Upload
matthew-gibbs
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS WACANA KRITIS[1]
Oleh : Cholis Hauqola [2]
Wacana
Wacana merupakan kata yang sering dipakai masyarakat dewasa ini. Banyak
pengertian yang merangkai kata wacana ini. Dalam studi linguistik, Wacana adalah
satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan
gramatikal tertinggi dan terbesar, melebihi kalimat.
Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka sebuah wacana dipastikan mengandung
konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam
wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun.
Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat
yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya.
Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi jika terdapat adanya keserasian hubungan
antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan “benar”.
Dalam konteks sosial, wacana adalah “cara” suatu objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas. John Stuart Mill (1994) memberikan pendapatnya bahwa wacana dapat dilihat dari level konseptual teoretis, konteks penggunaan, dan metode penjelasan.
Berdasarkan level konseptual teoretis, wacana diartikan sebagai domain dari semua pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata. Sedangkan menurut konteks penggunaannya, wacana merupakan sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori konseptual tertentu (sesuai situasi dan kondisi). Dan adapun menurut metode penjelasannya, wacana merupakan suatu praktik yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyataan.
Dari uraian di atas, jelaslah terlihat bahwa wacana merupakan suatu pernyataan atau rangkaian pernyataan yang dinyatakan secara lisan ataupun tulisan dan memiliki hubungan makna antarsatuan bahasanya serta terikat konteks. Dengan demikian, apapun bentuk pernyataan yang dipublikasikan melalui beragam media (dalam berbagai bentuk) yang memiliki makna dan terdapat konteks di dalamnya dapat dikatakan sebagai sebuah wacana.
Analisis Wacana
Dalam ranah sosiologi, wacana menunjuk terutama dalam hubungan konteks sosial dari
pemakaian bahasa, yang terikat oleh ruang dan waktu. Menurut Michael Foucault
(1972), wacana; kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement),
kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan (seperti palendrum,
prokem, bahasa “gaul” yang tergantung subjeknya), dan kadang kala sebagai praktik
regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan (seperti pernyataan sikap partai politik).
Terkait dengan kebutuhan analisis terhadap suatu wacana, Eriyanto (2006)
menegaskan bahwa Analisis Wacana dalam studi linguistik “hanyalah” merupakan
reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase,
atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut). Itu sebabnya,
analisis yang dilakukan hanya sebatas persoalan bahasa; apakah benar atau tidak.
Analisis wacana dalam makalah ini dimaksudkan sebagai kebalikan dari linguistik
formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan
gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Persoalan
mengenai “apa”, siapa, dalam konteks apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada
siapa, merupakan pertanyaan yang perlu diajukan di sini ketika melihat suatu wacana.
Barangkali analisis wacana di sini akan lebih mendekati ruang politik, yaitu analisis
wacana merupakan analisis yang memusatkan perhatian pada praktik pemakaian
bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari
penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka
aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.
Ragam Paradigma = Ragam Analisis
Corak suatu analisis wacana tergantung pada corak paradigma (cara pandang) yang
melekat pada sang analis. Ada tiga pandangan mengenai tipologi analisis wacana.
Pandangan pertama diwakili kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis
wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama.
Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut
sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara
gramatikal) — Analisis Isi (kuantitatif).
Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan
analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan
makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud
tersembunyi dari “sang subyek” yang mengemukakan suatu pertanyaan.
Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara
dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. –Analisis Framing
(bingkai).
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam
paradigma ini menekankan pada “konstelasi kekuatan” yang terjadi pada proses
produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang
terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan
dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-
strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa
yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan
menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Analisis
wacana ini melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena memakai
perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana
kritis (critical discourse analysis/CDA). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana
dalam kategori pertama dan kedua (discourse analysis).
Analisis Wacana Kritis
Salah satu model analisis wacana kritis adalah pola analisis wacana kritis (critical
discourse analysis/CDA) versi Norman Fairclough.
Menurut Fairclough, CDA mengambil titik tekan pada pembongkaran ideologi atau
kekuatan-kekuatan dominan dan meyakini bahwa pengetahuan adalah kekuatan
(knowledge is power). Dalam konteks komunikasi, CDA secara khusus berusaha
melacak bagaimana pesan-pesan komunikasi mengukuhkan penekanan dan
pengekangan di masyarakat.
CDA memungkinkan seseorang melihat bagaimana pesan-pesan diorganisasikan,
digunakan, dan dipahami. Ia juga dapat melacak variasi cara yang digunakan
komunikator dalam upaya mencapai tujuan tertentu melalui pesan-pesan yang
disampaikan. Cara komunikator ini dapat dilihat misalnya, bagaimana proses-proses
simbolik memuat unsur kekuasaan, ideologi, dan lambang-lambang bahasa.
CDA ‘ala Fairclough didasarkan pada pertanyaan besar; “bagaimana menghubungkan
teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro?”. Ia mengkombinasikan
tradisi analisis tekstual—yang selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup—dengan
konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian terbesar Fairclough adalah “melihat
bahasa sebagai praktik kekuasaan yang membawa nilai ideologis tertentu”. Bahasa,
secara sosial dan historis adalah “bentuk tindakan” dalam hubungan dialektik dengan
struktur sosial. Oleh karena itu, CDA mengincar bagaimana bahasa terbentuk dan
dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu.
Memandang bahasa sebagai praktik sosial semacam ini, mengandung sejumlah
implikasi. Pertama, wacana adalah bentuk dari tindakan, artinya seseorang
menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan khususnya sebagai
representasi ketika melihat dunia / realitas. Kedua, model ini mengimplikasikan adanya
hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Di sini wacana terbagi oleh
struktur sosial, kelas, dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari
institusi tertentu seperti pada hukum, pendidikan, sistem, dan klasifikasi.
Bagi Fairclough, analisis teks saja tidaklah memadai bagi analisis wacana, dan juga
tidak bisa menjelaskan hubungan antara struktur dan proses kultural dan
kemasyarakatan. Untuk itu diperlukan perspektif interdisipliner yang menggabungkan
analisis tekstual dan sosial. Keuntungan yang bisa dipetik dari menggantungkan diri
pada tradisi makrososiologis adalah bahwa tradisi ini menganggap praktik sosial itu
dibentuk oleh struktur sosial dan hubungan kekuasaan, sementara masyarakat
kebanyakan tidaklah sadar atas proses tersebut. Kontribusi tradisi interpretatif adalah
memberikan pemahaman tentang bagaimana masyarakat secara aktif menciptakan
dunia yang terikat pada kaidah dalam praktik sehari-hari. Tindakan sosial dalam bentuk
diskriminasi dan subordinasi terhadap mustadl’afin sering tidak dipahami sebagai efek
idiologi dan pengetahuan tertentu.
Karena tujuan utama CDA adalah mengeksplorasi hubungan antara penggunaan
bahasa dan praktik sosial, maka fokus perhatiannya ditujukan pada “praktik
pewacanaan”, baik dalam melestarikan tatanan sosial maupun perubahan sosial. Setiap
peristiwa komunikatif berfungsi sebagai bentuk praktik sosial dalam mereproduksi atau
mendobrak tatanan wacana. Ini berarti, peristiwa komunikatif “membentuk” dan
“dibentuk” oleh praktik sosial yang lebih luas melalui hubungannya dengan tatanan
wacana. Singkatnya, teks hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan jaring-jaring
teks lain dan hubungannya dengan konteks sosial.
Metode Alalisis Wacana Kritis
Mengikuti Fairclough, analisis wacana kritis dilakukan melalui 3 (tiga) tahap, yaitu:
1. Analisis Teks
Teks dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, tata bahasa, semantik, dan
tata kalimat. Perlu juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata
atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian.
Semua elemen yang dianalisis tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah
berikut;Pertama, ideasional, yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin
ditampilkan dalam teks, yang umunya membawa muatan ideologis tertentu. Analisis ini
pada dasarnya ingin melihat bagaimana sesuatu ditampilkan dalam teks yang bisa jadi
membawa muatan ideologis tertentu, sebagai sistem pengetahuan dan makna. Kedua,
relasi, merujuk pada analisis bagaimana konstruksi hubungan di antara penulis dengan
pembaca, seperti apa teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau
tertutup. Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas penulis dan
pembaca, serta bagaimana wujud personal dan identitas ini hendak ditampilkan.
2. Analisis Praktik Kewacanaan (Discourse Practice)
Praktik kewacanaan merupakan dimensi yang berhubungan dengan “proses
produksi, konsumsi dan distribusi” sebuah teks. Sebuah teks pada dasarnya
dihasilkan lewatproses produksi teks yang berbeda, seperti bagaimana pola kerja,
bagan kerja, dan rutinitas dalam menghasilkan teks. Proses produksi yang satu
mungkin sekali mempunyai pola kerja dan kebiasaan yang berbeda dibandingkan
dengan yang lain. Produksi teks berita berbeda dengan ketika seorang penyair
menghasilkan teks puisi, atau pun catatan harian. Pidato kenegaraan presiden juga
pasti berbeda dengan obrolan di warung kopi, meskipun keduanya sama-sama memuat
suatu bentuk pesan dan ideologi tertentu. Proses konsumsi teks bisa jadi juga
berbeda dalam konteks sosial yang berbeda pula, seperti secara personal atau secara
kolektif. Sementara dalam proses distribusi teks, tergantung pada pola dan jenis teks
dan bagaimana sifat institusi yang melekat dalam teks tersebut.
Pemimpin politik, misalnya, dapat mendistribusikan teks tersebut dengan mengundang
wartawan dan melakukan konferensi pers untuk disebarkan secara luas kepada
khalayak. Hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan kelompok petani dan pekerja,
atau pun komunitas marginal lainnya, dalam mengorganisir pesan untuk disampaikan
kepada khalayak.
Dengan demikian, hubungan antara teks dan praktik sosial selalu diperantarai praktik
kewacanaan. Oleh sebab itu hanya melalui praktik kewacanaan saja (tempat orang
menggunakan bahasa untuk menghasilkan dan mengonsumsi teks), teks bisa
membentuk dan dibentuk oleh praktik sosial. Pada saat yang sama, teks juga
memengaruhi proses pemproduksian dan pengkonstruksian.
3. Analisis Praktik Sosial (Sociocultural Practice)
Praktik sosial adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks
di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lokasi, atau posisi
penulis/pembicara dan media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya
dan politik tertentu.
Dalam semangat PMII, mengingat analisis wacana kritis sebagai bagian dari kerangka
teori kritis, tentu akan lebih tajam jika analisis didukung dengan teori sosial kritis
lainnya; seperti ‘Kritisisme‘nya Immanuel Kant, ‘Dekonstruksi’nya Jacques
Derrida,‘Dialektika’nya JWF. Hegel, ‘Strukturalisme’nya Ferdinand de Saussur, Claude
Levi Strauss dan Michel Foucault, ‘Kritik Wacana Agama’nya Muhammad Arkoun, ‘Kritik
Nalar Islam’nya Nashr Hamid Abu Zaid, ‘Postradisionalisme Islam’nya Abid Jabiri, ‘Kiri
Islam’nya Hassan Hanafi, ‘Islam Kosmopolitan’ Abdurrahman Wahid, atau pun teori
sosial progresif lainnya. Lebih jauh, betapa indah jika berkelindan dengan pemikiran
Jacques Lacan, Roland Barthes, Jacques Derrida, Simone de Beauvior, Antonio
Gramschi, Gayle Rubin, Judith Butler, Martin Haidegger, Hannah Arendt, dan para
filosof “kiri” lainnya.
Selamat berdialektika…!!!!
Makalah disajikan pada Pelatihan Kader Dasar (PKD),
atas prakarsa PMII Komisariat “Ratu Kalinyamat” INISNU Jepara 2009/2010 di Bawu
Jepara, 2-5 April 2010.
Sebagian dari pokok-pokok pikiran ini telah saya pergunakan dalam meneliti fenomena
waria
dan menuliskannya dalam buku AGAMA WARIA; Antagonisme Keagamaan Kaum
Transeksual.