Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
LAPORAN AKHIR
HIBAH GRUP RISET UDAYANA
Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak,
dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada Rumpun
Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat
Grup Riset
PRAGMATIK
TIM PENELITI NIDN
Ketua : Drs. I Ketut Tika, M.A 0031125325
Anggota :
1. Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. 0024125407
2. Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, S.S., M.Hum 0029056907
3 I Made Sena Darmasetiyawan, S.S, M.Hum 9900980508
GRUP RISET PRAGMATIK
PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
NOVEMBER 2015
Bidang Unggulan: Pariwisata, Ekonomi dan Sosial
Kode/Nama Rumpun Ilmu: 520 /Ilmu Bahasa
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI ................................................................................................................... 2
RINGKASAN .................................................................................................................. 3
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................. 4
BAB II . TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 7
BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................................. 9
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN...............................................................................
13
36
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................
LAMPIRAN......................................................................................................................
37
40
3
RINGKASAN
Umumnya, bahasa-bahasa digunakan dalam kegiatan-kegiatan tradisional dan adat,
agama, seni, di sekolah, di kantor, di rumah, dan sebagainya. Namun, kompleksitas
kategori sosial masyarakatnya, yang meliputi stratifikasi sosial, usia, jenis kelamin, dan
seterusnya, terhubung dengan variasi dalam kode linguistik. Variasi ini kemudian
menghasilkan kategori-kategori tingkat tutur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengukur dampak dari kategori-kategori sosial (khususnya, status atau kedudukan sosial,
jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras
dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa.
Penelitian ini mengunakan metode kualitatif sebagai metode utamanya. Data primer dari
penelitian ini berupa data tertulis dan lisan. Data sekunder akan digunakan untuk
mendukung teori dasar. Metode penelitian dalam kajian ini mencakup metode
pengumpulan data dan pengolahan data. Output dari penelitian ini nantinya berupa
publikasi artikel dalam jurnal internasional dan jurnal nasional terakreditasi.
4
BAB I
PENDAHULUAN
Bahasa-bahasa lokal merupakan bahasa-bahasa yang dituturkan oleh
suku/kelompok-kelompok tutur di daerah-daerah berbeda di Indonesia. Menurut Blust
(1981), bahasa-bahasa lokal di Indonesia tersebut termasuk ke dalam rumpun Melayu-
Polinesia yang terdiri atas Melayu-Polinesia Barat, Melayu-Polinesia Tengah, dan Melayu
Polinesia Timur. Bahasa-bahasa seperti Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, dan Sumbawa
termasuk ke dalam Melayu-Polinesia bagian Barat. Kemudian selanjutnya, bahasa Bali,
Sasak, dan Sumbawa dikelompokkan lagi menjadi sub-kelompok dari Melayu-Polinesia
Barat (Dyen 1982, Mbete 1990).
Sebagai anggota dari satu sub-kelompok, maka bahasa-bahasa ini dikatakan
memiliki kemiripan-kemiripan baik itu yang dilihat secara fonologis, morfologis, leksikon,
atau bahkan sintaktisnya. Sehingg kemudian, pertanyaan yang muncul adalah apakah
bahasa-bahasa tersebut juga memiliki aspek-aspek sosiolinguistik yang sama atau tidak
mengingat bahasa-bahasa tersebut telah lama digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi
dalam beragam kegiatan dan situasi tutur dalam komunitas tuturnya masing-masing.
Melalui penelitian ini, bahasa-bahasa akan dikaji secara menyeluruh, khususnya yang
berkaitan dengan hubungan bahasa-bahasa tersebut dengan kategori-kategori sosialnya.
Umumnya, bahasa-bahasa digunakan dalam kegiatan-kegiatan tradisional dan adat, agama,
seni, di sekolah, di kantor, di rumah, dan sebagainya. Namun, kompleksitas kategori sosial
masyarakatnya, yang meliputi stratifikasi sosial, usia, jenis kelamin, dan seterusnya,
terhubung dengan variasi dalam kode linguistik. Variasi ini lah yang kemudian
menghasilkan kategori-kategori tingkat tutur di masyarakatnya. Hal tersebut pada
kenyataannya jika dilihat berdasarkan kacamata sosiolinguistik, merupakan karakteristik
dari sebagian besar bahasa-bahasa dalam rumpun Melayu-Polinesia Barat seperti bahasa
Sunda, Jawa, Madura, dan Bali (Hardjadibatra 1985, Poedjasoedama 1979, Kersten 1970,
Ward 1973, Bagus 1979, Narayana 1983, Zurbuchen 1987, Hunter 1988, dan Clynes 1989,
Suastra 2002).
Penelitian seperti ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap perkembangan teori tingkat tutur pada umumnya, dan perkembangan yang
berkaitan dengan penggunaan bahasa-bahasa yang sama dengan rumpun Melayu-Polinesia
Barat lainnya pada khususnya. Hasil dari penelitian ini akan membuktikan bahwa semua
5
bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Melayu-Polinesia Barat membawa kategori-
kategori tingkat tutur yang didasari atas aspek-aspek sosial yang berbeda. Penelitian
lanjutan dapat dikembangkan dengan mengambil data dari bahasa-bahasa yang tergolong
pada rumpun Melayu-Polinesia lainnya, yaitu Melayu-Polinesia Tengah dan Timur, jika
penutur dari bahasa-bahasa tersebut diasumsikan memiliki kategori-kategori sosial yang
berbeda. Penelitian ini sejatinya merupakan penelitian lapangan yang produktif untuk
perkembangan bidang sosiolinguistik ke depannya. Hal ini dikarenakan Studi Linguistik
Kebudayaan yang menjadi minat utama Program Pascasarjana Linguistik (Magister dan
Doktoral), Fakultas Sastra, Universitas Udayana ini sedang dikembangkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur seberapa besar dampak yang
ditimbulkan dari kategori-kategori sosial (khususnya status, jenis kelamin, dan umur) yang
berkembang dalam masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang
berlaku dalam penggunaan bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa. Dalam kaitannya dengan
permasalahan tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah:
- untuk menemukan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi dari tingkat tutur bahasa
Bali, Sasak, dan Sumbawa pada komunitas tutur tempat bahasa-bahasa tersebut
dituturkan
- untuk menelaah dampak yang ditimbulkan dari kategori-kategori sosial yang
utamanya berkaitan dengan status/kedudukan sosial, jenis kelamin, dan umur
yang berupa bentuk dan fungsi dari tingkat tutur tersebut.
- untuk membandingkan kategori-kategori sosial yang menentukan struktur dari
tingkat tutur pada bahasa-bahasa yang berbeda.
Fokus penelitian ini adalah permasalahan-permasalahan yang didasari atas dua
faktor, yaitu faktor-faktor kebahasaan dan non-kebahasaan. Sementara itu, pada
penelitian terdahulu, kajian yang dilakukan adalah kajian yang berhubungan dengan
permasalahan tentang status sosial (dari sistem kelas tradisional ke sistem kelas terbuka).
Pada penelitian ini, faktor-faktor non kebahasaan seperti jenis kelamin, umur, dan tingkat
keformalitasan juga digunakan sebagai bahan pertimbangan. Selanjutnya, untuk faktor-
faktor kebahasaannya meliputi fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan klausa yang
berhubungan dengan tingkat tutur. Sistem di atas dapat dilihat pada gambar 1. di bawah
ini.
6
Gambar 1.
Hubungan antara faktor kebahasaan dan non-kebahasaan dalam kajian ini
Faktor-Faktor
Kebahasaan
Faktor-Faktor Non-
Kebahasaan
Fonologi
Morfologi
Leksikon
Sintaksis
Klausa
Status Sosial
Jenis
Kelamin
Umur
Tingkat Honorifik:
Honorifik Penutur (Addressor)
Honorifik Petutur (Addressee)
Honorifik Referen (referent)
Tingkat
Kekasaran
Bentuk-Bentuk dan
Fungsi-Fungsi Tingkat
Tutur
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Istilah Tingkat Tutur pertama kali digunakan oleh Geertz (1960) untuk
mengelompokkan etika tutur masyarakat Jawa. Kemudian penggunaan istilah itu diikuti
oleh Martin (1964) dalam tulisannya tentang Tingkat Tutur pada Masyarakat Jepang dan
Korea. Martin membedakan dua tipe bentuk-bentuk honorifik dalam bahasa-bahasa
tersebut, yaitu “honorifik (penghormatan) petutur (penerima/ lawan bicara/ addressee) dan
honorifik referen”. Pembedaan tersebut kemudian diadaptasi oleh linguis lainnya, seperti
Poedjasoedarma (1979) yang mengangkat tentang masyarakat Jawa, Suharno (1980) yang
juga mengangkat hal yang sama, dan Wang (1990) pada masyarakat Korea.
Sehubungan dengan bentuk dan fungsi sosial dari tingkat tutur, Kersten (1970),
Bagus (1981), Ward (1973) Zurbuchen (1987), Hunter (1988), Clynes (1989), dan Suastra
(2001) juga telah melakukan penelitian yang senada, tetapi dengan menggunakan
terminologi, sistem, dan model yang berbeda.
Pada penelitian ini kajian tentang pengkategorisasian dari bentuk-bentuk honorifik
yang meliputi “honorifik penutur (Sor/humble), petutur (Singgih/refine), referen (Sor dan
Singgih/humble and refine), dan bentuk-bentuk kasar” dari tingkat tutur akan diterapkan.
Bentuk-bentuk ini akan ditelaah berdasarkan dua aspek, yaitu:dari hubungan sintagmatik
dan paradigmatiknya (mengikuti kerangka kerja Errington yang menganalisis tentang
tingkat-tingkat tutur bahasa Jawa (1985: 5). Aspek paradigmatik nantinya akan
menjelaskan kata-kata alternatif yang meliputi kategorisasi dari unsur-unsur leksikalnya.
Sementara itu, hubungan sintagmatiknya akan menjelaskan kombinasi-kombinasi kata
yang digunakan untuk menyusun kalimat-kalimat pada masing-masing tingkat tutur.
Ditambah lagi, perbedaan-perbedaan yang ditemukan dalam bentuk-bentuk fonologis dan
morfologis juga akan dianalisis.
Gagasan Hymes (1974) dalam karyanya tentang etnografi komunikasi yang
menjabarkan tentang “SPEAKING” (Setting/Tempat Tutur dan Scenes/Suasana Tutur,
Participants/Partisipan, End/Tujuan Tutur, Act sequence/Topik Pembicaraan, Key/Nada
Bicara, Instrumentalities/Sarana Tutur, Norms/Norma Tutur, dan Genre/Jenre) diadopsi
untuk mengevaluasi fungsi-fungsi dari tingkat-tingkat tutur. Setting dan Scene
berhubungan dengan komponen-komponen dari situasi dan tindak tutur. Setting mengacu
pada tempat dan waktu dari sebuah tindak tutur, dan scene merupakan definisi kultural
dari sebuah situasi tutur. Partisipan mengacu pada petutur atau pendengar, serta penutur
8
atau pembicara sebagai subjek dari komponen-komponen tutur. End/tujuan tutur
merupakan dua aspek tujuan, yaitu tujuan peristiwa tutur dalam bentuk sasaran-sasaran
yang ingin dicapai (goal), dan tujuan yang berupa hasil yang diharapkan (outcomes). Act
sequence/topik pembicaraan mengacu pada bentuk pesan dan isi pesan. Keys/nada tutur
mengacu pada ton (nada), cara, dan penjiwaan pada saat peristiwa tutur itu terjadi.
Instrumentalities/ sarana tutur mengacu pada saluran dan bentuk tutur. Norms/norma-
norma tutur terdiri atas norma-norma interaksi yang berhubungan dengan perilaku dan
sifat yang khusus yang melekat pada tuturan; dan norma interpretasi melibatkan sistem
kepercayaan dalam sebuah komunitas tutur. Pada akhirnya, genre/jenre menyiratkan
kemungkinan mengidentifikasi karakteristik formal dari sebuah peristiwa tutur.
PETA JALAN PENELITIAN
Kajian
Sekarang
Geertz (1960), Martin (1964), Poedjasoedarma (1979), Wang (1990) o, ,
Kersten (1970), Bagus (1981), Ward (1973) Zurbuchen (1987), Hunter
(1988), Clynes (1989), Suastra (2001)
K
a
j
i
a
n
t
e
r
d
a
h
u
l
u
1. untuk menemukan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi dari tingkat
tutur bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa pada komunitas tutur tempat
bahasa-bahasa tersebut dituturkan
2. untuk menelaah dampak yang ditimbulkan dari kategori-kategori
sosial yang utamanya berkaitan dengan status/kedudukan sosial,
jenis kelamin, dan umur yang berupa bentuk dan fungsi dari tingkat
tutur tersebut.
3. untuk membandingkan kategori-kategori sosial yang menentukan
struktur dari tingkat tutur pada bahasa-bahasa yang berbeda
T
u
j
u
a
n
o
u
t
p
u
t
Publikasi dalam:
1. Artikel dalam Jurnal Internasional
2. Artikel dalam Jurnal Nasional Terakreditasi
9
BAB III
METODE PENELITIAN
Kajan penelitian ini menerapkan metode kualitatif. Data primer dalam penelitian
ini adalah data tulis dan lisan, sedangkan data sekunder digunakan untuk mendukung
teori dasarnya. Metode penelitian ini dibagi menjadi dua sub-bab, yaitu pengumpulan
data, pemrosesan data, dan analisis data.
3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam kajian ini melibatkan observasi partisipasi dan teknik
elisitasi (Labov 1972b: 102-11). Observasi partisipasi diterapkan sebagai teknik dasar
dimana peneliti terlibat dan menjadi bagian dari sebuah kelompok tutur. Penelitian
seperti ini penting dilakukan guna untuk meminimalkan paradoks pengobservasi
(Labov 1972a: 10) dan untuk memperoleh tuturan spontan dari para penutur. Prosedur
teknik elisitasi bisa mengambil berbagai bentuk yang bergantung pada respon alami
yang diinginkan. Dalam penelitian ini respon lisan lebih diutamakan. Akan tetapi,
wawancara individu juga akan dilakukan guna mengumpulkan data tambahan.
Ketika penelitian sosiolinguistik dilakukan, faktor sosiologis dianggap lebih
utama dibandingkan dengan faktor geografis dan kompleksitas struktur sosial yang
membuat pengetahuan individual tentang area tersebut menjadi tidak begitu berterima
(Trudgil 1974:20). Lebih lanjut, kajian ini intinya untuk menjabarkan kategori status
sosial, jenis kelamin, dan umur di masyarakat dimana bahasa tersebut dituturkan.
Guna mengukur kelas sosial secara objektif, digunakan tiga unsur indeks dari
Labov (1972c:115), yaitu: pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan. Trudgill (1974:
60) membagi enam unsur indeks: pekerjaan, penghasilan, pendidikan, perumahan,
lokalitas, dan pekerjaan ayah. Chaika (1989-236) mengemukakan indeks karakteristik
status sosial (ISC) yang terdiri dari pekerjaan, pendidikan, penghasilan, dan tempat
tinggal digunakan untuk mengukur subjek status sosial. Sampai sejauh ini, status
sosial dapat diukur oleh empat unsur indeks, yaitu pekerjaan, pendidikan,
penghasilan, dan hubungan sosial. Indeksnya diadaptasikan pada situasi yang
berkembang di masyarakat baru-baru ini.
Analisis kajian ini berupa analisis kategori sosial. Faktor sosio-ekonomi
kemungkin juga penting dalam variasi bahasa yang relevan dengan penggunaan
10
bahasa secara potensial. Selanjutnya indikator primer informan dalam kajian ini
sebagai berikut:
A. Umur antara 15-60 tahun dan berbicara dengan normal
B. Laki-laki atau perempuan
C. Indeks status sosial;
1. Grup etnik asli berasal dari tempat bahasa dituturkan
2. Memiliki pekerjaan tetap di pemerintahan atau sektor swasta di daerah
sekitar.
3. Anggota dari organisasi lokal tertentu.
4. Menduduki posisi tertentu dalam pekerjaan; misalnya berkedudukan
tinggi, kedudukan menengah, atau kedudukan rendah dalam sebuah
pekerjaan.
5. Berinteraksi aktif dengan pasangan atau pasangan masa depan, orang
tua, kakak laki-laki atau perempuan dan kerabat.
6. Aktif secara sosial di masyarakat.
Dengan metode tersebut peneliti menentukan variabel dalam populasi yang
dikaji untuk memastikan individu yang dikumpulkan mewakili semua profesi, jenis
kelamin, dan umur. Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah bahasa-bahasa tersebut
dituturkan, dengan mengaplikasikan tiga variabel sosial yang ditentukan: umur, jenis
kelamin, dan status sosial. Dari ketiga variabel sosial tersebut akan ada beberapa
kelompok individu yang terdiri atas jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), posisi
pekerjaan berbeda (termasuk manajer, kepala kantor, direktur atau pegawai; pegawai
biasa seperti staf, dan pekerja terampil; dan pekerja kantor tingkat rendah atau pekerja
tidak terampil/buruh meliputi pesuruh, supir, penjaga malam, petani, nelayan dan lain-
lain), dan rentang umur antara 15 sampai 60 tahun.
Pemilihan wilayah dimulai dari menghubungkan semua aktivitas sosial dengan
grup etnis yang akan diidentifikasi. Dari grup etnis tersebut paling tidak dipilih
sepuluh tempat dalam setiap komunitas tutur. yang diseleksi secara acak, sejauh
tempat tersebut relevan dengan aktivitas sosial yang dimaksud. Data dan informasi
untuk aktivitas sosial berbeda diperoleh dari organisasi lokal. Setiap tempat yang
diseleksi akan dikunjungi untuk pertama kali untuk mendapat informasi tentang
anggota komunitas. Berdasarkan informasi tersebut, setidaknya informan (seorang
laki-laki dan seorang perempuan) akan diseleksi dari setiap tempat. Dari informan
11
tersebut akan ada kira-kira 40 informan sebagai informan utama (informan kunci)
secara keseluruhan. Selanjutnya, setiap informan akan digunakan sebagai terusan
untuk menghubungkan individual lain di wilayah tersebut sebagai teman. Informasi-
informasi terseleksi tersebut kemudian diobservasi berdasarkan beragam ranah seperti
keluarga, tetangga, pasar, dan seterusnya.
Sebelum kerja lapangan dilaksanakan, asisten peneliti akan dilatih. Mereka
merupakan mahasisswa yang peminatannya dalam pengerjaan penelitian
sosiolinguistik. Surat izin untuk masuk ke komunitas dari pemerintah lokal disiapkan
sebagai langkah primer. Dengan menggunakan surat ini peneliti akan masuk
komunitas dengan mudah.
Informan terpilih di tempat kerja akan didekati, dan setiap dari mereka akan
diberitahu tujuan dari wawancara yang dlakukan. Ketika itu disetujui, informan di
bawah investigasi akan diminta untuk memperkenalkan peneliti pada teman laki-laki
atau perempuannya di tempat kerja atau di kehidupan sosial lainnya. Mereka akan
diminta untuk berpartisipasi dalam observasi. Sekali informan ditentukan, mereka
akan diminta untuk mengisi kuesioner memfokuskan latar belakang pribadi mereka,
aktivitas-aktivitas sosial, dan kecenderungan berbahasa. Kuesioner menanyai
informan untuk mengindikasikan bahasa apa dan bagaimana mereka berbicara pada
orang-orang dekat, yang mereka hargai, dan yang mereka marahi. Ini memungkinkan
kita memperoleh dampak komposisi linguistik informan dan untuk memungkinkan
pemerolehan informasi informan yang informan dengan latar belakang sosial beragam
akan paling bisa menggunakan bahasa secara tepat. Setelah subjek-subjek yang
dibutuhkan dipilih, peneliti menyediakan kuesioner yang akan mengambil waktu kira-
kira satu bulan untuk dikumpulkan. Peneliti menjadwalkan para informan untuk
wawancara berdasarkan pilihan mereka (instrumen penelitian akan dirancang di
kemudian hari). Semua wawancara berupa wawancara grup. Percakapan grup, yang
terdiri dari minimal dua dan maksimum lima informan akan dilakukan antara di
tempat kerja mereka atau di tempat lain. Semua grup percakapan akan direkam dan
divideokan menggunakan media elektronik radio kaset perekam stereo Sony dan
perekam video-cam Sony. Fungsi peneliti di sini sebagian besar menjadi inisiator dan
monitor. Para informan sendiri melanjutkan percakapan dan peneliti aktif mencatat,
merekam, dan terlibat dalam percakapan seperlunya.
Secara khusus, para informan dapat mengerti bahwa peneliti khususnya tidak
menginginkan mereka berbicara dalam “bahasa tepat atau standar”. Demi
12
meminimalkan efek paradoks pengobservasi (Labov, 1972), informan didorong untuk
berbicara satu sama lain daripada pada peneliti, dan untuk berbicara senaturalnya.
Observasi dilaksanakan di ranah berbeda. Janji dengan informan dibuat untuk
mengamati pembawaan mereka pada percakapan dalam ranah tertentu. Oleh karena
wilayah penelitiannya di komunitas berbeda (Sasak dan Sumbawa), kategori sosial
tiap komunitas juga berbeda. Oleh sebab itu, metode akan dimodifikasi menurut
kepentingan sesuai dengan situasi dalam komunitas tutur masing-masing
3.2 Pemrosesan data
Keseluruhan sumber data dalam kajian ini adalah bahasa lisan. Bahan yang telah
terekam akan diseleksi untuk membentuk data korpus. Setiap rekaman memiliki
durasi kira-kira 35 sampai 50 menit. 10 menit pertama dalam percakapan tidak akan
ditinjau karena diyakini tuturan spontan dengan kehadiran mikrofon tidak
memungkinkan di percakapan awal. Kemudian, sisa rekaman tersebut ditanskrrip.
Konvensi transkripsi diadaptasi dari Edward (1993:43). Kalimat atau klausa dari
pembicara individual berbeda diklasifikasikan dan dihitung berdasarkan tingkatan-
tingkatan tutur.
Untuk mempermudah pengkategorian faktor linguistik pada data, program khusus
untuk analisis teks akan digunakan dan sistem pengkodean akan diterapkan. Sistem
pengkodean meliputi prosedur pemilahan dalam kata atau program pemrosesan klausa
dan program persetujuan untuk menghitung dan menandai data linguistik dalam level
tertentu dan untuk mengelompokkan bersama semua aspek linguistik berbeda dari
tiper tertentu untuk klasifikasi dsn analisis lebih jauh.
3.3. Analisis Data
Pada dasarnya, korpus data dianalisis di level individual lalu data dikelompokkan
berdasarkan karakteristik penutur seperti jenis kelamin, umur, dan status sosial. Grup
ditentukan pada dasar analisis level individual. Unit data dalam level grup
menunjukkan perbedaan perilaku verbal diukur oleh tingkat tutur. Unsur-unsur
linguistik akan dianalisis dengan ketentuan level paradigmatik dan sintagmatik.
Kemudian hubungan antara tiap level akan dikorelasikan ke status, jenis kelamin, dan
umur.
13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Bentuk, Fungsi, dan Tingkat Tutur
4.1.1 Bahasa Bali
Bahasa Bali merefleksikan suatu tenunan budaya yang kompleks akibat
akulturasi budaya yang pernah mewarnai Bali dalam lintasan sejarah. Kompleksitas
itu salah satunya dapat dilihat dari tingkat-tingkatan bahasa yang digunakan oleh
masyarakat Bali dalam suatu tuturan. Tingkat-tingkatan bahasa (speech level) dalam
bahasa Bali dipadankan dengan beberapa istilah oleh para peneliti. Istilah-istilah
tersebut di antaranya warna-warna bahasa (Kersten, 1970), mabasa, masor-singgih
basa (Bagus, 1977; Tinggen, 1986; Suarjana, 2010), unda usuk (Bagus, 1979), rasa
basa bahasa Bali (Suasta, 2003) dan anggah-ungguhing basa Bali (Naryana, 1983:
30). Istilah warna-warna bahasa digunakan oleh Kersten (1970:3) untuk menyatakan
perilaku berbahasa masyarakat Bali pada saat berbicara kepada seseorang maupun
membicarakan seseorang dengan ragam bahasa yang diklasifikasikannya menjadi
basa kasar, basa alus, basa singgih, dan basa ipun. Pemakaian ragam bahasa ini
ditentukan oleh stratifikasi sosial masyarakat Bali yang disebutnya sebagai
masyarakat golongan atas dan golongan bawah (Kersten, 1970: 4).
Sementara itu, Bagus (1977) menggunakan istilah mabasa maupun masor-
singgih basa untuk menyatakan norma sopan santun berbahasa (speech level) dalam
masyarakat Bali. Istilah mabasa secara lebih spesifik diartikan cara berbahasa sesuai
dengan sistem budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Bali (1977: 91).
Norma sopan santun ini secara garis besarnya dapat dikatakan bahwa ada sopan
santun berbahasa yang mengatur tingkat-tingkat bicara sesuai dengan wangsa-nya,
yaitu dalam hal ini orang yang berwangsa tri wangsa akan memperoleh bentuk
hormat (halus), sedangkan sebaliknya seorang yang berasal dari golongan jaba akan
mendapatkan bentuk lepas hormat (kasar). Sehubungan dengan pemakaian bentuk
lepas hormat ini, bukanlah bermaksud menggunakan bahasa yang kasar atau kurang
sopan, melainkan suatu cara orang berbahasa yang wajar, asal pemakaiannya
disesuaikan dengan status orang bersangkutan (Kersten, 1970: 91).
Istilah rasa basa basa Bali digunakan oleh Suasta (2006) untuk menyatakan
pentingnya penguasaan kaidah anggah-ungguhing basa Bali dalam menggunakan
14
bahasa Bali. Penggunaan istilah ini didasarkan atas kenyataan bahwa dalam berbicara
menggunakan anggah-ungguhing basa Bali secara tepat, seseorang dapat memilih
kosakata bahasa Bali yang telah mengandung nilai rasa sosial (2003: 11). Suasta
(2003) lebih lanjut mengatakan bahwa stratifikasi sosial merupakan dasar penggunaan
sistem berbahasa ini. Pada masa lalu, stratifikasi masyarakat suku Bali ditandai
dengan adanya tingkat-tingkatan sosial berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan,
dan keahlian. Pelapisan masyarakat suku Bali yang telah mengendap dalam adat
adalah pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keturunan, senioritas,
kekuasaan, sedangkan pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keahlian
belum mengendap. Berdasarkan keturunan, menyebabkan terjadinya golongan
masyarakat bangsawan, dan golongan masyarakat kebanyakan. Berdasarkan senioritas
menyebabkan terjadinya golongan masyarakat suku Bali yang tua-tua berkuasa dalam
ranah adat, dan golongan masyarakat suku Bali yang muda dalam pengalaman.
Berdasarkan kekuasaan, menyebabkan munculnya golongan penguasa dan golongan
masyarakat. Pembedaan berdasarkan keahlian menyebabkan adanya golongan
masyarakat suku Bali yang memiliki keahlian tertentu dan tidak memiliki keahlian
tertentu.
Pada masyarakat Bali Aga, lebih dominan struktur sosialnya dipengaruhi oleh
senioritas. Sementara itu, masyarakat Bali dataran lebih dipengaruhi oleh unsur
pembeda yang berdasarkan keturunan. Pelapisan masyarakat suku Bali Aga tidak
begitu mempengaruhi bahasa yang digunakan sebagai alat berkomunikasi. Berbeda
dengan masyarakat Bali dataran yang pelapisan sosial masyarakatnya dipengaruhi
oleh keturunan yang sangat dominan mempengaruhi pemakaian bahasanya, sampai
menyebabkan terjadinya anggah-ungguhing basa Bali (Suasta, 2006 : 10). Stratifikasi
masyarakat suku Bali modern pada dasarnya juga berasal dari suku Bali Tradisional
yang menganut sistem budaya Hindhu dalam bentuk kerajaan yang mengalami
perubahan penghargaan, karena perkembangan zaman. Namun demikian, pelapisan
masyarakat suku Bali yang berdasarkan atas keturunan atau wangsa masih tetap ada,
yang mengendap dalam adat masyarakat suku Bali. Kemajuan zaman mengakibatkan
adanya perubahan yang mempengaruhi keadaan stratifikasi masyarakat suku Bali
yang berdasarkan pendidikan, pangkat, kekuasaan, dan jabatan tertentu menyebabkan
golongan ini juga mendapatkan penghormatan dalam kehidupan masyarakat. Hal
inilah yang menjadi faktor penyebab munculnya sistem kesantunan berbahasa yang
disebutnya rasa basa basa Bali.
15
Perbedaan istilah yang digunakan untuk menyebutkan realitas penggunaan
bahasa Bali dalam kehidupan masyarakat Bali itu sempat dibicarakan dalam
Pesamuhan Agung Bahasa di Singaraja tahun 1974. Pesamuhan Agung yang agenda
utamanya membahas tentang pembakuan bahasa Bali saat itu menyepakati istilah
anggah-ungguhing basa Bali sebagai istilah baku untuk menyebutkan tingkat-
tingkatan bahasa Bali. Secara leksikal, anggah-ungguh artinya tata cara. Sementara
itu, anggah-ungguhing basa Bali adalah tata cara berbahasa masyarakat Bali yang
diikat oleh oleh adanya tingkat-tingkatan bahasa.
Penggunaan tingkat-tingkatan bahasa dalam kehidupan masyarakat Bali
seperti yang telah disinggung di atas disebabkan oleh adanya stratifikasi sosial
masyarakat Bali sebagai penutur bahasa Bali. Stratifikasi sosial ini pada umumnya
dibedakan menjadi dua yaitu secara tradisional dan modern. Secara tradisional, yang
dimasukkan sebagai golongan atas adalah orang-orang yang berstatus tri wangsa
(Brahmana, Wesia, dan Sudra). Sementara itu, yang dimasukkan dalam golongan
bawah adalah wangsa jaba. Apabila ditinjau secara modern, pembagian stratifikasi
masyarakat Bali yang dapat digolongkan dalam golongan atas adalah wangsa tri
wangsa dan jaba. Sedangkan golongan bawah juga terdiri atas tri wangsa dan jaba.
Maksudnya, secara modern kedua golongan masyarakat baik tri wangsa maupun jaba
memiliki peluang yang sama untuk menempati golongan atas maupun golongan
bawah. Dengan demikian, status sosial seseorang diklasifikasikan secara prgamatis
(tidak semata-mata karena kelahiran atau keturunan, tetapi juga karena jabatan atau
kedudukan, finansial dan yang lainnya) (Suarjana, 2011: 86).
Untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat digambakan dalam skema berikut ini:
1. Secara Tradisional : A Golongan atas (Tri Wangsa)
B Golongan bawah (Wangsa Jaba)
2. Secara Modern : A Golongan Atas (Tri Wangsa + Jaba)
B Golongan Bawah (Tri Wangsa + Jaba)
Penggunaan bahasa Bali yang mengenai sor-singgih-nya ini, agar sesuai
dengan kosep tuturannya dapat ditempuh dengan jalan bertanya terlebih dahulu
kepada lawan bicara untuk mengetahui status sosialnya, apakah sebagai lawan bicara
yang patut di singgih-kan atau tidak. Caranya adalah dengan menggunakan kalimat
tanya seperti ini: “Nawegang titiang nunasang antuk linggih?” yang secara bebas
artinya “Maaf saya ingin mengenal identitas Anda”, atau dengan menanyakan
16
langsung indik pagenahan “tentang rumah atau tempat tinggal (masudnya di griya, di
puri, di jero)” dan swakaryannyane (pekerjaannya). Di samping dengan menanyakan
identitas di atas, konsep yang secara konvensional tidak dapat dilanggar dalam tuturan
bahasa Bali adalah penggunaan bahasa alus sor apabila seseorang menjadi penutur
pertama dalam suatu dialog. Hal ini berlaku untuk semua golongan baik tri wangsa
maupun jaba. Dengan demikian, tidak terjadi fenomena penggunaan bahasa untuk
menghaluskan diri sendiri atau ngalusang raga (Suarjana, 2011: 87).
Penggunaan bahasa Bali dalam suatu tuturan dapat diformulasikan secara
garis besar menjadi empat yaitu.
1. Jika pembicara atau orang pertama (O1), yang diajak bicara (O2), dan yang
dibicarakan (O3) semuanya termasuk dalam golongan bawah. Maka, bahasa yang
digunakan oleh O1 kepada O2 tentang O3 adalah basa Bali Andap. Hal ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
A
B
O1 O2
O3
Keterangan Gambar.
A : Golongan Atas
B : Golongan Bawah
O1 : Orang Pertama
O2 : Orang Kedua
O3 : Orang yang Dibicarakan
Komunikasi antargolongan bawah yang juga membicarakan seseorang
dari golongan bawah itu dapat ditemukan dalam beberapa contoh kalimat berikut.
1. Bapan icange liu ngelah pangina, jani suba mataluh
‘Ayah saya banyak mempunyai ayam betina, sekarang sudah bertelur’
2. Yan saja iluh demen teken beli, beli suba ngorahang teken reraman beline
jumah.
‘Jika engkau memang benar-benar mencintaiku, aku sudah mengatakan
kepada orang tuaku di rumah’
17
2. Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, berbicara pada
orang kedua (O2) dan yang dibicarakan atau orang ke (O3) dari golongan atas,
maka bahasa yang digunakan oleh orang pertama kepada orang kedua itu adalah
bahasa alus singgih. Sementara itu, apabila orang pertama tersebut membicaraka
tentang dirinya, maka ia menggunakan bahasa alus sor. Hal itu dpat digambarkan
seperti berikut.
O2
A O3
B O1
Keterangan Gambar.
A : Golongan Atas
B : Golongan Bawa
O1 : Orang Pertama
O2 : Orang Kedua
O3 : Orang yang Dibicarakan
Komunikasi antara golongan bawah dengan golongan atas yang
membicarakan golongan atas tersebut dapat dilihat pada beberapa contoh di bawah
ini.
1. Ida Ayu Priya sampun ngranjing ring kapale.
‘Ida Ayu Priya sudah naik ke atas kapal’
2. Okan Idane taler nyarengin makta anaman.
‘Anaknya juga ikut membawa ketupat’
(3) Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, berbicara
dengan orang kedua dari golongan atas (O2), dan yang dibicarakan dari golongan
bawah (O3), maka bahasa yang digunakan orang pertama saat berbicara pada
orang kedua adalah bahasa alus singgih. Sedangkan yang mengenai orang
pertama dengan orang ketiga menggunakan bahasa alus sor. Hal itu, dapat
digambarkan seperti berikut.
18
O2
A
B O1 O3
Keterangan Gambar.
A : Golongan Atas
B : Golongan Bawa
O1 : Orang Pertama
O2 : Orang Kedua
O3 : Orang yang Dibicarakan
Komunikasi antara golongan bawah dengan golongan atas, yang
membicarakan golongan bawah itu dapat dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.
1. Titiang pajarina tangkil olih ipun dibi sande.
‘Saya disuruh datang olehnya kemarin malam’
2. Bantenge sampun wehin ipun neda, durusang ratu nyuryanin mangkin.
‘Sapi itu sudah diberikannya makan, silakan Anda melihatnya sekarang’
4. Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah berbicara pada
orang kedua (O2) yang juga berasal dari golongan bawah, sedangkan yang
dibicarakan adalah orang ketiga (O3) yang berasal dari golongan atas, maka bahasa
yang digunakan orang pertama ketika berkomunikasi dengan orang kedua
menggunakan bahasa andap. Sedangkan, bahasa yang mengenai orang ketiga
menggunakan bahasa alus singgih. Sementara itu, bahasa mengenai pembicara
pertama dengan kedua menggunakan bahasa alus sor. Hal ini dapat digambarkan
sebagai berikut.
O3
A
B O1 O2
Keterangan Gambar.
A : Golongan Atas
19
B : Golongan Bawa
O1 : Orang Pertama
O2 : Orang Kedua
O3 : Orang yang Dibicarakan
Komunikasi antara golongan bawah dengan glongan bawah yang mengenai
golongan atas itu dapat dilihat dalam beberapa contoh di bawah ini.
1. Apake jani Luh suba nawang, indik Ida jagi makerabkambe?’
‘Apakah sekarang Luh sudah tahu, tentang beliau yang aka menikah?’
2. Sotaning dadi parekan, icang ajak cai sing dadi nulak pikayunan ida.
‘Kewajiban setiap abdi, seperti aku dan kami tidak boleh menolah keinginan
beliau.
Pola komunikasi antargolongan di atas menyebabkan bagian-bagian dari
bahasa yang digunakan oleh penutur dalam konteks tertentu menjadi berbeda-beda.
Istilah yang digunakan para peneliti mengenai pembagian anggah-ungguhing basa
Bali juga tidak sama satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu pada umumnya
mempertentangkan dikotomi bahasa halus dan bahasa kasar dengan berbagai macam
sebutan. Bagus (2009) membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi tiga yaitu
(1) bahasa kasar, (2) bahasa madia, (3) bahasa halus. Tinggen membagi jenis anggah-
ungguhing basa Bali menjadi tiga (1) basa kasar, (2) basa kepara (basa biasa, basa
lumbrah, basa biasa), dan (3) basa halus. Dinas Pengajaran Daerah Provinsi Bali
membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi tiga yakni (1) basa kepara (basa
lumbrah), (2) basa madia, dan (3) basa singgih. Kersten membagi jenis anggah-
ungguhing basa Bali menjadi (1) basa kasar, (2) basa halus, (3) basa singgih (4) basa
ipun (5) basa madia. Naryana (1983) membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali
menjadi (1) basa kasar, (2) basa andap, (3) basa madia dan (4) basa alus.
Pembagian anggah-ungguhing basa Bali yang diikuti dalam tulisan ini adalah
pembagian dari Naryana (1983). Pemilihan pembagian menurut Naryana didasarkan
atas pertimbangan bahwa pembagian itu lebih tegas memberikan batasan terhadap
bahasa andap dengan bahasa kasar. Oleh sebab itulah, uraian mengenai pembagian
sistem anggah-ungguhing basa Bali dalam tulisan ini sebagian besar merujuk pada
pandangannya. Adapun pembagian tersebut secara lebih rinci dijelaskan sebagai
berikut.
4.1.1.1 Basa Kasar
20
Basa kasar adalah tingkatan bahasa Bali yang memiliki rasa bahasa paling
rendah. Bahasa kasar ini dibedakan menjadi dua yakni basa kasar pisan dan basa
kasar jabag, yang masing-masing akan diuraikan di bawah ini.
a. Basa Kasar Pisan
Basa kasar pisan adalah bahasa Bali yang dalam penggunaannya tergolong
tidak sopan, yang sering digunakan dalam situasi emosional, jengkel, marah, dengki,
dan caci maki. Basa kasar ini dibentuk dari basa andap yang disertai dengan intonasi
tertentu (biasanya tajam dan keras). Dalam keadaan yang emosional ragam bahasa ini
dapat dikenakan pada siapa saja, termasuk tri wangsa. Adapun beberapa contoh basa
kasar pisan ini dapat dilihat di bawah ini.
1. Cicing iba, ngaleklek gen mai.
‘Anjing engkau, makan saja kesini’
2. Madak apang bangka polone, mula jelema amah temah.
‘Semoga kamu mampus, dasar manusia terkutuk’
Bahasa kasar pisan ini tidak hanya digunakan pada situasi marah, kesal, dan
yang lainnya saja, tetapi digunakan juga pada saat basa basi dalam hubungan yang
sangat erat. Dengan demikian, rasa bahasa yang ditimbulkan sangat disesuaikan
dengan konteks situasinya.
b. Basa Kasar Jabag
Basa kasar jabag adalah bahasa Bali yang dalam penggunaannya tidak sesuai
dengan etika dan situasi pembicaraan. Artinya, kata-kata dalam bahasa yang
digunakan itu tidak mengindahkan tingkat-tingkatan yang ada dalam bahasa Bali,
kadangkala melampau etika pembicaraan. Ragam bahasa ini dianggap tidak sopan dan
kurang wajar, serta seringkali dinilai salah sasaran. Motivasi penggunaan bahasa ini
tidak semata-mata karena penguasaan anggah-ungguh basa yang tidak baik,
melainkan terkadang ingin menunjukkan keangkuhan, kelebihan, dan keakrabannya.
Misalnya :
1. Dayu ngaba apa ento? baang ja ngidih abesik.
‘Dayu membawa apa itu? berikan saya satu’
2. Gung yen payu pesu, beliang icang roko akatih.
‘Gung kalau jadi keluar, belikan aku rokok sebatang’
4.1.1.2 Basa Andap
Basa andap adalah tingkatan bahasa Bali yang digunakan dalam suasana
bersahaja (dalam pergaulan yang akrab dan sopan) sehingga sering disebut basa Bali
21
Lumbrah atau Kepara. Bahasa Bali sebagai bahasa sopan digunakan dalam pergaulan
yang sifatnya akrab, misalnya sesama wangsa, sama kedudukan, sama umur, sama
pendidikan, sama jabatan, bahasa kekeluargaan. Bahasa ini juga seringkali digunakan
sebagai bahasa nyeburin ketika wangsa dari golongan yang lebih tinggi kepada
golongan yang lebih rendah. Misalnya antara raja dengan abdinya, orang tua dengan
anak-anaknya, guru dengan muridnya, atasan dengan bawahan, dan yang lainnya.
Adapun contoh penggunaan basa andap ini di antaranya.
1. Dija Gus uli tuni meplalianan, paling aji ngalihin.
‘Kemana Gus dari tadi bermain, bingung ayah mencari.
2. Kemu ke warung Luh, beliang bapa roko akatih.
‘Kesanalah ke warung Luh, belikan ayah sebatang rokok.
4.1.1.3 Basa Madia
Basa madia adalah tingkatan bahasa Bali yang tergolong menengah, yang nilai
rasa bahasanya berada di antara bahasa Bali andap dan bahasa Bali alus. Artinya
konotasi bahasa madia tidak terlalu halus dan tidak terlalu kasar. Dalam praktiknya,
bahasa ini tidaklah terlalu hormat, dan biasanya ditandai dengan kata-kata yang
tergolong madia. Kata-kata madia akan membentuk kalimat madia. Semakin banyak
unsur andapnya, maka bahasa ragam ini akan cenderung lebih rendahlah konotasinya.
Demikian pula sebaliknya, apabila semakin banyak mengandung unsur bahasa alus,
maka akan semakin tinggi kesantunannya. Bahasa madia biasanya digunakan apabila
wangsa atau status sosial seseorang lebih tinggi berbicara pada orang yang status
sosialnya lebih rendah, tetapi umurnya lebih tua atau lebih disegani karena menempati
kedudukan tertentu dalam masyarakat atau instansi pemerintahan. Contoh penggunaan
bahasa madia dapat dilihat di bawah ini.
1. Tiang ampun rauh, duk i ratu kantun mesiram.
‘Saya sudah datang ketika anda masih mandi.’
2. Durusang mangkin ngajeng.
‘Silakan makan sekarang’
4.1.1.4 Basa Alus
Basa alus adalah tingkatan bahasa Bali yang mempunyai nilai rasa bahasa
yang tinggi atau sangat hormat. Bahasa ini biasanya digunakan dalam situasi resmi
(seperti rapat, pertemuan, sarasehan, seminar, acara adat, agama, kesenian dan yang
22
lain sebagainya). Bahasa halus dapat dibagi menjadi tiga yakni bahasa alus sor,
bahasa alus mider, dan bahasa alus singgih.
a. Alus Sor
Bahasa alus sor adalah tingkatan bahasa Bali alus atau bentuk hormat
mengenai diri sendiri atau digunakan untuk merendahkan diri sendiri dan juga untuk
orang lain atau objek yang dibicarakan yang status sosialnya lebih rendah. Misalnya.
1. Titiang sampung mapajar ring pianak ipune
‘Saya sudah dapat menyampaikan pada anaknya’
2. Benjang semeng ipun jagi tangkil meriki.
‘Besok pagi dia akan kesini’
b. Alus Mider
Bahasa alus mider adalah tingkatan bahasa Bali alus yang memiliki nilai rasa
yang sangat hormat yang dapat digunakan untuk berkomunikasi pada golongan bawah
maupun golongan atas. Bahasa ini dalam percakapan sehari-hari dapat digunakan
untuk diri sendiri, lawan bicara, maupun orang ketiga. Misalnya:
1. Titiang nenten maderbe jinah, i ratu akeh madue jinah.
‘Saya tidak memiliki uang, anda banyak mempunyai uang’
2. Ipun makta asiki, Ida makta kalih.
‘Dia membawa satu, Beliau membawa dua’
c. Alus Singgih
Bahasa alus singgih adalah tingkatan bahasa dalam bahasa Bali yang memiliki
nilai rasa tinggi dan hormat. Bahasa alus singgih dapat digunakan pada pembicara
untuk menghormati orang yang patut dimuliakan, maupun lawan bicara, atau orang
yang dibicarakan. Misalnya :
1. Dayu Biang akuda sampun madue oka?
‘Dayu Biang sudah berapa mempunyai anak?
2. I Ratu kayun ngrayunang ulam bawi ?
‘Anda ingin makan daging babi?’
4.1.1.5 Basa Mider
Basa Mider adalah kata-kata dalam bahasa Bali yang tidak memiliki tingkat-
tingkatan rasa bahasa, sehingga bahasa ini dapat digunakan oleh golongan mana saja.
Misalnya :
1. Kija beli ituni, paling icang ngalih.
23
‘Kemana kakak tadi, bingung saya mencari’
2. Da bas makelo nyongkok, semutan batise.
‘Jangan lama jongkok, nanti kesemutan kakinya’
4.1.2 Bahasa Sasak
Bahasa Sasak adalah bahasa yang digunakan oleh suku Sasak yang berada di
pulau Lombok, kepulauan Nusa Tenggara Barat.Secara geografis Pulau Lombok
terletak diantara pulau Bali dan pulau Sumbawa. Menurut penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Mahsun (2006), terdapat empat dialek dalam bahasa sasak, yaitu
dialek Bayan, dialek Pujut, dialek Selaparang, dan dialek Aik Bukaq.Selain itu pada
penelitian yang dilakukan oleh Nazir Thoir, dkk (1981), mereka membagi dialek
bahasaSasak menjadi lima dialek yaitu: dialek Ngeno Ngene, dialek Ngeto Ngete,
dialekMeno Mene, dialek Ngeno Mene, dan dialek Mriak Mriku. Pembagian dialek
yangdiusulkan oleh Nazir tersebut berdasarkan pada ciri kebahasaan (leksikon)
yangdigunakan untuk merealisasikan glos begini-begitu.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya penelitian ini lebih
memfokuskan pada penggunaan bahasa Sasak Halus dan bahasa Sasak kasar dalam
aspek sintaksis khususnya penggunaannya dalam ruang lingkup sosiolinguistik.
Terdapat beberapa ranah dalam penelitian ini, antara lain ranah keluarga,
ranah pertemanan, ranah pasar, ranah keagamaan, dan ranah tetangga. Selain kelima
ranah tersebut, terdapat beberapa faktor juga yang menjadi pertimbangan dalam
penggunaan bahasa Sasak dalam kehidupan sosial. Faktor-faktor tersebut antara lain
faktor usia, jenis kelamin (gender), dan kelas sosial baik secara tradisional
(bangsawan) dan modern (pekerjaan/ jabatan). Penelitian ini membahas mengenai
pengaruh ranah dan faktor dalam penggunaan bahasa Sasak dalam kehidupan
sosial.Penjelasan mengenai fenomena tersebut dirangkum dengan memberikan
contoh-contoh kalimat baik dalam bahasa Sasak halus maupun kasar.
Dengan dibatasinya masalah pada penelitian ini, hasil yang dirumuskan
optimal dan maksimal sehingga dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu
bahasa khususnya untuk perkembangan bahasa Sasak serta memberikan pemahaman
yang lebih mendalam bagi masyarakat suku Sasak untuk lebih memahami fenomena
pembentukan bahasa Sasak halus dan kasar bagi para penutur asli di setiap daerah di
Pulau Lombok.Lingkup permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu
mengenai bahasa Sasak halus dan kasar yang digunakan pada masyarakat keturunan
24
bangsawan maupun yang bukan bangsawan dan apayang mempengaruhi penggunaan
bahasa Sasak baik di kalangan bangsawan maupun non bangsawan.
Dalam penelitian ini, hasil yang ditemukan akan dijelaskan dalam dua hal
yaitu aspek sintaksis dalam penggunaan bahasa Sasak halus dan kasar yang digunakan
pada masyarakat keturunan bangsawan dan masyarakat yang bukan bangsawan, serta
apa yang menentukan pembentukan bahasa Sasak halus dan bahasa Sasak kasar bagi
keturunan bangsawan dan masyarakat biasa.
Masyarakat Sasak secara garis besar dibagi ke dalam dua kelompok yaitu
bangsawan dan masyarakat biasa “jamaq”. Dalam penggunaan bahasa pun mereka
terbagi dalam dua kelompok yaitu bahasa Sasak halus yang digunakan oleh
bangsawan dan bahasa Sasak kasar digunakan oleh masyarakat biasa.
Dalam bahasa Sasak yang digunakan oleh masyarakat biasa pada umumnya,
penggunaan sapaan aku dan kamu dalam bahasa sasak digunakan oleh penutur bahasa
Sasak biasa yang memiliki status yang sama dan umur yang tidak jauh berbeda. Aku
dan kamu biasanya digunakan di antara penutur yang lebih muda. Para penutur yang
memiliki usia lebih tua lebih memilih menggunakan kata “side” dalam berbicara,
sementara mereka akan menggunakan kata kamu pada lawan bicara yang lebih muda.
Kata “side” dianggap lebih netral untuk menyapa seseorang yang status sosialnya
sudah diketahui. Lebih lanjut lagi, anggota keluarga, saudara yang lebih tua dan
tetangga yang lebih tua akan menyapa seseorang yang lebih muda dengan sapaan
kamu sementara lawan bicara (yang lebih muda) akan menggunakan “side”.
Anak :Pak, leq embe side toloq kunci motor? (Pak, dimana anda letakkan
kunci motor?)
Ayah :No tegantung leq deket lawang.kamu (itu digantung di belakang
pintumu)
Dalam masyarakat yang bukan golongan bangsawan, penutur yang lebih tua
akan menggunakan bahasa sasak biasa (jamaq) dalam setiap tuturannya sementara
penutur yang lebih muda akan menggunakan beberapa kata dalam sasak halus kepada
yang lebih tua. Ini membuktikan bahwa penggunaan bahasa sasak biasa selalu
digunakan antara masyarakat yang bukan bangsawan. Namun, dapat dilihat bahwa
dalam tuturan bahasa Sasak yang dihaluskan, mereka akan menggunakan sapaan
“side” dan bukan “kamu”, “bekelor” bukan “mangan” untuk berbicara pada anggota
keluarga yang lebih tua.
Penutur muda :uah side bekelor? (sudahkah anda makan?)
25
Penutur tua :uah. Kamu uah mangan? (sudah, kamu sudah makan?)
Dalam contoh di atas, anggota keluarga yang lebih muda akan menggunakan
bahasa yang lebih halus kepada penutur yang lebih tua, sedangkan penutur yang lebih
tua akan menggunakan sasak biasa (jamaq) atau kasar kepada yang lebih muda.
Sedangkan dalam bahasa sasak yang digunakan dalam keluarga bangsawan,
penggunaan bahasa sasak akan selalu menggunakan bahasa sasak halus, hal ini untuk
membuktikan bahwa mereka memiliki status sosial yang lebih tinggi dari penutur non
bangsawan yang hanya menggunakan bahasa kasar/biasa(jamaq). Karena bahasa yang
mereka gunakan akan menunjukkan status sosial mereka.
Di kalangan masyarakat bangsawan penggunaan sapaan “tiang, pelinggih atau
pelungguh” merupakan sapaan yang digunakan dalam bahasa Sasak
halus.“Pelungguh” dan “pelinggih” memiliki arti yang sama, di beberapa tempat
akan menggunakan “pelungguh”, sementara tempat lainnya akan menggunakan
“pelinggih”. Sapaan ini digunakan di antara penutur bahasa hlus yang berasal dari
keturunan bangsawan untuk menunjukkan rasa saling menghargai. Contohnya saja
dalam kalimat berikut
Andi: Silaq Pelungguh serminan.(silahkan anda lihat)
Amat: Nggih ngiring, tampiasih. (oh iya terima kasih)
Pada percakapan di atas menyatakan bahwa pada saat kata tiang, pelungguh
atau pelinggih digunakan antara masyarakat yang berkasta bangsawan, mereka
menyatakan bahwa mereka memiliki status sosial yang sama dan menunjukkan
kesopanan.
4.1.3 Bahasa Sumbawa
Bahasa Sumbawa merupakan bahasa yang bersifat umum dan tidak terlalu
memiliki tingkatan dalam segi kehalusan berbahasa. Meskipun di daerah Sumbawa
masih ada pembagian kelas sosial dalam masyarakat, tetapi perbedaan kelas sosial ini
tidak mempengaruhi tingkatan berbahasa dalam masyarakat sehari-hari. Bahasa
Sumbawa sudah tidak begitu mengenal bahasa yang sangat-sangat halus karena
masyarakat Sumbawa telah mengalami moderenisasi dan hal ini telah mempengaruhi
penggunaan bahasa mereka sehari-hari. Bahkan masyarakat tidak mengetahui bahasa
yang sangat halus dan bahasa yang sangat kasar, hal ini dikarenakan tidak terlihatnya
penggunaan bahasa kasar ataupun halus, dengan kata lain bahasa yang digunakan
adalah sama rata.
26
Adapun masyarakat yang menyandang gelar bangsawan mereka tetap
menggunakan bahasa yang biasa untuk berkomunikasi sehari-hari. Jika diamati dari
berbagai ranah, maka penggunaan bahasa Sumbawa dapat dijelaskan bahwa dalam
ranah lingkungan sehari-hari baik itu ranah tetangga maupun pertemanan, baik itu
lelaki ataupun perempuan tetap menggunakan bahasa Sumbawa yang biasa saja dan
tidak ada penggunaan bahasa yang sangat halus dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa
Sumbawa memiliki tingkatan yang lebih sederhana.
4.2 Pengaruh dari Kategori – Kategori Sosial
4.2.1 Bahasa Bali
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, stratifikasi sosial di Bali menyebabkan
adanya penggunaan tingkatan-tingkatan Bahasa Bali. Berikut merupakan percakapan
bahasa Bali oleh komunitas tutur bahasa Bali dataran yang masih erat kaitannya
dengan pelapisan sosial masyarakat berdasarkan keturunan Wangsa sehingga
penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali sangat kental. Menurut data lapangan
yang telah dikumpulkan, penggunaan bahasa masyarakat Bali tetap dipengaruhi
stratifikasi sosial, tetapi mengalami perkembangan khususnya perilaku verbal penutur
terhadap petutur dengan kecenderungan bertolak pada stratifikasi modern yaitu
stratifikasi sosial terdiri atas golongan atas (Triwangsa+Jaba) dan golongan bawah
(Tri Wangsa+Jaba). Komunikasi etnografi SPEAKING (Setting and Scenes,
Participants, End, Act Sequence, Key, Instrumentalities, Norms, and Genre) yang
dikemukakan Hymes (1974) membantu menjelaskan fungsi penggunaaan tingkatan-
tingkatan bahasa Bali. Tingkatan-tingkatan bahasa Bali semakin terlihat dalam tataran
kalimat yang mengandung unsur-unsur pendukung lain untuk menentukan bentuk
Berikut percakapan yang menunjukkan penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali
berdasarkan ranah keluarga, tetangga, kantor pasar, dan agama.
4.2.1.1 Ranah Keluarga
Ranah keluarga dibatasi dari latarnya yaitu percakapan keluarga dengan latar
rumah, sehingga dapat dipastikan contoh percakapan ini diketahui latar tempatnya
dengan pasti yaitu di rumah. Tingkatan-tingkatan bahasa Bali oleh masyarakat Bali
dalam ranah keluarga umumnya ditemukan penggunaan basa Bali andap yang sering
disebut basa Bali kepara lebih banyak, tetapi kondisi-kondisi tertentu yang
mendorong penutur dan petutur menggunakan basa Madya yang menunjukkan rasa
bahasa yang ada di tengah di antara biasa dan alus.
27
L: Uli dije busan, Luh?
‘darimana tadi, Luh?’
P: ne ngateh adi, li sepatu, Po Nik
‘ini, mengantar adik beli sepatu, Po Nik’ (1)
Percakapan (1) adalah percakapan beda usia antara laki-laki yang lebih tua
daripada perempuan tetapi keduanya memiliki status sosial yang sama. Penggunaan
bahasa yang digunakan adalah basa kepara yang biasa digunakan dalam suasana
bersahaja. Panggilan Luh merupakan panggilan anak perempuan di Bali dengan status
sosial Jaba yang juga memiliki suasana bersahaja serta menunjukkan keakraban,
sedangkan Po Nik merupakan panggilan yang bermakna literal ‘bapa cenik’ panggilan
khusus untuk paman bungsu dengan status sosial yang sama yaitu Jaba.
P: Om Swastyastu, mriki ngajeng dumun Dewa Man, Jero twn sareng?
‘Om Swastyastu, sini makan dulu, Dewa Man. Jero ga ikut’
L:Om Swastyastu, tyang sampun Mek Yan, ten Ibu ten sareng.
‘Om Swastyastu. Saya sudah makan, Mek Yan. Tidak Ibu tidak ikut’ (2)
Percakapan (2) adalah percakapan antara perempuan dan laki-laki berbeda
usia dan berbeda status sosial. Perempuan memiliki usia yang lebih tua dari laki-laki,
tetapi sebaliknya, status sosial wrga brjenis kelamin laki-laki ini memiki status sosial
yang lebih tinggi dari perempuan tersebut sebagai lawan bicaranya. Dalam
percakapan ini penutur dan petutur menggunakan basa alus madya karena kedudukan
status sosial petutur (Laki-laki) lebih tinggi walaupun memiliki usia yang lebih muda
daripada penutur. Fenomena ini banyak ditemyukan akhir-akhir ini dii ranah keluarga
karena banyaknya pernikahan antara Tri Wangsa dan Jaba terjadi sehingga pihak
Jaba yang biasanya perempuan memiliki panggilan Jero sebagai penanda bahwa
status sosialnya sudah naik lebih tinggi di masyarakat.
4.2.1.2 Ranah Tetangga
Ranah tetangga juga dibatasi seperti ranah keluarga dengan membatasi latar
dan topik percakapan, percakapan ranah tetangga berlangsung di rumah tetangga
dengan percakapan sehari-hari yang tidak berkaitan dengan ranah pasar dan
keagamaan. Berikut contoh percakapan yang diambil di lapangan.
L1: mangkin sampun memenjor, Pak Kelian?
‘sekarang sudah membuat penjor, Pak Kelian?’
L2: nggih, ngemalunin gis Man
‘ya. Mendahului sedikit Man’ (3)
28
Percakapan (3) adalah percakapan antara laki-laki dan laki-laki yang
bertetangga memiliki usia dan status sosial yang berbeda. Penutur yang memiliki
status sosial lebih rendah dari petutur menggunakan basa alus madia yang
menunjukkan adanya suasana bersahaja dan rasa hormat penutur kepada petutur
sebagai orang yang kedudukan lebih tinggi di masyarakat sebagai perangkat dusun.
Percakapan tersebut dalam situasi normal tanpa melibatkan emosional keduanya
sehingga bahasa yang digunakan adalah basa madia.
L1: liu sajan ngutang di warung, dije Kae Rik? Oke gedeg
‘banyak sekali berhutang di warung, dimana Kamu Rik? aku gedeg’
L2: adi bani ngojog umah Kae? Pesu!
‘kok berani-beraninya mendatangi rumahku?’ (4)
Percakapan (4) merupakan percakapan antara laki-laki dan laki-laki yang
memiliki usia dan status sosial sama. Keadaan kedua laki-laki tersebut sedang marah
sehingga menggunakan basa kasar yang ditegaskan dengan panggilan Oke ‘aku’ pada
dirinya sendiri dan kae ‘kamu’ pada lawan bicaranya.
4.2.1.3 Ranah Kantor
Latar ranah kantor yaitu di kantor dengan topik pembicaraan yang berkaitan
dengan kantor seperti administratif, kegiatan di kantor tanpa menyentuh topik jual beli
di pasar dan keagamaan. Ranah kantor yang lebih luas dari ranah keluarga dan
tetangga membuat penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali lebih intensif
penggunaannya serta bahasa semakin halus menyesuaikan rasa bahasa yang sarat akan
rasa hormat dan penghargaan kepada lawan bicara.
P: semengan be ngopi pegawai ne
‘pagi-pagi sudah ngopi pegawai ini’
L: mriki sareng Bu Bos, ijin jebos
‘mari ikut Bu Bos, ijin sebentar’ (5)
Percakapan (5) adalah percakapan antara perempuan dan laki-laki yang
memiliki kedudukan yang berbeda dalam pekerjaan. Keduanya berjenis kelamin yang
berbeda tetapi terlihat pada percakapan tersebut petutur (pembicara laki-laki)
menggunakan basa madia kepada penutur karena kedudukan pembicara perempuan
lebih tinggi dalam pekerjaan. Percakapan di aas menunjukkan situasi normal.
4.2.1.4 Ranah Pasar
Latar ranah pasar adalah di pasar dengan topik pembicaraan yang berkaitan
dengan pasar seperti pengiriman barang dagangan, jual beli, harga barang yang naik
29
turun dan obrolan seputar kegiatan antarpedagang. Pada ranah ini lebih banyak
ditemukan penggunaan basa kepara dan madia karena situasinya juga situasi
informal.
P1: Mriki belinin tyang Geg, mare teka cekalang ne gede-gede bin
‘sini berbelanjalah pada saya Geg, ikan cakalangnya baru saja datang, besar
besar lagi’
P2: kude a kilo, Bu?
‘berapa sekilo Bu?’ (6)
Percakapan (6) adalah percakapan antara pedagang dan pembeli yang sama-
sama perempuan tetapi berbeda usia. Dalam percakapan di atas, pedagang yang
berumur lebih tua menggunakan basa madia pada awal tuturannya pada pembeli yang
lebih muda darinya. Percakapan di atas menunjukkan adanya penggunaan tingkatan-
tingkat bahasa Bali dalam ranah pasar disebabkan oleh kedudukan kedua pembicara
yang berbeda dan tidak memperhitungkan perbedaan umur yang umumnya juga
menjadi indikator penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali. Percakapan di atas
merupakan percakapan dengan situasi normal.
4.2.1.5 Ranah Keagamaan
Ranah keagamaan merupakan ranah dengan latar di tempat-tempat kegiatan
keagamaan berlangsung dan tempat berkumpul seperti balai banjar yang berkaitan
dengan topik pembicaraan dan kegiatan keagamaan. Umumnya penggunaan bahasa
Bali dalam ranah keagamaan cenderung ke situasi normal sehingga bahasa Bali yang
memiliki rasa bahasa halus, sopan, dan rasa hormat digunakan.
Dewasa : Damuh Alit sampun sami makta canang angge mebakti?
‘anak-anak sudah semua membawa canang untuk sembahyang?’
Anak : Sampun, Jero Mangku
‘sudah, Jero Mangku’ (7)
Percakapan (7) merupakan percakapan antara penutur dewasa dan anak-anak
yang menggunakan basa alus mider yang digunakan untuk menunjukkan rasa sangat
hormat walaupun dalam percakapan tersebut lawan bicara penutur dewasa adalah
anak-anak tetapi anak-anak tersebut juga dihormati sehingga penggunaan basa alus
mider digunakan dalam percakapan di atas.
4.2.2 Bahasa Sasak
30
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak dalam
kehidupan masyarakat Lombok secara umum sebagai berikut.
4.2.2.1 Status sosial
Selain gelar kebangsawanan yang sangat berpengaruh dalam penggunaan
bahasa Sasak, kedudukan dalam pekerjaan dan status keluarga memiliki pangaruh
yang kuat dalam penggunaan code switching sasak dan Indonesia. Di antara penutur
yang memiliki status yang jauh berbeda, maka penutur yang memiliki status lebih
rendah akan meggunakan bahasa campuran sasak halus dan Indonesia sementara
penutur yang memiliki kedudukan lebih tinggi akan menggunakan banyak bahasa
campuran sasak jamak dan Indonesia. Sementara penutur yang memiliki status yang
sama akan menggunakan bahasa campuran sasak jamak dan Indonesia.
Selain itu, terdapat situasi di mana penutur yang memiliki perbedaan status
sosial tetapi menggunakan campuran bahasa sasak biasa dan Indonesia dalam
percakapan, hal ini dapat disebabkan karena hubungan pertemanan yang cukup baik.
Dalam keluarga, baik yang berasal dari keluarga menak dan nonmenak,
ditentukan dengan pemilihan penggunaan code switching dalam percakapan bahasa
Sasak. Code switching antara bahasa sasak alus dan Indonesia akan dipilih ketika
penutur berbicara dengan lawan tutur yang berasal dari keluarga menak. Penutur
menak dapat mencampur bahasa mereka antara sasak alus dan Indonesia maupun
sasak jamak dan Indonesia tergantung pada tingkat keakraban antara penutur. Jika
lawan tutur berasal dari masyarakat yang lebih rendah, maka mereka akan
menggunakan bahasa sasak jamak dan Indonesia, sementara mereka akan
menggunakan bahasa sasak alus dan Indonesia pada masyarakat yang memiliki status
lebih tinggi.
4.2.2.2 Usia
Usia atau umur merupakan faktor yang sangat penting dalam penggunaan code
switching pada penutur bahasa sasak. Ketika seseorang yang memiiki kedudukan
lebih tinggi namun usia lebih muda, mereka akan menggunakan bahasa sasak halus
dan Indonesia, namun mereka akan menggunakan bahasa sasak biasa (jamaq) dan
Indonesia ketika berbicara dengan penutur yang jauh lebih muda. Dengan kata lain,
kedudukan sosial yang lebih tinggi tidak menjadikan seorang penutur bahasa sasak
untuk meggunakan bahasa sasak halus maupun kasar pada setiap lawan tutur, namun
mereka akan mempertimbangkan usia pada saat berbicara untuk menunjukkan rasa
menghargai.
31
4.2.3 Bahasa Sumbawa
Beberapa contoh tingkat tutur yang terjadi dalam masyarakat Sumbawa jika
ditinjau dalam berbagai ranah dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4.2 Bahasa Sumbawa Daerah Sumbawa Besar
No Penutur Percakapan Bahasa Indonesia Situasi Ranah
1 Pasangan
laki-laki
sama usia
Helmi : Mori, ya me
angkang mu?
Mori : Ta
kobaledengansengara.
Helmi : O ati-
atibaemo e.
Helmi : Mori,
kamu mau
kemana?
Mori : Ini, mau
ke rumah teman
sebentar.
Helmi : O ya,
hati-hati kalau
begitu.
Normal tetangga
2 Pasangan
laki-laki
beda usia
Hinda : Pak Man,
keleksialengpakaji.
Pak Man : apahajatae?
Hinda : No kaji to,
tarisia pang bale diri.
Pak Man : Aomo,
sengarobada anti
sengara.
Hinda : Pak Man,
anda dipanggil
oleh Pak Haji.
Pak Man : Aa
apa?
Hinda : Saya
tidak tahu, anda
ditunggu di
rumahnya.
Pak Man : Ya,
bilang sebentar
dulu.
Normal tetangga
3 Pasangan Pak Sabri : He, apa Pak Sabri : Hei, Marah Tetangga
32
laki-laki
dan anak
boat mu nan?
Titto : No soda.
Pak Sabri : Bola nyeta.
Mole kona! Yak
kukelek ma mu mudi.
apa yang kamu
kerjakan?
Titto : Tidak ada.
Pak Sabri :
Bohong kamu.
Pulang sana!
Nanti saya
panggil ibu kamu.
4 Pasangan
laki-laki
dan
perempuan
sama usia
Pembeli : pida harga
bawang sekilo bi?
Pedagang :dua plima
ribu. Sate pida kilo?
Pembeli : dua pdua
ribu moae. Sate saya
beli sekilo.
Pembeli : Berapa
harga bawang
satu kilo bi?
Pedagang : Dua
puluh lima ribu.
Mau berapa kilo?
Pembeli : Dua
puluh dua ribu
ya. Saya mau beli
satu kilo saja.
Normal Pasar
5 Pasangan
perempuan
sama usia
Pembeli : pida harga
nangkan ta sekilo bi?
Pedagang : sepulu ribu
sekilo, manis deta.
Pembeli : Pitu ribu
moae.
Pedagang :Buyamo
pang lenlamenbau
Pembeli : Berapa
harga nangka ini
satu kilo bi?
Pedagang :
Sepuluhg ribu
satu kilo, manis
ni.
Pembeli : Tujuh
ribu saja ya.
Kesal Pasar
33
dapat harga pitu ribu,
nangka balong
kemanis ta .
Pedagang: Cari
saja di tempat
lain kalau bisa
dapat harga tujuh
ribu, nangka ini
bagus dan manis
6 Pasangan
perempuan
beda usia
Pembeli : Bu pida sia
jual udang ta?
Pedagang : enem pulu
ribu sekilo. Ya beli
pida kilo gera?
Pembeli : lima plima
ribu mo buae, saya
beli 2 kilo.
Pedagang : aomo
etemogera e.
Pembeli : Bu,
berapa anda jual
udang ini?
Pedagang : Enam
puluh ribu satu
kilo. Kamu mau
beli berapa kilo
cantik?
Pembeli : Lima
puluh lima ribu
ya Bu, saya beli
dua kilo.
Pedagang : Ya
sudah ambil aja
cantik.
Normal Pasar
7 Pasangan
laki-laki
beda usia
(anak dan
dewasa)
Rian : Pak, mepang
kasia olo kunci
kantor?
Bapak : Nan kaku
gantong ndeng
lawang.
Rian : Pak,
dimana anda
meletakkan kunci
motor?
Bapak : Itu
digantung di
dekat pintu.
Normal Keluarga
34
8 Pasangan
laki-laki
sama usia
Upik : Buhari, tone
juki dating kota, ada
masalah apa ae?
Buhari :Kaku lantar
motor tone.
Upik : meluk
kabaugina? Kameneng
maapke?
Tresapalengnya?
Buhari : kamku eneng
maaf, tapi yak u ganti
rugi si ke bali.
Upik : Buhari,
tadi Juki datang
kesini, ada
masalah apa?
Buhari : Tadi
saya menabrak
motornya.
Upik : Kok bisa,
sudah minta
maaf? Lalu dia
bilang apa?
Buhari : Saya
sudah minta
maaf, tapi saya
akan ganti rugi
juga.
Normal Keluarga
9 Pasangan
perempuan
dengan
laki-laki
(perempuan
di posisi
kakak dan
laki-laki di
posisi adik)
Indra : kakAni,
mepang sandal saya?
Ani : pang bawa
lemari ne di.
Indra : Ani,
dimana sandalku?
Ani : Di bawah
lemari itu dik.
normal Keluarga
10 Pasangan
laki-laki
sama usia
(atasan dan
bawahan)
Amir (bawahan) : pak,
eneng ijin les sengara.
Pak Budi (atasan) :
aomo, na le lalo e.
Amir : Pak, minta
ijin keluar
sebentar ya.
Pak Budi : Oh ya,
Normal Kantor
35
jangan terlalu
lama.
Dari tabel tersebut dapat diamati bahwa tingkat tutur dalam bahasa Sumbawa
tidak begitu memiliki variasi yang beragam dan tidak terlalu mencolok dalam
berbagai ranah kehidupan sehari-hari. Tingkatan tutur dalam masyarakat Sumbawa
hanya terjadi karena dipengaruhi beberapa hal dan kelas sosial atau kasta sosial bukan
hal yang mempengaruhi tingkat tutur dalam bahasa Sumbawa.
Dalam tuturan masyarakat Sumbawa ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi tingkat tutur dalam kehidupan mereka sehari-hari. Beberapa hal yang
mempengaruhi tingkat tutur tersebut antara lain:
4.2.3.1 Kata
Dalam bahasa Sumbawa tingkatan berbahasa sangat dipengaruhi oleh sebuah
kata. Jika dalam kalimat tersebut ada kata-kata tertentu yang bersifat halus, maka
kalimat yang dituturkan tersebut dianggap halus. Kata-kata itu seperti “kaji” yang
berarti saya dan kata “kelam/sia” yang berarti anda. Contoh tuturan yang terjadi dalam
hal ini adalah sebagai berikut:
Rian : Pak, mepang kasia olo kunci kantor?
Bapak : Nan kaku gantong ndeng lawing
Dalam percakapan tersebut tuturan yang diutarakan oleh Rian tergolong halus
karena menggunakan kata “sia” untuk menyapa orang tua. Penggunaan kata-kata
tertentu ini memang hanya dilakukan hanya jika berbicara kepada yang lebih tua.
4.2.3.2 Kalimat
Dalam bahasa Sumbawa penggunaan kalimat yang panjang dan tidak langsung
pada inti pembicaraan dianggap sangat halus dibandingkan dengan kalimat yang
langsung menuju inti pembicaraan. Hal ini sesuai dengan teori maksim kebijaksanaan
yang dikemukakan oleh Leech (1993: 206) yang mengemukakan bahwa semakin
panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap
sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak
langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara
langsung. Gagasan dasar dalam maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan
adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu
mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain
36
dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim
kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun.
4.2.3.3 Usia
Usia adalah ranah yang paling mempengaruhi penggunaan tingkatan
berbahasa dalam bahasa Sumbawa. Penggunaan bahasa Sumbawa terhadap
masyarakat yang lebih tua akan lebih disopankan dan itu ditandai oleh penggunaan
kata sapaan “kelam atau sia” dan menyebut diri sendiri dengan sebutan “kaji”. Bahasa
yang digunakan juga bahasa yang tidak langsung mengarah ke inti pembicaraan,
melainkan harus menggunakan bahasa secara tidak langsung.
4.2.3.4 Ranah Perkantoran
Dalam ranah ini bahasa yang digunakan antar kerabat atau karyawanpun
masih biasa bahkan dominan menggunakan bahasa Indonesia. Hanya sesekali saja
mereka menggunakan bahasa yang sedikit halus untuk atasan mereka dan itupun tidak
setiap saat.
Selain beberapa hal tersebut yang mempengaruhi tingkat tutur pada
masyarakat Sumbawa adalah nada berbicara. Tingkat kehalusan dalam berbicara
bahasa Sumbawa dikatakan halus jika nada berbicara mereka tidak tinggi dan
sebaliknya.
4.3 Karakteristik Umum Tindak Tutur
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa Bali
menurut tingkatannya dapat dibedakan menjadi berdasarkan halus ataupun kasar
penggunaannya menurut ranah masing-masing. Salah satu karakteristik dari ranah ini
adalah status sosial penuturnya yang dapat dibedakan dengan hierarki vertikal.
Penggunaan bahasa Sasak halus ataupun kasar pada dasarnya dipengaruhi oleh status
sosial. Pada masyarakat bangsawan, penggunaan bahasasasak halus terjadi dalam
semua ranah, sedangkan dalam masyarakat biasa penggunaan bahasa yang digunakan
tergolong kasar, meskipun beberapa akan diperhalus hanya dalam ranah tertentu saja
seperti ranah perkantoran dan keluarga. Faktor yang paling mempengaruhi
penggunaannya adalah usia dan jabatan. Meskipun bahasa Sumbawa tidak memiliki
karakteristik yang cukup kuat dalam hal tindak tutur halus atau kasar, namun
pengaruh kosakata halus pada keseluruhan kalimat masih dapat terlihat pada ranah-
ranah tertentu.
37
Maka dari itu, beberapa karakteristik yang dapat ditemukan pada ciri bahasa
bagian timur melayu-polinesia barat; khususnya pada bahasa Bali, Sasak, dan
Sumbawa adalah klasifikasi tindak tutur yang sebagian besar terbagi berdasarkan
tingkat halus dan kasar, ranah usia dan formalitas situasi yang sangat mempengaruhi
pilihan tindak tutur tersebut, dan bergesernya klasifikasi ini secara perlahan sebagai
dampak atas modernisasi dan globalisasi masyarakat penutur masing-masing. Selain
itu, status sosial penutur dan pengaruh status tersebut pada ranahnya masing-masing
dapat semakin memperkokoh pergeseran klasifikasi ini, seperti yang dapat kita lihat
dimana bahasa Bali masih bertahan seiring dengan kentalnya klasifikasi sosial pada
lapisan masyarakat penutur bahasa Bali tersebut, sedangkan Sumbawa sudah lebih
umum dalam tindak tutur bahasanya.
38
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Dalam penelitian tingkat tutur bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa,
beberapa temuan pada karakteristik bahasa timur melayu polinesia barat adalah
pada tingkat kesopanan penutur. Beberapa ranah dalam bahasa dapat
mempengaruhi tingkat tutur bahasa tersebut, seperti ranah usia, kantor, dan
status sosial penutur dalam masyarakat. Tingkatan ini secara umum
mempengaruhi struktur leksikal dan gramatikal penggunaan bahasa tersebut.
Melalui temuan ini, dapat disimpulkan bahwa pengaruh ranah terhadap
struktur tingkat tutur bahasa bagian timur melayu polinesia barat ini semakin
rendah terhadap bahasa penuturnya sesuai dengan kurun waktu dan letak
geografisnya. Maka dari itu, penutur bahasanya perlu menerapkan pemeliharaan
dan peremajaan bahasa local untuk menjaga nilai budaya bahasanya.
39
DAFTAR PUSTAKA
.
Bagus, I Gusti Ngurah. 1978/1979. Unda Usuk Bahasa Bali. Laporan Penelitian tim
Penelitian
Fakultas Sastra Universitas Udayana, Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia
dan Daerah Bali. Denpasar: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bailey, Guy. 2002. Real and apparent time.. In J.K Chambers, Peter Trudgill, and
NatalieSchiling-Estes. The Handbook of Language Variation and Change. Oxford:
Blackwell Publishing, pp 312-332.
Bhadra, Ranajit K. 1991. Caste and Class: Social Stratification in Assam. New Delhi:
Hindustan Publishing Corporation.
Blust, Robert A. 1981. The Soboyo Reflexes of Proto-Austronesian S. In R.A. Blust (ed.)
Historical Linguistics in Indonesia. Part I. NUSA 10: 21-30. Jakarta Badan
Penyelenggara Seri NUSA.
Chambers, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. Oxford: Blackwell Publishing.
Clynes, Adrian. 1989. Speech Styles in Javanese and Balinese: A Comparative Study. MA
thesis, Australian National University, Canberra.
Clynes, Adrian. 1994. Old Javanese influence in Balinese: Balinese speech styles. In Tom
Dutton and Darrell T. Tryon, eds Language Contact and Change in the Austronesian
World, 141-179. Berlin: Mouton de Gruyter.
Dittmar, Norbert and Peter Schlobinski, eds 1988. The Sociolinguistics of Urban
Vernaculars. Case Studies and their Evaluation. Berlin: Walter de Gruyter.
Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Melbourne: Cambridge University Press.
Dyen, Isidore. 1982. The Present Status of Some Austronesian Subgrouping Hypothesis. In
A.
Halim et.al (Eds.). Paper from the TICAL. PL Series C, No 75, Vol. 2:31-35.
Edwards, Jane A. 1993. Principles and contrasting system of discourse transcription. In Jane
A. Edwards and Martin D. Lampert, eds Talking Data. Transcription and Coding in
Discourse Research, 3-43. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Fishman, J. A. 1972. Domains and the relationship between micro and macro
sociolinguistics. In John J. Gumperz and Dell Hymes, eds Directions in
Sociolinguistics, 435-453. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Geertz, C. 1960. Linguistic etiquette. Reprinted in J.B. Pride and Janet Holmes, eds
Sociolinguistics, 167-179. New York: Penguin.
Geertz, H. and Clifford Geertz. 1975. Kinship in Bali. Chicago: University of Chicago
Press.
Greenberg, J.H. 1956. Concerning inferences from linguistic to non linguistic data. In H.
40
Hoijer, ed. Language in Culture, 3-19. Chicago: University of Chicago Press.
Gumperz, J. 1971. Language in Social Groups. Stanford: Stanford University Press.
Hardjadibrata, R.R. 1985. Sundanese: A Syntactical Analysis. Pacific Linguistics D-65.
Canberra: Australian National University.
Hwang, Juck-Ryoon. 1990. Deference versus politeness in Korean speech. International
Journal of the Sociology of Language 82, 41-55.
Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach.
Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Labov, W. 1971(a). Methodology. In W.O. Dingwall, ed. A Survey of Linguistic Science,
412-491. Maryland: Linguistics Program, University of Maryland.
Labov, W. 1971(b). The study of language in its social context. Reprinted in J.B. Pride and
Janet Holmes, eds. Sociolinguistics, 180-202. New York: Penguin.
Labov, W. 1972(a). The Design of a Sociolinguistic Research Project. Report of the
Sociolinguistics Workshop held by the Central Institute of Indian Language in Mysore
India.
Labov, W. 1972(b). Some principles of linguistic methodology. Language in Society 1, 97-
120.
Labov, W. 1984. Field methods of the project on linguistic change and variation. In John
Baugh and Joel Sherzer, eds Language in Use. Reading in Sociolinguistics, 28-53.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Martin, Samuel E. 1964. Speech levels in Japanese and Korean. Reprinted in Dell Hymes,
ed. Language in Culture and Society, 407-415. New York: Harper & Row.
Mbete, A. M. 1990. Rekonstrusi Proptobahasa Bali- Sasak-Sumbawa. Desertasion.
University of Indonesia.
Milroy, Lesley. 1980. Language and Social Networks. Oxford: Basil Blackwell.
Milroy, Lesley. 1987. Observing and Analysing Natural Language. Oxford: Basil Blackwell.
Milroy, Lesley and J. Milroy. 1992. Social network and social class: Toward an integrated
sociolinguistic model. Language in Society 21, 1-26.
Narayana, I.B. Udara. 1983. Anggah Ungguhing Basa Bali dan Peranannya Sebagai alat
Komunikasi bagi Masyarakat Suku Bali. Denpasar: Faksas, Universitas Udayana.
Poedjasoedarma, Soepomo et al. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Saville-Troike, Muriel. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford: Basil
Blackwell.
Shadeg, S.V.D. 1977. Balinese Basic Vocabulary. Denpasar: Dharma Bakti
Simpen, I W. AB. 1985. Kamus Bahasa Bali. Denpasar: PT Mabhakti.
Stevens, Alan M. 1965. Language levels in Madurese. Language 41, 294-302.
41
Suastra, I Made. 2001. The Categorisation in Balinese Speech Levels. A paper presented in
International Seminar on Astro Oseanean Languages. Denpasar, Bali.
Trudgill, Peter. 1974. The Social Differentiation of English in Norwich. Cambridge:
Cambridge University Press.
Vago, Steven. 1980. Social Change. New York: Holt, Rinehart & Winston.
Wang, Hahn-Sok. 1990. Toward a description of the organisation of Korean speech levels.
International Journal of the Sociology of Language.82, 25-39.
Ward, Jack Haven. 1973. Phonology, Morphophonemics and the Dimension of Variation in
Spoken Balinese. PhD thesis, Cornell University.
Wiana, I Ketut and Raka Santri. 1993. Kasta Dalam Hindu. Kesalahpahaman Berabad-abad.
Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
Woods, Anthony, P. Fletcher and A. Hughes. 1986. Statistics in Language Study.
Cambridge: Cambridge University Press.
Zurbuchen, Mary Sabina. 1987. The Language of Balinese Shadow Theater. Princeton:
Princeton University Press.
42
LAMPIRAN PENELITIAN
LAMPIRAN 1: FOTO (DOKUMENTASI) PENELITIAN
Foto 1: Para Informan Lombok mengisi Kuesioner
43
Foto 2: Para Informan Lombok
44
Foto 3: Kantor Desa Beraim, Lombok Tengah
Foto 4
Wawancara dengan Informan (kiri), Penggunaan bahasa Sasak di Ranah Pasar (Kanan)
45
Foto 5: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Pasar
46
Foto 6: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Adat dan Agama
47
Foto 7: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Tetangga
Foto 8: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Kantor
48
Foto 9. Penelitian bahasa Sumbawa di Ranah Pasar
Foto 10. Penelitian bahasa Sumbawa di Ranah Kantor
49
Foto 11. Informan bahasa Sumbawa
Foto 12. Bahasa Sumbawa dalam Ranah Tetangga
LAMPIRAN 2: DAFTAR INFORMAN
Informan Bahasa Sasak:
1. Dr. Muhammad Sukri, S.Pd. M.Hum, Sekretaris Program Studi S-2
Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Mataram (UNRAM),
2. Muhammad Kherul Ihwan (Iwan) yang berasal dari desa Ketejer Kecamatan
Praya Lombok Tengah. Informan berumur 38 tahun, bekerja di lembaga
keuangan di daerah setempat
3. Muhammad Kurnain (Kurnain) (48 tahun), asal dari desa Selat kecamatan
Narmada Lombok Barat. Pedagang Pasar Tradisional Narmada.
50
4. H. Hasan Basyri, S. Sos. (55 tahun) dan bekerja di kantor camat Narmada
Lombok Barat.
5. Taufan Jaya Rahmana. Beliau bekerja sebagai staf desa di Kantor Desa
Beraim Kecamatan Peraya Tengah kabupaten Lombok Tengah
6. Lalu Ichwan Hasbiadi, Baiq Farida Astini, Baiq Muhanis, S.Pd., Baiq Ami
Faranita, Lalu Adam, Lalu Masrif, Fuad, Rosalina Febrianti, Baiq Annisa
Salwa Fadia (Lombok Tengah)
7. Baiq Reni Nurlia, Issyatul Mardiah, Baiq Devi Maramitha, S.Pd. (Lombok
Timur)
8. Lalu Sukendar, Sailah, Taufik Al-Banjari (Ampenan-Lombok Barat)
Informan Bahasa Bali:
1. I Ketut Tumbuh (Laki-laki) 51 Tahun, Tukang Ukir, Desa Susut, Tabanan
2. Nyoman Widia (Laki-laki) 57 Tahun, Kelian Dinas Dalung, Badung
3. Ni Wayan Tingkes (Perempuan) 45 Tahun, Pedagang Kuliner Tradisional
4. Desak Supadmini (Perempuan) 43 Tahun, Desa Jegu, Tabanan
5. I Ketut Selebes (Laki-Laki) 43 Tahun, Guru, Tabanan
6. Ni Wayan Srati (Perempuan) 39 Tahun, PNS, Denpasar
7. Seka Truna di beberapaBanjar sekitaran Denpasar dan Tabanan
8. Pedagang-pedagang di Pasar
Informan Bahasa Sumbawa:
1. Novita (29 tahun), penduduk asli suku Samawa Sumbawa besar, daerah Sering
kabupaten Sumbawa Besar, ibu rumah tangga
2. Fitria, S.E., M.E. (28 tahun), penduduk asli suku Samawa kabupaten Sumbawa
Besar, dosen ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Teknik Sumbawa
(UTS)
3. Daeng Riadi (48 tahun), dari Sumbawa Besar, keturunan dari Sultan
Sumbawa, pegawai di kantor daerah Sumbawa Besar
4. H. Hasan Basyri, S. Sos. (55 tahun). Penduduk asli suku Samawa Sumbawa
Besar, dari daerah Genang Gendis Sering Sumbawa Besar. bekerja di kantor
Dinas Pariwisata Sumbawa Besar.
51
5. Warga sekitar daerah Sering Sumbawa Besar. Penduduk asli Sumbawa yang
bersuku Samawa dan menggunakan bahasa Sumbawa untuk berkomunikasi
sehari-hari.
LAMPIRAN 3: KUESIONER BAHASA SASAK
Nama :
Lokasi :
SOAL KUISIONER
1. Apakah anda mampu menggunakan bahasa Sasak halus?
a. Ya b. Tidak
2. Apakah bahasa Sasak yang anda gunakan tergolong pada bahasa Sasak yang
paling halus?
a. Ya b. Tidak
3. Apakan anda berbicara menggunakan bahasa Sasak halus di lingkungan
tempat anda tinggal?
a. Ya b. Tidak
4. Ketika anda berbicara dengan bangsawan (Raden/ Lalu), apakah anda
menggunakan bahasa Sasak halus?
a. Ya b. Tidak
5. Apakah perbedaan status sosial (bangsawan) mempengaruhi penggunaan
bahasa Sasak anda ketika berkomunikasi?
a. Ya b. Tidak
6. Apakah perbedaan status sosial (pekerjaan) mempengaruhi penggunaan bahasa
Sasak anda ketika berkomunikasi?
a. Ya b. Tidak
7. Ketika anda berbicara dengan seorang bangsawan (Raden/ Lalu) yang
memiliki pekerjaan rendah, apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus?
a. Ya b. Tidak
52
8. Apakah perbedaan gender mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak anda?
a. Ya b. Tidak
9. Apakah perbedaan usia mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak Anda?
a. Ya b. Tidak
10. Apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus ketika berbicara dengan anak
kecil?
a. Ya b. Tidak
11. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah keluarga?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
12. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah pertemanan?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
13. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah pasar?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
14. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah tetangga?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
15. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah agama?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
53
LAMPIRAN 4: ARTIKEL SENASTEK DAN LUARAN ARTIKEL LAINNYA
DAFTAR PEMAKALAH SENASTEK 2015
KATEGORI: PEMAKALAH ORAL
1. Artikel yang dimuat dalam prosiding SENASTEK tentang bahasa Bali
STRATIFIKASI SOSIAL DAN TINDAK TUTUR BAHASA BALI
DALAM KARYA SASTRA BALI MODERN
I Ketut Tika1), I Made Suastra2), Ni Luh Nyoman Seri Malini3), I Made Sena
Darmasetiyawan4)
1)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana
08123828909, [email protected] 2)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 3)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 4)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana
54
Abstrak
Grimes dan Maryot (1994) menyatakan bahwa masyarakat penutur Austronesia memiliki ciri
khas yang cenderung memakai kosakata berbeda ketika berbicara dengan orang yang berkedudukan
tinggi. Ciri itu tampak terwaris dalam Bahasa Bali dengan sistem tindak tutur yang khas dengan
sebutan anggah-ungguhing basa Bali. Sistem tindak tutur bahasa Bali ini tercermin pada karya-karya
sastra Bali, baik tradisional maupun modern. Sebagai wahana pendokumentasian bahasa dalam
bentuk inskripsi, karya sastra selalu berada dalam tegangan antara norma sastra dan norma sosio-
budaya, karena karya sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap sesuatu yang berlangsung di
sekitarnya (Djoko Damono, 2002: 40). Hubungan karya sastra dengan norma sosio-budaya, menurut
Teeuw (1982: 19) berlangsung dalam tiga tanggapan evaluatif, yaitu berupa afirmasi (menetapkan
norma yang berlaku saat itu), restorasi (ungkapan kerinduan pada norma yang hilang atau tidak
berlaku lagi), dan negasi (pemberontakan terhadap norma yang berlaku, menyajikan alternatif norma
sosio-budaya yang mapan). Dalam konteks inilah penelitian terhadap realitas pemakaian tindak tutur
bahasa Bali dalam karya-karya sastra penting dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode simak
bebas libat seecakap pada saat penyediaan data, dan analisis dengan teori sosiolinguistik, serta
penyajian data secara informal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stratifkasi masyarakat Bali
Tradisional dan Modern yang terdokumentasi dalam karya sastra Novel Tresnane Lebur Ajur
Satonden Kembang menunjukkan pengaruh terhadap penggunaan bahasa Bali. Stratifikasi masyarakat
Bali Tradisional yang berpijak pada hubungan tri wangsa dan jaba yang berpengaruh pada
penggunaan bahasa Bali Alus maupun Andap (Lumbrah) tetap dicerminkan oleh novel ini. Demikian
pula, stratifikasi masyarakat Bali Modern yang cenderung lebih egalitar juga ditujukkan dalam novel
ini.
Kata Kunci : Stratifikasi Sosial, Tindak Tutur, dan Karya Sastra
Abstract
Grimes and Maryoto (1994) states that Austronesians- had characteristics that tended to use
different vocabulary when they talked to people in high places. This characteristic seems to be
inherited in Balinese language with a distinctive system of speech acts called the anggah-ungguhing
base Bali. The speech act systems in Balinese language are often reflected in Balinese’s literary works,
both traditional and modern. As a media of language documentation in the form of inscriptions,
literary works are always in tension between the literary and socio-cultural norms, since literature
work is considered as an evaluative response to something that took place in the vicinity (Djoko
Damono, 2002: 40). The relationship of literature to the norms of socio-cultural, according Teeuw
(1982: 19) takes place in three evaluative responses, namely affirmation (norms of the time),
restoration (expression of longing on the norms that are missing or not valid anymore), and negation
(rebellion against the norm, the alternative of socio-cultural norms). By this context, the study of the
reality use of speech acts in Balinese language was necessary to be done. The method used in this study
was observation method. Afterwards, the data were analyzed by using the theory of sociolinguistics as
well as the presentations of the data was presented informally. The results showed that the Balinese
stratification of traditional and modern was documented well in the Novel entitled Tresnane Lebur Ajur
Satonden Kembang. It showed that the effects of the Balinese’s traditional social stratification usage
were based on the relationship between tri wangsa and jaba, which affected the use Basa Alus and
Andap in Bali (Lumbrah). Similarly, it was found in the novel that the stratification of Bali Modern
society tends to be more egalitarians.
Keywords: Social Stratification, Speech Act, and Literature Work
1. PENDAHULUAN
Ardika (2006 : 2) menyatakan bahwa dewasa ini ada suatu gejala yang
menunjukkan semakin terpinggirkannya bahasa Bali dalam pergaulan keseharian
masyarakat Bali, terutama di kalangan generasi mudanya. Salah satu kekhasan sistem
yang dimiliki oleh bahasa Bali sebagai bagian dari bahasa Austronesia adalah adanya
tingkat-tingkatan wicara atu speech level. Tingkat-tingkatan bahasa ini dalam bahasa
Bali juga disebut dengan anggah-ungguhing basa Bali. Dalam kaitannya dengan
Anggah-ungguhing basa Bali, Sancaya (2004 : 210) mengatakan bahwa tingkat-
tingkatan bahasa ini merupakan aspek substansial dalam bahasa Bali yang sangat
55
rumit, karena berkaitan dengan nilai-nilai sosio-kultural, sosio-psikologis, dan sosio-
filosofis religius. Lebih lanjut dikatakannya bahwa persoalan anggah-ungguhing basa
sering dianggap sebagai sesuatu yang feodalistis. Hal ini merupakan masalah aktual
yang menyebabkan bahasa Bali tidak berkembang (Sancaya, 2004 : 209).
Perkembangan bahasa Bali mengalami hambatan sebab terjadinya kebingungan dalam
pemakaian norma sopan santun ini.
Sistem tindak tutur bahasa Bali ini tercermin pada karya-karya sastra Bali, baik
tradisional maupun modern. Sebagai wahana pendokumentasian bahasa dalam bentuk
inskripsi, karya sastra selalu berada dalam tegangan antara norma sastra dan norma
sosio-budaya, karena karya sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap sesuatu
yang berlangsung di sekitarnya (Djoko Damono, 2002: 40). Hubungan karya sastra
dengan norma sosio-budaya, menurut Teeuw (1982: 19) berlangsung dalam tiga
tanggapan evaluatif, yaitu berupa afirmasi (menetapkan norma yang berlaku saat itu),
restorasi (ungkapan kerinduan pada norma yang hilang atau tidak berlaku lagi), dan
negasi (pemberontakan terhadap norma yang berlaku, menyajikan alternatif norma
sosio-budaya yang mapan). Dalam konteks inilah penelitian terhadap realitas
pemakaian tindak tutur bahasa Bali dalam karya-karya sastra penting dilakukan,
terutama dalam melihat dinamika pemakaian bahasa tersebut. Fokus penelitian ini
adalah melihat pengaruh stratifikasi sosial masyarakat Bali baik tradisional maupun
modern terhadap tindak tutur bahasa Bali dalam karya sastra Bali Modern, khususnya
Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang.
2. PEMBAHASAN
2.1 Sinopsis
Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (Cinta itu Layu Sebelum
Berkembang) karya Djelantik Santha bertemakan pertentangan antarwangsa. Novel
ini terbit sebagai buku pada tahun 1986, berdasarkan cerita bersambung di Bali Post
15 Juli-19 September tahun 1981. Darma Putra (2000: 96) mengatakan bahwa karya
tersebut merupakan novel terbaik berbahasa Bali yang pernah ada, terutama apabila
dilihat dari tema yang disajikan lewat konflik antartokoh yang tidak kunjung habis.
Darma Putra (2000 : 99) selanjutnya menegaskan bahwa tema konflik kewangsaan
akan terus muncul dalam karya sastra yang diciptakan pengarang Bali. Hal ini
disebabkan setidak-tidaknya oleh dua alasan yakni (1) konflik kewangsaan merupakan
masalah yang nyata dan serius dalam masyarakat Bali; (2) konflik kewangsaan
menyediakan ‘konflik yang siap pakai’ untuk membangun cerita.
Mengacu pada pandangan di atas yang melihat perbedaan antarwangsa sebagai
masalah serius, maka Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang relevan untuk
dijadikan sebagai sumber data untuk melihat penggunaan tindak tutur dalam bahasa
Bali. Tema pertentangan antarwangsa yang menjadi latar belakang cerita menjadikan
karya sastra ini penuh dengan dialog antarwangsa maupun intrawangsa. Dialog-
dialog tersebut tidak hanya menghadirkan realitas penggunaan tingkat tutur bahasa
Bali dalam tataran leksikon, tetapi juga satuan yang lebih luas yaitu kalimat. Dengan
demikian, dialog-dialog tersebut dapat dimanfaatkan untuk melihat realitas
penggunaan tindak tutur bahasa Bali yang terdokumentasi dalam karya sastra.
Novel ini terdiri atas sepuluh bagian yang menjalin cerita secara keseluruhan.
Bagian pertama dan kedua mengisahkan kehidupan Nyoman Santosa, seorang
pemuda desa yang tinggal dengan ibunya Men Madu dan seorang adiknya yang
bernama Ketut Santi. Mereka sekeluarga tinggal di desa Selat Karangasem. Walaupun
tinggal di desa, Nyoman Santosa memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan
ke sekolah guru atau SGB di Klungkung. Akan tetapi, ibunya tidak setuju karena
56
keadaan keluarga mereka yang miskin. Pada suatu malam setelah selesai bertengkar
dengan ibunya, Nyoman Santosa ingat terhadap masa lalu keluarganya. Dia sejatinya
memiliki 2 kakak laki-laki yang bernama I Wayan Madu dan Made Madi. Kedua
kakaknya itu tewas dalam suatu perkelahian pada saat pulang dari Pura Puncak Sari
yang terletak di bukit Belisbis.
Wayan Madu dan Made Madi tewas bersama temannya I Ketut Tresna, karena
diserang oleh I Gusti Ngurah Cepeg dan teman-temannya pada hari Banyu Pinaruh.
Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh dendam I Gusti Ngurah Cepeg yang lamarannya
ditolak oleh I Gusti Ayu Adi, karena lebih mencintai I Made Madi. Dalam peristiwa
tersebut, tidak hanya kedua kakaknya yang meninggal, tetapi juga I Gusti Ngurah
Cepeg dan rekan-rekannya. Tewasnya I Made Madi menyebabkan kekasihnya I Gusti
Ayu Adi sakit hati yang berujung pada kematian. Kematian I Gusti Ayu Adi tidak
membuat perselisihan di antara keluarga Gusti Ngurah Cepeg dengan I Gusti Mangku
dan Pan Madu selesai. Pada suatu malam, Pan Madu dan I Gusti Mangku diserang
oleh ayah I Gusti Ngurah Cepeg dengan kekuatan illmu hitam. Pertempuran di alam
gaib itu juga berakhir pada kematian Pan Madu dan I Gusti Mangku, serta ayah I
Gusti Ngurah Cepeg. Rentetan peristiwa tersebut merupakan muara dari sakit hati dan
balas dendam yang tidak mampu diselesaikan secara kekeluargaan, padahal antara I
Gusti Ngurah Cepeg dengan I Gusti Mangku masih memiliki hubungan keluarga.
Ditinggalkan ayah dan kedua kakaknya menyebabkan kehidupan I Nyoman
Santosa semakin terpuruk. Namun demikian, keinginannya untuk belajar masih tetap
besar. Setelah mendapatkan wangsit dari kakaknya dalam mimpi, dia semakin yakin
terhadap pilihannya. Walaupun sudah terlambat dari hari terakhir pendaftaran,
Nyoman Santosa akhirnya diterima di SGB. Pada masa inilah hubungan
percintaannya dengan seorang gadis bernama Made Arini terjalin. Made Arini adalah
teman kecilnya yang sama-sama berasal dari Selat Karangasem. Hubungan cinta di
antara Nyoman Santosa dengan Made Arini putus, karena Anak Agung Alit Sudendi
mengawininya secara paksa. Made Arini dilarikan oleh Anak Alit Sudendi ke rumah
Pekak Giyor di daerah Kintamani. Di tempat itulah Made Arini dinikahi oleh Anak
Agung Alit Sudendi.
Setelah hubungan cinta Nyoman Santosa dengan Made Arini kandas dan hasil
ujian akhir di SGB menyatakan dirinya lulus, dia memutuskan untuk melanjutkan
pendidikannya ke SGA Singaraja. Nyoman Santosa tinggal di rumah Gusti Ketut Rai
yang juga berasal dari wilayah Karangasem. Di tempat itu, Nyoman Santosa bertemu
dengan Gusti Ayu Jinar dan Made Astiti. Perasaan cinta mulai tumbuh di hati
Nyoman Santosa, setelah dia menyelamatkan Gusti Ayu Jinar dan Made Astiti dari
bahaya gulungan ombak saat rekreasi di suatu pantai. Walaupun demikian, dalam hati
Nyoman Santosa yang terdalam, bayang-bayang Made Arini masih sulit
dilupakannya. Suatu hari pada saat Nyoman Santosa pulang dari Singaraja, dia
mendapatkan kesempatan untuk singgah di Alit Arini Homstay, sekaligus
membuktikan kesetiaan cinta Made Arini. Walaupun sudah menikah dengan Agung
Alit Sudendi dirinya masih tetap perawan. Hal ini disebabkan karena Anak Agung
Alit Sudendi impoten.
Kendati Nyoman Santosa masih ada perasaan cinta dengan Made Arini, sedikit
demi sedikit perasaan cintanya dengan Gusti Ayu Jinar mulai mekar. Sempat dia ragu
akan memilih Gusti Ayu Jinar atau Made Astiti, namun pilihan akhirnya jatuh pada
Gusti Ayu Jinar. Hubungan Nyoman Santosa dengan Gusti Ayu Jinar tak terpisahkan
walaupun sudah mendapatkan peringatan dari I Gusti Ketut Rai dan istrinya. Gusti
Ayu Jinar berani memperjuangkan cintanya dengan Nyoman Santosa walaupun sudah
pasti ayahnya tidak akan setuju. Cerita ini diakhiri dengan tenggelamnya Made Arini
57
pada saat megantar tamu ke Desa Trunyan. Demikian pula, kematian Made Arini
disusul kematian I Gusti Ayu Jinar karena terseret banjir besar di tempat tinggalnya.
Cerita cinta I Nyoman Santosa brrmuara pada kekecewaan.
2.2 Stratifikasi Sosial dan Penggunaan Tindak Tutur dalam Novel Tresnane
Lebur Ajur Satonden Kembang
Eksistensi tindak tutur bahasa Bali yang juga disebut dengan sistem anggah-
ungguhing basa Bali ini tidak dapat dilepaskan dari adanya stratifikasi masyarakat
Bali. Stratifikasi ini secara umum dapat dipilah menjadi dua yaitu stratifikasi
masyarakat Bali tradisional dan modern. Menurut Suasta (2006: 10), pada masa lalu
stratifikasi masyarakat suku Bali ditandai dengan adanya tingkat-tingkatan sosial
berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, dan keahlian. Pelapisan masyarakat
suku Bali yang telah mengendap dalam adat adalah pelapisan masyarakat suku Bali
yang berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, sedangkan pelapisan masyarakat
suku Bali yang berdasarkan keahlian belum mengendap. Berdasarkan keturunan
menyebabkan terjadinya golongan masyarakat bangsawan, dan golongan masyarakat
kebanyakan. Berdasarkan senioritas menyebabkan terjadinya golongan masyarakat
suku Bali yang tua-tua berkuasa dalam ranah adat, dan golongan masyarakat suku
Bali yang muda dalam pengalaman. Berdasarkan kekuasaan, menyebabkan
munculnya golongan penguasa dan golongan masyarakat. Pembedaan berdasarkan
keahlian menyebabkan adanya golongan masyarakat suku Bali yang memiliki
keahlian tertentu dan tidak memiliki keahlian tertentu.
Pada masyarakat Bali Aga, lebih dominan struktur sosialnya dipengaruhi oleh
senioritas. Sementara itu, masyarakat Bali dataran lebih dipengaruhi oleh unsur
pembeda yang berdasarkan keturunan. Pelapisan masyarakat suku Bali Aga tidak
begitu mempengaruhi bahasa yang digunakan sebagai alat berkomunikasi. Berbeda
dengan masyarakat Bali dataran yang pelapisan sosial masyarakatnya dipengaruhi
oleh keturunan yang sangat dominan mempengaruhi pemakaian bahasanya, sampai
menyebabkan terjadinya anggah-ungguhing basa Bali (Suasta, 2006 : 10). Stratifikasi
masyarakat suku Bali modern pada dasarnya juga berasal dari suku Bali Tradisional
yang menganut sistem budaya Hindhu dalam bentuk kerajaan yang mengalami
perubahan penghargaan, karena perkembangan zaman. Namun demikian, pelapisan
masyarakat suku Bali yang berdasarkan atas keturunan atau wangsa masih tetap ada,
yang mengendap dalam adat masyarakat suku Bali. Kemajuan zaman mengakibatkan
adanya perubahan yang mempengaruhi keadaan stratifikasi masyarakat suku Bali
yang berdasarkan pendidikan, pangkat, kekuasaan, dan jabatan tertentu menyebabkan
golongan ini juga mendapatkan penghormatan dalam kehidupan masyarakat.
Stratifikasi sosial masyarakat Bali Tradisional dan Modern yang berdampak
pada penggunaan bahasa Bali juga tampak pada Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden
Kembang. Karya sastra sejatinya merupakan dokumen penting dalam menelusuri
perubahan sosio-kultural termasuk perubahan bahasa dalam kehidupan masyarakat
Bali. Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang merekam perubahan
penggunaan bahasa Bali tradisional menuju masyarakat Bali Modern, yang diiringi
oleh perubahan penggunaan bahasa Bali. Oleh sebab itulah, dalam tulisan ini status
sosial masyarakat Bali yang meliputi tradisional maupun modern yang terekam dalam
karya sastra ini akan dideskripsikan terlebih dahulu. Hal ini penting karena akan
berpengaruh pada penggunaan bahasa dalam komunikasi antartokoh intrawangsa dan
antarwangsa.
58
2.2.1. Stratifikasi Tradisional
Stratifikasi masyarakat tradisional yang menata hubungan masyarakat Bali
dapat dibagi menjadi dua yaitu golongan Tri Wangsa dan golongan Jaba. Golongan
Tri Wangsa dapat dibagi lagi menjadi Brahmana, Ksatria, dan Wesia. Sementara itu,
golongan jaba adalah golongan masyarakat pada umumnya di luar golongan Tri
Wangsa. Golongan Tri Wangsa dalam karya sastra Novel Tresnane Lebur Ajur
Satonden Kembang ini dicerminkan oleh tokoh-tokoh berikut ini.
Tabel 1. Stratifikasi Masyarakat Bali Tradisional
dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang
No. Golongan Tri Wangsa
Keterangan Nama Tokoh
1. I Gusti Ayu Adi Seorang gadis yang berasal dari Desa Selat, anak dari I Gusti
Mangku, dan pacar I Made Madi
2. I Gusti Mangku Lanang Ayah dari I Gusti Ayu Adi
3. I Gusti Mangku Istri Ibu dari I Gusti Adi
4. I Gusti Ngurah Cepeg Saudara dari I Gusti Ayu Adi, yang menyerang Made Madi,
Wayan Madu, dan yang lainnya di Bukit Bisbis karena
lamarannya ditolak I Gusti Ayu Adi.
5. Aji I Gusti Ngurah Cepeg Ayah I Gusti Ngurah Cepeg
6. Biang I Gusti Ngurah Cepeg Ibu I Gusti Ngurah Cepeg
5. Anak Agung Alit Sudendi Seorang pemuda yang berasal dari Klungkung, yang
mengawini Made Arini dengan cara kawin paksa.
6. Anak Agung Ngurah Ayah Anak Agung Alit Sudendi
7. Jero Sekar Ibu Anak Alit Sudendi yang masih memiliki hubungan
keluarga dengan Made Arini
8. Ida Bagus Aji 1 Seorang keturunan brahmana, yang dimintai Pan Madu Obat
9. Ida Bagus Aji 2 Seorang keturunan brahmana yang berprofesi sebagai petugas
bioskop
9. Gusti Ketut Rai Pemilik tempat kos-kosan yang ditempati Nyoman Santosa di
Singaraja.
10. Gusti Ayu Srati Istri dari Gusti Ketut Rai.
11. Gusti Ayu Jinar Pacar I Nyoman Santosa, yang masih memiliki hubungan
keluarga dengan Gusti Ketut Rai
12. Gusti Ayu Manik Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SMP
13. Gusti Ayu Mirah Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SMP
14. Gusti Gede Pande Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SD
No Golongan Jaba
Keterangan Nama Tokoh
1. I Nyoman Santosa Seorang pemuda desa yang melanjutkan sekolahnya di SPG
Klungkun dan SGB Singaraja, dan juga kekasih Made Arini
serta Gusti Ayu Jinar.
2. I Wayan Madu Kakak tertua dari I Nyoman Santosa yang tewas dalam
serangan I Gusti Ngurah Cepeg.
3. I Made Madi Kakak ke dua dari I Nyoman Santosa, kekasih I Gusti Ayu
Adi.
4. Pan Madu Ayah dari Nyoman Santosa.
5. Men Madu Ibu dari Nyoman Santosa.
6. I Ketut Santi Adik terkecil keluarga Nyoman Santosa.
7. Made Arini Kekasih pertama Nyoman Santosa yang akhirnya dikawin
paksa oleh I Gusti Ngurah Cepeg.
8. Ketut Dirga Teman sejawat I Nyoman Santosa di SPG Klungkung.
9. Nyoman Nerti Sahabat sejawat Made Arini di SMP Klungkung.
10. Made Astiti Seorang remaja yang menyukai Nyoman Santosa di Singaraja,
yang juga teman dari Gusti Ayu Jinar.
11. Wayan Widanta Ayah dari Made Arini.
59
12. Ketut Dani Ibu dari Made Arini.
13. Pekak Giyor Dukun yang membantu Anak Agung Alit Sudendi dalam
mengawini secara paksa Made Arini
14. Made Galang Orang yang membantu Anak Alit Sudendi mengawini secara
paksa Made Arini.
Keberadaan stratifikasi masyarakat Bali Tradisional ini berdampak pada
penggunaan bahasa bahasa Bali dalam dialog-dialog yang dimainkan tokoh-tokohnya.
Dengan mengacu pada dialog-dialog dalam novel ini, dapat diketahui dua yaitu (1)
apabila komunikasi tersebut terjadi antargolongan jaba, maka bahasa yang digunakan
cenderung bahasa Andap (Kepara/Lumbrah), (2) apabila komunikasi tersebut terjadi
antargolongan tri wangsa, maka bahasa yang digunakan cenderung bahasa Andap
bagi penutur yang lebih tua dan bahasa Alus bagi penutur yang lebih muda, (3)
apabila komunikasi tersebut terjadi antara golongan Tri Wangsa dengan golongan
Jaba, maka bahasa yang digunakan oleh golongan jaba tersebut adalah bahasa Alus,
sedangkan golongan Tri Wangsa akan cenderung menggunakan bahasa Andap apabila
berkomunikasi dengan golongan jaba. Hal ini dapat dibuktikan melalui dialog-dialog
di bawah ini :
a. Dialog Antargolongan Jaba
Dialog antargolongan jaba akan diambil dari percakapan Pan Madu dengan
Men Madu pada saat Pan Men Madu membicarakan kegiatan sehari-hari Pan Madu
yang seringkali dimintai bantuan untuk menolong orang sakit, dengan kondisi
keluarganya sendiri yang masih miskin secara materi:
Men Madu : “Beneh, yèn perawat utawi dokter anè magajih buina madagang ubad tusing
nyidaang nelokin anak sakit, ngèngkèn dadi beli anè maan sèn tepu, gèsèk? Buina
anakè sakit joh joh tekain beli, nanging panak belinè jumah sakit tusing tawang
bapannè. Apa buin lakar ngubadin, matakon bapannè tusing taèn, apa ia suba
madaar apa tondèn? apa ngelah baju apa tusing anggona masuk mani? apa tuduh
umahè apa tusing?
(Benar, jika perawat atau dokter yang digaji apalagi yang berjualan obat saja tidak
dapat mengunjungi orang sakit, apakah dari pekerjaan ini Bapak dapat uang? Apalagi,
orang lain yang sakit di tempat yang jauh pun engkau datangi, tapi anak kita di rumah
jika sakit tidak pernah tahu ayahnya. Apalagi akan mengobati, bertanya saja tidak
pernah. Apakah dia sudah makan atau belum? Apakah dia sudah mempunyai baju
untuk sekolahnya besok atau tidak? Apakah rumah kita bocor atau tidak?)
Pan Madu : “Naaah, beli ngrasa tekèn awak lacur, tusing ngelah sakaya pipis. Keto masih tusing
ngelah arta brana anggon matulung tekèn nyama brayanè. Yèn jani beli tusing
mapikolih, dumadak mani puan panak-panak iraganè nemu rahayu, ada ngiwasin
yèn kalahin beli mati malunan”. (Novel TLASK, hlm. 11)
(Iya, aku merasa terhadap diri miskin, tidak mempunyai harta berupa uang. Demikian
juga harta untuk membantu masyarakat. Jika sekarang aku tidak mendapatkan hasil
apa-apa, semoga di hari esok anak-anak kita yang akan menemui kebahagiaan, ada
yang memperhatikan jika aku mati duluan).
Mengacu pada dialog di atas, leksikon beneh ‘benar’, yèn ‘jika’, anè ‘yang’,
madagang ‘berjualan’, ubad ‘obat’, dan yang lainnya membuktikan bahwa apabila
terjadi dialog antargolongan jaba maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Andap.
Apabila konteks situasi yang terbangun dalam komunikasi adalah orang tua dengan
anaknya, atau orang yang belum kenal terlalu dekat, maka pronomina atau kata ganti
orang ketiga tunggal yang digunakan cenderung memakai kata alus madya yaitu tiang
‘saya’. Hal ini dapat dibuktikan dari dialog antara Nyoman Santosa dengan ibunya,
pada saat Nyoman Santosa berniat untuk melanjutkan sekolahnya.
60
Men Madu : “Apa sujatinè kenehang cai Man?
(Apa yang sebenarnya kamu pikirkan Man?)
Nyoman Santosa : “Mèmè da nyen pedih mèmè tekèn tiang, sawirè keneh tiangè
tan dadi baan neptepin. Tiang lakar nerusang masekolah ka
Klungkung. (Novel TLASK, hlm. 8)
(Ibu, janganlah ibu marah kepadaku, karena keinginanku tidak
bisa ditahan lagi. Aku akan melanjutkan bersekolah ke
Klungkung).
b. Dialog Antargolongan Tri Wangsa
Dialog antargolongan Tri Wangsa akan diambil dari dialog pada saat I Gusti
Ngurah Cepeg melamar I Gusti Ayu Adi kepada orang tuanya.
Gusti Ngurah Cepeg : “Aji, suwe sampun titiang kangin kauh, gumanti mamanah nunas pasuwecan
ajine. Cutet mangkin anak aji, Ayu Adi tunas titiang, jagi ajak titiang sareng
ngarembat anak lingsir jumah kauh”.
(Aji, sudah lama sekali kehidupan saya tidak menentu, saat ini saya bermaksud
meminta izin dari Aji. Intinya, sekarang putri Aji, Ayu Adi akan saya jadikan
istri, akan saya ajak menjadi pendamping di rumah orang tua sya di Badung).
Gusti Mangku : Kene Gus, adin Ngurahe saja aji ngelah panake. Ngurah masih ngelah
misane. Sep awai cening maka dadua manyama. Mungguing awakne bakat
baan aji ngisiang, nanging buat kenehne, sawireh jani ia suba kelih, tusing
pantes aji mekek (TLASK, hlmn. 12).
(Begini Gus, adikmu memang benar Aji yang memiliki. Kamu juga yang
menjadi misannya. Engkau dengannya saudara yang dekat. Badannya dapat
Aji pegang, tapi hatinya belum tentu. Karena Gusti Ayu Adi sudah dewasa,
tidak pantas Aji memaksa).
Kosakata suwe ‘lama’, sampun ‘sudah’, titiang ‘saya’ pada dialog yang
digambarkan di atas cenderung memperlihatkan penggunaan bahasa yang halus
apabila penutur berbicara kepada penutur yang lebih tua dalam percapakan sesama
golongan Tri Wangsa. Sementara itu, petutur memberikan jawaban dengan bahasa
yang andap. Hal ini dibuktikan dari leksikon, kènè ‘begini’, adin ‘adik’, saja ‘benar’,
ngelah ‘mempunyai’, anak ‘anak’ dan yang lainnya. Penggunaan bahasa penutur yang
lebih halus daripada petutur di atas, barangkali disebabkan karena situasi formal.
Akan tetapi, kecenderungan yang terjadi dalam dialog-dialog lainnya juga
menunjukkan hal yang sama. Hal ini dapat dilihat pada saat Gusti Ayu Adi berdialog
dengan ayahnya saat menyesali kematian Made Madi:
Gusti Ayu Adi : “Aji...., ampurayang titiang aji. Bas banget titiang ngaryanang aji sungkawa.”
(Aji, maafkanlah saya Aji. Terlalu sering saya membuat Aji menderita).
Gusti Mangku : “Ah endepang suba geg. Tegtegan ragan ceninge. Yen suba tuduhing Sang Hyang
Widi Wasalakar nyabut uripe, mula tusing dadi kelidin.” (TLASK, hlm : 19)
(Ah, diamlah sudah Geg. Tenangkan dirimu. Jika sudah takdir Sang Hyang Widi
Wasa akan mencabut hidup ini, memang tidak dapat dihindari).
c. Dialog antara Golongan Jaba dan Tri Wangsa
Dialog antara golongan jaba dan tri wangsa akan diambil pada saat Men Madu
meminta obat kepada Ida Bagus Aji di Griya. Dialog tersebut dapat dijelaskan di
bawah ini.
Ida Bagus Aji : “To kenken Men Madu suba sanja, padidian buin?.”
(Bagaimana Men Madu sudah senja (datang) sendirian ?)
Men Madu : “Ratu, titiang nawegang mamitang lugra, matur sisip wawu pedek tangkil ring ratu,
ngaturang indik sinengkaon parekan iratu saking itigang raina nenten mresidaang
61
bangun. Sakeng wawu sakit titiang sampun matari ring ipun jaga nuur palungguh
iratu ngaksi parekane, nanging ipun nenten ngewehin” (TLASK, hlmn. 25).
(Ratu, maafkan saya. Maaf, saya datang kepada Anda, menyampaikan tentang sakit
abdimu yang dari tiga hari yang lalu tidak bisa berdiri. Sejak awal sakit saya sudah
berbicara dengannya untuk meminta Ratu datang ke rumah, tapi dia tidak
memberikan).
Penggunaan kata-kata kenken ‘bagaimana’, suba ‘sudah’, pedidi ‘sendirian’ dan
yang lainnya dalam dialog di atas menunjukkan bahwa Ida Bagus Aji menggunakan
kata-kata andap ketika sedang berbicara dengan Men Madu. Sementara itu, Men
Madu menggunakan kata-kata yang halus pada saat berbicara dengan Ida Bagus Aji
yang dapat dibuktikan dari kata-kata titiang ‘saya’, wawu ‘baru’, mresidaang ‘dapat’
dan yang lainnya. Hal ini dapat dikuatkan dari dialog Nyoman Santosa dengan Anak
Agung Alit Sudendi di bawah ini.
Anak Agung Alit Sudendi : “Ih, Man, cai lakar kija, selidan suba mapayas nyateg”.
(Ih Man, kamu akan kemana, masih terang sudah rapi)
Nyoman Santosa : “Ooh, Gung Dendi, titiang jagi nonton sareng Made Arini (TLASK,
hlmn. 25).
(Oh, Gung Dendi, saya akan menonton dengan Made Arini).
2.2.2 Stratifikasi Modern
Stratifikasi masyarakat modern adalah stratifikasi yang tidak lagi didasarkan
pada aspek geneologi, melainkan lebih menyesuaikan dengan kemajuan zaman.
Stratifikasi masyarakat tersebut di antaranya adalah pendidikan, pangkat, kekuasaan,
dan jabatan tertentu menyebabkan golongan-golongan ini juga mendapatkan
penghormatan dalam kehidupan masyarakat Bali yang tercermin melalu penggunaan
bahasanya. Stratifikasi masyarakat Bali Modern dicerminkan oleh tokoh-tokoh berikut
ini. Tabel 2. Stratifikasi Masyarakat Bali Modern
dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang
Nama Tokoh Status Sosial
1. Kepala Sekolah Kepala sekolah SPG Klungkung, tidak disebutkan oleh
pengarang nama atau identitas tradisionalnya.
2. Mantri Kesehatan Petugas kesehatan yang memeriksa Pan Madu, tidak
disebutkan oleh pengarang nama atau identitas tradisionalnya.
Keberadaan stratifikasi masyarakat Bali Modern ini berdampak pada
penggunaan bahasa bahasa Bali dalam dialog-dialog yang dimainkan tokoh-tokohnya.
Hal ini tampak pada profesi-profesi baru yang dimiliki oleh seseorang dalam
kehidupan modern. Mengacu pada dialog-dialog yang terjadi dalam novel ini dapat
diketahui bahwa jabatan tertentu dalam dunia pendidikan dan kesehatan misalnya,
menyebabkan seseorang menggunakan bahasa Bali Alus dalam komunikasinya. Hal
ini dapat dibuktikan dari percakapan antara Men Madu dengan Mantri Kesehatan di
bawah ini.
Mantri Kesehatan : “Ten kenapi-kenapi, me. Ibapa anak masuk angin tur batisne nyem. Pantesne bas
ngampeg magawe di carike. Masan napi mangkin di carike, Pa?”
(Tidak apa-apa Bu. Bapak hanya masuk angin, itu yang membuat kakinya
dingin. Mungkin karena bekerja terlalu berat di sawah. Musim apa di sawah
sekarang Bu?)
Men Madu : “Enggih pak Mantri, mangkin dicarike sedeng eega magarapan. Tiang
magarapan padidi sasukat kalaina mati teken panak tiange.(TlASK, hlmn :
25)”
62
(Iya Pak Mantri, sekarang di sawah sedang sibuk-sibuknya penggarapan. Saya
menggarap sawah sendiri setelah ditinggal mati oleh anak saya).
Pada dialog di atas, melalui kata-kata ten ‘tidak’, kenapi-kenapi ‘kenapa-
kenapa’ Mantri Kesehatan menggunakan unsur kosakata halus pada saat berbicara
dengan Men Madu. Demikian pula Men Madu juga menggunakan unsur-unsur
kosakata halus saat berbicara dengan Mantri Kesehatan seperti ditunjukkan kata oleh
kata nggih ‘ya’, mangkin ‘sekarang’. Demikian pula, dialog dari Nyoman Santosa
dengan Kepala Sekolahnya, penggunaan bahasa alus menjadi media komunikasinya
dalam berbicara kepada Kepala Sekolah.
Kepala Sekolah : “Kenken dadi mara Nyoman teka? Kaden timpale lenan ada masi naftarang
dini, Man?”
(Kenapa baru Nyoman datang? bukankah teman-teman lainnya ada yang
mendaftar di sini, Man?)
Nyoman Santosa : “Kasep wiakti titiang Pak, santukan tan madue bekel jagi anggen titiang
ngaranjing mawinan tan wehina ring memen titiange. Niki titiang murunang
dewek, dumadak ledang bapak nerima titiang deriki ring SGB”.(TLASK, hlmn.
36)
(Memang benar saya terlambat Pak, karena saya tidak mempunyai bekal untuk
melanjutkan pendidika, itu yang menyebabkan saya tidak diberikan melanjutkan
pendidikan oleh ibu saya. Ini saya memberanikan diri masuk, semoga Bapak
berkenan menerima).
Mengacu pada dialog di atas, maka stratifikasi masyarakat modern telah
tercermin dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Dalam dialognya
terlihat penutur maupun petutur yang punya jabatan tinggi maupun masyarakat pada
umumnya sama-sama menggunakan unsur bahasa halus sehingga terkesan lebih
egaliter.
3. SIMPULAN
Berbasarkan analisis data di atas, dapat disimpulkan bahwa novel sebagai genre
karya sastra memberikan informasi penting dalam perubahan kultural masyarakat Bali
terutama penggunaan bahasanya. Analisis di atas juga menunjukkan bahwa stratifikasi
sosial masyarakat Bali baik tradisional maupun modern sama-sama mempengaruhi
penggunaan bahasa Bali Alus maupun Andap dalam aktivitas komunikasi. Tindak
tutur bahasa Bali yang didasarkan pada wangsa melalui analisis di atas menunjukkan
masih tetap dipertahankan. Sementara itu, stratifikasi masyarakat modern juga tetap
berkembang.
4. DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Gede. 2006. Kebijakan Strategi, dan Revitalisasi Bahasa Bali. Denpasar :
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Bagus, I Gusti Ngurah. dkk. 1978/1979. Unda Usuk Bahasa Bali. Denpasar : Proyek
Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesi dan Daerah Bali Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Bagus, I Gusti Ngurah. 1979. Perubahan Pemakaian Bentuk Hormat dalam dalam
Masyarakat Bali Sebuah Pendekatan Etnografi Berbahasa (Disertasi Universitas
Indonesia).
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya
(Edisi Revisi). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Sancaya, IDG Windhu. 2004. Bahasa Bali Jagadhita : Bahasa Budaya dan
Pengetahuan. Denpasar : Pustaka Bali Post
63
Simpen, I Wayan. Sopan Santun Berbahasa Masyarakat Sumba Timur. Denpasar :
Pustaka Larasan dan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur.
Suasta, Ida Bagus Made. dkk. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali.
Denpasar : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dengan Badan Pembina Bahasa,
Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua Metode dan Aneka Teknik
Pengumpulan Data. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan Secara Linguistis. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.
2. Artikel lainnya tentang bahasa Bali
SAPAAN DALAM TUTURAN BAHASA BALI TERKAIT STRATIFIKASI
SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI MERUJUK KUASA DAN
SOLIDARITAS
KAJIAN SOSIOPRAGMATIK
I Ketut Tika1), I Made Suastra2), Ni Luh Nyoman Seri Malini3), I Made Sena
Darmasetiyawan4)
1)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana
08123828909, [email protected] 2)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 3)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 4)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai kuasa dan solidaritas yang
ditunjukkan tuturan beserta sapaan dalam bahasa Bali berkaitan dengan stratifikasi
sosial pada masyarakat Bali. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif pendekata
kualitatif yang mengutamakan tuturan spontan sebagai data. Adapun hasil penelitian
yang ditemukan yaitu sapaan atau panggilan merujuk pada nilai kuasa pada tuturan
penutur yang memiliki status sosial tinggi dengan petutur yang berstatus sosial lebih
rendah, tuturan penutur berjenis kelamin laki-laki dengan petutur perempuan, dan
tuturan penutur berumur lebih tua dengan petutur lebih muda, sedangkan hubungan
sosial yang mendekatkan antar individu dalam interaksi komunikasi menunjukkan
adanya solidaritas dan cenderung mengendurkan pengaruh status sosial.
Kata Kunci: sapaan, stratifikasi sosial, kuasa, solidaritas
Abstract
The aim of this research is to know the power and solidarity value which are
shown on Balinese utterances include the address terms in it which relate to social
stratification in Balinese people. This research is descriptive research with qualitative
approach which feature spontaneous utterances as the data. The finding in this
research are the address term in Balinese utterances refer to power value that are
64
found on higher social status’ utterance with low status social’s, men’s utterances
against women’s utterances, and old people’s utterances have more power value
against the younger. Meanwhile, social relation which is strengthening certain people
tend to be loosen on social status influence which is represented on Balinese
utterances too.
Kata Kunci: address terms, social stratification , power, solidarity
1. Pendahuluan
Interaksi komunikasi antar individu dalam komunitas tertentu memberikan
ruang pada perkembangan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi yang
dipengaruhi lingkungan sosial termasuk latar belakang penutur dan petutur yang
terlibat di dalamnya. Latar belakang penutur dan penutur yang dimaksud yaitu
stratifikasi sosial, jenis kelamin, dan umur. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan-
tuturan yang diucapkan dalam percakapan khususnya sapaan-sapaan yang juga dapat
menunjukkan adanya nilai kuasa dan solidaritas. Dalam penelitian ini bukan hanya
sapaan berupa leksikon saja yang dikaji tetapi kalimat yang mengandung sapaan yang
dikaji sehingga komponen seluruh kalimat dapat memberi informasi secara utuh untuk
mengetahui perkembangan sosial mellui bahasa yang digunakan khususnya bahasa
Bali yang dipengaruhi stratifikasi sosial, umur, dan jenis kelamin penutur maupun
petutur. Stratifikasi sosial di lingkungan sosial masyarakat Bali masih terjaga
walaupun sudah mengendur karena sistem di masyarakat yang sudah mulai
menyamaratakan kedudukan, bahasa Bali yang digunakan bahasa pergaulan dan
dinamis. Akan tetapi, tanda stratifikasi sosial masih menjadi faktor yang berpengaruh
dalam penggunaan bahasa adanya sapaan dalam tuturan-tuturan saat terlibat
percakapan. Setiap bahasa dapat menunjukkan adanya tanda atau rujukan nilai kuasa
dan solidaritas yang tidak hanya ditunjukkan penggunaan sapaan Tu dan Vous saja
tetapi pemilihan sapaan pada nama depan, namanya saja, nama gelar, dan nama
keluarga (Hudson, 2001: 123). Stratifikasi masyarakat tradisional di Bali ada dua
golongan yaitu Tri Wangsa dan Jaba. Golongan Tri Wangsa dapat dibagi lagi menjadi
Brahmana, Ksatria, dan Wesia, sedangkan golongan jaba terdiri atas golongan
masyarakat pada umumnya di luar golongan Tri Wangsa. Berbeda dengan stratifikasi
sosial tradisional, stratifikasi modern menggolongkan pekerjaan dan gelar pendidikan
sebagai pembeda status sosial. Selain stratifikasi sosial, faktor umur dan jenis kelamin
juga dapat memengaruhi penggunaan bahasa khususnya tingkatan-tingkatan tutur
bahasa Bali. Nilai kuasa dan solidaritas dapat dibedakan juga dari penggunaan bahasa
penutur dan petutur dan melibatkan faktor lain lagi seperti tingkat formalitas yang
terkait dengan hubungan personal antara penutur dan petutur sehingga perbedaan
signifikan terlihat antara tuturan yang mengandung nilai kuasa dan nilai solidaritas.
Berdasarkan paparan pendahuluan tersebut penelitian ini mengangkat dua masalah
untuk dikaji yaitu mengetahui pengaruh stratifikasi sosial, umur, dan jenis kelamin
pada penggunaan bahasa Bali di masyarakat Bali dan menemukan nilai kuasa dan
solidaritas pada tuturan bahasa Bali dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat Bali.
2. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Observasi partisipasi dan teknik elisitasi digunakan dalam pengumpulan data yaitu
peneliti ikut berpartisipasi dalam komunitas tutur bahasa Bali yang bertujuan untuk
65
mendapatkan data lisan dan spontan (Labov 1972b: 102-11). Dalam pengumpulan
data lebih mengkhusus menggunakan sampel purposif yaitu memilih sampel sesuai
karakter masalah dalam penelitian ini (Hadi, 183:83). Data yang dikumpulkan berupa
tuturan informan terkait yang direkam perekam dan transkripsi tuturan tersebut
diklasifikasikan berdasarkan tingkat tutur dengan variabel jenis kelamin, umur, dan
status sosial serta beberapa ranah terjadinya interaksi komunikasi. Pada tahap
penyajian hasil analisis data, metode yang digunakan adalah metode formal dan
informal. Metode formal merupakan metode perumusan dengan tanda-tanda dan
lambang sedangkan metode informal merupakan metode dengan perumusan yang
menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145).
3. Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh, hasil penelitian yang ditemukan dibahas
lebih rinci seperti berikut ini.
3.1 Tuturan Bernilai Kuasa
Contoh dari tuturan bernilai kuasa adalah tuturan-tuturan bahasa Bali dalam
suatu percakapan yang melibatkan perbedaan umur, perbedaan jenis kelamin, dan
perbedaan status sosial baik tradisional maupun modern yang dijelaskan sebagai
berikut.
Ngurah : Punapi gatra Gung Aji?
Anak Agung Wira : montoan gen Rah (1)
Percakapan (1) adalah percakapan antara teman seumuran yang sama-sama
tergolong dalam golongan Tri Wangsa tetapi petutur memiliki status sosial lebih
tinggi. Percakapan ini terjadi dalam keadaan normal dalam artian tidak melibatkan
emosi pada situasi tersebut. Penutur menyadari status sosial yang dimiliki sehingga
penutur menggunakan bahasa Bali Alus bertanya kepada petutur. Hal tersebut
menunjukkan adanya hubungan asimetris yang menunjukkan adanya petutur sebagai
pihak kuasa dan penutur sebagai pihak yang terkuasa.
Irma : Jero sampun kalih medue Oka, mriki ke pondok tyang kapah-
kapah
Jero Onik : ae Ma, dua suba, manian nyen melali kene sibuk ngayah dini (2)
Begitu juga percakapan (2), percakapan ini terjadi dalam keadaan normal dan
penutur yang terlibat adalah teman seumuran bahkan teman masa kecil. Akan tetapi,
adanya status sosial yang berbeda membuat penutur menggunakan bahasa Bali Alus
dan menyapa dengan sapaan Jero padahal kedua penutur memiliki umur yang sama
dan hubungan yang dekat.
Wayan Juli : be suud ujian tesis Pik?
Novi : sampun Bli, tuni semeng, Bli pidan?
Wayan Juli : bin a semester Pik (3)
Percakapan (3) melibatkan penutur yang berbeda umur tetapi sama dalam
kedudukan stratifikasi sosial tradisional. Selain itu, keduat penutur juga dalam satu
jenjang pendidikan walaupun berbeda angkatan. Wayan Juli adalah karyasiswa
semester 2 dan Novi adalah karyasiswa semester 4. Dalam percakapan di atas,
penggunaaan bahasa Bali Alus dan sapaan Bli yang digunakan petutur menunjukkan
66
petutur menyadari adanya perbedaan umur dan perbedaan jenis kelamin lawan bicara
khususnya jenis kelamin laki-laki yang dianggap superior. Begitu juga petutur,
penggunaan bahasa yang digunakan menunjukkan petutur menyadari dirinya adalah
pihak kuasa walaupun petutur juga menyadari adanya perbedaan tingkat dalam
jenjang pendidikan.
Biyang Tude : niki sampun ten uning napi, nyeh mepreksa Dok
Dokter Made : sing dadi nyeh Bu, penting yen suba ada gejala (4)
Pecakapan (4) melibatkan kedua penutur yang memiliki jenis kelamin yang
berbeda yaitu laki-laki dan perempuan, perbedaan status sosial modern dalam hal ini
pekerjaan penutur adalah pedagang dan petutur adalah dokter, dan perbedaan umur
penutur yang lebih tua dari petutur. Stratifikasi sosial modern digolongkan
berdasarkan pekerjaan dan jenjang pendidikan membuat perubahan pada sistem
hierarki di dalam kehidupan masyarakat Bali pada masa sekarang. Penutur yang
tergolong ke dalam golongan Tri Wangsa menjadi pihak terkuasa yang ditunjukkan
penggunaan bahasa Bali Alus kepada petutur yang bukan golongan Tri Wangsa tetapi
berprofesi sebagai dokter yang dianggap memiliki status sosial lebih tinggi sesuai
penggolongan stratifikasi sosial modern. Faktor umur yang lebih tuapun tidak
diperhitungkan lagi.
3.2 Tuturan Bernilai Solidaritas
Selain tuturan bernilai kuasa, tuturan bernilai solidaritas juga menggunakan
tuturan-tuturan bahasa Bali dalam percakapan bahasa Bali dan dipaparkan sebagai
berikut.
Gung Putra : Kene Hp usak, kal meli baru gen
Putu Wiyana : De lebian ngeluh Gung, biasaang (5)
Percakapan (5) adalah percakapan yang melibatkan penutur yang memiliki
status sosial lebih tinggi dari petutur sesuai penggolongan stratifikasi sosial
tradisional. Kedua penutur menggunakan bahasa Bali Kepara yang tidak tergolong
halus maupun kasar. Bahasa tersebut sering digunakan dalam pergaulan di lingkungan
masyarakat Bali. Hubungan yang dekat antarpenutur membuat rasa solidaritas
keduanya lebih erat sehingga kedudukan yang berbeda sesuai stratifikasi sosial
tradisional di Bali tidak diperhitungkan lagi walaupun tetap menggunakan sapaan
yang menunjukkan gelar atau perbedaan status sosial. Hal tersebut ditunjukkan dari
penggunaan bahasa Bali Kepara yang digunakan keduanya.
Agung Supadmi : Atu adi mare teka?
Ida Bagus Suanda : Mare uli Bukit Bu Gung, kenyel (6)
Pecakapan (6) melibatkan kedua penutur yang seumuran tetapi memiliki status
sosial yang berbeda, status sosial petutur lebih tinggi dari penutur, dan percakapan ini
terjadi di ranah kantor. Seperti percakapan (5), penutur dalam percakapan (6)
menggunakan bahasa Bali biasa dan tetap menggunakan sapaan sesuai gelar yang
menunjukkan status sosial tradisionalnya. Kedua penutura yang terlibat memiliki
hubungan yang dekat karena sudah belasan tahun bekerja sama dalam satu kantor
sehingga status sosial tidak dipermasalahkan yang ditunjukkan dari penggunaan
bahasa Bali biasa dari kedua penutur.
67
4. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, perilaku berbahasa yang ditunjukkan penutur dan petutur dalam tuturan yang
mengandung nilai kuasa menunjukkan perilaku berbahasa yang asimetris, yaitu pihak
yang memiliki kedudukan lebih tinggi, umur lebih tua, dan berjenis kelamin laki-laki
sebagai pihak penguasa sedangkan pihak yang berkedudukan lebih rendah sebagai
pihak terkuasa. Implikasinya adalah tuturan pihak terkuasa lebih santun dengan
menggunakan bahasa Bali Alus dan menyapa dengan gelar Tri Wangsa atau gelar
pekerjaannya. Kedua, perilaku berbahasa berbeda ditunjukkan tuturan penutur dan
petutur yang mengandung nilai solidaritas. Hubungan yang dekat memengaruhi
perilaku berbahasa penutur dan petutur yang ditunjukkan dari penggunaan bahasa Bali
biasa bahkan kepara walaupun tidak lupa menggunakan sapaan sesuai gelar Tri
Wangsa yang dimiliki.
5. Daftar Pustaka
Hadi, Sutrisno. 1983. Metodologi research I. Yogyakarta: UGM Press.
Labov, W. 1972(b). Some principles of linguistic methodology. Language in Society
1, 97- 120.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya
(Edisi Revisi). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Jogjakarta : Gadjah Mada University
Press.
68
LAMPIRAN 6: CATATAN HARIAN (LOG BOOK)
Catatan Harian (Log Book):
Kegiatan Hibah : PNBP
Judul Kegiatan : Bahasa dan Kategori-Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada
Rumpun Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat
NO TANGGAL
PELAKSANAAN URAIAN KEGIATAN
JUMLAH DANA
TERPAKAI
PERSENTASE
PELAKSANAAN BERKAS
1. 21 Mei 2015 Penandatanganan Kontrak
Print, Fotokopi, dan Jilid
Proposal Penelitian: Rp.
130.000,-
Bensin: Rp. 75.000,-
80%
2. 29 Mei 2015 Rapat Tim Peneliti Inti: Membahas tentang
kelanjutan dari proposal penelitian
Konsumsi Rapat: Rp.
75.000,- 20%
3. 12 Juni 2015
Rapat Tim Peneliti Inti: Membahas tentang
persiapan penelitian lapangan, dan segala prosedur
(administratif) yang diperlukan
Konsumsi Rapat: Rp.
75.000,- 40%
4. 26 Juni 2015 Rapat Tim Peneliti Inti dengan asisten peneliti
untuk wilayah Lombok (Bahasa Sasak) Snack Rapat: Rp. 50.000,- 60%
5. 10 Juli 2015 Rapat Tim Peneliti Inti dengan asisten peneliti
untuk wilayah Bali (Bahasa Bali) Snack Rapat: Rp. 60.000,- 80%
6. 15 Juli 2015
Rapat Tim Peneliti dengan seluruh tim lapangan:
membahas tentang persiapan penelitian ke
lapangan, yang meliputi batasan, ranah,
kelengkapan-kelengkapan teknis, dan instrumen
kuesioner yang dipakai sebagai bahan penelitian
lapangan
Snack Rapat: Rp. 90.000,-
Konsumsi Rapat: Rp.
225.000,-
80%
69
7. 23 Juli 2015 Persiapan Penelitian Lapangan
ATK: Rp.173.000,-
Tinta dan Flashdisk: Rp.
2.230.000,-
Obat-Obatan: Rp. 65.800,-
Print dan Fotokopi Instrumen
Penelitian: Rp.17.500,-
50%
8. 24 Juli 2015
Penelitian Lapangan Lombok (Hari Pertama)
Tim berangkat ke Lombok
menemui informan Dr. Muhammad Sukri,
S.Pd. M.Hum, Sekretaris Program Studi S-2
Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas
Negeri Mataram (UNRAM), yang berada di
daerah pusat kota Mataram, Lombok Barat,
terutama untuk melihat referensi-referensi
yang berkaitan dengan penggunaan tingkat
tutur bahasa sasak yang telah dipublikasikan
Tim menuju sekitaran Lombok Barat untuk
melihat penggunaan bahasa Sasak di ranah
pasar daerah yang menggunakan dialek Meno-
Mene, yaitu daerah Narmada dan Ampenan,
selain itu juga tim ke rumah-rumah untuk
mengamati tingkat tuturan yang terjadi dalam
ranah keluarga. Pengambilan data dilakukan
dengan cara wawancara dan kuesioner.
Tiket Kapal: Rp. 390.000,-
Sewa Kendaraan (3 hari): Rp.
1.650.000,-
Makan pagi: Rp. 67.000,-
Makan siang: Rp. 80.000,-
Makan malam: Rp. 66.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
148.000,-
Fotokopi bahan pustaka: Rp.
37.500,-
70%
9. 25 Juli 2015 Hari Kedua Makan pagi: Rp. 82.000,- 70%
70
menuju kantor Beraim,
kecamatan Peraya Tengah Lombok Tengah
untuk mengamati tingkatan tuturan dalam ranah
perkantoran khususnya antara atasan dan
bawahan dalam dialek Meno-Mene bahasa sasak
Lombok.
penelitian dilanjutkan dengan ke
rumah-rumah penduduk, di desa Ketejer,
kecamatan Praya dan di daerah Penujak,
bertemu beberapa informan, untuk mendapatkan
informasi tentang bahasa sasak khususnya dialek
Meno-Mene, dan juga tingkat tutur penggunaan
bahasa Sasak terutama di kalangan bangsawan
(Lalu dan Baiq)
Makan siang: Rp. 132.000,-
Makan malam:Rp. 115.500
Snack dan Minuman: Rp.
27.500
10. 26 Juli 2015
Hari Ketiga
Tim melakukan pengambilan
data di sekitaran Lombok Timur, melalui
wawancara dan kuesioner, khususnya untuk
melihat penggunaan bahasa Sasak di ranah rumah
tangga dan tetangga
Tim melanjutkan perjalanan
kembali ke Denpasar
Makan pagi: Rp. 62.000,-
Makan siang: Rp. 78.000,-
Makan malam: Rp. 37.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
23.000,-
Penginapan: Rp. 1.800.000,-
Tiket Kapal: Rp. 390.000,-
70%
11. 27 Juli – 1
Agustus 2015 Transkripsi dan Tabulasi Data Bahasa Sasak
80%
71
12. 30 Juli 2015
Penelitian lapangan Tim Bahasa Bali (setelah libur
panjang Galungan dan Kuningan) – Hari Pertama
Tim bergerak ke kantor-kantor
di sekitaran Denpasar untuk melihat
penggunaan bahasa Bali dalam ranah kantor
Kemudian, tim juga
mengumpulkan data dari sumber data
tertulis, dan referensi-referensi sejenis,
seperti novel, tresnane lebur ajur santonden
kembang karya Djelantik Santha (1981)
Pustaka Ekspresi Tabanan
Sewa Alat Rekam: Rp.
700.000,-
Bensin: Rp. 20.000,-
Makan siang: Rp. 63.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
58.000,-
Pulsa Telp dan Modem: Rp.
339.000,-
Fotokopi dan Jilid Bahan
Pustaka: Rp. 92.900,-
70%
13. 31 Juli 2015
Hari Kedua
Tim bergerak ke rumah-rumah
di seputaran Denpasar dan sekitaranya untuk
melihat penggunaan bahasa Bali dalam
ranah keluarga dan tetangga.
Makan pagi: Rp. 34.000,-
Makan siang: Rp. 60.000,-
Snack dan Minuman:Rp.
44.600,-
Bensin: Rp. 44.000
70%
14. 1 Agustus 2015
Hari Ketiga
Tim bergerak ke sekitaran pasar-
pasar tradisional di Denpasar dan sekitarnya
untuk penggunaan bahasa Bali dalam ranah
pasar
Tim a menuju ke daerah
Tabanan, yaitu di sekitaran desa Jegu,
Penebel, untuk melihat penggunaan bahasa
Bali baik itu di ranah keluarga, pasar,
maupun agama
Sewa Kendaraan: Rp.
400.000,-
Bensin: Rp. 200.000,-
Makan pagi: Rp. 39.000,-
Makan siang: Rp. 120.000,-
Makan malam: Rp. 42.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
22.000,-
70%
15. 2 Agustus 2015 Hari Keempat
Tim bergerak ke sekitaran banjar
Bensin: Rp. 150.000,-
Makan pagi: Rp. 54.000,- 70%
72
(seka truna), dan pura di sekitaran Denpasar
dan sekitarnya untuk melihat penggunaan
bahasa Bali dalam ranah agama dan Adat
Kemudian, tim bergerak ke
daerah Tabanan dan sekitarnya, yaitu di
sekitaran desa Tunjuk, dan Susut untuk
melihat penggunaan bahasa Bali baik itu di
ranah keluarga, tetangga maupun agama.
Makan siang: Rp. 55.000,-
Makan malam: Rp. 60.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
20.500,-
Fotokopi dan Jilid Bahan
Pustaka: Rp. 163.100,-
16. 3- 11 Agustus
2015
Transkripsi dan Analisis data awal baik itu data dari
bahasa Sasak maupun Bali
Fotokopi dan Jilid Bahan
Pustaka: Rp. 296.500,-
Pendaftaran SENASTEK:
Rp. 900.000,-
Honor Pembantu Peneliti:
5 x Rp. 750.000,-
= Rp. 3.750.000,-
80%
17. 12 Agustus 2015
Rapat Seluruh Tim Peneliti, membahas tentang
analisis data awal, dan penyusunan laporan
kemajuan
Snack Rapat: Rp. 90.000,-
Konsumsi Rapat: Rp.
225.000,-
Fotokopi Tabulasi dan
Analisis data awal: Rp.
137.500,-
Honor Tabulasi Data
5xRp. 450.000,-
= Rp. 2.250.000,-
80%
18. 13 – 5 September
2015
Penyusunan laporan kemajuan, catatan harian, dan
laporan penggunaan anggaran.
Print, Fotokopi, dan Jilid
laporan kemajuan awal: Rp.
137.500,-
Pajak: Rp. 1.740.000,-
80%
73