Upload
ngonguyet
View
237
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
349
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini, temuan bab IV akan didiskusikan dan dianalisis secara lintas
situs. Analisis lintas situs ini dilakukan untuk mengkonstruksikan konsep yang
didasarkan pada informasi empiris. Rekonstruksi konsep disusun menjadi
proposisi-proposisi sebagai temuan teoritikal substantif atau praktis.1 Pada bagian
ini akan diuraikan secara berurutan mengenai: (1) Keberadaan public relations
yang natural dan tradisional, (2) Komunikasi public information menuju two
way asymmetric, (3) Proses Membangun Citra melalui Khidmah, (4) Proses
Public Relations yang Natural-Personal Influence..
A. Keberadaan Public Relations yang Natural
Masyarakat memiliki peranan yang sangat penting terhadap
keberadaan, kelangsungan bahkan kemajuan lembaga pendidikan baik yang
umum maupun yang Islam. Setidaknya salah satu parameter penentu nasib
lembaga pendidikan adalah masyarakat. Bila terdapat lembaga pendidikan
mengalami kemajuan, salah satu penentunya karena keterlibatan yang
maksimal dari masyarakat. Begitu pula sebaliknya, bila terdapat lembaga
pendidikan yang memprihatinkan, salah satu penyebabnya karena masyarakat
enggan mendukungnya, meskipun sikap masyarakat ini menjadi akibat dari
1 B.G Glasser & A.L. Strauss, The Discovery of Grounded Theory Strategies for Research,
(Chicago: Aldine Publishing Company, 1974), hlm. 151
350
penyebab lainnya baik bersifat internal maupun eksternal dari lembaga
pendidikan itu sendiri.
Maka dari itu, pondok pesantren juga merupakan salah satu lembaga
pendidikan Islam, keberadaan dan kemajuannya juga ditentukan oleh sikap
dan peran masyarakat, sehingga merupakan suatu keharusan yang sifatnya
’ainiyah, sebuah pondok pesantren menjalin hubungan dengan masyarakat.
Hubungan pondok pesantren dengan masyarakat atau dalam bahasa lainnya
public relations merupakan komponen penyempurna2 dalam manajemen
pondok pesantren.
Berdasarkan data yang telah dipaparkan pada Bab IV, ditemukan
bahwa public relations di pondok pesantren salafiyah (pondok pesantren
Lirboyo dan pondok pesantren Sidogiri) secara formal memang tidak
ditemukan. Adanya adalah seksi penerangan di ponpes salafiyah Lirboyo
Kediri dan Seksi Humas dan Informasi di ponpes salafiyah Sidogiri. Kedua
seksi ini lebih berfungsi pada pengelolaan informasi dan kebutuhan-
kebutuhan yang berhubungan dengan masalah internal pondok pesantren, dan
belum menyentuh pada aspek bagaimana menjalin hubungan dengan
masyarakat eksternal, sehingga keberadaan public relations yang merupakan
corong utama penyampai informasi dan menjalin komunikasi yang
2 Komponen penyempurna adalah komponen yang keberadaannya tidak mutlak harus ada
seperti komponen dasar pendidikan Islam (personalia, kesiswaan, kurikulum, keuangan, sarana
prasarana), namun komponen penyempurna ini melengkapi komponen-komponen dasar untuk
mencapai kemajuan suatu lembaga pendidikan. Komponen-komponen ini harus mendapatkan
perhatian manajerial bila suatu lembaga pendidikan Islam menginginkan kemajuan yang
signifikan. Diantara komponen penyempurna adalah hubungan lembaga dengan masyarakat,
layanan, mutu, perubahan dan konflik. Lihat Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam:
Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 182-183
351
berkesinambungan untuk mencapai saling pengertian antara ponpes dengan
masyarakat luas3, secara legal formal tidak ditemukan. Namun demikian,
fungsi public relations tersebut telah dilaksanakan oleh elemen pondok
pesantren, baik santri, alumni, maupun kiai sebuah pondok pesantren. Semua
elemen pondok pesantren, baik Lirboyo maupun Sidogiri berusaha untuk
menjalin hubungan baik internal yang berupa hubungan dengan sesama
elemen pondok pesantren baik internal maupun eksternal yang berupa
hubungan dengan masyarakat luas. Hal ini sesuai dengan teori yang dikutip
oleh Onong, dalam public relations harus ada dua aspek yaitu; pertama,
sasaran public relations adalah internal public dan external public. Internal
public adalah orang-orang yang berada atau tercakup oleh organisasi,
sedangkan external public adalah orang-orang yang berada di luar organisasi
yang ada hubungannya dan yang diharapkan ada hubungannya; kedua,
kegiatan public relations adalah komunikasi dua arah timbal-balik (reciprocal
two way traffic communication), ini berarti bahwa dalam penyampaian
informasi, baik yang mengarah ke internal public maupun yang mengarah ke
external public terjadi umpan balik.4
Dalam konteks penelitian ini, kedua pondok pesantren sama-sama
menjalin hubungan dengan masyarakat, walaupun secara struktural tidak
terdapat seksi khusus yang menangani public relations pondok pesantren
secara langsung. Namun, karena seluruh elemen pondok pesantren
3 Yang dimaksud dengan Public relations adalah suatu lembaga formal yang berfungsi
melakukan usaha berencana dan berkesinambungan untuk membina serta memelihara i‟tikad baik
ataupun pengertian bersama antara organisasi dengan masyarakatnya. Lihat Bertrand R. Canfield,
Public Relations: Principles, Cases, and Problems, R.D. Irwin, hlm. 389 4Effendy, Human Relations…, hlm. 110.
352
melaksanakan hubungan tersebut yang pada hakekatnya merupakan fungsi
public relations, maka pondok pesantren berhasil menjalin hubungan yang
baik serta mendapat kepercayaan masyarakat.
Dari konteks penelitian yang ada, pondok pesantren Lirboyo berhasil
menjalankan fungsi public relations karena pondok pesantren Lirboyo
berhasil berdampingan dengan masyarakat dalam berbagai kegiatan.5 Di
samping itu, pondok pesantren mempunyai ciri khas salafiyah yang kuat dan
tidak terombang ambing oleh globalisasi, yang berupa tetap dan selalu
melakukan kajian kitab kuning. Dengan tetap berpijak dari kitab kuning ini,
santri tidak hanya disuruh membaca kitab dan mengaji saja, akan tetapi juga
menelaah masalah-masalah kontekstual yang terjadi di masyarakat. Dengan
menelaah kitab kuning dan mempelajarinya secara holistik, maka seorang
santri akan mempunyai wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas yang
akhirnya mampu berguna di masyarakat.
Terdapat dua ciri khas6 pondok pesantren Lirboyo yang
membedakan dengan pondok pesantren lain sehingga pondok pesantren
Lirboyo tetap mampu bertahan, yaitu 1) Pondok pesantren tetap
mempertahankan kitab kuning, dan 2) Pondok pesantren mempertahankan
5 Maftukhin mengakui bahwa Public relations kalau diartikan bagaimana menjalin
hubungan yang baik dengan public, yang meliputi masyarakat secara luas, unsur pemerintah
maupun ormas, sebetulnya yang paling sukses dan berhasil adalah justru pondok pesantren.
Walaupun pondok pesantren secara struktural mereka tidak mencanangkan bidang/seksi public
relations atau kehumasan, namun sebenarnya pondok pesantren justru telah menjalankan fungsi-
fungsi dari public relations itu sendiri dan dalam realitanya pondok pesantren selama ini mampu
berdampingan dengan unsur pemerintah, dan mendapat dukungan dari masyarakat. Wawancara
dengan Maftukhin, Alumni Ponpes Lirboyo, 18 Mei 2011 6 Ciri khas merupakan nilai dasar suatu lembaga pendidikan, Rokeach yang dikutip oleh
Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa : “ a value sistem is learned
organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision.
Lihat Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi. (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 40
353
kualitas pondok secara istiqamah dengan kitab kuning, namun menerima dan
merespon tantangan globalisasi yang berupa penggunaan komputer, internet
dan sebagainya. Santri yang berada di pondok pesantren semata-mata
memang diproses untuk matang secara keilmuannya dulu. Baru setelah lulus
dari madrasah mereka berkiprah sebagai mustahiq di Lirboyo ataupun di
masyarakat. Karena secara keilmuan sudah matang, maka masyarakat
memandang santri dari Lirboyo memiliki kualitas yang bagus, bisa
berinteraksi dengan masyarakat dan sebagai sosok yang memiliki wawasan
pengetahuan agama yang luas, sehingga masyarakat menaruh kepercayaan
pada Lirboyo dari hasil kualitas outputnya. Di samping itu, masyarakat
daerah Kabupaten Kediri dan sekitarnya sangat menganut dan mengikuti
fatwa yang dikeluarkan oleh Kiai Idris Marzuki yang merupakan pemimpin
pondok pesantren Lirboyo.
Di pondok pesantren Lirboyo santri dikader untuk mempelajari kitab
kuning secara holistik dan akan menjadi manusia yang berguna bagi
masyarakat. Jika suatu pondok pesantren mempunyai alumni yang berguna
dan mampu menerbitkan karya ilmiah, maka pondok pesantren tersebut
dengan sendirinya akan dipercayai oleh masyarakat sebagai lembaga
pendidikan yang berkualitas. Maka secara tidak langsung, pondok pesantren
Lirboyo tersebut telah mengadakan public relations, walaupun secara formal
tidak terdapat organisasi khusus yang menangani hal tersebut.
Di pondok pesantren Lirboyo peran public relations terbesar berada
di tangan seorang kiai. Kiai sebagai figur memerankan peran penting dalam
354
melakukan fungsi public relations. Akan tetapi, yang perlu ditekankan disini
adalah public relations yang ada di pondok pesantren tersebut sifatnya adalah
natural atau tradisional, atau dalam bahasa yang lain yaitu berjalan secara
otomatis. Pondok pesantren Lirboyo tidak berusaha untuk selalu
mempublikasikan informasi, namun ketika ada orang datang dan bertanya
tentang pondok pesantren, maka pondok pesantren memberikan informasi.
Model public relations seperti ini sebagaimana pendapat Grunig and Hunt
adalah model public information. Jadi siapa yang berkepentingan dan ingin
mengetahui tentang seluk beluk pondok harus pro aktif untuk mencari
informasi itu dengan datang langsung ke pondok pesantren. Walaupun secara
tidak langsung, sebenarnya pondok pesantren Lirboyo juga melakukan
pemajangan informasi di website dan melakukan penerbitaan buku-buku
kajian sosial keagamaan yang diedarkan pada seluruh masyarakat, namun
informasi yang lengkap bisa didapat langsung ke pondok pesantren.7
Pada pondok pesantren Lirboyo memang tidak ada lembaga khusus
yang menangani public relations, karena semuanya dijalankan oleh kiai. Kiai
yang merupakan ikon di pondok tersebut, juga sekaligus berperan sebagai
publikator. Maka dari itu, keberadaan public relations di pondok pesantren
Lirboyo dapat dikatakan bersifat natural.
Sedangkan di pondok pesantren Sidogiri, Pondok pesantren tersebut
juga mengadakan dan menjalankan fungsi public relations, walaupun tidak
mengarah pada publikasi secara terang-terangan dan mempengaruhi orang
7 Pondok pesantren tidak bersifat press agency, karena pondok pesantren melakukan
publikasi secara terbatas. Lihat Dan Lattimore, Otis Baskin, Suzette T.Heiman, Elizabeth L.Toth,
Public Relations Profesi dan Praktik…, hlm. 63
355
lain. Namun sekali lagi yang perlu ditekankan bahwa tidak ada organisasi
struktural yang mengatur publikasi secara resmi. Bahkan publikasi yang
bersifat mempengaruhi tidak diperkenankan dan tidak boleh dilakukan. Akan
tetapi pondok pesantren salafiyah Sidogiri lebih memilih cara sosialisasi dari
pada publikasi. Istilah sosialisasi yang dipilih oleh ponpes Sidogiri
sebenarnya juga merupakan bagian dari publikasi. Hanya saja secara
pemaknaan sosialisasi lebih mengedepankan pada aspek berperan serta di
dalamnya atau istilah jawanya ikut “hambayu bagyo” sedangkan publikasi,
pihak publikator tidak ikut serta di dalamnya.
Cara sosialisasi yang merupakan strategi dari public relations di
pondok pesantren Sidogiri dilakukan dengan khidmah atau kiprah yang
fungsinya adalah untuk sosialisasi pondok pesantren tersebut. Khidmah atau
kiprah yang dimaksud di sini adalah berpartisipasi langsung secara aktif di
masyarakat, sehingga santri maupun alumni mampu membentuk komunitas-
komunitas belajar di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sebagaimana
pernyataan Scholz yang mengemukakan bahwa tujuan public relations harus
mampu mendorong dan mempengaruhi persepsi masyarakat melalui
pelaksanaan tanggung jawab sosial berdasar komunikasi timbal balik yang
saling menguntungkan.8 Proses berkiprah langsung di masyarakat ini pada
hakekatnya merupakan jembatan antara lembaga (ponpes salafiyah) dengan
8 Sholz, Definisi Public Relations, diakses melalui www.gemaserasi.web.id tanggal 26
Desember 2011
356
masyarakat (publik), dengan tujuan untuk mencapai mutual understanding9
atau saling pengertian.
Di samping itu, public relations yang ada di pondok pesantren
Sidogiri juga dilakukan dengan cara pendekatan ekonomi, yaitu dengan
adanya BMT, Kopontren, AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) “santri dan
Giriway”, PT Hasbi, PT Pustaka, Koperasi Agro, BPRS Ummu, kalender dan
pendekatan pendidikan, yaitu dengan menerbitkan bulletin baik yang dibagi
secara gratis maupun yang didistribusikan dengan mengganti ongkos cetak,
bahkan mendirikan panti asuhan.
Hal ini nampaknya sesuai dengan salah satu konsep public relations
yang dikemukakan oleh Ametambun, sebagaimana yang dikutip Daryanto,
yaitu konsep partnership, hubungan ini dapat diinterpretasikan sebagai
hubungan proses timbal balik. Dimana kebutuhan dan keinginan masyarakat
juga menjadi kebutuhan dan keinginan lembaga pendidikan.10
Maka terjadi
hubungan kerjasama antara pondok pesantren dengan masyarakat.
9 Pendapat Sukatendel yang menyatakan bahwa public relations pada intinya adalah good
image (citra baik), goodwill (itikad baik), mutual understanding (saling pengertian), mutual
confindece (saling mempercayai), mutual appreciation (saling menghargai), dan tolerance
(toleransi). Lihat Elvinaro Ardianto, Public Relations Suatu Pendekatan Praktis, Kiat
Menjadi Komunikator dalam Berhubungan dengan Publik dan Masyarakat, (Bandung: Pustaka
Bani Quraisy, 2004) 10
Menurut Amatembun, Konsep public relations terbagi menjadi lima bagian: Konsep
“menunggu”, yaitu lembaga pendidikan hanya menunggu dan mengharapkan perhatian dan
bantuan dari masyarakat; Konsep preventif kegiatan lembaga pendidikan hanya untuk mencegah
hal-hal yang tak diinginkan oleh masyarakat; Konsep tanda bahaya kegiatan-kegiatan hubungan
masyarakat terjadi apabila ada bahaya, misalnya kebakaran, sehingga lembaga pendidikan
memerlukan bantuan dengan masyarakat; Konsep pameran sebuah lembaga pendidikan hanya
memamerkan kegiatannya kepada masyarakat, tentu saja hal-hal yang dipamerkan hanya tertentu
yang telah diseleksi. Hal ini tidak mencerminkan keaslian dari keseluruhan program; Konsep
prestise kegiatan lembaga pendidikan hanya untuk menonjolkan karirnya. Biasanya hal ini
cenderung untuk mencari popularitas; Konsep partnership dan Konsep social leadership. Lihat M.
Daryanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta,1998), hlm. 73
357
Fungsi public relations ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Hadari Nawawi. Humas sekolah bertugas tidak semata-mata menjalin
hubungan tetapi memiliki kerangka yang jelas, yaitu dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan. Hadari Nawawi menguraikan secara terinci beberapa tugas
humas, yaitu, pertama, memberikan informasi dan menyampaikan ide
(gagasan) kepada masyarakat atau pihak-pihak yang membutuhkannya.
Menyebarluaskan informasi dan gagasan-gagasan itu agar diketahui maksud
atau tujuannya serta kegiatan-kegiatannya. Kedua, membantu pimpinan
karena tidak dapat langsung memberikan informasi kepada masyarakat atau
pihak-pihak yang memerlukannya. Ketiga, membantu pimpinan
mempersiapkan bahan-bahan tentang permasalahan dan informasi yang akan
disampaikan atau yang menarik perhatian masyarakat pada saat tertentu.
Dengan demikian, pimpinan selalu siap dalam memberikan bahan-bahan
informasi yang up to date. Keempat, membantu pimpinan dalam
mengembangkan dalam rencana dan kegiatan-kegiatan lanjutan yang
berhubungan dengan pelayanan kepada mesyarakat (public service) sebagai
akibat dari komunikasi timbal balik dengan pihak luar untuk penyempurnaan
policy dan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi.11
Namun kadang-kadang, hubungan kedua pondok pesantren tersebut
dengan masyarakat merupakan pengejawantahan dari konsep social
leadership. Dimana pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan utama
bagi masyarakat, harus dapat diharapkan membina kepemimpinannya dengan
11
Hadari Nawawi, Administrasi Pendidikan (Jakarta: Gunung Agung, 1981), 74.
358
pihak yang erat hubungannya dengan problema-problema sosial.12
Hal
tersebut bisa dideteksi dengan adanya banyak kalangan masyarakat yang
membeli buku karya pondok pesantren Lirboyo yang berupa kumpulan hasil
bahtsu al-masail, buku-buku terbitan Pustaka Sidogiri Press, Bulletin,
majalah Sidogiri, dan lain sebagainya, yang juga banyak terdapat materi
keislaman, bahkan bersifat interaktif. Dilihat dari oplah yang mencapai
10.000 tiap bulannya, menunjukkan antusiasme masyarakat yang tinggi,
sehingga mereka rela berlangganan bulletin Sidogiri dengan tujuan untuk
mendapatkan pengetahuan dan tambahan materi keislaman.
Di samping itu, kedua pondok pesantren, baik Lirboyo maupun
Sidogiri, memiliki jaringan alumni yang kuat. Bahkan nama kedua pondok
pesantren tersebut bisa harum di tengah-tengah masyarakat karena alumni
kedua pondok pesantren tersebut menjadi orang yang berguna di masyarakat.
Hal ini nampaknya sesuai dengan salah satu hasil penelitian Layanan Riset
Pendidikan dan Asosiasi Nasional Kepala Pendidikan Dasar di Alexandria,
sebagaimana dikutip Burhanuddin, program pemanfaatan alumni. Di mana
alumni suatu lembaga pendidikan mampu berkiprah di masyarakat sehingga
membawa nama harum almamaternya.13
Public relations di kedua pondok pesantren tersebut juga dilaksanakan
secara by perform. Pondok pesantren Lirboyo dengan berbagai cabangnya
melaksanakan fungsi public relations dengan performance-nya masing-
12
Ibid. 13
Burhanuddin,dkk, Manajemen Pendidikan: Analisis Substantif dan Aplikasinya dalam
Institusi Pendidikan, (Malang: UNM,2003), hlm. 127-128
359
masing.14
Perfomance yang ditunjukkan oleh figur seorang kiai di tengah-
tengah publik, disertai dengan sikap saling memuji diantara figur kiai, secara
tidak langsung memberikan pengertian, pemahaman, dan dukungan dari
masyarakat,15
dan hal ini termasuk dalam kategori komunikasi persuasif
untuk mempengaruhi persepsi masyarakat.16
Bahkan Cutlip menyatakan salah
satu generalisasi yang aman dalam public relations adalah reputasi publik
terhadap organisasi yang pada dasarnya banyak berasal dari perilaku pejabat
seniornya. Ketika pemimpin bertindak, berbicara, maka berlangsunglah
interpretasi dan gema yang diciptakan oleh fungsi public relations. Dengan
demikian fungsi public relations melekat dalam diri seorang pemimpin atau
manajer puncak.17
Gema yang diciptakan dan melekat dalam diri seorang pemimpin atau
manajer puncak (kiai) ini menginspirasi dan mengejewantah pada seluruh
14
Hal ini diakui Reza sebagaimana ungkapannya berikut ini: Ketika kami berinteraksi
kami memiliki style sesuai dengan karakter masing-masing sesuai dengan perform dan
komunitasnya. Contohnya saya berkecimpung di dunia akademik, kalau pagi di Tribakti saya
pakai performance akademisi, Gus Din dengan komunitasnya bela diri, maka perform-nya bela
diri. How to perform itu harus ada. Selanjutnya how to know. Inilah yang sifatnya hidden, yang
tidak bisa di desain. Artinya figure (baik kiai/gus) secara langsung maupun tidak langsung akan
menjadi personal branding dalam ponpes. Karena kiai diundang mengaji, maka membawa nama
lembaga. Perform sebetulnya langkah untuk membawa persuasi masyarakat yang kemudian masuk
ke image mereka. Selanjutnya mereka akan mengadopsi dan akhirnya bisa ambil bagian dan turut
serta, yang akhirnya how to integrate terwujud. Sedangkan bagi santri alat untuk how to perform
adalah apa yang telah di dapat di pondok. Saya kira tidak ada santri yang dengan gencarnya
mempengaruhi pihak lain untuk ikut serta ke pondok. Justru dengan perform, masyarakat akan
tertarik dengan sendirinya untuk mondok. Inilah yang dinamakan public relations yang melekat,
karena berangkat dari dalam person masing-masing. Selama ini kita terjebak pada suatu
pemahaman bahwa manajemen public relations ditangani oleh satu unit tertentu, namun yang
kalau di pondok, saya kira semua terlibat dalam fungsi public relations. Setiap santri, ustadz, kiai
pada dasarnya adalah alat public relations dengan cara how to perform tadi. Lihat Wawancara
dengan Reza, Pengasuh Ponpes Lirboyo, 14 Oktober 2011 15
Anthony Davis, Everything You Should Know About Public Relations, (Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo, 2005) 16
Marston, Modern Public Relation, (1979 17
Scott M. Cutlip, dkk, Effective Public Relations: Merancang dan Melaksanakan
Kegiatan Kehumasan dengan Sukses, (Jakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia, 2005), Cet. VIII,
p.50
360
elemen yang ada di pondok pesantren, sehingga semuanya menjadi
menjalankan tugas sebagai public relations baik di internal pondok maupun
eksternal pondok. Hal ini sebagaimana pendapat Smith yang menyatakan
bahwa you are as public relations on your self. Pernyataan Smith tersebut
diaplikasikan oleh kiai, santri maupun alumni dengan cara menunjukkan
performance-nya di masyarakat. Demikian pula di pondok pesantren Sidogiri
juga melaksanakan fungsi public relations by perform dengan kiai sebagai
figur utamanya. Baik masyarakat sekitar maupun pemerintah daerah,
semuanya tunduk dan patuh dengan fatwa yang dikeluarkan oleh kiai pondok
pesantren Sidogiri tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dikemukakan oleh Farchan dan Syariffudin, yang menyatakan bahwa di
pesantren, tugas seorang kiai menjadi multifungsi: sebagai guru, muballigh,
dan manajer sekaligus.18
Sebagai guru, kiai menekankan pada kegiatan
mendidik para santri dan masyarakat sekitar agar memiliki kepribadian
Muslim yang utama; Sebagai muballigh, kiai berupaya menyampaikan ajaran
Islam kepada siapapun yang ditemui berdasarkan prinsip memerintahkan
yang baik dan mencegah yang munkar (amar ma'rûf nahi munkar). Dan
sebagai manajer, kiai berperan dalam hal pengendalian bawahannya. Di
dalam pesantren, top manajer dipegang oleh kiai. Maka dari itu, kiai
memegang otoritas penuh terhadap maju mundurnya juga berkembangnya
pesantren.
18
Farchan dan Syarifuddin, Titik Tengkar…, hlm. 68-69
361
Dari tiga fungsi tersebut, fungsi sebagai muballigh itulah yang
mempengaruhi performance-nya termasuk penampilan ketika me-manage
pesantren sehingga ditemukan kenyataan pola-pola manajerial serba mono
dan serba tidak formal. Menurut tradisinya, kegiatan dakwah tidak didasari
perencanaan dengan matang, pengorganisasian yang mapan maupun
pengawasan yang ketat. Dengan pengertian lain, kegiatan dakwah bi al-lisân
biasanya dipraktekkan ala kadarnya dan sesuai dengan situasi dan kondisi
yang terjadi pada saat itu.
Di pondok pesantren Lirboyo dan Sidogiri kiai dianggap sebagai
sesepuh yang dianut dan ditaati fatwa-fatwanya. Maka secara tidak langsung
kiai berperan sebagai agent of culture disamping perannya sebagai publikator
secara tidak langsung, karena sebagian besar masyarakat mengenal pondok
pesantren tertentu melalui kebesaran kiainya. Disamping itu, kiai juga biasa
berperan sebagai mediator masyarakat bahkan sebagai problem solver
masyarakat. Hal tersebut menunjukkan kiprah kiai tidak hanya di pondok
pesantren saja, namun juga di tengah-tengah masyarakat. Fungsi dan peran
kiai di masyarakat tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Nur Syam yang
menyebutkan beberapa fungsi kiai, antara lain: Pertama, sebagai agen
budaya, kiai memerankan diri sebagai penyaring budaya yang datang ke
masyarakat; Kedua, kiai sebagai mediator, yaitu menjadi penghubung antara
kepentingan berbagai segmen masyarakat, terutama kelompok elit dengan
masyarakat; Ketiga, sebagai makelar budaya dan mediator, kiai menjadi
penyaring budaya sekaligus sebagai penghubung berbagai kepentingan
362
masyarakat.19
Hal ini juga sesuai dengan kesimpulan dalam penelitiannya
Sindu Galba mengenai komunikasi di pondok pesantren, bahwa "Kiai
merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren."20
Oleh
karena itu, kiailah dan bukan pribadi lain, yang mewarnai pesantren selama
ini.
Jadi kiai di sini juga sebagai public figur yang hal itu bisa disebut
dengan public relations personal. Kenyataan ini memang sulit untuk dilihat
dan diamati dalam waktu yang singkat, namun harus disadari dan
diidentifikasi dalam waktu yang cukup lama. Public relations personal di
ponpes salafiyah lebih didominasi oleh figur kiai sebagai top manajer. Di
kedua ponpes salafiyah ini ditemukan, bahwa fungsi public relations
dijalankan oleh semua elemen yang ada di ponpes dengan tetap berpusat pada
seorang kiai. Hal ini berdasar temuan data di lapangan, bahwa di pondok
pesantren salafiyah Lirboyo, semua kebijakan yang berkenaan dengan pondok
kiailah sebagai pengetok palu. Demikian pula di pondok pesantren salafiyah
Sidogiri, semua kegiatan yang berkaitan dengan pondok, mulai dari
perencanaan, seperti perencanaan membuka saluran produksi ekonomi bidang
warung tegal misalnya, setelah segala sesuatunya di-godog secara matang,
manajemennya sudah diatur sedemikian rupa, namun ketika diajukan ke kiai,
ternyata kebijakan kiai tidak diperkenankan dengan pertimbangan maslahah
dan mudlaratnya. Hal ini menunjukkan bahwa kiai-lah sebagai pengetok palu
19
Nur Syam, "Kepemimpinan dalam Pengembangan Pondok pesantren", dalam A. Halim
et.al (eds), Manajemen Pesantren, ( Yokyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 79-80 20
Sindu Galba, Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, Ed. Riri Manan, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), hlm. 62
363
kebijakan. Hanya saja, bedanya adalah kalau di pondok pesantren Lirboyo,
Kiai sebagai center langsung public relations, akan tetapi di pondok
pesantren Sidogiri, kiai berfungsi sebagai figur yang di-center-kan, dan
pelaksanaannya dilakukan oleh bidang-bidang manajerial yang telah tertata
dengan rapi.
Dalam struktur organisasi seksi public relations atau kehumasan tidak
masuk dalam struktur organisasi tersendiri, namun dalam menjalankan
fungsinya, semua bidang atau seksi yang ada di kedua ponpes salafiyah
tersebut menjalankan fungsi manajemen public relations. Hal ini tercermin
ketika setiap seksi melakukan suatu agenda program kerja, sebelumnya
mereka mengadakan perencanaan dulu yang dilakukan di awal pergantian
tahun ajaran baru (bulan syawal), mengorganisasikan program kerjanya dan
melaksanakannya. Di saat setiap bidang atau seksi melaksanakan program
kerja masing-masing, mereka akan bersentuhan dengan masyarakat luas
melalui kiprah atau action. Sedangkan fungsi controlling yang paling utama
adalah terletak di top manajer, yaitu figur kiai.
Ketika public relations dimaknai sebagai fungsi manajemen yang
membentuk dan memelihara hubungan yang saling menguntungkan antara
organisasi dan masyarakat,21
dilakukan dengan cara bagaimana
menginformasikan kepada khalayak, dilanjutkan dengan bagaimana
mempengaruhi dan selanjutnya mengintegrasikannya, maka yang ditemukan
di ponpes salafiyah justru adalah bagaimana mengintegrasikannya dulu di
21
Scott M. Cutlip, dkk, Effective..., hlm. 5
364
dalam lembaga, melalui how to integrate, yang dimulai di lingkungan ponpes
itu sendiri (ibda’ binafsih), baru kemudian dilanjutkan dengan how to inform,
yaitu bagaimana menyampaikan semua apa yang dikaji, meliputi pengetahuan
agama, wawasan secara umum, cara bersosialisasi dan berinteraksi dengan
masyarakat, menyampaikan segala informasi yang ada di ponpes. Ketika
tahapan ini berlangsung how to perform, yang diawali dari perform figur kiai
yang memberikan uswatun khasanah kepada para santrinya, baik dalam
berperilaku sehari-hari maupun ketika kiai berinteraksi dengan pihak luar,
baru dilakukan oleh figur-figur yang ada di ponpes salafiyah, baru selanjutnya
mengarah pada how to persuade. How to persuade ini dijalankan oleh kedua
ponpes salafiyah tanpa ada unsur pemaksaan apalagi kekerasan. Cara yang
dilakukan adalah dengan bi al-hikmah, sebagaimana al-Qur‟an surat an-
Nahl/16: 125 sebagai berikut:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah22
dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
(Q.S.al-Nahl/16:125)
22
Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak
dengan yang bathil
365
Ketika tahapan how to persuade telah dijalankan, maka tidak selesai
sampai pada mampu mempengaruhi masyarakat, namun semua elemen yang
ada di ponpes akan kembali pada jiwa “santri”nya, karena adanya hubungan
emosional yang tinggi dengan figur kiai, sehingga mereka kembali lagi
menjadi how to integrate. Maka dari itu, public relations yang ada di pondok
pesantren ini dapat dikatakan natural public relations, karena walaupun tanpa
adanya komando yang tegas untuk melakukan public relations namun setiap
aktivitas yang dilakukan pondok pesantren berdampak pada aspek public
relations. Hal ini berjalan secara alamiah dengan tendensi aspek moral bagi
pelaku aktivitas tersebut.
Keberadaan public relations yang natural atau tradisional inilah yang
membedakan dengan public relations secara umum, dimana konsep public
relations secara umum mengarah pada tiga mekanisme yaitu: how to inform
how to persuade how to integrate, sedangkan di pondok pesantren
salafiyah mengarah pada empat mekanisme yaitu: how to inform how to
perform how to persuade how to integrate, dan bersifat circle. Justru
how to perform merupakan kunci pokok dari public relations. Karena
masyarakat akan menilai dan mempercayai dan bisa menerima sesuatu hal
manakala ada realita atau ada implementasi langsung di lapangan bukan
hanya sekadar adanya informasi semata. Langkah yang ditempuh ponpes
salafiyah ini, dengan mengutamakan how to perform merupakan
penyempurnaan teori Eduard L. Bernays dan pengembangan salah satu teori
366
yang dibangun oleh James Grunig dan Todd Hunt,23
pada model yang ketiga.
Pengembangan teori Grunig ini dikemukakan oleh mahasiswa lulusan
University of Maryland yang kembali ke negara asalnya, India, Yunani, dan
Taiwan untuk menguji apakah praktisi public relations di negara mereka
menggunakan empat model asli public relations atau tidak. Teori ini adalah
teori Model pengaruh personal yang menggambarkan praktik public
relations, di mana praktisinya berusaha membangun hubungan personal
dengan tokoh-tokoh kunci “sebagai orang yang dapat dimintai bantuannya”
Kedua pondok pesantren tersebut membangun public relations
dengan kiai sebagai tokoh kunci, yang sifatnya kharismatik. Jadi kiai dengan
personalisasi dan performance-nya mampu menjadi tokoh kunci yang
menjadikan masyarakat menaruh hormat kepada pondok pesantren dimana
kiai tersebut tinggal. Hal tersebut dapat dimisalkan ketika sebuah pondok
pesantren tersebut kiainya telah meninggal dunia dan generasi penerusnya
tidak semasyhur atau sekharismatik kiai asalnya, maka yang terjadi adalah
pondok pesantren tersebut akan ditinggalkan santri-santrinya. Jadi kharisma
kiai merupakan kunci dari public relations yang ada di pondok pesantren
salafiyah. Walaupun nanti dalam perkembangannya ada pondok pesantren
yang mengandalkan performa secara murni dan ada yang tidak sepenuhnya
23
Model asymetris dua arah: memandang public relations sebagai kerja persuasi ilmiahlm.
Model ini menerapkan metode riset ilmu sosial untuk meningkatkan efektivitas persuasi dari pesan
yang disampaikan, Praktisi public relations dengan model ini menggunakan survei, wawancara,
dan fokus group untuk mengukur serta menilai publik sehingga mereka bisa merancang program
public relations yang bisa memperoleh dukungan dari publik kunci. Walaupun timbal balik
[feedback] dari semua itu dipertimbangkan ke dalam proses pembuatan program, namun
organisasi dengan model ini masih lebih tertarik mengenai bagaimana publik menyesuaikan diri
dengan mereka ketimbang sebaliknya, organisasi yang menyesuaikan dengan kepentingan public.
367
mengandalkan performa, namun juga tidak bisa melepaskan faktor performa
tersebut.
Fenomena ini berbeda dengan pondok pesantren khalafi, dimana
kebesaran pondok pesantren tidak semata-mata terpusat pada figur kiai yang
kharismatik, melainkan karena kebesaran lembaga dan sistem pondok
pesantren tersebut. Hal inilah yang menjadikan pondok pesantren khalafi
lebih mampu bertahan daripada pondok pesantren salafi. Bukti nyata adalah
orang mengenal pondok pesantren salafi dari figur kiai, contohnya pondok
Lirboyo yang dikenal pertama adalah Kiai Idris Marzuki, pondok Sidogiri
yang dikenal pertama adalah Kiai Nawawi, pondok Langitan, yang diketahui
orang pertama kali adalah Kiai Abdullah Faqih.
Hal ini berbeda dengan pondok modern Gontor, maka yang dikenal
orang pertama kali adalah bahasa Arab dan Inggris, bukan pada figur
Kiainya. Hal positif yang bisa dipetik dari pondok pesantren khalafi adalah
ketika sistem dan manajemennya telah berjalan baik, maka pondok pesantren
khalafi akan lebih mampu bertahan karena pengaruh kharisma kiai bukanlah
satu-satunya hal yang menjadi faktor penentu keberlangsungan pondok
pesantren tersebut, yang mana dalam hal ini berbeda dengan pondok
pesantren salafi. Ketika pondok pesantren salafi kehilangan figur kiai, maka
ketahanan pondok pesantren bisa melemah. Hal ini disebabkan karena
masyarakat yang paternalistik merasa telah kehilangan figur yang senantiasa
dituakan (dianggap orang tua atau sesepuh) karena kedalaman ilmunya
368
sekaligus kehilangan figur yang harus dihormati dan dijadikan
panutan/pemimpin.
B. Komunikasi Public Information menuju Two Way Asymmetric
Komunikasi menjadi penanda eksistensi individu dalam membangun
relasi dengan sesamanya, baik sebagai warga masyarakat maupun untuk
berbagai kepentingan lainnya. Lewat komunikasi, antar manusia saling
berinteraksi demi tujuan-tujuan tertentu. Ada yang tujuannya bertukar
informasi, tukar pengalaman, berbagai pengetahuan dan berbagai tujuan
lainnya.
Dalam dunia pendidikan Islam, komunikasi antara pihak pondok
pesantren dengan masyarakat sangat penting artinya. Relasi kedua belah
pihak ini seyogyanya dibangun dengan inisiatif dari pihak pondok pesantren.
Bukan berarti masyarakat tidak bisa memulai lebih dahulu, tetapi inisiatif dari
pihak pondok pesantren membuka kemungkinan bagi lahirnya proses
komunikasi yang lebih efektif, terstruktur dan membawa hasil yang lebih
optimal. Oleh karena itu, pihak pondok pesantren seyogyanya
mempertimbangkan secara cermat proses dan mekanismenya. Pola semacam
ini berarti pondok pesantren menjadi komunikator dan masyarakat sebagai
komunikan, walaupun di saat yang lain, posisi ini bisa berganti di mana
masyarakat sebagai komunikator dan ponpes sebagai komunikan.
Komunikasi di sebuah pondok pesantren terbagi menjadi 2 macam,
yaitu komunikasi internal dan komunikasi eksternal. Komunikasi internal
369
dipegang oleh majelis pengasuh atau Kiai dengan santri, pengelola dan
mustahiq. Komunikasi internal di ponpes salafiyah Lirboyo ditemukan bahwa
terdapat komunikasi yang sifatnya humanis antara sesama santri karena
mereka tinggal satu asrama dan sekolah di madrasah bersama-sama.
Komunikasi santri berlanjut dengan pengurus kamar, pengelola maupun
mustahiq-nya dengan interaksi komunikasi yang memperhatikan adab dan
bersikap tawadlu. Ketika komunikasi bisa diselesaikan dengan komunitas
kamar, tidak akan diteruskan ke pengelola maupun mustahiq, apalagi ke
tingkat kiai, namun jika suatu informasi ataupun permasalahan belum selesai
di tingkat pengurus maupun mustahiq, maka informasi akan diselesaikan di
tingkat musyawarah yang disebut dengan Badan Pembina Kesejahteraan
Pondok Pesantren Lirboyo BPK-P2L di ponpes salafiyah Lirboyo dan sidang
musyawarah keluarga di ponpes salafiyah Sidogiri.
Sedangkan cara komunikasi kiai dengan santri dan pengelola yang
ada di ponpes adalah melalui perilaku yang ditunjukkan oleh figur kiai,
dimana segala tingkah laku, cara kiai menyampaikan materi pengajian, cara
memberikan nasehat, cara memberikan petunjuk, cara kiai menghadapi orang
lain, menghadapi tamu dari berbagai kalangan, pada hakekatnya itu adalah
pembelajaran kepada santri yang diberikan oleh kiai yang merupakan
uswatun hasanah. Cara yang dilakukan figur kiai ini sesuai dengan teori
spiral keheningan,24
yang menyatakan bahwa cara mempengaruhi opini
24
Komunikasi spiral keheningan di awali dengan memberikan pesan persuasif, yang
akhirnya menentukan proses sosial kultur kelompok. Dari proses sosial kultur kelompok akan
membentuk dan mengganti definisi perilaku yang disetujui secara sosial untuk anggota kelompok,
yang akhirnya mencapai perubahan arah perilaku lahiriyap. Cara inilah yang dilakukan oleh figur
370
publik adalah melalui pesan persuasif, yaitu melalui perilaku kiai yang
akhirnya membentuk proses sosial dalam kultur masyarakat tersebut. Model
komunikasi persuasif sebagaimana teori agenda setting ini juga dilakukan
oleh figur kiai ketika berkomunikasi dengan masyarakat luas atau komunikasi
eksternal. Komunikasi seperti ini juga berjalan di ponpes salafiyah Sidogiri.
Hal itu penulis istilahkan dengan komunikasi yang bersifat
horisontal prosedural. Komunikasi horisontal prosedural maksudnya
komunikasi intern di ponpes yang diterapkan, berjalan secara runtut
sistematis, mulai dari komunikasi antar santri, baru kemudian dilanjutkan ke
mustahiq dan pengelola, setelah itu diteruskan ke rapat-rapat. Namun dalam
hal ini bukan berarti aliran komunikasi yang dijalankan dari atas ke bawah
atau sebaliknya dari bawah ke atas, melainkan antara komunikan dengan
komunikator mempunyai kedudukan yang sama. Hanya saja memang
penyampaian komunikasinya tetap dalam adab yang baik. Jadi aspirasi santri,
pengelola dan mustahiq diperhitungkan sebagai masukan untuk mengambil
keputusan (decision making).
Sedangkan di pondok pesantren Sidogiri, komunikasi internal yang
dijalankan, sifatnya sudah terstruktur rapi bahkan memakai sistem
manajemen modern.25
Masyayikh atau Kiai bukan semata-mata orang yang
kiai dalam memberikan pembelajaran kepada santri dan masyarakat luas. Lihat Scott M. Cutlip &
Allen Center, Effective Public Rrelation: Merancang dan Melaksanakan Kegiatan Kehumasan
dengan sukses, (New Jersey: Prentice Hall, Inc, 2000), edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Indeks Kel
Gramedia, 2005, hlm. 208-209. Lihat pula Melvin L. De Fleur & Sandra J. Ball Rokeach, Theories
of Mass Communication, ed. 4, (New York: Longman, 1982), hlm. 225. Lihat pula Morisaan,
Manajemen Public Relation: Strategi Menjadi Humas Profesional, (Jakarta: Kencana, 2008) ed. I,
cet. I, p.72-73 25
Lihat dokumentasi Tamasya Laporan Tahunan Pengurus Pondok Pesantren Sidogiri
tahun 1431-1432 P. Observasi tanggal 23 September 2011
371
membuat kebijakan, namun mereka memposisikan sebagai figur yang melihat
sekaligus mengendalikan, mau dibawa kemana pondok pesantren ini, dengan
tetap memegang prinsip ahlussunnah waljamaah.26
Komunikasi internal di
pondok pesantren Sidogiri dilaksanakan dua arah tidak simetris dan
prosedural. Hubungan santri dengan santri bersifat lebih terbuka namun
hubungan santri dengan ustadz dan kiai tidaklah demikian adanya. Tidak serta
merta santri berkomunikasi langsung dengan ustadz apalagi kiai. Demikian
pula ustadz dengan kiai. Komunikasi dengan ustadz dan kiai akan
berlangsung manakala terjadi hal-hal yang urgent, sehingga komunikasi
bersifat berlapis. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Schramm bahwa
komunikasi membutuhkan proses komunikasi dua arah (two-way-process) di
mana pengirim dan penerima pesan berkomunikasi, namun terdapat konteks
kerangka acuan (frame of reference) sebagai gangguan yang berupa hubungan
dan situasi sosial. Dengan demikian, komunikasi adalah proses timbal balik
pertukaran tanda untuk memberitahukan, memerintahkan atau membujuk
berdasarkan makna dan kondisi bersama melalui hubungan komunikator dan
konteks sosial.27
Dilihat dari unsur-unsurnya, komunikasi internal di kedua ponpes
salafiyah tersebut terdapat sumber komunikasi, yaitu santri, pengurus, ustadz
26
Masyayikh ditempatkan sebagai figur yang sangat mengerti tentang kendali ponpes akan
dibawa kemana, yang sesuai dengan prinsip Sidogiri. Ada mekanisme: ada perencanaan, ada
proses dan ada evaluasinya. Seluruh program ada manajemennya. Suatu kegiatan tidak serta merta
ada, dan tidak ada satu pun program tanpa persetujuan dewan masyayik, dan kalau sudah pada
langkah operasional dewan masyayikh menyerahkan sepenuhnya kepada pengelola/pengurus.
Sehingga di sini peran figur ini sangatlah kuat, dari sisi manajemen juga kuat. Manajemen dibuat
sebagai tindak lanjut dari keinginan figur/dewan masyayik. Inilah yang membedakan dengan
lembaga pemerintahan. Wawancara dengan Saifulloh Naji, Sekretaris Umum PP Sidogiri, 16
September 2011 27
Ibid., hlm. 42-43
372
maupun kiai; ada unsur pesan atau sinyal yang disampaikan; ada salurannya
baik secara lesan maupun tulisan melalui majalah, buletin maupun mading;
dan ada penerima pesan atau informasi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Shanon-Weaver,28
bahwa dalam komunikasi harus memiliki 4 unsur yaitu
sumber pesan saluran penerima pesan. Namun yang membedakan di
kedua pondok pesantren salafiyah ini adalah dalam hal saluran komunikasi.
Saluran komunikasi di pondok pesantren terdapat gangguan konteks situasi
sosial, dimana secara sosio kultur telah membudaya perilaku yang
menjunjung nilai sopan santun yang tinggi, dan sangat mempertimbangkan
strata sosial maupun geneologis. Hal inilah yang menurut Schramm dikatakan
bahwa komunikasi tidaklah sesederhana sebagaimana yang dikemukakan
model komunikasi Shannon dan Weaver. Walaupun konsep komunikasi
membutuhkan proses komunikasi dua arah (two-way-process) di mana
pengirim dan penerima pesan berkomunikasi dalam konteks kerangka acuan
(frame of reference), namun hubungan dan situasi sosial mereka masing-
masing menjadi pertimbangan tersendiri. Dengan demikian, komunikasi
adalah proses timbal balik pertukaran tanda untuk memberitahukan,
memerintahkan atau membujuk berdasarkan makna dan kondisi bersama
melalui hubungan komunikator dan konteks sosial.29
Hal ini diperkuat dengan komunikasi di pondok pesantren yang
menggunakan komunikasi bahasa (bi al-lisân) dan komunikasi dengan
menggunakan perilaku (bi al-hal), ditemukan pula komunikasi dengan
28
Morissan, Manajemen Public Relations..., hlm. 42 29
Ibid., hlm. 42-43
373
menggunakan media. Baik di ponpes salafiyah Lirboyo maupun Sidogiri,
keduanya menggunakan komunikasi yang berbasis media. Di ponpes
salafiyah Lirboyo, media komunikasi hardware seperti madding, buku
cetakan Lirboyo Press, hasil bathsul masail merupakan media komunikasi
yang bisa menghubungkan antara ponpes dengan masyarakat. Demikian pula
media internet melalui website, dimana para alumni memiliki ruang
newsroom tersendiri, segala aktifitas ponpes ter-update di web, bahkan
pengajian kitab melalui program streaming bisa diakses langsung oleh semua
kalangan di seluruh dunia, menjadikan sarana komunikasi eksternal ponpes
terhubung dengan baik. Selain itu juga ada forum interaktif yang digunakan
untuk menjawab segala pertanyaan tentang religi yang muncul di masyarakat,
demikian pula di ponpes salafiyah Sidogiri. Bahkan website-nya
menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Inggris dan Indonesia, sehingga
bisa diakses oleh semua kalangan. Pengelolaan media hardware (buku,
majalah, bulletin) di ponpes Sidogiri sudah termanaj sesuai dengan
komunitasnya masing-masing. Ada komunitas santri (ISS), alumni (IASS)
dan dari pengelola: media dari Laziswa, BMT, perpustakaan, Darul Haikam,
yang sudah berbasis teknologi.
Pemanfaatan media massa di ponpes salafiyah tersebut, pada
hakekatnya merupakan sistem eksternal yang dijalankan ponpes dengan
masyarakat, yang mampu mempengaruhi persepsi dan opini masyarakat
terhadap ponpes salafiyah, apalagi masyarakat internal ponpes. Peran media
memiliki kekuatan dalam hal apa saja yang perlu dipikirkan masyarakat.
374
Media memberikan informasi sekaligus menjawab pertanyaan dari
masyarakat mengenai ponpes maupun hal-hal yang berkaitan dengan
keagamaan. Hal ini sebagaimana teori agenda setting yang menyatakan
bahwa, Media may not tell us what to think, but media tell us what to think
about,30
media tidak hanya menyampaikan apa yang dipikirkan, melainkan
lebih dari sekadar itu menyampaikan tentang apa yang kita pikirkan. Dampak
agenda setting dalam media adalah apa yang dipikirkan (kognisi) dan apa
yang kita pikirkan (perasaan/kecenderungan), yang mana hal ini sesuai
dengan hubungan segitiga public opinion sebagai berikut:
Gb. 5.1. Hubungan Segitiga Opini Publik di Ponpes Salafiyah
Dari paparan tersebut di atas, maka pada dasarnya komunikasi
internal di pondok pesantren salafiyah adalah berjalan secara horisontal
prosedural dengan tetap mengutamakan adab dan akhlakul karimah.
Komunikasi dengan menggunakan cara ini adalah komunikasi berbasis
30
Morissan, Manajemen Public Relation: Strategi Menjadi Humas Profesional, (Jakarta:
Kencana, 2008), p. 74
Ponpes Salafiyah
Sebagai Tempat
Kejadian Tindakan
(melalui media
elektrik=website
maupun non
elektrik=buku, majalah,
madding, buletin)
Persepsi, opini dan
tindakan masyarakat baik
internal maupun eksternal
sebagai dampak dari
kmunikasi melalui media
Tanggapan berdasarkan
persepsi, opini
masyarakat baik
internal maupun
eksternal
375
bahasa lisan. Siapapun bisa mengungkapkan pendapatnya dan melakukan
perencanaan lalu mengajukannya ke musyawarah, namun keputusan akhir
dari perencanaan tersebut tetap tergantung pada kiai. Jadi top manajer
dipegang oleh kiai. Maka dari itu, kiai memegang otoritas penuh terhadap
maju mundurnya juga berkembangnya pesantren dan para santri menerima
kepemimpinan kiai karena percaya pada konsep dalam masyarakat Jawa,
yaitu berkah atau barakah yang didasarkan atas doktrin keistimewaan
status seorang alim dan wali.31
Jadi apapun yang diputuskan kiai, santri
tetap menaatinya dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.
Selain itu komunikasi internal di ponpes salafiyah juga
menggunakan media, baik media elektrik maupun non elekstrik yang
akhirnya mampu mempengaruhi dan membentuk persepsi, opini dan tindakan
masyarakat internal maupun eksternal ponpes. Hal ini sesuai dengan teori
agenda setting dimana ponpes tidak hanya menyampaikan apa yang
dipikirkan melainkan apa yang ponpes pikirkan. Sedangkan kiai sebagai figur
yang memiliki kharisma menyampaikan pesan melalui komunikasi perilaku
yang ditunjukkan kiai dalam kehidupan sehari-hari, yang mana hal ini
merupakan alat pembelajaran langsung yang mampu membentuk komunitas
sosial kultur yang berbeda dengan masyarakat di luar ponpes, karena cara
berkomunikasi yang menjunjung tinggi adab menjadi hal yang membedakan
sistem komunikasi yang dijalankan oleh ponpes dengan komunikasi pada
umumnya. Hal ini juga sesuai QS. al-Isra‟/17:28, bahwa komunikasi dengan
31
Abdurahman Mas'ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi,
(Yokyakarta: LKIS, 2004), p..13
376
menngunakan bahasa yang mulia (قَْوًلا َمْيُسوًرا), komunikasi yang
menyenangkan pihak lain قَْوًلا َكِريًما (Q.S. al-Isra‟/17:2), komunikasi dengan
menggunakan bahasa yang agung dan memuliakan pihak lain قَْوًلا َعِظيًما (Q.S.
al-Isra‟/17:40), komunikasi dengan menggunakan bahasa yang baik قَْوًلا َمْعُروفًا
(Q.S.al-Nisa‟/3:5).
Adapun komunikasi eksternal yang dijalankan di ponpes salafiyah,
sebagaimana data dalam bab IV dikemukakan bahwa komunikasi eksternal
melalui berbagai saluran, yaitu pemberian informasi dan peran yang
berdampak pada masyarakat memberikan usulan kepada pondok pesantren,
untuk dimusyawarahkan bersama, dan hasil musyawarah akan di-shohih-kan
ke kiai. Pada tahap yang terakhir ini, seluruh anggota musyawarah akan patuh
dan tunduk dengan keputusan kiai, sehingga hasil akhirnya tetap di tangan
Kiai. Masyarakat patuh terhadap keputusan akhir kiai, karena kharisma kiai
dan juga tingkat sugesti masyarakat yang tinggi terhadap figur kiai dan
meyakini bahwa apa yang diputuskan kiai sudah berdasar dari munajat-nya
kepada Allah. Sisi inilah yang tidak didapatkan dalam komunikasi di luar
ponpes. Karena komunikasi eksternal ponpes pun ketok palu terakhir sebagai
pengambil kebijakan tetap diserahkan kepada figur kiai dengan segala
karamahnya untuk mendapat barakah. Sistem komunikasi yang seperti ini
pada akhirnya adalah sistem komunikasi satu arah.
Pada pondok pesantren Lirboyo, komunikasi yang dipakai
menggunakan berbagai saluran, yaitu dengan publikasi apa yang ada di
pesantren kepada masyarakat luas, lewat jaringan media elektronik, website,
377
facebook dan juga jaringan alumni.32
Komunikasi pondok pesantren dengan
pihak luar juga dipengaruhi oleh reality action33
yang dilakukan oleh santri
maupun para alumni, yang tersebar di pelosok-pelosok nusantara, bahkan
sudah ada yang mampu mendirikan pondok pesantren.
Sedangkan pada pondok pesantren Sidogiri, komunikasi tidak
bersifat publikasi namun semata karena pengabdian/khidmah kepada
masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, dakwah dan
sebagainya. Di samping itu, komunikasi juga dilakukan dengan menggunakan
media yang berguna untuk menyampaikan informasi. Media di pondok
pesantren Sidogiri ada yang bersifat elektronik atau berbasis WEB dan ada
yang bersifat media cetak. Komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan
web ini menampilkan newsroom34
sehingga mampu menyampaikan informasi
yang lebih lengkap dan menarik dan yang dapat dimanfaatkan khalayak
termasuk pekerja pers.
32
Pada hakekatnya syiar dilaksanakan dengan cara memanfaatkan para alumni di berbagai
daerah, karena yang paling kuat adalah melalui jaringan alumni, sehingga dalam waktu dekat
sudah terpublikasi dengan sendirinya. Di samping itu, kami memakai media elektronik, via TV
walau bersifat lokal, web site, facebook alumni, dan lain-lain. Melalui HIMASAL (Himpunan
Alumni Santri Lirboyo) para alumni mengedepankan prinsip-prinsip yang telah diajarkan di
ponpes dulu dan selalu berpegang teguh pada petuah-petuah dari kiai. Inilah yang menjadi
kekuatan public relations pondok pesantren. Wawancara dengan Reza, Pengasuh Ponpes Lirboyo,
14 Oktober 2011 33
Sesuai dengan pendapatnya Marston yang menyatakan bahwa komunikasi persuasif,
efektif digunakan untuk mempengaruhi opini masyarakat 34
Newsroom merupakan trend komunikasi untuk mengoptimalkan teknologi internet, dan
merupakan bagian baru dari press release. Dengan newsroom mampu menampilkan lebih banyak
press release dalam waktu lebih singkat dan tampilan yang enak dipandang mata, tidak hanya
sekadar teks atau foto, namun bisa dalam bentuk video news release maupun audio news release.
Junaedi, Mengenal Public Relations dalam Teori dan Praktek, Majalah Gema Serasi online,
diakses tanggal 26 Desember 2011. Lihat pula Scott Cutlip, Allen Center dan Glen Broom,
menyatakan bahwa alat untuk menyampaikan pesan adalah press release, brosur, website, paket
media, video, berita, koferensi pers dan media penerbitan internal lembaga.
378
Namun demikian ditemukan hal yang unik dan menarik di ponpes
salafiyah Sidogiri, yaitu pihak ponpes menolak adanya publikasi dan lebih
memilih pada sosialisasi. Publikasi secara terang-terangan adalah hal yang
tidak diperkenankan oleh dewan masyayikh, namun ponpes justru mendorong
untuk melakukan sosialisasi. Sosialisasi dipilih karena cara ini lebih dari
sekadar hanya publikasi. Jika diibaratkan mesin, maka ponpes lebih memilih
mesin yang tidak menderu-deru bunyinya namun bisa berjalan melesat. Misi
inilah yang mendorong ponpes untuk selalu memberikan uswah hasanah
dengan menunjukkan dulu kepada masyarakat melalui khidmah baru
kemudian menginformasikannya. Dengan kata lain ponpes menunjukkan
kompetensi yang dimilikinya terlebih dahulu kepada masyarakat, baru
selanjutnya melangkah pada menginformasikannya. Hal ini sebagaimana
nasehat Kiai, seperti yang ditirukan Naji, “yen wong pengen ngaji yo mesti
moro mrene” (kalau orang ingin mencari ilmu agama, maka ia akan datang
sendiri ke pondok pesantren). Konsep ini sebetulnya sama dengan konsep
pendidikan yang sekarang sedang marak digalakkan yaitu pendidikan
berbasis kearifan lokal, dimana ketika lembaga pendidikan telah unggul dan
kompeten dalam bidang tertentu yang berdasar pada kearifan lokal, maka
akan dijadikan rujukan oleh banyak kalangan. Pada hakekatnya misi inilah
yang dijalankan oleh ponpes salafiyah, sehingga lebih memilih pada
sosialisasi daripada publikasi.
Dengan sosialisasi, tanpa disadari ponpes telah melakukan publikasi.
Salah satu contohnya sosialisasi melalui media massa. Sidogiri memiliki 14
379
media pers yang berjalan secara aktif dan dikelola dengan manajemen
modern berbasis IT. Walaupun mereka memegang prinsip sifatnya bukan
publikasi, namun komunikasi eksternal yang sifatnya pemberian informasi
tersebut pada hakekatnya juga termasuk kategori publikasi dengan cara
melalui media dan dengan lisan al-hal. Cara ini dianggap lebih efektif dan
menyentuh di hati masyarakat. Hal ini sebagaimana ayat dalam al-Qur‟an di
bawah ini:
اااا...
اااا
اااااا
....dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa
mereka. (Q.S.al-Nisa’:3: 63)
Kata baliighan dalam ayat ini mengindikasikan kata atau komunikasi
yang membekas pada jiwa. Pakar tafsir al-Alusi mengartikan kata ini dengan
kata ma’tsuran.35
Komunikasi yang dilakukan pondok pesantren Sidogiri dan
Lirboyo mempunyai rasa atau membekas pada komunikan atau publik.
Komunikasi yang membekas adalah komunikasi yang mempunyai rasa dalam
jiwa dan dapat tersimpan dalam hati. Ibarat orang yang mengatakan cinta
yang dilakukan sepenuh hati, maka orang yang dicintai akan selalu terngiang-
ngiang dengan perkataannya bahkan sampai tidak dapat tidur karena selalu
memikirkan perkataan itu. Di samping itu, komunikasi pondok pesantren
salafiyah tersebut dilakukan dengan hati menuju ke hati agar komunikasi
35
Shihab al-Din al-Alusi, Tafsir Ruh al-Ma’ani, juz 3, (Mauqi‟u al-Tafasir: Dalam
Software al-Maktabah al-Syamilah, 2005), hlm. 112
380
yang dilakukan dapat diterima dengan baik oleh komunikan, dan dibuktikan
dengan fakta yang disuguhkan, bukan hanya promosi semata. Berdasarkan hal
tersebut, maka sangatlah mungkin kalau masyarakat mempercayai kedua
pondok tersebut, dan terjadi hubungan timbal balik serta simbiosis
mutualisme.
Komunikasi yang dilakukan pondok pesantren salafiyah ini sesuai
dengan teori komunikasi efektif yang dikemukakan oleh Gibson dkk, bahwa
Ada tiga faktor yang yang dapat mempengaruhi suatu komunikasi efektif atau
tidak efektif, yaitu (1) penyandian, (2) pengartian, dan (3) gangguan.36
Komunikasi yang dilakukan oleh pondok pesantren salafiyah Lirboyo dan
Sidogiri, walaupun sifatnya hanya pemberian informasi, namun menunjukkan
kejelasan dan memakai saluran yang lancar juga dilakukan dengan kerja sama
yaitu alumni kedua pondok pesantren tersebut.
36
Penyandian terjadi terjadi ketika pengirim menerjemahkan informasi untuk dikirimkan
menjadi serangkaian simbol. Penyandian itu perlu karena informasi hanya dapat dikirimkan dari
seseorang kepada orang lain lewat perwakilan atau simbol. Komunikasi merupakan obyek dari
penyandian. Pengirim berusaha menetapkan arti yang dipahami bersama dengan penerima dengan
cara memilih simbol, biasanya dalam bentuk kata atau gerakan tubuh, yang dipercaya oleh
pengirim sehingga mempunyai arti yang sama dengan penerima. Sementara pengartian adalah
proses yang dilakukan oleh penerima untuk menginterpretasikan pesan dan menterjemahkannya ke
dalam informasi yang mempunyai arti. Untuk proses ini, ada dua langkah langkah yang harus
ditempuh, yaitu penerima harus menerima pesan itu, dan kemudian mengartikannya. Pengartian
dipengaruhi oleh pengalaman penerima, penilaian pribadi mengenai simbol dan gerakan tubuh
yang dipakai, dan kesamaan arti dengan pengirimnya. Sedangkan gangguan adalah faktor apapun
yang mengganggu, membingungkan, atau mencampuri komunikasi. Gangguan dapat timbul dalam
(1) saluran komunikasi yang tidak lancar, baik secara internal (ketika penerima tidak
memperhatikan) maupun eksternal (ketika pesan terganggu oleh suara lain dari lingkungan), (2)
metode pengiriman (seperti udara untuk pembicaraan lisan atau kertas untuk surat), (3) kurangnya
kerjasama, (4) perbedaan persepsi dan bahasa. Untuk mengatasinya, pesan harus dijelaskan
sehingga dapat dipahami oleh penerima yang mempunyai pandangan dan pengalaman berbeda.
Gangguan dapat terjadi pada tahap manapun dari proses komunikasi. Gangguan terutama amat
mengganggu dalam tahap penyandian dan pengertian. James L. Gibson, Jhon M. Ivancivich, dan
James P. Donnelly, Jr., Organizations: Behavior, Structure, Processes (T.tp: Dallas Business
Publications, 1985), hlm. 535
381
Dari komunikasi tersebut, nampaknya komunikasi eksternal di
pondok pesantren salafiyah memang tidak bertujuan semata-mata untuk
publikasi namun pemberian informasi yang diperlukan masyarakat. Di
samping itu, komunikasi juga dilaksanakan secara langsung (by action).
Komunikasi eksternal ini berjalan dengan lancar, karena adanya dukungan
yang kuat dari para alumni melalui jaringan alumni yang ada di tiap-tiap
daerah. Jaringan alumni ini memiliki aktifitas rutin yang diselenggarakan di
masyarakat, sehingga mereka berinteraksi sosial dan berpartisipasi langsung
dengan publik.
Selain itu ponpes salafiyah juga memiliki tradisi yang telah
dijalankan secara kontinyu, yaitu penyelenggaraan haul, istighatsah bersama,
dzikir bersama, acara peringatan PHBI, dan lain-lain, yang mampu
menggerakkan massa untuk terlibat langsung dalam kegiatan tersebut.
Aktifitas ini secara tidak langsung menunjukkan kekuatan lembaga dalam
mempengaruhi dan menggerakkan massa, atau diistilahkan dengan show of
force, walau tanpa ada permintaan dan pressure dari ponpes, namun
masyarakat sendiri yang berkepentingan dan akhirnya berpartisipasi
langsung. Interaksi ponpes dengan masyarakat melalui aksi nyata inilah yang
akhirnya mampu menciptakan opini publik yang menguntungkan antara
kedua belah pihak, untuk mencapai tujuan ponpes salafiyah dengan cara terus
menerus/berkesinambungan, karena public relations merupakan
382
kelangsungan hidup organisasi yang bersangkutan.37
Komunikasi eksternal by
action tersebut, pada hakekatnya bertujuan untuk membangun citra pondok
pesantren di mata publik.38
Ketika pondok pesantren mengadakan komunikasi dengan
stakeholders, peran kiai mempunyai pengaruh yang besar dalam menjalin
kerjasama tersebut. Dengan kharisma kiai, stakeholders akan mendukung
berbagai acara ataupun program yang berkaitan dengan pondok pesantren.
Hal ini sebagaimana di Lirboyo seperti acara istighatsah akbar, safari
ramadhan, forum ulama dan hadratus syeikh, bahtsul masail, dan lain-lain.
Sedangkan di Sidogiri selain even religi juga kegiatan yang berhubungan
dengan saluran-saluran produksi ekonomi seperti Kopontren, Laziswa, BMT,
air minum “santri”, majalah maupun bulletin.
Dukungan stakeholders terhadap berbagai kegiatan maupun program
pondok pesantren, selain karena adanya pengaruh personal kiai juga
dikarenakan kiai merupakan mediator yang paling tepat untuk menyampaikan
informasi menngenai tujuan organisasinya kepada khalayak. Kiai merupakan
figur central, tempat musyawarah semua masalah, tempat bermuaranya
person dari berbagai kalangan, sebagai sosok yang diteladani, diterima
fatwanya, dijadikan uswatun khasanah oleh publik, sehingga apa yang
diinformasikan oleh kiai akan diterima dan dibenarkan oleh khalayak. Dan
ini adalah strategi yang dipilih oleh stakeholders untuk mencapai tujuan
37
Maria Assumpta Rumanti. Dasar-dasar Public Relations: Teori dan Praktek. (Jakarta:
Gramedia Widiasarana, 2002), hlm. 7 38
Hal ini sesuai dengan pendapat Jefkins yang menyatakan bahwa tujuan dari komunikasi
adalah untuk memperoleh citra positif dan dukungan dari publiknya, Franks Jefkins, Public
Relations Techniques, (Butterworth Heinemann, 1994), ISBN 0-7506-1563-X, 9780750615631
383
organisasinya. Model komunikasi yang seperti ini menjadikan kiai sebagai
mediator, penyambung lidah informasi kepada publik sehingga tidak salah
kalau Ziemek menyatakan bahwa figur kiai dengan pondok pesantrennya
adalah tempat komunitas masyarakat belajar secara langsung, kiai sebagai
agent of social change39
dalam sosio kultur masyarakatnya.
Di sisi lain, sistem komunikasi yang dijalankan di ponpes salafiyah
juga melibatkan para alumni ponpes, dimana loyalitas terhadap ponpes yang
kuat dalam ke-santri-annya, menjadikan para alumni dimanapun mereka
berada selalu membawa almamater ponpes. Ketika para alumni kembali ke
daerahnya masing-masing dan berinteraksi dengan masyarakat, disadari atau
tidak disadari mereka akan mempublikasikan ponpesnya. Dan ini dilakukan
oleh para alumni tidak dengan publikasi secara terang-terangan, melainkan
hanya bersifat gepok tular saja. Komunikasi gepok tular ini sesuai dengan
teori word of mouth, yang menyatakan bahwa komunikasi word of mouth
adalah pembicaraan dari mulut ke mulut yang merupakan aktivitas yang
paling sering dilakukan oleh masyarakat, yang sifatnya mampu memberikan
persuasi antarpersonal.40
Word of mouth menjadi media promosi yang efektif
karena dinilai sebagai sumber informasi yang kredibel dan terpercaya. Jadi,
informasi word of mouth kemungkinan besar akan didengar dan dapat
mempengaruhi persepsi individu yang mendengarnya. Ketika yang
39
Lihat Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj., (Jakarta: P3M, 1986),
hlm. 160. Pernyataan DWP Pesantren Style, dalam Asian Action, No. 15, yang menyatakan bahwa
Pesantren bukan sekolah, tapi suatu komunitas belajar. Kita semua belajar bersama-sama. Kita
saling belajar. Tempat ini adalah rumah kita, tempat kerja kita, pangkalan komunitas kita dan
bukan hanya sebuah sekolah formalitas. 40
Kameran Ahari, “Creating Buzz”, Word of Mouth Marketing, p.21, Diperoleh melalui
http://www.gotastrategy.typepad.com/ yang diakses tanggal 24 November 2009 pukul 21.30 WIB.
384
menyampaikan informasi ini adalah alumni ponpes salafiyah yang dianggap
memiliki kemampuan lebih di bidang keilmuan di masyarakat, maka akan
akan menjadi sarana publikasi yang secara tidak langsung dapat dipercaya
oleh khalayak, karena sumber penyampai informasi dianggap kredibel.
Dari paparan tersebut di atas, bisa peneliti ambil benang merah
bahwa sistem komunikasi eksternal yang dijalankan oleh ponpes salafiyah
adalah: 1) komunikasi melalui media, baik elektronik maupun non elektronik,
2) komunikasi dengan menunjukkan kekuatan pengerahan massa dalam
kegiatan religi, 3) komunikasi dilakukan dengan memberikan contoh akhlakul
karimah dan cara terjun langsung ke masyarakat melalui pengabdian kepada
masyarakat, yaitu komunikasi bi al-hal, dan 4) komunikasi dengan lisan (bi
al-lisan) dengan menggunakan strategi word of mouth, melalui simpul-simpul
jaringan para alumni yang ada di setiap daerah.
C. Proses Membangun Citra Pondok Pesantren melalui Kiprah
Citra adalah sebuah pandangan mengenai suatu organisasi atau
instansi, yang bersifat penilaian obyektif masyarakat atas tindakan dan
perilaku serta etika instansi tersebut yang berhubungan dengan eksistensinya
dalam masyarakat. Citra merupakan kesan, perasaan, gambaran diri publik
terhadap institusi, kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek,
orang atau organisasi.41
Menurut Buchari,42
citra merupakan kesan, impresi,
perasaan atau persepsi yang ada pada publik mengenai perusahaan atau
41
Soemirat dan Ardianto, Dasar-Dasar …, p.112. 42
Alma Buchari, Manajemen Pemasaran danPemasaran Jasa, (Bandung: Alfabeta, 1992),
hlm. 32
385
insitusi suatu obyek, orang atau lembaga. Citra merupakan gambaran yang ada
dalam benak publik baik itu publik internal maupun eksternal tentang
lembaga.
Dalam konteks penelitian ini, citra lembaga atau corporate image
juga melekat pada lembaga pondok pesantren, terlebih pondok pesantren
salafiyah. Ponpes salafiyah Sidogiri yang berdiri sejak abad ke-17 dan
ponpes salafiyah Lirboyo yang berdiri pada abad ke-19, menjadikan kedua
lembaga ponpes salafiyah tersebut dibangun atas sejarah keberhasilan para
tokoh pendirinya, dapat membentuk karakter lembaga, membangun identity
lembaga yang berbeda dengan lembaga yang lain, sehingga berhasil
membangun image positif. Image lembaga yang terbangun atas sejarah
keberhasilan para tokoh pendirinya dikenal dengan istilah memiliki
organizational saga.43
Hal ini sebagaimana pendapat Wilson yang
menyatakan bahwa setiap organisasi pasti memiliki identitas diri. Artikulasi
dari identitas tersebut tercermin dalam etos, tujuan dan nilai-nilai organisasi.
Identitas diri menunjukkan sense of individuality yang bisa membantu
organisasi membedakan dirinya dengan organisasi lain dalam lingkup
persaingan. Identitas kedua ponpes salafiyah tercermin dari sikapnya yang
tawadhu’ atau jiwa tunduk (ruhul inqiyad) dan nilai-nilai salafi yang
diterapkan.
Image yang melekat pada ponpes salafiyah akan membawa citra
lembaga ditengah-tengah publik. Citra sejarah dan riwayat lembaga yang
43
John Balmer and Alan Wilson, “Corporate Identity: There is more to it than meets the
eye”, International Studies of Management and Organization Journal, 1998, hlm. 12-13
386
gemilang, serta keberhasilan para tokoh sebelumnya juga keberhasilan para
output dari lembaga dengan sendirinya akan membentuk citra lembaga atau
corporate image.44
Sayid Sulaiman putra dari Sunan Gunung Jati selaku
pendiri ponpes salafiyah Sidogiri45
dan Kiai Sholeh (kerabat kiai Hasyim
Asy‟ari) selaku pendiri ponpes salafiyah Lirboyo,46
beserta keturunan
selanjutnya menjadi pioner terhadap pencitraan ponpes. Namun demikian,
figur dan citra sejarah bukan satu-satunya faktor yang menjadikan image
ponpes meningkat. Selain citra pondok pesantren terbangun melalui citra
sejarah, citra ponpes akan terbangun dengan sendirinya pula apabila output
dari pondok pesantren tersebut mempunyai nilai guna di masyarakat. Selain
itu, image pondok pesantren akan terbangun dengan sendirinya jika pondok
pesantren tersebut mempunyai kiprah di masyarakat. Di pondok pesantren
Lirboyo, hal tersebut dibuktikan dengan kompetensi lulusan yang terakui dan
berguna di masyarakat. Akhlak yang baik yang ditunjukkan para santri dan
alumni dari pondok pesantren Lirboyo secara tidak langsung mampu
membangun citra pondok pesantren Lirboyo. Pandangan masyarakat umum
terhadap kompetensi yang dimiliki santri akan menjadikan masyarakat
mampu melakukan penilaian dan akhirnya image yang baik akan terbangun
dengan sendirinya. Dan biasanya alumni tersebut membentuk jaringan alumni
karena sudah kokohnya citra yang dibangun.
44
M. Linggar Anggoro, Teori dan Profesi Kehumasan serta Aplikasinya di Indonesia,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet I, hlm. 59-60 45
Sumber NU Online, diakses melalui http://www.sidogiri@net, tanggal 11 September
2011 46
Tim Penyusun, Tiga Tokoh Lirboyo: KHLM. Abdul Karim, KHLM. Marzuki Dahlan,
dan KHLM. Mahrus Aly, Cet. IX (Lirboyo: BPK-P2L, 2008), hlm. 12-113
387
Di samping itu, masyarakat banyak yang memondokkan anak-
anaknya di pondok pesantren tersebut. Karena masyarakat percaya dan
mengikuti semua yang dikatakan oleh seorang Kiai, terutama kiai yang
memimpin pondok pesantren yang besar seperti Lirboyo. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa citra yang demikian disebut image building by
charisma. Pencitraan positif sebagai akibat dari kharisma ini sesuai dengan
pendapatnya Cutlip yang menyatakan bahwa reputasi publik terhadap
organisasi pada dasarnya banyak berasal dari perilaku pejabat seniornya pada
saat mereka berada di posisi puncak. Ketika pimpinan bertindak dan berbicara
maka berlangsunglah interpretasi dan gema yang diciptakan oleh figur
tersebut. Sehingga mau tidak mau, pimpinan terikat pada fungsi public
relations.47
Selaras dengan hal ini Abdurrahman Mas'ud mengatakan bahwa
para santri menerima kepemimpinan kiai karena percaya pada konsep
dalam masyarakat Jawa, yaitu berkah atau baraka yang didasarkan atas
doktrin keistimewaan status seorang alim dan wali.48
Mereka meyakini
bahwa orang yang alim maupun wali memiliki kemampuan istimewa
yang tidak dimiliki orang pada umumnya sehingga menerima
kepemimpinannya sebagai keniscayaan. Kepercayaan masyarakat dan santri
terhadap karamah kepemimpinan kiai biasanya sangat kuat. Namun, tradisi
tersebut agak luntur di kalangan santri yang melanjutkan studinya di
perguruan tinggi.
47
Scott M. Cutlip, dkk, Effective..., p.50 48
Abdurahman Mas'ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yokyakarta:
LKIS, 2004), p..13
388
Begitu agungnnya peran kiai, terutama kiai pesantren dalam
masyarakat itu akan berdampak pada tingginya penghargaan masyarakat
kepadanya. Tinginya perhargaan itu dikarenakan oleh karena masyarakat kita
adalah masyarakat yang paternalistik. Dalam masyarakat semacam ini, kiai
dianggap sebagai bapak yang selalu mendidik dan tidak mungkin
menyesatkan, sehingga mereka menaruh kepercayaan penuh padanya.49
Maka
itulah yang terjadi di pondok pesantren Lirboyo.
Akhlak mahmudah yang ditunjukkan para alumni merupakan salah
satu alat yang ditunjukkan untuk membangun citra. Dengan menunjukkan
akhlak yang baik, maka alumni dapat menunjukkan kiprahnya di masyarakat.
Pondok pesantren dipercaya masyarakat sebagai lembaga yang mampu
membangun akhlak atau karakter yang baik, dimana hal tersebut sulit
dilakukan oleh lembaga-lembaga yang lainnya. Padahal pengembangan
karakter sementara ini direalisasikan dalam pelajaran agama, pelajaran
kewarganegaraan, atau pelajaran lainnya, yang program utamanya cenderung
pada pengenalan nilai-nilai secara kognitif, dan mendalam sedikit sampai ke
penghayatan nilai secara afektif. Pengembangan karakter seharusnya
membawa anak ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara
afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Untuk sampai ke praksis,
ada satu peristiwa batin yang amat penting yang harus terjadi dalam diri anak,
yaitu munculnya keinginan yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan
nilai. Perdidikan yang dilakukan oleh pesantren mampu menanamkan nilai
49
Qomar, Manajemen.., hlm. 64.
389
sampai ke arah penghayatan dan pengamalan. Maka tidak salah jika
masyarakat lebih mempercayai pesantren daripada pendidikan formal dalam
masalah pengembangan akhlak atau karakter dan hal itu merupakan citra
yang sudah tertanam pada masyarakat. Realitas ini menguatkan pendapat
Anggoro yang menyatakan bahwa citra dan reputasi itu tidak bisa di beli,
tetapi citra itu di dapat.50
Perolehan citra dan reputasi positif dari masyarakat bukan berarti tanpa
adanya suatu usaha dari ponpes. Di pondok pesantren salafiyah Sidogiri, citra
pondok pesantren dibangun dengan 5 cara, antara lain: alumni, ekonomi,
media, pendidikan, sosial, dakwah dan branding. Alumni berperan penting
dalam membangun citra di pondok pesantren Sidogiri. Walaupun mereka
sudah menjadi alumni, namun hubungan emosional dengan para Kiai masih
terjalin. Nampaknya, implikasi dari label ”santri” bagi seseorang yang sedang
maupun telah selesai menuntut ilmu tersebut berimbas pada ke-loyalitas-an
mereka terhadap figur yang secara otomatis terhadap lembaganya. Hal ini
tercermin jika ada kegiatan akbar seperti haul maupun akhirussanah, mereka
akan meluangkan waktu, tenaga dan biaya untuk menghadiri acara tersebut,
walaupun tanpa ada undangan resmi secara formalitas. Acara ini selain
sebagai ajang yang bernuansa religi, secara tidak langsung juga bisa
digunakan para santri, alumnus, masyarakat, tokoh agama, maupun
stakeholder untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara langsung tentang
segala hal (politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain) sesuai dengan kapasitas dan
50
M. Linggar Anggoro, Teori dan profesi Kehumasan Serta Aplikasinya di Indonesia,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 65
390
kebutuhan masing-masing dan tanpa disadari, hal ini adalah ajang untuk
menjalin hubungan yang baik dengan pihak lain, dan hal tersebut merupakan
tujuan dari public relations.
Istilah branding disini sebagai salah satu media membangun citra,
nampaknya sesuai dengan salah satu teorinya Faradillah,51
bahwa brand atau
merek merupakan bagian terpenting dari institusi, karena merek akan
memberikan image kepada lembaga. Branding merupakan kata, nama atau
simbol yang digunakan lembaga untuk mengenali dan membedakan barang
atau jasa mereka dari barang atau jasa lain.52
Sebuah merek akan memiliki
potensi jika memperhatikan: a) A quality product, kualitas adalah nomor satu
yang diinginkan konsumen, karena kepuasan konsumen digunakan untuk
mengukur nilai-nilai merek (brand values); b) Being first, adalah menjadi
pertama dalam pasar bukan dalam teknologi; c) Unique positioning concept,
adalah merek harus memiliki konsep yang unik, yang membedakan dengan
kompetitornya; d) Strong communications program berarti merek yang sukses
harus disertai dengan penjualan yang efektif, pengiklanan, kampanye, promosi
yang akan mengkomunikasikan fungsi dari brand itu dan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya; e) Time and Consistency, maksudnya merek tidak
diangun dalam waktu yang cepat, namun membutuhkan waktu untuk
membangun merek tersebut dan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Dalam
memelihara nilai-nilai dalam merek tersebut membutuhkan waktu yang
berkesinambungan dan dihubungkan dengan perubahan lingkungan. Pondok
51
Faradilah R, Penerapan Marketing untuk Meningkatkan Prestasi Sekolah, (Jakarta: UI
Press, 2005) 52
Scott M. Cutlip, dkk, Effective..., p.163
391
pesantren memang menunjukkan fakta dan produk yang baik, bahkan mereka
menjamin lulusannya tersebut dengan selalu berkomunikasi dengan
alumninya.
Di pondok pesantren Sidogiri, nampaknya guru tugas juga menjadi
usaha untuk membangun citra selain label image branding yang ditunjukkan
di atas. Nilai guna yang ditunjukkan santri, alumni maupun segenap elemen
pondok pesantren salafiyah di masyarakat merupakan strategi untuk
membangun citra di pondok pesantren salafiyah tersebut.
Selain program guru tugas, dakwah juga dilaksanakan karena
panggilan jiwa dan jihat.53
Tujuan yang hidden, yaitu untuk membangun citra
dan memberi informasi kepada masyarakat tentang Pondok pesantren Sidogiri.
Bedanya dengan guru tugas, kalau program Dai ini diadakan dan ditempatkan
di daerah terpencil. Hal ini berarti menggugurkan teori Cutlip54
, karena
membangun citra tidak perlu berbelit-belit dan merancang strategi, namun
cukup dengan menunjukkan produk yang mempunyai nilai guna bagi publik
dan berkomunikasi yang efektif dengan masyarakat.
53
Untuk program dai, memang dipilih daerah yang belum ada madrasahnya, belum ada
musholanya dan masyarakat sekitar minus terhadap agama. Ponpes mengirim santri sebagai dai
walau tanpa ada permohonan dari daerah tsesebutProgram Dai sudah berjalan 10 tahun terahkir.
Dimulai akhir syawal sampai dengan 25 ramadhan pada tahun berikutnya. Pada tahun ini terdapat
33 dai, yang dikirim ke Bali, Malang Selatan, Blitar, dan Trenggalek. Wawancara ustadz sholeh,
26 September 2011 54
Cutlip menyatakan bahwa terdapat beberapa cara membentuk citra positif bagi organisasi
atau lembaga, antara lain yaitu 1) Menciptakan public understanding. Pengertian public
understanding berarti persetujuan atau penerimaan, dan persetujuan belum berarti penerimaan; 2)
Menciptakan public confidence; 3) Menciptakan public support; 4) Menciptakan public corporate;
adalah adanya kerjasama dari publik terhadap organisasi atau lembaga. Scott M. Coultip, Allen P.
Center & Gleen M. Broom, Effective Public relations, Alih bagasa Tri Wibowo, (Jakarta: Prenada
Media, 2006)
392
Di samping itu, pondok pesantren Lirboyo dan Sidogiri mempunyai
nilai-nilai yang kuat dan berakar dalam budaya pondok pesantren tersebut. Hal
itu terbukti bahwa kedua pondok pesantren tersebut mempunyai kegiatan rutin
yang sudah mapan.55
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Robbins,
latar belakang budaya dan nilai sebagai faktor penentu dari pesantren berupa
nilai-nilai (values) religius, keyakinan (values), budaya (culture) dan norma
perilaku yang dianggap bersifat tradisional oleh khalayak menjadi suatu hal
yang memiliki nilai keunikan dan interest publik tersendiri dan harus tetap
dipertahankan karena justru faktor penentu inilah yang menjadikan pesantren
bisa diterima oleh masyarakat dengan memberikan label/citra positif.56
Citra dibentuk dari identitas organisasi atau korporasi (corporate
identity). Oleh karena itu identitas adalah manifestasi visual dari citranya
yang disampaikan melalui logo, produk, layanan, bangunan, alat tulis,
seragam, dan benda benda lain yang tampak (tangible), yang dibuat oleh
organisasi untuk berkomunikasi dengan khalayaknya. Selanjutnya khalayak
akan mempersepsi citra sebuah organisasi berdasarkan pada pesan yang
dikirimkan organisasi dalam bentuk identitas organisasi yang
terlihat tersebut.
Benang merah yang dapat penulis ambil adalah strategi yang
digunakan pondok pesantren salafiyah dalam membangun citra adalah
strategi persuasive, yang meliputi:
55
Lihat profil pondok pesantren lirboyo dan Sidogiri dalam lampiran. 56
Stephen P. Robbins, Organizational Behavior, Mexico: Prentice Hall, 2003), hlm. 81
393
1. Informasi atau pesan yang disampaikan harus berdasarkan pada fakta dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2. Public relations sebagai komunikator dan sekaligus mediator berupaya
membentuk sikap dan pendapat yang poistif dari masyarakat melalui
rangsangan atau stimulasi.
3. Menyuguhkan produk yang terjamin dan mempunyai nilai guna dalam
masyarakat.
Bahkan kedua pondok pesantren, yaitu Lirboyo dan Sidogiri
mempunyai jaringan yang terbangun dari penerapan fungsi public relations di
pondok pesantren tersebut, yaitu:
1. Network bersifat personal, bukan network yang berorientasi pada
perolehan keuntungan. Person yang menjalankan network untuk pondok
pesantren didominasi oleh para alumni yang mana para alumni ini karena
sudah pernah tinggal di pondok selama sekian tahun, sehingga mereka
bisa menceritakan realitas aktifitas yang dilaksanakan di ponpes tanpa
ada sesuatu yang dilebihkan ataupun dikurangi.
2. Network quality product. Para alumni lulusan dari ponpes memiliki
kiprah di masyarakat. Kebanyakan dari alumni santri minimal mereka
sebagai figur yang disegani di masyarakat karena keilmuannya. Peran
serta para alumni di masyarakat turut memberikan corak dan penilaian
tersendiri bagi orang lain, sehingga mampu mempengaruhi orang lain
untuk tertarik dengan ponpes.
394
Dengan adanya network yang terbangun tersebut, maka kedua
pesantren salafiyah yaitu, Lirboyo dan Sidogiri akan terjaga eksistensinya dan
akan mempunyai image yang positif di mata masyarakat. Masyarakat tidak
akan menganggap pondok pesantren salafiyah hanya merupakan lembaga
pendidikan sampingan, namun karena alumninya sudah terbukti berkiprah di
masyarakat, maka pondok pesantren salafiyah merupakan lembaga
pendidikan yang cukup eksis dan mampu mempertahankan eksistensinya.
Suatu pesantren yang menyajikan produk yang terjamin dan bermutu
tentu akan diminati dan mampu menarik masyarakat. Masyarakat akan
berbondong-bondong menitipkan putra-putrinya di pesantren tersebut dengan
harapan bisa dan mampu menjadi orang yang berguna.
Sehubungan dengan konsep membangun citra tersebut di atas,
implementasi pembangunan citra di pondok pesantren tidak terlepas dari
opini publik yang dibangun dan juga sikap out put yang terbentuk dari
pondok pesantren tersebut. Namun demikian sikap dan kharisma seorang kiai
tetap menjadi mercusuar pondok pesantren dalam menjalin komunikasi dan
berinteraksi guna mencari dukungan positif dari khalayak. Pembangunan citra
pondok pesantren bisa diukur dari seberapa besar pendidikan pondok
pesantren mampu memainkan peran pemberdayaan (enpowerment) dan
mampu mentransformasikan nilai-nilai social society secara efektif dalam
masyarakat.57
57
Marzuki Wahid, Pondok Pesantren dan Penguatan Civil Society, (Aula no. 2 tahun
XXII, Pebruari, 2000), hlm. 76
395
Di samping itu, keikhlasan dan hanya mengharap ridha Allah juga
merupakan icon untuk membangun citra di pondok pesantren Lirboyo dan
Sidogiri. Kedua pondok pesantren tersebut memberikan apa yang dibutuhkan
masyarakat dengan ikhlas dan hanya mengharap ridha allah, terbukti dengan
adanya safari ramadhan di Lirboyo, program dai dan guru tugas di Sidogiri
yang hal itu bisa menarik simpati masyarakat. Jadi usaha membangun citra by
action atau bil hal lebih akurat daripada hanya sekadar publikasi saja.
Selain itu, membangun citra juga dilakukan dengan word of mouth
yaitu dengan saling memuji antar kiai.58
Dengan saling memuji maka citra
justru akan terbangun, kepercayaan masyarakat semakin meningkat dan
akhirnya masyarakat semakin tertarik dengan ponpes. Orang luar akan
mempersepsikan ponpes dengan citra yang positif. Dengan saling memuji dan
memberi nilai yang positif, maka kharisma kiai tersebut akan selalu terjaga
dan dipercayai masyarakat. Dan upaya ini tepat mengenai sasaran pencitraan
yang intinya adalah bagaimana tercipta opini publik dalam kaitannya dengan
keberadaan sebuah lembaga yang melayani atau memperjelas lembaga
tersebut yang tergabung dalam istilah public relations atau humas. Di tingkat
bawah, konsep word of mouth (WOM) ini juga diterapkan oleh seluruh
elemen yang ada di ponpes, bahkan para alumni ketika mereka berinteraksi
58
Kiai Mansur memuji kiai Idris, sebaliknya Idris memuji kiai Mansur…di tempat lain kiai
Idris memuji kiai Makhrus, dan begitu sebaliknya. Ini merupakan salah satu strategi public
relations yang luar biasa. Sementara itu kalau kita amati, di institusi/lembaga lain, kalau
menginginkan suatu posisi, maka justru akan saling menjatuhkan. Padahal, ketika seseorang saling
menjatuhkan/menjelekkan, maka disadari atau tidak sadari bangunan public relations itu akan
hancur. Karena bukan pribadi itu yang hancur, melainkan lembaga yang akan mengalami
kehancuran pencitraan di mata publik. Sebaliknya, kalau saling memuji satu dengan yang lain,
maka justru lembaga akan semakin kuat, dan citra lembaga akan naik di mata publik, dan inilah
strategi public relations yang sesungguhnya. Wawancara dengan Gus Reza, Pengasuh Ponpes
Lirboyo, 14 Oktober 2011
396
dengan masyarakat juga menggunakan komunikasi ini. WOM merupakan
penyampaian informasi secara “gepok tular”antar satu person dengan person
yang lain. Peran WOM ini mengalahkan iklan yang ada di media.59
Menurut
penelitian ini, WOM lebih berhasil efektif karena melalui WOM informasi
yang diberikan lebih obyektif, ada pengaruh emosional karena berhadap-
hadapan langsung, yang akhirnya akan “tersebarluaskan”, dan khalayak
percaya. Hal ini tak ubahnya dengan peran santri maupun alumni, ketika
mereka berkiprah di masyarakat, mereka adalah jendelanya ponpes. Apapun
informasi mengenai pondok bisa di dapat melalui santri maupun alumni.
Ketika para santri maupun alumni berkiprah di masyarakat, mereka menjadi
penghubung antara lembaga dan khalayak, membawa perilaku dan kiprahnya
di masyarakat merupakan cerminan dari citra ponpes. Kiprah di masyarakat
merupakan penjelasan pesan-pesan dari public relations atau humas yang
akhirnya akan mampu mengubah citra publik terhadap institusi atau
perusahaan melalui media massa.
Selain itu, citra pondok pesantren yang paling inti dibangun oleh
personal kiai, karena sebuah pondok pesantren salafiyah apabila kiainya
sudah meninggal dan generasi penerusnya tidak kuat, maka akan mengalami
kemunduran dan akan ditinggalkan santrinya. Maka kiai mutlak
keberadaannya dalam sebuah pondok pesantren. Tanpa adanya kiai, maka
pesantren tersebut tidak dapat berjalan. Dalam sebuah pesantren, kiai
mempunyai otoritas penuh. Kiai biasanya mengajar kitab kuning kepada
59
Harry Puspito, direktur Marketing Research Indonesia, dalam Majalah Marketing Mix,
edisi 11 April-10 Mei 2007, tentang “Kalahnya pengaruh iklan ATL (TV, radio dan cetak)
dibanding medium Word of Mouth (WOM)”
397
santrinya dengan metode bandongan atau sorogan. Sehingga image building
yang paling menonjol adalah dilakukan oleh kiai. Demikian pula fenomena
yang terjadi di ponpes salafiyah Lirboyo maupun Sidogiri. Kharisma kiai
memang memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat.60
Secara lebih jelasnya mengenai usaha membangun citra pondok
pesantren salafiyah tersebut akan dijelaskan di bawah ini:
Gambar 5.2. Pembangunan Image di Pondok Pesantren
60
Hal ini sebagaimana observasi peneliti di lapangan, mulai dari kalangan masyarakat
tingkat bawah, yaitu sikap yang ditunjukkan oleh tukang tambal ban, anak sekolah tingkat SMU,
pekerja kantor, maupun pengamatan tingkat pejabat pemerintahan dan para politisi. Semuanya
akan bermuara kepada kiai dengan kapasitasnya masing-masing.
Bi al- hal: Safari
Ramadhan, Dai dll Bi al- lisan, word
of mouth dengan
media informasi
Citra Positif
Ponpes
Salafiyah
Pondok Pesantren
Salafiyah
Nilai dan Ciri khas
Ponpes Salafiyah
Kiai dengan
kharismanya
Saling
Memuji
antar Kiai
398
D. Proses Public relations yang Integrated
Dalam public relations pondok pesantren salafiyah, kiai masih
berperan secara eksis dan otoritasnya masih mendominasi secara penuh.
Maka hubungan pesantren salafiyah dengan masyarakat luar harus mendapat
restu dari kiai, sebagai leader. Hal itu dikarenakan kebanyakan pesantren
menganut pola 'serba mono', mono manajemen dan mono administrasi
sehingga tidak ada delegasi kewenangan ke unit-unit kerja yang ada dalam
organisasi.61
Keputusan-keputusan kiai yang bersifat deterministik itu
mengharuskan untuk dijalankan, termasuk juga public relations yang ada
dalam lembaga tersebut. Maka seharusnya kiai memberikan kewenangan
kepada para ustadznya untuk melakukan hubungan dengan masyarakat, agar
hubungan dengan masyarakat lebih terjalin dan masyarakat benar-benar
merasakan peran pesantren.
Namun hal yang tidak disadari oleh banyak kalangan terjadi. Dalam
perkembangannya, semua elemen pondok pesantren menjalankan fungsi
public relations tersebut, walaupun tetap di bawah naungan kiai. Elemen-
elemen tersebut meliputi santri, ustadz bahkan alumni. Mereka berkiprah dan
mengabdi kepada masyarakat, dan itulah kinerja mereka. Pengabdian tersebut
bagi santri dan alumni semata-mata adalah untuk mengharap barakah kiai.
Kinerja inilah yang diistilahkan dengan how to perform.
Di pondok pesantren Lirboyo, public relations dalam pondok itu ada
how to perform. Ini yang membedakan dengan yang lain. Ketika elemen
61
Masyhud dan Khusnuridho, Manajemen Pondok …, hlm. 115
399
pondok berinteraksi elemen tersebut memiliki style sesuai dengan karakter
masing-masing sesuai dengan performnya dan komunitasnya. Selanjutnya
how to know. Inilah yang sifatnya terselubung, yang tidak bisa di desain.
Artinya figure (baik kiai/gus) secara langsung maupun tidak langsung akan
menjadi personal branding dalam ponpes. Karena ketika kiai diundang untuk
dakwah atau menjadi muballigh, maka secara otomatis kiai akan membawa
nama pondok pesantren sebagai instusi yang melekat pada dirinya. Performa
sebetulnya langkah untuk membawa persuasi masyarakat yang kemudian
masuk ke image mereka. Selanjutnya mereka akan mengadopsi dan akhirnya
bisa ambil bagian dan turut serta. Karena justru dengan perform, masyarakat
akan tertarik dengan sendirinya dengan pondok pesantren.
Public relations dalam pondok pesantren yang membedakan dengan
umum adalah adanya how to perform. Ketika figur yang ada di pondok
pesantren salafiyah (baik Lirboyo maupun Sidogiri) berinteraksi dengan
masyarakat luas, maka masing-masing memiliki style sesuai dengan karakter
sendiri, sesuai dengan perform dan komunitasnya. Contohnya figur Gus Reza
(Lirboyo) yang berkecimpung di dunia akademik, performancenya adalah
akademisi, sedangkan Gus Din dengan komunitasnya bela diri, maka
performance-nya bela diri. Sebaliknya di Sidogiri, Gus Saifullah Naji dengan
performanya di bidang entrepreneurship dan kiai Sholeh dengan performanya
di bidang guru tugas/da‟i. Seharusnya how to perform itu memang harus ada,
dan ini yang tidak bisa di desain. Artinya figur (baik kiai/gus) secara langsung
maupun tidak langsung akan menjadi personal branding dalam ponpes.
400
Ketika kiai diundang menjadi muballigh, maka ia akan membawa nama
lembaganya.
Perform sebetulnya adalah langkah untuk membawa persuasi
masyarakat yang kemudian masuk ke image mereka. Selanjutnya mereka
akan mengadopsi dan akhirnya bisa ambil bagian dan turut serta. Sehingga
langkah how to persuade akan menjadi dampak setelahnya. Dalam
menjalankan how to persuade, kedua pondok pesantren salafiyah tidak secara
serta merta membujuk maupun merayu masyarakat, melainkan
mempengaruhi melalui persuasif, memberikan pesan dan kesan, sehingga
pemaknaan akan diperoleh publik berdasar kesadaran mereka sendiri,
sehingga masyarakat akan ikut ambil bagian, ikut serta berperan aktif, dan
how to integrate terwujud. Sedangkan bagi santri alat untuk how to perform
adalah apa-apa yang telah di dapat di pondoknya. Justru dengan perform,
masyarakat akan tertarik dengan sendirinya untuk mondok. Hal inilah yang
dinamakan public relations yang melekat. Bisa juga disebut public relations
yang build in, karena berangkat dari dalam person masing-masing, dan tanpa
di desain sebelumnya.
Dari pembahasan tersebut di atas, langkah yang ditempuh ponpes
salafiyah dalam public relations menyempurnakan teorinya Eduard L
Bernays62
yang menyatakan bahwa fungsi public relations adalah how to
62
Bernays menyatakan bahwa mekanisme dari public relations adalah tiga tahapan, yaitu
how to inform: bagaimana memberi penerangan kepada masyarakat; how to persuade: bagaimana
melakukan pembujukan langsung terhadap masyarakat guna mengubah sikap dan tindakan; dan
yang terakhir adalah how to integrade: bagaimana mengintegrasikan sikap dan tindakan dari
permasalahan dengan masyarakat dan dari masyarakat terhadap permasalahannya. Edward L.
401
inform, how to persuade dan how to integrate. Sedangkan di ponpes salafiyah
langkah tersebut terjadi secara berkesinambungan (circle), yaitu diawali
dengan how integrate, how to inform, how to perform, how to persuade dan
kembali lagi pada how to integrate. Sehingga informasi yang disampaikan
ponpes salafiyah kepada publik bukanlah sekadar publikasi semata,
melainkan apa yang diinformasikan ke publik sesuai dengan realita yang
terjadi di ponpes. Kalau digambarkan sebagaimana berikut di bawah ini:
Gb. 5.3. Tahapan proses Public Relations di Ponpes Salafiyah
dalam menjalankan fungsinya
Proses public relations yang ditemukan di pondok pesantren tersebut
merupakan proses yang integrated. Artinya keberadaan public relations
bukan sekadar ada atau tidaknya public relations secara formalitas, namun
Bernays, dalam Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2008)
How to
integrate (Mengintegrasikan nilai-nilai yg ada di
ponpes)
How to inform (Memberikan
informasi kpd
masyarakat mengenai
aktifitas ponpes)
How to perform (Melalui khidmah
langsung di
masyarakat)
How to
persuade (Cara persuasive,
menyentuh aspek
kesadaran masyarakat)
402
eksistensi public relations ada dan fungsinya berjalan di pondok pesantren
salafiyah. Selama ini kita terjebak pada suatu pemahaman bahwa manajemen
public relations ditangani oleh satu unit tertentu, namun realitasnya di pondok
pesantren, semua elemen terlibat dalam fungsi public relations tersebut.
Setiap santri, ustadz, kiai pada dasarnya adalah alat public relations dengan
cara how to perform tadi menjalankan fungsi public relations. Perform dari
figur yang ada di ponpes salafiyah tersebut dalam bahasa public relations
dinamakan personal public relations. Hal ini disebabkan karena praktik
public relations yang ada di ponpes salafiyah menggambarkan tokoh figure
selalu didekati dan dibutuhkan oleh tokoh-tokoh kunci di masyarakat,
sebagai orang yang dapat dimintai bantuannya, sehingga hubungan personal
dengan figure terbangun.63
Maka tidak ada salahnya jika proses public
relations di pondok pesantren ini sifatnya natural-personal influence public
relations.
Hal ini diperkuat dengan proses public relations di pondok pesantren
salafiyah Sidogiri, bahwa publik mempersepsikan pondok pesantren
berdasarkan fakta (aktifitas yang dilakukan ponpes). Dari fakta yang ada,
publik akhirnya trust pada ponpes. Percaya berdasarkan fakta yang ada (trust
based on fact) bukan sekadar percaya berdasar informasi yang ada (trust
based on information). Sehingga fakta yang baik akan memberikan persepsi
yang baik dan kepercayaan publik diperoleh, begitu pula sebaliknya. Semakin
63
Lihat Model Pengaruh Personal Public Relations, dalam Dan Lattimore, Otis Baskin,
Suzette T.Heiman, Elizabeth L.Toth, Public Relations Profesi dan Praktik, hal. 63-65
403
baik faktanya semakin baik pula persepsi masyarakat dan semakin meningkat
pula tingkat trustment dari masyarakat.
Proses public relations ponpes berjalan dalam kapasitasnya sebagai
software-nya institusi, sehingga yang berjalan bukan public relations sebagai
institusi melainkan fungsi dari public relations itu sendiri. Every one is
marketer, you are as public relations on your self.. Bahkan alumni pun
menjalankan fungsinya sebagai marketer juga karena mengharap mendapat
barakah. Hal inilah yang dalam kacamata peneliti disebut dengan personal
influence public relations, bersifat integrated, melekat pada semua orang
yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
ponpes, termasuk santri itu sendiri, kiai, pengurus/pengelola ponpes, alumni
maupun masyarakat (adhering public relations). Walaupun demikian, kiai
tetap memegang peranan penting, yaitu sebagai tokoh center personal
influence.
Jadi sebenarnya public relations yang ada di pondok pesantren
salafiyah tersebut adalah natural atau pure, yang terintegrasi dalam kehidupan
sehari-hari dan aktivitas elemen suatu pondok pesantren salafiyah. Proses
inilah yang kebanyakan tidak disadari oleh banyak kalangan dan terintegrasi
dengan kehidupan dunia pondok pesantren salafiyah. Dengan menggunakan
public relations inilah pondok pesantren salafiyah mampu bertahan dan tetap
eksis walaupun berada di tengah globalisasi yang membutuhkan kompetensi
yang tinggi untuk mampu bertahan.
404
E. Proposisi-proposisi yang diajukan
Paparan tersebut di atas membahas tentang empat hal yaitu: 1)
keberadaan public relations di pondok pesantren salafiyah; 2) sistem
komunikasi yang dibangun di pondok pesantren salafiyah; 3) cara
membangun citra pondok pesantren salafiyah; dan 4) proses public relations
di pondok pesantren salafiyah.
Keempat fenomena tersebut menjadi basis penyusunan proposisi
penelitian ini yaitu: 1) bagaimana keberadaan public relations di pondok
pesantren salafiyah tersebut; 2) bagaimana sistem komunikasi yang dibangun
di pondok pesantren salafiyah; 3) bagaimana cara membangun citra pondok
pesantren salafiyah; dan 4) bagaimana proses public relations di pondok
pesantren salafiyah.
Public relations adalah fungsi manajemen yang intinya bagaimana
menjalin hubungan yang baik antara lembaga dengan masyarakatnya
Keberhasilan atau kegagalan public relations ini tergantung bagaimana
membentuk dan memelihara relasi yang saling menguntungkan tersebut.
Relasi yang baik dengan masyarakat bisa terjalin manakala komunikasi
berjalan dengan baik pula.
Pondok pesantren salafiyah selama ini mampu menjalin relasi yang
baik dengan publiknya, karena memiliki strategi yang berbeda dengan
lembaga pada umumnya dalam menjalin relasi yang baik tersebut. Namun
bukan berarti telah terpayungi dalam sebuah bidang public relations tersendiri.
Karena pada realitasnya public relations sebagai bidang tersendiri di pondok
405
pesantren salafiyah tidak ditemukan. Namun kalau mengarah pada ruang
lingkup aktifitas public relations, berupa publicity, event, news, community,
informations, dan lobbying, maka secara hakiki pondok pesantren salafiyah
telah menjalankannya, hanya saja terselubung dalam setiap seksi yang ada di
kepengurusan pondok pesantren.
Pondok pesantren salafiyah memang tidak pernah menggunakan
istilah publikasi namun lebih memilih pada sosialisasi langsung, melalui
berkhidmah di masyarakat. Cara ini dilakukan oleh seluruh elemen yang ada
di pondok pesantren, mulai dari kiai, santri, pengurus, ustadz bahkan alumni.
Cara khidmah yang dilakukan seluruh elemen yang ada di ponpes salafiyah ini
pada hakekatnya merupakan pengejewantahan fungsi public relations. Santri
dengan identitasnya yang melekat „sarung‟ dan „kopiyah‟ merupakan brand
tersendiri di benak masyarakat. Tatkala santri berkiprah di masyarakat melalui
kegiatan keagamaan, dakwah, khutbah, saluran-saluran sosial ekonomi, dan
lain-lain, identitas pondok pesantren akan melekat pada diri santri.
Demikian pula ketika pondok pesantren mengadakan suatu event,
maka seluruh santri, pengurus, ustadz maupun alumni akan berpartisipasi aktif
dalam kegiatan tersebut, bahkan mereka akan berpastisipasi langsung dengan
sukarela dikarenakan konsep „barakah‟ telah mendarah daging. Demikian pula
dengan figure kiai. Kiai dengan kharismanya yang melekat merupakan center
of public relations, mampu mempengaruhi dan menggerakkan masyarakat.
Dimanapun kiai berada dan dalam moment apapun, baik sebagai muballigh,
guru, maupun leader maka kiai tak lepas dari identitas pondok pesantrennya.
406
Inilah yang dinamakan dengan personal branding. Pengaruh Personal figur
kiai ini menciptakan hubungan yang sinergis dengan apa yang dibutuhkan
masyarakat.
Dari paparan tersebut di atas, kiai dengan personal brandingnya
telah menjalankan fungsinya sebagai public relations. Sementara itu setiap
seksi yang ada di pondok pesantren salafiyah baik Lirboyo maupun Sidogiri
juga telah menjalankan fungsinya sebagai public relations, maka keberadaan
public relations di pondok pesantren salafiyah berjalan secara
alamiyah/natural, dan dapat peneliti rumuskan dalam proposisi I dari
penelitian ini adalah:
Proposisi I:
Keberadaan public relations akan tetap kokoh manakala fungsi-
fungsinya dijalankan dengan baik oleh berbagai elemen terkait,
meskipun tidak ada public relations secara legal formal
Inti pokok dari public relations sebagai corongnya suatu lembaga,
menuntut terbangunnya komunikasi yang baik antara lembaga dengan
publiknya. Pondok pesantren salafiyah Lirboyo yang mampu bertahan selama
1 abad dan Pondok pesantren salafiyah Sidogiri lebih dari 2 abad,
ketahanannya tak lepas dari terbangunnya komunikasi yang baik antara
pondok pesantren dengan masyarakatnya.
Komunikasi internal yang terbangun di kedua pondok pesantren
salafiyah terjadi antara santri-pengurus-kiai dengan mengutamakan adab,
situasi dan kondisi. Namun tidak menutup kemungkinan santri mengadakan
407
hubungan komunikasi langsung dengan kiai. Komunikasi yang terbangun
bersifat horisontal prosedural, maksudnya suatu komunikasi internal di ponpes
yang diterapkan berjalan secara runtut sistematis, mulai dari komunikasi antar
santri, baru kemudian di lanjutkan ke mustahiq dan pengelola, setelah itu
diteruskan ke rapat-rapat. Sehingga tidak setiap santri akan terdorong untuk
berkomunikasi langsung dengan ustadz, apalagi kiai. Hal ini disebabkan
karena budaya „andap asor‟, tata karma dan tawadlu‟ berjalan di lingkungan
pondok pesantren. Namun, bukan berarti aliran komunikasi yang dijalankan
dari atas ke bawah atau sebaliknya dari bawah ke atas, melainkan antara
komunikan dengan komunikator mempunyai kedudukan yang sama, hanya
saja memang penyampaian komunikasinya tetap dalam adab yang baik. Jadi
aspirasi santri, pengelola dan mustahiq diperhitungkan sebagai masukan untuk
mengambil keputusan (decision making), sehingga komunikasi berjalan secara
berlapis.
Komunikasi internal di pondok pesantren salafiyah terbagi menjadi
dua saluran, yaitu: lesan dan tulis. Baik lesan maupun tulis, kedua-duanya
tetap mengutamakan nilai-nilai tawadlu sebagai ciri khas nilai salafiyahnya.
Penanaman nilai-nilai tawadlu ini pada hakekatnya adalah pembelajaran dan
pembentukan karakter pribadi santri. Ini merupakan bagian dari ruhul inqiyad,
yaitu mendidik dengan hati, dalam rangka untuk mencapai pembentukan
karakter pribadi santri. Telah diakui bahwa pendidikan pesantren telah
berhasil membangun pribadi peserta didik yang berkarakter, sehingga akhir-
akhir ini marak munculnya sekolah berasrama ataupun ma‟had yang dibangun
408
dengan tujuan untuk integrasi keilmuan dan pembentukan karakter peserta
didik.
Selanjutnya sistem komunikasi eksternal yang dijalankan pondok
pesantren salafiyah melalui pengabdian langsung di masyarakat. Model
komunikasi ini adalah wujud dari integrasi terhadap keyakinan, nilai-nilai
yang dianut, mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan secara
tidak langsung akan mempengaruhi persepsi masyarakat. Hal ini didukung
oleh figur kiai yang kharismatik. Apa yang dinasehatkan kiai, dianjurkan kiai,
dilarang kiai, itu pula yang dilakukan kiai, santri, pengurus dan alumninya.
Sehingga masyarakat akan percaya berdasarkan fakta bukan hanya percaya
berdasar informasi saja.
Selain itu, komunikasi eksternal pondok pesantren salafiyah telah
mengarah pada pembinaan hubungan, keterbukaan dan saling memahami.
Akan tetapi, otoritas pondok pesantren tetap lebih besar dan peran personal
figur juga sangat berpengaruh. Hal ini sebagaimana fenomena di ponpes
salafiyah Sidogiri, bahwa saluran-saluran produksi ekonomi itu sebenarnya
bermula dari ide alumni yang kemudian direspon dan didukung oleh kiai.
Namun tidak semua ide itu diterima. Artinya otoritas kiai tetap dijadikan
pegangan yang utama. Komunikasi eskternal model ini sifatnya lebih pada
public information. Artinya pihak pondok pesantren akan memberikan
informasi kepada publik mengenai ponpesnya, manakala masyarakat itu
menginginkan informasi tersebut, namun ponpes tidak menutup diri terhadap
masukan dari masyarakat, bahkan menampungnya, hanya saja ponpes
409
memiliki otoritas terhadap informasi yang diberikan. Inilah yang dinamakan
model komunikasi public information menuju ke arah two way asymmetric.
Komunikasi ponpes dengan masyarakat akan menjadi lebih interaktif
manakala ponpes membuka diri melalui kegiatan-kegiatan sosial keagamaan
maupun produksi-produksi ekonomi yang dibutuhkan oleh masyarakat secara
langsung.
Proposisi II:
Komunikasi internal pondok pesantren salafiyah berjalan cukup
kaku karena dilakukan secara berlapis, sementara komunikasi
eksternal bisa dilakukan lebih terbuka manakala terdapat
berbagai saluran yang menghubungkan dengan kebutuhan
masyarakat
Selain itu figur kiai memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
komunikasi eksternal lembaga dengan masyarakatnya (personal influence).
Setiap kebijakan lembaga tergantung pada personal influence tersebut, karena
personal influence memiliki otoritas yang tinggi. Personal influence akan
memberikan dampak komunikasi eskternal yang baik manakala memiliki
potensi dan kapabilitas, serta didukung oleh kharisma yang tinggi, sehingga
fungsi public relations akan berjalan.
Tujuan utama public relations adalah untuk membangun citra positif
lembaga. Citra merupakan kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap
institusi, kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang atau
organisasi. Dalam konteks penelitian ini, citra lembaga atau corporate image
telah melekat, karena ponpes salafiyah Sidogiri berdiri sejak abad ke-17 dan
410
ponpes salafiyah Lirboyo berdiri pada abad ke-19, menjadikan kedua lembaga
ponpes salafiyah tersebut dibangun atas sejarah keberhasilan para tokoh
pendirinya, dapat membentuk karakter lembaga, membangun identity lembaga
yang berbeda dengan lembaga yang lain, sehingga berhasil membangun image
positif atau yang disebut dengan organizational saga.
Identitas lembaga pondok pesantren salafiyah tercermin dari sikapnya
yang tawadhu‟ atau jiwa tunduk (ruhul inqiyad) dan nilai-nilai salafi yang
diterapkan. Selain itu khidmah santri dan alumni di masyarakat juga
merupakan identitas pondok pesantren salafiyah. Hal penting yang
mempengaruhi identitas lembaga adalah kharisma kiai. Secara tidak langsung
kharisma kiai, peran santri, dan alumni di masyarakat merupakan salah satu
upaya untuk membangun citra lembaga. Hal ini disebabkan karena khidmah
memiliki nilai guna tersendiri di masyarakat. Nilai guna yang ditunjukkan
santri, alumni maupun segenap elemen pondok pesantren salafiyah di
masyarakat merupakan strategi untuk membangun citra di pondok pesantren
salafiyah tersebut. Namun demikian sikap dan kharisma seorang kiai tetap
menjadi mercusuar pondok pesantren dalam membangun citra lembaganya.
Tak bisa dipungkiri, dengan kharisma, kiai mampu menjalin komunikasi dan
berinteraksi guna mencari dukungan positif. Di sinilah letak empowerment
kiai yang mampu mentransformasikan nilai-nilai social society secara efektif
di masyarakat.
Di sisi lain, nilai-nilai yang kuat dan berakar dalam budaya pondok
pesantren, berupa nilai-nilai (values) religius, keyakinan (values), budaya
411
(culture) dan norma perilaku yang dianggap bersifat tradisional oleh khalayak
menjadi suatu hal yang memiliki nilai keunikan dan interest tersendiri,
sehingga citra lembaga menjadi baik. Dari paparan tersebut di atas, benang
merah yang dapat ambil mengenai cara membangun citra pondok pesantren
salafiyah adalah melalui personal network dan network yang berorientasi pada
quality product.
Proposisi III
Citra positif suatu lembaga akan terbangun dengan sendirinya
manakala: 1) lembaga menyampaikan informasi atau pesan
berdasarkan fakta dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat; 2)
lembaga memerankan diri sebagai mediator dalam membentuk
sikap dan pendapat yang positif di masyarakat dengan cara bi
al-lisân maupun bi al-hal; 3) lembaga menyuguhkan produk
yang terjamin dan mempunyai nilai guna dalam masyarakat.
Selanjutnya mengenai proses public relations yang dijalankan
pondok pesantren salafiyah diawali dengan adanya aktifitas how to inform,
how to persuade dan how to integrate. Hal yang membedakan pondok
pesantren salafiyah dengan lembaga pada umumnya adalah dalam
menjalankan fungsi public relations ini. Berdasar data di lapangan, pesantren
salafiyah Lirboyo dan Sidogiri tidak cukup hanya sekadar menyampaikan
informasi, mempengaruhi masyarakat, baru kemudian mengintegrasikannya.
Justru hal yang lebih urgent adalah bagaimana bisa mengintegrasikan dulu di
dalam lembaga pondok pesantren tersebut, baru kemudian
menginformasikannya kepada publik, diikuti dengan memberi contoh melalui
sikap, karakter, attitude maupun aptitude, dan langkah selanjutnya adalah
ide/gagasan/program tersebut diintegrasikan dalam aktifitas sehari-hari.
412
Langkah tersebut terjadi secara berkesinambungan (circle), yaitu diawali
dengan how integrate, how to inform, how to perform, how to persuade dan
kembali lagi pada how to integrate.
How to integrate merupakan titik awal keberhasilan fungsi public
relations. Ketika suatu ide, gagasan, kebijakan, atau program diterapkan dan
dijalankan dalam pondok pesantren salafiyah, maka membutuhkan komitmen
anggota yang tinggi dalam pondok pesantren tersebut. Dengan komitmen yang
tinggi, loyalitas terhadap lembaga akan semakin tinggi pula. Ketika seseorang
sudah memiliki komitmen dan loyalitas yang tinggi, maka dia akan berperan
sebagai individu maupun masyarakat yang secara langsung maupun tidak
langsung akan berpartisipasi aktif dalam pembentukan citra positif lembaga.
Model seperti ini diistilahkan dengan model public relations yang integrated,
artinya, semua anggota dalam organisasi atau lembaga itu berpartisipasi aktif
dalam menjalankan fungsi-fungsi public relations.
Public relations yang dimulai dari how to integrate terlebih dahulu
dalam lembaga/organisasi akan menjadikan publik mempersepsikan
lembaga/organisasi tersebut berdasarkan fakta (apa yang dilakukan oleh
lembaga) bukan sekadar dari informasi yang di berikan (how to inform). Dari
fakta yang ada, publik akhirnya memiliki trustment pada lermbaga. Percaya
berdasarkan adanya fakta (trust based on the fact) bukan percaya berdasar
adanya informasi semata (trust based on the information). Sehingga fakta
yang baik akan memberikan persepsi yang baik dan kepercayaan publik
413
diperoleh, begitu pula sebaliknya. Semakin baik fakta suatu lembaga, maka
akan semakin meningkat pula citra suatu lembaga di mata masyarakat.
Proposisi IV
Kepercayaan publik terhadap lembaga akan diperoleh
manakala lembaga mampu menerapkan proses public relations
yang dimulai dari how to integratehow to informhow to
performhow to persuadekembali lagi ke how to integrate. Hal
ini menjadikan publik percaya berdasarkan fakta (trust based on
the fact) bukan percaya berdasar informasi semata (trust based
on the information).
Paparan tersebut di atas, bisa dianalogkan dengan fenomena yang
terjadi di lembaga pendidikan. Sebagai contoh universitas tua terkemuka di
dunia, seperti Harvard, Oxford dan Camridge University, dalam catatan
sejarah tetap menjadi rujukan universitas tertinggi di dunia. Ketiga universitas
tersebut mendapat kepercayaan dari publik bukan sekadar karena
penyampaian informasi besar-besaran terhadap keunggulan universitasnya,
namun lebih dari itu dikarenakan mampu menunjukkan secara nyata kualitas
para alumninya di masyarakat (integrate). Para alumni akan
merekomendasikan kepada generasi selanjutnya, yang akhirnya publik
percaya berdasarkan fakta bukan sekadar informasi yang diberikan, sehingga
citra lembaga menjadi semakin baik.
Fenomena ini berbalik dengan kondisi public relations di lembaga
pendidikan yang ada di Indonesia. Sekolah unggulan, sekolah model, sekolah
bertaraf internasional, dan apapun namanya, seolah lembaga pendidikan itu
diberikan label terlebih dahulu baru kemudian segala perangkat pendukung,
fasilitas, sarana dan prasarana diadakan setelah launching pelabelan lembaga
414
tersebut. Peran public relations dimaksimalkan, namun belum dibarengi
dengan bukti nyata di masyarakat. Hal ini menimbulkan persepsi masyarakat
berubah. Dari percaya berdasar informasi namun secara fakta terdapat
kegamangan, dan akhirnya muncullah berbagai kritikan tentang lembaga
pendidikan yang berlabel tersebut.
Dari kedua contoh fenomena yang berbeda tersebut, pada dasarnya
fungsi public relations sama-sama dijalankan, namun hasilnya berbeda.
Ketika fungsi public relations dijalankan sebagai software institusi maka
masyarakat akan percaya berdasarkan adanya fakta. Namun ketika fungsi
public relations dijalankan berdasarkan hardware institusi maka masyarakat
akan percaya berdasarkan adanya informasi, dan informasi ini membutuhkan
suatu pembuktian nyata. Ketika fungsi public relations dijalankan sebagai
software institusi, maka semua elemen yang ada dalam suatu lembaga akan
berpartisipasi langsung, karena memperoleh kepuasan dan berperan aktif
dalam menjalankan fungsinya sebagai public relations, maka every one is
marketer. Bahkan tatkala sudah berada di luar organisasi atau lembaga
tersebut, masih memiliki kebanggaan terhadap organisasinya. Hal inilah yang
dinamakan public relations yang melekat (build in public relations), melekat
pada semua orang yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan lembaga/organisasi.
Proposisi V
Manajemen public relations akan berjalan optimal manakala
lembaga berhasil melaksanakan fungsi public relations sebagai
software dan hardware-nya lembaga.
415
Dari refleksi di atas dinyatakan bahwa keberadaan public relations
secara hakiki bukan terletak pada ada tidaknya bidang public relations secara
formalitas, namun terletak pada berjalan tidaknya fungsi public relations itu
sendiri. Ketika lembaga telah menjalankan fungsinya sebagai public relations
dengan komunitasnya, yang meliputi publikasi, baik terang-terangan maupun
terselubung, melalui cara sosialisasi maupun khidmah di masyarakat yang di
lakukan oleh pondok pesantren salafiyah; mengadakan event-event yang
sifatnya religius maupun sosial keagamaan; memberikan informasi kepada
publik yang berupa news; mengadakan komunikasi yang sinergis dengan
masyarakat, dan juga tidak menutup diri dengan pihak stakeholders melalui
cara lobbying, maka pada dasarnya fungsi publc relations tersebut telah
dijalankan oleh pondok pesantren salafiyah, namun keberadaannya
terintegrasi dan melekat dalam tugas pokok dan fungsi pada masing-masing
bidang ataupun seksi yang ada dalam kepengurusan pondok pesantren.
Public relations yang dilakukan dengan cara sosialisasi dilanjutkan
oleh seluruh elemen yang ada di pondok pesantren melalui khidmah di
masyarakat, baik dalam hal keilmuan, sosial keagamaan, ekonomi, dakwah
dan lain-lain, membuktikan bahwa secara tidak langsung fungsi dari public
relations telah berjalan sebagai software lembaga. Sedangkan figur kiai
sebagai personal center dengan kharismanya menjadikan persuasi masyarakat
terbangun ke arah figur sebagai personal branding. Di sinilah fungsi kiai,
416
sekaligus sebagai public relations lembaganya. Dan inilah yang diistilahkan
peneliti dengan public relations bersifat natural.
Di sisi lain, walaupun lembaga bersifat salafiyah, namun yang
diterapkan adalah salafi dalam nilai-nilai yang dianut, namun aktual dalam
manajemennya dan terpadu dalam programnya. Hal inilah yang dijadikan
prinsip pondok pesantren salafiyah Sidogiri, sehingga pelaksanaan fungsi
public relations di ponpes Sidogiri telah didukung manajemen modern dan
berbasis IT. Demikian pula yang dilakukan Lirboyo, namun perkembangan
manajerialnya tidak sepesat Sidogiri. Media massa baik yang on line berbasis
web maupun manual, yang berupa majalah, buku dan bulletin ini bisa
dikategorikan mengalami perkembangan yang pesat, sebagai wujud dari
pergeseran budaya reading-speaking yang bergeser ke arah reading-writing,
dan semua media tersebut sudah berbasis IT dengan memberdayakan sumber
daya dari santri sendiri. Pemberdayaan sumberdaya santri dilakukan dengan
cara mengadakan kerjasama dengan lembaga pendidikan formal lain,
sehingga santri memiliki kapabilitas di bidangnya. Akhirnya tidak salah jika
memang pondok pesantren salafiyah telah menjalankan manajemen yang
aktual dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang salafiyah. Tidak salah
pula jika pada dasarnya keberadaan public relations itu ada namun bersifat
natural tradisional karena mempertahankan nilai-nilai salaf tersebut.
Sementara itu sistem komunikasi yang dibangun pondok pesantren
salafiyah secara internal adalah komunikasi yang bersifat horisontal
prosedural, dimana terjadi komunikasi terbuka antar santri, pengurus, ustadz,
417
dan kiai, namun sangat mempertimbangkan prosedur berdasar kapasitasnya
masing-masing dengan mengutamakan adab, sopan santun, sikap tawadlu dan
pertimbangan situasi dan kondisi.64
Sedangkan komunikasi eksternal pondok
pesantren salafiyah lebih pada public informations dan hanya dalam hal
tertentu mengarah ke two way asymmetric sebagaimana pendapat Grunig and
Hunt, dimana pondok pesantren memberikan informasi kepada publik yang
membutuhkan, dengan menerima masukan dan permintaan dari publik,
namun otoritas kebijakan tetap ditentukan oleh pihak pondok pesantren.
Inilah yang dinamakan dengan personal influence.
Model public relations yang paling ideal menurut Grunig and Hunt
adalah model yang two way symmetric, dimana terjadi arus komunikasi
timbal balik antara lembaga dengan publik, keputusan yang diambil juga
berdasar kesepakatan antara lembaga dengan publik berdasar riset di
lapangan. Perlu dikaji pula, bahwa model ini akan ideal manakala terjadi
kesamaan visi maupun misi antara lembaga dengan publiknya. Sementara di
pondok pesantren salafiyah secara tangible, personal influence memiliki
pengaruh yang besar terhadap kebijakan yang diambil lembaga.
Personal influence yang dipusatkan pada figur kiai ini justru menjadi
titik pusat pembangunan citra lembaga di masyarakat. Kharisma kiai yang
64
Kondisi tersebut menurut Kirl Hallahan adalah frame situation, dimana hubungan antara
individu dalam situasi yang ditemukan dalam
ehari-hari hidup memperhatikan struktur interaksi, cara komunikasi, wacana, negosiasi, dan
lainnya. Lihat Kirl Hallahan dalam Seven Models of Framing: Implications of Public Relations,
Journal of Public Relations Research, (Lawrence Erlbaum Associates, Inc, 1999), 11(3), hlm.
205–242
.
418
tinggi menjadikan masyarakat mempersepsikan pondok pesantren
sebagaimana kharisma kiai tersebut. Jadi pembangunan citra pondok
pesantren salafiyah didapat melalui personal network dan quality product.
Penjelasan singkat tersebut di atas dapat dicermati bahwa keberadaan
public relations di pondok pesantren salafiyah secara formal tidak ada, namun
secara fungsi berjalan, dijalankan oleh seluruh elemen yang ada di pondok
pesantren, dengan menempatkan posisi kiai dengan kharismanya sebagai
personal influence. Adanya kharisma kiai, berjalannya fungsi public relations
yang integrate melalui berpartisipasi langsung ke masyarakat menjadikan
citra pondok pesantren salafiyah menjadi meningkat. Demikian pula
komunikasi yang dijalankan public relations di pondok pesantren salafiyah
dari public informations dan mulai bergeser ke two way asymmetric (dalam
hal tertentu) menjadikan pondok pesantren secara hakiki telah menjalankan
public relations. Dalam konteks ini tidaklah berlebihan jika peneliti
mengembangkan teori Grunig and Hunt mengenai model public relations two
way asymmetric. Dengan demikian, bisa dikatakan model public relations
pondok pesantren salafiyah adalah natural, personal influence, integrated.
Penjabaran secara lugas dapat peneliti tulis secara lugas dalam
matrik sebagai berikut:
419
Tabel 5.1. Matrik Relasi Fokus Masalah, Teori, Temuan dan Proposisi
N
o
Fokus
Penelitian Perspektif Teori Temuan Situs 1 Lirboyo Temuan Situs 2 Sidogiri Proposisi
1 Keberadaan
Public
relations di
ponpes
salafiyah
- Public Relations
adalah fungsi
manajemen
yang
membangun dan
mempertahanka
n hubungan
yang baik dan
bermanfaat
antara
organisasi
dengan publik,
mempengaruhi
kesuksesan atau
kegagalan
organisasi
(Cutlip, Center
& Broom, 1994)
- Public relations
merupakan how
to inform -- how
to persuade --
how to
integrade
(Edward Louis
Bernays, 1952)
- Secara legal formal
keberadaan public
relations tidak
ditemukan, namun
fungsi public relations
telah dilaksanakan oleh
seluruh elemen.
- Pelaksanaan fungsi public
relations berpusat pada
figur kiai.
- Figur kiai dengan
kharisma yang melekat
merupakan personal
branding dan dijadikan
suri tauladan oleh santri
dan alumni
- Public relations sebagai
pusat dan corong terdepan
organisasi secara legal
formalitas tidak
ditemukan, namun ponpes
telah berhasil menjalin
hubungan yang sinergis
dengan masyarakat
melalui aktualisasi
diri/kiprah yang dilakukan
oleh seluruh elemen
ponpes
- Performance kiai dengan
kharismanya sebagai
center of public relations
mampu mempengaruhi
dan menggerakkan
masyarakat.
- Personal influence figur
kiai menciptakan
hubungan sinergis dengan
kebutuhan masyarakat
- Pelaksanaan fungsi public
relations di ponpes
Sidogiri telah didukung
manajemen modern dan
berbasis IT
Proposisi I:
Keberadaan
public relations
akan tetap kokoh
manakala fungsi-
fungsinya
dijalankan
dengan baik oleh
berbagai elemen
terkait, meskipun
tidak ada public
relations secara
legal formal
420
2 Sistem
komunika
si yang
dijalankan
oleh
ponpes
salafiyah
- Public
relations
berhubungan
erat dengan
marketing,
komunikasi,
citra dan
identitas
lembaga
(Thomas L.
Harris, 1993)
- Proses image
building
ditentukan
oleh latar
belakang
budaya,
pengalaman
masa lalu,
nilai-nilai
yang dianut
lembaga
yang dapat
mempengaru
hi persepsi
publiksika
p
opinikonse
nsusopini
publikterb
angun citra
lembaga
(Rosady
Ruslan,
2001)
- Komunikasi internal di
pondok pesantren
terjadi antara santri-
pengurus-kiai dengan
mengutamakan adab,
situasi dan kondisi.
- Komunikasi eksternal
dilakukan dengan cara
menyampaikan pesan
melalui:
- Figur kiai yang
kharismatik.
- Media: majalah, buku
dan internet
- Khidmah di
masyarakat.
- Komunikasi esktern
pondok pesantren
tersebut sifatnya lebih
bersifat public
information menuju ke
two way asymmetric,
dimana ponpes
memberikan informasi
kepada publik
mengenai ponpesnya,
ketika masyarakat
membutuhkan, dan
ponpes memiliki
otoritas yang kuat
terhadap informasi
yang diberikan.
- Komunikasi internal yang
dijalankan di Ponpes
ditemukan komunikasi antar
santri-pengelola dan ustadz
selanjutnya ke kiai. Namun
tidak menutup kemungkinan
santri mengadakan hubungan
komunikasi langsung dengan
kiai.
- Komunikasi yang dibangun
tetap sangat mengutamakan
adab, situasi dan kondisi.
- Komunikasi internal melalui
dua saluran, yaitu: lesan dan
tertulis.
- Komunikasi eksternal yang
dilakukan oleh ponpes tidak
ada yang bersifat publikasi
murni namun ponpes lebih
memilih sosialisasi dengan
cara khidmah kepada
masyarakat: bidang
ekonomi, pendidikan,
dakwah, sosial dan
sebagainya.
- Komunikasi yang dijalankan
di pondok pesantren bersifat
memberikan informasi ke
publik dan menuju ke two
way asymmetric
- Komunikasi eksternal telah
mengarah pada pembinaan
hubungan, keterbukaan dan
saling memahami. Akan
tetapi, otoritas pondok
pesantren tetap lebih besar
dan peran personal figur
juga sangat berpengaruh.
- Proposisi II
- Komunikasi
internal pondok
pesantren salafiyah
berjalan cukup
kaku karena
dilakukan secara
berlapis, sementara
komunikasi
eksternal bisa
dilakukan lebih
terbuka manakala
terdapat berbagai
saluran yang
menghubungkan
dengan kebutuhan
masyarakat
-
421
3 Cara
membang
un citra
ponpes
salafiyah
- Komunikasi
membutuhkan
proses dua arah
(two-way-
process) di mana
pengirim dan
penerima pesan
berkomunikasi
dalam konteks
kerangka acuan
(frame of
reference),
hubungan dan
situasi sosial
mereka masing-
masing (Two
ways
communication,
Wilbur
Schramm, 1964)
- Individu pada
umumnya
berusaha untuk
menghindari
terjadi
pengucilan atau
isolasi. Orang
akan mengamati
lingkungannya
guna
mempelajari
pandangan mana
yang tidak
dominan,
sehingga
kecenderungan
seseorang untuk
menyatakan
pendapat dan
orang lainnya
menjadi diam
akan mengawali
suatu proses
spiral (Teori
spiral
keheningan,
Elisabeth Noelle
– Nueman, 1976)
- Proses membangun
citra ponpes melalui
figur kiai yang
kharismatik atau
personalia kiai, atau
personal branding,
- Proses membangun
citra ponpes dengan
menunjukkan
perilaku akhlakul
karimah para santri,
pengurus dan alumni
di masyarakat.
- Citra ponpes salafiyah
Sidogiri dibangun
melalui 5 cara, antara
lain: alumni, ekonomi,
media, pendidikan-
sosial-dakwah dan
branding.
- Alumni: jaringan yang
sangat kuat dan
berdampak pada positive
image masyarakat.
- Ekonomi: BMT,
kopontren, air minum
santri, pengolahan
limbah
- Pendidikan & dakwah:
penugasan da‟i,
kerjasama filial,
pengiriman guru tugas,
program religi kerjasama
dengan sekolah formal
aktivitas keagamaan.
- Sosial: Laziswa
- Personal kiai, santri,
kopontren, BMT
merupakan branding
pondok pesantren
Sidogiri.
Proposisi III
Citra positif suatu
lembaga akan
terbangun
dengan
sendirinya
manakala:
lembaga
menyampaikan
informasi atau
pesan
berdasarkan
fakta,
memerankan diri
sebagai mediator
dalam
membentuk sikap
dan pendapat
yang positif
dengan cara bil-
lisan maupun bil-
hal (by action);
lembaga
menyuguhkan
produk yang
terjamin dan
mempunyai nilai
guna dalam
masyarakat.
422
4 Proses
public
relations
ponpes
salafiyah
- Media massa
memiliki
kekuatan
dalam hal apa
saja yang perlu
dipikirkan
masyarakat.
Media may not
tell us what to
think, but
media tell us
what to think
about. (Teori
agenda setting,
Max
McCombs and
Donald Shaw,
1968)
- Public
relations
terdiri dari 4
model: press
agentry/public
ity, public
information,
two way
asymmetric
dan two way
symmetric
(Model Public
relations
James Grunig
and Todd
Hunt, 1984)
- Secara legal formal
tidak ditemukan public
relations, namun secara
fungsi public relations
berjalan.
- Proses public
relations yang
dijalankan bersifat
personal, diawali
dengan membangun
komitmen dan
loyalitas santri
dengan cara
menjalankan aktifitas
ponpes secara
istiqomah (how to
integrate), lalu
menginformasikan
ha-hal yang
dibutuhkan
masyarakat (how to
inform). Selanjutnya
ponpes menjalankan
how to perform, baik
itu kiai, ustadz, santri
maupun alumni
semuanya secara
sinergi menjaga how
to perform tersebut di
tengah-tengah
masyarakat.
- Perform dijalankan
melalui pengabdian
langsung di
masyarakat, sehingga
secara otomatis
mempengaruhi persuasi
dan opini masyarakat
(how to persuade)
-
- Fungí Public relations
telah berjalan, namun
secara khusus sebagai
corongnya lembaga
belum ditemukan.
Hakekat public relations
berjalan secara natural
dan masih tradisional,
tanpa desain khusus
public relations.
- Proses public relations
dijalankan dengan
implementasi ajaran-
ajaran salafiyah di
ponpes, baru kemudian
ponpes menyampaikan
informasi yang
dibutuhkan masyarakat
baik secara langsung
maupun online melalui
web
- Proses selanjutnya
ponpes berkhidmah
langsung di masyarakat
melalui saluran:
pendidikan, dakwah,
sosial dan ekonomi (how
to perform)
- Partisipasi langsung
ponpes dengan
masyarakat secara tidak
langsung mempengaruhi
simpati dan kepercayaan
masyarakat, sehingga
mereka membutuhkan
pondok pesantren. dan
akhirnya kembali lagi ke
how to integrate
Proposisi IV
Kepercayaan
publik terhadap
lembaga akan
diperoleh
manakala
lembaga mampu
menerapkan
proses public
relations yang
dimulai dari how
to integratehow
to informhow to
performhow to
persuadekemba
li lagi ke how to
integrate. Hal ini
menjadikan
publik percaya
berdasarkan
fakta (trust based
on the fact) bukan
percaya berdasar
informasi semata
(trust based on the
information).
Proposisi V
Manajemen
public relations
akan berjalan
lancar manakala
lembaga berhasil
melaksanakan
fungsi public
relations sebagai
software lembaga
bukan sekadar
hardware lembaga
423
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat peneliti rumuskan suatu model
konseptual temuan penelitian mengenai manajemen public relations pondok
pesantren salafiyah, sebagaimana skema berikut dibawah ini:
Gambar 5.4.
Manajemen public relations pondok pesantren salafiyah
Eksistensi lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren salafiyah
mampu bertahan hingga saat ini tidak bisa dipungkiri salah satu penyebabnya
adalah berjalannya manajemen public relations di lingkungan pondok pesantren
salafiyah tersebut. Keberadaan public relations di pondok pesantren salafiyah
walaupun secara formal tidak ada, namun secara realita fungsi public relations
Ditopang oleh
Um
pan
Bal
ik
Personal Influence Pengaruh figur kiai kharismatik
berdampak pada pelaksanaan PR
Public information
By Action Berkhidmah di masyarakat melalui
personal network dan quality
product network membangun citra
positif ponpes
Natural/alamiah Fungsi PR dijalankan oleh seluruh elemen yang
ada di ponpes walau tanpa ada komando langsung dari pimpinan
Integrated Pelaksanaan PR mulai dari how to
integrate-how to inform-how to
perform-how to persuade dan
kembali ke how to integrate
Lembaga
Pendidikan
Islam/
Pesantren
Man
ajem
en P
ubli
c R
elati
ons
Public relations
yang Natural,
Personal Influence,
Integrated
(Build in)
Daya dukung dan daya tahan Lembaga Pendidikan
Islam/pesantren
Integrasi pesantren dan program masyarakat
424
tersebut berjalan. Fungsi tersebut dijalankan secara natural atau alamiyah oleh
seluruh elemen yang ada di pondok pesantren.
Selain itu, kiai sebagai figure sentral pondok pesantren, dengan
kharismanya mempunyai pengaruh yang besar terhadap pelaksanaan public
relations itu sendiri. Hal ini dikenal dengan istilah personal influence. Kiai
dengan kharismanya ditempatkan sebagai elitis yang mampu mempengaruhi
persepsi maupun opini publik melalui perilakunya.
Dalam hal pelaksanaan public relations, pondok pesantren tidak
melaksanakan kegiatan publikasi secara terang-terangan, namun ponpes salafiyah
lebih memilih cara pengabdian atau khidmah di masyarakat. Melalui pengabdian
langsung di masyarakat, pondok pesantren justru telah menunjukkan kepada
publik bahwa pondok pesantren telah menjalankan proses public relations mulai
dari how to integrate, how to inform, how to perfome, how to persuade, baru
kembali lagi ke how to integrate. Cara public relations seperti ini bersifat circle
sehingga terintegrasi.
Pelaksanaan public relations pondok pesantren salafiyah ini, secara
otomatis akan membangun citra positif pondok pesantren dihadapan publik,
walaupun tak bisa dipungkiri citra positif pondok pesantren terbangun tak terlepas
dari tokoh pendirinya. Identitas pondok pesantren dengan budaya dan tradisinya,
nilai-nilai salafiyah, kiai kharismatik sebagai personal branding, santri, kitab
kuning, sarung dan kopiyah sebagai brand pondok pesantren salafiyah merupakan
daya dukung pesantren tetap bisa bertahan hingga saat ini.
425
Daya dukung dan daya tahan pesantren terimplementasikan dalam
integrasi aktifitas pondok pesantren dengan berbagai program yang dibutuhkan
masyarakat. Manajemen public relations yang natural, personal influence,
integrated inilah yang menjadikan pondok pesantren mampu bertahan dan
mendapat citra positif dari masyarakat karena pondok pesantren mampu
melakukan pendekatan secara kultural dan regiligus di tengah-tengah masyarakat.