1
Bahasa, Sastra, Budaya Rakyat Sultra 5 SABTU, 6 Februari 2016 & & KERJA SAMA KANTOR BAHASA PROVINSI SULAWESI TENGGARA DAN HARIAN RAKYAT SULTRA perempuan adalah rumah dengan pintu mempesona itu kenapa laki-laki dicipta dengan anak kunci yang bisa ia pakai untuk pintu di setiap rumah kata ibu di sebuah rabu pagi sambil menyisir rambutku wangi kemiri depan cermin tempatku mematut diri dari kamar ibu melambai seorang lelaki seraya memainkan anak kunci yang telah diminyaki ia yang kelak mendobrak pintuku berkali-kali mengempas semua jendela dari tubuhku membiarkan angin seluruh penjuru membeku dalam rahimku bu, demikiankah lelaki dan perempuan dalam amsal pintu dan anak kunci? tak ada kata-kata orang-orang sibuk lalu lalang di atas perutnya para lelaki membangun peradaban dan kota-kota mendirikan bioskop dan gedung teater menonton lakon yang mereka mainkan sendiri memaksa ibu tepuk tangan di kursi paling belakang tempat sisa pesta pora dibekap alkohol dan bau ganja ibu diseret dalam tarian pemanggil hujan kelak menyubur tanah di dadanya tapi waktu tak bergerak mundur berjalan sia-sia Ibu, demikiankah sebuah adagium? kenapa diam saja? tubuh ibu menjelma kepingan para buruh dan seniman menyusunnya dalam kreasi kolase tembok-tembok, pasar, dan aneka jual beli lahir dari kematian ibu yang puitis di situ gadis desa bercermin dan bermimpi tentang hari tua yang berakhir di keringat para pekerja perempuan adalah rumah dengan pintu mempesona laki-laki akan suka membukanya dengan anak kunci sekalipun yang telah patah. atau mereka akan memaksa segerombol pemburu pernah bertamu ke rumahku sekadar melumur tongkat mereka dengan darah yang dipilih ketua arak dan lendir jadi satu ludah dan peluh kemudian padu mereka menanam apa saja di perutku memetik buah yang diharamkan para tuhan membabat kecambah yang belum lagi tumbuh aku menoleh ke utara telah rindang pohon di atas kuburan tempat ibu pernah ditanam perantau dan pelancong singgah minum di kedai-kedai hilir mudik di atas luka punggungku sesekali sembahyang di hari minggu mengunjungi pastor dengan roti dan secawan anggur muram diperah dari keringatku masam sebagian beribadah di jumat siang mendengar khotbah tentang dongeng surgawi yang airnya bening mengalir dari mataku sejak itu pintu rumahku tak pernah tertutup Kendari, Januari 2-16 Memanggil Ayodya dalam pagi yang begini rupa angin tenggara melesap dalam sarung yang kita kenakan berdua gigilnya berubah hangat yang bara kita berdesah matahari di atap rumah kita bukankah yang itu-itu juga terbit-terbenam dalam lintasan ubun-ubun menyaksikan kisah-kisah turun-temurun sejak doa-doa dirapal para moyang angin gunung dan aum lolong menggaruki sarung kita setiap subuh berahi dan ibadah mengurung kita dari setubuh ke setubuh Ayodya, tentram hidup orang desa seperti ini hanya diselingi sedikit cekcok suami istri ketika senja menyentuh bentang pematang kita kembali menuai percakapan yang matang Gedung Margono UGM, November 2015 PUISI Sebuah lembaga politik memubli- kasikan slogan politiknya yakni “Siap Merubah Keadaan”. Tidak lama kemudian, di facebook mun- cul status sindiran, sebelum me- lakukan perubahan harus terlebih dahulu mengganti kata “merubah” menjadi “mengubah”. Komen- tar yang mengalir di bawah status tersebut menjadi sebuah ejekan terhadap visi perubahan sang lem- baga politik yang diramu dalam bahasa yang ketar-ketir. Mengapa “mengubah” bu- kan “merubah”, sebab kata dasarnya adalah “ubah” bukan “rubah”. Kata dasar “ubah” ke- tika mendapatkan awalan “me” sebagai prefiks, maka akan berubah menjadi “mengubah” bukan “merubah”. Cara dan sikap berbaha- sa seseorang atau sebuah lem- baga mencerminkan pengeta- huan dan daya bacanya. Sese- orang yang hanya mahir dalam berbincang dan bergosip misal- nya, akan keteteran jika me- nuangkan percakapannya ke dalam media tulis. Akhirnya, kata “merubah” tersebut adalah cerminan lemah dan rapuhnya pemahaman bahasa seseorang, yang seperti rubah, logika ber- pikir dan berbahasanya melon- cat-loncat tidak karuan. Tentu- nya Anda tidak ingin seperti ru- bah, kan? Olehnya itu, mari kita mengubah “si rubah” berbaha- sa kita. ** INFO LINGUA Mengubah “Si Rubah” - La Ode Gusman Nasiru - Perihal Pintu dan Anak Kunci lapangan kebudayaan tersebut, sastra menjadi oase sekaligus candradimuka ide, sehingga lahirlah cipta sastra yang kri- tis, religius, universal, dan bah- kan mengguncang. Pada era masyarakat terbuka (open socie- ty) ketika yang global menjadi konsumsi lokal dan sebaliknya yang lokal sebegitu cepatnya melejit menjadi peristiwa glo- bal, jati diri sebuah kota menja- di sangat menentukan. Media dan lembaga menjadi jemba- tan praktis sekaligus strategis di dalam menyuarakan setiap peristiwa, gagasan, dan makna dari sebuah kota. Kota Kendari dan Provin- si Sulawesi Tenggara menja- di bagian yang tidak terpisah- kan dari fenomena tersebut. Sebuah pertanyaan mendesak. Apa sumbangsih kaum mu- danya bagi perkembangan dan kemajuan daerahnya? Sejak lima sampai sepuluh tahun terakhir kaum muda Ken- dari yang didukung generasi yang lebih tua, berbasis di komu- nitas sastra, bahu-membahu di dalam proses menciptakan kar- ya sastra. Alhasil, beragam kar- ya seperti puisi, novel, cerpen, drama, dan esai ikut mewar- nai denyut perubahan kota. Jika pembangunan yang dicanang- kan pemerintah berorientasi ke infrastruktur belaka, sastra yang merupakan hasil cipta akal budi, imajinasi, dan kontemplasi mem- beri sumbangsih ide, pembang- un jiwa, penyadaran karakter lokal, dan tamasya spiritual yang diramu dalam bahasa sastrawi. Akan tetapi, salah satu kenyataan “khas” gerakan sas- tra di Kendari dan Sulawe- si Tenggara umumnya ada- lah upaya pencarian dan pe- nemuan kaum kreator tersebut nyaris tanpa dukungan peme- rintah daerah. Padahal, mere- ka sudah berjuang sejak awal tahun 1990-an sampai saat ini. Karya para sastrawan Kendari dan Sulawesi Tenggara terse- but sudah menasional, bahkan beberapa sudah diterjemahkan ke bahasa asing. Selain dukungan pemerin- tah daerah yang kurang, terasa pula minimnya ruang di me- dia cetak lokal. Jika pun ada, sifatnya sementara dan tidak digagas secara serius. Dise- but bersifat sementara, karena ia timbul-tenggelam setiap ta- hun, dan dapat tergusur oleh iklan dan berita dari peristiwa politik. Karakter media lokal kita berbeda dengan kenyata- an secara umum setiap media cetak di Indonesia, yang atas prakarsa pihak media, menye- diakan rubrik sastra bagi karya sastrawan di daerahnya. Per- jalanan sastra Indonesia sejak era reformasi, jadinya, tidak dapat dipisahkan dari “sas- tra koran” karena derasnya pe- muatan karya di koran. Setiap koran kemudian merasa tidak lengkap jika tidak menyedia- kan rubrik sastra (puisi, cer- pen, dan esai) dalam satu hala- man penuh, yang tidak pernah tergusur. Fenomena ini mela- hirkan kenyataan, sastra terki- ni Indonesia adalah sastra ko- ran. Tidak hanya itu, kam- pus sebagai lembaga aka- demik belum memperlihat- kan kepedulian dan keterli- batan bagi diskursus sastra di kota ini. Kampus, idealnya menjadi ruang untuk membe- dah, mendiskusikan, memeta- kan, dan mengikuti proses ser- ta kekayaan sastra modern di Sulawesi Tenggara, sehingga pencapaian para sastrawan da- pat diperbincangkan kembali secara keilmuan di sana. Jika bahasa menunjuk- kan bangsa, maka sastra men- jadi jembatan paling sublim untuk menyuarakan jati diri bangsanya. Akan halnya Ken- dari, karya sastra yang dicip- takan telah memperlihatkan kepedulian sastrawannya un- tuk menjadikan lokalitas seba- gai suara “Yang Lain” (the oth- er). The other tersebut begitu penting disuarakan sebab su- ara mayoritas yang kini meng- uasai sistem komunikasi dan media pemberitaan kita adalah laku kehidupan modern yang abai terhadap lokalitas. Pada- hal, dalam kurun waktu yang sangat lama, tradisi dan kearifan lokal telah hidup bersama deng- an masyarakat pendukungnya yang justru tergerus oleh ser- buan kehidupan modern. Banyak puisi dan cerpen, termasuk novel yang dicipta- kan sastrawan Sulawesi Teng- gara, bersumber dari mitolo- gi, kearifan lokal, sejarah lokal, dan peristiwa lokal Sulawesi Tenggara. Mereka tidak seka- dar menyalin (copy paste) atau sekadar latar fisik karyanya, tetapi melakukan pembacaan ulang dan kritis terhadap hal- ihwal yang berkenaan dengan tradisi. Dengan demikian, tradi- si selain sebagai pesan atau mes- sage karya, sekaligus sumber penciptaan kritis bagi sastra. Dengan demikian, kehadir- an sebuah ruang kebudayaan di media massa menjadi mende- sak sifatnya. Ia akan menjadi gelanggang pergumulan krea- tif sastrawan di Sulawesi Teng- gara. Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, ingin men- jadi bagian integral dari upaya memajukan kehidupan sas- tra di daerah yang kaya tradisi lisan dan naskah tertulis sebagai warisan generasi sebelumnya. Kehadiran sebuah rubrik yang mengakomodasi tulisan sas- tra (puisi dan cerpen) serta esai akan menjadi oase yang sesung- guhnya bagi Sulawesi Tengga- ra, di tengah minimnya perha- tian beragam pihak, sebagaima- na yang saya ungkapkan di ba- gian sebelumnya. Itulah sebab- nya, rubrik “Bahasa, Sastra, dan Budaya” ini, lahir! ** Syaifuddin Gani, seorang penyair dan peneliti. Bekerja di kantor Ba- hasa Provinsi Sultra SASTRA, MEDIA, DAN KOTA E S A I SYAIFUDDIN GANI Syaifuddin Gani K reativitas dan pergerakan kaum muda adalah se- buah tanda bahwa di sebuah kota ter- dapat denyutan ga- gasan, kegelisahan, dan pencarian. Kaum muda ada- lah basis utama upaya peruba- han sebab di kepala merekalah diharapkan cita-cita bergolak, sikap kritis, dan segugus nara- si. Perjalanan sejarah, membuk- tikan bahwa Indonesia menjadi bangsa merdeka karena keterli- batan kaum muda, selain mela- wan dan bernegosiasi dengan penjajah, sekaligus menerbitkan ide cemerlang. Jika sebuah kota tiada keterlibatan kaum muda- nya di dalam gerakan kreatif dan masif, niscaya kota tersebut kehilangan daya hidup, jumud, serta dibelit status quo kekuasaan yang dekaden. Kebudayaan adalah la- pangan kreatif yang luas, yang sering menjadi ladang pergu- mulan gagasan kaum muda. Di La Ode Gusman Nasiru lahir di Baubau, 18 Juni 1989. Selain menulis ia juga kini mengajar di Jurusan Sastra Indonesia, FIB, UHO. Puisi- nya termuat di berbagai buku, majalah, dan koran nasional. D ia pernah berjanji padaku untuk tidak lagi lemah. Dia berusaha tegar tiap kali bibirnya gemetar, dan berpura- pura dalam kesibukan yang rumit sedangkan sesuatu mengalir deras ke hatinya. Dapat kulihat dia mengulum senyum dengan menelan ludah pahit. Diam-diam, aku telah membaca garis di wajahnya. Bahkan telah kucatat jejak-jejaknya pada sebatang pohon kamboja yang cabang-cabangnya kukelimkan pita, begitulah caraku turut bersungkawa atas kedukaan. Tetapi tetangga belum surut bertanya dengan kalimat- kalimat lumrah; “kenapa selalu ada purnama di atas atap rumahmu?” −bahwa sebenarnya kami tak akan pernah bersedia menjawab, sebab malam telah jatuh dan purnama tersangkut di sana. Kemudian bincang- bincang lumrah itu menguap jadi senyap begitu saja, tetangga membiasakan diri pada situasi muram yang entah, kami juga demikian berupaya biasa saja. Ketika dia teramat sibuk meniup corong bambu pada tungku api, maka giliranku membawa dupa dan piring tembaga berisi gula putih yang kugeletak di muka pintu kamar, kamar yang kuncinya telah kami lenyapkan berdua. Sebuah kamar yang telah merumuskan nasibnya sendiri. Dia. Ibuku. Apakah Ibu pernah mendengar hujan bernada, seperti langit sedang menangis? Tanyaku pada satu kesempatan lain, dan Ibu mengernyitkan dahi. Beberapa kali kudengar tentang dongeng hujan, sebuah kisah bertutur bahwa bumi adalah perempuan dan hujan adalah air matanya. Ibu tergelak lantas mengucap “kelak kau akan mengerti, mengapa kita terlahir sebagai perempuan” kemudian dia berlalu ke dapur. Dalam semua itu, di batas terakhir yang kumengerti, laki-laki dan perempuan dibedakan oleh tonjolan dan liang. Selebihnya hanya soal nyali. Dan sesungguhnya pemahaman itu bisa jadi penghiburan jika saja tak diasapi oleh kepedihan yang diam-diam menyala dari ingatan masa kanak-kanakku. Dari kebun belakang rumah, aku mendengarkan Ibu melantunkan syair tanpa air mata, tetapi mengapa justru aku yang menelaga lalu kembali berpura-pura sibuk, memungut sapu lidi. Kusapu semua lantai tanah, sarang laba-laba, juga tanaman perdu yang tumbuh di tanah lembab dekat gentong air. Aku menyusulnya ke kebun, kusapu dedaun kering. Sedangkan mataku tak henti-henti mengedip menahan sesuatu. “Ibu, haruskah kita menyesali diri?” “Apa itu ada gunanya?” Percakapan tak selesai, sebab mempertanyakan nasib sama dengan memperburuk rupa. Rupa yang sudah lama tak berpupur dan bergincu. Rupa yang mabuk oleh asap dupa saat bulan purnama. Rupa yang tidak mengenali buku-buku teologi. Rupa yang menyimpan pemahaman melahirkan dan menyusui. Rupa yang telah menanam jasad lelaki di kamar terkunci. “Bu, haruskah aku membenci ayah” “Kau tak harus benci, kau hanya harus melupakannya” “Aku akan berpura-pura melupakannya” “Itu tidak terlalu buruk, bukan?” Setelah tahun-tahun berlalu dengan upaya menepis - Deasy Tirayoh - Purnama di Atap Rumah CERPEN canggung, di kala yang berbeda, Ibu memangku kepalaku untuk dielusnya. Diceritakannya dongeng yang menarik, sementara aku masih was-was dengan pendengaranku, jika saja, ya jika saja Ibu tak kuasa membendung ingatannya untuk menyerempet pada sebuah kisah. Kulihat matanya sedikit terpejam, pada detik ini aku mengkhidmati suara lirihnya dan teramat dekat dengan tangisan. Ibu menahan, aku merasakan degupnya yang kentara. Tangan Ibu mengelus dahiku, dan pekat malam kian merambat dari udara dingin yang kami hirup berdua di beranda. Tetangga tak ada yang lewat, barangkali karena gerimis telah turun, sedang bulan redup di atap rumah kami. Atas keinginannya sendiri, Ibu mengisahkan sebuah dongeng yang apik namun terkesan satir bagiku. Bahwa, ketika bulan menjadi penuh, ia akan menjelma jendela raksasa di langit. Maka arwah-arwah yang telah meninggalkan dunia fana, akan menengok ke jendela itu untuk melihat ke bumi. Melihat jasadnya yang terkubur. Melihat apa-apa yang mereka tinggalkan sebagai kerinduan atau penyesalan. Hujan makin deras, dongeng Ibu terhenti, sebab rasa dingin menusuk melalui udara basah dan ada baiknya kami masuk ke rumah untuk beristirahat. Sebelum ke kamar tidur, aku melintasi kamar terkunci dan terhenti beberapa saat untuk kembali menuntaskan dongeng Ibu sebagai tafsiran yang tak kelar, mataku menerawang menembusi segenap yang terkunci di balik sana, kendati malam ini bulan tak penuh, bulan belum purnama. Adakah sesuatu di dalam sana tengah dirindui atau disesali? Dan Ibu tak tahu, atau pura-pura tak mau tahu, mengenai aku yang menyimpulkan pita tiap kali mendapatinya tengah menutupi nelangsa ---kami menyembunyikan nelangsa, tepatnya. Dan pita-pita itu telah berkerumun menutupi pokok dan dahan kamboja. Saat kukatakan bahwa hal itu kulakukan sebagai penanda waktu, ibu cuma mengamini. barangkali baginya aku tengah bermain saja. Kini, Sisa pita masih banyak namun Ibu sudah tak terlihat bersedih. Sama sekali tidak. Ibu kini berseri- seri. Aku pun terbawa. Pokok kamboja tumbuh meninggalkan kelima pita di dasar dahan, betapa semua bertumbuh dan berlalu. Sisa pita yang masih banyak kubuat boneka perca, kugantungkan di jendela. Kusebut Boneka Pemanggil Hujan. Karena ketika boneka tergoyang oleh angin, langit di atap rumahku mendung. Maka setelah kugeletak dupa dan piring tembaga di muka pintu kamar terkunci, aku bergegas mendengarkan hujan bernada dari jendela. Aku jatuh cinta pada hujan, meski ingatanku tak urung mengantarkan kisah rahasia, saat hujan lebat, tengah malam bertahun lalu. Sepulang dari mana, Ayah menampar Ibu yang bertanya, ayah memang sering menyiksa ibu kendati tanpa soal, namun malam itu, ia seperti kerasukan setan murka. Teriakanku tak cukup mampu menghentikan penyiksaannya. Aku menyerapahi Ayah dan memukuli pahanya. Ayah menghempasku jauh, kepalaku membentur sesuatu. Lalu aku tak ingat lagi. Ibuku. Berlumur darah bercampur tanah. Ada gundukan tak rapi dalam kamar, Ibu mengubur ayahku disitu. Kupeluk Ibu yang mematung. Aku masih terlalu mungil untuk mengerti, tapi setidaknya Redaksi menerima kiriman naskah puisi, cerpen, dan esai yang belum pernah dipublikasikan ke pos-el [email protected] aku tahu, sejak malam itu, kami telah merdeka. Lalu mengapa aku harus mencintai hujan? Bahkan sebenarnya nada-nada dari hujan tak pernah benar- benar terdengar. Akulah yang sebenarnya bernyanyi, mengelabui tetes-tetes hujan yang sedang memanggil tetes-tetes airmataku. Akhirnya, kuturunkan boneka pemanggil hujan, seketika hujan pulang ke awan. “Ibu, masihkah tetangga bertanya tentang purnama di atap rumah kita?” “Tidak, mereka mungkin sudah terbiasa dengan itu” “Bolehkah kutaruh bonekaku ke dalam kamar terkunci, bu?” Aku duduk di sebelahnya. Tanpa sepatah kata pun, Ibu menarik tanganku ke telapak tangannya yang dingin, kemudian menempatkan pipinya di atas pangkuanku. Sedang tanganku yang satu, aku menggenggam angin, sekencang-kencangnya kugenggam disertai napasku yang memburu. Ibu memejamkan matanya saat kami bersitatap, tak selang lama, kami menangis bersama. Di desa ini, rumah kami jauh dari keramaian tetangga. Hanya beberapa yang kerap lewat, pulang atau pergi menuruni bukit di belakang rumah. Sekali waktu, ada yang singgah dan menanyakan mengapa ayahmu pergi begitu lama. Dengan ringan kujawab, ia merantau jauh. Jauh sekali. Begitu pula siang ini, seorang perempuan datang menjemput bunga-bunga yang telah dipanen dari kebun kami. “Aku membutuhkan banyak Marigold, karena seorang pejabat negara meninggal dunia dan toko kami menerima banyak pesanan rangkaian bunga dukacita, apa kalian punya?” kami terdiam dengan wajah yang bertanya, ia meneruskan, “sejenis kenikir”. Aku menunjukannya ke belakang rumah, dan di sanalah bunga-bunga itu tumbuh sebagai pagar. Sebelum pergi, perempuan itu bertanya lagi. “Suamimu belum pulang juga? Kau sudah harus memikirkan penggantinya saja” Ibu menggeleng dan tersenyum alakadarnya untuk pertanyaan kedua. Saat mobilnya menjauh kami segera ke kebun di belakang rumah. Hening wajah kami menatapi warna-warni. Tak banyak yang keluar sebagai kata-kata saat kami membersih dan memupuki tanah. Ibu hanya sekali mengucap kalimat, bahwa serumpun tanaman di pagar itu ternyata punya nilai dan makna. Untuk itu aku menimpali dengan tanda tanya yang sontak menuai hening panjang di antara kami, bernilai jika ada upacara kedukaan? Jika saja tak ada tetangga yang lewat dan sekadar menyapa, entah kejadian apa yang bisa memecah hening itu. Sesaat ibu dan tetangga yang tengah berjalan itu saling bersahutan tentang musim hujan dan lain-lain, aku memutuskan untuk menghampiri pagar, menghampiri rerimbun nilai dan makna yang baru aku ketahui sore ini. Lalu memetiknya satu. Dari arah belakang, aku mendengar langkah ibu. Belum sempat aku menoleh, Ibu telah memelukku. Berpuluh-puluh kali dia mengucap maaf padaku. Kami menangis setelah bertahun-tahun saling mengingkari kesedihan diri. Ibuku mungkin bukanlah peri baik hati, tetapi cukuplah bagiku saja yang melihatnya begitu. Malam berikutnya, langit terang benderang, ada purnama di atap rumah. Boneka perca aku taruh di muka pintu kamar terkunci, sementara Ibu menyalakankan dupa, kuletakkan sekuntum Marigold di piring tembaga. ** Deasy Tirayoh adalah seorang penulis dan ibu rumah tangga yang bermukim di Kendari. Bersama sahabatnya bergiat di komunitas Rumah Andakara.

Bahasa, Sastra, Budaya · sebagian beribadah di jumat siang ... bukan “merubah”. Cara dan sikap berbaha ... melejit menjadi peristiwa glo ihwal yang berkenaan dengan

  • Upload
    ngokhue

  • View
    234

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bahasa, Sastra, Budaya · sebagian beribadah di jumat siang ... bukan “merubah”. Cara dan sikap berbaha ... melejit menjadi peristiwa glo ihwal yang berkenaan dengan

Bahasa, Sastra, Budaya Rakyat Sultra 5SABTU, 6 Februari 2016&&

KERJA SAMA KANTOR BAHASA PROVINSI SULAWESI TENGGARA DAN HARIAN RAKYAT SULTRA

perempuan adalah rumah dengan pintu mempesonaitu kenapa laki-laki dicipta dengan anak kunci yang bisa ia pakai untuk pintu di setiap rumah

kata ibu di sebuah rabu pagisambil menyisir rambutku wangi kemiridepan cermin tempatku mematut diri

dari kamar ibu melambai seorang lelakiseraya memainkan anak kunci yang telah diminyakiia yang kelak mendobrak pintuku berkali-kalimengempas semua jendela dari tubuhkumembiarkan angin seluruh penjurumembeku dalam rahimku

bu, demikiankah lelaki dan perempuandalam amsal pintu dan anak kunci?

tak ada kata-kataorang-orang sibuk lalu lalang di atas perutnyapara lelaki membangun peradaban dan kota-kotamendirikan bioskop dan gedung teatermenonton lakon yang mereka mainkan sendirimemaksa ibu tepuk tangan di kursi paling belakangtempat sisa pesta pora dibekap alkohol dan bau ganjaibu diseret dalam tarian pemanggil hujan kelak menyubur tanah di dadanyatapi waktu tak bergerak mundurberjalan sia-sia

Ibu, demikiankah sebuah adagium?kenapa diam saja?

tubuh ibu menjelma kepinganpara buruh dan seniman menyusunnya dalam kreasi kolasetembok-tembok, pasar, dan aneka jual belilahir dari kematian ibu yang puitisdi situ gadis desa bercermin dan bermimpitentang hari tua yang berakhir di keringat para pekerja

perempuan adalah rumah dengan pintu mempesonalaki-laki akan suka membukanya dengan anak kuncisekalipun yang telah patah. atau mereka akan memaksa

segerombol pemburu pernah bertamu ke rumahkusekadar melumur tongkat merekadengan darah yang dipilih ketua arak dan lendir jadi satuludah dan peluh kemudian padu

mereka menanam apa saja di perutkumemetik buah yang diharamkan para tuhanmembabat kecambah yang belum lagi tumbuhaku menoleh ke utaratelah rindang pohon di atas kuburantempat ibu pernah ditanam

perantau dan pelancong singgah minum di kedai-kedaihilir mudik di atas luka punggungkusesekali sembahyang di hari minggumengunjungi pastor dengan roti dan secawan anggur muramdiperah dari keringatku masamsebagian beribadah di jumat siangmendengar khotbah tentang dongeng surgawiyang airnya bening mengalir dari mataku

sejak itu pintu rumahku tak pernah tertutup

Kendari, Januari 2-16

Memanggil Ayodyadalam pagi yang begini rupaangin tenggara melesap dalam sarung yang kitakenakan berduagigilnya berubah hangat yang barakita berdesah

matahari di atap rumah kita bukankah yang itu-itu jugaterbit-terbenam dalam lintasan ubun-ubunmenyaksikan kisah-kisah turun-temurun

sejak doa-doa dirapal para moyangangin gunung dan aum lolongmenggaruki sarung kita setiap subuhberahi dan ibadah mengurung kita dari setubuh ke setubuh

Ayodya, tentram hidup orang desa seperti inihanya diselingi sedikit cekcok suami istriketika senja menyentuh bentang pematangkita kembali menuai percakapan yang matang

Gedung Margono UGM, November 2015

Puisi

Sebuah lembaga politik memubli­kasikan slogan politiknya yakni “Siap Merubah Keadaan”. Tidak lama kemudian, di facebook mun­cul status sindiran, sebelum me­lakukan perubahan harus terlebih dahulu mengganti kata “merubah” menjadi “mengubah”. Komen­

tar yang mengalir di bawah status tersebut menjadi sebuah ejekan terhadap visi perubahan sang lem­baga politik yang diramu dalam bahasa yang ketar­ketir.

Mengapa “mengubah” bu­kan “merubah”, sebab kata dasarnya adalah “ubah” bukan

“rubah”. Kata dasar “ubah” ke­tika mendapatkan awalan “me” sebagai prefiks, maka akan berubah menjadi “mengubah” bukan “merubah”.

Cara dan sikap berbaha­sa seseorang atau sebuah lem­baga mencerminkan pengeta­

huan dan daya bacanya. Sese­orang yang hanya mahir dalam berbincang dan bergosip misal­nya, akan keteteran jika me­nuangkan percakapannya ke dalam media tulis. Akhirnya, kata “merubah” tersebut adalah cerminan lemah dan rapuhnya

pemahaman bahasa seseorang, yang seperti rubah, logika ber­pikir dan berbahasanya melon­cat­loncat tidak karuan. Tentu­nya Anda tidak ingin seperti ru­bah, kan? Olehnya itu, mari kita mengubah “si rubah” berbaha­sa kita. **

Info LInguaMengubah “Si Rubah”

­ La Ode Gusman Nasiru ­

Perihal Pintu dan Anak Kunci

lapangan kebudayaan tersebut, sastra menjadi oase sekaligus candradimuka ide, se hingga lahirlah cipta sastra yang kri­tis, religius, universal, dan bah­kan mengguncang. Pada era masyarakat terbuka (open socie-ty) ketika yang glo bal menjadi konsumsi lokal dan sebaliknya yang lokal sebegitu cepatnya melejit menjadi peris tiwa glo­bal, jati diri sebuah kota menja­di sangat menentukan. Media dan lembaga menjadi jemba­tan praktis sekaligus strategis di dalam menyuarakan setiap peristiwa, gagasan, dan makna dari sebuah kota.

Kota Kendari dan Provin­si Sulawesi Tenggara menja­di bagian yang tidak terpisah­kan dari fenomena tersebut. Sebuah pertanyaan mendesak. Apa sumbangsih kaum mu­danya bagi perkembangan dan kemajuan daerahnya?

Sejak lima sampai sepuluh tahun terakhir kaum muda Ken­dari yang didukung generasi yang lebih tua, berbasis di komu­nitas sastra, bahu­membahu di dalam proses menciptakan kar­ya sastra. Alhasil, bera gam kar­ya seperti puisi, novel, cerpen, drama, dan esai ikut mewar­nai denyut perubahan kota. Jika pembangunan yang dicanang­kan pemerintah berorientasi ke infrastruktur belaka, sastra yang merupakan hasil cipta akal budi, imajinasi, dan kontemplasi mem­beri sumbangsih ide, pembang­un jiwa, penyadaran karakter

lokal, dan tamasya spiritual yang diramu dalam bahasa sastrawi.

Akan tetapi, salah satu kenyataan “khas” gerakan sas­tra di Kendari dan Sulawe­si Tenggara umumnya ada­lah upaya pencarian dan pe­nemuan kaum kreator tersebut nyaris tanpa dukungan peme­rintah daerah. Padahal, mere­ka sudah berjuang sejak awal tahun 1990­an sampai saat ini. Karya para sastrawan Kendari dan Sulawesi Tenggara terse­but sudah menasional, bahkan beberapa sudah diterjemahkan ke bahasa asing.

Selain dukungan pemerin­tah daerah yang kurang, terasa pula minimnya ruang di me­dia cetak lokal. Jika pun ada, sifatnya sementara dan tidak digagas secara serius. Dise­but bersifat sementara, karena ia timbul­tenggelam setiap ta­hun, dan dapat tergusur oleh iklan dan berita dari peristiwa politik. Karakter media lokal kita berbeda dengan kenyata­an secara umum setiap media cetak di Indonesia, yang atas prakarsa pihak media, menye­diakan rubrik sastra bagi karya sastrawan di daerahnya. Per­jalanan sastra Indonesia sejak era reformasi, jadinya, tidak dapat dipisahkan dari “sas­tra koran” karena derasnya pe­muatan karya di koran. Setiap koran kemudian merasa tidak lengkap jika tidak menyedia­kan rubrik sastra (puisi, cer­pen, dan esai) dalam satu hala­

man penuh, yang tidak pernah tergusur. Fenomena ini mela­hirkan kenyataan, sastra terki­ni Indonesia adalah sastra ko­ran.

Tidak hanya itu, kam­pus sebagai lembaga aka­demik belum memperlihat­kan kepedulian dan keterli­batan bagi diskursus sastra di kota ini. Kampus, idealnya menjadi ruang untuk membe­dah, mendiskusikan, memeta­kan, dan mengikuti proses ser­ta kekayaan sastra modern di Sulawesi Tenggara, sehingga pencapaian para sastrawan da­pat diperbincangkan kembali secara keilmuan di sana.

Jika bahasa menunjuk­kan bangsa, maka sastra men­jadi jembatan paling sublim untuk menyuarakan jati diri bang sanya. Akan halnya Ken­dari, karya sastra yang dicip­takan telah memperlihatkan kepedulian sastrawannya un­tuk menjadikan lokalitas seba­gai suara “Yang Lain” (the oth-er). The other tersebut begitu penting disuarakan sebab su­ara mayoritas yang kini meng­uasai sistem komunikasi dan media pemberitaan kita adalah laku kehidupan modern yang abai terhadap lokalitas. Pada­hal, dalam kurun waktu yang sang at lama, tradisi dan ke arifan lokal telah hidup bersama deng­an masyarakat pendukung nya yang justru terge rus oleh ser­buan kehidupan modern.

Banyak puisi dan cerpen,

termasuk novel yang dicipta­kan sastrawan Sulawesi Teng­gara, bersumber dari mitolo­gi, kearifan lokal, sejarah lokal, dan peristiwa lokal Sulawesi Tenggara. Mereka tidak seka­dar menyalin (copy paste) atau sekadar latar fisik karyanya, tetapi melakukan pembacaan ulang dan kritis terhadap hal­ihwal yang berkenaan dengan tradisi. Dengan demikian, tradi­si selain sebagai pesan atau mes-sage karya, sekaligus sumber penciptaan kritis bagi sastra.

Dengan demikian, kehadir­an sebuah ruang kebudayaan di media massa menjadi mende­sak sifatnya. Ia akan menjadi gelanggang pergumulan krea­tif sastrawan di Sulawesi Teng­gara. Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, ingin men­jadi bagian integral dari upaya memajukan kehidupan sas­tra di daerah yang kaya tradisi lisan dan naskah tertulis sebagai wari san generasi sebelumnya. Kehadiran sebuah rubrik yang mengakomodasi tulisan sas­tra (puisi dan cerpen) serta esai akan menjadi oase yang sesung­guhnya bagi Sulawesi Tengga­ra, di tengah minimnya perha­tian beragam pihak, sebagaima­na yang saya ungkapkan di ba­gian sebelumnya. Itulah sebab­nya, rubrik “Bahasa, Sastra, dan Budaya” ini, lahir! **

Syaifuddin Gani, seorang penyair dan peneliti. Bekerja di kantor Ba-hasa Provinsi Sultra

SaStra, Media, dan KotaE s a i

Syaifuddin Gani

Syaifuddin Gani

Kreativitas dan pergerakan kaum muda adalah se­buah tanda bahwa di sebuah kota ter­dapat denyutan ga­gasan, kegelisahan,

dan pencarian. Kaum muda ada­lah basis utama upaya peruba­han sebab di kepala merekalah diharapkan cita­cita bergolak, sikap kritis, dan segugus nara­si. Perjalanan sejarah, membuk­tikan bahwa Indonesia menjadi bangsa merdeka karena keterli­batan kaum muda, selain mela­wan dan bernegosiasi dengan penjajah, sekaligus menerbitkan ide cemerlang. Jika sebuah kota tiada keterlibatan kaum muda­nya di dalam gerakan kreatif dan masif, niscaya kota tersebut kehilangan daya hidup, jumud, serta dibelit status quo kekuasaan yang dekaden.

Kebudayaan adalah la­pangan kreatif yang luas, yang sering menjadi ladang pergu­mulan gagasan kaum muda. Di

La Ode Gusman Nasiru lahir di Baubau, 18 Juni 1989. Selain menulis ia juga kini mengajar di Jurusan Sastra Indonesia, FIB, UHO. Puisi­nya termuat di berbagai buku, majalah, dan koran nasional.

Dia pernah berjanji padaku untuk tidak lagi lemah. Dia berusaha tegar tiap kali bibirnya gemetar, dan berpura­pura dalam kesibukan yang rumit sedangkan sesuatu mengalir deras

ke hatinya. Dapat kulihat dia mengulum senyum dengan menelan ludah pahit.

Diam­diam, aku telah membaca garis di wajahnya. Bahkan telah kucatat jejak­jejaknya pada sebatang pohon kamboja yang cabang­cabangnya kukelimkan pita, begitulah caraku turut bersungkawa atas kedukaan. Tetapi tetangga belum surut bertanya dengan kalimat­kalimat lumrah; “kenapa selalu ada purnama di atas atap rumahmu?” −bahwa sebenarnya kami tak akan pernah bersedia menjawab, sebab malam telah jatuh dan purnama tersangkut di sana. Kemudian bincang­bincang lumrah itu menguap jadi senyap begitu saja, tetangga membiasakan diri pada situasi muram yang entah, kami juga demikian berupaya biasa saja.

Ketika dia teramat sibuk meniup corong bambu pada tungku api, maka giliranku membawa dupa dan piring tembaga berisi gula putih yang kugeletak di muka pintu kamar, kamar yang kuncinya telah kami lenyapkan berdua. Sebuah kamar yang telah merumuskan nasibnya sendiri.

Dia. Ibuku. Apakah Ibu pernah mendengar hujan bernada,

seperti langit sedang menangis? Tanyaku pada satu kesempatan lain, dan Ibu mengernyitkan dahi. Beberapa kali kudengar tentang dongeng hujan, sebuah kisah bertutur bahwa bumi adalah perempuan dan hujan adalah air matanya. Ibu tergelak lantas mengucap “kelak kau akan mengerti, mengapa kita terlahir sebagai perempuan” kemudian dia berlalu ke dapur. Dalam semua itu, di batas terakhir yang kumengerti, laki­laki dan perempuan dibedakan oleh tonjolan dan liang. Selebihnya hanya soal nyali. Dan sesungguhnya pemahaman itu bisa jadi penghiburan jika saja tak diasapi oleh kepedihan yang diam­diam menyala dari ingatan masa kanak­kanakku.

Dari kebun belakang rumah, aku mendengarkan Ibu melantunkan syair tanpa air mata, tetapi mengapa justru aku yang menelaga lalu kembali berpura­pura sibuk, memungut sapu lidi. Kusapu semua lantai tanah, sarang laba­laba, juga tanaman perdu yang tumbuh di tanah lembab dekat gentong air. Aku menyusulnya ke kebun, kusapu dedaun kering. Sedangkan mataku tak henti­henti mengedip menahan sesuatu.

“Ibu, haruskah kita menyesali diri?”“Apa itu ada gunanya?”Percakapan tak selesai, sebab mempertanyakan nasib

sama dengan memperburuk rupa. Rupa yang sudah lama tak berpupur dan bergincu. Rupa yang mabuk oleh asap dupa saat bulan purnama. Rupa yang tidak mengenali buku­buku teologi. Rupa yang menyimpan pemahaman melahirkan dan menyusui. Rupa yang telah menanam jasad lelaki di kamar terkunci.

“Bu, haruskah aku membenci ayah”“Kau tak harus benci, kau hanya harus

melupakannya”“Aku akan berpura­pura melupakannya”“Itu tidak terlalu buruk, bukan?”Setelah tahun­tahun berlalu dengan upaya menepis

­ Deasy Tirayoh ­ Purnama di atap rumahCERPENcanggung, di kala yang berbeda, Ibu memangku kepalaku untuk dielusnya. Diceritakannya dongeng yang menarik, sementara aku masih was­was dengan pendengaranku, jika saja, ya jika saja Ibu tak kuasa membendung ingatannya untuk menyerempet pada sebuah kisah. Kulihat matanya sedikit terpejam, pada detik ini aku mengkhidmati suara lirihnya dan teramat dekat dengan tangisan. Ibu menahan, aku merasakan degupnya yang kentara. Tangan Ibu mengelus dahiku, dan pekat malam kian merambat dari udara dingin yang kami hirup berdua di beranda. Tetangga tak ada yang lewat, barangkali karena gerimis telah turun, sedang bulan redup di atap rumah kami.

Atas keinginannya sendiri, Ibu mengisahkan sebuah dongeng yang apik namun terkesan satir bagiku. Bahwa, ketika bulan menjadi penuh, ia akan menjelma jendela raksasa di langit. Maka arwah­arwah yang telah meninggalkan dunia fana, akan menengok ke jendela itu untuk melihat ke bumi. Melihat jasadnya yang terkubur. Melihat apa­apa yang mereka tinggalkan sebagai kerinduan atau penyesalan.

Hujan makin deras, dongeng Ibu terhenti, sebab rasa dingin menusuk melalui udara basah dan ada baiknya kami masuk ke rumah untuk beristirahat. Sebelum ke kamar tidur, aku melintasi kamar terkunci dan terhenti beberapa saat untuk kembali menuntaskan dongeng Ibu sebagai tafsiran yang tak kelar, mataku menerawang menembusi segenap yang terkunci di balik sana, kendati malam ini bulan tak penuh, bulan belum purnama. Adakah sesuatu di dalam sana tengah dirindui atau disesali?

Dan Ibu tak tahu, atau pura­pura tak mau tahu, mengenai aku yang menyimpulkan pita tiap kali mendapatinya tengah menutupi nelangsa ­­­kami menyembunyikan nelangsa, tepatnya. Dan pita­pita itu telah berkerumun menutupi pokok dan dahan kamboja. Saat kukatakan bahwa hal itu kulakukan sebagai penanda waktu, ibu cuma mengamini. barangkali baginya aku tengah bermain saja. Kini, Sisa pita masih banyak namun Ibu sudah tak terlihat bersedih. Sama sekali tidak. Ibu kini berseri­seri. Aku pun terbawa. Pokok kamboja tumbuh meninggalkan kelima pita di dasar dahan, betapa semua bertumbuh dan berlalu.

Sisa pita yang masih banyak kubuat boneka perca, kugantungkan di jendela. Kusebut Boneka Pemanggil Hujan. Karena ketika boneka tergoyang oleh angin, langit di atap rumahku mendung. Maka setelah kugeletak dupa dan piring tembaga di muka pintu kamar terkunci, aku bergegas mendengarkan hujan bernada dari jendela.

Aku jatuh cinta pada hujan, meski ingatanku tak urung mengantarkan kisah rahasia, saat hujan lebat, tengah malam bertahun lalu. Sepulang dari mana, Ayah menampar Ibu yang bertanya, ayah memang sering menyiksa ibu kendati tanpa soal, namun malam itu, ia seperti kerasukan setan murka. Teriakanku tak cukup mampu menghentikan penyiksaannya. Aku menyerapahi Ayah dan memukuli pahanya. Ayah menghempasku jauh, kepalaku membentur sesuatu. Lalu aku tak ingat lagi.

Ibuku. Berlumur darah bercampur tanah. Ada gundukan tak rapi dalam kamar, Ibu mengubur ayahku disitu. Kupeluk Ibu yang mematung. Aku masih terlalu mungil untuk mengerti, tapi setidaknya

Redaksi menerima kiriman naskah puisi, cerpen, dan esai yang belum pernah dipublikasikan ke pos­el

[email protected]

aku tahu, sejak malam itu, kami telah merdeka. Lalu mengapa aku harus mencintai hujan? Bahkan

sebenarnya nada­nada dari hujan tak pernah benar­benar terdengar. Akulah yang sebenarnya bernyanyi, mengelabui tetes­tetes hujan yang sedang memanggil tetes­tetes airmataku. Akhirnya, kuturunkan boneka pemanggil hujan, seketika hujan pulang ke awan.

“Ibu, masihkah tetangga bertanya tentang purnama di atap rumah kita?”

“Tidak, mereka mungkin sudah terbiasa dengan itu”“Bolehkah kutaruh bonekaku ke dalam kamar

terkunci, bu?”Aku duduk di sebelahnya. Tanpa sepatah kata

pun, Ibu menarik tanganku ke telapak tangannya yang dingin, kemudian menempatkan pipinya di atas pangkuanku. Sedang tanganku yang satu, aku menggenggam angin, sekencang­kencangnya kugenggam disertai napasku yang memburu. Ibu memejamkan matanya saat kami bersitatap, tak selang lama, kami menangis bersama.

Di desa ini, rumah kami jauh dari keramaian tetangga. Hanya beberapa yang kerap lewat, pulang atau pergi menuruni bukit di belakang rumah. Sekali waktu, ada yang singgah dan menanyakan mengapa ayahmu pergi begitu lama. Dengan ringan kujawab, ia merantau jauh. Jauh sekali.

Begitu pula siang ini, seorang perempuan datang menjemput bunga­bunga yang telah dipanen dari kebun kami.

“Aku membutuhkan banyak Marigold, karena seorang pejabat negara meninggal dunia dan toko kami menerima banyak pesanan rangkaian bunga dukacita, apa kalian punya?” kami terdiam dengan wajah yang bertanya, ia meneruskan, “sejenis kenikir”.

Aku menunjukannya ke belakang rumah, dan di sanalah bunga­bunga itu tumbuh sebagai pagar.

Sebelum pergi, perempuan itu bertanya lagi. “Suamimu belum pulang juga? Kau sudah harus memikirkan penggantinya saja”

Ibu menggeleng dan tersenyum alakadarnya untuk pertanyaan kedua. Saat mobilnya menjauh kami segera ke kebun di belakang rumah. Hening wajah kami menatapi warna­warni. Tak banyak yang keluar sebagai kata­kata saat kami membersih dan memupuki tanah. Ibu hanya sekali mengucap kalimat, bahwa serumpun tanaman di pagar itu ternyata punya nilai dan makna. Untuk itu aku menimpali dengan tanda tanya yang sontak menuai hening panjang di antara kami, bernilai jika ada upacara kedukaan?

Jika saja tak ada tetangga yang lewat dan sekadar menyapa, entah kejadian apa yang bisa memecah hening itu. Sesaat ibu dan tetangga yang tengah berjalan itu saling bersahutan tentang musim hujan dan lain­lain, aku memutuskan untuk menghampiri pagar, menghampiri rerimbun nilai dan makna yang baru aku ketahui sore ini. Lalu memetiknya satu.

Dari arah belakang, aku mendengar langkah ibu. Belum sempat aku menoleh, Ibu telah memelukku. Berpuluh­puluh kali dia mengucap maaf padaku. Kami menangis setelah bertahun­tahun saling mengingkari kesedihan diri. Ibuku mungkin bukanlah peri baik hati, tetapi cukuplah bagiku saja yang melihatnya begitu.

Malam berikutnya, langit terang benderang, ada purnama di atap rumah. Boneka perca aku taruh di muka pintu kamar terkunci, sementara Ibu menyalakankan dupa, kuletakkan sekuntum Marigold di piring tembaga. **

Deasy Tirayoh adalah seorang penulis dan

ibu rumah tangga yang bermukim di Kendari.

Bersama sahabatnya bergiat di komunitas

Rumah Andakara.