandu.
Selain membuat sesaji, dan tumpeng, para ibu memasak kue-kue antara lain
kue terbuat dari beras (pare dan ketan) antara lain bugis, ali agrem, noga,
angleng, saroja, dapros, daramang (dua warna), ranginang, rangining, opak,
opak ceos (gogodoh), tengteng, wajit, gegeplak, ampiyang, hunkue, dan ager-ager.
Sebagaimana masyarakat lainnya yang menyelenggarakan ritual Sedekah
Bumi, ritual Ngaruat Bumi di Nagara Banceuy pun menunjukan wujud
kebersamaan mulai dari persiapan hingga pelaksanaan ritual.
DAFTAR SUMBER
Ria Intani T, Yanti Nisfiyanti, R. Andri Setiartoyo. 1992. Upacara Tradisional Daerah Jawa Barat: Bubur Sura, Ngalaksa, Nyangku. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Ria Andayani Somantri. 2004. Makna Ritus Pada Upacara Kariaan di Kampung Banceuy, Kabupaten Subang. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Ria Andayani Somantri. 2006. Penolak Bala pada Masyarakat Kampung Banceuy: Sawen. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Ani Rostiyati, Yadi Putu S., Yuzar Purnama, Aam Masduki. 2010. Upacara Sedekah Bumi di Desa Lelea, Kabupaten Indramayu (Kajian tentang Strktur, Fungsi, dan Makna Simbolis). Bandung: BPSNT.
Aspek Dokumentasi. 1999/2000. Deskripsi Upacara Babarit di Desa Bunigeulis, Kecamatan Ciniru, Kabupaten Kuningan. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Ria Intani, Nina Merlina, Tjetjep Rosmana, Suwardi AP, Agus Heryana, Yuzar Purnama. 1998. Sajian dalam Upacara Adat di Desa Ciapus, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
M. Sopandi SH, Anwar Falah, Agus Yaso, Rusnanto, Boy Gyawarman, Anne Eryane. 1992. Deskripsi Upacara Adat Tradisional Pulun-Pulun di Kabupaten Cirebon. Bandung: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Jawa Barat.
Ani Rostiyati. 1995. Sistem Ekonomi Perajin Ranginang di desa Cikoneng, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.