14
Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10 Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 8-1 BAGIAN 8 PENGOLAHAN SAMPAH Bagian ini menjelaskan beragam jenis pengolahan sampah secara umum. Penjelasan lanjut lebih diarahkan pada pengenalan teknologi pengomposan dan insinerasi, dua teknologi yang paling banyak digunakan. 8.1 Pengolahan Sampah Secara Umum Seperti dibahas pada Bagian sebelumnya, sistem operasional pengelolaan sampah mencakup juga sub-sistem pemerosesan dan pengolahan sampah, yang perlu dikembangkan secara bertahap dengan mempertimbangkan pemerosesan yang bertumpu pada pemanfaatan kembali, baik secara langsung, sebagai bahan baku maupun sebagai sumber enersi, sehingga tercipta keseimbangan dan keselarasan antar sub- sistem, baik dalam pengoperasian maupun pembiayaannya. Untuk memperoleh “economies of scale” dari sinkronisasi sub-sistem yang lain, maka dalam perencanaan dan implementasinya, berbagai upaya terkait dengan upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pembiayaan dan operasionalnya harus menjadi prioritas utama. Sebagaimana dibahas, pola pengelolaan persampahan yang selama ini dilaksanakan di Indonesia, hendaknya dikembangkan dengan memasukkan pilihan pemerosesan dan pengolahan untuk menjadikan sampah sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan, baik di tingkat kawasan maupun di TPA sebaimana terlihat dalam Gambar 8.1, sehingga sampah yang akan diurug ke dalam tanah diminimalkan. Paradigma baru yang ditopang oleh sumber daya manusia, peran serta masyarakat, visi kewirausahaan, kemampuan manajemen operasional, modal investasi, dan dipacu oleh perkembangan teknologi telah mengubah pola pandang banyak pihak terhadap sampah. Dengan melihat karakteristik dan komposisinya, sampah berpotensi memberikan nilai ekonomi misalnya bila diolah menjadi bahan kompos dan bahan daur ulang. Namun potensi nilai ekonomi ini hendaknya harus dilihat secara proporsional dan lebih mengedepankan prinsip agar sistem yang dipilih dapat berkesinambungan. Dilihat dari komposisi sampah, maka sebagian besar sampah kota di Indonesia adalah tergolong sampah hayati, atau secara umum dikenal sebagai sampah organik. Sampah yang tergolong hayati ini untuk kota-kota besar bisa mencapai 70 % dari total sampah, dan sekitar 28 % adalah sampah non-hayati yang menjadi obyek aktivitas pemulung yang cukup potensial, mulai dari sumber sampah sampai ke TPA. Sisanya, sekitar 2%, tergolong lain-lain seperti B3 yang perlu dikelola tersendiri. Jenis sampah dengan persentase organik yang tinggi sangat cocok diolah menjadi kompos, sumber gasbio, dan sejenisnya. Sedang komponen anorganik mempunyai potensi sebagai bahan daur ulang yang juga cukup potensial seperti plastik, kertas, logam/kaleng, kaca, karet. Berdasarkan kenyataan tersebut, akan lebih baik bila pengurangan jumlah sampah dilakukan melalui proses pengolahan sampah yang terpadu. Pola pengelolaan sampah terpadu secara konseptual dapat digambarkan seperti skema pada gambar 8.2 berikut. Pembangunan sistem persampahan yang lengkap dan dikelola secara terpadu, selain memerlukan modal investasi awal yang cukup besar, juga memerlukan kemampuan manajemen operasional yang baik. Untuk mewujudkan maksud tersebut dapat dijalin hubungan kerjasama antar daerah dan atau bermitra usaha dengan sektor swasta yang potensial dan berpengalaman. Kerjasama kemitraan dapat mempercepat proses penyediaan sarana dan prasarana dengan cakupan pelayanan yang lebih luas dan peningkatan dalam mutu pelayanannya. Sistem pengelolaan yang dikembangkan harus sensistif dan akomodatif terhadap aspek komposisi dan karakteristik sampah dan kecenderungan perubahannya di masa mendatang. Sistern pengelolaan sampah harus disesuaikan dengan pergeseran nilai sampah (waste shifting values) yang selama ini dianggap sebagai bahan buangan yang tidak bermanfaat, bergeser nilainya menjadi bahan- bahan bernilai bila diolah menjadi kompos dan bahan daur ulang dan daur pakai. Teknik-teknik pemerosesan dan pengolahan sampah yang secara luas diterapkan di lapangan, khususnya di negara industri antara lain adalah: Pemilahan sampah, baik secara manual maupun secara mekanis berdasarkan jenisnya Pemadatan sampah (baling) Pemotongan sampah Pengomposan sampah baik dengan cara konvensional maupun dengan rekayasa Pemerosesan sampah sebagai sumber gas- bo Pembakaran dalam Insinerator, dengan pilihan pemanfaatan enersi panas Melihat komposisi sampah di Indonesia yang sebagian besar adalah sisa-sisa makanan, khususnya sampah dapur, maka sampah jenis ini akan cepat membusuk, atau terdegradasi oleh mikroorganisme yang berlimpah di alam ini. Cara inilah yang sebetulnya dikembangkan oleh manusia dalam bentuk pengomposan atau biogasifikasi. Di Indonesia, dengan kondisi kelembaban dan temperatur udara yang relatif tinggi, maka kecepatan mikroorganisme dalam

BAGIAN 8 PENGOLAHAN SAMPAH - kuliah.ftsl.itb.ac.idkuliah.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2008/12/bagian-8-tl3104.pdfkertas, logam/kaleng, kaca, karet. ... menangkap gas bio yang

  • Upload
    dangthu

  • View
    229

  • Download
    11

Embed Size (px)

Citation preview

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-1

BAGIAN 8 PENGOLAHAN SAMPAH

Bagian ini menjelaskan beragam jenis pengolahan sampah secara umum. Penjelasan lanjut lebih diarahkan pada pengenalan teknologi pengomposan dan insinerasi, dua teknologi yang paling banyak digunakan. 8.1 Pengolahan Sampah Secara Umum

Seperti dibahas pada Bagian sebelumnya, sistem operasional pengelolaan sampah mencakup juga sub-sistem pemerosesan dan pengolahan sampah, yang perlu dikembangkan secara bertahap dengan mempertimbangkan pemerosesan yang bertumpu pada pemanfaatan kembali, baik secara langsung, sebagai bahan baku maupun sebagai sumber enersi, sehingga tercipta keseimbangan dan keselarasan antar sub-sistem, baik dalam pengoperasian maupun pembiayaannya. Untuk memperoleh “economies of scale” dari sinkronisasi sub-sistem yang lain, maka dalam perencanaan dan implementasinya, berbagai upaya terkait dengan upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pembiayaan dan operasionalnya harus menjadi prioritas utama.

Sebagaimana dibahas, pola pengelolaan persampahan yang selama ini dilaksanakan di Indonesia, hendaknya dikembangkan dengan memasukkan pilihan pemerosesan dan pengolahan untuk menjadikan sampah sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan, baik di tingkat kawasan maupun di TPA sebaimana terlihat dalam Gambar 8.1, sehingga sampah yang akan diurug ke dalam tanah diminimalkan.

Paradigma baru yang ditopang oleh sumber daya manusia, peran serta masyarakat, visi kewirausahaan, kemampuan manajemen operasional, modal investasi, dan dipacu oleh perkembangan teknologi telah mengubah pola pandang banyak pihak terhadap sampah. Dengan melihat karakteristik dan komposisinya, sampah berpotensi memberikan nilai ekonomi misalnya bila diolah menjadi bahan kompos dan bahan daur ulang. Namun potensi nilai ekonomi ini hendaknya harus dilihat secara proporsional dan lebih mengedepankan prinsip agar sistem yang dipilih dapat berkesinambungan. Dilihat dari komposisi sampah, maka sebagian besar sampah kota di Indonesia adalah tergolong sampah hayati, atau secara umum dikenal sebagai sampah organik. Sampah yang tergolong hayati ini untuk kota-kota besar bisa mencapai 70 % dari total sampah, dan sekitar 28 % adalah sampah non-hayati yang menjadi obyek aktivitas pemulung yang cukup potensial, mulai dari sumber sampah sampai ke TPA. Sisanya, sekitar 2%, tergolong lain-lain seperti B3 yang perlu dikelola tersendiri. Jenis sampah dengan persentase organik yang tinggi sangat cocok diolah menjadi kompos, sumber gasbio, dan sejenisnya. Sedang komponen anorganik mempunyai potensi sebagai bahan daur

ulang yang juga cukup potensial seperti plastik, kertas, logam/kaleng, kaca, karet. Berdasarkan kenyataan tersebut, akan lebih baik bila pengurangan jumlah sampah dilakukan melalui proses pengolahan sampah yang terpadu. Pola pengelolaan sampah terpadu secara konseptual dapat digambarkan seperti skema pada gambar 8.2 berikut.

Pembangunan sistem persampahan yang lengkap dan dikelola secara terpadu, selain memerlukan modal investasi awal yang cukup besar, juga memerlukan kemampuan manajemen operasional yang baik. Untuk mewujudkan maksud tersebut dapat dijalin hubungan kerjasama antar daerah dan atau bermitra usaha dengan sektor swasta yang potensial dan berpengalaman. Kerjasama kemitraan dapat mempercepat proses penyediaan sarana dan prasarana dengan cakupan pelayanan yang lebih luas dan peningkatan dalam mutu pelayanannya. Sistem pengelolaan yang dikembangkan harus sensistif dan akomodatif terhadap aspek komposisi dan karakteristik sampah dan kecenderungan perubahannya di masa mendatang. Sistern pengelolaan sampah harus disesuaikan dengan pergeseran nilai sampah (waste shifting values) yang selama ini dianggap sebagai bahan buangan yang tidak bermanfaat, bergeser nilainya menjadi bahan-bahan bernilai bila diolah menjadi kompos dan bahan daur ulang dan daur pakai. Teknik-teknik pemerosesan dan pengolahan sampah yang secara luas diterapkan di lapangan, khususnya di negara industri antara lain adalah: − Pemilahan sampah, baik secara manual

maupun secara mekanis berdasarkan jenisnya

− Pemadatan sampah (baling) − Pemotongan sampah − Pengomposan sampah baik dengan cara

konvensional maupun dengan rekayasa − Pemerosesan sampah sebagai sumber gas-

bo − Pembakaran dalam Insinerator, dengan

pilihan pemanfaatan enersi panas Melihat komposisi sampah di Indonesia yang sebagian besar adalah sisa-sisa makanan, khususnya sampah dapur, maka sampah jenis ini akan cepat membusuk, atau terdegradasi oleh mikroorganisme yang berlimpah di alam ini. Cara inilah yang sebetulnya dikembangkan oleh manusia dalam bentuk pengomposan atau biogasifikasi. Di Indonesia, dengan kondisi kelembaban dan temperatur udara yang relatif tinggi, maka kecepatan mikroorganisme dalam

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-2

‘memakan’ sampah yang bersifat hayati ini akan lebih cepat pula. Pengomposan merupakan salah satu teknik pengolahan limbah organik (hayati) yang mudah membusuk. Kompos dapat disebut berkualitas baik bila mempunyai karakteristik sebagai humus dan bebas dari bakteri patogen serta tidak berbau yang tidak enak. Sampah yang telah membusuk di sebuah timbunan sampah misalnya di landfill sebetulnya adalah kompos anaerob yang dapat dimanfaatkan pada pasca operasi. Alasan utama utama kegagalan pengomposan selama ini adalah pemasaran [9]. Aktivitas daur-ulang sampah dapat dimulai dari rumah-rumah, misalnya penggunaan komposter individual. Cara ini diperkenalkan dan telah diuji coba oleh LitBangPermukiman PU beberapa tahun yang lalu. Dengan volume kontainer sekitar 60 Liter, ternyata sampah dapur khususnya sisa-sisa makanan, akan dapat ditahan di alat ini karena terjadi pengurangan volume sampah akibat pembusukan. Tipikal alat ini dapat menerima sampah dari sebuah keluarga selama lebih dari 6 bulan sebelum penuh. Setelah penuh, yang dihasilkan adalah kompos yang perlu penanganan lebih lanjut. Sampah juga merupakan sumber biomas sebagai pakan ternak atau sebagai pakan cacing. Khusus untuk pakan cacing, jenis sampah yang cocok adalah sampah hayati, khususnya sampah yang berasal dari dapur. Dalam skala kota, dimana sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah masih tercampur, maka upaya ini sulit untuk tercapai baik. Dari upaya ini akan dihasilkan vermi-kompos yang berasal dari casting-nya serta bioamassa cacing yang kaya akan protein untuk makanan ternak serta kegunaan lain [9]. Sampah yang terbuang, sebetulnya menyimpan enersi yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan enersi sampah dapat dilakukan dengan cara: a. menangkap gasbio hasil proses degradasi

secara anaerobik pada sebuah reaktor (digestor)

b. menangkap gas bio yang terbentuk dari sebuah landfill

c. menangkap panas yang keluar akibat pembakaran, misalnya melalui insinerasi.

Ide lain yang telah diterapkan di beberapa negara industri seperti Jepang adalah membuat ‘pelet’ sampah sebagai bahan bakar. Biasanya produk ini digabungkan dengan insinerasi waste-to-energy yang enersinya dimanfaatkan. Pemanfaatan panas dari insinerator dapat dipertimbangkan bila karakteristik dan jumlah sampah yang akan dibakar mencukupi [4]. Penelitian lain khususnya di negara industri seperti Amerika Serikat adalah mencoba membuat alkohol dari sampah organik ini.

Salah satu jenis pengolah sampah yang sering digunakan sebagai alternatif penanganan sampah adalah insinerator. Khusus untuk sampah kota, sebuah insinerator akan dianggap layak bila selama pembakarannya tidak dibutuhkan subsidi enersi dari luar. Jadi sampah tersebut harus terbakar dengan sendirinya. Sejenis sampah akan

disebut layak untuk insinerator, bila mempunyai nilai kalor sebesar paling tidak 1200 kcal/kg-kering. Untuk sampah kota di Indonesia, angka ini umumnya merupakan ambang tertinggi. Disamping itu, sampah kota di Indonesia dikenal mempunyai kadar air yang tinggi (sekitar 60 %), sehingga akan mempersulit untuk terbakar sendiri. Hambatan utama penggunaan insinerator adalah kekhawatiran akan pencemaran udara. Insinerasi modular juga sering disebut-sebut sebagai alternatif dalam mengurangi massa sampah yang akan diuangkut ke TPA. Beberapa Dinas Kebersihan di Indonesia juga mempunyai minat yang serius dengan pembakaran sampah di tingkat kawasan sebelum sampah diangkut ke TPA. Persoalan yang timbul adalah bagaimana mencari lokasi yang cocok, dan yang paling penting adalah bagaimana mengurangi dampak negatif dari pencemaran udara, termasuk adanya asap, bau pembakaran, dsb. Dari sekian banyak jenis pencemaran udara yang mungkin timbul, maka tampaknya yang paling dikhawatirkan adalah munculnya Dioxin, yang dapat diminimalkan bila bahan plastik tidak ikut terbakar di insinerator ini [9]. Tabel 8.1 merupakan gambaran umum tentang beberapa pengolahan.

8.2 Pengomposan (Composting) [4, 33, 50, 71]

Proses pengomposan (composting) adalah proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme terhadap bahan organik yang biodegradable, atau dikenal pula sebagai biomas. Pengomposan dapat dipercepat dengan mengatur faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga berada dalam kondisi yang optimum untuk proses pengomposan. Secara umum, tujuan pengomposan adalah: a. Mengubah bahan organik yang biodegradable

menjadi bahan yang secara biologi bersifat stabil

b. Bila prosesnya pembuatannya secara aerob, maka proses ini akan membunuh bakteri patogen, telur serangga, dan mikroorganisme lain yang tidak tahan pada temperatur di atas temperatur normal

c. Memanfaatkan nutrien dalam buangan secara maksimal sepertri nitrogen, phospor, potasium

d. Menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat tanah

Beberapa manfaat kompos dalam memperbaiki sifat tanah adalah: − Memperkaya bahan makanan untuk tanaman − Memperbesar daya ikat tanah berpasir − Memperbaiki struktur tanah berlempung − Mempertinggi kemampuan menyimpan air − Memperbaiki drainase dan porositas tanah − Menjaga suhu tanah agar stabil

− Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara

− Dapat meningkatkan pengaruh pupuk buatan Kompos kurang tepat bila disebut sebagai pupuk, walaupun dikenal pula sebagai pupuk organik, karena zat hara yang dikandungnya akan tergantung pada karakteristik bahan baku yang

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-3

digunakan. Oleh karena sampah kota karakteristiknya sangat heterogen dan fluktuatiif maka kualitasnya akan mengikuti karakteristik

sampah yang digunakan sebagai bahan kompos setiap saat.

Tabel 8.1: Kelebihan dan Kelemahan Alternatif Sistem Pengolahan Sampah yang Dapat Diterapkan [48]

Jenis Pengolahan Kelebihan Kelemahan Catatan Composting (Pengomposan): 1. High Rate (modern)

- Proses pengomposan lebih cepat.

- Volume sampah yang terbuang berkurang.

2. Windrow Composting (sederhana)

- Tidak memerlukan banyak peralatan.

- Sesuai untuk sampah yang banyak mengandung unsur organik.

- Volume sampah yang terbuang berkurang.

- Biaya investasi lebih murah.

- Memerlukan peralatan lebih banyak dan kompleks.

- Biaya investasi mahal. - Perlu perawatan yang baik dan

kontinu. - Proses pengomposan lebih

lama. - Memerlukan tenaga lebih

banyak.

- Harga kompos yang dihasilkan lebih mahal daripada pupuk kimia.

- Biaya operasi lebih tinggi dari harga jual.

Baling (Pemadatan)

- Volume sampah yang terbuang dapat dikurangi.

- Praktis/efisien dalam pengangkutan ke TPA.

- Biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan relatif mahal.

- Dianjurkan bila jarak ke pembuangan akhir lebih dari 25 km.

Incinerator (Pembakaran)

- Untuk kapasitas besar hasil sampingan dari pembakaran dapat dimanfaatkan antara lain untuk pembangkit tenaga listrik.

- Volume sampah menjadi sangat berkurang.

- Hygienis.

- Biaya investasi dan operasi mahal.

- Dapat menimbulkan polusi udara.

Ada 2 (dua) tipe : - Sistem pembakaran

berkesinambungan untuk kapasitas besar (>100 ton/hari).

- Sistem pembakaran terputus untuk kapasitas kecil (<100 ton/hari)

Recycling (Daur Ulang)

- Pemanfaatan kembali bahan-bahan (anorganik) yang sudah terpakai.

- Merupakan lapangan kerja bagi pemulung sampah (informal).

- Volume sampah yang terbuang berkurang, menghemat lahan pembuangan akhir.

- Tidak semua jenis sampah bisa didaurulang.

- Memerlukan peralatan yang relatif mahal bila dilaksanakan secara mekanis.

- Kurang sehat bagi pemulung sampah (informal).

- Dianjurkan pemisahan mulai dari sumber sampahnya.

Tabel 8.2: Perbandingan Pengomposan Aerob dan Anaerob [4, 44]

No. Karakteristik Aerob Anaerob 1. Reaksi pembentukannya Eksotermis, butuh enersi luar,

dihasilkan panas Endotermis, tidak butuh enersi luar, dihasilkan gas-bio sumber enersi

2. Produk akhir Humus, CO2, H2O Lumpur, CO2, CH4 3. Reduksi volume Lebih dari 50% Lebih dari 50% 4. Waktu proses (20-30) hari (20-40) hari 5. Tujuan utama Reduksi volume Produksi energi 6. Tujuan sampingan Produksi kompos Stabilisasi buangan 7. Estetita Tidak menimbulkan bau Menimbulkan bau

Klasifikasi pengomposan antara lain dapat dikelompokkan atas dasar: a. Ketersediaan oksigen: − Aerob bila dalam prosesnya menggunakan

oksigen (udara) − Anaerob bila dalam prosesnya tidak

memerlukan adanya oksigen b. Kondisi suhu: − Suhu mesofilik: berlangsung pada suhu

normal, biasanya proses anaerob − Suhu termofilik: berlangsung di atas 40oC,

terjadi pada kondisi aerob c. Teknologi yang digunakan: − Pengomposan tradisional (alamiah) misalnya

dengan cara windrow

− Pengomposan dipercepat (high rate) yang bersasaran mengkondisikan dengan rekayasa lingkungan proses yang mengoptimalkan kerja mikroorganisme, seperti pengaturan pH, suplai udara, kelembaban, suhu, pencampuran, dsb.

Pengomposan aerobik lebih banyak dilakukan karena tidak menimbulkan bau, waktu pengomposan lebih cepat, temperatur proses pembuatannya tinggi sehingga dapat membunuh bakteri patogen dan telur cacing, sehingga kompos yang dihasilkan lebih higienis. Adapun perbedaan antara keduanya dapat dilihat pada Tabel 8.2 berikut ini. Proses pembuatan kompos adalah dekomposisi material organik limbah padat

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-4

(sampah) secara biologis, di bawah kontrol kondisi proses yang berlangsung. Dalam produk akhir, materi organik belumlah dapat dikatakan stabil, namun dapat disebut stabil secara biologis. Karena pertimbangan di atas, maka biasanya proses pengomposan dilakukan secara aerob. Secara umum, transformasi umum buangan aerob dapat dijelaskan sebagai berikut [4]: Input: Materi organik + O2 + nutrisi + bakteri Materi organik belum terdegradasi + biomass sel bakteri + CO2 + H2O + NH3 + ........ + panas Bila materi organik adalah CaHbOcNd, dan bila sel biomas bakteri diabaikan, dan bila materi orgnanik belum terdegradasi adalah CwHxOyNz , maka konsumsi reaksi yang terjadi adalah [4]:

CaHbOcNd + 0,5 (ny + 2s + r –c) O2 → nCwHxOyNz

+ sCO2 + rH2O + (d-nx) NH !

3 .............. (8.1)

Dengan: r = 0,5 [b – nx – 3(d – nx)] s = a - nw Bila terjadi reaksi sempurna, maka [4]:

CaHbOcNd + 4

324 dcba !!+O2 → aCO2+ (b - 3d)/2

+ H2O + dNH!

3 ........................ (8.2)

Bila proses berlangsung anaerob, misalnya dalam landfilling yang berlangsung secara alamiah, maka transformasinya adalah : CaHbOcNd → nCwHxOyHz+mCH4+sCO2+(d-nz) NH3 + rH2O ...................................... (8.3) Dengan : s = a – nw – m

r = c – ny - 2s Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengomposan, antara lain [4, 33]: Bahan yang dikomposkan : apakah mudah terurai atau sulit terurai, misalnya makin banyak kandungan kayu atau bahan yang mengandung lignin, maka akan makin sulit terurai Mikroorganisme : mikroorganisme seperti bakteri, ragi, jamur yang sesuai dengan bahan yang akan diuraikan akan dapat menguraikan bahan organik Ukuran bahan yang dikomposkan : bila ukuran sampah makin kecil, akan makin luas permukaan, sehingga makin baik kontak antara bakteri dan materi organik, akibatnya akan makin cepat proses pembusukan. Namun bila diameter terlalu kecil, kondisi bisa menjadi anaerob karena ruang untuk udara mengecil. Diameter yang baik adalah antara (25-75) mm. Kadar air (lihat Tabel 8.3): − Timbunan kompos harus selalu lembab,

biasanya sekitar nilai 50-60%. Nilai optimum

adalah = 55%, kurang lebih selembab karet busa yang diperas.

− Adanya panas yang terbentuk, menyebabkan air menguap, sehingga tumpukan menjadi kering.

− Bila terlalu basah, maka pori-pori timbunan akan terisi air, dan oksdigen berkurang sehingga proses menjadi anaerob. Biasanya pengadukan atau pembalikan kompos pada proses konvensional akan mengembalikan kondisi dalam timbunan menjadi normal kembali.

− Timbunan akan berasap bila panas mulai timbul. Pada saat itu bagian tengah tumpukan dapat menjadi kering, dan proses pembusukan dapat terganggu.

− Untuk mengukur suhu secara mudah, tancapkan bambu ke tengah tumpukan. Bila bambu basah dan hangat, serta tidak berbau busuk, maka proses pengomposan berjalan dengan baik.

− Kadang-kadang diperlukan penambahan air ke dalam timbunan setiap 4 – 5 hari sekali. Sebaliknya, untuk daerah yang mempunyai curah hujan yang tinggi, maka timbunan kompos harus dilindungi dari hujan, misalnya diberi tutup plastik atau terpal.

Ketersediaan oksigen: − Pada proses aerob selalu dibutuhkan adanya

oksigen. Pada proses konvensional, suplai oksigen dilakukan dengan pembalikan tumpukan sampah. Pembalikan menyebabkan distribusi sampah dan mikroorganisme akan lebih merata. Secara praktis, pembalikan biasanya dilakukan setiap 5 hari sekali.

− Pada pengomposan tradisional, tersedianya oksigen akan dipengaruhi tinggi tumpukan. Tinggi tumpukan sebaiknya 1,25 - 2 m.

− Pada proses mekanis, suplai oksigen dilakukan secara mekanis, biasanya dengan menarik udara yang berada dalam kompos, sehingga udara dari luar yang kaya oksigen menggantikan udara yang ditarik keluar yang kaya CO2. Untuk hasil yang optimum, diperlukan udara yang mengandung lebih dari 50% oksigen.

Kandungan karbon dan nitrogen (lihat Tabel 8.3): − Karbon (C ) adalah komponen utama

penyusun bahan organik sebagai sumber enersi, terdapat dalam bahan organik yang akan dikomposkan seperti jerami, batang tebu, sampah kota, daun-daunan dsb.

− Nitrogen (N) adalah komponen utama yang berasal dari protein, misalnya dalam kotoran hewan, dan dibutuhkan dalam pembentukan sel bakteri.

− Dalam proses pengomposan, 2/3 dari karbon digunakan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan mikroorganisme, dan 1/3 lainnya digunakan untuk pembentukan sel bakteri. Perbandingan C dan N awal yang baik dalam bahan yang dikomposkan adalah 25-30 (satuan beratnkering), sedang C/N di akhir proses adalah 12 – 15. Pada rasio yang

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-5

lebih rendah, ammonia akan dihasilkan dan aktivitas biologi akan terhambat, sedang pada ratio yang lebih tinggi, nitrogen akan menjadi variabel pembatas.

− Harga C/N tanah adalah 10 – 12, sehingga bahan-bahan yang mempunyai harga C/N mendekati C/N tanah, dapat langsung digunakan.

− Waktu pengomposan dapat direduksi dengan proses pencampuran dengan bagian yang sudah terdekomposisi sampai (1-2)% menurut berat. Buangan lumpur dapat juga ditambahkan dalam penyiapan sampah. Jika lumpur ditambahkan, kadar air akhir merupakan variabel pengontrol.

Kondisi asam basa (pH): − pH memegang peranan penting dalam

pengomposan. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5, kemudian pH akan naik dan stabil pada pH 7 - 8 sampai kompos matang.

− Bila pH terlalu rendah, perlu penambahan kapur atau abu. Untuk meminimalkan

kehilangan nitrogen dalam bentuk gas ammonia, pH tidak boleh melebihi 8,5.

Temperatur: − Suhu terbaik adalah 50º-55ºC, dan akan

mencapai (55-60)ºC pada periode aktif. Suhu rendah, menyebabkan pengomposan akan lama. Suhu tinggi (60-70)ºC menyebabkan pecahnya telur insek, dan matinya bakteri-bakteri patogen yang biasanya hidup pada temperatur mesofilik.

− Pada pengomposan tradisional, bila tumpukan terlalu tinggi, terjadi pemadatan bahan-bahan dan akan terjadi efek selimut. Hal ini akan menaikkan temperatur menjadi sangat tinggi, dan oksigen menjadi berkurang.

Tingkat dekomposisi: dapat diperkirakan melalui pengukuran penurunan suhu akhir, tingkat kapasitas panas, jumlah materi yang dapat didekomposisi. Kenaikan potensial redoks, kebutuhan oksigen, pertumbuhan jamur, dsb dapat digunakan juga sebagai indikator tingkat dekomposisi.

Tabel 8.3: Perbandingan C/N dan Kadar Air [4]

Jenis Bahan Harga C/N Kadar Air (%)

Kayu 200-400 75-90 Jerami padi 50-70 75-85 Kertas 50 55-65 Kotoran ternak 10-20 55-65 Sampah kota 30 50-60

Sistem Windrow merupakan teknologi yang relatif paling sederhana setelah pengomposan melalui penumpukan bahan kompos secara tradisional. Suplai oksigen dari udara bebas dimasukkan dari bawah tumpukan, dengan melengkapi drainase penyalur udara di bawahnya. Materi kompos dibiarkan terdekomposisi secara alamiah dan oleh kegiatan bakteri yang menghasilkan panas pada tumpukan kompos. Panas terbentuk selain membunuh bakteri patogen juga membantu proses perbaikan dan pengeringan secara perlahan. Proses ini membutuhkan waktu sekitar 2 - 3 minggu untuk mencapai kompos setengah matang, dan membutuhkan 3 - 4 bulan berikutnya untuk menghasilkan kompos matang. Langkah umum yang biasa digunakan adalah (lihat gambar 8.3).

Contoh lain dari proses pengomposan sederhana dapat dilihat pada gambar berikut, yang dikembangkan oleh PPT ITB. Sejak awal tahun 1980-an Pusat Studi Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) ITB memperkenalkan pengomposan sederhana, bersamaan dengan dikembangkannya Kawasan Industri Sampah. Pada pengomposan ini, disamping penambahan air untuk menjaga kelembaban, ditambahkan juga kapur , sekam padi dan diperkaya dengan pembubuhan urea dan NPK. Cara pengomposan ini kemudian diterapkan dibeberapa tempat, antara lain di Kebun Binatang Ragunan. Langkah yang digunakan seperti terlihat dalam Gambar 8.4.

Disamping itu, pembuatan kompos dengan menggunakan cacing dapat pula diterapkan, dikenal sebagai Vermikultur. Cara ini adalah penerapan vermikultur dengan skala yang memadai untuk memproduksi volume cacing yang diperlukan oleh petani untuk mampu mengkonsumsi sekitar 3-5% kompos kasar produksi TPA. Kompos adalah makanan yang ideal bagi vermikultur sehingga tidak ada biaya tambahan produksi yang diperlukan [45].

Di negara industri, pengomposan sampah kota sudah biasa dilaksanakan secara mekanis, dikenal sebagai pengomposan dipercepat (accelerated composting). Percepatan ini dilaksanakan pada proses pembuatan kompos setengah matang, yang pada pengomposan tradisional (konvensional) membutuhkan waktu sekitar 3 minggu. Pada pengomposan ini, waktu yang dibutuhkan dipercepat sampai menjadi 1 minggu. Prinsip yang digunakan adalah bagaimana agar bahan baku kompos menjadi lebih baik, dan bagaimana agar mikroorganisme pengurai menjadi lebih aktif dalam menguraikan kompos. Beberapa catatan dalam pengomosan dipercepat adalah [51]: − Bahan yang akan dikomposkan disortir dari

logam, kaca, plastik dan bahan lain yang tidak dapat dikomposkan. Untuk pemisahan bahan tersebut dapat digunakan alat pemisah mekanis atau manual.

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-6

− Proses pengomposan dilakukan dalam reaktor, dengan pasokan oksigen, dan air untuk menjamin kondisi tetap aerob.

Disamping itu dilakukan pembalikan/ pengadukan secara mekanikal. Beberapa teknologi menyalurkan uap panas hasil pengomposan pada bagian sampah yang baru masuk. Pembibitan mikroorganisme dilakukan dengan resirkulasi air lindi yang terbentuk. Beberapa jenis reaktor pengomposan modern adalah: − Vertikal (menara) : diperkenalkan pada tahun

1939 di Amerika, dikenal dengan metoda Earp-Thomas. Sampah dimasukkan dari bagian atar reaktor. Fermentasi terjadi selama transport material dari bagian atas sampai ke dasar reaktor yang terdiri dari beberapa tahap. Metode sejenis adalah jenis Triga, dimana materi sampah dimasukkan

dari atas, dan sampah turun ke bawah karena adanya putaran pada reaktor.

− Horisontal : cara yang paling dikenal adalah metoda Dano. Metoda ini berasal dari Denmark (1933). Fermentasi dilakukan dalam reaktor bertipe rotary kiln. Sampah diputar secara perlahan dalam kiln. Dengan pemutara ini, materi asing yang tidak bisa dikomposkan akan terpisahkan di ujung akhir kiln.

− Metode Siloda adalah menggunakan alat yang secara sistematis dan berkala memindahkan kompos ke sisi lain, sehingga terjadi pengadukan secara sempurna

Dengan sistem reaktor tersebut, maka variabel yang dapat mempertinggi kerja mikroorganisme diatur secara sistematis dan menerus. Contoh-contoh pengomposan dipercepat dalam reaktor dapat dilihat dalam Gambar 8.5 sampai 8.7 berikut.

Gambar 8.4: Pengomposan dengan cetakan model PPLH ITB [53]

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-7

Gambar 8.5: Metode Pengomposan Siloda [51]

Gambar 8.6 : Metode Pengomposan Dano [51]

Gambar 8.7 : Beberapa Skema Pengomposan Vertikal Triga dan Tower [51]

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-8

8.3 Insinerator [5, 36] Insinerator Skala Kota Teknologi insinerasi merupakan teknologi yang mengkonversi materi padat (dalam hal ini sampah) menjadi materi gas (gas buang), serta materi padatan yang sulit terbakar, yaitu abu (bottom ash) dan debu (fly ash). Panas yang dihasilkan dari proses insinerasi juga dapat dimanfaatkan untuk mengkonversi suatu materi menjadi materi lain dan energi, misalnya untuk pembangkitan listrik dan air panas. Insinerasi adalah metode pengolahan sampah dengan cara membakar sampah pada suatu tungku pembakaran. Di beberapa negara maju, teknologi insinerasi sudah diterapkan dengan kapasitas besar (skala kota). Teknologi insinerator skala besar terus berkembang, khususnya dengan banyaknya penolakan akan teknologi ini yang dianggap bermasalah dalam sudut pencemaran udara. Salah satu kelebihan yang dikembangkan terus dalam teknologi terbaru dari insinerator ini adalah

pemanfaatan enersi, sehingga nama insinerator cenderung berubah seperti waste-to-energy, thermal converter [53] . Gambar 8.8 dan 8.9 berikut adalah skema insinerator. Meskipun teknologi ini mampu melakukan reduksi volume sampah hingga 70%, namun teknologi insinerasi membutuhkan biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan yang cukup tinggi. Fasilitas pembakaran sampah dianjurkan hanya digunakan untuk memusnahkan/membakar sampah yang tidak bisa didaur ulang, ataupun tidak layak untuk diurug. Alat ini harus dilengkapi dengan sistem pengendalian dan kontrol untuk memenuhi batas-batas emisi partikel dan gas-buang sehingga dipastikan asap yang keluar dari tempat pembakaran sampah merupakan asap/gas yang sudah netral. Abu yang dihasilkan dari proses pembakaran bisa digunakan untuk bahan bangunan, dibuat bahan campuran kompos, atau dibuang ke landfill. Sedangkan residu dari sampah yang tidak bisa dibakar seperti sisa logam bisa didaur ulang.

Unit Penerima

(Ruang Bakar)

Air Pollution

Control(APC)Suplai

Buangan

Suplai udara Unit pemisah

Suplai air pendingin

Gambar 8.8: Proses Insinerasi

Gambar 8.9: Unit-unit pada Insinerator Skala Kota [5]

Debu Terbang

LIMBAH

Pemasok

Penerima

Tungku

Landfill

APCGas

Pemisah

Pengolah air

Tungku

Udara

Udara

Cerobong

BBM

BBM

Udara/gas

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-9

Insinerasi merupakan proses pengolahan buangan dengan cara pembakaran pada temperatur yang sangat tinggi (>800ºC) untuk mereduksi timbulan yang tergolong mudah terbakar (combustible), yang sudah tidak dapat didaurulang lagi. Sasaran insinerasi adalah untuk mereduksi massa dan volume buangan, membunuh bakteri dan virus dan meredukdi materi kimia toksik, serta memudahkan penanganan limbah selanjutnya. Insinerasi dapat mengurangi volume buangan padat domestik sampai 85-95 % dan pengurangan berat sampai 70-80 %.

Proses insinerasi berlangsung melalui 3 (tiga) tahap, yaitu: − Mula-mula membuat air dalam sampah

menjadi uap air, hasilnya limbah menjadi kering yang akan siap terbakar.

− Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperatur belum terlalu tinggi

− Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna.

Agar terjadi proses yang optimal maka ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam menjalankan suatu insinerator, antara lain: − Aspek keterbakaran: menyangkut nilai kalor,

kadar air, dan kadar abu dari buangan padat, khususnya sampah.

− Aspek keamanan: menyangkut titik nyala, tekanan uap, deteksi logam berat, dan operasional insinerator.

− Aspek pencegahan pencemaran udara : menyangkut penanganan debu terbang, gas toksik, dan uap metalik.

Terdapat 3 parameter utama dalam operasi insinerator yang harus diperhatikan, yaitu 3-T (Temperature, Time dan Turbulence): − Temperature (Suhu): Berkaitan dengan

pasokan oksigen (melalui udara). Udara yang dipasok akan menaikkan temperature karena proses oksidasi materi organik bersifat eksotermis. Temperatur ideal untuk sampah kota tidak kurang dari 800 oC.

− Time (waktu): Berkaitan dengan lamanya fasa gas yang harus terpapar dengan panas yang telah ditentukan. Biasanya sekitar 2 detik pada fase gas, sehingga terjadi pembakaran sempurna.

− Turbulensi: Limbah harus kontak sempurna dengan oksigen. Insinerator besar diatur dengan kisi-kisi atau tungku yang dapat bergerak, sedang insinerator kecil (modular) tungkunya adalah statis.

Skema insinerator kapasitas besar untuk sampah kota umumnya terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut (lihat Gambar 8.9): − Unit Penerima: perlu untuk menjaga

kontinuitas suplai sampah. − Sistem Feeding/Penyuplai: agar instalasi

terus bekerja secara kontinu tanpa tenaga manusia.

− Tungku pembakar: harus bisa mendorong dan membalik sampah.

− Suplai udara: agar tetap memasok udara sehingga sistem dapat terbakar. Pasokan udara dari bawah adalah suplai utama. Udara sekunder perlu untuk membakar bagian-bagian gas yang tidak sempurna.

− Kebutuhan udara: tergantung dari jenis limbah − Pembubuhan air: mendinginkan residu/abu

dan gas yang akan keluar stack agar tidak mencemari lingkungan.

− Unit pemisah: memisahkan abu dari bahan padat yang lain.

− APC (Air Pollution Control): terdapat beragam pencemaran yang akan muncul, khususnya: o Debu atau partikulat o Air asam o Gas yang belum sempurna terbakar: CO o Gas-gas hasil pembakaran seperti CO2,

NOx , SOx, o Dioxin o Panas Setiap jenis pencemar, membutuhkan APC yang sesuai pula, sehingga bila seluruh jenis pencemar ini ingin dihilangkan, maka akan dibutuhkan serangkaian unit-unit APC yang sesuai. Pada insinerator modular yang sering digunakan di kota-kota di Indonesia, dapat dikatakan sarana ini belum dilengkapi unit APC, paling tidak untuk mengurangi partikel-partikel debu yang keluar.

− Cerobong (stack): semakin tinggi akan semakin baik, terutama untuk daerah sekitarnya, tetapi tidak berarti tidak mengotori udara. Dengan cerobong yang tinggi maka terjadi pendinginan-pengenceran.

− Dinding insinerator harus tahan panas, dan tidak menyalurkan panas keluar.

Nilai kalor sampah Indonesia mencapai 1.000 – 2.000 kkal/kg-kering. Dapat dicapai proses insinerasi yang ekonomis bila sampah memiliki nilai kalor paling tidak 2.000 kkal/kg-kering, sehingga tidak dibutuhkan enersi tambahan dari luar. Kebutuhan oksigen dan nilai kalor yang dikandungnya dapat dihitung berdasarkan metode pendekatan kadar unsur sampah, misalnya dengan rumus kimia sampah Indonesia dengan dominasi rata–rata kandungan sampah organik sekitar 60%, sampah plastik 17%, dan sampah kertas 16% adalah C351,42H2.368,63O1.099,65N13,603S.

Teknologi insinerasi mempunyai beberapa sasaran, seperti diuraikan di bawah: Mengurangi massa / volume − Insinerasi: proses oksidasi (dengan oksigen

atau udara) limbah combustible pada temperatur tinggi.

− Diperoleh: abu, gas, limbah sisa pembakaran dan abu, dan diperoleh pula enersi panas

− Bila pembakaran sempurna: tambah sedikit limbah tersisa dan gas yang belum sempurna terbakar (seperti CO), akan tambah sedikit

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-10

− Panas yang tersedia dari pembakaran limbah sebelumnya akan berpengaruh terhadap jumlah bahan bakar yang dipasok. Insinerator yang bekerja terus menerus akan menghemat bahan bakar

Mendestruksi komponen berbahaya − Insinerator tidak hanya untuk membakar

sampah kota. Sudah diterapkan untuk limbah non-domestik, seperti dari industri (termasuk limbah B3), dari kegiatan medis (untuk limbah infectious)

− Insinerator tidak hanya untuk membakar limbah padat. Sudah digunakan untuk limbah non-padat, seperti sludge dan limbah cair yang sulit terdegradasi..

− Insinerator merupakan sarana standar untuk menangani limbah medis dari rumah sakit. Sasaran utama : mendestruksi patogen yang berbahaya seperti kuman penyakit menular.

− Syarat utama : panas yang tinggi, biasanya insinerator dioperasikan di atas 800o C. Limbah tidak harus combustible, sehingga untuk dibutuhkan subsidi bahan bakar dari luar

Pemanfaatan enersi panas: Insinerasi adalah identik dengan combustion, yaitu dapat menghasilkan enersi yang dapat dimanfaatkan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah kuantitas dan kontinuitas limbah yang akan dipasok. Kuantitas harus cukup untuk menghasilkan enersi secara kontinu agar suplai enersi tidak terputus. Insinerator dapat dibagi berdasarkan perbedaan: a. Cara pengoperasian: batch atau kontinu b. Tungku yang digunakan: − Statis (insinerator modular atau kecil,

seperti insinerator RS) − Mechanical stoker: biasanya untuk

sampah kota − Fluiduized bed : biasanya untuk limbah

homogen − Rotary kiln: untuk limbah industri (limbah

padat atau cair) − Multiple hearth: untuk limbah industri c. Cara penyuplaian limbah: dikaitkan

dengan fasa limbah (padat, gas, sludge, slurry)

Masing-masing jenis kemudian berkembang lagi, misalnya dalam insenarator modular dikenal insinerator kamar-jamak, yang kemudian dibagi lagi menjadi: − Multi chambre − Multi chambre – Starved control-air Insinerator Modular [1, 54] Di Indonesia, penggunaan insinerator skala kota baru dilaksanakan di Surabaya. Namun karena permasalahan teknis yang sejak awal telah terjadi, insinerator ini cendererung kurang berfungsi. Insinerator skala modular (skala kecil), banyak dicoba di beberapa kota di Indonesia, walaupun

ternyata mengalami beberapa permasalahan, seperti mahalnya biaya operasi, timbulnya permasalahan lingkungan yang terlihat nyata secara visual seperti asap dan bau. Beberapa informasi di bawah ini menjelaskan secara ringkas tentang insinerator jenis modular dengan (Lihat Gambar 8.10) [1]: Pemasokan limbah dapat dilakukan: − Secara manual: khususnya untuk insinerator

kecil − Secara mekanis/hidrolis: memperpanjang

waktu operasi − Bila pemasokan limbah dilakukan secara

kontinu tanpa mematikan dan mendinginkan ruang pembakaran, akan dihemat bahan bakar dan kontinuitas operasi dapat dijamin.

Pengoperasian: − Pengoperasian secara batch dengan

pemasokan manual − Pengoperasian secara batch dengan

pemasokan semi kontinu − Pengoperasian secara kontinu: untuk skala di

atas 40 ton/hari. − Pengeluarkan abu: bila abu dapat dikeluarkan

secara terus menerus, ruang pembakaran akan tetap tersedia untuk limbah yang baru. Pengeluaran abu dapat dilakukan:

− Secara manual − Secara mekanis: biasanya di atas 20 ton/hari Insinerator yang paling sederhana adalah 1 kamar. Selanjutnya dikenal insinerator kamar-jamak dengan sasaran: − Menghemat bahan bakar − Menghemat enersi untuk suplai udara − Mempertahan temperatur − Kontrol pencemaran udara Kapasitas nominal tungku pembakaran: dinyatakan sebagai Kg/jam, Ton/hari atau m3/jam untuk 8 jam kerja per shift. Kapasitas pembakaran biasanya digunakan tidak lebih dari 75%. Pasokan oksigen dilakukan dengan memasukkan udara secara: − Manual: untuk insinerator sederhana − Blower: memasok udara dengan debit tetap

atau debit yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Limbah yang baru dimasukkan (dingin) membutuhkan pasokan api melalui burner (pembakar bahan bakar). Bila limbahnya combustible maka limbah selanjutnya berfungsi sebagai bahan bakar. Jumlah burner, konsumsi dan jenis bahan bakar, perlu diperhatikan dalam memilih incinerator. Tambah besar kapasitas insinerator, tambah sedikit bahan bakar yang dibutuhkan per satuan limbah yang akan dibakar. Dinding Isolasi panas berfungsi untuk menghemat bahan bakar dan mempertahankan temperatur. Dinding insinerator yang baik biasanya berlapis-lapis, yang terdiri dari:

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-11

− Lapis luar: baja tahan karat dengan ketebalan tertentu (mis 6 mm), dicat dengan cat tahan temperatur tinggi

− Lapis tengah: isolator panas dengan ketebalan tertentu, dengan baha seperti asbes, atau kalsium silikat dsb

− Lapis dalam: langsung kontak dengan temperatur tinggi, misalnya dari bahan bata tahan api

Tinggi dan bahan cerobong: tambah tinggi cerobong, udara panas yang keluar akan tambah terencerkan dan tersebar secara baik di lingkungan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah: − Panel pengontrol dan petunjuk: digunakan

untuk mengetahui debit udara, temperatur, alat untuk mengontrol waktu operasi (timer), dsb.

− Bangunan pelindung: untuk melindungi dari hujan dsb

− Perlengkapan pengendali pencemaran udara: biasanya dijual terpisah dari insinerator. Dikenal beberapa pengontrol, seperti: pengontrol partikulat (bag house, scruber, dsb), pengontrol uap asam (scruber basa, dsb), pengontrol gas-gas spesifik, dsb.

Permasalahan Lingkungan [53] Enersi panas yang dapat dikonversi menjadi listrik dan recovery panas merupakan salah satu keunggulan yang ditawarkan dari insinerator jenis baru. Enersi tersebut berasal dari panas dalam tungku, yang biasanya didinginkan dengan air, dan uap air yang terjadi dapat digunakan sebagai penggerak turbin pembangkit listrik. Namun perlu pemahaman bahwa: − Produk panas yang nanti dikonversi menjadi

listrik, akan tergantung dari nilai kalor sampah itu sendiri. Nilai kalor sampah Indonesia biasanya sulit mencapai angka 1200 Kcal/kg-kering, bandingkan dengan sampah dimana teknologi insinerator itu berasal, yaitu paling tidak 2000-2500 kkal/kg-kering. Komponen sampah yang dikenal mempunyai nilai kalor tinggi adalah kertas dan plastik. Dilemna yang muncul adalah, bila yang dikejar adalah nilai kalor tinggi, maka upaya daur-ulang tidak mendukung teknologi ini.

− Sampah Indonesia mengandung banyak sisa makanan (bisa mencapai 70%) yang dikenal mempunyai kadar air tinggi. Ditambah musim hujan, serta sistem pewadahan sampah yang tidak tertutup, akan menambah tingginya kadar air. Secara logika, tambah tinggi kadar air, maka akan tambah banyak enersi yang dibutuhkan untuk memulai sampah itu terbakar.

− Proses termal menawarkan destruksi massa limbah secara cepat. Namun semua proses termal tetap akan menghasilkan residu ( bagian non-combustible) yang tidak bisa terbakar pada temperatur operasi. Tambah tinggi panas, maka residu-nya akan tambah

sedikit. Residu ini berada dalam bentuk abu, debu dan residu lain. Abu biasanya dikenal mempunyai potensi sebagai bahan bangunan, karena mengandung silikat tinggi. Sampah Indonesia mengandung abu sampai mencapai 30% berat. Debu atau partikulat akan merupakan salah satu permasalahan pencemaran udara yang perlu diperhatikan, dan akan menjadi bahan yang perlu difikirkan penanganannya. Biasanya jalan terakhir yang dilakukan adalah diurug

− Dalam proses termal, beberapa logam berat yang berada dalam sampah, akan teruapkan seperti Zn dan Hg, yang tergantung dari titik uapnya. Merkuri (Hg) pada temperatur kamarpun akan menguap. Tambah tinggi temperatur, akan tambah banyak jenis logam berat yang akan menguap. Agak sulit menangani jenis pencemar ini.

− Dioxin akan muncul sebagai proses antara dalam pembakaran material, bukan hanya pada insinerator. Tambah tinggi temperatur, maka biasanya tambah sedikit bahan antara ini. Bila terjadi kegagalan dalam mempertahankan panas, atau pada awal operasi atau di akhir operasi, dimana temperatur berada pada level yang rendah, maka masalah ini dapat muncul.

− Apapun teknologinya, maka dalam proses oskidasi (pembakaran) akan dihasilkan produk oksidasi, yang diantaranya berupa gas-buang. Bila sistem tidak tercampur sempurna dan pembakaran menjadi tidak sempurna, maka akan dihasilkan gas-gas yang belum terbakar sempurna.

− Bila material berbasis khlor terbakar, maka akan dihasilkan produk gas khlor, yang sangat berbahaya karena korosif maupun karena toksik. Namun dengan adanya uap air, gas yang sangat reaktif ini dengan mudah akan menangkap uap air menjadi HCl. Ini juga perlu diklarifikasi dalam teknologi yang ditawarkan dalam air pollution control, guna mengurangi terjadinya hujan asam.

− Bila pemanasan dilakukan tanpa oksigen, maka proses ini dikenal sebagai pirolisis. Modivikasi dari pirolisis adalah gasifikasi yang memasukkan sedikit udara dalam proses. Akan dihasilkan 3 jenis produk, yaitu (a) gas hasil oksidasi tanpa oksigen seperti CH4 dan H2 (b) C2H4 (ethyelene) dan tar dan (c) arang atau karbon. Seperti halnya insinerasi, maka karena yang digunakan sebagai bahan adalah sampah yang sangat heterogen, maka akan dihasilkan by-product lain seperti gas pencemar, dioxin, residu yang belum dapat terurai. Proporsi produk yang dihasilkan (gas, cair atau padat) tergantung dari temperatur dan waktu pembakaran.

− Terdapat serangkaian upaya konversi enersi dalam sistem insinerator penghasil panas, mulai dari combustor – boiler – steam generator sampai ke electric generator, yang tidak akan mampu mengkonversi enersi secara mulus 100%. Bila sampah yang digunakan adalah sejenis sampah di negara industri, maka enersi listrik sebesar 20

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-12

MW/1000 ton-kering sampah dapat dicapai. Dengan kondisi sampah Indonesia yang mempunyai nilai kalor hanya sekitar 1000 kkal/kg-kering, apalagi bila kertas dan plastiknya dikeluarkan untuk didaur-ulang, serta kadar air yang cukup tinggi, maka sebetulnya berdasarkan perhitungan yang konvensional akan diperoleh paling sekitar 2,5 MW per kg sampah-basah.

8.4 Waste-to-Energy di Negara Industri [74, 72] Sistem Waste-to-energy (WTE) membakar sampah kota non-B3 untuk menghasilkan listrik dan/atau uap air, dan sekaligus mensteril dan mengurangi volume sampah yang dibutuhkan untuk landfill. Data tahun 2007 [74] mengungkapkan bahwa di USA sistem ini digunakan untuk memproses sekitar 95.000 ton sampah perhari atau 35 juta ton per tahun, yang merupakan 17% dari total sampah yang dihasilkan, dan menghasilkan sekitar 2.500 MW listrik. Di Eropa, fasilitas WTE memproses sekitar 56 juta ton per-tahun. Denmark memproses lebih dari 80% sampahnya dengan WTE, sedang di Jepang lebih dari 60%. WTE dianggap sebagai alternatif sumber enersi terbarukan, dan US-EPA menyimpulkan bahwa WTE dinilai menghasilkan listrik dengan dampak lingkungan terendah dibandingkan pembangkit listrik dari sumber yang lain. WTE saat ini bukan lagi sekedar membakar mix-waste tanpa pemilahan, tetapi sistem WTE melalui refused-derived-fuel (FDR), dimana sampah dipilah, dirajang, dan dibuat pelet (briket) bahan bakar. Di Jepang misalnya, mereka melarang sampah berbahan PVC, atau bahan plastik mengandung chloride lainnya masuk ke sistem pembakaran. Sistem WTE yang sekarang banyak digunakan dianggap perlu ditingkatkan, misalnya dengan sistem pelelehan (melting) pada temperatur yang lebih tinggi yang memungkinkan abu direduksi menjadi elemen-elemen pembentuknya, yang selanjutnya dapat direcovery (lihat gasifikasi plasma). Reduksi panas yang akan diemisikan ke luar cerobong juga dirancang berlangsung secara sangat cepat, karena dianggap penurunan panas yang biasa akan berpotensi kembali terbentuknya dioxin.

WTE bekerja layaknya pembangkit listrik biasa, yang membedakannnya adalah bahan bakarnya adalah sampah, bukan solar, batu-bara atau gas. Prinsip WTE adalah sejalan dengan pembangkit listrik tenaga batubara (coal fire power plant), yaitu: • Bahan bakar dibakar, menghasilkan panas • Panas terbentuk menguapkan air • Uap dengan tekanan tinggi memutar sudu

(blade) generator turbin untuk menghasilkan listrik

• Listrik yang dihasilkan digunakan untuk berbagai keperluan

Di USA, sejak tahun 2000 fasilitas WTE sudah disesuaikan dengan standar pengendalian pencemaran dari Clean Air Act Section 129, dengan peralatan kontrol standar, yaitu: • Baghouse: bekerja layaknya vacuum cleaner

raksasa, dengan fabric filter bag yang membersihkan udara dari asap dan logam berat

• Scrubber: menyemprotkan bubur kapur dan air ke dalam uap panas, yang menetralkan gas asam, dan meningkatkan penangkapan merkuri pada udara yang ke luar

• Selective non-catalytic reduction: mengkonversi NOx, penyebab kabut asap (smog), menjadi nitrogen, dengan menyemprotkan ammonia atau urea ke dalam tungku panas

• Sistem carbon injection: menyemprotkan karbon aktif ke dalam exhaust gas untuk menjerab (sorbsi) merkuri, dan sekaligus mengontrol emisi organik lain seperti dioxin

• Abu hasil pembakatan, sekitar 10% volume, sesuai uji pelindian di USA leaching test aman untuk digunakan kembali dan diurug, atau sebagai bahan penutup landfill, karena mempunyai sifat seperti mortar yang mengeras bila telah dipakai. Sekitar 600.000 ton abu dihasilkan sebagai bahan penutup harian, roadbed dan bahan bangunan.

• Sejumlah WTE dirancang/dioperasikan sebagai co-generation, yang memanfaatkan juga uap sebagai pemanas, sehingga sistem ini dianggap lebih unggul dibandingkan pembangkit listrik tradisional.

Tabel 8.4 Produksi enersi di USA 2003 [74] Bahan bakar Ribu MW-hours Persen Bahan fosil 2.743.051 71 - Batubara 1.973.737 51 - Minyak 119.406 3 - Gas alam 649.908 17 Nuklir 763.733 21 Hydroelectric 275.806 7 Terbarukan 87.410 2 - Sampah kota 21.900 0,6 Lain-lain 13.185 …. Total 3.883.185 100

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-13

Listrik yang dihasilkan dari WTE Sistem WTE tergantung pada sumber enersi terbarukan, yaitusampah yang tidak dapat didaur-ulang atau yang non-B3. Sekitar 1 ton sampah mempunyai nilai panas sekitar 0,5 ton batubara, sehingga paling banyak menghasilkan listrik setara 0,5 ton batu-bara. US-EPA telah mengembangkan web-site Clean Energy untuk informasi perbandingan dampak beragam sumber enersi terhadap lingkungan, yaitu sumber gas alam, batu-bara, minyak, enersi nuklir, sampah kota, hydroelectricity, dan non-hydroelectricity-renewable energy. Secara tipikal, biasanya sampah dikirim ke landfill atau ke instalasi pengomposan setelah proses. Sebagai alternatif, sampah dikirim ke fasilitas WTE untuk menghasilkan listrik. Sampah dianggap sampah sebagai sumber enersi terbarukan, yang terdiri dari sisa makanan, kertas, dan kayu, termasuk bahan non-renewable yang berasal dari bahan bakar fosil seperti plastik dan karet. Pada pembangkit listrik, sampah di-unloaded dari truk, dicacah, atau diproses agar memudahkan penanganannya, lalu dipasok pada boiler untuk menghasilkan uap, yang dapat memutar turbin uap yang menghasilkan listrik. Di USA instalasi pembangkit listrik diatur oleh peraturan Federal dan Negara bagian, dan beragam variasi dampak yang dapat ditimbulkan. Walaupun sampah termasuk sumber enersi terbarukan, tetapi kehadirannya banyak menimbulkan kontroversi, karena emisi pencemar yang dihasilkan.

Perbandingan emisi pencemar udara Membakar sampah akan menghasilkan NOx dan SOx serta sejumlah pencemar seangin lain, seperti senyawa merkuri dan dioxin. WTE sampah akan menghasilkan CO2, sumber utama green-house gas (GHG). Terdapat 2 pendapat yang berbeda dalam hal ini, yaitu: • Diabaikan karena dianggap bagian dari siklus

karbon bumi (earth’s natural carbon cycle) • Diperhitungkan, karena pembakaran sampah

juga menghasilkan CO2 yang dianggap bukan bagian dari earth’s atmosphere untuk jangka panjang. Disamping itu, komponen sampah juga mengandung bahan yang berasal dari sumber enersi fosil

Variasi komposisi sampah menaikkan perhatian terhadap pembakaran sampah kota, karena dapat mengandung batere, ban-bekas, dan bahan toksik lain yang terkandung dalam sampah kota. Oleh karenanya, sejumlah variasi teknologi pengendali pencemaran udara ketat diterapkan pada WTE sampah kota di negara-negara Jepang, Eropa di USA. Emisi rata-rata di USA untuk pembakaran sampah kota adalah sekitar: • 2.988 lb/MWh: bila memasukkan CO2 dari

emisi kedua jenis sumber yang ada dalam sampah, yaitu biomas dan bahan bakar fosil

• 837 lb CO2 /MWh: bila CO2 dari emisi biomas sampah diabaikan dalam perhitungan, karena bukan berasal dari bahan bakar fosil.

• 0,8 lbSO2/MWh • 5,4 lb NOx/MWh

Tabel 8.5 Perbandingan emisi udara [72]

CO2 SO2 NOx Bahan bakar lb/MWh

Sampah kota 837 0,8 5,4 Batubara 2.249 13 6 Minyak 1.672 12 4 Gas alam 1.135 0,1 1,7

8.5 Pirolisa dan Gasifikasi Di luar proses pembakaran sampah dengan insinerator, maka proses lain yang banyak digunakan dalam konversi biomas secara termal adalah pirolisis dan gasifikasi, yaitu proses destruksi menggunakan panas tanpa kehadiran oksigen, atau sedikit oksigen. Proses ini bertujuan mengkonversi biomas padat menjadi gas, cair (tar) dan padat (arang): • Pirolisis: berlangsung tanpa kehadiran

oksigen sama-sekali, menggunakan sumber enersi dari luar untuk menggerakan reaksi pirolisa yang bersifat endotermis

• Gasifikasi bersifat self sustaining, menggunakan udara atau oksigen yang terbatas untuk pembakaran sebagian dari biomas

Sebagian besar meteri organik secara termal tidak stabil, sehingga dapat dipanaskan tanpa kehadiran oksigen dan akan menghasilkan gas, liquid, padat. Produk yang dihasilkan adalah tergantung pada panas yang berlangsung dalam reactor (lihat Tabel 8.6), yaitu: • Gas/uap: mengandung hidrogen, metan, CO

CO2, dan beraneka ragam gas, yang

tergantung dari karakteristik biomasnya • Bagian cair: mengandung tar atau oil stream

yang mengandung asam asetat, aseton, metanol, dan hidrokarbon kompleks, yang dapat digunakan sebagai bahan bakar

• Arang (char) yang berupa karbon murni, disertai materi-materi solid lain dari biomas asal.

Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah TL-3104 Versi-2008-8/10

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

8-14

Tabel 8.6: Contoh pengaruh panas terhadap % produk gasifikasi

(%) H2 CH4 CO CO2 C2H4 C2H6 480°C 5,56 12,43 33,50 44,77 0,45 3,03 920°C 32,48 10,45 35,25 18,31 2,43 1,07

(%) Gas Asam-asam dan tar Karbon

480°F 12,33 61,08 21,71 920°F 24,36 58,70 17,76

8.6 Proses Termal dengan Gasifikasi Plasma Filosofi Zero-Waste (Tanpa-Limbah), yaitu daur-ulang seluruh bahan kembali ke alam atau ke pasar sebagai unsur ekonomi, dengan penekanan pada perlindungan kesehatan manusia dan alam, tampaknya mendekati produk yang dihasilkan melalui proses gasifikasi plasma. Teknologi plasma merupakan teknologi yang telah mapan. Industri baja sejak lama menggunakan teknologi ini untuk melelehkan baja. Plasma adalah gas yang terionisasi dalam udara super-panas. Sebuah busur (torch) plasma memanaskan udara secara reguler. Temperatur di dalam busur sampai mencapai 14.000 oC. Akibatnya, temperatur di luar yang berkontak dengan bahan yang akan didestruksi akan mempunyai temperatur sampai 4.400 oC. Sumber enersi dari busur adalah listrik. Udara super panas ini akan secara termal mendegradasi material yang kontak dengannya. Gasifikasi plasma menggunakan sumber panas dari luar untuk menggasifikasi material. Temperatur yang sangat tinggi tersebut kemudian perlu diturunkan sampai 300oC atau kurang sesuai dengan standar yang berlaku. Dengan demikian akan terjadi penurunan sensible heat, yang akan menghasilkan uap bertekanan tinggi yang kemudian dapat diumpankan pada turbin uap untuk menghasilkan enersi listrik. Sampah diumpankan ke transformer termal yang dikenal sebagai reaktor atau plasma gasifier. Busur (torches) plasma yang terletak di dasar reaktor akan menghasilkan panas, dengan suhu berkisar antara 2.750 - 4.400 oC (5.000 – 8.000oF), bandingkan dengan WTE modern yang baik, yang hanya bekerja dengan temperatur paling tinggi 1.200 oC. Karena prosesnya destruksi total secara termal, maka tidak dibutuhkan pemilahan atau pre-treatment sampah terlebih dahulu, kecuali pemotongan untuk menyesuaiakan dengan kebutuhan reactor, seperti kulkas, AC dsb. Barang-barang elektrik-elektronik tersebut merupakan hal yang biasa dijumpai dalam rantai pengelolaan sampah di negara maju, walaupun mereka sudah menerapkan upaya daur-ulang dengan teknologi canggih. Freon pada AC harus dikeluarkan terlebih dahulu. Limbah medical biasanya diolah terpisah dari sampah. Teknologi ini dapat memproses segala jenis bahan, tidak membutuhkan pemilahan dan tidak

terpengaruh oleh kadar air bahan yang dimasukkan. Temperatur tinggi dari busur plasma, akan melelehkan seluruh bahan anorganik yang ada. Tanah kaca dsb akan leleh menjadi unsur-unsur membentuk vitrified (molten) glass. Unsur-unsur logam juga leleh dan membentuk unsure-unsur logam, yang dapat dipisahkan dari residu berbentuk gelas. Hampir seluruh karbon yang terkandung dari material yang diolah akan dikonversi menjadi bahan bakar gas. Produk tar dan arang tidak terjadi, karena semuanya dikonversi menjadi gas. Tidak terbentuk furan atau dioxin. Sebagian besar partikulat dikembalikan kembali ke proses, sehingga dapat bergabung menjadi vitrified glass. Praktis tidak ada abu seperti dalam proses insinerasi/WTE, sehingga tidak butuh lagi landfill, kecuali untuk bahan dasar yang belum mempunyai nilai ekonomi. Gas keluar dari cerobong juga akan menjadi bersih karena tidak dihasilkan partikulat atau fly ash. Gas buang yang dihasilkan lebih bersih dibanding proses gasifikasi biasa, dan hanya mengandung sangat sedikit elemen-elemen dalam partikulat. Elemen-elemen pencemar udara yang masih tersisa seperti HCl, sulfur tetap perlu ditangani sebagaimana layaknya seperti dalam proses WTE. Perbedaan dasar teknologi gasifikasi plasma dengan gasifikasi biasa adalah pada temperatur yang digunakan untuk mendestruksi material. Gasifikasi biasa bekerja pada rentang temperatur 370 – 815 oC. Gasifikasi merupakan partial combustor dimana hanya sebagian karbon yang di-”bakar” untuk mendukung reaksi, karena temperatur rendah tidak akan dapat menguraikan seluruhnya. Produk yang dihasilkan tidak sebersih gasifikasi plasma. Permasalahan utama gasifikasi adalah timbulnya tar yang sulit dikeluarkan dari reaktor. Adanya arang sebagai residu membutuhkan landfill. Selain itu, sampah harus cukup kering, berukuran yang relatif homogen. Seperti halnya pirolisis dan gasifikasi, material organic tidak terbakar seperti di WTE, tetapi langsung ditransformasi menjadi gas sebagai CO, H2, nitrogen dan uap air, yang sebagian masih mengandung enersi. Gas ini merupakan sumber enersi lain, selain panas yang dihasilkan. Bila mengadung komponen khlor, maka elemen ini dengan cepat akan bereaksi dengan H+ membentuk HCl.