69
STUDI LABORATORIUM KETAHANAN SURFAKTAN MES OLEIN TERHADAP PENAMBAHAN BAKTERI CAMPURAN SUMUR MINYAK BUMI SKRIPSI FEBBY ARIAWIYANA F34060918 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

bahan kafe

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ini bahan

Citation preview

  • STUDI LABORATORIUM KETAHANAN

    SURFAKTAN MES OLEIN TERHADAP PENAMBAHAN

    BAKTERI CAMPURAN SUMUR MINYAK BUMI

    SKRIPSI

    FEBBY ARIAWIYANA

    F34060918

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2011

  • LABORATORY STUDY ON MIXED BACTERIA IN AVAILABILITY IN

    OIL WELL TO SURFACTANT MES OLEIN RESISTANCE

    1Febby Ariawiyana,

    2Erliza Hambali and

    3Abdul Haris

    1Departement of Agroindustrial Technology, Faculty Agrotechnology, Bogor Agricultural University

    1,2 Surfactant and Bioenergy Research Centre, Bogor

    3PPTMGB Lemigas, Jakarta

    Phone : +62 85695502675, e-mail : [email protected]

    ABSTRACT

    The potential surfactant that can be produced from Palm Olein is surfactant of Methyl Ester

    Sulfonates (MES). MES can be categorized as an anionic surfactant. Methyl Ester Sulfonic Acid

    (MESA) is intermediate product of MES which can be made by sulfonation of fatty acid methyl ester

    olein. Production of MESA using SO3 firstly carried out continuously in falling film reactor that rapid

    formation between SO3 and ester group. In addition to produce MES by added NaOH 50% into

    MESA. This research was aimed to inform uses the resistance of MES by added mixed bacteria

    addition on Interfacial Tensions (IFT) oil water value. Common found bacteria on oil well which is

    used in this research were : Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus

    pantothenticus, and Streptococus sp. Those bacteria were mixed with Tanjungs water formation as

    media cultivation. Concentration surfactant mixed bacteria suspension consist of 0.1%, 0.3%, 0.5%,

    1.0% and incubation time 1,3,5,7 days were applied in this research. Incubation and analysis IFT was

    done in room conditon and temperature. Analysis of variance (=0.05) showed that mixed bacteria

    addition on surfactant concentraion and incubation time gave significant effect to increase IFT.

    Keyword :surfactant MES, resistance, bacteria mixed, IFT

    mailto:[email protected]

  • Febby Ariawiyana. F34060918. Studi Laboratorium Ketahanan Surfaktan MES Olein terhadap

    Penambahan Bakteri Campuran Sumur Minyak Bumi. Dibawah Bimbingan Erliza Hambali dan

    Abdul Harris. 2011

    RINGKASAN

    Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) dan

    tegangan antar muka antara zat yang berbeda polaritasnya. Pemakaian surfaktan antara lain untuk

    aplikasi pencucian dan pembersihan (washing and cleaning applications), produk pangan,

    pertambangan, cat dan pelapis, kertas, tekstil, serta produk kosmetika dan produk perawatan diri

    (personal care products). Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik dari

    minyak olein sawit yang berpotensi menggantikan surfaktan berbasis minyak bumi (petroleum

    sulfonat) yang selama ini digunakan. Hal ini terkait dengan kelebihan yang dimiliki surfaktan MES,

    diantaranya bersifat terbarukan, lebih ramah lingkungan, secara alami mudah didegradasi dan

    memiliki sifat deterjensi yang baik walaupun digunakan pada air dengan tingkat kesadahan yang

    cukup tinggi (Matheson 1996).

    Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi awal ketahanan surfaktan terhadap

    adanya campuran bakteri yang umum dijumpai pada lingkungan sumur minyak bumi. Penelitian ini

    diawali dengan pembuatan konversi minyak sawit olein menjadi metil ester (biodiesel) olein melalui

    proses transesterifikasi. Kemudian produksi surfaktan Metil Ester Sulfonat Acid (MESA) dilakukan

    melalui proses sulfonasi metil ester dengan gas SO3 menggunakan Single Tube Film Reactor (STFR)

    pada suhu input 100oC waktu sampling 360 menit. Kemudian dilakukann aging pada suhu 80

    oC dan

    waktu 60 menit. MESA yang terbentuk dilakukan netralisasi dengan NaOH 50% membentuk MES.

    MES yang terbentuk dilakukan uji pendahuluan tegangan antar muka (Interfacial Tension) dengan

    Tensiometer model TX-500C pada konsentrasi 0.3% memberikan hasil terbaik yaitu sebesar 6x10-3

    dyne/cm.

    Bakteri yang digunakan merupakan galur campuran yang terdiri atas bakteri yang umum

    ditemukan di sumur minyak bumi yakni: Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus

    pantothenticus, dan Streptococus sp. Bakteri dicampurkan kedalam air formasi Tanjung sebagai media

    untuk pertumbuhan. Kurva pertumbuhan dilakukan pada bakteri campuran tersebut memperlihatkan

    waktu puncak tumbuh pada selang waktu 21-26 jam (fase log) kemudian setelahnya mengalami fase

    stasioner dan kematian.

    Studi ketahanan surfaktan MES olein dilakukan menggunakan faktor konsentrasi surfaktan

    0.1%, 0.3%, 0.5%, dan 1.0% serta lama inkubasi 1,3,5, dan 7 hari. Lama inkubasi tersebut

    menggambarkan kondisi surfaktan selama berada di dalam sumur minyak pada proses injeksi

    surfaktan dalam aplikasi Enhaced Oil Recovery (EOR). Analisis ragam penambahan bakteri campuran

    terhadap pengaruh faktor konsentrasi dan masa inkubasi pada tingkat kepercayaan 95% (=0,05)

    menunjukkan faktor konsentrasi surfaktan dan lama inkubasi memberikan efek signifikan terhadap

    kenaikan nilai IFT.

    Kondisi surfaktan bakteri campuran terhadap blanko (tanpa penambahan bakteri) pada hari ke-

    7 masa inkubasi memperlihatkan kenaikan IFT tertinggi pada perlakuan konsentrasi 0.3% dengan

    kenaikan 0.765 deyne/cm (1,327%). Sedangkan pada konsentrasi 0.1%, 0.5%, dan 1.0% berturut

    mengalami kenaikan 1.150 dyne/cm (1,197%), 0.070 dyne/cm (209%), dan 0.023 dyne/cm (74%).

  • STUDI LABORATORIUM KETAHANAN

    SURFAKTAN MES OLEIN TERHADAP PENAMBAHAN BAKTERI

    CAMPURAN SUMUR MINYAK BUMI

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

    Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

    Fakultas Teknologi Pertanian,

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh

    FEBBY ARIAWIYANA

    F34060918

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2011

  • Judul Skripsi : Studi Laboratorium Ketahanan Surfaktan MES Olein

    terhadap Penambahan Bakteri Campuran Sumur Minyak

    Bumi

    Nama : Febby Ariawiyana

    NIM : F34060918

    Menyetujui,

    Pembimbing I,

    ( Prof. Dr. Erliza Hambali )

    NIP. 19620821 198703 2 003

    Pembimbing II,

    ( Drs. Abdul Haris, MSi )

    NIP. 100009798

    Mengetahui;

    Ketua Departemen,

    (Prof. Dr.Nastiti Siswi Indrasti)

    NIP. 19621009 198903 2 001

    Tanggal lulus :

  • i

    PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

    SUMBER INFORMASI

    Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Studi Laboratorium

    Ketahanan Surfaktan MES Olein terhadap Penambahan Bakteri Campuran Sumur Minyak

    Bumi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum

    diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau

    dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

    teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

    Bogor, Maret 2011

    Yang membuat pernyataan

    Febby Ariawiyana

    F34060918

  • ii

    Hak cipta milik Febby Ariawiyana, tahun 2011

    Hak cipta dilindungi

    Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

    Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,

    fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

  • iii

    BIODATA RINGKAS PENULIS

    Febby Ariawiyana dilahirkan di Jakarta pada 3 februari 1988. Penulis

    merupakan anak pertama dari empat bersaudara, putra pasangan Suryana dan

    Widiasih. Penulis menamatkan Sekolah dasar di SDN Cibayana, Tangerang

    pada tahun 2000. Kemudian sekolah lanjutan pada tahun 2003 di SLTPN 1

    Tenjo, Bogor. Dan pada tahun 2006 di SMAN 1 Cisauk (SMAN 2 Kota

    Tangerang Selatan). Penulis berhasil masuk Institut Pertanian Bogor melalui

    jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2006. Dalam

    kegiatan Akademik penulis pernah menjadi Asisiten MK. Analisis Bahan dan

    Produk Agroindustri (ABPA), Teknologi Minyak Lemak, dan Oleokimia dan

    Pendidikan Agama Islam (PAI). Selain menjalankan kegiatan akademik

    penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Diantaranya

    pernah menjadi Anggota Komisi-A Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Tingkat Persiapan Bersama

    (TPB) (2006-2007). Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian (HIMALOGIN) sebagai

    wakil ketua (2008), ketua Departemen Industri (2009) dan Badan Pengawas (2010). Penulis juga

    berkesempatan menjadi peserta beasiswa Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis

    (PPSDMS)-Nurul Fikri (2008-2010) dan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) DPKHA-IPB

    (2010). Pada tahun 2010 penulis lolos seleksi proposal dalam Program Kreatifitas Mahasiswaa (PKM)

    untuk bidang kewirausahaan dan Pengabdian Masyarakat oleh DIKTI dan berkesempatan mengikuti

    PIMNAS XXIII di Denpasar, Bali. Penulis melakukan Praktik Lapang pada tahun 2009 di PT. Buana

    Wiralestari Mas (Sinar Mas Group), merupakan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit menjadi Crude

    Palm Oil (CPO) di Kab. Kampar, Riau.

  • iv

    KATA PENGANTAR

    Puji serta syukur sudah sepantasnya penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, yang telah

    memberikan begitu banyak limpahan karunia dalam setiap langkah kehidupan ini. Penulis juga

    bersyukur karena telah diberikan kekuatan dan kemudahan dalam melaksanakan tugas akhir penelitian

    sampai terselesaikannya skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan perhagaan dan

    ucapan terima kasih kepada:

    1. Prof. Dr. Erliza Hambali selaku dosen pembimbing utama dan atas izin untuk bergabung di

    Surfactant and Bioenergy Research Centre (SBRC) selama masa penelitian ini.

    2. Drs. Abdul Harris, MSi untuk kesempatan melakukan penelitian di Lemigas dan untuk saran

    dan bantuan sebagai pembimbing pendamping.

    3. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen penguji untuk saran dan evaluasi.

    4. Staf dan laboran SBRC: Mas Anas, Mas Slamet, Mas Gun, Pak Ratno, Pak Heri, Mas Saeful,

    Mas Otto, Mas Feri, dan Mas Mulyanto di PT. Mahkota Indonesia yang telah membantu

    dalam pembuatan MESA.

    5. Staf di LEMIGAS : Ibu Tuti, bapak Oci, bapak Oni, Ibu Eva untuk kebersamaan singkat

    dalam penyiapan teknis mikrobiologi dasar.

    6. Rekan satu bimbingan: Nur Hidayat, Dini, dan Rere atas motivasi, pembelajaran dan

    kerjasamanya.

    7. Kakak-kakak S2 TIP IPB: Mba Susi, Mba Reny, Mba Ira, Mba Yeni, Bu Dona, dan Mas

    Encep untuk berbagi ilmu dan pengalaman.

    8. Saudaraku PPSDMS Regional 5 Bogor angkatan 4 : Sobari, Randi, Faisal, Achmad, Ade,

    Holil, Rahman, Ismeri, Dimas dan masih banyak yang belum tersebutkan. Terimakasih untuk

    kekeluargaan yang luarbiasa.

    9. Rekan-rekan TIN 43 untuk kekompakan, kebersamaan, dan kekerabatan selama ini.

    Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan dan penyelesaian

    skripsi ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan bagi perbaikan skripsi

    ini. Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan

    bermanfaat untuk siapapun yang membutuhkannya.

    Bogor, Maret 2011

    Febby Ariawiyana

  • v

    DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR ................................................................................................................... iv

    DAFTAR ISI .................................................................................................................. ................ v

    DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... vi

    DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................... vii

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................. viii

    I. PENDAHULUAN

    1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................................... 1

    1.2 TUJUAN ............................................................................................................................ 2

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 OLEIN SAWIT ............................................................................................................. ..... 3

    2.2 SURFAKTAN..................................................................................................................... 4

    2.3 METIL ESTER SULFONAT ........................................................................................... 5

    2.4 TEGANGAN ANTAR MUKA .......................................................................................... 7

    2.5 AIR FORMASI TANJUNG ............................................................................................... 9

    2.6 BAKTERI DI LINGKUNGAN SUMUR MINYAK ......................................................... 10

    2.7 PERTUMBUHAN MIKROORGANISME ....................................................................... 11

    III. METODOLOGI PENELITIAN

    3.1 ALAT DAN BAHAN......................................................................................................... 13

    3.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN .......................................................................... 13

    3.3 METODE PENELITIAN ................................................................................................... 13

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 SIFAT FISIKOKIMIA OLEIN SAWIT ............................................................................ 17

    4.2 SIFAT FISIKOKIMIA METIL ESTER............................................................................. 18

    4.3 SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MES ..................................................................... 19

    4.4 PERTUMBUHAN BAKTERI CAMPURAN ................................................................... 21

    4.5 PENGUKURAN NILAI IFT SURFAKTAN .................................................................... 24

    4.6 KETAHANAN SURFAKTAN TERHADAP BAKTERI CAMPURAN.......................... 28

    V. SIMPULAN DAN SARAN

    5.1 SIMPULAN ....................................................................................................................... 31

    5.2 SARAN ................................................................................................................... ........... 31

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................

    32

    LAMPIRAN ................................................................................................................................... 35

  • vi

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1. Komposisi asam lemak produk sawit ............................................................................... 3

    Tabel 2. Sifat fisikokimia olein sawit ............................................................................................. 17

    Tabel 3. Sifat fisikokimia metil ester olein ..................................................................................... 18

    Tabel 4. Sifat fisikokimia surfaktan MES olein ............................................................................. 20

    Tabel 4. Hitungan cawan populasi bakteri campuran...................................................................... 23

    Tabel 5. Nilai IFT pada beberapa konsentrasi ................................................................................ 28

    Tabel 6. Perbandingan nilai IFT surfaktan terhadap blanko ........................................................... 29

  • vii

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 1. Tampilan orientasi surfaktan MES pada air ................................................................. 5

    Gambar 2. Struktur MES ...................................................................................................... .......... 6

    Gambar 3. Reaksi kimia produksi MES ......................................................................................... 7

    Gambar 4. Lokasi sumur minyak Tanjung ..................................................................................... 9

    Gambar 5. Kurva pertumbuhan bakteri .......................................................................................... 12

    Gambar 6. Diagram alir penelitian ........................................................................................... ...... 16

    Gambar 7. Bakteri campuran ......................................................................................................... 21

    Gambar 8. Kurva pertumbuhan kultur bakteri campuran ............................................................... 22

    Gambar 9. Hitungan cawan tuang PCA ........................................................................................ 23

    Gambar 10. Pola pertumbuhan bakteri (nilai log) .......................................................................... 24

    Gambar 11. Emulsi surfaktan MES di dalam air formasi Tanjung ................................................ 25

    Gambar 12. Foto Tensiometer dan Densitometer ........................................................................... 25

    Gambar 13. Foto surfaktan pada Tensiometer................................................................................. 26

    Gambar 14. Perubahan nilai IFT akibat aktifitas bakteri ................................................................ 27

    Gambar 15. Kenaikan IFT surfaktan dibandingkan blanko ............................................................ 30

  • viii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    Lampiran 1. Prosedur analisa minyak olein .................................................................................. 36

    Lampiran 2. Prosedur analisa metil ester olein ............................................................................... 37

    Lampiran 3. Prosedur analisa karakteristik surfaktan MES ........................................................... 40

    Lampiran 4. Karakteristik air formasi Tanjung .............................................................................. 43

    Lampiran 5. Prosedur uji air formasi ........................................................................................ ...... 43

    Lampiran 6. Prosedur kuantifikasi bakteri ...................................................................................... 39

    Lampiran 7. Kurva pertumbuhan bakteri (turbidimetri) ........................................................... ...... 46

    Lampiran 8a. Hasil analisis pengaruh konsentrasi dan waktu inkubasi terhadap nilai IFT

    surfaktan ..................................................................................................................

    47

    Lampiran 8b. Hasil analisis uji lanjut interaksi .............................................................................. 50

    Lampiran 9. Hasil pengukuran surfaktan MES pada berbagai perlakuan ...................................... 53

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    1.1 LATAR BELAKANG

    Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan aktif yang mampu menurunkan

    tegangan permukaan. Surfaktan dapat menurunkan tegangan antar muka akibat memiliki

    dua gugus dalam satu molekul yaitu gugus hidrofilik dan hidrofobik. Adanya dua gugus

    yang berbeda tersebut menyebabkan surfaktan mampu mencampur dua zat yang berbeda

    kepolarannya, seperti minyak dan air. Surfaktan juga mampu meningkatkan kelarutan

    suatu zat dalam larutan.

    Berdasarkan gugus hidrofiliknya surfaktan dapat dikelompokkan menjadi empat,

    yaitu: surfaktan anionik, kationik, amfoterik, dan non-ionik. Matheson (1996) menyebutkan

    kelompok surfaktan terbanyak yang diproduksi dan diguna kan oleh berbagai industri adalah

    surfaktan anionik. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu Alkilbenzen Sulfonat Linear

    (LAS), Alkohol Sulfat (AS), Alkohol Eter Sulfat (AES), Alfa Olefin Sulfonat (AOS), parafin

    (secondary alkane sulfonate, SAS), dan Metil Ester Sulfonat (MES). Jenis-jenis surfaktan

    tersebut diperoleh melalui tahapan sulfonasi atau sulfatasi.

    Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan salah satu jenis surfaktan anionik yang

    prospektif untuk dikembangkan. Memiliki beberapa keunggulan, yaitu berasal dari sumber

    terbarukan (renewable resources), lebih bersih dan ramah lingkungan, secara alami mudah

    terdegradasi (biodegradable) dan memiliki sifat deterjensi yang baik walaupun digunakan pada

    air dengan tingkat kesadahan yang cukup tinggi (Matheson 1996). MES diaplikasikan dalam

    banyak industri, mulai dari produk perawatan tubuh dan kebersihan hingga sebagai oil well

    stimulation agent dan flooding pada industri perminyakan.

    Bahan baku MES adalah minyak nabati, sehingga MES merupakan surfaktan yang

    dapat diperbarui dan lebih ramah lingkungan. Proses produksi surfaktan MES dapat

    dilakukan dengan menggunakan agen pensulfonasi diantaranya H2SO4, NaHSO3, oleum, dan

    gas SO3. Watkins (2001) menyebutkan kelapa sawit merupakan salah satu jenis minyak yang

    baik digunakan sebagai bahan baku pembuatan surfaktan MES. Asam lemak dalam kelapa

    sawit mengandung C16 dan C18 dalam bentuk asam palmitat, asam stearat, dan asam oleat yang

    mempunyai sifat daya deterjensi yang sangat baik. Maka, pembuatan surfaktan dengan bahan

    baku minyak sawit potensial untuk dikembangkan. Selain meningkatkan nilai tambah dari

    industri minyak sawit.

    Aplikasi surfaktan MES yang akan dikembangkan adalah sebagai bahan pembantu

    dalam peningkatan rekoveri minyak bumi di dalam sumur tua minyak bumi yang banyak

    tersebar di Indonesia. Andhika (2005) meneliti pengaruh penambahan bakteri aerob dan

    anaerob pada surfaktan MES Palm Kernel Oil (PKO) dengan reaktan NaHSO3 yang akan

    diformulasikan sebagai oil well stimulation agent. Hasilnya menunjukkan terjadi peningkatan

    nilai tegangan antar permukaan minyak-air selama lima hari masa inkubasi.

    Kontaminasi mikroorganisme dapat terjadi ketika MES diaplikasikan dalam stimulasi

    kimiawi, karena di dalam sumur minyak bumi juga mengandung bakteri yang mampu

    menguraikan surfaktan MES terutama dari bahan nabati. Akibatnya, kemampuan surfaktan

    MES dalam mengurangi tegangan antar permukaan antara minyak bumi dan batuan akan

    berkurang.

    Ketahanan surfaktan MES dalam skala laboratorium merupakan salah satu pengujian

    penting, sebelum benar-benar diaplikasikan dalam industri perminyakan sebagai bahan

    peningkat recovery minyak bumi pada sumur tua. Dengan melihat tegangan antar muka

    (interfacial tension) minyak air , sebagai parameter utama.

  • 2

    1.2 TUJUAN

    Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi awal/pendahuluan untuk

    menguji ketahanan surfaktan MES berbahan baku olein sawit dalam air formasi Tanjung. Pada

    kondisi dan suhu ruang terhadap adanya penambahan bakteri campuran yang sering dijumpai

    di lingkungan sumur minyak bumi.

  • 3

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 OLEIN SAWIT

    Tanaman kelapa sawit (Elais guinensis JACQ) secara umum tumbuh dengan usia rata-

    rata 2025 tahun. Pada tiga tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, hal ini

    dikarenakan kelapa sawit tersebut belum menghasilkan buah. Kelapa sawit mulai berbuah pada

    usia empat sampai enam tahun. Pada usia tujuh sampai sepuluh tahun disebut sebagi periode

    matang (the mature periode), yaitu pada periode tersebut mulai menghasilkan buah tandan

    segar (fresh fruit bunch). Tanaman kelapa sawit pada usia sebelas sampai dua puluh tahun

    mulai mengalami penurunan produksi buah tandan segar. Daerah penanaman tanaman sawit

    utama di Indonesia adalah Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Lampung, Aceh, dan

    Kalimantan.

    Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang berlainan sifatnya, yaitu minyak

    yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari biji (kernel). Minyak sawit

    yang dihasilkan dari sabut dikenal dengan crude palm oil (CPO) dan dari inti (biji) disebut

    minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO).

    Minyak sawit kasar (CPO) merupakan produk tingkat pertama yang dapat memberikan

    nilai tambah sekitar 30 % dari nilai tambah buah segar. Pemisahan asam lemak penyusun

    trigliserida pada minyak sawit dapat dilakukan dengan menggunakan proses fraksinasi. Secara

    umum fraksinasi minyak sawit dapat menghasilkan 73 % olein, 21 % stearin, 5 % Palm Fatty

    Acid Distillate (PFAD), dan 0.5 % limbah. Olein sawit merupakan fase cair yang dihasilkan

    dari proses fraksinasi minyak sawit setelah melalui pemurnian. Karakteristik fisik olein sawit

    bersifat cair pada suhu ruang, berbeda dengan minyak sawit (CPO) yang bersifat semi padat.

    Komposisi asam lemak beberapa produk sawit disajikan pada Tabel 1.

    Tabel 1. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit

    Asam lemak Jenis Bahan

    CPOa)

    PKOb)

    Oleinc)

    Stearinc)

    Laurat (C12:0)

  • 4

    (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan

    lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakstabilan, terlalu

    besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air.

    Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan dalam air. Demikian juga sebaliknya,

    apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif

    permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki

    keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan

    adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon.

    Olein sawit baik digunakan sebagai bahan baku surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES),

    hal ini dikarenakan olein sawit dominan mengandung asam lemak C16 dan C18 sebesar 40.7

    43.9 % (Hui 1996). Metil ester dari asam lemak tidak jenuh juga mudah disulfonasi oleh gas

    SO3, sehingga reaksi sulfonasi pada olein sawit akan terjadi pada ikatan C- juga terjadi pada

    ikatan rangkap. Olein merupakan fraksi cair dari minyak sawit, berwarna kuning sampai jingga

    dan diperoleh dari hasil fraksinasi minyak dari daging buah sawit. Olein merupakan trigliserida

    yang bertitik cair rendah, serta mengandung asam oleat dengan kadar yang lebih tinggi bila

    dibandingkan dengan stearin (fraksi padat dari minyak Sawit)

    2.2 SURFAKTAN

    Surfaktan adalah suatu zat yang bersifat aktif permukaan yang dapat menurunkan

    tegangan antarmuka (Interfacial Tension, IFT) minyak air. Surfaktan memiliki kecenderungan

    untuk menjadikan zat terlarut dan pelarutnya terkonsentrasi pada bidang permukaan. Sifat-sifat

    surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka,

    meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi

    (misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke

    dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau

    menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi. (Rieger 1985).

    Menurut Flider (2001), surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi ke dalam empat

    kelompok dasar, yaitu : (a) berbasis minyak-lemak, seperti monogliserida, digliserida,

    poligliserol ester, fatty alkohol sulfat, fatty alkohol etoksilat, MES, dietanolamida, sukrosa

    ester, dan sebagainya, (b) berbasis karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan N-metil

    glukamida, (c) ekstrak bahan alami, seperti lesitin dan saponin, serta (d) biosurfaktan yang

    diproduksi oleh mikroorganisme, seperti rhamnolipida, sophorolipida, lipopeptida,

    threhaloslipida, dan sebagainya.

    Surfaktan berbasis minyak-lemak (oleokimia) merupakan kelompok surfaktan berbasis

    bahan alami yang paling banyak dihasilkan. Minyak dan lemak yang biasanya digunakan untuk

    memproduksi surfaktan diantaranya yaitu tallow, tall oil, minyak biji bunga matahari, minyak

    kedelai, minyak kelapa dan minyak sawit. Umumnya bahan baku minyak dan lemak tersebut

    harus diproses terlebih dahulu menjadi senyawa oleokimia dasar sebelum digunakan untuk

    memproduksi surfaktan. Oleokimia dasar yang dihasilkan dari minyak dan lemak adalah asam

    lemak, gliserol, metil ester, dan fatty alkohol. Kebutuhan untuk memproses minyak dan lemak

    terlebih dahulu ditentukan sebelum memproduksi surfaktan tersebut berpengaruh nyata

    terhadap biaya produksi produk akhir (Flider 2001).

    Surfaktan dibagi menjadi empat bagian penting dan digunakan secara meluas pada

    hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah surfaktan anionik,

  • 5

    surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik. Surfaktan anionik adalah

    molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active).

    Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus

    sulfat atau sulfonat.

    Aplikasi surfaktan pada industri sangat luas, contohnya yaitu sebagai bahan utama pada

    industri deterjen dan pembersih lainnya, bahan pembusaan dan emulsifier pada industri

    kosmetik dan farmasi, bahan emulsifier pada industri cat, serta bahan emulsifier dan sanitasi

    pada industri pangan (Hui 1996).

    Menurut Swern (1979), kemampuan surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi

    tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik). Menurut

    Matheson (1996), kelompok surfaktan terbesar yang diproduksi dan digunakan oleh berbagai

    industri (dalam jumlah) adalah surfaktan anionik. Surfaktan anionik adalah bahan aktif

    permukaan yang bagian hidrofobiknya berhubungan dengan gugus anion (ion negatif).

    Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini

    yang terdiri atas bagian kepala dan ekor (Gambar 1). Bagian kepala bersifat hidrofilik

    (suka air), merupakan bagian yang polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik

    (benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation

    atau nonion. Sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon (Hui 1996;

    Hasenhuettl 1997).

    Gambar 1. Tampilan orientasi surfaktan pada air (Zen, 2009)

    Dalam media cair, molekul surfaktan anionik terpecah menjadi gugus kation yang

    bermuatan positif dan gugus anion yang bermuatan negatif. Gugus anion merupakan pembawa

    sifat aktif permukaan pada surfaktan anionik. Contoh khas surfaktan anionik adalah alkohol

    sulfat dan ester sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu Alkilbenzen Sulfonat Linear

    (LAS), Alkohol Sulfat (AS), Alkohol Eter Sulfat (AES), Alfa Olefin Sulfonat (AOS), parafin

    (secondary alkane sulfonate, SAS), dan Metil Ester Sulfonat (MES).

    2.3 METIL ESTER SULFONAT (MES)

    Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu

    surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan

    (surface-active). MES merupakan golongan baru dalam kelompok surfaktan anionik telah

    mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pencuci dan pembersih (washing

    and cleaning products) (Hui 1996; Matheson 1996).

    Ekor nonpolar

    Kepala Polar

    Larutan air

  • 6

    Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan agen

    sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), pereaksi yang dapat dipakai pada

    proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H2SO4), oleum (larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur

    trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik,

    beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi,

    konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, lama proses netralisasi, jenis dan konsentrasi

    katalis, pH dan suhu netralisasi (Foster 1996). Struktur kimia Metil Ester sulfonat (MES) pada

    Gambar 2 sebagai berikut :

    R CH C

    O

    SO3Na

    OCH3

    Gambar 2. Struktur MES (Watkins, 2001)

    Surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara

    metil ester dan alkohol lemak (fatty alcohol). Proses-proses yang dapat diterapkan untuk

    menghasilkan surfaktan diantaranya yaitu asetilasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, amidasi,

    sukrolisis, dan saponifikasi. Produksi surfaktan dengan bahan baku metil ester dapat berasal

    dari minyak kelapa, stearin sawit, kernel sawit (PKO), dan lemak hewan (Mac Arthur dan

    Sheats 2002).

    Menurut Matheson (1996), Metil Ester Sulfonat (MES) memperlihatkan karakteristik

    dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang

    tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan

    tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability).

    Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan

    diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan

    petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang

    lebih baik terhadap keberadaan kalsium.

    Hasil pengujian di laboratorium memperlihatkan bahwa laju biodegradasi MES serupa

    dengan LAS dan sabun, namun lebih cepat dibandingkan LAS. Hal tersebut menyebabkan

    Metil Ester Sulfonat pada masa mendatang diindikasikan akan menjadi surfaktan anionik yang

    paling penting (Watkins 2001).

    Mekanisme pembuatan Metil Ester Sulfonat adalah dengan mereaksikan Metil Ester

    (biodiesel) dengan agen pensolfunasi gas SO3 menghasilkan Metil Ester Sulfonat Acid

    (MESA). Dengan penambahan basa kuat (NaOH) terhadap MESA dihasilkan MES. Reaksi

    produksi MES seperti disajikan pada Gambar 3

  • 7

    Gambar 3. Reaksi kimia produksi metil ester sulfonat (Susi, 2010)

    Menurut Watkins (2001) jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku

    `pembuatan Metil Ester Sulfonat (MES) adalah kelompok minyak nabati seperti minyak

    kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, atau tallow (lemak

    sapi). Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan

    gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi

    ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu

    kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di

    dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen

    tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus

    hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak.

    2.4 TEGANGAN ANTAR MUKA (Interacial Tension/IFT)

    Tegangan permukaan atau energi bebas permukaan didefinisikan sebagai usaha yang

    dibutuhkan untuk memperluas permukaan cairan per satuan luas. Sedangkan tegangan

    antarmuka adalah pengukuran kekuatan sebagai usaha yang diperlukan untuk memperluas

    antar muka antara dua cairan immisible per satuan luas (Shaw 1980). Tegangan antarmuka

    adalah energi yang bergerak melintang sepanjang garis permukaan. Tegangan permukaan

    merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul

    karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase Dalam satuan SI (Standard

    International) besaran tegangan antarmuka dinyatakan dengan mN/m atau dyne/cm.

    Metil Ester

    Metil Ester

    Sulfonat

    Metil Ester

    Sulfonat Acid

    Proses

    Sulfonasi

    Bleaching

  • 8

    Turunnya tegangan antarmuka akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya

    meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara

    molekul-molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi adalah gaya antar molekul yang bekerja

    diantara molekul-molekul yang tidak sejenis.

    Adapun mekanisme dari penurunan tegangan antarmuka minyak dengan air akibat

    penginjeksian larutan surfaktan adalah sebagai berikut: surfaktan organik memiliki gugus dasar

    hidrokarbon (R) dan berikatan dengan senyawa anorganik (gugus sulfonat) SO3. Rumus

    kimianya adalah R-SO3H. Surfaktan jenis ini dalam air akan terionisasi menjadi SO3-

    dan H+.

    Bila ion molekul RSO3- kontak dengan senyawa yang bersifat nonpolar (minyak), maka gugus

    R akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi (surfaktanminyak), sedangkan pada molekul

    surfaktan ini sendiri akan bekerja gaya kohesi antara RSO3-, pengaruh gaya adhesi ini akan

    memgurangi harga resultan gaya kohesi minyak itu sendiri, yang mengakibatkan gaya

    antarmuka minyak dan air akan menurun (Affiati 1992). Saat ini diyakini jika IFT dapat

    diturunkan menjadi 10-3

    dyne/cm, maka fraksi minyak dalam pori-pori batuan dapat di

    imobilisasi lebih baik (Baviere et al 1992).

    Suatu surfaktan tersusun atas gugus hidrofobik dan hidrofilik pada molekulnya dan

    memiliki kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara dua fase yang berbeda derajat

    polaritasnya atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka

    dua cairan yang berbeda fase. Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya tegangan

    permukaan kedua cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan turunnya tegangan

    antar muka (Georgiou et al. 1992).

    Efek dari surfaktan pada fenomena antar muka merupakan fungsi dari konsentrasi

    surfaktan pada antar muka. Efektifitas surfaktan pada adsorpsi antar muka didefinisikan

    sebagai konsentrasi maksimum dimana surfaktan dapat tertahan pada antar muka. Efektifitas

    Surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak air dipengaruhi oleh beberapa

    faktor, diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan kosurfaktan yang

    digunakan, kadar garam larutan, dan adsorpsi larutan surfaktan (Menursita 2002).

    Menurut Shaw (1980), tegangan antarmuka merupakan faktor penting pada proses

    enchanced oil recovery (EOR) dalam bidang pertambangan. Surfaktan dapat menurunkan

    tegangan antarmuka antara fluida dengan fluida, fluida dengan batuan, dan fluida dengan

    hidrokarbon. Di samping itu, surfaktan dapat memecah tegangan permukaan dari emulsi

    minyak yang terikat dengan batuan (emulsion blocks), mengurangi terjadinya water blocking

    dan mengubah sifat kebasahan (wettability) batuan menjadi suka air (water wet). Dalam

    kondisi batuan yang bersifat water wet, minyak menjadi fasa yang mudah mengalir dan dengan

    demikian water cut dapat diturunkan.

    Proses EOR didefinisikan sebagai suatu metode yang melibatkan proses penginjeksian

    material yang dapat menyebabkan perubahan dalam reservoir seperti komposisi minyak, suhu,

    rasio mobilitas, dan karakteristik interaksi batuan-fluida. Metode EOR dapat dikelompokkan

    berdasarkan material yang diinjeksikan ke reservoir yaitu metode panas (air panas, steam

    stimulation, steamflood, fireflood), metode kimia (polimer, surfaktan, alkali), metode solvent-

    miscible (pelarut hidrokarbon, CO2, N2, gas hidrokarbon, campuran gas alam), dan lainnya

    (busa, mikrobial). Meskipun metode EOR kadang disebut sebagai rekoveri tersier, namun

    bukan berarti metode EOR ini diterapkan setelah fase sekunder. Beberapa metode EOR dapat

    diterapkan setelah fase primer atau bahkan saat proses pencarian minyak (discovery) (Gomaa

    1997).

  • 9

    2.5 AIR FORMASI TANJUNG

    Air formasi merupakan air yang terdapat di dalam formasi batuan. Merupakan istilah

    untuk menjelaskan larutan cair yang terdapat pada pertemuan produksi minyak dan gas dalam

    sumur minyak bumi. Istilah lain adalah air yang ada pada saat pembentukan hidrokarbon yang

    terjebak dalam layer batuan dan ditemukan dalam ruang di dalam batuan tersebut. Komposisi

    air formasi bervariasi sesuai posisi dalam struktur geologi dari air yang dihasilkan. Sebagian

    besar air formasi berisi unsur anorganik terlarut dan senyawa organik.

    Analisa air minyak bumi menunjukkan adanya berbagai sifat kimia meliputi : unsur

    organik, seperti natrium, kalsium, magnesium kalium, strontium, lithium, barium, aluminium,

    besi, timbal hitam, mangan, silikon, dan seng; anion yaitu klorida, bromida iod, arsenat, borat,

    karbonat, florida, hidroksi, asam organik, garam, fosfat dan boron; gas terlarut seperti CO2, N2,

    dan H2S; dan sifat fisik geologi seperti: kompresibilitas, densitas, faktor volume formasi,

    tahanan jenis, tegangan antarmuka, viskositas, pH, dan potensial redoks (Collins 1989).

    Lapangan Tanjung merupakan salah satu daerah operasi milik PT. Pertamina (Persero)

    Unit Bisnis Pertamina EP Tanjung, yang berlokasi 230 km timur laut Banjarmasin,

    Kalimantan Selatan atau 240 km dari Balikpapan, Kalimantan Timur (Gambar 4). Sejarah

    penemuan lapangan ini diawali dengan penemuan minyak oleh Mijn Bouw Maatschappij

    Martapoera pada tahun 1898 dengan melakukan empat pengeboran sumur minyak. Dotsche

    Petroleum Maatschappij, perusahaan Belanda mengambil alih lapangan ini pada tahun 1912.

    Namun tidak bertahan lama lapangan ini diambil alih oleh sesama perusahaan Belanda pada

    tahun 1930 yang bernama N.V. Bataache Petroleum Maatschappij atau lebih dikenal dengan

    BPM.

    Struktur Tanjung terletak pada Cekungan Barito bagian Timur Laut, yang dibatasi oleh

    Sunda Shelf, dibagian bawah Meratus High, dibagian Timur dan Utara dibatasi oleh Kuching

    High. Struktur Tanjung berbentuk asymmetric NE-SW oriented faulted anticline, yang dibatasi

    di Barat dan Utara oleh patahan. Struktur Tanjung mempunyai panjang sekitar 9 km dan lebar

    sekitar 3 km dengan luas 2973,74 acre ( Wibowo 2008)

    Gambar 4. Lokasi lapangan Tanjung (Wibowo 2008)

    PETA LOKASI

  • 10

    2.6 BAKTERI DI LINGKUNGAN SUMUR MINYAK BUMI

    Kelimpahan organisme dalam ekosistem ditentukan oleh ketersediaan energi dan

    sumber karbon serta nutrisi esensial. Tiap-tiap spesies atau galur dalam ekosistem memiliki

    kebutuhan nutrisi khusus, sifat kinetik, kemampuan biokimia, struktur khusus, dan lebih lanjut

    lagi mempunyai tingkat yang berbeda dalam toleransi atau kemampuan terhadap kondisi

    lingkungan (Balows et al. 1992). Menurut kadarwati et al. (1994) mikroorganisme yang

    banyak hidup dan berperan di lingkungan hidrokarbon minyak bumi sebagian besar adalah

    bakteri. Bakteri yang sesuai harus mempunyai kemampuan fisiologi dan metabolik untuk

    mendegradasi bahan pencemar Bakteri, terutama jenis aerob, dapat mengoksidasi hidrokarbon

    dalam minyak bumi dan menggunakannya sebagai sumber karbon dan energi bagi

    pertumbuhannya. Umumnya bakteri yang dijumpai dalam reservoir minyak bumi berasal dari

    lingkungan sekitarnya, baik yang berasal dari lingkungan tanah maupun perairan.

    Minyak bumi umumnya mengandung ratusan senyawa kimia, dengan hidrokarbon

    sebagai penyusun utamanya. Kebanyakan minyak bumi mengandung 90- 95% hidrokarbon,

    meskipun ada yang memiliki 50% hidrokarbon (Davis 1967). Hidrokarbon sebagai satu-

    satunya sumber karbon yang berada di dalam minyak bumi dapat dimanfaatkan oleh bakteri

    pengoksidasi hidrokarbon untuk menyokong pertumbuhannya (Madigan dan Martinko 2006).

    Mikroorganisme dalam hidup dan pertumbuhannya memerlukan sejumlah nutrisi atau

    makanan dan energi. Hidrokarbon minyak bumi akan dikonsumsi mikroorganisme sebagai

    sumber karbon dan energi. Unsur karbon yang terdapat pada minyak bumi, nitrogen dan fosfor

    dalam suatu lingkungan tertentu akan digunakan mikroorganisme untuk pertumbuhan dan

    biosintesisi unsur pokok bakterial (Oetomo 1997).

    Bakteri yang diisolasi dari lingkungan minyak bumi umumnya tumbuh secara optimal

    pada suhu 37oC Faktor suhu dan tekanan akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman

    formasi. Formasi yang terdalam masih menyediakan lingkungan untuk pertumbuhan

    mikroorganisme. Suhu pada kedalaman reservoir meningkat rata-rata sebesar 1-20C tiap 100

    kaki (Menursita 2002).

    Mikroorganisme pendegradasi minyak bumi umunya tergolong dalam mikroba aerob,

    sehingga adanya oksigen sangat penting dalam proses degradasi. Dalam studi laboratorium,

    penambahan oksigen dapat dilakukan dengan pengadukan dan aerasi. Pengadukan

    menyebabkan pecahnya lapisan minyak pada permukaan air sehingga berlangsung suplai

    oksigen dari udara. Dengan demikian kebutuhan mikroorganisme akan oksigen akan terpenuhi.

    Penelitian Bossert dan Bartha (1984) menunjukkan bahwa dari 22 genera bakteri yang

    hidup di lingkungan minyak bumi, isolat yang mendominasi terdiri dari beberapa genera yaitu :

    Alcaligenes, Arthrobacter, Nocardia, Achromobacter, Bacillus, Flavobacterium, dan

    Pseudomonas. Penelitian lain dari Udiharto (1992) menunjukkan bahwa pseudomonas sp.

    merupakan genera yang paling dominan ditemui di lingkungan minyak bumi. Genus

    Pseudomonas telah dikenal luas sebagai salah satu kelompok mikroba yang memiliki

    kemampuan yang tinggi dalam mendegradasi minyak bumi. Bakteri ini memiliki kemampuan

    mendegradasi fraksi alifatik, aromatik dan resin (Harayama et al. 1995).

    Penelitian yang dilakukan Mustafa et al. (2009) mengidentifikasi bakteri indigen sumur

    minyak bumi di Jawa Barat yakni: Pseudomonas aeroginosa, Pseudomonas diminuta,

    Pseudomonas putida, Bacillus circulans, dan Geobacillus sebagai isolat yang mampu bertahan

    diatas suhu 55oC hingga 90

    oC dalam uji termofilik bakteri. Menurut Brooks et al. (2005),

    berbagai spesies dari genus Pseudomonas memiliki penyebaran yang luas pada tanah, air,

    tanaman maupun hewan. Hal ini didukung oleh kebutuhan nutrisinya yang sederhana dan

  • 11

    tumbuh secara kemoorganotrof. Karakteristik yang mencolok dari kelompok ini adalah variasi

    yang sangat luas terhadap penggunaan senyawa organik sebagai sumber karbon dan energi.

    Pseudomonas mampu memanfaatkan berbagai senyawa hidrokarbon seperti alkana rantai lurus

    C11C36, alkana bercabang, fenantren, antrasen dan naftalen, benzotiofen, dibenzotiofen, xylen,

    dan toluen (Van Hamme 2000).

    Sedangkan Bacillus diketahui dapat tumbuh dengan baik pada berbagai sumber karbon,

    diantaranya dengan mengoksidasi berbagai hidrokarbon alifatik (Davis 1967). Kelompok

    pembentuk endospora ini lazim ditemukan dalam tanah, air, udara dan tumbuh-tumbuhan.

    Beberapa strain Bacillus dapat ditemukan di daerah ekstrim seperti danau soda dan tanah

    berkadar karbonat tinggi yang memiliki pH alkali. Selain itu, dapat juga diisolasi dari lokasi

    geotermal dan sumber air panas yang bersuhu tinggi (Madigan dan Martinko 2006).

    Penelitian Knight dan Proom (1950) menemukan adanya organisme baru dari isolasi

    yang dilakukan terhadap mesopilik spesies dari genus Bacillus yang berasal tanah. Mampu

    tahan dalam kondisi simulasi 4% NaCl broth dan suhu inkubasi 370C pada Agar Nutrien. Jenis

    tersebut adalah Bacillus pantothenticus. Karakterisasi B.pantothenticus termasuk dalam bakteri

    gram-positif, bersifat aerob fakultatif, berbentuk batang vegetatif ukuran 0.5-4.0 m, umumnya

    hidup sendiri atau bercampur dalam bebrapa organisme lainnya. Mampu tumbuh dalam

    medium mengandung garam, asam-hidrolase casein dengan aneurin, biotin, dan asam

    pantotenik (Knight dan Proom 1950).

    Adapun bakteri Streptococcus dan Staphylococcus termasuk dalam gram positif bersifat

    aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan

    maupun berkelompok, dengan diameter sekitar 0,8-1,0 m Staphylococcus aureus tumbuh

    optimum pada shu 370C mampu menghsilkan katalase, yaitu enzim untuk mengkonversi H2O2

    menjadi H2O dan O2, dan koagulase, enzim yang mengakibatkan fibrin berkoagulasi dan

    menggumpal (Madigan dan Partinko 2006).

    2.7 PERTUMBUHAN MIKROORGANISME

    Pertumbuhan mikroorganisme sangat tergantung pada tersedianya substrat dan karbon

    sebagai sumber energi. Kecepatan pertumbuhan mikroorganisme dalam suat medium

    bergantung dengan kondisi yang seimbang antara populasi mikroorganisme dengan substrat

    yang tersedia, artinya apabila mikroorganisme mendapat substrat yang cukup populasi akan

    berkembang dan tumbuh dengan cepat, sebaliknya apabila jumlah substrat yang tersedia

    terbatas. Maka, energi yang diperoleh hanya cukup untuk mempertahankan hidupnya. Karbon

    yang tersedia pada hidrokarbon minyak bumi akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk

    aktivitas pertumbuhannya. Selain karbon, kebutuhan unsur lain yang esensial adalah: nitrogen,

    fosfor, oksigen, belerang, kalilum, magnesium, dan besi. (Jordan dan Payne 1980)

    Fardiaz (1988) menyatakan banwa pertumbuhan organisme seluler merupakan

    pertambahan massal sel yang juga berarti pertambahan jumlah sel. Bakteri merupakan sel

    prokariotik yang tumbuh dengan cara pembelahan biner. Menurut Pelczar dan Chan (1986)

    pertumbuhan bakteri dapat dibagi dalam empat fase pertumbuhan yaitu fase perumbuhan

    lambat/lag, fase exponensial, fase stasioner, dan fase kematian. Pertumbuhan mikroorganisme

    dicirikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk menggandakan massa sel atau jumlah sel.

    Menurut Fardiaz (1988) pengukuran jumlah mikroorganisme diperlukan untuk mengetahui

    pola pertumbuhannya. Pengukuran dapat dilakukan secara langsung dengan pengukuran nilai

    http://id.wikipedia.org/wiki/Spora

  • 12

    densitas optik (OD) maupun bobot kering sel. Pengukuran nilai densitas optik berbanding

    lurus dengan konsentrasi sel pada kisaran tertentu.

    Kurva pertumbuhan diperoleh melalui perhitungan jumlah bakteri yang dihitung pada

    waktu-waktu tertentu sehingga menunjukkan pola pertumbuhan bakteri tersebut. Pola

    pertumbuhan bakteri pada umumnya memiliki empat fase pertumbuhan, yaitu fase permulaan

    atau adaptasi (fase lag), fase pertumbuhan eksponensial atau logaritma (fase log), fase

    stasioner, dan fase kematian.

    Fase pertumbuhan awal atau fase lag merupakan awal pertumbuhan mikroba ketika

    bakteri baru menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Fase ini ditandai dengan perubahan

    komposisi kimiawi sel, penambahan ukuran, substansi seluler, dan waktu generasinya relatif

    panjang. Fase selanjutnya adalah fase pertumbuhan eksponensial atau fase log yang merupakan

    fase pertumbuhan sel paling cepat dan paling aktif. Pada fase ini, metabolisme sel paling aktif,

    sintesis bahan sel sangat cepat dengan jumlah konstan hingga nutrien habis. Fase log sangat

    dipengaruhi oleh suhu dan komposisi media pertumbuhan. Fase optimum pertumbuhan bakteri

    ini memungkinkan dalam mempelajari enzim dan komponen bakteri lainnya, termasuk

    metabolit primer (Rahman 1992).

    Gambar 5. Kurva pertumbuhan bakteri (Rahman 1992)

    Setelah nutrisi pada media pertumbuhan sudah habis, pertumbuhan sel mulai terhambat,

    kecepatan pembelahan sel berkurang, dan jumlah sel yang mati mulai bertambah, serta mulai

    dihasilkannya metabolit sekunder. Pada fase ini, jumlah sel hidup konstan seperti tidak terjadi

    pertumbuhan, sehingga disebut sebagai fase stasioner. Berikutnya, nutrisi dari media

    pertumbuhan sudah tidak tersedia lagi dan terjadi penimbunan hasil metabolisme yang bersifat

    toksik yang mengakibatkan penurunan jumlah populasi bakteri secara drastis. Fase ini disebut

    sebagai fase kematian. Namun, pada fase ini tetap terdapat sel yang dapat bertahan hidup

    dengan waktu generasi yang relatif lama (Rahman 1992).

    Log j

    um

    lah

    bak

    rte

    ri

    Fase

    lag

    Fase

    kematian

    Fase

    Log

    Fase Stasioner

    Waktu

  • 13

    III. METODOLOGI PENELITIAN

    3.1 ALAT DAN BAHAN

    3.1.1 Alat

    Peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan metil ester adalah tank esterifikasi

    skala pilot plant 100 L. Sedangkan untuk pembuatan MES digunakan reaktor sulfonasi Single

    Tube Falling Film Reactor (STFR). Untuk keperluan analisa mikrobiologi menggunakan antara

    lain autoklaf, tabung reaksi, cawan petri, durgasky stick, bunsen, selongsong pipet, pipet

    serologis 1 ml, kapas, sumbat karet, vortex mixer, oven sterilisasi, pipet mikrometer, quebec

    colony meter. Keperluan untuk fisikokimia MES: piknometer, pH meter, gelas ukur, labu

    erlemeyer, hotplate stirrer, neraca analitik. Sedangkan untuk uji IFT menggunakan: Density

    Meter DMA 4500M/Anton Paar dan spinning drop Tensiometer TX 500 C.

    3.1.2 Bahan

    Bahan baku utama yang digunakan adalah surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) dari

    olein, air formasi sumur Tanjung. Untuk keperluan analisan MES diantaranya: larutan KI 10

    %, larutan Na2S2O3 0,1 N, indikator fenolftalein 1%, KOH 0,1 N, NaCl, CaCl2.2H2O, NaOH

    0.1 N, campuran 50% toluen 50% etanol 95%, campuran sikloheksan asam asetat glasial,

    larutan Wijs, indikator Metilene blue, N-cetylpyridiumchloride, dan aseton. Media yang

    dipergunakan untuk pertumbuhan bakteri adalah Nutrient Broth dan minyak bumi mentah

    (crude oil), sedangkan untuk analisa mikroorganisme digunakan adalah Nutrient Agar (NA)

    dan Nutrient Broth (NB).

    3.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

    Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Desember 2010. Pembuatan

    surfaktan MES dilakukan di Laboratorium Produksi Surfaktan MES SBRC IPB di PT Mahkota

    Indonesia, Pulogadung, Jakarta. Pengambilan sampel bakteri berasal dari BLCC

    (Biotechnology Lemigas Culture Collection) PPTMGB Lemigas, Jakarta. Analisa surfaktan

    dan IFT di Laboratorium Analisis SBRC Institut Pertanian Bogor.

    3.3 METODE PENELITIAN

    3.3.1 Sifat Fisiko Kimia Olein

    Penelitian ketahanan surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) ini menggunakan bahan

    baku olein sawit. Olein sawit merupakan salah satu hasil fraksinasi berbentuk cair dari minyak

    sawit kasar (Crude Palm Oil). Sebelum dilakukan proses transesterifikasi, maka analisis olein

    sawit diperlukan untuk mengetahui sifat fisikokimia olein sawit. Adapun sifat fisikokimia yang

    diuji meliputi beberapa parameter yaitu: kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan

    penyabunan, fraksi tak tersabunkan serta komposisi asam lemak pada olein sawit.

  • 14

    3.3.2 Metil Ester Olein

    Bahan baku olein sawit diproses secara transesterifikasi untuk menghasilkan metil ester

    olein. Proses transesterifikasi dilakukan dengan cara pemanasan hingga suhu 60 C kemudian

    dimasukkan dalam tangki transesterifikasi dan ditambahkan larutan metoksida (methanol 15%

    v/v, KOH 1% b/v) dengan pengadukan selama 1 jam. Setelah 1 jam, dipindahkan ke dalam

    tangki settling (pengendapan) dan diendapkan selama 24 jam untuk pemisahan gliserol.

    Gliserol dipisahkan, kemudian dilakukan pencucian menggunakan air minimal 3-4 kali untuk

    menghilangkan gliserol dan sabun yang terbentuk, dan selanjutnya dikeringkan dengan

    pemanasan dan pengadukan hingga tidak terlihat lagi gelembung air pada permukaan.

    Terhadap metil ester yang dihasilkan dilakukan analisa sifat fisika-kimia meliputi: kadar air,

    bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, fraksi tak tersabunkan, dan kadar ester.

    3.3.3 Pembuatan Metil Ester Sulfonat

    Tahapan selanjutnya dalam produksi surfaktan MESA adalah proses sulfonasi yang

    merupakan proses pelekatan gugus sulfonat pada senyawa organik. Pada kegiatan penelitian ini

    digunakan gas SO3 sebagai agen sulfonasi dan Metil Ester Olein. Reaksi sulfonasi terjadi di

    dalam Reaktor Single Tube Falling Film Reactor (STFR) setinggi 6 m diameter tube 25 mm.

    Kontak Gas SO3 dan Metil Ester dilakukan pada laju alir 75 ml/menit dengan suhu input

    bahan 100 C selama 360 menit. MESA dilanjutkan dengan proses aging pada suhu 80oC dan

    waktu 60 menit. Surfaktan MESA dinetralkan dengan NaOH 50% untuk mendapatkan

    surfaktan MES. Kemudian dilakukan analisa fisikokimia berupa: densitas, warna, bilangan

    asam, dan bahan aktif.

    3.3.4 Pembuatan Kultur Bakteri Campuran

    Kultur bakteri yang digunakan merupakan koleksi dari BLCC (Biotechnology Lemigas

    Culture Collections). Kultur bakteri yang digunakan adalah: Staphylococcus aureus,

    Pseudomonas aeruginos, Bacillus pantothenticus, dan Streptococus sp. Sediaan kultur tersebut

    diambil 1 ose dari media agar miring untuk dilakukan penyegaran (propagasi) dengan cara

    digoyangkan dalam media nutrient broth cair dengan shaker selama 48 jam pada suhu 37oC.

    Kemudian diambil 5 ml pada masing-masing kultur tersebut secara aseptik untuk dicampurkan

    dalam media nutrient broth yang baru sebanyak 200 ml.

    3.3.5 Inokulasi Bakteri

    Air formasi Tanjung sebanyak 500 ml yang telah disaring dilakukan sterilisasi pada

    suhu 121o C selama 15 menit dengan otoklaf Setelah itu, didinginkan sehingga mencapai suhu

    30oC. Kemudian dilakukan penambahan suspensi bakteri campuran sebanyak 5 ml (1% v/v).

    Dilakukan pencampuran dengan dikocok merata. Air formasi yang ditambahkan suspensi

    bakteri campuran diletakkan pada kondisi steril pada suhu ruang (25-30 oC). Air formasi ini

    akan digunakan untuk analisa ketahanan surfaktan MES.

  • 15

    3.3.6 Pembuatan Kurva Pertumbuhan

    Sebanyak 2-3 ml sampel (air formasi yang telah ditambahkan bakteri campuran)

    diambil setiap jamnya. Untuk melihat pola pertumbuhan bakteri yang akan dibuat kurva

    tumbuh selama 36 jam. Selanjutnya, dilakukan pengukuran jumlah sel dengan metode

    turbidimetri melalui perhitungan Optical Density (OD) menggunakan spektrofotometer pada

    panjang gelombang 550 nm. Kurva pertumbuhan diperoleh dengan memplotkan waktu (jam)

    pada sumbu x dan OD pada sumbu y.

    3.3.7 Pengujian Ketahanan Surfaktan MES

    Surfaktan MES yang telah disterilisasi di timbang untuk penentuan kebutuhan dalam

    pembuatan konsentrasi 0.1%; 0.3%; 0.5%; dan 1.0% surfaktan dalam air formasi. Sebagai

    contoh untuk pembuatan konsentrasi 0.1% dalam 20 ml suspensi bakteri (air formasi)

    ditambahkan 0,02 gram surfaktan MES. Campuran tersebut diletakkan di dalam tabung reaksi

    dan ditutup dengan alumium foil. Kemudian di inkubasi dalam kondisi dan suhu ruang selama

    7 hari dengan dilakukan pengamatan pada hari ke-1, 3, 5, dan 7 sebanyak 2 kali ulangan.

    Waktu inkubasi tersebut menggambarkan lamanya surfaktan berada dalam sumur minyak.

    Ketahanan MES diukur melalui kemampuannya dalam menurunkan tegangan antar muka

    (IFT). Pengukuran IFT menggunakan alat Tensiometer kemudian dibandingkan dengan MES

    yang tidak diberikan kultur bakteri (kontrol). Sebagai pengamatan awal ketahanan surfaktan.

    Kondisi pengujian dilakukan dalam kondisi ruang pada suhu 27 30 oC

    Model Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) in Time

    dengan dua faktor yakni konsentrasi surfaktan dalam suspensi bakteri (B) dan lama inkubasi

    (S). Faktor konsentrasi surfaktan terhadap suspensi bakteri terdiri atas empat taraf, sedangkan

    faktor lama inkubasi sebanyak empat taraf. Masing-masing dilakukan ulangan sebanyak dua

    kali. Model Linear percobaan (Mattjik dan Sumertajaya 2006):

    Yijk = + Bi + Sj + (BS)ij + ij + ijk

    Keterangan :

    Yijk = Hasil pengamatan konsentrasi ke-i, lama inkubasi ke-j pada Ulangan ke-k

    = Rata-rata yang sebenarnya

    Bi = pengaruh konsentrasi ke-i (i = 0.1, 0.3, 0.5, 1.0)

    Sj = pengaruh lama inkubasi ke-j (j= 1, 3, 5, 7)

    (BS)ij = pengaruh interaksi konsentrasi ke-i dengan lama inkubasi ke-j

    ij = komponen acak perlakuan ijk = Galat percobaan

    Interaksi RAL intime dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mendapatkan perlakuan

    terbaik. Kemudian dilanjutkan uji- t dengan membandingkan perlakuan terbaik dengan kontrol.

    Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

  • 16

    Gambar 6. Diagram alir penelitian ketahanan surfaktan MES

    Surf.

    1,0%

    Pengukuran IFT

    (Tensiometer)

    Metil Ester Sulfonat

    Filtrasi (0,45 m)

    Streptococus

    sp.

    Bacillus

    pantothenticus

    Pseudomonas

    aeruginosa

    Staphylococcus

    aureus

    Bakteri

    Campuran

    1-2%

    Sterilisasi

    (T=121oC, t=15)

    Air Formasi

    Tanjung Steril

    500 ml

    Inokulasi aseptik

    Metil Ester

    Metil Ester

    Sulfonat Acid

    (MESA)

    Propagasi

    (penyegaran)

    Shaker

    T=37oC,

    48 jam

    Air Formasi +

    Bakteri Campuran

    Pembuatan

    kurva tumbuh

    (spektrometer)

    Surf.

    0,1%

    Surf.

    0,3%

    Surf.

    0,5%

    Inkubasi (1, 3, 5, 7 hari)

    Surf. blanko

    Transesterifikasi

    Sulfonasi (SO3)

    Reaktor STFR

    Netralisasi

    (NaOH 50%)

    Kuantifikasi Bakteri

    (hitungan cawan)

    PCA

    Kultur Bakteri

    BLCC

    Air Formasi

    Tanjung

    Minyak

    olein sawit

  • 17

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 SIFAT FISIKOKIMIA OLEIN SAWIT

    Penelitian pembuatan surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) ini menggunakan bahan

    baku olein sawit. Olein sawit merupakan salah satu hasil fraksinasi berbentuk cair dari minyak

    sawit kasar (Crude Palm Oil). Sebelum dilakukan proses transesterifikasi, maka analisis olein

    sawit diperlukan untuk mengetahui sifat fisikokimia olein sawit. Sifat fisikokimia olein sawit

    menjadi acuan kondisi reaksi transesterifikasi yang digunakan untuk mengkonversi olein sawit

    menjadi metil ester olein. Hasil analisis olein sawit selengkapnya disajikan dalam Tabel 2.

    Tabel 2. Sifat fisikokimia olein sawit

    Analisis Satuan Nilai

    Asam lemak bebas % 0.19

    Bilangan asam mg KOH/g minyak 0.41

    Bilangan iod mg iod/g minyak 61.33

    Bilangan penyabunan mg KOH/g minyak 208.40

    Densitas g/L 0.906

    Viskositas (29 oC) 61.5

    Kadar Air % 0.103

    Fraksi tak tersabunkan %

    0.38

    Menurut Mittelbach dan Remschmidt (2006) minyak dengan bilangan asam di bawah 1

    mg KOH/ gram minyak dapat diolah secara langsung melalui proses transesterifikasi,

    sedangkan Sanford et al. (2009) menyebutkan mensyaratkan asam lemak bebas pada bahan

    baku untuk pembuatan metil ester tidak lebih besar dari 0.5%. Hal ini terkait dengan pengaruh

    asam lemak bebas dalam proses produksi metil ester yakni menyebabkan terjadinya deaktivasi

    katalis yang diakibatkan karena asam lemak bebas bereaksi dengan natrium metoksida

    membentuk sabun. Aktivitas katalis basa yang berkurang akan mengganggu konversi minyak

    menjadi metil ester. Analisis sifat fisikokimia olein sawit menunjukkan bilangan asam 0,41 mg

    KOH/gram dan asam lemak bebas 0.19% sehingga dapat dilakukan proses transesterifikasi

    langsung untuk membuat metil ester.

    Hasil analisa menyebabkan bilangan iod olein sebesar 61.33 mg iod/g minyak. Bilangan

    iod dan komposisi asam lemak tidak berpengaruh terhadap proses transesterifikasi, namun

    menentukan karakteristik metil ester yang dihasilkan. Metil ester dari minyak tidak jenuh

    kurang stabil terhadap oksidasi. Stabilitas terhadap oksidasi ditentukan oleh 2 aspek yaitu

    keberadaan atom hidrogen pada ikatan rangkap yang merupakan titik terjadinya oksidasi dan

    adanya antioksidan alami pada minyak yang dapat mencegah oksidasi pada molekul

    trigliserida (Sanford et al. 2009).

    Pengujian terhadap bilangan penyabunan olein 208.4 mg KOH/g. Sedangkan bilangan

    penyabunan olein sawit sebesar 194 202 mg KOH/gram minyak (Hui 1996). Bilangan

    penyabunan mengukur bobot molekul atau panjang rantai karbon asam lemak di dalamnya.

    Menurut Sanford et al. (2009), semakin tinggi bilangan penyabunan menunjukkan asam lemak

    penyusun trigliserida memiliki panjang rantai karbon pendek. Jika panjang rantai karbon asam

  • 18

    lemak pendek, maka dalam 1 gram lemak atau minyak kandungan asam lemaknya semakin

    banyak sehingga kebutuhan KOH untuk penyabunan semakin tinggi demikan sebaliknya.

    Dari hasil analisis, olein sawit yang digunakan untuk bahan baku pembuatan metil ester

    mengandung sejumlah kecil air 0.13%. Air merupakan komponen minor dalam olein, namun

    dalam proses produksi metil ester sangat penting untuk dihilangkan. Menurut Gerpen et al.

    (2004) kandungan air dalam bahan baku masih ditoleransi hingga 1%. Air mampu

    menghidrolisis trigliserida menjadi digliserida dan akhirnya terbentuk asam lemak bebas.

    Asam lemak bebas akan bereaksi dengan katalis basa membentuk sabun. Air pada olein dapat

    dihilangkan dengan proses pemanasan dan dibantu dengan kondisi vakum untuk

    meminimalkan pembentukan emulsi selama proses transesterifikasi.

    Fraksi tak tersabunkan yang terdapat pada olein sawit yang digunakan sebesar 0.38%.

    Fraksi tak tersabunkan merupakan senyawa yang tidak dikehendaki dalam minyak yang harus

    dihilangkan atau diminimalkan. Fraksi tak tersabunkan terdiri dari senyawa organik yang tidak

    bereaksi dengan basa untuk membentuk sabun. Fraksi tak tersabunkan terdiri dari sterol,

    alkohol dengan bobot molekul yang tinggi, pigmen, lilin (waxes) dan hidrokarbon. Fraksi ini

    bersifat sangat non polar, sehingga memungkinkan terbawa pada metil ester setelah reaksi

    transesterifikasi sehingga dapat mengurangi kemurnian metil ester dan dapat mempengaruhi

    proses selanjutnya.

    4.2 SIFAT FISIKOKIMIA METIL ESTER OLEIN

    Tahapan penting pada penelitian ini adalah produksi bahan baku utama untuk sulfonasi,

    yaitu metil ester. Metil ester dipilih sebagai bahan untuk sulfonasi karena kualitas metil ester

    sebagai bahan sulfonasi lebih baik, yaitu sifat metil ester yang tidak mudah teroksidasi

    dibandingkan jika menggunakan trigliserida dan asam lemak sebagai bahan baku sulfonasi.

    Menurut Sheats dan MacArthur (2002) penggunaan metil ester sebagai bahan baku

    pembuatan Metil Ester Sulfonat sangat memfokuskan pada tingginya hidrogenasi dan

    kemurnian bahan baku, hal ini terkait dengan tingkat ketidakjenuhan dan distribusi rantai

    karbon didalamnya. Tabel 3 memperlihatkan analisa metil ester olein.

    Tabel 3. Sifat fisikokimia metil ester olein

    Analisis Satuan Nilai

    Kadar air % 0,13

    Bilangan asam mg KOH/g ME 0,21

    Bilangan iod mg I/g ME 63,74

    Bilangan penyabunan mg KOH/g ME 276,30

    Fraksi tak tersabunkan % 0,14

    Kadar ester % 97,57

    Kadar air yang masih terkandung di dalam metil ester olein sebesar 0.13%. Adanya air

    dalam metil ester dapat menyebabkan air bereaksi dengan ester membentuk asam lemak bebas.

    Air dapat terbentuk selama proses transesterifikasi melalui reaksi antara katalis NaOH atau

    KOH dengan metanol, atau bahkan dari proses pencucian untuk menghilangkan gliserol.

  • 19

    Analisis bilangan asam metil ester olein sawit dilakukan untuk mengukur tingkat

    konversi metil ester. Penurunan bilangan asam dari olein sebesar 0.41 mg KOH/g sampel

    menjadi 0.21 mg KOH/g menunjukkan penurunan asam lemak bebas, karena teresterifikasi

    menghasilkan metil ester. Bilangan asam pada metil ester setelah proses transesterifikasi lebih

    rendah karena katalis basa akan memisahkan asam lemak bebas melalui mekanisme

    pembentukan sabun. Bilangan asam dapat meningkat sejalan dengan waktu penyimpanan

    karena terjadinya reaksi dengan udara atau air (Gerpen et al. 2004). Penurunan bilangan asam

    berkorelasi dengan kadar ester metil olein yaitu sebesar 97.57%, hal ini menunjukkan konversi

    olein sawit menjadi metil ester cukup tinggi. Menurut Mittelbach dan Remschmidt (2006)

    kadar ester minimum metil ester sebagai bahan bakar adalah sebesar 96.5%.

    Metil ester olein yang dipergunakan pada penelitian ini memiliki bilangan iod sebesar

    63.74 mg iod/g ME. Bilangan iod metil ester olein masih lebih tinggi dibandingkan dengan

    standar yang digunakan Chemithon yaitu 0.39 cg iod/g ME (Sheats dan MacArthur 2002). Hal

    ini menunjukkan bahwa tingkat ketidakjenuhan metil ester olein yang digunakan dalam

    penelitian ini masih lebih tinggi dibandingkan standar dari Chemithon.

    4.3 SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MES OLEIN

    Proses utama dalam produksi surfaktan MES adalah pada tahapan sulfonasi. Bahan

    baku utama dalam proses sulfonasi adalah metil ester olein dan gas SO3. Proses sulfonasi gas

    SO3 terhadap metil ester olein berlangsung secara cepat pada Single Tube Falling Film Reactor

    (STFR). Falling Film Reactor ini berukuran tinggi 6 meter dengan diameter tube 25 mm.

    Kontak Gas SO3 dan metil ester dilakukan pada laju alir 75 ml/menit dengan suhu input bahan

    100 C selama 360 menit. Proses tersebut menghasilkan produk antara yang disebut Metil

    Ester Sulfonat Asam (MESA).

    Kemudian dilakukan aging pada suhu 80o C dan lama 60 menit. Proses tersebut Proses

    aging dilakukan pada MESA agar mencapai reaksi sulfonasi yang sempurna. Proses ini

    melibatkan penyusunan ulang (rearrangement) struktur molekul intermediet

    (RCHSO3HCOOSO3CH3) menjadi methyl ester sulfonic acid atau MESA

    (RCHSO3HCOOCH3). MESA dilewatkan kedalam digester yang memilki suhu konstan

    (~80oC) selama kurang lebih satu jam. Efek samping dari MESA digestion adalah penggelapan

    warna campuran asam sulfonat secara signifikan.

    Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses sulfonasi menggunakan gas SO3

    khususnya dengan teknologi STFR antara lain sumber dan kemurnian (purity) agent/bahan

    sulfonasi, tipe dan kualitas Metil Ester, kondisi reaksi serta tipe dan unjuk kerja reaksi

    sulfonasi (Moretti et al. 2001). Adapun penelitian yang dilakukan oleh Susi (2010)

    menyebutkan karakteristik tube reaktor STFR harus dapat membuat ketebalan film yang tepat

    untuk kontak dengan SO3 secara maksimum. Pengaturan laju alir gas/liquid ditentukan oleh

    diameter tube, hal ini terkait dengan distribusi permukaan, ketebalan film dan penentuan

    kecepatan gas sehingga turbulensinya sama. Sehingga didalam penelitian ini harus dijaga

    ketebalan film dari umpan tetap konstan, turbulensi sama sepanjang tube dan sepanjang waktu

    sulfonasi. Jika terjadi turbulensi akan memungkinkan proses sulfonasi tidak sempurna.

    MESA yang terbentuk dilakukan netralisasi dengan penambahan NaOH 50% sambil

    diaduk untuk mendapatkan MES. Beberapa parameter yang diuji mencakup : densitas, pH,

    warna, bilangan asam, dan bahan aktif. Selengkapnya dapat disajikan dalam Tabel 4.

  • 20

    Tabel 4. Sifat fisikokimia surfaktan MES Olein

    Analisis Satuan Nilai

    Densitas g/ mL 0,9776

    pH - 6,98

    Warna Klett 735

    Bilangan asam mg NaOH/g MES 1,488

    Bahan Aktif % 13,05

    Densitas merupakan salah satu sifat dasar fluida yang didefinisikan sebagai hasil dari

    massa per satuan waktu. Efek suhu pada densitas cairan tidak dapat diabaikan karena cairan

    akan meregang mengikuti perubahan suhu. Densitas umumnya dikaitkan dengan viskositas

    yaitu cairan lebih padat maka viskositasnya lebih tinggi, hal ini berkorelasi dengan kandungan

    total padatan pada bahan. Densitas yang diukur pada penelitian ini 0.9776 g/mL merupakan

    perbandingan bobot dari suatu volume sampel pada suhu 25 oC dengan bobot air pada volume

    dan suhu yang sama.

    Nilai pH surfaktan MESA memiliki nilai pH yang rendah (berkisar 0.1 2.0) hal ini

    menunjukkan gugus sulfonat (-SO3) dalam produk hasil sulfonasi bersifat asam sehingga

    produk tersulfonasi pun memiliki pH yang rendah. Hal ini menyebabkan MESA perlu

    dinetralisasi dengan basa kuat (NaOH 50%) agar larutan bersifat netral, berada pada nilai 6-8.

    Produk tersulfonasi berwarna hitam gelap, yaitu warna MES terukur sebesar 735 (klett). Warna

    gelap dikarenakan reaksi reaktif gas SO3 terhadap metil ester olein sehingga terbentuk senyawa

    polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi (Roberts et al. 2008). Dalam aplikasi

    MES untuk bahan pembantu pengambilan minyak (recovery) warna hitam pekat tidak menjadi

    masalah. Untuk produk lain yang membutuhkan penampilan MES yang lebih menarik seperti

    sabun atau bahan pembersih lainnya. warna hitam pekat MES ini dapat dihilangkan dengan

    metode bleaching dengan penambahan asam peroksida (H2O2) dalam kadar tertentu.

    Bilangan asam terukur rata-rata sebesar 1.488 mg NaOH/g MES merupakan jumlah

    miligram basa yang diperlukan untuk menetralisasi asam lemak bebas dalam 1 gram bahan.

    Basa yang digunakan dalam hal ini adalah NaOH. Produk MESA bersifat asam karena masih

    mengandung campuran SO3. Gas SO3 merupakan salah satu gugus pembentuk asam kuat,

    sehingga banyaknya gugus SO3 yang terikat pada suatu bahan akan meningkatkan bilangan

    asam.

    Kadar bahan aktif rata-rata MES adalah 13.05% merupakan salah satu mutu nilai kinerja

    surfaktan. Kadar bahan aktif menunjukkan jumlah kandungan bahan aktif permukaan yang

    terkandung dalam surfaktan. Semakin banyak kadar bahan aktif dalam surfaktan maka

    diharapkan akan semakin baik kinerja surfaktan. Kadar bahan aktif dapat ditunjukkan dari

    jumlah gugus SO3 yang terikat dalam struktur MESA.

    Analisis kadar bahan aktif yang dilakukan pada penelitian menggunanakn metode

    Epthone. Menurut Stache (1995) prinsip dasar dari uji ini adalah titrasi bahan aktif

    menggunakan cetylbipiridinum bromide, yang merupakan salah satu jenis surfaktan kationik.

    Indikator yang digunakan adalah methylen blue. Pada campuran surfaktan yang ditambahkan

    indikator kloroform akan terbentuk dua fasa kloroform di bagian bawah dan fasa larutan

    surfaktan dan methylen blue yang berada di bagian atas. Pada permulaan, warna biru tua

    berada pada lapisan kloroform, kemudian selama titrasi warna biru akan bergerak menuju

    lapisan cairan (larutan surfaktan dalam akuades) secara perlahan. Perpindahan warna terjadi

  • 21

    secara cepat pada akhir titrasi. Akhir titrasi dicapai ketika warna kedua lapisan memiliki

    intensitas yang hampir sama. Bila titrasi diteruskan maka fasa kloroform akan menjadi lebih

    pucat lalu lama-kelamaan akan menjadi bening.

    Pengujian pendahuluan tegangan antarmuka (IFT) Surfaktan MESA dan MES Olein

    pada konsentrasi 0,3% dengan Tensiometer sebanyak dua kali ulangan (duplo) menunjukkan

    nilai masing-masing untuk MESA adalah 8,9 x 10-2

    dyne/cm dan 7,9 x 10-2

    dyne/cm.

    Sedangkan untuk MES olein memberikan hasil 7,4x10-2

    dyne/cm dan 6x10-3

    dyne/cm.

    Pegujian pendahuluan nilai IFT MES ini akan dijadikan dasar dalam pengujian ketahanan

    surfaktan. Hasil terbaik pengujian surfaktan MES olein mencapai 10-3

    dyne/cm. Pada

    aplikasinya di lapangan sumur minyak nilai IFT yang mencapai 10-3

    mampu meningkatkan

    kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan minyak air di sumur minyak bumi. (Baviere et

    al 1992)

    4.4 PERTUMBUHAN BAKTERI CAMPURAN

    Mikroba di habitat asli umumnya terdapat dalam populasi campuran. Kultur campuran

    dapat terdiri dari spesies-spesies yang telah diketahui atau campuran spesies yang tidak

    diketahui. Kultur campuran dapat merupakan satu grup mikrobial, seperti misalnya: semua

    bakteri, atau dapat pula terdiri dari campuran organisme, fungi dan bakteri, fungi dan khamir,

    atau kombinasi lain.

    Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari BLCC (Biotechnology

    Lemigas Culture Collections). Kultur bakteri tersebut adalah Staphylococcus aureus,

    Pseudomonas aeruginosa, Bacillus pantothenticus, dan Streptococus sp. Kultur tersebut

    masing-masing dibiakkan dalam nutrient broth yang telah di shaker pada suhu 37oC selama 48

    jam. Untuk selanjutnya dilakukan pencampuran dengan media nutrient broth baru sebanyak

    10% (b/v). Artinya dalam 200 ml nutrient broth baru ditambahkan 20 ml bakteri, masing-

    masing 5 ml. Kultur bakteri campuran tersebut di shaker dalam suhu ruang untuk membantu

    pertumbuhan. Pertumbuhan bakteri campuran ditandai dengan warna nutrient broth yang

    cenderung kekuningan menjadi kehijauan karena adanya pertumbuhan bakteri Pseudomonas

    (Gambar 7)

    Penggunaan kultur bakteri campuran dalam penelitian ini diharapkan mendekati kondisi

    sesungguhnya di lingkungan sumur minyak bumi. Menurut Kuroshawa et al. (1988) kondisi

    optimum pertumbuhan kultur campuran lebih sulit diperkirakan. Hal ini disebabkan jenis

    mikroorganisme yang digunakan dalam kultur campuran tidak selalu mempunyai kondisi

    optimum yang sama seperti pH, suhu, nutrien, dan kebutuhan oksigen.

    Gambar 7. Bakteri campuran

    Kultur bakteri campuran tersebut digunakan untuk ditambahkan dalam air formasi

    Tanjung sebagai pengkondisian di lingkungan sumur minyak bumi dimana bakteri/

  • 22

    mikroorganisme aerob maupun semianaerob berada. Penggunaan kultur campuran Menurut

    Hesseltine (1991), keuntungannya antara lain (1) lebih tahan terhadap kontaminasi, (2)

    memungkinkan penggunaan substrat dengan lebih baik karena kisaran kerja enzim yang lebih

    luas, (3) memungkinkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi karena masing-masing

    mikroorganisme dapat menghasilkan faktor pertumbuhan yang dibutuhkan mikroorganisme

    lain untuk pertumbuhan optimal, (4) memungkinkan terjadi transformasi multi langkah yang

    tak mungkin terjadi pada kultur tunggal, (5) dapat digunakan substrat yang murah dan tidak

    murni, (6) pemeliharaan kultur campuran relatif lebih murah.

    Sedangkan kerugiannya antara lain: (1) produk yang terbentuk dari fermentasi kultur

    campuran lebih bervariasi dalam jumlah maupun jenis kompenen dalam kultur tunggal, (2)

    adanya kontaminan lebih sulit dideteksi, (3) kajian ilmiah produk dan mikroorganisme pada

    kultur campuran relatif lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan jika hanya melibatkan satu

    jenis mikroorganisme (Hesseltine, 1991). Berikut ini (Gambar 8) disajikan kurva pertumbuhan

    dari bakteri campuran dalam selang waktu 36 jam.

    Gambar 8. Kurva pertumbuhan kultur bakteri campuran dalam

    air formasi Tanjung (= 550 nm)

    Kurva pertumbuhan merupakan replikasi dari populasi sel. Waktu yang diperlukan

    untuk siklus pertumbuhan sel sangat beragam dan terrgantung pada sejumlah faktor antara lain

    nutrisi dan genetika (Madigan dan Martinko 2006). Kurva pertumbuhan diatas diperoleh dari

    air formasi Tanjung yang telah dicampurkan suspensi bakteri campuran. Dengan metode

    turbidimetri dengan mengukur kekeruhan atas nilai OD (Opacity Density). Nilai kekeruhan

    semakin meningkat terhadap waktu. Menunjukkan bakteri yang diinokulasikan bertambah

    yang berada di dalam air formasi yang dihitung pada waktu-waktu tertentu sehingga

    menunjukkan pola pertumbuhan bakteri tersebut.

    Fase awal mengalami pertumbuhan lambat pada 1- 21 jam yang disebut waktu adaptasi.

    Ketika populasi mikroba diinokulasikan ke dalam medium baru diperlukan waktu untuk

    mensintesis enzim-enzim baru, sehingga pertumbuhannya tidak dimulai segera, tetapi setelah

    periode waktu tertentu yang disebut fase lag. Waktu adaptasi yang sedemikian panjang ini

    diduga karena bakteri yang digunakan campuran atas beberapa jenis bakteri.

    0

    0,1

    0,2

    0,3

    0,4

    0,5

    0,6

    0,7

    0,8

    0,9

    1

    1 6 11 16 21 26 31 36

    OD

    (ju

    mla

    h s

    el)

    waktu (jam)

    Kurva pertumbuhan

    Fase log

    Fase lag

    Fase kematian

  • 23

    Setelah organisme beradaptasi dalam medium, terjadi pertumbuhan populasi pada

    kecepatan yang paling tinggi disebut fase eksponensial atau logaritmik (Madigan dan Martinko

    2006). Kemudian mulai ada pelonjakan nilai OD pada waktu ke 21 hingga ke-26 jam (fase log)

    dengan nilai tertinggi terlihat pada jam ke-27 (OD=0.925). Pada saat jumlah organisme

    meningkat, nutrien habis digunakan, limbah metabolisme terakumulasi, ruang hidup menjadi

    terbatas, terjadi penurunan pH dan oksigen di permukaan aerob berkurang sehingga

    menghambat fase eksponensial. Kemudian bakteri tersebut perlahan berada pada fase stasioner

    ditandai dengan trend penurunan atau mengalami fase kematian Ketika pembelahan sel

    menurun pada kondisi sel-sel baru diproduksi sama kecepatannya dengan sel-sel mati. (Lihat

    Lampiran 7 untuk melihat data nilai OD selama waktu 1-36 jam). Namun, kelemahan dari

    metode ini tidak mendapatkan informasi sel bakteri yang masih aktif atau hidup di dalam

    larutan.

    Gambar 9. Hitungan cawan tuang dengan PCA

    Kemudian untuk menguji pola pertumbuhan harian dari bakteri campuran dilakukan

    pengujian kandungan total bakteri dengan metode hitungan cawan tuang (pour plate) dengan

    media Plate Count Agar (PCA) dalam kondisi aseptik dan suhu ruang. Media hitungan cawan

    didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu

    koloni. Jadi, jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah

    organisme yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel (Hadioetomo 1990).

    Air Formasi Tanjung diambil 1 ml untuk dilakukan pengenceran hingga 106 kali

    dengan aquades steril. Pengenceran dilakukan bertingkat bertujuan untuk memenuhi

    persyaratan statistik jumlah koloni yang dapat diamati tiap cawannya antara 30 hingga 300

    koloni. Kemudian dilakukan perhitungan koloni bakteri yang tumbuh berkala selama 7 hari.

    Jumlah organisme ditentukan dengan mengalikan jumlah koloni yang terbentuk dengan faktor

    pengenceran pada cawan yang bersangkutan (Hadioetomo 1990).

    Tabel 4. Nilai populasi bakteri campuran (Metode Hitungan Cawan /PCA)

    Lama Inkubasi

    (hari)

    Total bakteri

    Jumlah Rataan

    (bakteri/ml) Nilai Log

    0 2,70E+05 5,43

    1 3,10E+05 5,49

    3 4,70E+06 6,67

    5 8,20E+07 7,91

    7 1,20E+08 8,08

  • 24

    Tabel 4 merupakan jumlah koloni bakteri yang teramati sejak pemupukan diatas media

    PCA. Media PCA dipilih karena merupakan media yang umum untuk pertumbuhan bakteri,

    terutama untuk bakteri campuran. Data pada tabel diatas kemudian diplot dalam grafik garis

    untuk melihat trend kenaikan terhadap nilai log bakteri campuran pada hari ke 1, 3, 5, dan 7

    seperti terlihat pada Gambar 10.

    Gambar 10. Pola pertumbuhan bakteri campuran selama masa inkubasi (nilai log)

    Berdasarkan gambar 10 diatas dapat diketahui bahwa jumlah bakteri meningkat seiring

    dengan bertambahnya waktu inkubasi. Jumlah bakteri tersebut didapat dari rataan populasi

    pengenceran hingga 1:106 kemudian dilakukan penghitungan koloni yang tumbuh diatas media

    PCA. Pada hari ke-1 didapat nilai 3,1 x 105 bakteri/ml kemudian bertambah seiring waktu

    inkubasi yang disesuaikan dengan pengamatan ketahanan surfaktan yakni pada hari ke-3, 5,

    dan 7. Didapat nilai berturut-turut 4,7 x105 , 4,7x10

    6, 8,2x10

    7, dan 1,2x10

    8 bakteri/ml

    4.5 PENGUKURAN NILAI IFT SURFAKTAN

    Tegangan antar muka antara minyak dan air menjadi salah satu faktor penting dalam

    aplikasi surfaktan. Tegangan antar muka setara dengan energi atau usaha yang dibutuhkan

    untuk meningkatkan area permukaan sebagai respon adanya tekanan antara dua larutan yang

    berbeda polaritasnya yaitu tekanan internal suatu larutan dengan kerja tekanan larutan lain.

    Surfaktan sebagai agen yang dapat menurunkan tegangan permukaan dari suatu cairan,

    menjadikan penyebarannya lebih mudah, serta menurunkan tegangan antarmuka antara dua

    cairan.

    Air Sumur Tanjung yang telah diinokulasikan suspensi bakteri campuran menjadi

    komponen utama dalam pembuatan konsentrasi surfaktan yang akan diuji. Mula-mula

    Surfaktan MES Olein dicampur kedalam air formasi yang ditempatkan rapat didalam tabung

    reaksi. Kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama masa inkubasi yang ditentukan (1,3,5,

    dan 7 hari). Setiap pengujian nilai IFT diperlukan satu tabung reaksi ( 15 ml). Pengujian

    dilakukan dengan dua ulangan (duplo). Blanko (surfaktan MES ditambahkan air formasi

    Tanjung tanpa bakteri) disiapkan untuk pengukuran nilai IFT blanko hari pertama dan ke-7

    sebagai pembanding.

    5,43 5,49

    6,67

    7,91 8,08

    0,00

    2,00

    4,00

    6,00

    8,00

    10,00

    0 1 3 5 7

    Jum

    lah

    Sel

    (lo

    g)/

    ml

    Lama Inkubasi (hari)

  • 25

    Gambar 11. Emulsi surfaktan MES didalam air formasi Tanjung

    Pengukuran nilai IFT dilakukan dengan Tensiometer TX-500C. Sebelum diukur nilai

    IFT, terlebih dahulu diukur nilai densitas surfaktan dengan Density-meter. Mula-mula

    surfaktan dihangatkan diatas penangas hingga suhu 50-60oC. Selanjutnya dimasukkan dalam

    tube khusus yang tersedia dengan syringe (suntikan) 2 ml. Kemudian diinjeksikan minyak

    bumi mentah (jenis Tanjung) sebanyak 2 L yang sudah berisi sampel surfaktan tersebut

    (prosedur lihat Lampiran 3).

    (a) (b)

    Gambar 12. Foto (a) Tensiometer TX-500C (b) Densitymeter Anton Paar

    Cara kerja alat Tensiometer adalah memanaskan surfaktan hingga suhu 70o

    C dan

    memiliki kecepatan putar 1000-10000 rpm. Tensiometer dilengkapi dengan video kamera

    dengan pembesaran (zoom optical) mencapai 6.5 kali yang dihubungkan dengan monitor yang

    berfungsi untuk melihat dan memotret sampel. Tensiometer ini mampu mengukur IFT dalam

    rentang 102 10

    -5 mN/m. Dengan demikian minyak bumi mentah yang dimasukkan dalam

    surfaktan akan terlihat seperti garis hitam maupun droplet s