Upload
fanny-pratami-kinasih
View
243
Download
4
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jhdjsd
Citation preview
EVOLUSI PEMIKIRAN MODAL SOSIAL
A. Pendahuluan
Teori modal sosial dapat dirujuk dari hasil karya tiga teoritisi utama, yakni James
Coleman, Robert Putnam dan Pierre Bourdieu. Ketiganya sering disebut sebagai teoritisi
modal sosial kontemporer. Bourdieu dikenal dengan karyanya Outline of a theory of
Practice (1977); Cultural Reproduction in Education, Society and Culture (1977);
Cultural Reproduction and Sosial Reproduction (1977), dan berbagai karyanya bersama
penulis lain telah membuktikan bahwa Bourdieu banyak memberikan kontribusi pada
pengembangan teori modal sosial. James Coleman, dalam karyanya Social capital in the
Creation of Human Capital (1988); Foundations of Sosial Theory (1990), atau Some
Points on Choice in Education (1992) menjadi acuan bagi teoritisi lain yang menggeluti
modal sosial dalam perspektif ekonomi dan pendidikan. Selanjutnya, Robert Putnam
dalam karyanya seperti Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy
(1993) The Prosperous Community: Social capital and Public Life (1993); Bowling Alone:
America's Declining Social capital (1995); Bowling Alone - The Collapse and Revival of
American Community (2000) menjadi karya monumental Putnam yang banyak dirujuk
oleh teoritisi modal sosial lainnya. Karya ketiga teoritisi modal sosial kontemporer
tersebut menjadi acuan bahkan kritikan dan atau cabaran teoritisi lain yang ingin
mengembangkan konsep dan teori modal sosial yang saat ini berkembang sangat pesat.
Pemikiran Pierre Bourdieu banyak dikutip dalam literatur pendidikan. Dalam
tulisannya, dia menampilkan perbedaan pandangan terkait modal sosial terutama dalam
ranah pendidikan. Dia percaya bahwa modal sosial beroperasi sebagai alat reproduksi
kultural dalam menjelaskan pencapaian pendidikan yang tidak seimbang. Teorinya benar-
Panji Suminar 19
benar memiliki akar sosio-kultural yang kuat yang ada dalam pengalaman pendidikan dari
dialektika individu melalui sejarah material dan sosial mereka. Selain itu, perspektif
Bourdieu tentang modal sosial didesain untuk memandu kajian-kajian empirik. Ada tiga
kunci konsep teoritik untuk menjelaskan perspektif Bourdieu tentang modal sosial:
habitus, capitals, dan fields
Pertama-tama, konsep habitus digunakan untuk menjelaskan bagaimana dampak
struktur obyektif dan persepsi subyektif terhadap tindakan manusia. Konsep ini dapat
dijelaskan sebagai serangkaian skema regulasi pemikiran dan tindakan, yang dalam tataran
tertentu sebagai produk dari pengalaman sebelumnya. Menurut Bourdieu yang dikutip
O’Brien dan ÓFathaigh (2005) habitus berisi serangkaian disposisi atau kesiapan
bertindak yang kuat dan sama yang mengatur aktivitas mental ke titik dimana individu
sering tidak menyadari akan dampak dari tindakannya. Intinya, konsep habitus merupakan
cara untuk menjelaskan bagaimana pesan-pesan sosial dan kultural baik aktual maupun
simbolik membentuk pemikiran dan tindakan individu-individu. Konsep ini tidak statis
karena memungkinkan individu-individu untuk menjembatani pesan-pesan tersebut, dan
bahkan menempatkan resistensi kepercayaan personal. Habitus bukan terstruktur secara
total, meskipun habitus masih tetap dipengaruhi oleh konteks kesejarahan, sosial dan
kultural. Untuk mengilustrasikan pentingnya konsep habitus, seseorang dapat berfikir
bagaimana kelompok-kelompok sosial tertentu lebih mampu untuk memobilisasi
kepercayaan yang ada pada diri mereka ke dalam nilai-nilai pendidikan. Seringkali
beberapa nilai dibentuk oleh serangkaian umum pandangan dalam lingkungan sesaat yang
menyediakan beberapa keuntungan dalam pemanfaatan sistem pendidikan formal. Nilai-
nilai tersebut tidak harus datang secara sadar, melainkan memang sudah menyatu dalam
budaya individu-individu yang sudah terbentuk. Faktor kelas sosial pada umumnya sangat
kuat untuk menjembatani pemikiran dan tindakan, Bourdieu menyebutnya sebagai habitus
Panji Suminar 20
kelas. Hal ini disebabkan karena kelas sosial secara kuat mempengaruhi pola konsumsi
dan gaya hidup.
Tema kedua dari teori Bourdieu adalah capitals. Konsep ini dibagi ke dalam
kategori modal economic, social, cultural, dan symbolic. Modal ekonomi merujuk pada
pendapatan dan sumberdaya finansial dan aset lainnya. Modal ini bersifat lebih
memungkinkan dapat dikonversi ke dalam bentuk modal-modal lainnya. Modal ekonomi,
bagaimanapun, tidak cukup untuk membeli status atau posisi dalam masyarakat, kecuali
tergantung pada interaksi dengan unsur modal lainnya. Modal sosial dirumuskannya
sebagai serangkaian relasi sosial yang sudah berlangsung lama, jaringan dan kontak-
kontak. Seperti halnya Coleman dan Putnam, pandangan tentang hubungan timbal balik
(reciprocity) sangat penting, meskipun Bourdieu lebih menekankan individu, dan tidak
selalu komunal untuk mendapatkan yang mungkin diharapkan. Modal kultural terdiri dari
tiga bentuk, yakni objectified, embodied, dan institutionalized. Menurut Bourdieu, masing-
masing bentuk berfungsi sebagai instrumen untuk kecocokan kemakmuran simbolik
secara sosial yang akhirnya bermuara pada nilai untuk menjadi yang diharapkan dan
dimiliki (seperti dikutip O’Brien dan Ó Fathaigh, 2005). Bentuk keobyektifan merupakan
manifestasi seperti buku-buku, kualifikasi, computer; bentuk embodied dihubungkan
dengan karakter edukatif individu seperti kesiapan bertindak untuk memasuki proses
belajar; bentuk institutionalised direpresentasikan tempat untuk belajar yang mungkin
akan dimasuki seperti sekolah, universitas, lembaga teknologi dan sebagainya. Symbolic
capital digunakan Bourdieu untuk menjelaskan cara dalam mana modal dipandang dalam
struktur sosial seperti nilai status yang melekat pada buku-buku tertentu, nilai atau tempat
belajar. Dalam hubungannya dengan modal, perlu dicatat bahwa semua bentuk modal
(kategori economic, sosial, cultural, dan symbolic) merupakan factor kunci yang
mendefinisikan posisi dan kemungkinan bagi individu untuk terlibat dalam berbagai arena,
Panji Suminar 21
termasuk di dalamnya area pengelolaan sumberdaya hutan. Lebih jauh, efek pengganda
seringkali muncul terkait dengan bentuk akumulasi modal misalnya satu modal seringkali
merubah modal lainnya.
Konsep yang ketiga adalah fields. Dalam bahasa Bourdieu, konsep ini
berhubungan dengan ruang struktur kekuatan dan perjuangan, yang berisi sistem teratur
dan jaringan yang dapat diidentifikasi dari hubungan yang berdampak pada habitus
individu. Bourdieu mengklaim bahwa individu-individu tertentu masuk ke dalam fields,
secara sadar lebih memperhatikan aturan main atau memiliki kapasitas yang lebih besar
untuk memanipulasi aturan-aturan tersebut melalui bangunan kesesuaian modal. Individu-
individu tersebut dengan kualifikasi yang kuat atau pekerjaan dan status yang kuat
mungkin dapat dikategorikan dalam kelompok ini. Berbagai strategi baik dalam bentuk
aktual atau simbolik kemudian diterapkan oleh individu-individu untuk membedakan diri
mereka dari kelompok lain dan menempatkan mereka ke dalam posisi yang
menguntungkan melalui efektivitas penggunaan dan eksploitasi modal. Beberapa strategi
hanya akan bermakna apabila mereka menunjukkan relevansi simbolik. Kekuasaan
simbolik dikatakan memiliki ekspresi yang besar dalam penerimaan umum bahwa aturan
main berjalan dengan adil. Misrecognition, prase yang dipinjam Bourdieu dari ide Marx
tentang ‘false consciousness’, terjadi ketika individu-individu yang berada dalam
ketidakberuntungan bermain tanpa mempertanyakan aturan. Untuk hal ini Bourdieu
menyebutnya sebagai ‘symbolic violence’ (O’Brien dan Ó Fathaigh, 2005).
Bourdieu dipandang bertanggung jawab untuk membawa konsep dan terminologi
modal sosial ke dalam diskursus hingga sekarang ini. Adam and Roncevic (2003) menyitir
salah satu karya Bourdieu Distinction yang diterbitkan di Perancis tahun 1979 sebagai
karya orisinal perspektif modal sosial modern. Definisi modal sosial dari Bourdieu dapat
digambarkan sebagai egosentris seperti yang dipertimbangkan dalam framework modal
Panji Suminar 22
simbolik dan teori kelas dalam masyarakat (Wall et al. 1998). Bourdieu mendefinisikan
modal sosial sebagai agregasi sumberdaya aktual dan potensial yang terkait dengan
kepemilikan jaringan yang kuat dan terlembagakan dari hubungan yang saling
menguntungkan. Dengan kata lain, bagi anggota kelompok, modal sosial menyediakan
dukungan kepemilikan modal secara kolektif (Bourdieu 1986).
Sementara itu, James S. Coleman memasukkan konsep modal sosial ke dalam
teori sosialnya dalam tulisannya ‘Social Capital in the Creation of Human Capital’
(1988). Menurutnya, konsep modal financial, modal fisik, dan modal manusia yang
terbentuk dalam relasi di antara orang-orang adalah paralel dengan pendapatnya tentang
modal sosial (Coleman, 1988: 118). Coleman yang sangat kuat keterikatannya dengan
pemikiran ekonomi melalui karyanya rational-choice theory, menggambarkan
pemahaman bersama antara sosiologi dan ekonomi dalam pendefinisian tentang modal
sosial. Dia mengintegrasikan teori pilihan rasional (rational choice theory) dan struktur
sosial untuk menjelaskan tindakan individu dalam konteks tertentu berbarengan dengan
pertimbangan organisasi sosial melalui pengenalan prinsip tindakan rasional dan
maksimalisasi penggunaan sumberdaya ke dalam konteks sosial tertentu (Coleman, 1988:
seperti yang dikutip dalam Khrisna, 2005: 22).
Bagi Coleman, modal sosial didefinisikan berdasarkan fungsinya, yakni
memfasilitasi pertukaran social, sama seperti uang memfasilitasi pertukaran ekonomi.
Logika ini mengikuti fenomena bahwa uang meningkatkan efisiensi pertukaran ekonomi
dalam kondisi ketiadaan pola sistem barter, sementara modal sosial meningkatkan
efisiensi pertukaran sosial (Gupta, Khrisna, 2005: 23). Sangat menarik untuk dicatat
bahwa definisi modal sosial yang dirumuskan merupakan refleksi dari sikap teoritis
Coleman yang memberikan penekanan pada aspek positif kontrol sosial sebagai fungsi
modal sosial. Secara konservatif, mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian
Panji Suminar 23
sumberdaya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial
kemasyarakatan sangat berguna bagi pengembangan kognitif atau sosial anak dan generasi
muda (Coleman 1990:300).
Menurut Coleman (1990: 302), modal sosial bukanlah kesatuan yang tunggal,
melainkan terdiri dari berbagai kesatuan yang memiliki dua elemen dasar, yakni: (a)
sebuah aspek dari struktur sosial yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu; (b) modal
sosial merupakan sumberdaya nyata atau potensial, yang diperoleh dari hubungan yang
pada gilirannya memfasilitasi tindakan aktor-aktor individual yang ada dalam struktur
sosial. Seperti bentuk-bentuk modal lainnya, modal sosial bersifat produktif yang
memiliki kemungkinan pencapaian tujun-tujuan tertentu yang mungkin tidak akan tercapai
apabila ketiadaan modal sosial. Selain itu, tidak seperti bentuk modal lainnya, modal
sosial melekat dalam struktur hubungan antara orang per orang. Dengan kata lain, modal
sosial tidak berada dalam individu (Coleman 1990:302).
Coleman mencatat bahwa modal sosial mengambil variasi bentuk seperti
kewajiban, harapan atau ekspektasi, sifat dapat dipercaya dari lingkungan sosial atau
struktur , artinya kewajiban akan dihargai; sebagai sumber informasi dalam relasi sosial
atau saluran informasi yang berarti mengurangi biaya informasi; dan sebagai norma dan
sanksi efektif yang mengurangi biaya monitoring dan penghukuman (seperti yang dikutip
Krishna, 2005: 22; Coleman, 1988: 102-104).
Bagi Coleman (1988; 1990), modal sosial memfasilitasi pertukaran sosial sama
seperti uang memfasilitasi pertukaran ekonomi. Logika ini mengikuti fenomena bahwa
uang meningkatkan efisiensi pertukaran ekonomi dalam kondisi ketiadaan pola sistem
barter, sementara modal sosial meningkatkan efisiensi pertukaran sosial (Gupta, Khrisna,
2005: 23). Sangat menarik untuk dicatat bahwa definisi modal sosial yang dirumuskan
merupakan refleksi dari sikap teoritis Coleman yang memberikan penekanan pada aspek
Panji Suminar 24
positif kontrol sosial sebagai fungsi modal sosial. Secara konservatif, mendefinisikan
modal sosial sebagai serangkaian sumberdaya yang melekat pada hubungan keluarga dan
dalam organisasi sosial kemasyarakatan sangat berguna bagi pengembangan kognitif atau
sosial anak dan generasi muda (Coleman 1990:300).
Interpretasi Coleman (1988; 1990; 1992) terhadap konsep modal sosial banyak
dikutip dalam literatur di bidang pendidikan. Bagi Coleman, modal sosial ada dalam
struktur relasi antara individu-individu dan sebagian besar tidak dapat disentuh. Potensi
modal sosial diwujudkan dalam kapasitasnya untuk memfasilitasi aktivitas produktif. Hal
ini dapat dicapai melalui formasi hubungan sosial yang dibangun sejak lama yang
memungkinkan individu-individu mencapai kepentingan mereka yang dicapai secara
independen. Empat bentuk modal sosial dari Coleman yang diidentifikasi: (a) kewajiban
dan ekspektasi/harapan seperti melakukan sesuatu dengan harapan untuk mendapatkan
sesuatu dari orang lain; (b) potensi informasional seperti membagi informasi yang berguna
yang menginformasikan sesuatu untuk aksi-aksi pada masa mendatang; (c) norma-norma
dan sanksi-sanksi yang efektif seperti bangunan nilai-nilai komunitas dan standar perilaku
yang diakui bersama; (d) hubungan kekuasaan seperti keahlian kepemimpinan yang
menginformasikan tindakan-tindakan individu lain. Perlu dicatat bahwa modal sosial
dengan demikian dapat menguntungkan individu lain yang tidak berpartisipasi secara
langsung dalam sebuah kegiatan atau tindakan. Coleman (1990, p 313) mengilustrasikan
contoh terkait dengan pekerjaan asosiasi guru dan orang tua yang menyusun standar atau
ukuran disiplin untuk kebaikan bersama dalam sebuah sekolah komunitas.
Satu sisi, modal sosial dapat diciptakan, namun sisi lain dapat juga dirusak.
Coleman menyitir kurangnya relasi antara orang tua dan tidak adanya ideologi bersama
memiliki potensi negatif terhadap konsekuansi-konsekuansi sosialnya (lihat Coleman:
1990, pp 318-321). Teori modal sosial yang digunakan oleh Coleman memiliki akar
Panji Suminar 25
struktural fungsional yang sangat kuat. Oleh karenanya, karya dia sering disitir untuk
mendukung kajian tentang masyarakat yang spesifik seperti masyarakat yang ditandari
oleh nilai-nilai tradisional kaku, disiplin yang ketat, dan kontrol serta perintah hierarkis
(Dika dan Singh: 2002, p 34). Selanjutnya, konsep modal sosial Coleman diperlukan
sebagai pra-kondisi untuk mempromosikan (melalui norma-norma keluarga)
pengembangan sumberdaya manusia dan pencapaian pendidikan.
Karya Coleman merepresentasikan pergeseran yang sangat penting dari produk
individualnya Bourdieu (termasuk dalam pendekatan berbasis jaringan) ke produk
kelompok, organisasi, kelembagaan, ataupun masyarakat yang mewakili pergeseran
tentatif dari egocentric menjadi sociocentric (Adam and Roncevic 2003; Cusack 1999;
McClenaghan 2000). Coleman juga menambahkan bahwa seperti bentuk modal-modal
lainnya, modal sosial bersifat produktif, memungkinkan pencapaian tujuan-tujuan tertentu
yang tidak akan dicapai apabila tidak ada modal tersebut (Coleman 1988). Kebanyakan
teoritisi setuju bahwa modal sosial berkaitan dengan aspek tertentu dari struktur yang
memungkinkan terbentuknya tindakan sosial (Adam and Roncevic 2003).
Tidak seperti Bourdieu, Coleman secara luas melibatkan penelitian empirik dan
formulasi indikator-indikator. Schuller, et al (2000) mendeskripsikan bahwa kunci
kontribusi penting Coleman terhadap diskursus modal sosial terletak pada cara yang
mudah dan sederhana untuk mengilustrasikan konsep modal sosial. Coleman
mengeksplorasi bagaimana karakter produktif modal sosial dapat menyeimbangkan
modal lainnya seperti modal kultural dan modal manusia (Teachman et al. 1997).
Sementara itu, teori modal sosial dari Putnam (1993, 1995), seorang ilmuwan
politik, juga memiliki akar fungsional struktural yang kuat, khususnya difokuskan pada
integrasi sosial, tetapi teori Putnam lebih jauh dipengaruhi oleh pandangan pluralisme dan
komunitarianisme. Tesis sentral dia adalah bahwa keberfungsian ekonomi regional
Panji Suminar 26
dibarengi dengan integrasi politik yang tinggi merupakan hasil dari kapasitas regional
untuk mengakumulasikan modal sosial (Siisiainen, 2000). Putnam mengajukan tiga
komponen modal sosial: (a) kewajiban moral dan norma-norma; (b) nilai sosial,
khususnya trust; dan (c) jaringan sosial, khususnya keanggotaan dalam asosiasi-sosiasi
sukarela. Bentuk-bentuk modal sosial ini merupakan sentral untuk mempromosikan
masyarakat sipil secara umum. Menurut Putnam, aktivitas produktif modal sosial
merupakan manifestasi dari kapasitasnya untuk memfasilitasi koordinasi dan kerjasama
yang saling menguntungkan (Putnam: 1995, p 2). Ancaman kapasitas produktif ini
bersumber dari kecenderungan perubahan sosial yang mengindikasikan bahwa koordinasi
dan kerjasama telah bergeser ke dalam keanggotaan kelompok keagamaan, organisasi
orangtua-guru, dan kelompok-kelompok asosiasi lainnya. Putnam menyimpulkan
kecenderungan tersebut sebagai sebuah gejala dimana modal sosial sedang mengalami
erosi. Dampak erosi tersebut antara lain kehilangan ikatan keeratan dalam keluarga dan
menurunnya hubungan saling percaya dalam masyarakat. Putnam menghubungkan secara
langsung antara tingkat kerekatan sipil dengan kapasitas masyarakat untuk menangani
masalah-masalah sosial dan ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, rendahnya
partisipasi bersekolah, dan kriminalitas. Dengan demikian, seperti Coleman, Putnam
mengklaim bahwa jaringan hubungan timbal balik yang terorganisasi dan solidaritas sosial
merupakan pra-kondisi untuk modernisasi sosial dan ekonomi.
Robert Putnam mempopulerkan konsep modal sosial melalui studi tentang
komitmen sipil di Italia (Boggs 2001; Schuller et al. 2000). Seperti halnya pengaruh
Coleman terhadap diskursus teoritik tentang modal sosial, Putnam menyitir Foundations
of Sosial Theory dari Coleman sebagai sumber utamanya (Routledge and Amsberg 2003).
Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran organisasi sosial seperti hubungan
saling percaya (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat
Panji Suminar 27
meningkatkan efisiensi masyarakat melalui fasilitasi tindakan yang terkoordinasi (Putnam
et al. 1993).
Dalam karya Making Democracy Work (Putnam et al. 1993), para penulis
menggali perbedaan antara pemerintahan regional di utara dan selatan Italia terkait dengan
penjelasan variabel tentang masyarakat sipil. Karya Putnam berikutnya difokuskan pada
penurunan komitmen sipil di Amerika. Dalam Bowling Alone (1995), Putnam
mengidentifikasi penurunan umum tingkatan spiritual modal sosial yang diindikasikan
melalui keikutsertaan dalam organisasi organisasi-organisasi sukarela (Schuller et al.
2000). Karya akademik tersebut mengambil contoh dari olah raga bowling sebagai sebuah
aktivitas yang biasanya menjadi organisasi yang asosiatif tinggi, dipresentasikan tidak
hanya untuk saluran rekreasi tetapi juga sumber interaksi sosial, sebagai salah satu
komponen modal sosial (Putnam 1999; 2000).
Seperti halnya Coleman, Putnam juga terlibat dalam penelitian empiric dan
formulasi indicator-indikator serta bertanggung jawab untuk pengembangan instrument
aplikatif yang sering disebut 'Putnam instrument' (Adam and Roncevic 2003; Paldam and
Svendsen 2000). Instrumen tersebut dikenal sebagai alat yang terbaik dan banyak
digunakan meliputi empat indikator: hubungan saling percaya dalam masyarakat dan
kelembagaan, norma-norma pertukaran timbal balik, jaringan-jaringan, dan keanggotaan
dalam asosiasi sukarela.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran ketiga teoritisi tersebut di atas
memberikan inspirasi kepada teoritisi lain untuk lebih mengembangkan konsep dan teori
modal sosial serta penerapannya dalam berbagai dimensi kehidupan. Melalui
pengembangan karya Bourdieu dan Coleman, Alejandro Portes (1998), misalnya,
mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan aktor untuk mengamankan keuntungan-
keuntungan melalui keikutsertaan dalam jaringan-jaringan dan struktur sosial lainnya.
Panji Suminar 28
Portes dan Landolt (1996) mengidentifikasi sisi negatif modal sosial dan mengilustrasikan
bahwa teoritisi sebelumnya telah memfokuskan pada sisi positif, yakni efek keuntungan
dari interaksi sosial tanpa mempertimbangkan gambaran-gambaran yang kurang menarik
dan tidak menguntungkan.
Demikian juga, pendekatan penelitian Ronald Burt (1998) didasarkan pada
pemikiran Bourdieu dan Coleman dengan fokus pada variabel-variabel yang
mengindikasikan posisi individu dalam jaringan sosial. Burt memfokuskan pada
aksesabilitas sumberdaya melalui pengukuran modal sosial dalam kaitannya dengan
hambatan-hambatan jaringan. Hambatan yang lebih besar terletak pada peluang struktural
yang merupakan sumberdaya dari modal sosial. Pendekatan penelitian tersebut dikenal
sebagai pendekatan jaringan seperti terlihat dalam variable jaringan. Nan Lin (2001a;
2001b) menggambarkan tiga program penelitian yang berbeda, yakni memfokuskan pada
dokumentasi tentang distribusi sumberdaya dalam struktur sosial, dengan tujuan untuk
menggambarkan distribusi relatif dari sumberdaya sebagai aset kolektif dalam struktur.
Michael Foley dan Bob Edwards (1999) menghasilkan beberapa bukti yang
ditemukan dari karya teoritisi lain yang melakukan studi empirik mengenai modal sosial.
Penemuan mereka meliputi konteks konseptualisasi modal sosial, seperti akses dan
sumberdaya, dan bahwa karya yang memfokuskan pada generalisasi sosial hubungan
saling percaya (trust) menurut mereka tidaklah relevan. Francis Fukuyama melalui
penggunaan pendekatan yang berasal dari Putnam, memfokuskan pada variabel tingkah
laku dan sikap (contohnya trust, norma, dan nilai) sebagai ukuran dalam berbagai
penelitiannya (Adam and Roncevic 2003). Dalam prakteknya, Fukuyama menyamakan
modal sosial dengan trust. Dia sangat mengagungkan bahwa trust menjadi kunci utama
modal sosial yang telah mempengaruhi kehidupan ekonomi. Trust yang dibangun menjadi
Panji Suminar 29
faktor fundamental modal sosial banyak dikritik sebagai kelemahan Fukuyama yang
menggunakan indikator tunggal sebagai ukuran modal sosial.
Stephen Knack dan Paul Keefer (1997) mengadopsi dua ukuran modal sosial; rata-
rata nilai trust yang diekspresikan secara umum; dan mengkomposisikan indeks norma
kerjasama sipil. Pamela Paxton (1999: 93) mengkonseptualisasikan modal sosial agak
berbeda dari teoritisi sebelumnya dengan mengajukan dua komponen modal sosial yang
dapat diukur: asosiasi obyektif antara individu, dan tipe subyektif dari ikatan. Komponen
pertama diukur dengan tiga variabel; pertukaran timbal balik, hubungan saling percaya,
dan pelibatan emosi-emosi positif, dan komponen kedua diukur dengan hubungan saling
percaya (trust) dalam individu dan kelembagaan. Konsep modal sosial Paxton ini banyak
mengacu pada pemikiran Putnam dengan cara memadukan modal sosial struktural dan
modal sosial kognitif.
Pada umumnya, teoritisi kontemporer mengaitkan modal sosial dengan jaringan-
jaringan sosial, mengikat orang yang sama dan menjembatani orang-orang yang beragam
melalui norma-norma timbal balik (Dekker dan Uslaner, 2001; Uslaner, 2001). Adler dan
Kwon (2002) mengidentifikasi bahwa instuisi utama yang memandu penelitian modal
sosial adalah kemauan baik (goodwill) sebagai sumberdaya yang sangat berharga. Oleh
karenanya mereka mendefinisikan bahwa modal sosial sebagai kemauan baik yang
tersedia bagi individu atau kelompok yang bersumber dari struktur dan substansi
hubungan sosial aktor. Hubungan tersebut mempengaruhi aliran informasi, pengaruh, dan
solidaritas yang tersedia bagi aktor (Adler dan Kwon 2002: 23).
Pada akhir 1990-an, kontribusi teoritisi terhadap pengembangan teori modal sosial
tumbuh pesat. Pada umumnya teori-teori yang dikembangkan merupakan turunan dari
pemikiran-pemikiran teoritisi kontempotrer modal sosial tersebut di atas. Namun
demikian, tidak ada satupun kesepakatan umum terkait dengan definisi modal sosial,
Panji Suminar 30
khususnya definisi yang diadopsi dari studi. Semuanya tergantung kepada disiplin dan
tingkat investigasi (Robinson et al, 2002). Oleh karenanya sangat tidak mengejutkan
apabila terdapat perbedaan framework modal sosial yang digunakan sehingga banyak
menimbulkan ketidaksepakatan bahkan kontradiksi dalam pendefinisian modal sosial
(Adler dan Kwon, 2002). Karena kesulitan-kesulitan tersebut, banyak teoritisi cenderung
hanya mendiskusikan konsep, asal mula intelektualitasnya, keberagaman penerapannya
dan beberapa isu yang tidak terpecahkan sebelum mengadopsi konsep yang ada dan
menambahkannya ke dalam definisinya sendiri (Adam dan Roncevic, 2003). Penyebab
utama dari variasi definisi tersebut disebabkan oleh terfokusnya diskusi pada bentuk, dan
sumber atau konsekuensi modal sosial. Menurut Eastis (1998) modal sosial bersifat multi
dimensi dan oleh karenanya harus dikonseptualisasi sebagai sesuatu yang memiliki nilai
penjelas.
Definisi modal sosial dari beragam teoritisi cenderung berbeda berdasarkan sudut
pandang masing-masing. Baker (1990: 619), misalnya, mendefinsikan modal sosial
sebagai sebuah sumberdaya yang diperoleh aktor dari struktur sosial yang spesifik
kemudian digunakan untuk memenuhi kepentingan mereka. Menurutnya, modal sosial
diciptakan melalui perubahan dalam hubungan antar aktor. Bourdieu (1986: 248)
menyatakan bahwa modal sosial sebagai keseluruhan sumberdaya aktual dan potensial
terkait dengan kepemilikan jaringan permanen dari hubungan yang terlembagakan atau
berlangsung sejak lama. Portes (1986: 6) memandang modal sosial sebagai kemampuan
aktor untuk mengamankan keuntungan-keuntungan melalui keanggotaan dalam jaringan
sosial dan struktur sosial lainnya. Coleman (1990: 302) mendefinisikan modal sosial
berdasarkan fungsinya. Menurutnya, modal sosial bukanlah unit yang tunggal, melainkan
berbagai unit yang bervariasi dan umumnya memiliki dua karakteristik: unit tersebut
terdiri dari beberapa aspek struktur sosial; dan berfungsi untuk memfasilitasi tindakan
Panji Suminar 31
individu yang berada dalam struktur. Fukuyama (1995: 10) menyebut modal sosial
sebagai kemampuan orang untuk bekerja bersama bagi pencapaian tujuan bersama dalam
kelompok dan organisasi. Selanjutnya Fukuyama menjelaskan bahwa modal sosial dapat
didefinisikan secara sederhana sebagai eksistensi serangkaian norma-norma informal atau
norma-norma bersama di antara anggota sebuah kelompok yang memungkinkan terjadinya
kerjasama antar mereka. Putnam (1995: 67) menyebut modal sosial sebagai gambaran
organisasi sosial seperti jaringan-jaringan, norma-norma, dan hubungan saling percaya
yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama saling menguntungkan. Sementara
Woolcock (1998: 153) menyebut modal sosial terdiri dari informasi, hubungan saling
percaya, dan norma-norma hubungan timbal balik yang melekat dalam jaringan sosial
seseorang.
Teoritisi modal sosial mempelajari elemen-elemen modal sosial- ikatan sosial,
pertukaran timbal balik, kewajiban moral dan tanggung jawab kolektif- yang memotivasi
kontribusi individu bagi kebaikan bersama. Kewajiban, ekspektasi (Coleman, 1990), dan
kebiasaan untuk saling percaya (Fukuyama, 1995) akan menjadi penghalang bagi tingkah
laku yang mementingkan diri sendiri dan menginspirasi spirit kerjasama.
Harus diakui bahwa teori modal sosial banyak dikritik memiliki kelemahan dalam
definisi dan konseptualisasi. Beragamnya kajian aspek tersebut mengakibatkan relatif
sulitnya dicapai kesepakatan tentang definisi maupun konsep modal sosial itu sendiri.
Namun demikian, dari hasil lacakan beberapa literatur, terdapat dimensi utama modal
sosial yang selama ini umumnya digunakan untuk kajian pada tataran empirik. Dimensi
modal sosial umumnya dilihat sebagai trust atau hubungan saling percaya (Coleman 1988;
Putnam 1993); aturan-aturan dan norma-norma yang menata tindakan sosial (Coleman
1988; Fukuyama 2001; Portes and Sensenbrenner 1993); Tipe-tipe interaksi sosial (Collier
1998); sumberdaya jaringan (Kilpatrick 2000; Snijders 1999); aturan kelembagaan yang
Panji Suminar 32
sedang digunakan (Ostrom, 1992); hubungan saling percaya dan norma jaringan
komitmen masyarakat sipil (Putnam, 1993); hubungan saling percaya, nilai bersama,
toleransi, norma, dan kolaborasi (Adam and Someshwar (1996); hubungan saling percaya,
resiprositas atau hubungan timbal balik, aturan bersama, norma dan sanksi, relasi, dan
kelompok (Pretty and Ward 1999); norma, jaringan, dan organisasi (Grootaert, 1998).
Dimensi modal sosial dari Krishna dan Uphoff (1999) relatif jauh lebih
komprehensif. Keduanya menyatakan bahwa dimensi pokok modal sosial terdiri dari
bentuk-bentuk struktural (structural forms): aturan-aturan, jaringan sosial, peranan,
prosedur, dan standar-standar. Bentuk-bentuk Kognitif (cognitive forms) yang
dikategorikan menjadi dua bagian, yakni primary forms: hubungan saling percaya dan
timbal balik, solidaritas, kerjasama, kemurahan hati; secondary forms: kejujuran,
egalitarianisme, kewajaran, partisipasi, pemerintahan yang demokratik, dan mengingat
masa depan. Teoritisi lain telah mengidentifikasi perbedaan kelompok dimensi modal
sosial. Misalnya, Liu dan Besser (2003) yang mengelompokkan dimensi modal sosial ke
dalam ikatan sosial informal, ikatan sosial formal, hubungan saling percaya, dan norma-
norma tindakan kolektif.
Sementara itu, Pretty (2003) mengemukakan tiga sifat dimensi modal sosial, yakni
“bonding, bridging, and linking social capital.” Pretty menggambarkan bonding social
capital sebagai kohesi sosial dalam kelompok atau masyarakat yang menghasilkan
hubungan antara individu dari etnis yang sama, hubungan status sosial berdasarkan pada
ikatan lokal, saling percaya dan nilai moral bersama yang diperkuat oleh tindakan kolektif
(collective action). Bridging social capital digambarkannya sebagai jaringan dan
hubungan structural lintas kelompok, melibatkan kordinasi atau kolaborasi dengan
kelompok lain, asosiasi eksternal, mekanisme-mekanisme dukungan sosial dan informasi
lintas komunitas dan kelompok. Sementara linking social capital menunjuk pada
Panji Suminar 33
kemampuan kelompok untuk melibatkan agen-agen eksternal sebagai sumberdaya yang
berguna atau yang mampu mempengaruhi kebijakan. Dimensi ini dilakukan dalam lintas
status, kelompok miskin dan mereka yang berada dalam posisi menentukan atau
berpengaruh. Dalam aplikasinya, perbedaan dimensi modal sosial menentukan apakah
komunitas dapat bertindak sebagai sebuah unit yang kohesif (bonding); apakah individu
bertindak sesuai dengan norma dan hukum (structural); apakah mereka berhubungan
dengan organisasi kemasyarakat (bridging) ataukah mereka dapat mengakses dan
mempengaruhi kelembagaan dengan kekuatan dan sumberdaya yang lebih (linking) untuk
mengelola sumberdaya yang ada. Secara umum, pemikiran Pretty ini merupakan
pengembangan dari pembagian modal sosial dari Putnam.
Teoritisi lain telah mengidentifikasi dimensi modal sosial ke dalam
pengelompokan yang berbeda. Misalnya, Liu dan Besser (2003) mengidentifikasi empat
dimensi modal sosial: ikatan sosial informal, ikatan sosial formal, hubungan saling
percaya, dan norma-norma tindakan kolektif.
Ketidaksesuaian teknik pengukuran yang diterapkan telah menyebabkan masalah
dalam memahami modal sosial pada tingkatan konseptual, dan hal ini menjadikan
perdebatan apakah konsep yang ada relevan atau sesuai dengan kondisi empirik yang ada.
Collier (1998) merumuskan langkah awal yang baik untuk konseptualisasi. Dia
mengidentifikasi bahwa model konseptual modal sosial sebaiknya mengidentifikasi
konsep di dalam kompleksitas dunia sosial seperti yang didefiniskikan oleh hubungan
dinamis antara komponen modal sosial dibandingkan apa yang terjadi saat ini yang
muncul cenderung kumpulan variabel kondisional yang tidak seragam atau kontradiktif.
Edwards dan Foley (1998) menambahkan pandangan bahwa kompleksitas
pengidentifikasian norma-norma dan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu akan menjadi
modal sosial hanya apabila mereka memfasilitasi tindakan individu lain. Dengan kata lain,
Panji Suminar 34
nilai dan norma yang dimiliki individu tidak akan menjadi modal social apabila individu
yang bersangkutan tidak mampu memfasilitasi tindakan yang dilakukan individu lainnya.
Selain itu, faktor lain yang penting adalah perbedaan antara dua mekanisme dalam mana
aktor mendapaatkan modal social; transaksi timbal balik dan hubungan saling percaya
yang dapat diperkuat, dipertahankan oleh perbedaan norma, dan karakteristik ikatan sosial
di antara aktor yang terlibat (Frank and Yasumoto 1998).
Pada dasarnya modal sosial bersifat milik bersama (public good) dan bukan milik
perseorangan. Komponen modal sosial seperti saling percaya, norma-norma, dan jaringan-
jaringan diyakini Putnam (1999) cenderung menguat sendiri dan bersifat kumulatif. Modal
sosial, dengan demikian, cenderung akan terus meningkat apabila sering digunakan.
Modal sosial merupakan sumberdaya moral, yakni sumberdaya yang persediaannya
bertambah melalui pemanfaatan, dan tidak seperti modal fisik yang menjadi berkurang
apabila digunakan (Putnam, 1999). Artinya, modal sosial akan membangun kekuatannya
sendiri dan tidak sangat tergantung pada investasi dari luar. Oleh karena itu, komponen
modal sosial pada umumnya berupa potensi dan prakarsa komunitas lokal, dan oleh
karenanya memiliki daya pengikat yang sangat kuat.
Woolcock dan Narayan (2000) telah mengidentifikasi empat pendekatan dalam
merumuskan konseptualisasi modal sosial, yakni pendekatan-pendekatan komunitarian
(communitarian approach), jaringan (network approach), institusional (institutional
approach), dan sinergi (synergy approach). Menurut mereka, dari keempat pendekatan
tersebut, pendekatan sinergi dengan menekankan pada tingkat dan dimensi modal sosial
serta hasil positif dan negatif yang diperoleh melalui modal sosial telah dibuktikan sebagai
cara pandang yang komprehensif dan koheren terkait dengan preskripsi kebijakan
pembangunan.
Panji Suminar 35
Woolcock and Narayan (2000, p. 229) mengidentifikasi bahwa communitarian
perspective berhubungan erat dengan organisasi lokal seperti klub, asosiasi, dan kelompok
sipil. Perspektif ini sebenarnya sudah dirintis sejak awal oleh Putnam (1993, 1995) dan
Fukuyama (1995, 1997). Perspektif komunitarian, yang melihat jumlah dan kepadatan
kelompok-kelompok tersebut pada sebuah komunitas, memandang bahwa modal sosial
secara inheren bersifat sangat baik, dan kehadirannya selalu memiliki dampak positif pada
kesejahteraan masyarakat. Pendekatan ini berasumsi bahwa komunitas bersifat homogen
secara keseluruhan yang secara otomatis menguntungkan seluruh anggota dan tidak
membuat perbedaan antara modal sosial produktif dan negatif.
Sementara itu, Woolcock dan Narayan (2000) mengidentifikasi bahwa network
approach memperhitungkan keuntungan dan kerugian modal sosial. Pendekatan ini
menekankan pentingnya asosiasi vertikal dan horizontal dan hubungan individu-individu
secara keseluruhan diantara berbagai unit organisasi seperti kelompok dan perusahaan.
Sandefur dan Laumann (1998, p. 484) telah membuktikan deskripsi pendekatan jaringan.
Ditemukan bahwa potensi modal sosial individu berisi koleksi dan karakteristik hubungan
dalam mana seseorang menjadi bagian dan memiliki akses terhadap asosiasinya pada
ruang yang lebih luas. Pendekatan ini memfokuskan pada pentingnya istilah bonding and
bridging social capital dalam beberapa literatur saat ini. Istilah ini terkait dengan teori-
teori structural holes dan network closure of social capital (Adler dan Kwon 2002). Teori
closure of social capital menyatakan bahwa sebuah jaringan yang memiliki inter koneksi
yang kuat antar elemen dapat menciptakan modal sosial. Sebaliknya, teori structural hole
berargumen bahwa modal sosial diciptakan oleh jaringan dalam mana individu-individu
dapat menjembatani koneksi antara segmen-segmen yang tidak memiliki koneksi satu
dengan lainnya (Burt 2001). Bagi Ronald Burt, the structural hole theory memberikan arti
yang konkrit terhadap metafora modal sosial yang dia yakini bahwa modal sosial
Panji Suminar 36
berfungsi sebagai penyalur lintas lubang struktur dibandingkan dengan inter koneksi
dalam sebuah jaringan.
Pendekatan sinergi (Synergy Approach) berusaha untuk mengintegrasikan
kekuatan kinerja yang muncul dari pendekatan jaringan dan kelembagaan (Woolcock dan
Narayan 2000). Mereka mengidentifikasi bahwa tiga kunci sentral tugas teoritisi sinergi,
peneliti dan pengambil kebijakan adalah (1) mengidentifikasi karakteristik dan tingkatan
hubungan sosial komunitas dan institusi formal, serta interaksi antar mereka; (2)
mengembangkan strategi institusional berbasiskan hubungan-hubungan sosial tersebut;
dan (3) menetukan bagaimana manifestasi positif kerjasama modal sosial, hubungan saling
percaya, dan efisiensi institusional dapat menghilangkan sektarian dan isolasi.
2.1. Konteks Modal Sosial dan Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Alam
Terkait dengan peranan modal sosial dalam pembangunan secara umum, beberapa
teoritisi telah berhasil mengidentifikasi peranan yang dimainkan modal sosial dalam
menunjang keberhasilan pembangunan. Woolcock dan Narayan 2000, misalnya,
menemukan bahwa modal sosial menawarkan potensi untuk lebih partisipatoris,
keberlanjutan dan pendekatan perkuatan dalam teori dan praktek. Sementara Krishna dan
Uphoff (2002) menemukan bahwa indeks modal sosial bersifat positif dan konsisten
berhubungan erat dengan hasil-hasil pembangunan yang lebih baik. Modal sosial dan
modal manusia yang menyatu dalam kelompok-kelompok partisipatoris pada masyarakat
desa telah menjadi pusat penyelesaian masalah pembangunan pada tingkat lokal yang adil
dan berlanjut (Pretty dan Frank 2000; Pretty dan Ward 2001). Grootaert dan Van Bastelaer
(2002: 344) menyatakan bahwa modal sosial telah menimbulkan dampak yang luar biasa
terhadap berbagai dimensi kehidupan dan pembangunan; transformasi prospek
pembangunan pertanian; pengaruh ekspansi usaha-usaha swasta; meningkatkan
manajemen sumberdaya bersama; membantu peningkatan pendidikan; mengkontribusi
Panji Suminar 37
recovery dari konflik; dan membantu kompensasi kekurangan negara. Modal sosial sangat
membantu untuk pengurangan kemiskinan dan pembangunan ekonomi dan masyarakat
yang berkelanjutan (Dolfsma dan Dannreuther 2003). Modal sosial merepresentasikan
keterkaitan antara pemikiran kebijakan dengan aksi pada tingkatan masyarakat (Pretty dan
Ward 2001). Mobilisasi modal sosial membutuhkan tingkatan yang tinggi terkait dengan
sensitivitas pada karakteristik spesifik masyarakat yang dilibatkan agar menimbulkan
dampak positif (McHugh dan Prasetyo 2002). Modal sosial mengurangi biaya yang
berhubungan dengan bekerja bersama yang menghasilkan tindakan kolektif (Ostrom
1999). Dia menemukan peranan modal sosial yang signifikan dalam kegiatan proyek-
proyek pembangunan.
Beberapa kajian, meskipun dalam jumlah terbatas, yang mencoba untuk
mengelaborasi perspektif modal sosial dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya
hutan. Diyakini bahwa perkayaan modal sosial pada gilirannya mampu meningkatkan
konservasi lingkungan melalui pengurangan biaya aksi kolektif, peningkatan pengetahuan
dan informasi, peningkatan kerjasama, pengurangan kerusakan lingkungan, lebih banyak
investasi sumberdaya lahan dan air bersama, meningkatkan monitoring dan perkuatan
bersama (Anderson et al. 2002; Daniere et al. 2002; Koka dan Prescott 2002). Sementara
itu, Pretty dan Ward (2001) mengidentifikasi bahwa dimana modal sosial telah
dikembangkan dengan baik, kelompok lokal dengan aturan dan sanksi lokal dapat lebih
menjamin keberadaan sumberdaya dibandingkan dengan individu-individu yang bekerja
sendiri atau berada dalam kompetisi. Modal sosial mengindikasikan potensi masyarakat
untuk melakukan aksi kerjasama untuk memecahkan persoalan-persoalan pada tingkat
lokal (Fukuyama 2001). Karena modal sosial berbiaya lebih murah untuk melakukan
bekerja bersama, maka modal sosial mampu memfasilitasi kerjasama dengan aturan-aturan
yang ada (Isham and Kahkonen 2002). Norma-norma hubungan timbal balik, misalnya,
Panji Suminar 38
mampu membantu dalam pemecahan masalah aksi kolektif. Adler dan Kwon (2002)
mengidentifikasi bahwa modal sosial mentransformasikan individu-individu dari agen
yang egosentris dan mementingkan diri sendiri dengan menampikkan tanggung jawab
sosial menjadi anggota masyarakat yang diwarnai oleh kepentingan bersama, satu identitas
bersama, dan komitmen untuk kebaikan bersama. Brewer (2003) percaya bahwa jaringan
yang lebih solid meningkatkan kesempatan bahwa orang akan terikat dengan aksi kolektif.
Namun demikian, perkayaan khasanah kajian modal sosial yang dikaitkan dengan
masalah-masalah kekinian yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia relatif masih belum
menunjukkan keragaman yang signifikan. Salah satu fenomena yang saat ini penuh
dengan kompleksitas permasalahan adalah pengelolaan sumberdaya hutan, baik dari
dimensi sosial, ekonomi, politik dan bahkan budaya. Kajian tentang modal sosial dalam
kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dapat ditemukan dalam
jumlah yang terbatas. Lubis (2002), misalnya, melakukan upaya elaborasi konsep modal
sosial ke dalam kajian pengelolaan sumberdaya milik bersama (common property) yang
mengambil setting pada pengelolaan lubuk larangan di Sumatera Utara. Ditemukan bahwa
modal sosial dapat dijadikan media transmisi yang cukup efektif dalam pengelolaan
sumberdaya tersebut. Selanjutnya, Suminar et al (2005) mengkaji penerapan konsep
modal sosial ke dalam pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat meskipun
masih bersifat parsial. Tesis yang dijadikan landasan pemikiran bahwa perilaku manusia
dijembatani oleh pola kebudayaannya. Tesis tersebut didukung oleh Oakley (1992) bahwa
pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat (community-based natural resource
management) ditandai oleh adanya partisipasi yang tinggi dari anggota masyarakat yang
mengacu pada institusi atau aturan-aturan yang mereka kembangkan dan disepakati
bersama. Sejalan dengan hal tersebut, Uphoff (1998) meyakini bahwa suatu partisipasi
dikatakan tinggi apabila warga komunitas memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat
Panji Suminar 39
dalam tahap-tahap pengelolaan sumberdaya. Dengan kata lain, elemen-elemen pokok
modal sosial menjadi dasar bagi pengelolaan sumberdaya alam.
Pengelolaan sumberdaya hutan sedang mengalami perubahan paradigma yakni
didorongnya partisipasi masyarakat secara independen melalui adopsi kebijakan
pengelolaan yang bersifat inklusif sehingga dihasilkan peranan tindakan kolektif
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya yang ada. Meskipun demikian, tindakan
kolektif tersebut banyak tergantung pada berbagai faktor, salah satunya modal sosial
(Baland dan Platteau 1996; Pretty 2003; Pretty dan Ward 2001). Dipahami bahwa
kecenderungan aksi kolektif yang saling menguntungkan berbeda diberbagai aspek dan
komunitas (Krishna 2002). Persoalannya, faktor apa yang membedakan kecenderungan
masyarakat untuk bekerjasama? Dengan kata lain, faktor apa yang membantu untuk
membangun modal pada masyarakat yang berbeda agar memungkinkan mereka
melestarikan sumberdaya, dan faktor apa yang membantu mereka untuk melestarikan dan
mempertahankan modal tersebut? Pertanyaan tersebut sangat relevan untuk mengetahui
perbedaan karakteristik pengelolaan sumberdaya hutan seiring dengan bertambahnya
tanggung jawab pelestarian yang diberikan kepada masyarakat lokal.
Perlindungan dan konservasi hutan telah menjadi isu sentral terkait dengan
fenomena konservasi sumberdaya alam (Gibson et al 1999; Pretty 2003). Di Negara-
negara berkembang, misalnya, konservasi sumberdaya hutan akan menyentuh persoalan
hajat hidup orang banyak yang selama ini sangat tergantung kepada keberadaan hutan.
Oleh karenanya, ketika hutan tidak terlindungi, maka berdampak pada kualitas hidup dan
pekerjaan, pendapatan, dan substansi sistem tradisional di desa. Selain itu, keberadaan
sumberdaya hutan memainkan peranan kehidupan bagi masyarakat yang tergantung pada
hutan. Masyarakat pinggiran hutan, misalnya, memiliki peranan yang penting dalam
konservasi hutan sebab masyarakat lokal hidup dengan hutan merupakan pengguna utama
Panji Suminar 40
hasil hutan, dan menciptakan aturan yang secara signifikan mempengaruhi kondisi hutan
(Gibson et al 2000). Dengan kata lain, interaksi masyarakat dengan alam akan
mengembangkan pemahaman bersama dan kemampuan untuk bekerjasama yang secara
luas menghindarkan diri dari kerusakan sumberdaya bersama, seperti hutan. Kemampuan
ini menurut (Ostrom, 1990) disebut sebagai modal sosial masyarakat lokal.
Salah satu parameter untuk melihat apakah modal sosial dalam komunitas lokal
bekerja dengan baik ataukah tidak dapat dilihat dalam kaitannya dengan aksi kolektif
dalam pengelolaan sumberdaya. Pada dasarnya, kajian tentang aksi kolektif dalam
pengelolaan sumberdaya alam, termasuk hutan, telah banyak menggunakan kerangka
konseptual modal sosial dari Putnam dengan tiga alasan utama. Pertama, Putnam
menghubungkan modal sosial dengan tingkatan meso (kolektif) seperti asosiasi-asosiasi,
komunitas, dan wilayah. Kedua, Putnam menampilkan modal sosial sebagai solusi untuk
dilemma aksi kolektif. Ketiga, Putnam menerapkan kerangka konseptual modal sosial
dalam studi tentang kinerja kelembagaan seperti pemerintahan daerah. Secara lebih luas,
pada dimensi analisis, penerapan kerangka konseptual modal sosial dalam kajian
pengelolaan isu-isu kolektif sangat berguna sebab hal tersebut menyangkut di dalamnya
jaringan baik formal maupun informal, yangmeliputi kelompok-kelompok pengguna
sebagai modal sosial structural yang memfasilitasi aksi kolektif (Uphoff, 2000; Pretty,
2002); dan variasi norma-norma informal dan formal dan kelembagaan seperti norma
hubungan timbal balik, dan hubungan saling percaya) sebagai modal sosial kognitif yang
memfasilitasi kelompok untuk bekerjasama dan melakukan aksi kolektif (Uphoff, 2000).
Persoalan tindakan kolektif memang menjadi perhatian bagi teoritisi modal sosial.
Hal ini disebabkan karena tindakan kolektif inilah yang menjadi parameter apakah potensi
modal sosial dalam komunitas tertentu dapat berjalan ataukah tidak. Terdapat beberapa
persyaratan agar tindakan kolektif berjalan secara efektif. (1) Komponen modal sosial
Panji Suminar 41
sebaiknya diberikan peralatan dan perkuatan secara internal (Ostrom 2000; Wade, 1994;
Baland dan Platteau, 1996; Tang 1992); (2) sebaiknya dikaitkan dengan sanksi-sanksi
(Coleman 1987); (3) sebaiknya ada jaminan distribusi keuntungan atau manfaat yang adil
sehingga dapat membantu untuk membangun hubungan saling percaya (Bowles 1998); (4)
sebaiknya tindakan kolektif tidak terlalu banyak tetapi diperjelas ekspektasi dari tindakan
yang ingin dicapai (Ostrom, 1992b); dan (5) sebaiknya tidak melakukan perubahan secara
drastis melainkan harus mengikuti perubahan berdasarkan dimensi waktu (Ostrom,
1992a). Hal yang sama pentingnya adalah bahwa aturan-aturan diformulasikan dalam
pengambilan keputusan tindakan kolektif yang akan banyak dipengaruhi oleh aturan-
aturan yang bersangkutan. Oleh karenanya partisipasi di semua tahapan kegiatan menjadi
sangat penting. Kesalahan interpretasi dari aturan-aturan dan ketidaksesuaian kepentingan
dapat mengarah pada konflik pengelolaan sumberdaya hutan. Oleh karenanya mekanisme
penyelesaian konflik menjadi sangat esensial untuk menjamin kontinuitas tindakan
kolektif dan kerjasama. Namun demikian, mekanisme tersebut nampaknya akan lebih
efektif apabila didasarkan pada bentuk-bentuk kearifan lokal.
Pendukung keberlangsungan modal sosial struktural adalah modal sosial kognitif
yang meliputi nilai-nilai seperti pertukaran timbal balik, hubungan saling percaya, dan
pengertian bersama. Erosi nilai-nilai tersebut akan mengarah pada kerusakan sumberdaya
sebagai public good (Oakerson, 1992). Hubungan timbal balik, misalnya, dapat rusak
karena konflik, aturan yang tidak adil, regulasi dan sanksi, termasuk didalamnya
ketidakseimbangan manfaat atau keuntungan dari penggunaan modal sosial secara
keseluruhan berdampak pada erosi modal sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan
keroposnya kerjasama (Putnam, 1993). Komunitas yang memiliki tingkatan kepercayaan
yang tinggi tidak terlalu tergantung kepada lembaga eksternal ataupun lembaga formal
untuk memperkuat konsensus (Knack dan Keefer, 1997). Selain itu, nilai-nilai seperi
Panji Suminar 42
pengertian bersama atau homogenitas tujuan menjadi penting dan dapat dipertanggung
jawabkan untuk kerjasama dalam masyarakat yang heterogen secara ekonomi dan sosial
(Poteete dan Ostrom, 2004).
Seperti halnya modal konvesional, modal sosial juga membutuhkan investasi.
Modal sosial akan mengalami erosi atau kerusakan apabila tidak digunakan ataupun salah
penggunaan (Woolcock 1998; Ostrom dan Ahn 2001; Throsby 2001). Tidak mungkin
membangun modal sosial dalam jangka waktu yang singkat seperti hubungan saling
percaya, hubungan timbal balik, dan kelembagaan membutuhkan waktu untuk dibangun
dan dikembangkan secara efektif. Banyak sumberdaya yang dapat memperkuat untuk
membangun modal sosial, misalnya, kepemimpinan efektif; populasi yang homogen;
tradisi partisipasi atau eksistensi kelembagaan tradisional; pengetahuan tradisional; dan
praktek pengelolaan yang berkelanjutan; pandangan terhadap kelangkaan sumberdaya;
kelompok lokal; komitmen pejabat pemerintah (Baland dan Platteau 1996; Krishna 2001).
Sementara itu, premis Hardin tentang tragedy of the common menginspirasi semua
pihak bahwa diperlukan adanya perlindungan terhadap kerusakan sumberdaya alam.
Asumsinya adalah bahwa manusia tidak bisa menghindarkan diri dari kecenderungan
untuk merusak sumberdaya alam yang ada, semakin banyak manusia maka akan semakin
besar kemungkinan kerusakan sumberdaya tersebut.
Hutan, dengan segala hasil ikutannya, merupakan sumberdaya yang sarat
kepentingan berbagai pihak. Oleh karenanya, pengelolaan sumberdaya tersebut selalu
dibarengi dengan konflik, baik bersifat vertikal maupun horizontal. Dalam tataran tertentu,
justru yang lebih banyak ”dikorbankan” adalah masyarakat lokal yang tinggal dan
bermukim di sekitar kawasan hutan. Pertanyaan yang sangat penting adalah dapatkah
masyarakat lokal memainkan peranan positif dalam konservasi dan pengelolaan
sumberdaya hutan? Beberapa kajian telah menunjukkan bahwa masyarakat lokal memiliki
Panji Suminar 43
peranan yang sangat menonjol dalam pengelolaan sumberdaya hutan melalui kelompok-
kelompok lokal yang dibentuk secara swadaya. Bahkan beberapa peneliti secara tegas
menyebutkan bahwa kelompok lokal menjadi pilihan alternatif yang paling efektif untuk
pengelolaan sumberdaya alam dibandingkan dengan regulasi formal yang kaku dan ketat
(Pretty, 2003). Temuan ini menjadi ”jalan lain” untuk merumuskan kerangka berfikir
dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama dengan mengintegrasikan komponen modal
sosial (Ostrom, et al, 2002). Kelompok lokal yang memiliki pengetahuan tentang
sumberdaya lokal yang baik; kesesuaian kelembagaan lokal yang ada; dan proses-proses
pengelolaan yang mendorong pencapaian tujuan pengelolaan yang lebih hati-hati, mampu
bekerja bersama secara kolektif untuk menggunakan sumberdaya alam secara
berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama (Uphoff, 2002).
Terminologi modal sosial menangkap ide bahwa ikatan-ikatan dan norma-norma
sosial sangat penting bagi individu, kelompok dan masyarakat (Coleman, 1988). Hal ini
disebabkan karena modal sosial mengeluarkan biaya aksi kolektif jauh lebih rendah
sehingga mampu memfasilitasi kerjasama. Orang memiliki keyakinan untuk berinvestasi
dalam kegiatan kolektif dan meyakini orang lain pun akan melakukan hal yang sama.
Modal sosial juga terbukti mampu mengurangi kegiatan-kegiatan individu yang tidak
terkontrol yang akan menyebabkan kerusakan lingkungan (Pretty dan Ward, 2001). Empat
gambaran modal sosial yang penting terkait dengan tindakan kolektif (Pretty, 2003),
yakni: hubungan saling percaya (relation of trust); hubungan tukar menukar dan timbal
balik (reciprocity and exchange); aturan bersama (common rules); norma-norma dan
sanksi (norms and sanctions); dan keterhubungan dalam jaringan dan kelompok
(connectedness in network and groups).
Menurut Pretty (2003), hubungan saling percaya menghasilkan kerjasama, dan
mengurangi biaya transaksi antara orang per orang. Sebagai pengganti investasi dalam
Panji Suminar 44
memonitor orang lain, individu-individu dapat mempercayai orang lain untuk melakukan
seperti yang mereka harapkan sehingga mampu menghemat uang dan waktu. Tetapi
hubungan saling percaya membutuhkan waktu dan sangat mudah runtuh. Ketika sebuah
masyarakat ditandai oleh adanya ketidakpercayaan dan konflik, maka kerjasama akan sulit
terwujud. Sementara itu, resiprositas meningkatkan hubungan saling percaya, dan
menunjuk pada pertukaran barang dan pengetahuan yang simultan dengan disertai nilai-
nilai keadilan dan relasi yang berkelanjutan (Putnam, 1993). Resiprositas berkontribusi
pada pembangunan tanggung jawab sosial dalam jangka waktu yang lama.
Aturan-aturan bersama, nilai-nilai dan sanksi-sanksi yang disetujui bersama secara
turun temurun menjamin adanya aturan main dalam mengelola sumberdaya yang ada dan
memberikan keyakinan pada individu untuk berinvestasi dalam komoditas kolektif. Sanksi
yang ada meningkatkan keyakinan individu-individu bahwa yang melanggar akan kena
hukuman. Keterhubungan dalam jaringan dan kelompok (bonding, bridging, dan lingking
social capital) telah diidentifikasi sebagai faktor yang penting bagi jaringan dalam dan
antar komunitas1.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa modal sosial menunjuk pada gambaran
organisasi sosial (jaringan sosial, interaksi sosial, norma, kepercayaan sosial, hubungan
timbal balik, kerjasama) yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama, serta yang mampu
menjadikan orang untuk bertindak secara kolektif untuk tujuan saling menguntungkan
(Woolock dan Narayan, 2000). Oleh karena itulah sifat modal sosial pada hakekatnya
menyangkut persoalan (1) sifat dan kekuatan hubungan antar anggota, (2) kemampuan
anggota untuk mengorganisasikan dirinya sendiri untuk melakukan tindakan kolektif yang
1 Bonding social capital menggambarkan hubungan antara individu, dan menunjuk pada kohesi sosial dalam kelompok. Bridging social capital menunjuk pada hubungan horizontal antara anggota masyarakat, keluarga atau rumah tangga, dan antar masyarakat yang berbeda dan antar kelompok. Bridging social capital menggambarkan kapasitas kelompok atau masyarakat untuk membangun jaringan dengan kelompok lain, sementara linking social capital menggambarkan kemampuan kelompok untuk berhubungan dengan agen-agen eksternal, baik untuk pemanfaatan sumberdaya ataupun mempengaruhi kebijakan
Panji Suminar 45
saling menguntungkan pada area kebutuhan bersama, (3) pengaturan struktur sosial yang
dibutuhkan untuk mengimplementasikan berbagai rencana, (4) keterampilan dan
kemampuan yang memungkinkan anggota masyarakat dapat berkontribusi pada proses
pembangunan (Uphoff dan Mijayaratna, 2000).
Sementara itu, upaya-upaya untuk mengkaji aspek teoritis dan metodologis
pengukuran modal sosial relatif masih baru (World Bank, 2000). Memperoleh pengukuran
modal sosial yang komprehensif, multidimensi, dan dinamis sangatlah sulit. Namun
demikian, dalam penelitian ini akan dikaji parameter modal sosial berdasarkan pada
pembagian dua bentuk modal sosial, yakni modal sosial struktural (structural social
capital) dan modal sosial kognitif (cognitive social capital) yang memayungi tiga dimensi
modal sosial, yakni (1) kelembagaan (institutions); yang meliputi nilai yang dimiliki
bersama (shared values), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions), dan
aturan-aturan (rules); (2) jaringan sosial (social networks); yang meliputi adanya
partisipasi (participation), pertukaran timbal balik (reciprocity), solidaritas (solidarity),
kerjasama (collaboration/cooperation), dan keadilan (equality); dan (3) hubungan saling
percaya (trust); yang meliputi kejujuran (honetsy), kewajaran (fairness), sikap egaliter
(egalitarianism), toleransi (tolerance), dan kemurahan hati (generousity).
2.2. Tingkatan Analisis Modal Sosial
Sementara itu, Grootaert dan Van Bastelaer (2002) mengidentifikasi dimensi
konseptualisasi modal sosial: tingkatan mikro ke tingkatan makro, dan kontinum dari
modal sosial kognitif ke modal sosial struktural. Menurut mereka, modal sosial pada
tingkat makro terdiri dari kelembagaan negara dan aturan hukum (bersifat struktural), dan
pola pengelolaan negara (bersifat kognitif). Sementara, modal sosial pada tingkat mikro
Panji Suminar 46
meliputi kelembagaan lokal dan jaringan (bersifat struktural), dan hubungan saling
percaya, norma lokal, dan nilai-nilai (bersifat kognitif).
Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Bain dan Hicks (1998) yang
mengembangkan konseptualisasi modal sosial ke dalam dua tingkatan: tingkatan makro
dan mikro. Tingkatan makro menunjuk pada konteks institusional dalam mana organisasi
beroperasi, sementara tingkatan mikro merujuk pada kontribusi yang potensial organisasi
dan jaringan sosal horizontal terhadap pembangunan. Pada tingkatan makro terdapat unsur
aturan hukum, tipe rejim pemerintahan, tingkatan desentralisasi, tingkat partisipasi dalam
pengambilan keputusan, dan kerangka kerja legal/formal. Tingkatan mikro yang terdiri
dari aspek kognitif dan aspek struktural. Aspek kognitif terdiri dari nilai-nilai hubungan
saling percaya, solidaritas, dan hubungan timbal balik, norma sosial, tingkah laku, dan
sikap. Aspek struktural terdiri dari struktur organisasi horizontal, proses pengambilan
keputusan kolektif yang transparan, akuntabilitas pemimpin, praktek tindakan kolektif dan
tanggung jawab sosial
Dalam banyak literatur, teoritisi menempatkan modal sosial pada tingkatan
individu, beberapa pada tingkat komunitas, dan lainnya lebih memiliki pandangan yang
dinamis dan bersifat fleksibel. Kilby (2002), misalnya, menyatakan bahwa modal sosial
berada dalam tingkatan atau skala individu yang menjadi bagian dari keluarga, komunitas,
organisasi profesi, negara dan sebagainya secara simultan. Adler dan Kwon (2002)
mendukung pernyataan tersebut bahwa sumberdaya modal sosial terletak dalam struktur
sosial dimana seorang aktor berada. Dengan demikian, modal sosial dapat dipandang
sebagai milik individu sebagai bagian dari agregasi komponen sosial. Kilpatrick et al
(1998) dan Sander (2002) menyatakan bahwa modal sosial pada dasarnya milik kelompok
dan dapat digunakan oleh kelompok atau individu-individu yang menjadi anggota
kelompok bersangkutan. Brewer (2003) menyatakan bahwa meskipun pada dasarnya
Panji Suminar 47
modal sosial dipandang sebagai konsep masyarakat yang lebih luas, modal sosial dapat
juga diobservasi pada tingkatan individu.
Dalam posisi yang berbeda, Coleman (1988) berpendapat bahwa modal sosial
bukanlah atribut dari individu-individu melainkan aspek tergantung dari struktur sosial.
Pendapat tersebut merupakan cerminan dari perspektif Coleman terhadap analisis modal
sosial yang cenderung bersifat struktural fungsional. Dalam perspektif ini individu
merupakan representasi dari masyarakat. Oleh karenanya individu bersifat pasif, atau
masyarakat merupakan hasil konstruksi individu-individu. Asumsi Coleman juga
didukung oleh Newton (2001) bahwa modal sosial secara esensial merupakan kekayaan
kolektif dari sistem sosial, bukan karakteristik dari individu. Demikian juga (Edwards dan
Foley 1998) meyakini bahwa perbedaan antara modal manusia dan modal sosial adalah
bahwa modal sosial inheren dalam hubungan antara individu dan kelompok, dan bukan di
dalam hubungan antar individu.
Dari penjelasan tentang konseptualisasi modal sosial tersebut, secara tidak
langsung akan berdampak pada tingkatan analisisnya pada tataran empirik. Kajian-kajian
yang telah dilakukan, modal sosial pada dasarnya ditempatkan pada tingkatan masyarakat,
kelompok, dan individu (makro-mikro). Namun demikian, konsensus umum dalam
berbagai literatur sangat jelas bahwa modal sosial dapat diidentifikasi dari tingkatan
individu ke tingkatan masyarakat dan bahkan negara (mikro-makro). Putnam dan
Coleman, misalnya, melakukan kajian modal sosial dalam perspektif tingkatan analisis
makro-mikro. Oleh karenanya kedua teoritisi tersebut dikenal sebagai penganut struktural
fungsional dalam analisis modal sosialnya.
Panji Suminar 48