Badut hasniar

  • Upload
    hasnhy

  • View
    272

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salah satu komoditas unggulan ikan hias air laut adalah ikan badut (Amphiprion ocellaris) yang hidup di perairan terumbu karang dan habitat aslinya ikan ini bersimbiosis dengan anemon. Ikan badut merupakan salah satu jenis produk ikan hias air laut yang paling banyak diminati terutama di pasar luar negeri karena bentuknya yang eksotis dan unik. Peningkatan penjualan ikan ini terbesar terjadi pada tahun 2004 sebesar 18,5 %, hal ini dikarenakan beredarnya film kartun Finding Nemo yang bintang utamanya ikan badut (Pitaloka, 2007). Para eksportir ikan hias biasanya membeli ikan badut dari para nelayan sehingga penyediaannya masih bergantung pada penangkapan. Kegiatan penangkapan ikan hias di daerah karang biasanya menggunakan bahan kimia potassium. Bahan tersebut dapat berdampak buruk bagi biota lainnya dan apabila terakumulasi maka akan merusak ekosistem terumbu karang di perairan tersebut. Kegiatan budidaya merupakan solusi dalam mengurangi kegiatan penangkapan di alam. Teknologi rekayasa ikan diharapkan dapat terus

berkembang sehingga dapat menjadikan ikan badut sebagai salah satu komoditas budidaya unggulan bagi negara Indonesia di masa yang akan datang. Kegiatan pembenihan ikan badut menjadi salah satu pilihan untuk memperdalam wawasan dan keterampilan di bidang pembenihan dan telah dimemiliki fasilitas yang cukup mendukung dalam menunjang kegiatan tersebut. Ikan badut adalah ikan dari anak suku Amphiprioninae dalam suku Pomacentridae. Ada dua puluh delapan spesies yang biasa dikenali, salah satunya adalah genus Premnas, sementara sisanya termasuk dalam genus Amphiprion. Mereka tersebar di lautan Pasifik, Laut Merah, lautan India, dan karang besar Australia. Di alam bebas mereka bersimbiosis dengan anemon laut. Anemon akan melindungi Ikan badut dari pemangsa dan Ikan badut akan membersihkan Anemon dengan memakan sisa - sisa makanan Anemon.

BAB II PEMBAHASAN A. Klasifikasi ikan badut yaitu Klasifikasi Ilmiah : Kerajaan : Animalia Filum Kelas Ordo Famili : : : : Chordata Actinopterygii Perciformes Pomacentridae Amphiprioninae Amphiprion Premnas Seluruh jenis ini merupakan famili dari Pomacentridae. Dengan

Upafamili : Genera :

demikian, apabila ditelusuri mereka masih saudara dengan golongan damselfish seperti Chromis, Chrysiptera, dan Dascyllus. Tabel 1. Kerabat Ikan Badut Amphiprion akallopisos Amphiprion akindynos Amphiprion allardi Amphiprion bicinctus Amphiprion chagosensi Amphiprion chrysogaster Amphiprion chrysoptarus Amphiprion clarkia Amphiprion ephippium Amphiprion frenatus Amphiprion fuscocaudatus Amphiprion mccullochi Amphiprion melanopus Amphiprion nigrisep Amphiprion ocellaris Amphiprion omanensis Amphiprion percula Amphiprion perideraion Amphiprion polymnus Amphiprion rubrocintus Amphiprion sandraracinos Amphiprion sebae

Amphiprion latezonatus Amphiprion latifasciatus Amphiprion leukokranos

Amphiprion thiellei Amphiprion tricinctus Premnas biaculeatus

B. Pemeliharaan Calon Induk Calon induk ikan badut (Amphiprion ocellaris) yang dipelihara di BBPBL Lampung merupakan hasil rekayasa pada kegiatan pendahuluan pada tahun 2007. Calon induk dipelihara di akuarium kaca ukuran 80 cm x 45cm x 50 cm dengan padat penebaran 3-4 ekor/ liter. Akuarium calon induk berjumlah dua buah yang masing-masing berisi 100 ekor calon induk dengan kode masing-masing G-2 dan G-21. Calon induk pada G-2 merupakan hasil dari persilangan induk F1 x F1 dengan F1 merupakan hasil dari perkawinan induk dari alam (F0) yang dipijahkan di BBPBL Lampung. Calon induk G-21 berasal dari persilangan induk F0 x F1 dengan F0 merupakan induk yang diperoleh dari alam (Wahyuni, 2008). Selain itu, di dalam akuarium ditambahkan paralon ataupun anemon untuk tempat persembunyian ikan badut. Pemeliharaan calon induk dilakukan bertujuan untuk menyiapkan induk dengan kualitas yang baik kemudian siap untuk dilakukan proses penjodohan. Sistem pemeliharaan menerapkan flow through system dengan pergantian air sebesar 200% setiap harinya. Kegiatan pemeliharaan induk yang dapat diikuti di BBPBL Lampung yaitu pemberian pakan, pencegahan hama dan penyakit, serta pengelolaan kualitas air. Secara umum, kegiatan ini hampir sama dengan pemeliharaan induk ikan badut hanya berbeda pada pemberian pakan saja. Kegiatan persiapan wadah tidak dilakukan karena calon induk sudah tersedia sejak lama.

Gambar 1 dan 2. Pemeliharaan calon induk Pakan yang diberikan untuk calon induk berupa pakan beku dan pakan buatan. Pakan beku yang diberikan berupa udang jambret yang biasanya selama ini dianggap sebagai hama di tambak. Pakan buatan yang digunakan untuk calon induk ikan badut berupa pelet untuk larva kerapu dengan merk Love Larva nomor 7 ukuran 1500-1700 mm yang telah disesuaikan dengan bukaan mulutnya. Selain pelet tersebut, di BBPBL Lampung juga mencoba pelet komersial khusus ikan hias dengan merk Sera Marin sebagai asupan tambahan. Pakan beku maupun pelet diberikan secara at satiation. Metode pemberian pakan beku yaitu pakan beku yang dibungkus dalam plastik kecil diambil dari freezer kemudian diletakkan di potongan gelas plastik dan di dalam gelas tersebut diisi air untuk mempercepat pencairan pakan tersebut. Setelah ditunggu selama 15 menit, pakan beku siap diberikan pada calon induk dengan menggunakan sumpit untuk memudahkan pengambilan pakan beku dan pemberiannya kepada calon induk (Gambar 18). Lebih baik pakan beku ditambahkan cairan fermentasi sebanyak 5 ml sebagai bahan pengkaya karena mengandung bakteri probiotik yang baik bagi tubuh ikan badut. Respon ikan badut sangat agresif dalam mengambil makanan dan cenderung bergerombol ke permukaan. Pakan diberikan sedikit demi sedikit sampai dimakan ikan kemudian diberikan lagi dan begitu seterusnya sampai ikan tersebut berenang ke dasar dan tidak merespon lagi. Pada

saat pemberian pakan harus dihindari gerakan tiba-tiba yang dapat mengagetkan ikan tersebut karena dengan gerakan tersebut akan mengurangi nafsu makannya. Pakan beku diberikan satu kali sehari yaitu pukul 11.00. Pemberian pelet dilakukan dengan menaburkan pelet sedikit demi sedikit hingga ikan tersebut tidak merespon lagi yang menandakan ikan tersebut kenyang. Apabila ada sisa pakan yang mengendap di dasar harus segera di sipon agar tidak mempengaruhi kualitas air. Pelet diberikan sebanyak dua kali sehari yaitu pukul 08.00 dan pukul 15.00. Pelet diberikan secara bergantian antara LL7 dan pelet ikan hias di waktu yang sama. C. Pemeliharaan Induk Induk ikan badut (Amphiprion ocellaris) di BBPBL Lampung berjumlah 7 pasang yang dipelihara pada akuarium berukuran 40 cm x 60 cm x 50 cm. Setiap akuarium diisi oleh induk jantan dan betina yang sudah berpasangan dan siap memijah. Akuarium pemeliharaan induk tersusun sejajar di pojok ruangan. Selain itu, masing-masing akuarium induk diisi dengan anemon laut (Radianthus sp.) yang ditempelkan pada substrat genteng lalu diletakkan di atas paralon.

. Gambar 3 dan 4. Kondisi akuarium pemeliharaan induk

Setiap akuarium memiliki kode masing-masing yang menunjukkan asal induk yang susunannya dapat dilihat pada tabel 6. Induk yang telah berhasil

memijah bersumber dari para pengumpul ikan hias air laut, hasil tangkapan alam, dan keturunan (F1) dari hasil kegiatan perekayasaan pendahuluan (tahun 2007) di BBPBL Lampung. Pihak BBPBL Lampung melakukan beberapa kegiatan persilangan yaitu menyilangkan antara induk dari alam dengan induk hasil budidaya, induk alam dengan induk alam, dan induk budidaya dengan induk budidaya. Sistem pemeliharaan induk menggunakan flow through system dengan pergantian air 200 % setiap harinya. Sistem tersebut diterapkan dengan tujuan menciptakan kondisi seperti di alam sebagai habitat asli anemon dan memudahkan sirkulasi udara. Setiap akuarium terdiri 1 inlet dilengkapi dengan stopkran dan 1 outlet berupa pipa 1 inci dengan posisi di sisi samping bagian bawah akuarium. Setiap akuarium diberi penutup di bagian atas untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke dalam akuarium dan menghindari kotoran masuk secara langsung ke dalam akuarium. Kegiatan pemeliharaan induk yang dapat diikuti di BBPBL Lampung yaitu pemberian pakan, pemijahan, penetasan telur, pencegahan hama dan penyakit, serta pengelolaan kualitas air. 1. Pemberian Pakan Pakan yang diberikan untuk induk berupa pakan hidup (Life food), pakan beku (frozen food), maupun pelet. Pakan hidup yang dapat diberikan yaitu Artemia dewasa, udang jambret, dan blood worm. Pakan hidup diberikan kepada induk dan calon induk sebagai penunjang protein yang dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas dalam proses pemijahan. Selain itu pakan hidup juga diberikan secara ad libitum agar ketersediaan pakan di dalam akuarium induk tetap ada. Artemia dewasa diperoleh dari bak kultur yang dilakukan mandiri oleh Laboratorium Ikan Hias, sedangkan bloodworm diperoleh dari hasil sampingan kultur Artemia saat penyiponan berlangsung. Pakan hidup hanya diberikan dua kali sehari yaitu pada siang hari pukul 12.00 dan pukul 16.00.

Pemberian pakan hidup diutamakan untuk induk sedangkan untuk calon induk hanya diberikan pakan beku dan pelet saja karena populasinya banyak. Pakan hidup berupa Artemia dewasa diambil dari bak kultur dengan menggunakan saringan. Sebelumnya telah disiapkan baskom yang berisi air laut. Artemia yang berhasil disaring kemudian segera dikumpulkan di dalam baskom dan ditambahkan cairan fermentasi sebanyak 20 ml sebagai bahan pengkaya. Setiap pasang induk diberikan 10-15 ekor Artemia pada pukul 12.00 dan pukul 16.00. Artemia diberikan menggunakan gelas plastik dan dituangkan ke masingmasing akuarium induk. Pakan hidup berupa blood worm diperoleh dari hasil penyiponan bak kultur Artemia. Biasanya sebelum digunakan, blood worm dipisahkan dulu dari kotoran yang ada dengan cara mengendapkan kotoran di dalam baskom yang besar. Setelah 15 menit, blood worm yang bergerak bebas dan berenang di permukaan langsung disipon menggunakan selang sipon berdiameter 1 cm dan dialirkan ke wadah lainnya. Sipon dilakukan perlahan-lahan agar tidak terjadi pengadukan. Apabila jumlah blood worm telah terpisah dari kotorannya sudah cukup banyak maka dapat dibilas dengan air laut kemudian siap diberikan untuk induk dengan waktu yang sama saat pemberian artemia dewasa. Lebih baik blood worm yang tersisa di dalam endapan harus tetap dipisahkan dengan cara menambahkan air ke dalam baskom agar kotoran yang mengendap terurai kembali. Kemudian ditunggu hingga mengendap dan disipon kembali. Hal tersebut dapat dilakukan hingga blood worm dalam endapan tersebut habis. Induk ikan badut diberikan pelet untuk larva kerapu dengan merk dagang Love Larva bernomor 6 yang berukuran 1.100-1.300 mm. Pelet diberikan 2 kali/hari yaitu pada pukul 08.00 dan pukul 14.00 secara at satiation.

2. Pengelolaan Kualitas Air Pengelolaan kualitas air pada pemeliharaan induk meliputi penyiponan dan pengurangan air. Penyiponan dilakukan setiap sebelum dan sesudah pemberian pakan. Penyiponan yang dilakukan sebelum pemberian pakan bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa kotoran yang mengendap setelah proses metabolisme malam hari sedangkan penyiponan sesudah pemberian pakan bertujuan untuk membuang sisa-sisa pakan yang mengendap di dasar dan tidak termakan. Proses tersebut dilakukan untuk menjaga air tetap jernih. Setiap pagi dan sore hari pengurangan air dilakukan hingga 70% volume akuarium. Selang sipon yang digunakan berbahan plastik dan diameternya cukup besar sekitar 1 inchi. Pada ujung selang biasanya ada yang ditambahkan pipa berbentuk T untuk memudahkan pembersihan dinding akuarium saat penyiponan. Apabila hanya menyipon sisa pakan dan feses saja biasanya tidak perlu menggunakan sipon T.

Gambar 5. Selang sipon Setiap akuarium diberikan pelindung diatasnya berupa jaring ataupun styrofoam yang berguna untuk mengurangi intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam akuarium, sehingga dapat menghambat pertumbuhan lumut yang terdapat di dalam akuarium.

3. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Pencegahan dan pengobatan penyakit pada pemeliharaan induk dan calon induk ikan badut (Amphiprion ocellaris) menggunakan Methylene blue (MB) dan Akriflavin dengan dosis 5 ppm. Biasanya MB digunakan untuk pencegahan sedangkan Akriflavin digunakan untuk pengobatan. Methylene blue (MB) diberikan secara tidak langsung ke dalam akuarium induk dan calon induk. Pemberian bahan tersebut dengan cara diberikan bersamaan saat dilakukan pembersihan dinding akuarium dari alga dan benthik yang menempel pada saat pemeliharaan induk ikan badut. Apabila ditambahkan MB ke dalam air maka air akan berubah warna menjadi biru sedangkan akriflavin merubah warna air menjadi kuning terang. Metode pemberian MB dilakukan dengan cara air tawar disiapkan menggunakan baskom kecil berukuran 3 L. Kemudian bahan tersebut ditambahkan sebanyak 5 ppm ke dalamnya. Pembersihan dinding akuarium dapat menggunakan lap ataupun wipper yang dicelupkan ke dalam larutan air tawar dan MB. Seluruh dinding akuarium dibersihkan dan pipa outlet juga dibersihkan dari lumut yang menempel. Metode pencucian dinding akuarium dapat dilihat pada Gambar 21. Pengobatan yang dilakukan terhadap ikan badut yang sakit yaitu individu yang sakit dipisahkan dari populasinya kemudian diletakkan di wadah lain yang sudah diisi air laut dan ditambahkan Akriflavin sebanyak 5 ppm. Ikan tersebut direndam dalam larutan tersebut hingga kondisinya sehat kembali. Penerapan biosekuritas juga mulai dilakukan dengan mencuci setiap alat setelah selesai digunakan dan mencuci tangan dan kaki setiap baru datang ke laboratorium ikan hias. Selain itu peralatan ikan yang sakit dan ikan yang sehat dibedakan dan diletakkan di tempat terpisah untuk mencegah penyebaran penyakit pada individu yang sehat. Ikan yang terdeteksi tidak nafsu makan dan warnanya mulai memudar akan langsung diangkat dari akuarium dan direndam

dengan akriflavin dosis 5 ppm di wadah kecil yang terpisah sampai ikan tersebut normal kembali dan bisa merespon pakan dengan baik. D. Penjodohan Ikan badut Amphiprion ocellaris bersifat hermaprodit protandri yaitu saat dilahirkan semua individu berkelamin jantan kemudian pada usia dewasa dapat terdiferensiasi menjadi betina. Perubahan kelamin tersebut menjadikan proses pemijahan ikan badut cukup unik. Pada saat pemijahan, ikan tersebut harus dilakukan proses penjodohan terlebih dahulu hingga mendapatkan satu pasang induk yang cocok dan ikan badut bersifat monogami yang hanya setia pada pasangannya. Menurut Wahyuni (2008) proses penjodohan diawali dengan menyeleksi calon induk yang sudah mulai terdiferensiasi. Penjodohan dilakukan dengan menebar 6 ekor calon induk dengan rasio 1:1 pada akuarium bervolume 100 L yang dilengkapi dengan anemon. Umumnya jantan dan betina sulit dibedakan namun secara visual dapat dilihat bahwa jantan berukuran lebih kecil dan ramping daripada betina yang lebih besar dengan perut yang agak membuncit. Proses penjodohan berlangsung selama 3-4 minggu. Pada minggu pertama, salah satu induk menguasai anemon. Ikan yang cepat beradaptasi menguasai anemon kemudian menyeleksi calon pasangannya. Jika sudah mendapatkan pasangan, ikan lainnya akan diserang untuk itu ikan lainnya harus segera dikeluarkan. Setelah itu diperlukan waktu 3-6 bulan sampai pasangan tersebut memijah tergantung dari umur, kematangan gonad, dan penanganan. Apabila induk betina yang telah berpasangan itu mati maka pernah dimasukkan induk baru tanpa proses penjodohan kembali kemudian pasangan dari ikan yang mati tersebut akan berubah menjadi betina namun tidak dapat memijah dengan induk baru yang dimasukkan secara paksa ke dalam akuarium tersebut. Masa rematurasi induk ikan badut berkisar antara 8-9 hari.

Gambar 6 dan 7 Penjodohan induk E. Pemijahan Induk Pemijahan ikan badut Amphiprion ocellaris dilakukan setelah induk sudah berpasangan. Induk tersebut diletakkan dalam satu wadah yang telah dilengkapi substrat anemon dan genteng. Pemijahan terjadi pada waktu siang hari dan pemijahan secara alami. Sehari sebelum memijah, induk terlihat membersihkan sarangnya. Pemijahan dilakukan dengan induk jantan terlihat merangsang induk betina untuk mengeluarkan telur dengan cara meliukkan badannya seperti melakukan tarian pemijahan dan saling berkejaran. Apabila induk betina sudah mengeluarkan telurnya maka telur tersebut langsung ditempelkan ke substrat dan posisinya diatur kemudian dibuahi oleh jantan. Pemijahan terjadi antara pukul 11.00-15.00 dan sifat telur menempel pada substrat di sekitar anemon. Telur ikan badut berbentuk agak lonjong dengan tinggi 1 mm dan diameter 0,3 mm. F. Penetasan Telur Masa perawatan telur ikan badut Amphiprion ocellaris selama 7-8 hari yang dilakukan oleh kedua induk. Induk menyembulkan mulutnya dan

mengibaskan siripnya ke arah telur selama perawatan. Induk ikan badut bersifat parental care dengan induk jantan lebih agresif merawat telur sedangkan induk betina menjaga telur dari serangan luar.

Telur menetas pada pagi hari yaitu pukul 05.00-09.00 dengan suhu media berkisar 26-28oC kemudian larva dipindahkan ke bak fiber dengan selang waktu 1-2 jam setelah telur menetas. Induk akan memijah kembali 1-2 hari setelah telur menetas. Proses penetasan dilakukan dengan cukup unik yaitu induk mengibaskan sirip ventral ke arah telur hingga lepas dari substrat, kemudian telur yang lepas dimasukkan kedalam mulut induk tersebut dan disembulkan keluar sudah dalam bentuk larva yang dapat berenang bebas. Hal tersebut dilakukan berulang kali hingga telur menetas semua menjadi larva. Proses penetasan tersebut terjadi secara bertahap. Selama masa pengeraman, telur mengalami perubahan warna setiap harinya. Tabel 7. Pengamatan Telur Amphiprion ocellaris Hari Ke1 2 3 4 5 6 7 8 Putih agak transparan Putih Kekuningan Keabu-abuan Hitam Hitam Metalik Metalik Menetas menjadi larva Biasanya jika terdapat sisa telur yang belum menetas saat pemanenan larva sudah dilakukan maka sisa telur tersebut akan dimakan oleh induk jantan. Hal tersebut dapat dikarenakan induk yang stress pada saat pemanenan larva berlangsung. Apabila pada pagi hari terlihat telur sudah menetas maka aliran air pada inlet dimatikan dan aerasi dikeluarkan. Larva yang telah menetas dipanen dengan menggunakan metode sipon. Cara yang dilakukan dengan menggunakan Terlihat bintik mata menjadi hitam Terlihat bintik mata berwarna putih Warna Telur Keterangan

ember 10 L yang diisi air laut 1 L dan diletakkan di tempat yang lebih tinggi untuk mengurangi tekanan saat penyiponan larva sehingga larva tidak terlempar dan mengurangi stress saat pemanenan. Selang sipon yang digunakan berdiameter inchi dengan panjang 2 m yang diikat pada kayu panjang untuk memudahkan penyiponan. Larva disipon sambil dihitung ke dalam ember. Pengisian air ke dalam ember tidak boleh penuh agar air tidak tumpah saat dibawa ke bak pemeliharaan larva. G. Pemeliharaan Larva Kegiatan pemeliharaan larva dilakukan sesaat setelah pemanenan larva dari akuarium induk hingga ikan mencapai bentuk yang definitif. Pada saat garis tubuh sudah lengkap dan semua sirip telah tumbuh sempurna maka larva tersebut telah berubah menjadi benih yang siap dipelihara ke tahap selanjutnya. 1. Persiapan Wadah Wadah pemeliharaan larva ikan badut (Amphiprion ocellaris) di BBPBL Lampung adalah bak fiber volume 500 L. Namun pada saat produksi larva meningkat maka dapat digunakan wadah tambahan yang berupa akuarium kaca volume 100 Liter. Wahyuni (2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dengan menggunakan kedua wadah tersebut, pertumbuhan ikan badut tidak menunjukkan perbedaan berarti. Kegiatan persiapan wadah meliputi pencucian bak, pembilasan, pemberian kaporit, pengeringan, dan pengisian air. Proses pembersihan bak dilakukan dengan cara mengelap dinding dan dasar bak dengan tujuan membersihkan lumut dan kotoran yang menempel bak fiber tersebut. Setelah proses pencucian dilanjutkan pembilasan dengan air laut. Kemudian dilanjutkan dengan proses sterilisasi wadah dengan menggunakan kaporit yang dilarutkan dalam air dengan dosis 5-10 ppm kemudian disiramkan pada bagian dinding dan dasar bak. Setelah

diberikan kaporit maka didiamkan selama 1 hari kemudian dibilas kembali dengan air tawar hingga bersih. Bak fiber didiamkan selama 2-3 hari. Sebelum digunakan, bak fiber harus dibilas kembali untuk menghilangkan sisa-sisa kaporit yang dapat membahayakan larva dengan kondisi yang masih rentan. Selain itu dilakukan pembersihan pada komponen lainnya seperti selang aerasi, batu aerasi, dan pipa outlet. Selang aerasi dan batu aerasi direndam dalam air tawar yang dicampurkan Akriflavin dengan dosis 5 ppm sebagai tindakan desinfeksi peralatan. Setelah proses pembersihan wadah dilakukan maka dilanjutkan dengan proses pengisian air laut melalui penyaringan pada pipa inlet sampai volume bak mencapai 300-400 L lalu diberi aerasi dan dimasukkan fitoplankton sebelum larva dipindahkan. Filter pada inlet cukup sederhana berupa filter fisik dan kimia. Filter fisik terdiri dari kapas dan kain kassa yang berguna untuk menyaring substrat seperti pasir dan lumpur. Filter kimia yang digunakan yaitu arang aktif yang dibungkus dengan kain kassa berfungsi menetralisir bahanbahan kimia berbahaya pada air laut sebelum masuk ke dalam bak pemeliharaan. 2. Penebaran Larva Larva yang telah dipanen segera ditebar di bak pemeliharaan larva. Sebelum penebaran larva, dipastikan bak sudah terisi air laut 300-400 Liter dan telah dimasukkan fitoplankton. Sistem aerasi telah terpasang pada bak pemeliharaan. Pada saat penebaran, sistem aerasi dimatikan terlebih dahulu untuk memudahkan pada saat aklimatisasi larva. Padat tebar larva berkisar 2-3 ekor/L atau disesuaikan dengan jumlah larva yang ada. Penebaran larva menggunakan ember yang sudah berisi larva diapungkan ke bak pemeliharaan larva. Sebelum dimasukkan ke dalam bak, ujung bawah ember dicelupkan ke air tawar terlebih dahulu sebagai tindakan biosecurity. Larva ditebar bertahap dengan cara ember dimiringkan kemudian air dari bak dimasukkan ke dalam ember perlahan-lahan untuk menyesuaikan kondisi

lingkungan pada larva. Setelah itu larva dibiarkan berenang ke dalam bak fiber dengan sendirinya. Aerasi dihidupkan kembali dengan kekuatan kecil selama 24 jam.

3. Pemberian Pakan Pakan yang diberikan pada larva cukup bervariasi tergantung umur dan disesuaikan dengan bukaan mulutnya. Jenis pakan yang diberikan adalah pakan hidup dan pakan buatan. Pakan hidup berupa rotifera, kopepoda, naupli Artemia, dan Diaphanosoma. Pakan hidup tersebut ditunjang dengan pemberian fitoplankton yang terdiri dari Nannochloropsis, Chaetoceros, dan Tetraselmis. Pemberian fitoplankton bertujuan untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke dalam bak larva (sebagai shadow) dan sebagai pakan bagi rotifera namun bila pemberiannya berlebihan akan menyebabkan blooming alga dalam bak dan dapat menyebabkan kematian pada larva karena terjadi kompetisi oksigen dalam bak pemeliharaan larva tersebut. Fitoplankton dapat diberikan secara tunggal maupun mix. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di BBPBL Lampung tentang aplikasi berbagai fitoplankton pada pemeliharaan larva ikan badut maka dapat disimpulkan pemberian Nannochloropsis dan Chaetocheros merupakan kombinasi terbaik yang dapat diberikan ke dalam bak larva terkait kelengkapan nutrisi yang terkandung dalam kedua jenis fitoplankton tersebut. Pemberian pakan hidup ke dalam bak larva dengan metode ad libitum yaitu pakan diusahakan selalu tersedia dalam media pemeliharaan dengan kepadatan populasi senantiasa disesuaikan dengan ketentuan yang ada. Jenis pakan yang diberikan disesuaikan dengan ukuran bukaan mulut larva yang dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Jadwal pemberian pakan pada larva Umur D1 D5 D10 Rotifera Rotifera + naupli kopepoda Rotifera + np. Artemia + kopepoda D15 D20 Kopepoda + np. Artemia Kopepoda + np. Artemia + Pellet LL2 Setiap pemberian pakan hidup selalu dilakukan pengecekan kepadatan setiap 2 jam sekali dengan cara mengambil air dalam bak larva menggunakan gelas plastik bervolume 250 ml dan dihitung kepadatannya. Pipet dapat digunakan untuk memudahkan penghitungan plankton. Apabila perhitungan kepadatan berkurang maka ditambahkan sampai kepadatannya sesuai dengan ketentuan. Kepadatan pakan hidup dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9. Jumlah pemberian pakan hidup Jenis Rotifera Kepadatan 3-5 ekor/ ml 5-10 ekor/ml 10-20 ekor/ml Kopepoda Naupli Artemia Diaphanosoma Pelet Fitoplankton 200 ekor/liter 300 ekor/liter 200 ekor/liter At satiation 2-4105 sel/ml D1 D3 D4 D6 > D7 D7 D30 D6 D30 D30 D60 > D20 D1 D18 Pemberian Pada D8 mulai diberi np. Artemia sedikit. Overlap rotifera 1-2 hari Belajar diberikan pelet mulai dari D 16 Pakan Keterangan

Pakan buatan mulai diberikan pada D20 namun tahap pembelajarannya sejak D18. Strategi pembelajaran pelet pada larva dengan dipancing menggunakan naupli Artemia terlebih dahulu, baru diberi pelet sedikit demi sedikit. Pembelajaran pelet dapat lebih mudah dengan menggunakan metode continous feeding yaitu pemberian naupli Artemia secara berkelanjutan sedikit demi sedikit dengan menggunakan alat bantu berupa wadah berbentuk botol plastik yang dihubungkan dengan selang aerasi. Penyiapan alat continous feeding yaitu botol minuman ringan volume 1,5 L dipotong pada bagian dasarnya membentuk seperti gantungan. Tutup botol dilubangi dan dipasang selang aerasi dengan stop kran diujungnya. Botol tersebut digantungkan di atas bak pemeliharaan larva kemudian ujung selang aerasi ditempelkan di dinding bak. Naupli Artemia dan air laut dimasukkan sebanyak 1 L ke dalam botol tersebut. Naupli Artemia akan mengalir melalui selang aerasi menuju bak larva. Debit aliran tersebut diatur sedemikian rupa sehingga berupa tetesan. Larva akan berkumpul pada tetesan nauplii Artemia tersebut. Saat larva sudah terlatih berkumpul di satu titik maka dapat mulai diberikan pelet menggunakan pipet tetes. Jenis pakan buatan yang diberikan yaitu pakan untuk larva kerapu dengan merk dagang Love Larva nomor 2 dengan diameter pelet 198 308 mm setara dengan ukuran naupli Artemia. Sebelum pelet diberikan, dicampur sedikit demi sedikit dengan air untuk memudahkan pemberiannya pada larva. Pelet diberikan dengan metode at satiation (sekenyangnya) sebanyak dua kali sehari yaitu pada pukul 09.00 dan pukul 15.00. Pelet diberikan dengan mengamati respon makan dari larva. Apabila larva sudah berenang menjauh maka pemberian pelet dihentikan dan dilakukan penyiponan untuk membersihkan sisasisa pakan yang terbuang. 4. Pengelolaan Kualitas Air Ikan badut Amphiprion oceellaris pada fase larva merupakan fase yang paling rentan terhadap perubahan kualitas air yang mendadak sehingga diperlukan

pengelolaan air yang baik dalam pemeliharaannya. Pada saat mengalirkan air laut ke dalam bak pemeliharaan larva untuk pengisian air harus dipasang filter fisik dan kimia pada bagian inlet. Filter fisik berupa filter wool yang bagian ujung pipa dilapisi dengan kain kassa yang bertujuan untuk menyaring kotoran yang terdapat pada air laut, yang akan dialirkan ke dalam bak larva, sedangkan filter kimia digunakan arang aktif yang terbungkus kain kassa dengan tujuan menyerap zatzat kimia berbahaya yang terkandung dalam air laut yang digunakan sebagai media pemeliharaan larva. Pipa yang berisi bahan filter harus dicuci terlebih dahulu sebelum digunakan. Setelah itu dipasang instalasi inlet yang terdiri dari pipa berbahan PVC dengan ukuran inci, inci, 1 inci dan pipa filter yang disambungkan dengan pipa berbentuk T maupun L dan disusun sedemikian rupa kemudian diujungnya dipasangkan stop kran untuk mengatur aliran air. Pipa inlet juga dapat disusun secara paralel untuk pengisian air pada dua bak fiber sekaligus. Pengisian air laut di awal pemeliharaan dan setelah penyiponan dipasang pipa inlet yang bersifat sementara. Pipa inlet digunakan terus menerus apabila pemeliharaan sudah menggunakan flow through system mulai D10 dengan debit yang sangat kecil. Penyiponan bak larva dilakukan setelah 3 hari pertama pemeliharaan dengan cara aerasi diangkat kemudian dilakukan penyiponan menggunakan selang sipon berdiameter 1 inchi yang bagian ujungnya diberikan pipa T agar volume air dalam bak tidak cepat habis. Selang sipon dialirkan ke dalam ember 20 L yang telah diletakkan saringan mikron dengan tujuan menyaring pakan hidup dan larva yang terbawa pada saat proses penyiponan berlangsung. Aerasi harus dimasukkan kembali setelah penyiponan selesai. Apabila ada larva yang mati ditampung dalam baskom kecil kemudian dihitung jumlahnya. Proses penampungan menggunakan selang sipon berdiameter inci. Penyiponan dilakukan minimal 2 hari sekali untuk membersihkan endapan fitoplankton dan zooplankton yang mati di dasar bak.

Pergantian air dilakukan setelah 5 hari pertama pemeliharaan dengan cara menyurutkan volume air sebanyak 70% dari volume bak Flow through system baru dapat digunakan setelah larva berumur lebih dari 10 hari saat larva sudah mulai kuat melawan arus. Debit air dialirkan 25 ml/detik dengan pergantian air 50-70% setiap harinya. Debit air mulai ditambahkan menjadi 50 ml/detik setelah larva mulai mendapat pelet yaitu dengan pergantian air 70-100% setiap harinya. Kegiatan pengelolaan kualitas air didukung dengan pengukuran parameter kualitas air untuk mengetahui kondisi air pada bak larva. Parameter yang diukur antara lain DO, salinitas, suhu, dan pH. Sistem pengecekan kualitas air di BBPBL Lampung dilakukan setiap minggunya secara bergantian pada wadah yang berbeda. Hasil pengukuran kualitas air pada bak pemeliharaan larva dapat dilihat pada tabel 10. Tabel 10. Pengukuran kualitas air pada bak pemeliharaan larva Kode Bak F2 27 Juli 2009 30 Juli 2009 F6 27 Juli 2009 Tanggal DO (mg) 4.71 4.89 4.36 27 28.3 27.5 T (oC) Salinitas (ppt) 32 32 32 7.874 pH

Data kualitas air pada tabel 10 terlihat bahwa salinitas air laut stabil pada nilai 32 ppt dengan kisaran DO 4,34,8 mg/L dan kisaran suhu 2729 oC. Kondisi air laut pada bak larva memiliki pH 78 . Kisaran nilai dari berbagai parameter kualitas air tersebut menggambarkan kondisi air yang cukup stabil dan masih layak sebagai media pemeliharaan larva ikan badut. 5. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Biasanya pada fase larva ikan badut masih rentan terhadap penggunaan dosis antibiotik yang tinggi. Pemberian methylene blue (MB) ataupun akriflavin

hanya digunakan apabila terjadi kematian massal di dalam bak larva dan adanya indikasi larva yang terkena jamur. Kematian massal dapat diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya pada saat fase pergantian jenis pakan diakibatkan ukuran pakan masih terlalu besar bagi bukaan mulut larva, setelah penyiponan aerasi tidak dimasukkan kembali yang dapat menyebabkan larva stress akibat DO berkurang, serta kemungkinan terjadinya blooming alga (fitoplankton) di bak larva karena pemberian fitoplankton yang berlebihan. Selain itu air laut terkadang mengandung lumpur yang tidak tersaring pada filter sehingga berdampak buruk bagi larva. Kematian massal diatasi dengan pemberian akriflavin dosis 10 ppm dan MB diberikan apabila larva terkena jamur dengan ciri terdapat bintik-bintik putih di permukaan tubuh larva. saat diberikan treatment tersebut maka langsung digunakan flow through system untuk memperlancar sirkulasi air dan mengurangi stress larva akibat pemberian antibiotik. 6. Sampling Pertumbuhan Kegiatan sampling pertumbuhan larva dilakukan setiap lima hari sekali dengan jumlah sampel sebanyak 10-20 ekor namun pada sampling D1 dan D5 biasanya hanya berjumlah 5 ekor karena larva masih sangat rentan. Parameter yang diamati adalah pertumbuhan panjang dan perkembangan morfologis dari larva tersebut. Data pertumbuhan panjang bersifat kuantitatif sedangkan perkembangan morfologis bersifat kualitatif misalnya perubahan warna tubuh, jumlah garis tubuh, dan perkembangan sirip dari larva ikan badut. Pengamatan perkemabangan morfologis biasanya diperlukan saat menyeleksi bakal calon induk unggul sejak dini dan mengantisipasi kemungkinan abnormalitas. Alat yang digunakan untuk sampling pertumbuhan panjang antara lain penggaris dan milimeter blok. Kertas milimeter blok yang telah dilapisi plastik digunakan untuk mengukur larva yang masih berukuran kecil dan masih dalam kondisi rentan.

Gambar 8. Sampling pertumbuhan panjang larva ikan badut Metode sampling dilakukan dengan cara larva diambil menggunakan seser sebanyak 10-20 ekor dan seser dibiarkan mengambang di permukaan bak. Larva dari dalam seser diambil menggunakan potongan gelas plastik lalu diletakkan pada milimeter blok ataupun penggaris yang terdapat dalam potongan pipa dan dihitung panjang totalnya kemudian dicatat. Kondisi larva saat penghitungan panjang diusahakan tidak kering dan selalu terkena air walaupun sedikit. Larva yang sudah dihitung dikembalikan ke dalam bak dan tidak dicampurkan ke dalam seser kembali. Larva ikan badut yang telah mencapai umur D25 dapat dipanen dan dipindahkan ke wadah pemeliharaan berupa akuarium namun larva yang layak dipanen yaitu yang sudah merespon baik pelet. Apabila diamati perkembangan morfologinya mulai muncul garis putih ke-3 di pangkal ekor walaupun masih samar. Sebelum pemindahan dilakukan grading terlebih dahulu. Hal ini dilakukan dengan tujuan menyeragamkan ukuran larva pada saat ditempatkan di akuarium sehingga kompetisi makan pada larva berukuran kecil dan besar dapat dihindari. Ikan badut tidak bersifat kanibal sehingga penyeragaman ukuran bukan untuk tujuan menghindari kanibalisme. Larva dipanen dengan cara air disurutkan sampai 30% dari volumenya. Larva diambil dengan menggunakan saringan kemudian ditampung di baskom kecil dan diletakkan sementara pada wadah untuk digrading yang menggunakan styrofoam yang telah diisi air laut. Pemanenan larva dilakukan dengan

menyertakan air media pemeliharaan karena larva belum terlalu kuat apabila kontak langsung dengan udara. Larva tersebut digrading berdasarkan panjang dan morfologinya. Ukuran 1,5 cm dimasukkan ke dalam akuarium sedangkan apabila < 1,5 cm dimasukkan ke dalam bak pemeliharaan larva kembali. Larva digrading kemudian dihitung jumlahnya untuk mengetahui sintasan selama pemeliharaan larva di bak fiber. Tingkat kelangsungan hidup pada larva ikan badut yang dipelihara di bak fiber F5 sebesar 97,57% dengan penebaran awal sebanyak 1064 ekor larva berasal dari 3 pasang induk (Ioc3 = 584 ekor, Ioc5 = 320 ekor, Ioc7 = 150 ekor), sedangkan kematian selama pemeliharaan 25 hari sebanyak 26 ekor. Pemberian metode continous feeding bisa melatih pemberian pelet ke larva dengan mudah dan meningkatkan SR larva ikan badut. H. Pemeliharaan Benih Pemeliharaan benih dapat dilakukan di wadah akuarium berukuran 80 cm x 45 cm x 50 cm. Pada wadah ini, benih dipelihara hingga berukuran 2-3 cm. Pakan yang diberikan berupa naupli Artemia, kopepoda, dan pelet. Jenis pelet yang diberikan yaitu Love Larva nomor 3 dan nomor 4. Pada ukuran 2-3 cm, benih sudah memiliki perkembangan morfologi yang lengkap dan sudah definitif. Waktu pemeliharaan yang dibutuhkan untuk mencapai ukuran tersebut yaitu sekitar 2-3 bulan dari saat menetas. Pada ukuran tersebut juga dapat dilakukan grading untuk tahap pembesaran hingga mencapai ukuran 4-5 cm yang dipelihara di kolam beton bervolume 100 m3. Grading dengan cara ikan yang berukuran 2,7 cm siap ditebar ke kolam sedangkan kurang dari ukuran tersebut maka masih tetap dipelihara di akuarium. Pada ukuran 4-5 cm, ikan badut telah berumur 4-5 bulan. Setelah mencapai ukuran tersebut, ikan badut dapat dikatakan dewasa dan siap untuk dijual atau digunakan sebagai calon induk. Kegiatan pemeliharaan benih ukuran 2-3 cm dan 3-4 cm yang dilakukan yaitu mengikuti pemberian pakan dan penyiponan. Secara umum metode pemberian pakannya sama dengan saat larva. Frekuensi pemberian pakan yaitu

pelet 2 kali/hari dan pakan hidup 2 kali/hari. Balai Besar Pengembangan Balai Laut Lampung sedang melakukan penelitian tentang pemeliharaan benih dengan akuarium yang disusun secara berseri. Benih yang digunakan berukuran 2 cm. Sistem pemeliharaan berseri dilakukan dengan cara benih dipelihara pada empat akuarium yang berbeda namun hanya terdiri dari 1 inlet dan 1 outlet sedangkan keempat akuarium tersebut dihubungkan dengan pipa untuk membentuk sistem resirkulasi kemudian pada akuarium ke-4 air dibuang. Kelebihan sistem ini yaitu air pemeliharaan dapat digunakan 3-4 kali sebelum dibuang. Flow through system pada pemeliharaan ini dapat menghemat air laut yang digunakan. I. Pengepakan dan Transportasi Benih Benih ikan badut Amphiprion ocellaris siap jual pada ukuran 2-3 cm dan 3-4 cm dengan metode pengepakan yang sedikit berbeda. Pada saat praktek lapang, ada permintaan ikan badut sebanyak 1500 ekor untuk ukuran 3-4 cm yang akan dikirim ke Jakarta. Pemanenan ikan yang akan dikirim biasanya seminggu sebelum pengepakan. Pemuasaan dilakukan selama 3-4 hari pada wadah yang berbeda dengan wadah pemeliharaan. Ikan digrading sesuai dengan permintaan konsumen dan dilakukan pada air mengalir. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengepakan benih ikan badut dapat dilihat pada Tabel 12. Sehari sebelum pengepakan dipersiapkan kantong pastik yang dibentuk berlapis dua kemudian diikat ujung-ujungnya menggunakan karet. Hal tersebut bertujuan agar mencegah kebocoran saat transportasi. Setelah itu kantong plastik dibalik sehingga posisi ikatan tadi berada di dalam plastik.

Tabel 12. Bahan yang digunakan untuk pengepakan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Jenis Bahan Kantong plastik ukuran 1030 cm atau 2540 cm Karet Lakban/selotip besar Es batu Oksigen Murni Styrofoam Potongan gelas plastic Gayung Serokan Rombong Pengepakan dilakukan pada pagi hari yaitu sekitar pukul 05.00 di laboratorium ikan hias BBPBL Lampung. Tahap yang dilakukan yaitu plastik berukuran 2540 cm yang telah berlapis 2 dimasukkan ke dalam ember berukuran 10 L dalam posisi terbuka. Plastik diisi air sebanyak 2 L. Ikan yang telah dipanen dan dipuasakan kemudian dihitung menggunakan saringan teh. Ikan yang sudah dihitung dimasukkan ke dalam baskom kecil yang sudah diisi air laut sebanyak 1 L. Ikan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam plastik tersebut dengan kepadatan 61 ekor/ kantong. Plastik yang sudah diisi ikan kemudian diberi oksigen. Pemberian oksigen awalnya disemprotkan ke dalam air untuk meningkatkan DO kemudian selang oksigen diangkat perlahan sambil diudarakan ke dalam plastik sampai ruang pada plastik penuh setelah itu diikat dengan karet berlapis dua. Kemasan tersebut dimasukkan ke dalam kotak styrofoam dan disusun rapi. Satu kotak styrofoam dapat diisi 6 bungkus plastik besar. Kemudian dimasukkan es batu di sela-sela bungkus plastik lalu styrofoam ditutup dengan lakban dan disusun.

J. Kultur Pakan Alami Kegiatan pembenihan terutama dalam pemeliharaan larva sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pakan khususnya pakan hidup. Pada stadia larva dibutuhkan pakan hidup untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Jenis pakan hidup yang diberikan pada larva dan benih ikan badut berupa zooplankton. Menurut Djarijah (2005), kriteria pakan hidup yang baik sebagai pakan larva adalah ukurannya sesuai dengan bukaan mulut larva, kandungan sumber nutrisinya tinggi, gerakannya menarik bagi ikan tetapi tidak terlalu aktif sehingga mudah ditangkap, mudah dicerna oleh ikan, tidak mengeluarkan senyawa beracun, dan mudah dibudidayakan. Pakan hidup yang dibutuhkan dalam pembenihan A. ocellaris yaitu rotifera, kopepoda, naupli Artemia, dan Diaphanosoma. Sebagai pakan hidup untuk larva adalah Artemia dewasa dan blood worm. Kultur zooplankton dilakukan di laboratorium zooplankton sedangkan kultur Artemia dewasa dilakukan mandiri oleh laboratorium ikan hias. Blood worm biasanya merupakan hasil samping dari kultur Artemia tersebut. Kultur Artemia dewasa sangat ditunjang oleh fermentasi sebagai asupan nutrisi dan bahan pengkaya karena mengandung probiotik. Selain itu juga dilakukan penetasan siste Artemia setiap hari di laboratorium ikan hias untuk menunjang kebutuhan pakan larva dan benih ikan badut. 1. Penetasan Siste Artemia Penetasan siste Artemia menggunakan wadah dengan kapasitas 20 L yang sudah dibersihkan sebelumnya. Media yang digunakan untuk penetasan siste Artemia adalah air laut dan air tawar dengan perbandingan 3:1 kemudian aerasi dihidupkan. Setelah itu siste Artemia ditambahkan sebanyak 30 gram dan didiamkan selama 24 jam.

Panen naupli Artemia dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 08.00-09.00 dengan mengangkat aerasi terlebih dahulu. Artemia dalam wadah kemudian disaring dengan menggunakan plankton net lalu dibilas dan ditempatkan dalam wadah berupa baskom. Kemudian dimasukkan ke dalam wadah berupa botol plastik bekas yang sudah dirancang untuk pemisahan antara naupli Artemia dengan cangkangnya. Setelah itu diamkan selama 15 menit hingga cangkang artemia mengapung dan naupli Artemia mengumpul di dasar wadah. Naupli yang terkumpul di dasar wadah dibuka kran airnya lalu langsung dialirkan ke dalam wadah baskom terlebih dahulu. Setelah pemisahan diulang sebanyak dua kali baru naupli dimasukkan ke wadah penampungan berupa ember yang berkapasitas 20 L. Ember tersebut dalam keadaan bersih dan telah berisi air laut yang diberi aerasi. Pada tahap pemanenan naupli harus diperhatikan benar agar cangkang tidak terbawa ke dalam wadah penampungan dan agar ketika diberikan pada larva tidak termakan karena dapat membahayakan organ pencernaan larva. Setelah itu langsung disiapkan kembali untuk penetasan selanjutnya. Penetasan naupli Artemia dilakukan setiap hari. Naupli Artemia yang telah dipanen digunakan untuk pakan larva dan benih. Naupli Artemia dapat dipelihara sampai ukuran tertentu untuk diberikan pada induk ikan badut. Untuk memenuhi jumlah Artemia sampai kebutuhan untuk induk ikan badut maka pada saat penetasan siste Artemia ditambahkan 15 gram dari dosis semula. 2. Kultur Artemia Dewasa Siste Artemia yang sudah menetas menjadi naupli dapat dilanjutkan dengan proses pemeliharaan artemia sampai menjadi artemia dewasa. Tahapantahapannya yaitu dengan memasukkan naupli Artemia ke dalam wadah berupa bak fiber dengan kapasitas 2 m3 yang telah diisi dengan air laut dan fitoplankton lalu diaerasi. Setiap harinya pada bak tersebut harus diberikan fermentasi sebagai asupan nutrisi untuk Artemia dan diberikan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore.

Setelah 2-3 minggu pemeliharaan maka Artemia siap diberikan sebagai pakan induk.

Gambar 9 dan 10. Bak kultur dan bentuk Artemia dewasa

3. Pembuatan Fermentasi Fermentasi merupakan pakan yang diberikan untuk kultur Artemia. Komposisi dalam pembuatan fermentasi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Komposisi Fermentasi Bahan Tepung Beras Pakan Udang / Dedak Molase Probiotik Air Laut Dosis 1 kg 50-100 g 250 ml 250 ml 5L

Pembuatan fermentasi dilakukan dengan mencampur tepung beras dengan air laut sebanyak 5 L dalam wadah ember berkapasitas 20 L yang sudah bersih. Kemudian campuran tersebut disaring menggunakan saringan 150 m lalu

ditambahkan 50-100 gram pakan udang atau dedak. Setelah itu disaring lagi dengan saringan 150 m dan ditambahkan molase sebanyak 125 ml lalu disaring lagi dengan saringan 150 m dan ditambahkan probiotik sebanyak 150 ml. Semua bahan dipastikan tercampur dengan baik lalu diendapkan selama 5-7 hari. Hasil endapan dari campuran bahan tersebut disaring kembali dengan saringan 30 m lalu ditambahkan lagi molase sebanyak 125 ml dan bakteri sebanyak 100 ml. Penambahan molase sebanyak 2 kali agar lebih efektif. Setelah semua tercampur, tahap terakhir yaitu dimasukkan ke dalam botol-botol bekas agar memudahkan dalam penggunaannya dan siap diberikan untuk pakan Artemia dan pakan hidup lainnya. Biasanya fermentasi diberikan pada kultur Artemia sebanyak 375 L setiap 2 kali sehari.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Ikan badut adalah ikan dari anak suku Amphiprioninae dalam suku Pomacentridae. Ada dua puluh delapan spesies yang biasa dikenali, salah satunya adalah genus Premnas, sementara sisanya termasuk dalam genus Amphiprion. Mereka tersebar di lautan Pasifik, Laut Merah, lautan India, dan karang besar Australia. Dimana dalam kegiatan teknik pemijahan ikan badut (Amphiprion), yaitu sebagai berikut: Pemeliharaan calon induk Pemeliharaan Induk terdiri dari: pemebrian pakan, Pengelolaan KA, dan Pencegahan hama dan penyakit Penjodohan Pemijahan Induk Penetasan Telur Pemeliharaan larva: persiapan wadah, penebaran larva, pemberian pakan, penngelolaan KA, pencegahan hama dan penyakit, sampling Pemeliharaan Benih Panen dan Pengepakan serta transportasi Kultur Pakan Alami

B. Saran Sebaiknya dilakukan penguasaan teknik pembenihan ikan badut sehingga dapat melakukan pembenihan ikan badut dengan baik. Sehingga para eksportir ikan hias tidak bergantung pada penangkapan. Kegiatan budidaya merupakan solusi dalam mengurangi kegiatan penangkapan di alam. Teknologi rekayasa ikan diharapkan dapat terus

berkembang sehingga dapat menjadikan ikan badut sebagai salah satu komoditas budidaya unggulan bagi negara Indonesia di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA http://dheaprof.wordpress.com/2010/02/12/kegiatan-pembenihan-ikan-badut-dibbpbl-lampung/

MODUL DOSEN

: TEKNIK PEMBENIHAN IKAN BADUT (Amphiprion ) : Ir. Hj. Hasniar, M.P

OLEH KETUA :HASNI 0924015

ANGGOTA : A.CITRA NIANTISARI 0924001 AYU INDAH SARI IMANUEL SIDANG 0924006 0924018

MUHAMMAD HAMZAH 0924029 MUH. LUTFHI 0924028

JURUSAN BUDIDAYA PERIKANAN

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKEP 2011