Upload
fitriwandani
View
221
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
paper
Citation preview
2.1.2 Kelimpahan plankton secara akustik
Pendeteksian kelimpahan plankton menggunakan metode hidroakustik dapat dilihat dari
nilai Sv plankton itu sendiri. Volume Backscattering Strength (Sv) merupakan rasio antara intensitas
yang direfleksikan oleh suatu group single target dimana target berada pada suatu volume air. Nilai
Sv merupakan suatu indikator yang berbanding lurus dengan densitas sehingga nilai Sv saja mampu
mewakili data akustik dalam memberikan informasi kelimpahan plankton. Nilai Sv yang tinggi
mengindikasikan kelimpahan plankton yang tinggi pula pada suatu perairan. Pengukuran densitas
plankton atau larva dapat didasarkan pada nilai Sv, karena nilai Sv merupakan fungsi dari populasi
densitas dan target strength (TS) yang dapat diformulasikan (Xie dan Jones, 2009).
Penelitian mengenai plankton yang menggunakan metode hidroakustik pada umumnya
menggunakan sistem split beam. Sistem akustik split beam adalah sebuah transduser yang dibagi
kedalam empat kuadran yakni fore (bagian depan), aft (buritan kapal), port (sisi kiri kapal) dan
starboard (sisi kanan kapal).Transduser split beam ini memiliki bim yang sangat tajam (10º) (Simrad,
1993).
Penelitian mengenai plankton dengan menggunakan metode hidroakustik menggunakan
sistem split beam telah banyak dilakukan, seperti penelitian mengenai pemanfaatan metode akustik
untuk melihat hubungan antara plankton dan ikan pelagis di perairan Arafura tahun 2006
(Vivian,2010). Pada penelitian tersebut mengukur dan membandingkan densitas, TS dan Sv ikan
pelagis terhadap SV plankton secara kuantitatif. Hasil yang didapat dari penelitian tersebut yaitu
terdapatnya hubungan antara plankton dan ikan pelagis secara akustik di Perairan Arafura.
2.2 Plankton
2.2.1 Definisi Plankton
Kata plankton berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengembara (Wardhana, 2003). Plankton
meliputi biota yang hidup terapung atau terhanyut di daerah pelagik. Organisme ini biasanya relatif
kecil atau mikroskopis.
Plankton pada umumnya organisme yang berukuran renik, hidup melayang dalam air dengan
kemampuan gerak yang lemah sehingga perpindahannya banyak ditentukan oleh pergerakan air
(Odum, 1971). plankton merupakan kumpulan organisme baik hewan maupun tumbuhan yang
berukuran mikroskopis dan hidup terapung atau melayang-layang mengikuti arus. Plankton
sepanjang hidupnya selalu bergantung dari pergerakan massa air atau pola arus, namun demikian,
terdapat pula jenis plankton yang pergerakannya sangat kuat sehingga dapat melakukan migrasi
harian. Plankton dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu fitoplankton (plankton
tumbuhan atau plankton nabati) dan zooplankton (plankton hewani). Fitoplankton merupakan
tumbuhan planktonik yang bebas melayang dan hanyut dalam laut serta mampu berfotosintesis
karena memiliki klorofil (Nybakken, 1992).
Fitoplankton umumnya terdiri atas kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Dinophyceae, dan
Haptophyceae. Selain berklorofil, fitoplankton juga memiliki bahan makanan cadangan yang
umumnya berupa pati atau lemak, dinding sel yang tersusun dari selulosa, serta bentuk flagel yang
beragam.
Zooplankton adalah hewan kecil yang mengapung secara bebas pada kolom perairan danau,
sungai dan laut dimana distribusinya dipengaruhi oleh faktor utama yakni arus dan percampuran
massa air (Paterson, 2007). Zooplankton meliputi hewan-hewan dari kelompok Protozoa,
Coelenterata, Ctenophora, Chaetognatha, Annelida, Arthropoda, Urochordata, Mollusca, dan
beberapa larva hewan-hewan vertebrata. Secara teoritis adanya konsentrasi fitoplankton yang besar
di laut maka terdapat banyak zooplankton sebagai konsumen primer bagi ikan pelagis kecil, udang-
udangan dan sebagainya (Wiadnyana, 1998).
2.2.2 Kelimpahan dan distribusi plankton
kelimpahan plankton di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan
yang meliputi faktor fisika, kimia dan biologi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah suhu,
kekeruhan, kecerahan, pH, gas-gas terlarut, unsur hara dan adanya interaksi dengan organisme lain.
Faktor fisik dapat disebabkan oleh turbulensi atau adveksi (pergerakan massa air yang besar) yang
mengandung plankton didalamnya.
Angin dapat pula menyebabkan terkumpulnya plankton pada tempat tertentu seperti daerah
sepanjang pantai. Faktor biologi terjadi apabila terdapat perbedaan pertumbuhan antara laju
pertumbuhan fitoplankton dan kecepatan difusi untuk menjauhi kelompoknya, zooplankton yang
memangsa fitoplankton mempengaruhi pengelompokkan fitoplankton. Sebagai akibat adanya proses
fisik dan kimia di perairan pantai, berkelompoknya plankton lebih sering dijumpai di perairan neritik
terutama perairan yang dipengaruhi oleh estuari dari pada perairan oseanik (Arinardi et al. 1997).
Produktivitas perairan pantai (neritik) ditentukan oleh beberapa faktor seperti arus pasang surut,
morfo-geografi setempat dan proses fisik dari lepas pantai. Adanya pulau-pulau akan
menyumbangkan produksi hayati yang lebih tinggi karena terjadinya pengayaan yang disebabkan
oleh turbulensi (pengadukan air), penaikan massa air di selat antara dua pulau atau lebih dan aliran
air sungai ke perairan pantai. Lingkungan yang tidak menguntungkan bagi plankton dapat
menyebabkan jumlah individunya berkurang, sehingga keadaan ini akan mempengaruhi kesuburan
perairan.
Di suatu perairan sering didapatkan adanya jumlah individu plankton yang berlimpah pada
suatu stasiun sedangkan pada stasiun lainnya di perairan yang sama jumlah tersebut sangat sedikit.
Hal ini menunjukkan bahwa distribusi horizontal plankton di suatu perairan tidakm merata.
Perbedaan distribusi kelimpahan plankton bukan saja terjadi secara horizontal tetapi juga secara
vertikal (Arinardi et al. 1997). Di perairan tropis terutama perairan Indonesia, penurunan dan
peningkatan kelimpahan plankton berlangsung sepanjang tahun. Penyebab perubahan ini belum
dapat diketahui dengan pasti, kelimpahan maksimum dan minimum ini juga tidak mencolok serta
terjadi beberapa kali secara bergantian sepanjang tahun (Arinardi et al. 1997).
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk pengolahan data diantaranya Personal Computer (PC) dan Laptop,
Microsoft Office 2007 yang digunakan untuk membuat dokumen (mengolah data) serta menyimpan
dokumen. Software Echoview 4.0 yang tersedia untuk pengolahan data dari echosounders dan
sonar.Microsoft Excel 2007 digunakan untuk mentabulasi data serta memvisualisasikan data
plankton dengan menggunakan menu chart. Software ArcGis 9.0 dan MatLab 2010 yang digunakan
untuk memvisualisasikan sebaran nilai SV. Bahan yang akan digunakan adalah data akustik yang
diterima dalam bentuk echogram dengan format *.dt4 serta data plankton-net dalam bentuk
microsoft excell dengan satuan sel/m3.
3.3 Pengolahan Data
Pengolahan data secara keseluruhan dapat diolah menggunakan softwareEchoview 4.0 dalam
bentuk echogram, kemudian pada variabel properties dilakukan pengaturan nilai Elementary
Sampling Display Unit(ESDU) untuk pembatasan data, diantaranya dilakukan pengaturan grid jumlah
ping (300 ping) yang digunakan serta kedalaman (50 m) dan nilai threshold (-90 dB sampai -65 dB),
selain itu dilakukan juga kalibrasi sesuai dengan parameterparameter lingkungan pada saat
perekaman data akustik. Parameter tersebut diantaranya salinitas (32 ppt), suhu (30O C), kedalaman
(10 m), pH 8 serta frekuensi (201 kHz) yang digunakan. Hasil kalkulasi dari parameter-parameter
tersebut digunakan untuk mengetahui kecepatan suara (1542,43 m/detik) dan koefisien absorpsi
(0,08472 dB/m) dari alat yang digunakan. Integrasi cell dilakukan dengan menggunakan dongel
kemudian diperoleh ekstrak data dalam format *.csv, data dalam bentuk *.csv kemudian di konversi
ke bentuk *.txt, selanjutnya data divisualisasikan dengan menggunakan software ArcGis 9.0 dan
MatLab 2010.
Penentuan nilai threshold yang digunakan pada penelitian ini dilakukan berdasarkan metode
progressive threshold. Progressive Threshold merupakan metode yang digunakan untuk
menapis/menyaring nilai hambur balik yang ditampilkan pada echogram sehingga dapat diperoleh
kisaran kanal hambur balik yang sesuai dengan jenis target yang diinginkan. kisaran nilai threshold
untuk objek yang berukuran kecil seperti plankton dengan frekuensi alat yang digunakan sebesar
200 kHz adalah -83,9 dB sampai -62,5 dB. Data kelimpahan plankton yang telah diolah diterima
dalam bentuk microsoft excell dengan satuan sel/m3, data tersebut diambil pada lapisan permukaan
(< 1 m) yang terdiri atas 24 stasiun yang titik pengambilannya bersamaan dengan titik pengambilan
data oseanografi pada saat survei dilakukan. Gambar 4 merupakan diagram alir pengolahan data
akustik maupun data plankton-net.
3.4 Analisis Data
Kelimpahan plankton di lokasi penelitian dianalisis dengan melihat trend yang terbentuk dari nilai Sv
plankton dalam satuan decibel (dB) di hubungkan dengan kedalaman, waktu dan membandingkan
dengan kelimpahan yang diperoleh dari plankton-net. Pengolahan data ini dilakukan dengan ArcGis
9.0, MatLab 2010 dan Microsoft Excell.
Xie. J dan Jones. I. S. F. 2009. A Sounding Scattering Layer in a Freshwater Reservoir. Marine Study
Center University of Sydney. Australia.
SIMRAD. 1993. http://www.simrad.com [12 Agustus 2012]
Vivian J. 2010. Pemanfaatan Metode Akustik untuk Melihat Hubungan antara Plankton dan Ikan
Pelagis di Perairan Arafura tahun 2006. Skripsi (Tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Wardhana, W. 2003. Penggolongan Plankton. Departemen Biologi FMIPA. Skripsi. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Odum, EP. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company Ltd. Philadelphia.
Nybaken JW. 1992. Marine Biology: an Ecosystem Approach. The 2nd edition. Pearson Inc.
Paterson, M. 2007. Ecological Monitoring Assessment Network (EMAN) Protocols For Measuring
Biodiversity : Zooplankton In Fresh Waters. Departement of Fisheries and Oceans. Freshwater
Institute. Winnipeg, Manitoba.
Wiadnyana. N.N. 1998. Kesuburan dan Komunitas Plankton di Perairan Pesisir Dugul, Irian Jaya.
Balitbang Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanologi –LIPI Guru-guru, Poka. Ambon.
Arinardi OH., Sutomo AB., Yusuf SA., Triaminingsih, Asnaryanti E., Riyono SH. 1997. Kisaran
Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Timur Indonesia. LIPI.
Jakarta. 140 h.
GELOMBANG
Gelombang suara dipancarkan melalui sebuah alat yang menghasilkan energi suara pada kolom perairan
ataupun dasar perairan, prinsipnya yaitu mengubah energi elektrik menjadi energi mekanik. kecepatan suara
yang berada di perairan mencapai 1500 m/s. Metode akustik merupakan proses-proses perambatan suara,
karakteristik suara (frekuensi, pulsa, intersitas), faktor lingkungan/medium, dan lainnya.
AKUSTIK
akustik pasif : suatu aksi mendengarkan gelombang suara yang datang dari berbagai obyek pada kolom
perairan (prinsipnya adalah menerima suara).
akustik aktif : mengukur jarak dan arah dari obyek yang dideteksi dan ukuran relatifnya dengan
menghasilkan pulsa suara dan mengukur waktu tempuh dari pulsa tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan suara di perairan laut, sebagai berikut:
1. Suhu, Pada prinsipnya semakin tinggi suhu suatu medium, maka semakin cepat rambat bunyi dalam
medium tersebut. Dikarena makin tinggi suhu, maka semakin cepat getaran partikel-partikel dalam
medium tersebut. Akibatnya, proses perpindahan getaran makin cepat. Temperatur yang lebih panas
atau lebih dingin mempengaruhi kecepatan bunyi di udara.
2. Tekanan, setiap penambahan kedalaman maka tekanan akan semakin tinggi. Semakin tinggi tekanan
maka akan semakin tinggi cepat rambat bunyinya. Pengaruh tekan akan lebih besar dari suhu dan
salinitas pada lapisan Deep Layer. Hal tersebut karena partikel-partikel zat yang bertekanan tinggi
terkompresi sehingga cepat rambat yang dihasilkan lebih besar. Pada kedalaman berdasarkan
kecepatan suara dibagi dalam 3 zona, yaitu
Zona 1 (mix layer) : Kecepatan suara cenderung meningkat akibat faktor perubahan tekanan mendominasi
faktor perubahan suhu
Zona 2 (termochline) : Kecepatan suara menurun dan menjadi zona minimum kecepatan suara akibat
terjadinya perubahan suhu yang sangat drastis dan mendominasi faktor perubahan tekanan.
Zona 3 (deep layer) : Kecepatan suara meningkat kembali akibat faktor perubahan tekanan mendominasi
kembali faktor perubahan suhu.
1. Salinitas, Kenaikan salinitas meningkatkan modulus axial (larutan menjadi kurang kompres), sehingga
tiap kenaikan salinitas akan meningkatkan cepat rambat bunyi. Cepat rambat bunyi terhadap salinitas
seharusnya berkurang seiring kenaikan salinitas karena meningkatnya densitas.
2. Densitas, makin rapat medium umumnya semakin besar cepat rambat bunyi dalam medium tersebut.
Penyebabnya adalah makin rapat medium maka makin kuat gaya kohesi antarpartikel. Akibatnya
pengaruh suatu bagian medium kepada bagian yang lain akan mengikuti getaran tersebut dengan
segera sehingga perpindahan getaran terjadi sangat cepat.
Kecepatan suara bergantung pada suhu, salinitas, tekanan, musim dan lokasinya. Semakin jauh suara dari
sumber suara, maka kegiatan echo akan mengalami perubahan dan tergantung pada waktu
tempuhnya. Kecepatan perambatan gelombang suara ini sangat dipengaruhi oleh temperatur, salinitas dan
kedalaman air laut, ada juga persamaan yang menggambarkan dan membuktikan bahwa ada pengaruh, yaitu:
C = (1449.2 + 4.6T) – (0.055 T2) + 0.00029T3 + (1.34 – 0.010T)(S-35) + 0.016z
Keterangan :
C = kecepatan suara [m/s]
T = suhu [oC]
Z = kedalaman [m]
S = salinitas [psu]
Kecepatan suara dalam perairan sangat di pengaruhi oleh faktor suhu, bila suhu naik maka makin cepat pula
rambat suaranya.
CONDUCTIVITY TEMPERATURE DEPTH (CTD)
CTD adalah alat yang digunakan dalam sampling oseanografi untuk mengukur salinitas air laut, suhu serta
kedalaman air laut pada tempat dan kedalaman yang diinginkan. Alat ini terdiri dari 3 sensor utama, yaitu sensor
tekanan untuk pengukuran kedalaman, thermistor sebagai sensor suhu, dan sel induktif (conductivity) sebagai
sensor salinitas, juga dapat diberikan sensor tambahan seperti sensor klorofil, kekeruhan, oksigen
dsb. Umumnya ada 3 komponen utama dalam pengoperasian CTD yaitu : CTD, perangkat komputer
dengan software-nya, dan perangkat interface sebagai unit penghubung antara CTD dan komputer.
Prinsip Pengukuran CTD :
Pada Prinsipnya teknik pengukuran pada CTD ini adalah untuk mengarahkan sinyal dan mendapatkan sinyal
dari sensor yang menditeksi suatu besaran, kemudian mendapatkan data dari metode multiplexer dan
pengkodean (decode), kemudian memecah data dengan metode enkoder untuk di transfer ke serial data stream
dengan dikirimkan ke kontrolunit via cabel.
CTD diturunkan ke kolom perairan dengan menggunakan winch disertai seperangkat kabel elektrik secara
perlahan hingga ke lapisan dekat dasar kemudian ditarik kembali ke permukaan. CTD memiliki tiga sensor
utama, yakni sensor tekanan, sensor temperatur, dan sensor untuk mengetahui daya hantar listrik air laut
(konduktivitas). Pengukuran tekanan pada CTD menggunakan strain gauge pressure monitor atau quartz crystal.
Tekanan akan dicatat dalam desibar kemudian tekanan dikonversi menjadi kedalaman dalam meter. Sensor
temperatur yang terdapat pada CTD menggunakan thermistor, termometer platinum atau kombinasi keduanya.
Sel induktif yang terdapat dalam CTD digunakan sebagai sensor salinitas. Pengukuran data tercatat dalam
bentuk data digital. Data tersebut tersimpan dalam CTD dan ditransfer ke komputer setelah CTD diangkat dari
perairan atau transfer data dapat dilakukan secara kontinu selama perangkat perantara (interface) dari CTD ke
komputer tersambung.
ACOUSTIC DOPPLER CURRENT PROFILER (ADCP)
Prinsip kerja ADCP berdasarkan perkiraan kecepatan baik secara horizontal maupun vertikal menggunakan efek
Doppler untuk menghitung kecepatan radial relatif, antara instrumen (alat) dan hamburan di laut.
Tiga beam akustik yang berbeda arah adalah syarat minimal untuk menghitung tiga komponen kecepatan. Beam
ke empat menambah pemborosan energi dan perhitungan yang error. ADCP mentransmisikan ping, dari tiap
elemen transducer secara kasar sekali tiap detik. Echo yang tiba kembali ke instrumen tersebut melebihi dari
periode tambahan, dengan echo dari perairan dangkal tiba lebih dulu daripada echo yang berasal dari kisaran
yang lebih lebar. Profil dasar laut dihasilkan dari kisaran yang didapat. Pada akhirnya, kecepatan relatif, dan
parameter lainnya dikumpulkan diatas kapal menggunakan Data Acquisition System (DAS) yang juga secara
optional merekam informasi navigasi, yang diproduksi oleh GPS.
.
Kegunaan ADCP pada berbagai aplikasi :
1. Perlindungan pesisir dan teknik pantai.
2. Perancangan pelabuhan dan operasional
3. Monitoring Lingkungan
4. Keamanan Perkapalan
ADCP dapat menghitung secara lengkap, arah frekuensi gelombang spektrum, dan dapat dioperasikan di
daerah dangkal dan perairan dalam. Salah satu keuntungan ADCP adalah, tidak seperti directional wave buoy,
ADCP dapat dioperasikan dengan resiko yang kecil atau kerusakan. Sebagai tambahan untuk frekuensi
gelombang spektral, ADCP juga dapat digunakan untuk menghitung profil kecepatan dan juga level air.
Keuntungan ADCP:
1. Definisi yang tinggi dari arah arus/gelombang pecah.
2. Logistik yang sederhana dengan bagian bawah yang menjulang
3. Kerusakan yang kecil, dan resiko yang kecil.
4. Kualitas perhitungan permukaan yang tinggi yang berasal dari dasar laut
sumber : http://pehulmarine.wordpress.com/2012/12/29/akustik-laut/
. KELEBIHAN & KEKURANGAN ECHO SOUNDERAdapun kelebihan dan kekurangan dari penggunaan echo sounder itu adalah sebagai
berikut :a. Kelemahan dari penggunaan echo sounder adalah jika semakin dalam laut, gambar yang
dihasilkan semakin tidak jelas (tidak terlihat lebih spesifik gambar karang, ikan, kapal karam,dan sebagainya). Contoh ketika echo sounder digunakan di akuarium yang berisi ikan, gambar yang dihasilkan lebih jelas, hal ini dipengaruhi oleh laut. Disamping itu mengganggu komunikasi antar hewan laut contohnya paus dan lumba–lumba.
b. Keuntungan dari penggunaan echo sounder adalah dapat mengukur kedalaman laut yang disertai dengan pemetaan dasar laut, disamping itu digunakan nelayan untuk mengetahui gerombolan ikan,serta dapat mengukur suhu air pada kedalaman tertentu. Penggunaan teknologi ini sangat membantu dalam pencarian sumber daya ikan yang baru, sehingga akan mempercapat pengambilan keputusan atau kebijakan, terutama untuk menetapkan daerah penangkapan ikan agar potensi ikan dapat dipertahankan (Parkinson, B.W., 1996).