Upload
fernandez-andes
View
77
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ini bahan
Citation preview
STUDI LABORATORIUM KETAHANAN
SURFAKTAN MES OLEIN TERHADAP PENAMBAHAN
BAKTERI CAMPURAN SUMUR MINYAK BUMI
SKRIPSI
FEBBY ARIAWIYANA
F34060918
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
LABORATORY STUDY ON MIXED BACTERIA IN AVAILABILITY IN
OIL WELL TO SURFACTANT MES OLEIN RESISTANCE
1Febby Ariawiyana,
2Erliza Hambali and
3Abdul Haris
1Departement of Agroindustrial Technology, Faculty Agrotechnology, Bogor Agricultural University
1,2 Surfactant and Bioenergy Research Centre, Bogor
3PPTMGB Lemigas, Jakarta
Phone : +62 85695502675, e-mail : [email protected]
ABSTRACT
The potential surfactant that can be produced from Palm Olein is surfactant of Methyl Ester
Sulfonates (MES). MES can be categorized as an anionic surfactant. Methyl Ester Sulfonic Acid
(MESA) is intermediate product of MES which can be made by sulfonation of fatty acid methyl ester
olein. Production of MESA using SO3 firstly carried out continuously in falling film reactor that rapid
formation between SO3 and ester group. In addition to produce MES by added NaOH 50% into
MESA. This research was aimed to inform uses the resistance of MES by added mixed bacteria
addition on Interfacial Tensions (IFT) oil water value. Common found bacteria on oil well which is
used in this research were : Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus
pantothenticus, and Streptococus sp. Those bacteria were mixed with Tanjungs water formation as
media cultivation. Concentration surfactant mixed bacteria suspension consist of 0.1%, 0.3%, 0.5%,
1.0% and incubation time 1,3,5,7 days were applied in this research. Incubation and analysis IFT was
done in room conditon and temperature. Analysis of variance (=0.05) showed that mixed bacteria
addition on surfactant concentraion and incubation time gave significant effect to increase IFT.
Keyword :surfactant MES, resistance, bacteria mixed, IFT
mailto:[email protected]
Febby Ariawiyana. F34060918. Studi Laboratorium Ketahanan Surfaktan MES Olein terhadap
Penambahan Bakteri Campuran Sumur Minyak Bumi. Dibawah Bimbingan Erliza Hambali dan
Abdul Harris. 2011
RINGKASAN
Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) dan
tegangan antar muka antara zat yang berbeda polaritasnya. Pemakaian surfaktan antara lain untuk
aplikasi pencucian dan pembersihan (washing and cleaning applications), produk pangan,
pertambangan, cat dan pelapis, kertas, tekstil, serta produk kosmetika dan produk perawatan diri
(personal care products). Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik dari
minyak olein sawit yang berpotensi menggantikan surfaktan berbasis minyak bumi (petroleum
sulfonat) yang selama ini digunakan. Hal ini terkait dengan kelebihan yang dimiliki surfaktan MES,
diantaranya bersifat terbarukan, lebih ramah lingkungan, secara alami mudah didegradasi dan
memiliki sifat deterjensi yang baik walaupun digunakan pada air dengan tingkat kesadahan yang
cukup tinggi (Matheson 1996).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi awal ketahanan surfaktan terhadap
adanya campuran bakteri yang umum dijumpai pada lingkungan sumur minyak bumi. Penelitian ini
diawali dengan pembuatan konversi minyak sawit olein menjadi metil ester (biodiesel) olein melalui
proses transesterifikasi. Kemudian produksi surfaktan Metil Ester Sulfonat Acid (MESA) dilakukan
melalui proses sulfonasi metil ester dengan gas SO3 menggunakan Single Tube Film Reactor (STFR)
pada suhu input 100oC waktu sampling 360 menit. Kemudian dilakukann aging pada suhu 80
oC dan
waktu 60 menit. MESA yang terbentuk dilakukan netralisasi dengan NaOH 50% membentuk MES.
MES yang terbentuk dilakukan uji pendahuluan tegangan antar muka (Interfacial Tension) dengan
Tensiometer model TX-500C pada konsentrasi 0.3% memberikan hasil terbaik yaitu sebesar 6x10-3
dyne/cm.
Bakteri yang digunakan merupakan galur campuran yang terdiri atas bakteri yang umum
ditemukan di sumur minyak bumi yakni: Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus
pantothenticus, dan Streptococus sp. Bakteri dicampurkan kedalam air formasi Tanjung sebagai media
untuk pertumbuhan. Kurva pertumbuhan dilakukan pada bakteri campuran tersebut memperlihatkan
waktu puncak tumbuh pada selang waktu 21-26 jam (fase log) kemudian setelahnya mengalami fase
stasioner dan kematian.
Studi ketahanan surfaktan MES olein dilakukan menggunakan faktor konsentrasi surfaktan
0.1%, 0.3%, 0.5%, dan 1.0% serta lama inkubasi 1,3,5, dan 7 hari. Lama inkubasi tersebut
menggambarkan kondisi surfaktan selama berada di dalam sumur minyak pada proses injeksi
surfaktan dalam aplikasi Enhaced Oil Recovery (EOR). Analisis ragam penambahan bakteri campuran
terhadap pengaruh faktor konsentrasi dan masa inkubasi pada tingkat kepercayaan 95% (=0,05)
menunjukkan faktor konsentrasi surfaktan dan lama inkubasi memberikan efek signifikan terhadap
kenaikan nilai IFT.
Kondisi surfaktan bakteri campuran terhadap blanko (tanpa penambahan bakteri) pada hari ke-
7 masa inkubasi memperlihatkan kenaikan IFT tertinggi pada perlakuan konsentrasi 0.3% dengan
kenaikan 0.765 deyne/cm (1,327%). Sedangkan pada konsentrasi 0.1%, 0.5%, dan 1.0% berturut
mengalami kenaikan 1.150 dyne/cm (1,197%), 0.070 dyne/cm (209%), dan 0.023 dyne/cm (74%).
STUDI LABORATORIUM KETAHANAN
SURFAKTAN MES OLEIN TERHADAP PENAMBAHAN BAKTERI
CAMPURAN SUMUR MINYAK BUMI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
FEBBY ARIAWIYANA
F34060918
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi : Studi Laboratorium Ketahanan Surfaktan MES Olein
terhadap Penambahan Bakteri Campuran Sumur Minyak
Bumi
Nama : Febby Ariawiyana
NIM : F34060918
Menyetujui,
Pembimbing I,
( Prof. Dr. Erliza Hambali )
NIP. 19620821 198703 2 003
Pembimbing II,
( Drs. Abdul Haris, MSi )
NIP. 100009798
Mengetahui;
Ketua Departemen,
(Prof. Dr.Nastiti Siswi Indrasti)
NIP. 19621009 198903 2 001
Tanggal lulus :
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Studi Laboratorium
Ketahanan Surfaktan MES Olein terhadap Penambahan Bakteri Campuran Sumur Minyak
Bumi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum
diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Yang membuat pernyataan
Febby Ariawiyana
F34060918
ii
Hak cipta milik Febby Ariawiyana, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
iii
BIODATA RINGKAS PENULIS
Febby Ariawiyana dilahirkan di Jakarta pada 3 februari 1988. Penulis
merupakan anak pertama dari empat bersaudara, putra pasangan Suryana dan
Widiasih. Penulis menamatkan Sekolah dasar di SDN Cibayana, Tangerang
pada tahun 2000. Kemudian sekolah lanjutan pada tahun 2003 di SLTPN 1
Tenjo, Bogor. Dan pada tahun 2006 di SMAN 1 Cisauk (SMAN 2 Kota
Tangerang Selatan). Penulis berhasil masuk Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2006. Dalam
kegiatan Akademik penulis pernah menjadi Asisiten MK. Analisis Bahan dan
Produk Agroindustri (ABPA), Teknologi Minyak Lemak, dan Oleokimia dan
Pendidikan Agama Islam (PAI). Selain menjalankan kegiatan akademik
penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Diantaranya
pernah menjadi Anggota Komisi-A Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Tingkat Persiapan Bersama
(TPB) (2006-2007). Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian (HIMALOGIN) sebagai
wakil ketua (2008), ketua Departemen Industri (2009) dan Badan Pengawas (2010). Penulis juga
berkesempatan menjadi peserta beasiswa Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis
(PPSDMS)-Nurul Fikri (2008-2010) dan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) DPKHA-IPB
(2010). Pada tahun 2010 penulis lolos seleksi proposal dalam Program Kreatifitas Mahasiswaa (PKM)
untuk bidang kewirausahaan dan Pengabdian Masyarakat oleh DIKTI dan berkesempatan mengikuti
PIMNAS XXIII di Denpasar, Bali. Penulis melakukan Praktik Lapang pada tahun 2009 di PT. Buana
Wiralestari Mas (Sinar Mas Group), merupakan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit menjadi Crude
Palm Oil (CPO) di Kab. Kampar, Riau.
iv
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur sudah sepantasnya penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan begitu banyak limpahan karunia dalam setiap langkah kehidupan ini. Penulis juga
bersyukur karena telah diberikan kekuatan dan kemudahan dalam melaksanakan tugas akhir penelitian
sampai terselesaikannya skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan perhagaan dan
ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Erliza Hambali selaku dosen pembimbing utama dan atas izin untuk bergabung di
Surfactant and Bioenergy Research Centre (SBRC) selama masa penelitian ini.
2. Drs. Abdul Harris, MSi untuk kesempatan melakukan penelitian di Lemigas dan untuk saran
dan bantuan sebagai pembimbing pendamping.
3. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen penguji untuk saran dan evaluasi.
4. Staf dan laboran SBRC: Mas Anas, Mas Slamet, Mas Gun, Pak Ratno, Pak Heri, Mas Saeful,
Mas Otto, Mas Feri, dan Mas Mulyanto di PT. Mahkota Indonesia yang telah membantu
dalam pembuatan MESA.
5. Staf di LEMIGAS : Ibu Tuti, bapak Oci, bapak Oni, Ibu Eva untuk kebersamaan singkat
dalam penyiapan teknis mikrobiologi dasar.
6. Rekan satu bimbingan: Nur Hidayat, Dini, dan Rere atas motivasi, pembelajaran dan
kerjasamanya.
7. Kakak-kakak S2 TIP IPB: Mba Susi, Mba Reny, Mba Ira, Mba Yeni, Bu Dona, dan Mas
Encep untuk berbagi ilmu dan pengalaman.
8. Saudaraku PPSDMS Regional 5 Bogor angkatan 4 : Sobari, Randi, Faisal, Achmad, Ade,
Holil, Rahman, Ismeri, Dimas dan masih banyak yang belum tersebutkan. Terimakasih untuk
kekeluargaan yang luarbiasa.
9. Rekan-rekan TIN 43 untuk kekompakan, kebersamaan, dan kekerabatan selama ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan dan penyelesaian
skripsi ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan bagi perbaikan skripsi
ini. Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan
bermanfaat untuk siapapun yang membutuhkannya.
Bogor, Maret 2011
Febby Ariawiyana
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................................. ................ v
DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................. viii
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................................... 1
1.2 TUJUAN ............................................................................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 OLEIN SAWIT ............................................................................................................. ..... 3
2.2 SURFAKTAN..................................................................................................................... 4
2.3 METIL ESTER SULFONAT ........................................................................................... 5
2.4 TEGANGAN ANTAR MUKA .......................................................................................... 7
2.5 AIR FORMASI TANJUNG ............................................................................................... 9
2.6 BAKTERI DI LINGKUNGAN SUMUR MINYAK ......................................................... 10
2.7 PERTUMBUHAN MIKROORGANISME ....................................................................... 11
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 ALAT DAN BAHAN......................................................................................................... 13
3.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN .......................................................................... 13
3.3 METODE PENELITIAN ................................................................................................... 13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 SIFAT FISIKOKIMIA OLEIN SAWIT ............................................................................ 17
4.2 SIFAT FISIKOKIMIA METIL ESTER............................................................................. 18
4.3 SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MES ..................................................................... 19
4.4 PERTUMBUHAN BAKTERI CAMPURAN ................................................................... 21
4.5 PENGUKURAN NILAI IFT SURFAKTAN .................................................................... 24
4.6 KETAHANAN SURFAKTAN TERHADAP BAKTERI CAMPURAN.......................... 28
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN ....................................................................................................................... 31
5.2 SARAN ................................................................................................................... ........... 31
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................
32
LAMPIRAN ................................................................................................................................... 35
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi asam lemak produk sawit ............................................................................... 3
Tabel 2. Sifat fisikokimia olein sawit ............................................................................................. 17
Tabel 3. Sifat fisikokimia metil ester olein ..................................................................................... 18
Tabel 4. Sifat fisikokimia surfaktan MES olein ............................................................................. 20
Tabel 4. Hitungan cawan populasi bakteri campuran...................................................................... 23
Tabel 5. Nilai IFT pada beberapa konsentrasi ................................................................................ 28
Tabel 6. Perbandingan nilai IFT surfaktan terhadap blanko ........................................................... 29
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Tampilan orientasi surfaktan MES pada air ................................................................. 5
Gambar 2. Struktur MES ...................................................................................................... .......... 6
Gambar 3. Reaksi kimia produksi MES ......................................................................................... 7
Gambar 4. Lokasi sumur minyak Tanjung ..................................................................................... 9
Gambar 5. Kurva pertumbuhan bakteri .......................................................................................... 12
Gambar 6. Diagram alir penelitian ........................................................................................... ...... 16
Gambar 7. Bakteri campuran ......................................................................................................... 21
Gambar 8. Kurva pertumbuhan kultur bakteri campuran ............................................................... 22
Gambar 9. Hitungan cawan tuang PCA ........................................................................................ 23
Gambar 10. Pola pertumbuhan bakteri (nilai log) .......................................................................... 24
Gambar 11. Emulsi surfaktan MES di dalam air formasi Tanjung ................................................ 25
Gambar 12. Foto Tensiometer dan Densitometer ........................................................................... 25
Gambar 13. Foto surfaktan pada Tensiometer................................................................................. 26
Gambar 14. Perubahan nilai IFT akibat aktifitas bakteri ................................................................ 27
Gambar 15. Kenaikan IFT surfaktan dibandingkan blanko ............................................................ 30
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur analisa minyak olein .................................................................................. 36
Lampiran 2. Prosedur analisa metil ester olein ............................................................................... 37
Lampiran 3. Prosedur analisa karakteristik surfaktan MES ........................................................... 40
Lampiran 4. Karakteristik air formasi Tanjung .............................................................................. 43
Lampiran 5. Prosedur uji air formasi ........................................................................................ ...... 43
Lampiran 6. Prosedur kuantifikasi bakteri ...................................................................................... 39
Lampiran 7. Kurva pertumbuhan bakteri (turbidimetri) ........................................................... ...... 46
Lampiran 8a. Hasil analisis pengaruh konsentrasi dan waktu inkubasi terhadap nilai IFT
surfaktan ..................................................................................................................
47
Lampiran 8b. Hasil analisis uji lanjut interaksi .............................................................................. 50
Lampiran 9. Hasil pengukuran surfaktan MES pada berbagai perlakuan ...................................... 53
1
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan aktif yang mampu menurunkan
tegangan permukaan. Surfaktan dapat menurunkan tegangan antar muka akibat memiliki
dua gugus dalam satu molekul yaitu gugus hidrofilik dan hidrofobik. Adanya dua gugus
yang berbeda tersebut menyebabkan surfaktan mampu mencampur dua zat yang berbeda
kepolarannya, seperti minyak dan air. Surfaktan juga mampu meningkatkan kelarutan
suatu zat dalam larutan.
Berdasarkan gugus hidrofiliknya surfaktan dapat dikelompokkan menjadi empat,
yaitu: surfaktan anionik, kationik, amfoterik, dan non-ionik. Matheson (1996) menyebutkan
kelompok surfaktan terbanyak yang diproduksi dan diguna kan oleh berbagai industri adalah
surfaktan anionik. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu Alkilbenzen Sulfonat Linear
(LAS), Alkohol Sulfat (AS), Alkohol Eter Sulfat (AES), Alfa Olefin Sulfonat (AOS), parafin
(secondary alkane sulfonate, SAS), dan Metil Ester Sulfonat (MES). Jenis-jenis surfaktan
tersebut diperoleh melalui tahapan sulfonasi atau sulfatasi.
Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan salah satu jenis surfaktan anionik yang
prospektif untuk dikembangkan. Memiliki beberapa keunggulan, yaitu berasal dari sumber
terbarukan (renewable resources), lebih bersih dan ramah lingkungan, secara alami mudah
terdegradasi (biodegradable) dan memiliki sifat deterjensi yang baik walaupun digunakan pada
air dengan tingkat kesadahan yang cukup tinggi (Matheson 1996). MES diaplikasikan dalam
banyak industri, mulai dari produk perawatan tubuh dan kebersihan hingga sebagai oil well
stimulation agent dan flooding pada industri perminyakan.
Bahan baku MES adalah minyak nabati, sehingga MES merupakan surfaktan yang
dapat diperbarui dan lebih ramah lingkungan. Proses produksi surfaktan MES dapat
dilakukan dengan menggunakan agen pensulfonasi diantaranya H2SO4, NaHSO3, oleum, dan
gas SO3. Watkins (2001) menyebutkan kelapa sawit merupakan salah satu jenis minyak yang
baik digunakan sebagai bahan baku pembuatan surfaktan MES. Asam lemak dalam kelapa
sawit mengandung C16 dan C18 dalam bentuk asam palmitat, asam stearat, dan asam oleat yang
mempunyai sifat daya deterjensi yang sangat baik. Maka, pembuatan surfaktan dengan bahan
baku minyak sawit potensial untuk dikembangkan. Selain meningkatkan nilai tambah dari
industri minyak sawit.
Aplikasi surfaktan MES yang akan dikembangkan adalah sebagai bahan pembantu
dalam peningkatan rekoveri minyak bumi di dalam sumur tua minyak bumi yang banyak
tersebar di Indonesia. Andhika (2005) meneliti pengaruh penambahan bakteri aerob dan
anaerob pada surfaktan MES Palm Kernel Oil (PKO) dengan reaktan NaHSO3 yang akan
diformulasikan sebagai oil well stimulation agent. Hasilnya menunjukkan terjadi peningkatan
nilai tegangan antar permukaan minyak-air selama lima hari masa inkubasi.
Kontaminasi mikroorganisme dapat terjadi ketika MES diaplikasikan dalam stimulasi
kimiawi, karena di dalam sumur minyak bumi juga mengandung bakteri yang mampu
menguraikan surfaktan MES terutama dari bahan nabati. Akibatnya, kemampuan surfaktan
MES dalam mengurangi tegangan antar permukaan antara minyak bumi dan batuan akan
berkurang.
Ketahanan surfaktan MES dalam skala laboratorium merupakan salah satu pengujian
penting, sebelum benar-benar diaplikasikan dalam industri perminyakan sebagai bahan
peningkat recovery minyak bumi pada sumur tua. Dengan melihat tegangan antar muka
(interfacial tension) minyak air , sebagai parameter utama.
2
1.2 TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi awal/pendahuluan untuk
menguji ketahanan surfaktan MES berbahan baku olein sawit dalam air formasi Tanjung. Pada
kondisi dan suhu ruang terhadap adanya penambahan bakteri campuran yang sering dijumpai
di lingkungan sumur minyak bumi.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 OLEIN SAWIT
Tanaman kelapa sawit (Elais guinensis JACQ) secara umum tumbuh dengan usia rata-
rata 2025 tahun. Pada tiga tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, hal ini
dikarenakan kelapa sawit tersebut belum menghasilkan buah. Kelapa sawit mulai berbuah pada
usia empat sampai enam tahun. Pada usia tujuh sampai sepuluh tahun disebut sebagi periode
matang (the mature periode), yaitu pada periode tersebut mulai menghasilkan buah tandan
segar (fresh fruit bunch). Tanaman kelapa sawit pada usia sebelas sampai dua puluh tahun
mulai mengalami penurunan produksi buah tandan segar. Daerah penanaman tanaman sawit
utama di Indonesia adalah Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Lampung, Aceh, dan
Kalimantan.
Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang berlainan sifatnya, yaitu minyak
yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari biji (kernel). Minyak sawit
yang dihasilkan dari sabut dikenal dengan crude palm oil (CPO) dan dari inti (biji) disebut
minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO).
Minyak sawit kasar (CPO) merupakan produk tingkat pertama yang dapat memberikan
nilai tambah sekitar 30 % dari nilai tambah buah segar. Pemisahan asam lemak penyusun
trigliserida pada minyak sawit dapat dilakukan dengan menggunakan proses fraksinasi. Secara
umum fraksinasi minyak sawit dapat menghasilkan 73 % olein, 21 % stearin, 5 % Palm Fatty
Acid Distillate (PFAD), dan 0.5 % limbah. Olein sawit merupakan fase cair yang dihasilkan
dari proses fraksinasi minyak sawit setelah melalui pemurnian. Karakteristik fisik olein sawit
bersifat cair pada suhu ruang, berbeda dengan minyak sawit (CPO) yang bersifat semi padat.
Komposisi asam lemak beberapa produk sawit disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit
Asam lemak Jenis Bahan
CPOa)
PKOb)
Oleinc)
Stearinc)
Laurat (C12:0)
4
(1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan
lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakstabilan, terlalu
besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air.
Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan dalam air. Demikian juga sebaliknya,
apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif
permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki
keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan
adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon.
Olein sawit baik digunakan sebagai bahan baku surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES),
hal ini dikarenakan olein sawit dominan mengandung asam lemak C16 dan C18 sebesar 40.7
43.9 % (Hui 1996). Metil ester dari asam lemak tidak jenuh juga mudah disulfonasi oleh gas
SO3, sehingga reaksi sulfonasi pada olein sawit akan terjadi pada ikatan C- juga terjadi pada
ikatan rangkap. Olein merupakan fraksi cair dari minyak sawit, berwarna kuning sampai jingga
dan diperoleh dari hasil fraksinasi minyak dari daging buah sawit. Olein merupakan trigliserida
yang bertitik cair rendah, serta mengandung asam oleat dengan kadar yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan stearin (fraksi padat dari minyak Sawit)
2.2 SURFAKTAN
Surfaktan adalah suatu zat yang bersifat aktif permukaan yang dapat menurunkan
tegangan antarmuka (Interfacial Tension, IFT) minyak air. Surfaktan memiliki kecenderungan
untuk menjadikan zat terlarut dan pelarutnya terkonsentrasi pada bidang permukaan. Sifat-sifat
surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka,
meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi
(misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke
dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau
menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi. (Rieger 1985).
Menurut Flider (2001), surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi ke dalam empat
kelompok dasar, yaitu : (a) berbasis minyak-lemak, seperti monogliserida, digliserida,
poligliserol ester, fatty alkohol sulfat, fatty alkohol etoksilat, MES, dietanolamida, sukrosa
ester, dan sebagainya, (b) berbasis karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan N-metil
glukamida, (c) ekstrak bahan alami, seperti lesitin dan saponin, serta (d) biosurfaktan yang
diproduksi oleh mikroorganisme, seperti rhamnolipida, sophorolipida, lipopeptida,
threhaloslipida, dan sebagainya.
Surfaktan berbasis minyak-lemak (oleokimia) merupakan kelompok surfaktan berbasis
bahan alami yang paling banyak dihasilkan. Minyak dan lemak yang biasanya digunakan untuk
memproduksi surfaktan diantaranya yaitu tallow, tall oil, minyak biji bunga matahari, minyak
kedelai, minyak kelapa dan minyak sawit. Umumnya bahan baku minyak dan lemak tersebut
harus diproses terlebih dahulu menjadi senyawa oleokimia dasar sebelum digunakan untuk
memproduksi surfaktan. Oleokimia dasar yang dihasilkan dari minyak dan lemak adalah asam
lemak, gliserol, metil ester, dan fatty alkohol. Kebutuhan untuk memproses minyak dan lemak
terlebih dahulu ditentukan sebelum memproduksi surfaktan tersebut berpengaruh nyata
terhadap biaya produksi produk akhir (Flider 2001).
Surfaktan dibagi menjadi empat bagian penting dan digunakan secara meluas pada
hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah surfaktan anionik,
5
surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik. Surfaktan anionik adalah
molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active).
Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus
sulfat atau sulfonat.
Aplikasi surfaktan pada industri sangat luas, contohnya yaitu sebagai bahan utama pada
industri deterjen dan pembersih lainnya, bahan pembusaan dan emulsifier pada industri
kosmetik dan farmasi, bahan emulsifier pada industri cat, serta bahan emulsifier dan sanitasi
pada industri pangan (Hui 1996).
Menurut Swern (1979), kemampuan surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi
tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik). Menurut
Matheson (1996), kelompok surfaktan terbesar yang diproduksi dan digunakan oleh berbagai
industri (dalam jumlah) adalah surfaktan anionik. Surfaktan anionik adalah bahan aktif
permukaan yang bagian hidrofobiknya berhubungan dengan gugus anion (ion negatif).
Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini
yang terdiri atas bagian kepala dan ekor (Gambar 1). Bagian kepala bersifat hidrofilik
(suka air), merupakan bagian yang polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik
(benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation
atau nonion. Sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon (Hui 1996;
Hasenhuettl 1997).
Gambar 1. Tampilan orientasi surfaktan pada air (Zen, 2009)
Dalam media cair, molekul surfaktan anionik terpecah menjadi gugus kation yang
bermuatan positif dan gugus anion yang bermuatan negatif. Gugus anion merupakan pembawa
sifat aktif permukaan pada surfaktan anionik. Contoh khas surfaktan anionik adalah alkohol
sulfat dan ester sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu Alkilbenzen Sulfonat Linear
(LAS), Alkohol Sulfat (AS), Alkohol Eter Sulfat (AES), Alfa Olefin Sulfonat (AOS), parafin
(secondary alkane sulfonate, SAS), dan Metil Ester Sulfonat (MES).
2.3 METIL ESTER SULFONAT (MES)
Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu
surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan
(surface-active). MES merupakan golongan baru dalam kelompok surfaktan anionik telah
mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pencuci dan pembersih (washing
and cleaning products) (Hui 1996; Matheson 1996).
Ekor nonpolar
Kepala Polar
Larutan air
6
Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan agen
sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), pereaksi yang dapat dipakai pada
proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H2SO4), oleum (larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur
trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik,
beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi,
konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, lama proses netralisasi, jenis dan konsentrasi
katalis, pH dan suhu netralisasi (Foster 1996). Struktur kimia Metil Ester sulfonat (MES) pada
Gambar 2 sebagai berikut :
R CH C
O
SO3Na
OCH3
Gambar 2. Struktur MES (Watkins, 2001)
Surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara
metil ester dan alkohol lemak (fatty alcohol). Proses-proses yang dapat diterapkan untuk
menghasilkan surfaktan diantaranya yaitu asetilasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, amidasi,
sukrolisis, dan saponifikasi. Produksi surfaktan dengan bahan baku metil ester dapat berasal
dari minyak kelapa, stearin sawit, kernel sawit (PKO), dan lemak hewan (Mac Arthur dan
Sheats 2002).
Menurut Matheson (1996), Metil Ester Sulfonat (MES) memperlihatkan karakteristik
dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang
tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan
tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability).
Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan
diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan
petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang
lebih baik terhadap keberadaan kalsium.
Hasil pengujian di laboratorium memperlihatkan bahwa laju biodegradasi MES serupa
dengan LAS dan sabun, namun lebih cepat dibandingkan LAS. Hal tersebut menyebabkan
Metil Ester Sulfonat pada masa mendatang diindikasikan akan menjadi surfaktan anionik yang
paling penting (Watkins 2001).
Mekanisme pembuatan Metil Ester Sulfonat adalah dengan mereaksikan Metil Ester
(biodiesel) dengan agen pensolfunasi gas SO3 menghasilkan Metil Ester Sulfonat Acid
(MESA). Dengan penambahan basa kuat (NaOH) terhadap MESA dihasilkan MES. Reaksi
produksi MES seperti disajikan pada Gambar 3
7
Gambar 3. Reaksi kimia produksi metil ester sulfonat (Susi, 2010)
Menurut Watkins (2001) jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku
`pembuatan Metil Ester Sulfonat (MES) adalah kelompok minyak nabati seperti minyak
kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, atau tallow (lemak
sapi). Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan
gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi
ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu
kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di
dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen
tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus
hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak.
2.4 TEGANGAN ANTAR MUKA (Interacial Tension/IFT)
Tegangan permukaan atau energi bebas permukaan didefinisikan sebagai usaha yang
dibutuhkan untuk memperluas permukaan cairan per satuan luas. Sedangkan tegangan
antarmuka adalah pengukuran kekuatan sebagai usaha yang diperlukan untuk memperluas
antar muka antara dua cairan immisible per satuan luas (Shaw 1980). Tegangan antarmuka
adalah energi yang bergerak melintang sepanjang garis permukaan. Tegangan permukaan
merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul
karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase Dalam satuan SI (Standard
International) besaran tegangan antarmuka dinyatakan dengan mN/m atau dyne/cm.
Metil Ester
Metil Ester
Sulfonat
Metil Ester
Sulfonat Acid
Proses
Sulfonasi
Bleaching
8
Turunnya tegangan antarmuka akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya
meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara
molekul-molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi adalah gaya antar molekul yang bekerja
diantara molekul-molekul yang tidak sejenis.
Adapun mekanisme dari penurunan tegangan antarmuka minyak dengan air akibat
penginjeksian larutan surfaktan adalah sebagai berikut: surfaktan organik memiliki gugus dasar
hidrokarbon (R) dan berikatan dengan senyawa anorganik (gugus sulfonat) SO3. Rumus
kimianya adalah R-SO3H. Surfaktan jenis ini dalam air akan terionisasi menjadi SO3-
dan H+.
Bila ion molekul RSO3- kontak dengan senyawa yang bersifat nonpolar (minyak), maka gugus
R akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi (surfaktanminyak), sedangkan pada molekul
surfaktan ini sendiri akan bekerja gaya kohesi antara RSO3-, pengaruh gaya adhesi ini akan
memgurangi harga resultan gaya kohesi minyak itu sendiri, yang mengakibatkan gaya
antarmuka minyak dan air akan menurun (Affiati 1992). Saat ini diyakini jika IFT dapat
diturunkan menjadi 10-3
dyne/cm, maka fraksi minyak dalam pori-pori batuan dapat di
imobilisasi lebih baik (Baviere et al 1992).
Suatu surfaktan tersusun atas gugus hidrofobik dan hidrofilik pada molekulnya dan
memiliki kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara dua fase yang berbeda derajat
polaritasnya atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka
dua cairan yang berbeda fase. Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya tegangan
permukaan kedua cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan turunnya tegangan
antar muka (Georgiou et al. 1992).
Efek dari surfaktan pada fenomena antar muka merupakan fungsi dari konsentrasi
surfaktan pada antar muka. Efektifitas surfaktan pada adsorpsi antar muka didefinisikan
sebagai konsentrasi maksimum dimana surfaktan dapat tertahan pada antar muka. Efektifitas
Surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak air dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan kosurfaktan yang
digunakan, kadar garam larutan, dan adsorpsi larutan surfaktan (Menursita 2002).
Menurut Shaw (1980), tegangan antarmuka merupakan faktor penting pada proses
enchanced oil recovery (EOR) dalam bidang pertambangan. Surfaktan dapat menurunkan
tegangan antarmuka antara fluida dengan fluida, fluida dengan batuan, dan fluida dengan
hidrokarbon. Di samping itu, surfaktan dapat memecah tegangan permukaan dari emulsi
minyak yang terikat dengan batuan (emulsion blocks), mengurangi terjadinya water blocking
dan mengubah sifat kebasahan (wettability) batuan menjadi suka air (water wet). Dalam
kondisi batuan yang bersifat water wet, minyak menjadi fasa yang mudah mengalir dan dengan
demikian water cut dapat diturunkan.
Proses EOR didefinisikan sebagai suatu metode yang melibatkan proses penginjeksian
material yang dapat menyebabkan perubahan dalam reservoir seperti komposisi minyak, suhu,
rasio mobilitas, dan karakteristik interaksi batuan-fluida. Metode EOR dapat dikelompokkan
berdasarkan material yang diinjeksikan ke reservoir yaitu metode panas (air panas, steam
stimulation, steamflood, fireflood), metode kimia (polimer, surfaktan, alkali), metode solvent-
miscible (pelarut hidrokarbon, CO2, N2, gas hidrokarbon, campuran gas alam), dan lainnya
(busa, mikrobial). Meskipun metode EOR kadang disebut sebagai rekoveri tersier, namun
bukan berarti metode EOR ini diterapkan setelah fase sekunder. Beberapa metode EOR dapat
diterapkan setelah fase primer atau bahkan saat proses pencarian minyak (discovery) (Gomaa
1997).
9
2.5 AIR FORMASI TANJUNG
Air formasi merupakan air yang terdapat di dalam formasi batuan. Merupakan istilah
untuk menjelaskan larutan cair yang terdapat pada pertemuan produksi minyak dan gas dalam
sumur minyak bumi. Istilah lain adalah air yang ada pada saat pembentukan hidrokarbon yang
terjebak dalam layer batuan dan ditemukan dalam ruang di dalam batuan tersebut. Komposisi
air formasi bervariasi sesuai posisi dalam struktur geologi dari air yang dihasilkan. Sebagian
besar air formasi berisi unsur anorganik terlarut dan senyawa organik.
Analisa air minyak bumi menunjukkan adanya berbagai sifat kimia meliputi : unsur
organik, seperti natrium, kalsium, magnesium kalium, strontium, lithium, barium, aluminium,
besi, timbal hitam, mangan, silikon, dan seng; anion yaitu klorida, bromida iod, arsenat, borat,
karbonat, florida, hidroksi, asam organik, garam, fosfat dan boron; gas terlarut seperti CO2, N2,
dan H2S; dan sifat fisik geologi seperti: kompresibilitas, densitas, faktor volume formasi,
tahanan jenis, tegangan antarmuka, viskositas, pH, dan potensial redoks (Collins 1989).
Lapangan Tanjung merupakan salah satu daerah operasi milik PT. Pertamina (Persero)
Unit Bisnis Pertamina EP Tanjung, yang berlokasi 230 km timur laut Banjarmasin,
Kalimantan Selatan atau 240 km dari Balikpapan, Kalimantan Timur (Gambar 4). Sejarah
penemuan lapangan ini diawali dengan penemuan minyak oleh Mijn Bouw Maatschappij
Martapoera pada tahun 1898 dengan melakukan empat pengeboran sumur minyak. Dotsche
Petroleum Maatschappij, perusahaan Belanda mengambil alih lapangan ini pada tahun 1912.
Namun tidak bertahan lama lapangan ini diambil alih oleh sesama perusahaan Belanda pada
tahun 1930 yang bernama N.V. Bataache Petroleum Maatschappij atau lebih dikenal dengan
BPM.
Struktur Tanjung terletak pada Cekungan Barito bagian Timur Laut, yang dibatasi oleh
Sunda Shelf, dibagian bawah Meratus High, dibagian Timur dan Utara dibatasi oleh Kuching
High. Struktur Tanjung berbentuk asymmetric NE-SW oriented faulted anticline, yang dibatasi
di Barat dan Utara oleh patahan. Struktur Tanjung mempunyai panjang sekitar 9 km dan lebar
sekitar 3 km dengan luas 2973,74 acre ( Wibowo 2008)
Gambar 4. Lokasi lapangan Tanjung (Wibowo 2008)
PETA LOKASI
10
2.6 BAKTERI DI LINGKUNGAN SUMUR MINYAK BUMI
Kelimpahan organisme dalam ekosistem ditentukan oleh ketersediaan energi dan
sumber karbon serta nutrisi esensial. Tiap-tiap spesies atau galur dalam ekosistem memiliki
kebutuhan nutrisi khusus, sifat kinetik, kemampuan biokimia, struktur khusus, dan lebih lanjut
lagi mempunyai tingkat yang berbeda dalam toleransi atau kemampuan terhadap kondisi
lingkungan (Balows et al. 1992). Menurut kadarwati et al. (1994) mikroorganisme yang
banyak hidup dan berperan di lingkungan hidrokarbon minyak bumi sebagian besar adalah
bakteri. Bakteri yang sesuai harus mempunyai kemampuan fisiologi dan metabolik untuk
mendegradasi bahan pencemar Bakteri, terutama jenis aerob, dapat mengoksidasi hidrokarbon
dalam minyak bumi dan menggunakannya sebagai sumber karbon dan energi bagi
pertumbuhannya. Umumnya bakteri yang dijumpai dalam reservoir minyak bumi berasal dari
lingkungan sekitarnya, baik yang berasal dari lingkungan tanah maupun perairan.
Minyak bumi umumnya mengandung ratusan senyawa kimia, dengan hidrokarbon
sebagai penyusun utamanya. Kebanyakan minyak bumi mengandung 90- 95% hidrokarbon,
meskipun ada yang memiliki 50% hidrokarbon (Davis 1967). Hidrokarbon sebagai satu-
satunya sumber karbon yang berada di dalam minyak bumi dapat dimanfaatkan oleh bakteri
pengoksidasi hidrokarbon untuk menyokong pertumbuhannya (Madigan dan Martinko 2006).
Mikroorganisme dalam hidup dan pertumbuhannya memerlukan sejumlah nutrisi atau
makanan dan energi. Hidrokarbon minyak bumi akan dikonsumsi mikroorganisme sebagai
sumber karbon dan energi. Unsur karbon yang terdapat pada minyak bumi, nitrogen dan fosfor
dalam suatu lingkungan tertentu akan digunakan mikroorganisme untuk pertumbuhan dan
biosintesisi unsur pokok bakterial (Oetomo 1997).
Bakteri yang diisolasi dari lingkungan minyak bumi umumnya tumbuh secara optimal
pada suhu 37oC Faktor suhu dan tekanan akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman
formasi. Formasi yang terdalam masih menyediakan lingkungan untuk pertumbuhan
mikroorganisme. Suhu pada kedalaman reservoir meningkat rata-rata sebesar 1-20C tiap 100
kaki (Menursita 2002).
Mikroorganisme pendegradasi minyak bumi umunya tergolong dalam mikroba aerob,
sehingga adanya oksigen sangat penting dalam proses degradasi. Dalam studi laboratorium,
penambahan oksigen dapat dilakukan dengan pengadukan dan aerasi. Pengadukan
menyebabkan pecahnya lapisan minyak pada permukaan air sehingga berlangsung suplai
oksigen dari udara. Dengan demikian kebutuhan mikroorganisme akan oksigen akan terpenuhi.
Penelitian Bossert dan Bartha (1984) menunjukkan bahwa dari 22 genera bakteri yang
hidup di lingkungan minyak bumi, isolat yang mendominasi terdiri dari beberapa genera yaitu :
Alcaligenes, Arthrobacter, Nocardia, Achromobacter, Bacillus, Flavobacterium, dan
Pseudomonas. Penelitian lain dari Udiharto (1992) menunjukkan bahwa pseudomonas sp.
merupakan genera yang paling dominan ditemui di lingkungan minyak bumi. Genus
Pseudomonas telah dikenal luas sebagai salah satu kelompok mikroba yang memiliki
kemampuan yang tinggi dalam mendegradasi minyak bumi. Bakteri ini memiliki kemampuan
mendegradasi fraksi alifatik, aromatik dan resin (Harayama et al. 1995).
Penelitian yang dilakukan Mustafa et al. (2009) mengidentifikasi bakteri indigen sumur
minyak bumi di Jawa Barat yakni: Pseudomonas aeroginosa, Pseudomonas diminuta,
Pseudomonas putida, Bacillus circulans, dan Geobacillus sebagai isolat yang mampu bertahan
diatas suhu 55oC hingga 90
oC dalam uji termofilik bakteri. Menurut Brooks et al. (2005),
berbagai spesies dari genus Pseudomonas memiliki penyebaran yang luas pada tanah, air,
tanaman maupun hewan. Hal ini didukung oleh kebutuhan nutrisinya yang sederhana dan
11
tumbuh secara kemoorganotrof. Karakteristik yang mencolok dari kelompok ini adalah variasi
yang sangat luas terhadap penggunaan senyawa organik sebagai sumber karbon dan energi.
Pseudomonas mampu memanfaatkan berbagai senyawa hidrokarbon seperti alkana rantai lurus
C11C36, alkana bercabang, fenantren, antrasen dan naftalen, benzotiofen, dibenzotiofen, xylen,
dan toluen (Van Hamme 2000).
Sedangkan Bacillus diketahui dapat tumbuh dengan baik pada berbagai sumber karbon,
diantaranya dengan mengoksidasi berbagai hidrokarbon alifatik (Davis 1967). Kelompok
pembentuk endospora ini lazim ditemukan dalam tanah, air, udara dan tumbuh-tumbuhan.
Beberapa strain Bacillus dapat ditemukan di daerah ekstrim seperti danau soda dan tanah
berkadar karbonat tinggi yang memiliki pH alkali. Selain itu, dapat juga diisolasi dari lokasi
geotermal dan sumber air panas yang bersuhu tinggi (Madigan dan Martinko 2006).
Penelitian Knight dan Proom (1950) menemukan adanya organisme baru dari isolasi
yang dilakukan terhadap mesopilik spesies dari genus Bacillus yang berasal tanah. Mampu
tahan dalam kondisi simulasi 4% NaCl broth dan suhu inkubasi 370C pada Agar Nutrien. Jenis
tersebut adalah Bacillus pantothenticus. Karakterisasi B.pantothenticus termasuk dalam bakteri
gram-positif, bersifat aerob fakultatif, berbentuk batang vegetatif ukuran 0.5-4.0 m, umumnya
hidup sendiri atau bercampur dalam bebrapa organisme lainnya. Mampu tumbuh dalam
medium mengandung garam, asam-hidrolase casein dengan aneurin, biotin, dan asam
pantotenik (Knight dan Proom 1950).
Adapun bakteri Streptococcus dan Staphylococcus termasuk dalam gram positif bersifat
aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan
maupun berkelompok, dengan diameter sekitar 0,8-1,0 m Staphylococcus aureus tumbuh
optimum pada shu 370C mampu menghsilkan katalase, yaitu enzim untuk mengkonversi H2O2
menjadi H2O dan O2, dan koagulase, enzim yang mengakibatkan fibrin berkoagulasi dan
menggumpal (Madigan dan Partinko 2006).
2.7 PERTUMBUHAN MIKROORGANISME
Pertumbuhan mikroorganisme sangat tergantung pada tersedianya substrat dan karbon
sebagai sumber energi. Kecepatan pertumbuhan mikroorganisme dalam suat medium
bergantung dengan kondisi yang seimbang antara populasi mikroorganisme dengan substrat
yang tersedia, artinya apabila mikroorganisme mendapat substrat yang cukup populasi akan
berkembang dan tumbuh dengan cepat, sebaliknya apabila jumlah substrat yang tersedia
terbatas. Maka, energi yang diperoleh hanya cukup untuk mempertahankan hidupnya. Karbon
yang tersedia pada hidrokarbon minyak bumi akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk
aktivitas pertumbuhannya. Selain karbon, kebutuhan unsur lain yang esensial adalah: nitrogen,
fosfor, oksigen, belerang, kalilum, magnesium, dan besi. (Jordan dan Payne 1980)
Fardiaz (1988) menyatakan banwa pertumbuhan organisme seluler merupakan
pertambahan massal sel yang juga berarti pertambahan jumlah sel. Bakteri merupakan sel
prokariotik yang tumbuh dengan cara pembelahan biner. Menurut Pelczar dan Chan (1986)
pertumbuhan bakteri dapat dibagi dalam empat fase pertumbuhan yaitu fase perumbuhan
lambat/lag, fase exponensial, fase stasioner, dan fase kematian. Pertumbuhan mikroorganisme
dicirikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk menggandakan massa sel atau jumlah sel.
Menurut Fardiaz (1988) pengukuran jumlah mikroorganisme diperlukan untuk mengetahui
pola pertumbuhannya. Pengukuran dapat dilakukan secara langsung dengan pengukuran nilai
http://id.wikipedia.org/wiki/Spora
12
densitas optik (OD) maupun bobot kering sel. Pengukuran nilai densitas optik berbanding
lurus dengan konsentrasi sel pada kisaran tertentu.
Kurva pertumbuhan diperoleh melalui perhitungan jumlah bakteri yang dihitung pada
waktu-waktu tertentu sehingga menunjukkan pola pertumbuhan bakteri tersebut. Pola
pertumbuhan bakteri pada umumnya memiliki empat fase pertumbuhan, yaitu fase permulaan
atau adaptasi (fase lag), fase pertumbuhan eksponensial atau logaritma (fase log), fase
stasioner, dan fase kematian.
Fase pertumbuhan awal atau fase lag merupakan awal pertumbuhan mikroba ketika
bakteri baru menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Fase ini ditandai dengan perubahan
komposisi kimiawi sel, penambahan ukuran, substansi seluler, dan waktu generasinya relatif
panjang. Fase selanjutnya adalah fase pertumbuhan eksponensial atau fase log yang merupakan
fase pertumbuhan sel paling cepat dan paling aktif. Pada fase ini, metabolisme sel paling aktif,
sintesis bahan sel sangat cepat dengan jumlah konstan hingga nutrien habis. Fase log sangat
dipengaruhi oleh suhu dan komposisi media pertumbuhan. Fase optimum pertumbuhan bakteri
ini memungkinkan dalam mempelajari enzim dan komponen bakteri lainnya, termasuk
metabolit primer (Rahman 1992).
Gambar 5. Kurva pertumbuhan bakteri (Rahman 1992)
Setelah nutrisi pada media pertumbuhan sudah habis, pertumbuhan sel mulai terhambat,
kecepatan pembelahan sel berkurang, dan jumlah sel yang mati mulai bertambah, serta mulai
dihasilkannya metabolit sekunder. Pada fase ini, jumlah sel hidup konstan seperti tidak terjadi
pertumbuhan, sehingga disebut sebagai fase stasioner. Berikutnya, nutrisi dari media
pertumbuhan sudah tidak tersedia lagi dan terjadi penimbunan hasil metabolisme yang bersifat
toksik yang mengakibatkan penurunan jumlah populasi bakteri secara drastis. Fase ini disebut
sebagai fase kematian. Namun, pada fase ini tetap terdapat sel yang dapat bertahan hidup
dengan waktu generasi yang relatif lama (Rahman 1992).
Log j
um
lah
bak
rte
ri
Fase
lag
Fase
kematian
Fase
Log
Fase Stasioner
Waktu
13
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 ALAT DAN BAHAN
3.1.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan metil ester adalah tank esterifikasi
skala pilot plant 100 L. Sedangkan untuk pembuatan MES digunakan reaktor sulfonasi Single
Tube Falling Film Reactor (STFR). Untuk keperluan analisa mikrobiologi menggunakan antara
lain autoklaf, tabung reaksi, cawan petri, durgasky stick, bunsen, selongsong pipet, pipet
serologis 1 ml, kapas, sumbat karet, vortex mixer, oven sterilisasi, pipet mikrometer, quebec
colony meter. Keperluan untuk fisikokimia MES: piknometer, pH meter, gelas ukur, labu
erlemeyer, hotplate stirrer, neraca analitik. Sedangkan untuk uji IFT menggunakan: Density
Meter DMA 4500M/Anton Paar dan spinning drop Tensiometer TX 500 C.
3.1.2 Bahan
Bahan baku utama yang digunakan adalah surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) dari
olein, air formasi sumur Tanjung. Untuk keperluan analisan MES diantaranya: larutan KI 10
%, larutan Na2S2O3 0,1 N, indikator fenolftalein 1%, KOH 0,1 N, NaCl, CaCl2.2H2O, NaOH
0.1 N, campuran 50% toluen 50% etanol 95%, campuran sikloheksan asam asetat glasial,
larutan Wijs, indikator Metilene blue, N-cetylpyridiumchloride, dan aseton. Media yang
dipergunakan untuk pertumbuhan bakteri adalah Nutrient Broth dan minyak bumi mentah
(crude oil), sedangkan untuk analisa mikroorganisme digunakan adalah Nutrient Agar (NA)
dan Nutrient Broth (NB).
3.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Desember 2010. Pembuatan
surfaktan MES dilakukan di Laboratorium Produksi Surfaktan MES SBRC IPB di PT Mahkota
Indonesia, Pulogadung, Jakarta. Pengambilan sampel bakteri berasal dari BLCC
(Biotechnology Lemigas Culture Collection) PPTMGB Lemigas, Jakarta. Analisa surfaktan
dan IFT di Laboratorium Analisis SBRC Institut Pertanian Bogor.
3.3 METODE PENELITIAN
3.3.1 Sifat Fisiko Kimia Olein
Penelitian ketahanan surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) ini menggunakan bahan
baku olein sawit. Olein sawit merupakan salah satu hasil fraksinasi berbentuk cair dari minyak
sawit kasar (Crude Palm Oil). Sebelum dilakukan proses transesterifikasi, maka analisis olein
sawit diperlukan untuk mengetahui sifat fisikokimia olein sawit. Adapun sifat fisikokimia yang
diuji meliputi beberapa parameter yaitu: kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan
penyabunan, fraksi tak tersabunkan serta komposisi asam lemak pada olein sawit.
14
3.3.2 Metil Ester Olein
Bahan baku olein sawit diproses secara transesterifikasi untuk menghasilkan metil ester
olein. Proses transesterifikasi dilakukan dengan cara pemanasan hingga suhu 60 C kemudian
dimasukkan dalam tangki transesterifikasi dan ditambahkan larutan metoksida (methanol 15%
v/v, KOH 1% b/v) dengan pengadukan selama 1 jam. Setelah 1 jam, dipindahkan ke dalam
tangki settling (pengendapan) dan diendapkan selama 24 jam untuk pemisahan gliserol.
Gliserol dipisahkan, kemudian dilakukan pencucian menggunakan air minimal 3-4 kali untuk
menghilangkan gliserol dan sabun yang terbentuk, dan selanjutnya dikeringkan dengan
pemanasan dan pengadukan hingga tidak terlihat lagi gelembung air pada permukaan.
Terhadap metil ester yang dihasilkan dilakukan analisa sifat fisika-kimia meliputi: kadar air,
bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, fraksi tak tersabunkan, dan kadar ester.
3.3.3 Pembuatan Metil Ester Sulfonat
Tahapan selanjutnya dalam produksi surfaktan MESA adalah proses sulfonasi yang
merupakan proses pelekatan gugus sulfonat pada senyawa organik. Pada kegiatan penelitian ini
digunakan gas SO3 sebagai agen sulfonasi dan Metil Ester Olein. Reaksi sulfonasi terjadi di
dalam Reaktor Single Tube Falling Film Reactor (STFR) setinggi 6 m diameter tube 25 mm.
Kontak Gas SO3 dan Metil Ester dilakukan pada laju alir 75 ml/menit dengan suhu input
bahan 100 C selama 360 menit. MESA dilanjutkan dengan proses aging pada suhu 80oC dan
waktu 60 menit. Surfaktan MESA dinetralkan dengan NaOH 50% untuk mendapatkan
surfaktan MES. Kemudian dilakukan analisa fisikokimia berupa: densitas, warna, bilangan
asam, dan bahan aktif.
3.3.4 Pembuatan Kultur Bakteri Campuran
Kultur bakteri yang digunakan merupakan koleksi dari BLCC (Biotechnology Lemigas
Culture Collections). Kultur bakteri yang digunakan adalah: Staphylococcus aureus,
Pseudomonas aeruginos, Bacillus pantothenticus, dan Streptococus sp. Sediaan kultur tersebut
diambil 1 ose dari media agar miring untuk dilakukan penyegaran (propagasi) dengan cara
digoyangkan dalam media nutrient broth cair dengan shaker selama 48 jam pada suhu 37oC.
Kemudian diambil 5 ml pada masing-masing kultur tersebut secara aseptik untuk dicampurkan
dalam media nutrient broth yang baru sebanyak 200 ml.
3.3.5 Inokulasi Bakteri
Air formasi Tanjung sebanyak 500 ml yang telah disaring dilakukan sterilisasi pada
suhu 121o C selama 15 menit dengan otoklaf Setelah itu, didinginkan sehingga mencapai suhu
30oC. Kemudian dilakukan penambahan suspensi bakteri campuran sebanyak 5 ml (1% v/v).
Dilakukan pencampuran dengan dikocok merata. Air formasi yang ditambahkan suspensi
bakteri campuran diletakkan pada kondisi steril pada suhu ruang (25-30 oC). Air formasi ini
akan digunakan untuk analisa ketahanan surfaktan MES.
15
3.3.6 Pembuatan Kurva Pertumbuhan
Sebanyak 2-3 ml sampel (air formasi yang telah ditambahkan bakteri campuran)
diambil setiap jamnya. Untuk melihat pola pertumbuhan bakteri yang akan dibuat kurva
tumbuh selama 36 jam. Selanjutnya, dilakukan pengukuran jumlah sel dengan metode
turbidimetri melalui perhitungan Optical Density (OD) menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 550 nm. Kurva pertumbuhan diperoleh dengan memplotkan waktu (jam)
pada sumbu x dan OD pada sumbu y.
3.3.7 Pengujian Ketahanan Surfaktan MES
Surfaktan MES yang telah disterilisasi di timbang untuk penentuan kebutuhan dalam
pembuatan konsentrasi 0.1%; 0.3%; 0.5%; dan 1.0% surfaktan dalam air formasi. Sebagai
contoh untuk pembuatan konsentrasi 0.1% dalam 20 ml suspensi bakteri (air formasi)
ditambahkan 0,02 gram surfaktan MES. Campuran tersebut diletakkan di dalam tabung reaksi
dan ditutup dengan alumium foil. Kemudian di inkubasi dalam kondisi dan suhu ruang selama
7 hari dengan dilakukan pengamatan pada hari ke-1, 3, 5, dan 7 sebanyak 2 kali ulangan.
Waktu inkubasi tersebut menggambarkan lamanya surfaktan berada dalam sumur minyak.
Ketahanan MES diukur melalui kemampuannya dalam menurunkan tegangan antar muka
(IFT). Pengukuran IFT menggunakan alat Tensiometer kemudian dibandingkan dengan MES
yang tidak diberikan kultur bakteri (kontrol). Sebagai pengamatan awal ketahanan surfaktan.
Kondisi pengujian dilakukan dalam kondisi ruang pada suhu 27 30 oC
Model Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) in Time
dengan dua faktor yakni konsentrasi surfaktan dalam suspensi bakteri (B) dan lama inkubasi
(S). Faktor konsentrasi surfaktan terhadap suspensi bakteri terdiri atas empat taraf, sedangkan
faktor lama inkubasi sebanyak empat taraf. Masing-masing dilakukan ulangan sebanyak dua
kali. Model Linear percobaan (Mattjik dan Sumertajaya 2006):
Yijk = + Bi + Sj + (BS)ij + ij + ijk
Keterangan :
Yijk = Hasil pengamatan konsentrasi ke-i, lama inkubasi ke-j pada Ulangan ke-k
= Rata-rata yang sebenarnya
Bi = pengaruh konsentrasi ke-i (i = 0.1, 0.3, 0.5, 1.0)
Sj = pengaruh lama inkubasi ke-j (j= 1, 3, 5, 7)
(BS)ij = pengaruh interaksi konsentrasi ke-i dengan lama inkubasi ke-j
ij = komponen acak perlakuan ijk = Galat percobaan
Interaksi RAL intime dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mendapatkan perlakuan
terbaik. Kemudian dilanjutkan uji- t dengan membandingkan perlakuan terbaik dengan kontrol.
Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
16
Gambar 6. Diagram alir penelitian ketahanan surfaktan MES
Surf.
1,0%
Pengukuran IFT
(Tensiometer)
Metil Ester Sulfonat
Filtrasi (0,45 m)
Streptococus
sp.
Bacillus
pantothenticus
Pseudomonas
aeruginosa
Staphylococcus
aureus
Bakteri
Campuran
1-2%
Sterilisasi
(T=121oC, t=15)
Air Formasi
Tanjung Steril
500 ml
Inokulasi aseptik
Metil Ester
Metil Ester
Sulfonat Acid
(MESA)
Propagasi
(penyegaran)
Shaker
T=37oC,
48 jam
Air Formasi +
Bakteri Campuran
Pembuatan
kurva tumbuh
(spektrometer)
Surf.
0,1%
Surf.
0,3%
Surf.
0,5%
Inkubasi (1, 3, 5, 7 hari)
Surf. blanko
Transesterifikasi
Sulfonasi (SO3)
Reaktor STFR
Netralisasi
(NaOH 50%)
Kuantifikasi Bakteri
(hitungan cawan)
PCA
Kultur Bakteri
BLCC
Air Formasi
Tanjung
Minyak
olein sawit
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 SIFAT FISIKOKIMIA OLEIN SAWIT
Penelitian pembuatan surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) ini menggunakan bahan
baku olein sawit. Olein sawit merupakan salah satu hasil fraksinasi berbentuk cair dari minyak
sawit kasar (Crude Palm Oil). Sebelum dilakukan proses transesterifikasi, maka analisis olein
sawit diperlukan untuk mengetahui sifat fisikokimia olein sawit. Sifat fisikokimia olein sawit
menjadi acuan kondisi reaksi transesterifikasi yang digunakan untuk mengkonversi olein sawit
menjadi metil ester olein. Hasil analisis olein sawit selengkapnya disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Sifat fisikokimia olein sawit
Analisis Satuan Nilai
Asam lemak bebas % 0.19
Bilangan asam mg KOH/g minyak 0.41
Bilangan iod mg iod/g minyak 61.33
Bilangan penyabunan mg KOH/g minyak 208.40
Densitas g/L 0.906
Viskositas (29 oC) 61.5
Kadar Air % 0.103
Fraksi tak tersabunkan %
0.38
Menurut Mittelbach dan Remschmidt (2006) minyak dengan bilangan asam di bawah 1
mg KOH/ gram minyak dapat diolah secara langsung melalui proses transesterifikasi,
sedangkan Sanford et al. (2009) menyebutkan mensyaratkan asam lemak bebas pada bahan
baku untuk pembuatan metil ester tidak lebih besar dari 0.5%. Hal ini terkait dengan pengaruh
asam lemak bebas dalam proses produksi metil ester yakni menyebabkan terjadinya deaktivasi
katalis yang diakibatkan karena asam lemak bebas bereaksi dengan natrium metoksida
membentuk sabun. Aktivitas katalis basa yang berkurang akan mengganggu konversi minyak
menjadi metil ester. Analisis sifat fisikokimia olein sawit menunjukkan bilangan asam 0,41 mg
KOH/gram dan asam lemak bebas 0.19% sehingga dapat dilakukan proses transesterifikasi
langsung untuk membuat metil ester.
Hasil analisa menyebabkan bilangan iod olein sebesar 61.33 mg iod/g minyak. Bilangan
iod dan komposisi asam lemak tidak berpengaruh terhadap proses transesterifikasi, namun
menentukan karakteristik metil ester yang dihasilkan. Metil ester dari minyak tidak jenuh
kurang stabil terhadap oksidasi. Stabilitas terhadap oksidasi ditentukan oleh 2 aspek yaitu
keberadaan atom hidrogen pada ikatan rangkap yang merupakan titik terjadinya oksidasi dan
adanya antioksidan alami pada minyak yang dapat mencegah oksidasi pada molekul
trigliserida (Sanford et al. 2009).
Pengujian terhadap bilangan penyabunan olein 208.4 mg KOH/g. Sedangkan bilangan
penyabunan olein sawit sebesar 194 202 mg KOH/gram minyak (Hui 1996). Bilangan
penyabunan mengukur bobot molekul atau panjang rantai karbon asam lemak di dalamnya.
Menurut Sanford et al. (2009), semakin tinggi bilangan penyabunan menunjukkan asam lemak
penyusun trigliserida memiliki panjang rantai karbon pendek. Jika panjang rantai karbon asam
18
lemak pendek, maka dalam 1 gram lemak atau minyak kandungan asam lemaknya semakin
banyak sehingga kebutuhan KOH untuk penyabunan semakin tinggi demikan sebaliknya.
Dari hasil analisis, olein sawit yang digunakan untuk bahan baku pembuatan metil ester
mengandung sejumlah kecil air 0.13%. Air merupakan komponen minor dalam olein, namun
dalam proses produksi metil ester sangat penting untuk dihilangkan. Menurut Gerpen et al.
(2004) kandungan air dalam bahan baku masih ditoleransi hingga 1%. Air mampu
menghidrolisis trigliserida menjadi digliserida dan akhirnya terbentuk asam lemak bebas.
Asam lemak bebas akan bereaksi dengan katalis basa membentuk sabun. Air pada olein dapat
dihilangkan dengan proses pemanasan dan dibantu dengan kondisi vakum untuk
meminimalkan pembentukan emulsi selama proses transesterifikasi.
Fraksi tak tersabunkan yang terdapat pada olein sawit yang digunakan sebesar 0.38%.
Fraksi tak tersabunkan merupakan senyawa yang tidak dikehendaki dalam minyak yang harus
dihilangkan atau diminimalkan. Fraksi tak tersabunkan terdiri dari senyawa organik yang tidak
bereaksi dengan basa untuk membentuk sabun. Fraksi tak tersabunkan terdiri dari sterol,
alkohol dengan bobot molekul yang tinggi, pigmen, lilin (waxes) dan hidrokarbon. Fraksi ini
bersifat sangat non polar, sehingga memungkinkan terbawa pada metil ester setelah reaksi
transesterifikasi sehingga dapat mengurangi kemurnian metil ester dan dapat mempengaruhi
proses selanjutnya.
4.2 SIFAT FISIKOKIMIA METIL ESTER OLEIN
Tahapan penting pada penelitian ini adalah produksi bahan baku utama untuk sulfonasi,
yaitu metil ester. Metil ester dipilih sebagai bahan untuk sulfonasi karena kualitas metil ester
sebagai bahan sulfonasi lebih baik, yaitu sifat metil ester yang tidak mudah teroksidasi
dibandingkan jika menggunakan trigliserida dan asam lemak sebagai bahan baku sulfonasi.
Menurut Sheats dan MacArthur (2002) penggunaan metil ester sebagai bahan baku
pembuatan Metil Ester Sulfonat sangat memfokuskan pada tingginya hidrogenasi dan
kemurnian bahan baku, hal ini terkait dengan tingkat ketidakjenuhan dan distribusi rantai
karbon didalamnya. Tabel 3 memperlihatkan analisa metil ester olein.
Tabel 3. Sifat fisikokimia metil ester olein
Analisis Satuan Nilai
Kadar air % 0,13
Bilangan asam mg KOH/g ME 0,21
Bilangan iod mg I/g ME 63,74
Bilangan penyabunan mg KOH/g ME 276,30
Fraksi tak tersabunkan % 0,14
Kadar ester % 97,57
Kadar air yang masih terkandung di dalam metil ester olein sebesar 0.13%. Adanya air
dalam metil ester dapat menyebabkan air bereaksi dengan ester membentuk asam lemak bebas.
Air dapat terbentuk selama proses transesterifikasi melalui reaksi antara katalis NaOH atau
KOH dengan metanol, atau bahkan dari proses pencucian untuk menghilangkan gliserol.
19
Analisis bilangan asam metil ester olein sawit dilakukan untuk mengukur tingkat
konversi metil ester. Penurunan bilangan asam dari olein sebesar 0.41 mg KOH/g sampel
menjadi 0.21 mg KOH/g menunjukkan penurunan asam lemak bebas, karena teresterifikasi
menghasilkan metil ester. Bilangan asam pada metil ester setelah proses transesterifikasi lebih
rendah karena katalis basa akan memisahkan asam lemak bebas melalui mekanisme
pembentukan sabun. Bilangan asam dapat meningkat sejalan dengan waktu penyimpanan
karena terjadinya reaksi dengan udara atau air (Gerpen et al. 2004). Penurunan bilangan asam
berkorelasi dengan kadar ester metil olein yaitu sebesar 97.57%, hal ini menunjukkan konversi
olein sawit menjadi metil ester cukup tinggi. Menurut Mittelbach dan Remschmidt (2006)
kadar ester minimum metil ester sebagai bahan bakar adalah sebesar 96.5%.
Metil ester olein yang dipergunakan pada penelitian ini memiliki bilangan iod sebesar
63.74 mg iod/g ME. Bilangan iod metil ester olein masih lebih tinggi dibandingkan dengan
standar yang digunakan Chemithon yaitu 0.39 cg iod/g ME (Sheats dan MacArthur 2002). Hal
ini menunjukkan bahwa tingkat ketidakjenuhan metil ester olein yang digunakan dalam
penelitian ini masih lebih tinggi dibandingkan standar dari Chemithon.
4.3 SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MES OLEIN
Proses utama dalam produksi surfaktan MES adalah pada tahapan sulfonasi. Bahan
baku utama dalam proses sulfonasi adalah metil ester olein dan gas SO3. Proses sulfonasi gas
SO3 terhadap metil ester olein berlangsung secara cepat pada Single Tube Falling Film Reactor
(STFR). Falling Film Reactor ini berukuran tinggi 6 meter dengan diameter tube 25 mm.
Kontak Gas SO3 dan metil ester dilakukan pada laju alir 75 ml/menit dengan suhu input bahan
100 C selama 360 menit. Proses tersebut menghasilkan produk antara yang disebut Metil
Ester Sulfonat Asam (MESA).
Kemudian dilakukan aging pada suhu 80o C dan lama 60 menit. Proses tersebut Proses
aging dilakukan pada MESA agar mencapai reaksi sulfonasi yang sempurna. Proses ini
melibatkan penyusunan ulang (rearrangement) struktur molekul intermediet
(RCHSO3HCOOSO3CH3) menjadi methyl ester sulfonic acid atau MESA
(RCHSO3HCOOCH3). MESA dilewatkan kedalam digester yang memilki suhu konstan
(~80oC) selama kurang lebih satu jam. Efek samping dari MESA digestion adalah penggelapan
warna campuran asam sulfonat secara signifikan.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses sulfonasi menggunakan gas SO3
khususnya dengan teknologi STFR antara lain sumber dan kemurnian (purity) agent/bahan
sulfonasi, tipe dan kualitas Metil Ester, kondisi reaksi serta tipe dan unjuk kerja reaksi
sulfonasi (Moretti et al. 2001). Adapun penelitian yang dilakukan oleh Susi (2010)
menyebutkan karakteristik tube reaktor STFR harus dapat membuat ketebalan film yang tepat
untuk kontak dengan SO3 secara maksimum. Pengaturan laju alir gas/liquid ditentukan oleh
diameter tube, hal ini terkait dengan distribusi permukaan, ketebalan film dan penentuan
kecepatan gas sehingga turbulensinya sama. Sehingga didalam penelitian ini harus dijaga
ketebalan film dari umpan tetap konstan, turbulensi sama sepanjang tube dan sepanjang waktu
sulfonasi. Jika terjadi turbulensi akan memungkinkan proses sulfonasi tidak sempurna.
MESA yang terbentuk dilakukan netralisasi dengan penambahan NaOH 50% sambil
diaduk untuk mendapatkan MES. Beberapa parameter yang diuji mencakup : densitas, pH,
warna, bilangan asam, dan bahan aktif. Selengkapnya dapat disajikan dalam Tabel 4.
20
Tabel 4. Sifat fisikokimia surfaktan MES Olein
Analisis Satuan Nilai
Densitas g/ mL 0,9776
pH - 6,98
Warna Klett 735
Bilangan asam mg NaOH/g MES 1,488
Bahan Aktif % 13,05
Densitas merupakan salah satu sifat dasar fluida yang didefinisikan sebagai hasil dari
massa per satuan waktu. Efek suhu pada densitas cairan tidak dapat diabaikan karena cairan
akan meregang mengikuti perubahan suhu. Densitas umumnya dikaitkan dengan viskositas
yaitu cairan lebih padat maka viskositasnya lebih tinggi, hal ini berkorelasi dengan kandungan
total padatan pada bahan. Densitas yang diukur pada penelitian ini 0.9776 g/mL merupakan
perbandingan bobot dari suatu volume sampel pada suhu 25 oC dengan bobot air pada volume
dan suhu yang sama.
Nilai pH surfaktan MESA memiliki nilai pH yang rendah (berkisar 0.1 2.0) hal ini
menunjukkan gugus sulfonat (-SO3) dalam produk hasil sulfonasi bersifat asam sehingga
produk tersulfonasi pun memiliki pH yang rendah. Hal ini menyebabkan MESA perlu
dinetralisasi dengan basa kuat (NaOH 50%) agar larutan bersifat netral, berada pada nilai 6-8.
Produk tersulfonasi berwarna hitam gelap, yaitu warna MES terukur sebesar 735 (klett). Warna
gelap dikarenakan reaksi reaktif gas SO3 terhadap metil ester olein sehingga terbentuk senyawa
polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi (Roberts et al. 2008). Dalam aplikasi
MES untuk bahan pembantu pengambilan minyak (recovery) warna hitam pekat tidak menjadi
masalah. Untuk produk lain yang membutuhkan penampilan MES yang lebih menarik seperti
sabun atau bahan pembersih lainnya. warna hitam pekat MES ini dapat dihilangkan dengan
metode bleaching dengan penambahan asam peroksida (H2O2) dalam kadar tertentu.
Bilangan asam terukur rata-rata sebesar 1.488 mg NaOH/g MES merupakan jumlah
miligram basa yang diperlukan untuk menetralisasi asam lemak bebas dalam 1 gram bahan.
Basa yang digunakan dalam hal ini adalah NaOH. Produk MESA bersifat asam karena masih
mengandung campuran SO3. Gas SO3 merupakan salah satu gugus pembentuk asam kuat,
sehingga banyaknya gugus SO3 yang terikat pada suatu bahan akan meningkatkan bilangan
asam.
Kadar bahan aktif rata-rata MES adalah 13.05% merupakan salah satu mutu nilai kinerja
surfaktan. Kadar bahan aktif menunjukkan jumlah kandungan bahan aktif permukaan yang
terkandung dalam surfaktan. Semakin banyak kadar bahan aktif dalam surfaktan maka
diharapkan akan semakin baik kinerja surfaktan. Kadar bahan aktif dapat ditunjukkan dari
jumlah gugus SO3 yang terikat dalam struktur MESA.
Analisis kadar bahan aktif yang dilakukan pada penelitian menggunanakn metode
Epthone. Menurut Stache (1995) prinsip dasar dari uji ini adalah titrasi bahan aktif
menggunakan cetylbipiridinum bromide, yang merupakan salah satu jenis surfaktan kationik.
Indikator yang digunakan adalah methylen blue. Pada campuran surfaktan yang ditambahkan
indikator kloroform akan terbentuk dua fasa kloroform di bagian bawah dan fasa larutan
surfaktan dan methylen blue yang berada di bagian atas. Pada permulaan, warna biru tua
berada pada lapisan kloroform, kemudian selama titrasi warna biru akan bergerak menuju
lapisan cairan (larutan surfaktan dalam akuades) secara perlahan. Perpindahan warna terjadi
21
secara cepat pada akhir titrasi. Akhir titrasi dicapai ketika warna kedua lapisan memiliki
intensitas yang hampir sama. Bila titrasi diteruskan maka fasa kloroform akan menjadi lebih
pucat lalu lama-kelamaan akan menjadi bening.
Pengujian pendahuluan tegangan antarmuka (IFT) Surfaktan MESA dan MES Olein
pada konsentrasi 0,3% dengan Tensiometer sebanyak dua kali ulangan (duplo) menunjukkan
nilai masing-masing untuk MESA adalah 8,9 x 10-2
dyne/cm dan 7,9 x 10-2
dyne/cm.
Sedangkan untuk MES olein memberikan hasil 7,4x10-2
dyne/cm dan 6x10-3
dyne/cm.
Pegujian pendahuluan nilai IFT MES ini akan dijadikan dasar dalam pengujian ketahanan
surfaktan. Hasil terbaik pengujian surfaktan MES olein mencapai 10-3
dyne/cm. Pada
aplikasinya di lapangan sumur minyak nilai IFT yang mencapai 10-3
mampu meningkatkan
kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan minyak air di sumur minyak bumi. (Baviere et
al 1992)
4.4 PERTUMBUHAN BAKTERI CAMPURAN
Mikroba di habitat asli umumnya terdapat dalam populasi campuran. Kultur campuran
dapat terdiri dari spesies-spesies yang telah diketahui atau campuran spesies yang tidak
diketahui. Kultur campuran dapat merupakan satu grup mikrobial, seperti misalnya: semua
bakteri, atau dapat pula terdiri dari campuran organisme, fungi dan bakteri, fungi dan khamir,
atau kombinasi lain.
Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari BLCC (Biotechnology
Lemigas Culture Collections). Kultur bakteri tersebut adalah Staphylococcus aureus,
Pseudomonas aeruginosa, Bacillus pantothenticus, dan Streptococus sp. Kultur tersebut
masing-masing dibiakkan dalam nutrient broth yang telah di shaker pada suhu 37oC selama 48
jam. Untuk selanjutnya dilakukan pencampuran dengan media nutrient broth baru sebanyak
10% (b/v). Artinya dalam 200 ml nutrient broth baru ditambahkan 20 ml bakteri, masing-
masing 5 ml. Kultur bakteri campuran tersebut di shaker dalam suhu ruang untuk membantu
pertumbuhan. Pertumbuhan bakteri campuran ditandai dengan warna nutrient broth yang
cenderung kekuningan menjadi kehijauan karena adanya pertumbuhan bakteri Pseudomonas
(Gambar 7)
Penggunaan kultur bakteri campuran dalam penelitian ini diharapkan mendekati kondisi
sesungguhnya di lingkungan sumur minyak bumi. Menurut Kuroshawa et al. (1988) kondisi
optimum pertumbuhan kultur campuran lebih sulit diperkirakan. Hal ini disebabkan jenis
mikroorganisme yang digunakan dalam kultur campuran tidak selalu mempunyai kondisi
optimum yang sama seperti pH, suhu, nutrien, dan kebutuhan oksigen.
Gambar 7. Bakteri campuran
Kultur bakteri campuran tersebut digunakan untuk ditambahkan dalam air formasi
Tanjung sebagai pengkondisian di lingkungan sumur minyak bumi dimana bakteri/
22
mikroorganisme aerob maupun semianaerob berada. Penggunaan kultur campuran Menurut
Hesseltine (1991), keuntungannya antara lain (1) lebih tahan terhadap kontaminasi, (2)
memungkinkan penggunaan substrat dengan lebih baik karena kisaran kerja enzim yang lebih
luas, (3) memungkinkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi karena masing-masing
mikroorganisme dapat menghasilkan faktor pertumbuhan yang dibutuhkan mikroorganisme
lain untuk pertumbuhan optimal, (4) memungkinkan terjadi transformasi multi langkah yang
tak mungkin terjadi pada kultur tunggal, (5) dapat digunakan substrat yang murah dan tidak
murni, (6) pemeliharaan kultur campuran relatif lebih murah.
Sedangkan kerugiannya antara lain: (1) produk yang terbentuk dari fermentasi kultur
campuran lebih bervariasi dalam jumlah maupun jenis kompenen dalam kultur tunggal, (2)
adanya kontaminan lebih sulit dideteksi, (3) kajian ilmiah produk dan mikroorganisme pada
kultur campuran relatif lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan jika hanya melibatkan satu
jenis mikroorganisme (Hesseltine, 1991). Berikut ini (Gambar 8) disajikan kurva pertumbuhan
dari bakteri campuran dalam selang waktu 36 jam.
Gambar 8. Kurva pertumbuhan kultur bakteri campuran dalam
air formasi Tanjung (= 550 nm)
Kurva pertumbuhan merupakan replikasi dari populasi sel. Waktu yang diperlukan
untuk siklus pertumbuhan sel sangat beragam dan terrgantung pada sejumlah faktor antara lain
nutrisi dan genetika (Madigan dan Martinko 2006). Kurva pertumbuhan diatas diperoleh dari
air formasi Tanjung yang telah dicampurkan suspensi bakteri campuran. Dengan metode
turbidimetri dengan mengukur kekeruhan atas nilai OD (Opacity Density). Nilai kekeruhan
semakin meningkat terhadap waktu. Menunjukkan bakteri yang diinokulasikan bertambah
yang berada di dalam air formasi yang dihitung pada waktu-waktu tertentu sehingga
menunjukkan pola pertumbuhan bakteri tersebut.
Fase awal mengalami pertumbuhan lambat pada 1- 21 jam yang disebut waktu adaptasi.
Ketika populasi mikroba diinokulasikan ke dalam medium baru diperlukan waktu untuk
mensintesis enzim-enzim baru, sehingga pertumbuhannya tidak dimulai segera, tetapi setelah
periode waktu tertentu yang disebut fase lag. Waktu adaptasi yang sedemikian panjang ini
diduga karena bakteri yang digunakan campuran atas beberapa jenis bakteri.
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
1 6 11 16 21 26 31 36
OD
(ju
mla
h s
el)
waktu (jam)
Kurva pertumbuhan
Fase log
Fase lag
Fase kematian
23
Setelah organisme beradaptasi dalam medium, terjadi pertumbuhan populasi pada
kecepatan yang paling tinggi disebut fase eksponensial atau logaritmik (Madigan dan Martinko
2006). Kemudian mulai ada pelonjakan nilai OD pada waktu ke 21 hingga ke-26 jam (fase log)
dengan nilai tertinggi terlihat pada jam ke-27 (OD=0.925). Pada saat jumlah organisme
meningkat, nutrien habis digunakan, limbah metabolisme terakumulasi, ruang hidup menjadi
terbatas, terjadi penurunan pH dan oksigen di permukaan aerob berkurang sehingga
menghambat fase eksponensial. Kemudian bakteri tersebut perlahan berada pada fase stasioner
ditandai dengan trend penurunan atau mengalami fase kematian Ketika pembelahan sel
menurun pada kondisi sel-sel baru diproduksi sama kecepatannya dengan sel-sel mati. (Lihat
Lampiran 7 untuk melihat data nilai OD selama waktu 1-36 jam). Namun, kelemahan dari
metode ini tidak mendapatkan informasi sel bakteri yang masih aktif atau hidup di dalam
larutan.
Gambar 9. Hitungan cawan tuang dengan PCA
Kemudian untuk menguji pola pertumbuhan harian dari bakteri campuran dilakukan
pengujian kandungan total bakteri dengan metode hitungan cawan tuang (pour plate) dengan
media Plate Count Agar (PCA) dalam kondisi aseptik dan suhu ruang. Media hitungan cawan
didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu
koloni. Jadi, jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah
organisme yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel (Hadioetomo 1990).
Air Formasi Tanjung diambil 1 ml untuk dilakukan pengenceran hingga 106 kali
dengan aquades steril. Pengenceran dilakukan bertingkat bertujuan untuk memenuhi
persyaratan statistik jumlah koloni yang dapat diamati tiap cawannya antara 30 hingga 300
koloni. Kemudian dilakukan perhitungan koloni bakteri yang tumbuh berkala selama 7 hari.
Jumlah organisme ditentukan dengan mengalikan jumlah koloni yang terbentuk dengan faktor
pengenceran pada cawan yang bersangkutan (Hadioetomo 1990).
Tabel 4. Nilai populasi bakteri campuran (Metode Hitungan Cawan /PCA)
Lama Inkubasi
(hari)
Total bakteri
Jumlah Rataan
(bakteri/ml) Nilai Log
0 2,70E+05 5,43
1 3,10E+05 5,49
3 4,70E+06 6,67
5 8,20E+07 7,91
7 1,20E+08 8,08
24
Tabel 4 merupakan jumlah koloni bakteri yang teramati sejak pemupukan diatas media
PCA. Media PCA dipilih karena merupakan media yang umum untuk pertumbuhan bakteri,
terutama untuk bakteri campuran. Data pada tabel diatas kemudian diplot dalam grafik garis
untuk melihat trend kenaikan terhadap nilai log bakteri campuran pada hari ke 1, 3, 5, dan 7
seperti terlihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Pola pertumbuhan bakteri campuran selama masa inkubasi (nilai log)
Berdasarkan gambar 10 diatas dapat diketahui bahwa jumlah bakteri meningkat seiring
dengan bertambahnya waktu inkubasi. Jumlah bakteri tersebut didapat dari rataan populasi
pengenceran hingga 1:106 kemudian dilakukan penghitungan koloni yang tumbuh diatas media
PCA. Pada hari ke-1 didapat nilai 3,1 x 105 bakteri/ml kemudian bertambah seiring waktu
inkubasi yang disesuaikan dengan pengamatan ketahanan surfaktan yakni pada hari ke-3, 5,
dan 7. Didapat nilai berturut-turut 4,7 x105 , 4,7x10
6, 8,2x10
7, dan 1,2x10
8 bakteri/ml
4.5 PENGUKURAN NILAI IFT SURFAKTAN
Tegangan antar muka antara minyak dan air menjadi salah satu faktor penting dalam
aplikasi surfaktan. Tegangan antar muka setara dengan energi atau usaha yang dibutuhkan
untuk meningkatkan area permukaan sebagai respon adanya tekanan antara dua larutan yang
berbeda polaritasnya yaitu tekanan internal suatu larutan dengan kerja tekanan larutan lain.
Surfaktan sebagai agen yang dapat menurunkan tegangan permukaan dari suatu cairan,
menjadikan penyebarannya lebih mudah, serta menurunkan tegangan antarmuka antara dua
cairan.
Air Sumur Tanjung yang telah diinokulasikan suspensi bakteri campuran menjadi
komponen utama dalam pembuatan konsentrasi surfaktan yang akan diuji. Mula-mula
Surfaktan MES Olein dicampur kedalam air formasi yang ditempatkan rapat didalam tabung
reaksi. Kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama masa inkubasi yang ditentukan (1,3,5,
dan 7 hari). Setiap pengujian nilai IFT diperlukan satu tabung reaksi ( 15 ml). Pengujian
dilakukan dengan dua ulangan (duplo). Blanko (surfaktan MES ditambahkan air formasi
Tanjung tanpa bakteri) disiapkan untuk pengukuran nilai IFT blanko hari pertama dan ke-7
sebagai pembanding.
5,43 5,49
6,67
7,91 8,08
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
0 1 3 5 7
Jum
lah
Sel
(lo
g)/
ml
Lama Inkubasi (hari)
25
Gambar 11. Emulsi surfaktan MES didalam air formasi Tanjung
Pengukuran nilai IFT dilakukan dengan Tensiometer TX-500C. Sebelum diukur nilai
IFT, terlebih dahulu diukur nilai densitas surfaktan dengan Density-meter. Mula-mula
surfaktan dihangatkan diatas penangas hingga suhu 50-60oC. Selanjutnya dimasukkan dalam
tube khusus yang tersedia dengan syringe (suntikan) 2 ml. Kemudian diinjeksikan minyak
bumi mentah (jenis Tanjung) sebanyak 2 L yang sudah berisi sampel surfaktan tersebut
(prosedur lihat Lampiran 3).
(a) (b)
Gambar 12. Foto (a) Tensiometer TX-500C (b) Densitymeter Anton Paar
Cara kerja alat Tensiometer adalah memanaskan surfaktan hingga suhu 70o
C dan
memiliki kecepatan putar 1000-10000 rpm. Tensiometer dilengkapi dengan video kamera
dengan pembesaran (zoom optical) mencapai 6.5 kali yang dihubungkan dengan monitor yang
berfungsi untuk melihat dan memotret sampel. Tensiometer ini mampu mengukur IFT dalam
rentang 102 10
-5 mN/m. Dengan demikian minyak bumi mentah yang dimasukkan dalam
surfaktan akan terlihat seperti garis hitam maupun droplet s