9
ANALISIS WACANA KRITIS[1] Oleh : Cholis Hauqola [2] Wacana Wacana merupakan kata yang sering dipakai masyarakat dewasa ini. Banyak pengertian yang merangkai kata wacana ini. Dalam studi linguistik, Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar, melebihi kalimat. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka sebuah wacana dipastikan mengandung konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi jika terdapat adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan “benar”. Dalam konteks sosial, wacana adalah “cara” suatu objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas. John Stuart Mill (1994) memberikan pendapatnya bahwa wacana dapat dilihat dari level konseptual teoretis, konteks penggunaan, dan metode penjelasan. Berdasarkan level konseptual teoretis, wacana diartikan sebagai domain dari semua pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata. Sedangkan menurut konteks penggunaannya, wacana merupakan sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam

BAHAN 4.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAHAN 4.doc

ANALISIS WACANA KRITIS[1]

Oleh : Cholis Hauqola [2]

 Wacana

Wacana merupakan kata yang sering dipakai masyarakat dewasa ini. Banyak

pengertian yang merangkai kata wacana ini. Dalam studi linguistik, Wacana adalah

satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan

gramatikal tertinggi dan terbesar, melebihi kalimat.

Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka sebuah wacana dipastikan mengandung

konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam

wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun.

Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat

yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya.

Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi jika terdapat adanya keserasian hubungan

antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan “benar”.

Dalam konteks sosial, wacana adalah “cara” suatu objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas.  John Stuart Mill (1994) memberikan pendapatnya bahwa wacana dapat dilihat dari level konseptual teoretis, konteks penggunaan, dan metode penjelasan.

            Berdasarkan level konseptual teoretis, wacana diartikan sebagai domain dari semua pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata.  Sedangkan menurut konteks penggunaannya, wacana merupakan sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori konseptual tertentu (sesuai situasi dan kondisi).  Dan adapun menurut metode penjelasannya, wacana merupakan suatu praktik yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyataan.

Dari uraian di atas, jelaslah terlihat bahwa wacana merupakan suatu pernyataan atau rangkaian pernyataan yang dinyatakan secara lisan ataupun tulisan dan memiliki hubungan makna antarsatuan bahasanya serta terikat konteks. Dengan demikian, apapun bentuk pernyataan yang dipublikasikan melalui beragam media (dalam berbagai bentuk) yang memiliki makna dan terdapat konteks di dalamnya dapat dikatakan sebagai sebuah wacana.  

Page 2: BAHAN 4.doc

Analisis Wacana

Dalam ranah sosiologi, wacana menunjuk terutama dalam hubungan konteks sosial dari

pemakaian bahasa, yang terikat oleh ruang dan waktu. Menurut Michael Foucault

(1972), wacana; kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement),

kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan (seperti palendrum,

prokem, bahasa “gaul” yang tergantung subjeknya), dan kadang kala sebagai praktik

regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan (seperti pernyataan sikap partai politik).

Terkait dengan kebutuhan analisis terhadap suatu wacana, Eriyanto (2006)

menegaskan bahwa Analisis Wacana dalam studi linguistik “hanyalah” merupakan

reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase,

atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut). Itu sebabnya,

analisis yang dilakukan hanya sebatas persoalan bahasa; apakah benar atau tidak.

Analisis wacana dalam makalah ini dimaksudkan sebagai kebalikan dari linguistik

formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan

gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Persoalan

mengenai “apa”, siapa, dalam konteks apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada

siapa, merupakan pertanyaan yang perlu diajukan di sini ketika melihat suatu wacana.

Barangkali analisis wacana di sini akan lebih mendekati ruang politik, yaitu analisis

wacana merupakan analisis yang memusatkan perhatian pada praktik pemakaian

bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari

penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka

aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.

Ragam Paradigma = Ragam Analisis

Corak suatu analisis wacana tergantung pada corak paradigma (cara pandang) yang

melekat pada sang analis. Ada tiga pandangan mengenai tipologi analisis wacana.

Page 3: BAHAN 4.doc

Pandangan pertama diwakili kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis

wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama.

Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut

sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara

gramatikal) — Analisis Isi (kuantitatif).

Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan

analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan

makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud

tersembunyi dari “sang subyek” yang mengemukakan suatu pertanyaan.

Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara

dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. –Analisis Framing

(bingkai).

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam

paradigma ini menekankan pada “konstelasi kekuatan” yang terjadi pada proses

produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang

terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan

dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-

strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa

yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan

menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Analisis

wacana ini melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena memakai

perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana

kritis (critical discourse analysis/CDA). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana

dalam kategori pertama dan kedua (discourse analysis).

Analisis Wacana Kritis

Page 4: BAHAN 4.doc

Salah satu model analisis wacana kritis adalah pola analisis wacana kritis (critical

discourse analysis/CDA) versi Norman Fairclough.

Menurut Fairclough, CDA mengambil titik tekan pada pembongkaran ideologi atau

kekuatan-kekuatan dominan dan meyakini bahwa pengetahuan adalah kekuatan

(knowledge is power). Dalam konteks komunikasi, CDA secara khusus berusaha

melacak bagaimana pesan-pesan komunikasi mengukuhkan penekanan dan

pengekangan di masyarakat.

CDA memungkinkan seseorang melihat bagaimana pesan-pesan diorganisasikan,

digunakan, dan dipahami. Ia juga dapat melacak variasi cara yang digunakan

komunikator dalam upaya mencapai tujuan tertentu melalui pesan-pesan yang

disampaikan. Cara komunikator ini dapat dilihat misalnya, bagaimana proses-proses

simbolik memuat unsur kekuasaan, ideologi, dan lambang-lambang bahasa.

CDA ‘ala Fairclough didasarkan pada pertanyaan besar; “bagaimana menghubungkan

teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro?”. Ia mengkombinasikan

tradisi analisis tekstual—yang selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup—dengan

konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian terbesar Fairclough adalah “melihat

bahasa sebagai praktik kekuasaan yang membawa nilai ideologis tertentu”. Bahasa,

secara sosial dan historis adalah “bentuk tindakan” dalam hubungan dialektik dengan

struktur sosial. Oleh karena itu, CDA mengincar bagaimana bahasa terbentuk dan

dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu.

Memandang bahasa sebagai praktik sosial semacam ini, mengandung sejumlah

implikasi. Pertama, wacana adalah bentuk dari tindakan, artinya seseorang

menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan khususnya sebagai

representasi ketika melihat dunia / realitas. Kedua, model ini mengimplikasikan adanya

hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Di sini wacana terbagi oleh

Page 5: BAHAN 4.doc

struktur sosial, kelas, dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari

institusi tertentu seperti pada hukum, pendidikan, sistem, dan klasifikasi.

Bagi Fairclough, analisis teks saja tidaklah memadai bagi analisis wacana, dan juga

tidak bisa menjelaskan hubungan antara struktur dan proses kultural dan

kemasyarakatan. Untuk itu diperlukan perspektif interdisipliner yang menggabungkan

analisis tekstual dan sosial. Keuntungan yang bisa dipetik dari menggantungkan diri

pada tradisi makrososiologis adalah bahwa tradisi ini menganggap praktik sosial itu

dibentuk oleh struktur sosial dan hubungan kekuasaan, sementara masyarakat

kebanyakan tidaklah sadar atas proses tersebut. Kontribusi tradisi interpretatif adalah

memberikan pemahaman tentang bagaimana masyarakat secara aktif menciptakan

dunia yang terikat pada kaidah dalam praktik sehari-hari. Tindakan sosial dalam bentuk

diskriminasi dan subordinasi terhadap mustadl’afin sering tidak dipahami sebagai efek

idiologi dan pengetahuan tertentu.

Karena tujuan utama CDA adalah mengeksplorasi hubungan antara penggunaan

bahasa dan praktik sosial, maka fokus perhatiannya ditujukan pada “praktik

pewacanaan”, baik dalam melestarikan tatanan sosial maupun perubahan sosial. Setiap

peristiwa komunikatif berfungsi sebagai bentuk praktik sosial dalam mereproduksi atau

mendobrak tatanan wacana. Ini berarti, peristiwa komunikatif “membentuk” dan

“dibentuk” oleh praktik sosial yang lebih luas melalui hubungannya dengan tatanan

wacana. Singkatnya, teks hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan jaring-jaring

teks lain dan hubungannya dengan konteks sosial.

Metode Alalisis Wacana Kritis

Mengikuti Fairclough, analisis wacana kritis dilakukan melalui 3 (tiga) tahap, yaitu:

1. Analisis Teks

Page 6: BAHAN 4.doc

Teks dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, tata bahasa, semantik, dan

tata kalimat. Perlu juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata

atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian.

Semua elemen yang dianalisis tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah

berikut;Pertama, ideasional, yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin

ditampilkan dalam teks, yang umunya membawa muatan ideologis tertentu. Analisis ini

pada dasarnya ingin melihat bagaimana sesuatu ditampilkan dalam teks yang bisa jadi

membawa muatan ideologis tertentu, sebagai sistem pengetahuan dan makna. Kedua,

relasi, merujuk pada analisis bagaimana konstruksi hubungan di antara penulis dengan

pembaca, seperti apa teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau

tertutup. Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas penulis dan

pembaca, serta bagaimana wujud personal dan identitas ini hendak ditampilkan.

2. Analisis Praktik Kewacanaan (Discourse Practice)

Praktik kewacanaan merupakan dimensi yang berhubungan dengan “proses

produksi, konsumsi dan distribusi” sebuah teks. Sebuah teks pada dasarnya

dihasilkan lewatproses produksi teks yang berbeda, seperti bagaimana pola kerja,

bagan kerja, dan rutinitas dalam menghasilkan teks. Proses produksi yang satu

mungkin sekali mempunyai pola kerja dan kebiasaan yang berbeda dibandingkan

dengan yang lain. Produksi teks berita berbeda dengan ketika seorang penyair

menghasilkan teks puisi, atau pun catatan harian. Pidato kenegaraan presiden juga

pasti berbeda dengan obrolan di warung kopi, meskipun keduanya sama-sama memuat

suatu bentuk pesan dan ideologi tertentu. Proses konsumsi teks bisa jadi juga

berbeda dalam konteks sosial yang berbeda pula, seperti secara personal atau secara

kolektif. Sementara dalam proses distribusi teks, tergantung pada pola dan jenis teks

dan bagaimana sifat institusi yang melekat dalam teks tersebut.

Page 7: BAHAN 4.doc

Pemimpin politik, misalnya, dapat mendistribusikan teks tersebut dengan mengundang

wartawan dan melakukan konferensi pers untuk disebarkan secara luas kepada

khalayak. Hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan kelompok petani dan pekerja,

atau pun komunitas marginal lainnya, dalam mengorganisir pesan untuk disampaikan

kepada khalayak.

Dengan demikian, hubungan antara teks dan praktik sosial selalu diperantarai praktik

kewacanaan. Oleh sebab itu hanya melalui praktik kewacanaan saja (tempat orang

menggunakan bahasa untuk menghasilkan dan mengonsumsi teks), teks bisa

membentuk dan dibentuk oleh praktik sosial. Pada saat yang sama, teks juga

memengaruhi proses pemproduksian dan pengkonstruksian.

3.   Analisis Praktik Sosial (Sociocultural Practice)

Praktik sosial adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks

di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lokasi, atau posisi

penulis/pembicara dan media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya

dan politik tertentu.

Dalam semangat PMII, mengingat analisis wacana kritis sebagai bagian dari kerangka

teori kritis, tentu akan lebih tajam jika analisis didukung dengan teori sosial kritis

lainnya; seperti ‘Kritisisme‘nya Immanuel Kant, ‘Dekonstruksi’nya Jacques

Derrida,‘Dialektika’nya JWF. Hegel, ‘Strukturalisme’nya Ferdinand de Saussur, Claude

Levi Strauss dan Michel Foucault, ‘Kritik Wacana Agama’nya Muhammad Arkoun, ‘Kritik

Nalar Islam’nya Nashr Hamid Abu Zaid, ‘Postradisionalisme Islam’nya Abid Jabiri, ‘Kiri

Islam’nya Hassan Hanafi, ‘Islam Kosmopolitan’ Abdurrahman Wahid, atau pun teori

sosial progresif lainnya. Lebih jauh, betapa indah jika berkelindan dengan pemikiran

Jacques Lacan, Roland Barthes, Jacques Derrida, Simone de Beauvior, Antonio

Gramschi, Gayle Rubin, Judith Butler, Martin Haidegger, Hannah Arendt, dan para

filosof “kiri” lainnya.

Page 8: BAHAN 4.doc

Selamat berdialektika…!!!!

Makalah disajikan pada Pelatihan Kader Dasar (PKD),

atas prakarsa PMII Komisariat “Ratu Kalinyamat” INISNU Jepara 2009/2010 di Bawu

Jepara, 2-5 April 2010.

Sebagian dari pokok-pokok pikiran ini telah saya pergunakan dalam meneliti fenomena

waria

dan menuliskannya dalam buku AGAMA WARIA; Antagonisme Keagamaan Kaum

Transeksual.