Upload
hakiet
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BATAS MINIMAL USIA MELAKUKAN PERKAWINAN DI
INDONESIA PERSPEKTIF IMAM MAZHAB
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Haris Santoso
NIM : 105044101368
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DALAM
PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syar’iah (S.Sy)
Disusun Oleh :
M.HARIS BARKAH
NIM : 105044101372
Dibawah Bimbingan,
Pembimbing
Drs.H.A.Basiq Djalil,SH, MA
NIP : 19500306 197603 1001
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITI UJIAN Skripsi yang berjudul “BATAS MINIMAL USIA PERKAWINAN DI INDONESIA
PERSPEKTIF IMAM MAZHAB,” Telah di ujikan dalam sidang munaqasah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 JUNI 2010.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata
satu (SI) pada Program Studi Ahwal Al-syakhshiyyah (Peradilan Agama).
Jakarta, 21 Juni 2010. Disahkan Oleh
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr . H . M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 19550505 198203 1012
Paniti Ujian Munaqasyah. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (..........................)
NIP.19500306 197603 1001
Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (..........................) NIP. 1927 0224 199803 1003 Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (..........................)
NIP 19500306 197603 1001
Penguji I : Dr. Hj. Mesraini, M.Ag (..........................) NIP. 150 326 895 Penguji II : Hotnidah Nasution, S.Ag., MA (..........................) NIP. 1971 06301 99703 2002
ii
iii
Prof. Dr . H . M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 19550505 198203 1012 Prof. Dr . H . M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 19550505 198203 1012 Prof. Dr . H . M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 19550505 198203 1012 Prof. Dr . H . M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 19550505 198203 1012
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 8 juni 2010
Haris santoso
i
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمان الرحيم
puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang maha kuasa atas
segala sesuatu,yang telah memberikan rahmat, kasih saying-Nya , karena atas
ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga
selalu tercurah kepada junjungan Rasulullah Sayyidina Nabiyyina Muhammad
SAW, serta keluarga,sahabat dan seluruh umatnya. Karena atas ketauladannya dan
keberkahannya penulis dapat melewati masa-masa tersulit dalam penulisan skripsi
ini.
Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini,
banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi bagi penulis. Oleh
karena itu, dalam tulisan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih,
penghargaan yang sedalam-dalamnya dan penghormatan yang setinggi-tingginya
kepada Bapak :
1. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Ketua Program Studi Ahwal Al
syakhshiyyah serta bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.Hum., selaku Sekretaris
Program Studi Ahwal Al syakhshiyyah.
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan arahan. Bimbingan serta saran kepada penulis.
iii
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak memberikan
wawasan, ilmu dan pengetahuan kepada penulis, dan mudah-mudahan penulis
bisa mengamalkannya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan
5. Pimpinan perpustakaan dan staf-stafnya yang telah memberikan fasilitas bagi
penulis untuk mengadakan studi perpustakaan.
6. Ayahanda Hidayat (Alm) dan Ibunda tercinta Hayati yang telah memberikan
kasih sayang, do’a, semangat dan pengorbanan sepanjang masa hingga sampai
sekarang ananda dapat menuntut ilmu hingga jenjang ini. Seluruh adik-adikku
dan keluarga besar yang telah mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk
penulis.
7. Kakek tercinta H. Sarbih dan Nenek yang amat ku cintai Hj.Hamdah yang
telah merawatku dan menjagaku dengan segenap jiwa dan raganya, serta
memberikan kasih sayang, do’a, semangat dan pengorbanan hingga sampai
sekarang aku dapat menuntut ilmu hingga jenjang ini. Semua bibiku yang
sudah ku anggap sebagai kakak-kakak ku khususnya Badriyah, Ferawati dan
keluarga besar yang telah mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk penulis.
8. Sahabat-sahabat satu angkatan Konsentrasi Peradilan Agama kelas A dan B
yang telah banyak membantu serta bertukar pikiran baik selama belajar hingga
detik-detik pelaksanaan wisuda.
9. Semua sahabat-sahabatku di dalam bermusik kususnya , Al-farhan, Q-net dan
la-libanon yang telah memberikan masukan dan motivasi.
10. Sahabat-sahabat anak bintara dan pondok kelapa dari A sampai Z yang selalu
memberikan motivasi dan semangatnya kepada penulis.
iv
v
Kepada semua pihak yang turut membantu dalam kelancaran
penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga
segala kebaikan yang telah diberikan mendapatkan ganjaran yang setimpal serta
selalu mendapat ridha-Nya Allah SWT. Amin.
Jakarta, 4 Juni 2010 M
( Haris Santoso )
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................... 6
D. Study Review .................................................................. 7
E. Metode Penelitian .......................................................... 8
F. Kerangka Konseptual ...................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ..................................................... 11
BAB II PERKAWINAN DAN PERMASALAHAN DI DALAMNYA
A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan ................................. 13
B. Syarat dan Rukun Perkawinan ....................................... 23
C. Batas usia minimal perkawinan ..................................... 26
vi
vii
BAB III BATAS USIA MINIMAL PERKAWINAN.
A. Pandangan Imam Mazhab .............................................. 28
B. Menurut Kompilasi Hukum Islam ................................. 35
C. Dewasa Menurut Biologis dan Psikologis ...................... 37
D. Faktor Pendorong Perkawinan Usia Muda ..................... 41
E. Dampak Positip dan Negatif Perkawinan Usia Muda ..... 43
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN BATAS USIA MINIMAL
MELAKUKAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIP
DENGAN PENDAPAT FUQAHA
A. Persamaan Hukum Islam dengan Hukum Positip. .......... . 46
B. Perbedaan Hukum Islam dengan Hukum Positip ........... 49
C. Latar Belakang Perbedaan antara Hukum Positip dengan
Pendapat Fuqoha ............................................................. 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 57
B. Saran. ............................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA. ................................................................................. 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dan tak
pernah terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan
membina keluarga bahagia. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang
dalam mempersiapkan segala sesuatunya meliputi aspek fisik, mental, dan sosial
ekonomi. Perkawinan akan membentuk suatu keluarga yang merupakan unit
terkecil yang menjadi sendi dasar utama bagi kelangsungan dan perkembangan
suatu masyarakat bangsa dan negara. Perkawinan yang baik adalah perkawinan
yang sah dan tidak di bawah tangan. Karena perkawinan adalah sakral dan tidak
dapat dimanipulasikan dengan apa pun.
Memasuki suatu perkawinan dituntut untuk melibatkan diri secara
emosional atau batin, dalam hal ini bahwa individu yang telah memasuki
lembaga perkawinan harus mampu mengendalikan dan mengembangkan
kebutuhan emosional dengan pasangan hidupnya agar tercapai sebuah suasana
rumah tangga yang bahagia, seperti yang menjadi tujuan dari dilaksanakan
perkawinan. Dengan demikian maka kesiapan atau kematangan psikologis
sangat menentukan tingkat keberhasilan dari sebuah rumah tangga yang ingin
dibentuk. Dalam hal ini diharapkan seseorang telah memiliki kematangan
psikologis sebelum memasuki jenjang perkawinan, karena dengan kematangan
psikologis inilah seseorang telah dapat meredam dan memecahkan setiap
2
permasalahan yang timbul dalam rumah tangga kelak di kemudian hari. Banyak
pasangan perkawinan usia muda yang tidak memperhatikan tentang kesehatan
kedua belah pihak karena mereka berfikir perkawinan dalam usia muda
sangatlah mudah padahal dalam kenyataannya tidak demikian.
Agama Islam tidak membatasi usia tertentu dalam menikah. Namun,
secara implisit syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah orang
yang benar-benar sudah siap mental,fisik dan psikis,dewasa dan faham arti
sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah.
Tidak ditetapkannya usia tetentu dalam masalah usia sebenarnya
memberikan kebebasan bagi umat untuk menyelesaikan masalah tersebut
tergantung situasi, kondisi, kepentingan pribadi keluarga atau kebiasaan
masyarakat setempat yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah
pihak menjadi prioritas utama dalam agama, usia perkawinan dalam undang-
undang.1
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 merumuskan pengertian
perkawinan sebagai berikut : “Perkawinan ialah ikatan lahir antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.2
Perkawinan adalah: melaksanakan Aqad (perikatan yang dijalin dengan
pengakuan kedua belah pihak (antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
1 http//google search//perkawinan dibawah umur.
2 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1
3
atas dasar keridhoan dan kesukaan kedua belah pihak, oleh seorang wali dari
pihak perempuan menurut sifat yang telah ditetapkan syarat untuk menghalalkan
hidup serumah dan menjadikan yang seorang condong kepada yang seorang lagi
dan menjadikan masing-masing dari padanya sekutu (teman hidup).3
Suatu perkawinan pada dasarnya yaitu untuk menyatukan dua insan yang
berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu dalam
kehidupannya suami/istri harus mempunyai konsekuensi serta komitmen agar
perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat di tarik suatu
kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan akan memberikan
motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung jawab, baik pada
dirinya sendiri maupun pada orang lain (istrinya).
Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan oleh
seseorang yang pada hakekatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan
baik secara biologis, psikologis maupun sosial ekonomi. Perkawinan usia muda
mempunyai dampak yang nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Hal ini
dapat ditinjau dari sisi keharmonisan dan ketentraman keluarga, keserasian dan
keselarasan pasangan usia muda serta pemenuhan kebutuhan materil dan
spirituilnya masih kurang baik. Meskipun cenderung memberikan dampak
negatif, perkawinan usia muda juga memberi dampak positif terhadap pasangan
usia muda diantaranya adalah untuk menghindari perzinahan yang sering
dilakukan para remaja dan memberikan suatu pelajaran kepada pasangan usia
muda untuk bertanggung jawab.
3 Ahmad. A. Psikologis Perkembangan . CV. Rineka Cipta, (Jakarta 1997), hal 69.
4
Masa muda dimulai pada usia dua belas tahun dan diakhiri pada usia
lima belas tahun,4 batasan muda usia secara global berlangsung antara umur 12
dan 21 tahun dengan pembagian 12-15 tahun masa muda awal, 15-18 tahun
masa muda pertengahan, 18-21 tahun masa muda akhir.5 secara tradisional masa
muda dianggap sebagai “badai dan tekanan” yaitu suatu masa dimana
ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.6
Batas umur minimal untuk melakukan perkawinan tidak terdapat dalam
berbagai mazhab secara kongkret yang dinyatakan dalam bilangan angka, yang
terdapat pernyataan istilah balig sebagai batas minimalnya. Balig tidak dapat
dipakai sebagai ukuran pasti bagi semua orang, karena masa balig tidak sama.
Demikian pula tidak terdapat batas perbedaan umur antara kedua calon
mempelai, karena itu terjadilah perkawinan anak kecil dan perkawinan antara
dua orang suami isteri yang selisih umurnya sangat mencolok.
Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang
memerlukan ketrampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan
mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor
yang berperan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah
tangga.
4 Konopka. Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Gajah
Mada. University Press, (Yogyakarta 1997), hal 241. 5 Monks. Psikologi Perkembangan. Gajah Mada. University Press. (Yogyakarta 1998),
hal 262 6 Elizabeth B. Hurlock. Psikologis Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Erlangga, (Jakarta 1997), hal 212
5
Inilah yang menjadi latar belakang penulis mengambil skripsi dengan
judul BATAS MINIMAL USIA PERKAWINAN DI INDONESIA
PERSPEKTIF IMAM MAZHAB.
B. Batasan dan Rumusan Masalah.
1. Pembatasan Masalah.
Agar tidak menyimpang dari apa yang di inginkan penulis, maka penulis
membatasinya dengan melihat apa saja yang menjadi perbedaan antar
hukum positip, KHI, dengan hukum islam mengenai batas usia melakukan
perkawinan.
2. Perumusan Masalah
Menurut Undang-undang no 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
tentang batas usia melakukan perkawinan adalah bagi laki-laki adalah 19
Tahun dan bagi perempuan adalah 16 Tahun. Akan tetapi di dalam fikih
tidak di sebutkan dalam bentuk angka, karena dalam Agama Islam tidak
membatasi usia tertentu dalam melakukan perkawinan. Rumusan masalah
pada pembahasan skripsi ini penulis coba tuangkan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut :
a. Berapa batas umur melakukan perkawinan menurut hukum Islam?
b. Berapa batas umur melakukan perkawinan menurut hukum positip?
c. Mengapa masalah tentang batas usia pernikahan terdapat perbedaan
antara hukum Islam dengan hukum positip?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Sebagaimana rumusan diatas tujuan dari penelitian tersebut adalah
untuk mengetahui lebih mendalam tentang batas usia pernikahan menurut
hukum positip, hukum Islam, dan untuk lebih mengetahui apakah yang
menjadi pertimbangan hukum Islam dan hukum positip sehingga timbul
perbedaan-perbedaan dalam masalah tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas, hasil studi ini diharapkan
bermanfaat bagi :
1. Memperluas pengetahuan hukum, khususnya hukum keperdataan islam
dibidang perkawinan. Khususnya tentang batas usia melakukan
perkawinan menurut hukum Islam.
2. Pengembangan wawasan hukum tentang pengetahuan hukum khususnya
perkara-perkara yang menyangkut permasalahan batas usia dalam
melaksanakan perkawinan agar menyikapinya secara lebih objektif dengan
mengadakan sosialisasi terhadap masyarakat selaku pelaksana hukum.
3. Sosialisasi hukum terhadap masyarakat muslim di Indonesia khususnya
hukum tentang perkawinan islam, karena sebuah peraturan terbentuk
bukan hanya sebagai aturan hukum saja tetapi juga peraturan harus ditaati
oleh masyarakat.
7
D. Study Review.
Achmad Saprudin, mahasiswa universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan judul Perkawinan di bawah Umur di Desa Pantai
Bahagia Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui berapa usia seseorang sebaiknya menikah, dan
faktor apa yang menyebabkan masyarakat di Desa Pantai Bahagia Kecamatan
Muara Gembong Kabupaten Bekasi melakukan pernikahan di bawah umur.
Saepudin, mahasiswa universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan judul Tinjauan Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Penetapan Usia Perkawinan (studi kasus di kantor urusan
Agama Kecamatan Sawangan Depok), penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang nomor
1 Tahun 1974 terhadap usia perkawinan di KUA Kecamatan Sawangan
Depok.
Setelah melakukan analisis dari kedua skripsi tersebut penulis merasa
bahwa pembahasannya berbeda dengan skripsi penulis yang berjudul Batas
Usia Minimal Perkawinan di Indonesia Perspektif Imam Mazhab. Pada skripsi
Achmad Saprudin, mahasiswa universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan judul Perkawinan di bawah Umur di Desa Pantai Bahagia
Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi hanya membahas tentang
faktor-faktor yang menyebabkan pernikahan usia muda yang difokuskan pada
suatu tempat yaitu Mura Gembong, dan Saepudin, mahasiswa universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul Tinjauan Hukum Islam
8
dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Penetapan Usia
Perkawinan (studi kasus di kantor urusan Agama Kecamatan Sawangan
Depok) hanya terfokus pada pengaruh sebelum dan sesudah berlakunya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap usia perkawinan di Kecamatan
Sawangan Depok. Sedangkan dalam skripsi ini penulis mencoba menjelaskan
usia perkawinan dari dua sudut pandang yang berbeda yaitu menurut hukum
positip dam hukum islam.
E. Metode Penelitian.
Untuk memperoleh gambaran dalam menganalisa masalah yang
terdapat dalam skripsi ini, penulis melakukan penelitian hukum normatif atau
kepustakaan yakni dengan cara mengumpulkan beberapa sumber pustaka
untuk kemudian di pelajari dan di olah dalam proses pemngumpulan data.
Sedangkan jenis data yang penulis gunakan berupa bahan-bahan
hukum yang terdiri dari :
1. Data hukum primer yaitu berupa kitab-kitab fiqh, kompilasi hukum
Islam, dan undang-undang nomor 1 Tahun 1974, yang berkaitan dengan
masalah batas usia minimal dalam melaksanakan perkawinan.
2. Data hukum sekunder yaitu berupa artikel-arikel, buku-buku yang
berkaitan dengan batas usia melakukan perkawinan.
3. Data hukum primer yaitu berupa kamus-kamus ensiklopedi yang
berkaitan dengan masalah tersebut.
9
Setelah data-data tersebut terkumpul lalu penulis menyajikan dan
menganalisanya dengan metode-metode sebagai berikut :
1. Metode induktif yaitu suatu cara dalam menganalisa data yang bertitik
tolak dari data yang bersifat khusus, kemudian ditarik suatu kesimpulan
yang yang bersifat umum.
2. Metode analisis komperatif yaitu metode yang penulis gunakan antara
hukum Islam dan hukum positip yang membahas tentang masalah yang
ada.
Sedangkan Metode penulisan ini bersumber dari buku pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
F. Kerangka Konseptual.
Perkawinan adalah: melaksanakan Aqad (perikatan yang dijalin dengan
pengakuan kedua belah pihak (antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
atas dasar keridhoan dan kesukaan kedua belah pihak, oleh seorang wali dari
pihak perempuan menurut sifat yang telah ditetapkan syarat untuk
menghalalkan hidup serumah dan menjadikan yang seorang condong kepada
yang seorang lagi dan menjadikan masing-masing dari padanya sekutu (teman
hidup).7
Suatu perkawinan pada dasarnya yaitu untuk menyatukan dua insan yang
berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu dalam
7 Ahmad. A. ” Psikologis Perkembangan “, CV. Rineka Cipta, (Jakarta 1997), hal 69.
10
kehidupannya suami/istri harus mempunyai konsekuensi serta komitmen agar
perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat di tarik
suatu kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan akan memberikan
motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung jawab, baik pada
dirinya sendiri maupun pada orang lain (istrinya).
Memasuki suatu perkawinan dituntut untuk melibatkan diri secara
emosional atau batin, dalam hal ini bahwa individu yang telah memasuki
lembaga perkawinan harus mampu mengendalikan dan mengembangkan
kebutuhan emosional dengan pasangan hidupnya agar tercapai sebuah suasana
rumah tangga yang bahagia, seperti yang menjadi tujuan dari dilaksanakan
perkawinan. Karena perkawinan disyari’atkan oleh Islam mempunyai tujuan
sangat agung dan mulia, yaitu untuk mewujudkan terbentuknya rumah tangga
bahagia dan sejahtera yang diliputi oleh rasa cinta dan kasih sayang yang
melahirkan generasi manusia yang sholeh dan sholehah. Sehingga perkawinan
yang bahagia dan kekal, perlu dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, agar
perkawinan menjadi “Surga Kehidupan” dan bukan sebaliknya.
Masa muda dimulai pada usia dua belas tahun dan diakhiri pada usia
lima belas tahun,8 batasan usia secara global berlangsung antara umur 12 dan
21 tahun dengan pembagian 12-15 tahun masa muda awal,15-18 tahun masa
muda pertengahan, 18-21 tahun masa muda akhir.9
8 Konopka. Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Gajah
Mada. University Press, (Yogyakarta 1997), hal 241 9 Monks. Psikologi Perkembangan. Gajah Mada. University Press. (Yogyakarta 1998),
hal 262.
11
Secara tradisional masa muda dianggap sebagai “badai dan
tekanan” yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat
dari perubahan fisik dan kelenjar.10
Dengan demikian maka kesiapan atau kematangan psikologis sangat
menentukan tingkat keberhasilan dari sebuah rumah tangga yang ingin
dibentuk. Dalam hal ini diharapkan seseorang telah memiliki kematangan
psikologis sebelum memasuki jenjang perkawinan, karena dengan kematangan
psikologis inilah seseorang telah dapat meredam dan memecahkan setiap
permasalahan yang timbul dalam rumah tangga kelak di kemudian hari.
G. Sistematika Penulisan.
Sistematika penulisan ini dibagi dalam lima bab, sebagai berikut:
Bab Pertama : Pendahuluan, berisikan latar belakang masalah, batasan dan
rumusan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan
Bab Kedua : Sekilas mengenai perkawinan, berisikan pengertian dan
tujuan perkawinan, syarat perkawinan, batas usia
perkawinan, sebab dan akibat putusnya perkawinan menurut
ketentuan Undang-undang No 1 tahun 1974.
Bab Ketiga : Berisikan mengenai pendapat para imam mazhab dan
Kompilasi Hukum Islam mengenai batas usia melakukan
10 Elizabeth B. Hurlock. 1994. Psikologis Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Erlangga.(Jakarta 1994), hal 212.
12
perkawinan, dan tentang usia dewasa dalam pandangan
biologis dan psikologis.
Bab Keempat : Pada bab ini akan membahas tentang analisis perbandingan
dampak perkawinan di bawah umur.
Bab Kelima : Penutup, berisikan kesipulan dan saran-saran.
13
BAB II
PERKAWINAN DAN PERMASAHAN DI DALAMNYA
A. Pengertian dan Tujuan perkawinan.
1. Pengertian Perkawinan.
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah, kata nikah memiliki persamaan
dengan kata kawin. Menurut istilah nikah itu berarti melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara
keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang
diridhoi oleh Allh SWT. Sedangkan dalam Kamus Besar Indonesia nikah
mempunyai arti hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami
istri secara resmi.1
Sebagian ulama dalam mengemukakan arti perkawinan hanya
menonjolkan aspek lahiriah yang bersifat normative, seperti definisi nikah
menurut empat mazhab yakni nikah sebagai aqad yang membawa kebolehan
bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan.2
Ada juga beberapa definisi nikah yang dikemukakan oleh fuqoha,
namun pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan yang berarti karena semuanya
1 Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia, cet. 3, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, h. 614. 2 Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus, Jakarta 2002,
h. 102.
13
14
mengarah kepada makna akad kecuali pada penekanan redaksi yang digunakan.
Nikah pada hakekatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan
kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan seluruh tubuh wanita untuk
penikmatan sebagai tujuan primer.3
Bagi ulama Hanafiah akad nikah membawa konsekuensi bahwa suami
istri berhak memiliki kesenangan (mik al mut’ah) dari istrinya, dari ulama
Malikiyah akad nikah membawa akibat pemilikan bagi suami untuk
mendapatkan kelezatan (talazuz) dari istrinya. Sedangkan bagi ulama Syafi’iyah
akad membawa akibat suami memiliki kesempatan untuk melakukan jima’
(bersetubuh) dengan istrinya.4 Sebagian ulama Syafi’iyyah memandang bahwa
akad nikah bukanlah untuk memberikan hak milik pada kaum laki-laki saja
akan tetapi kedua belah pihak. Maka golongan itu berpendapat bahwa seorang
istri berhak menuntut persetubuhan dari suami dan suami berkewajiban
memenuhinya sebagaimana suami berhak menentukan persetubuhan dari
istrinya.5
Sedangkan Abu Zahra menyusun ta'rif perkawinan sebagai suatu aqad
yang menimbulkan halalnya hubungan raga antara seorang laki-laki dan
perempuan, tolong menolong antara keduanya dan menyatukan hak-hak dan
3 Bakri A. Rahman dan Ahmadi Sukadja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang
Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Hidakarya Agung, Jakarta, 1981, h. 13. 4 Abdu Ar Rahman Al Jaziri, Kitab al Fiqih ‘Ala Al Ma’zahib Al Arba’ah, Dar Al Fikr,
Beirut, 1969, h. 2-3 5 Ibid., h. 40.
15
kewajiban keduanya.6 Dalam hal ini Abu Zahra lebih modern dalam
memberikan definisi nikah tersebut yaitu tidak hanya sebatas mengenai
hubungan badan saja akan tetapi menambahkannya dengan hak-hak dan
kewajiban bagi seorang istri dan suami.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai
penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk
suatu keluarga atau rumah tangga.Dalam membentuk suatu keluarga tentunya
memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga
dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan
pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
pasangan yang melakukan pernikahan.7 Landasan hukum agama dalam
melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, sehingga penentuan boleh tidaknya
perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa
hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula
menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi
boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
6 Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus, Jakarta 2002, h.
104. 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007. Pasal 2
ayat 1.
16
Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam
ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan
itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan dapat dilihat pada ilmu
pengetahuan atau pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan bahwa
“perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”.8
Dan menurut Scholten perkawinan adalah ”hubungan hukum antara
seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang
diakui oleh negara”.9 Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang
soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
Perkawinan adalah: melaksanakan Aqad (perikatan yang dijalin dengan
pengakuan kedua belah pihak (antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
atas dasar keridhoan dan kesukaan kedua belah pihak, oleh seorang wali dari
pihak perempuan menurut sifat yang telah ditetapkan syarat untuk
menghalalkan hidup serumah dan menjadikan yang seorang condong kepada
8 Ali Afandi, hukum waris,hukum keluarga, hukum pembuktian, Jakarta, Rineka cipta,1997 h. 94. 9 R. soetojo prawirohamidjojo dan Azis safioedin, Hukum orang dan hukum keluarga, Bandung,Alumni
1985, h. 31.
17
yang seorang lagi dan menjadikan masing-masing dari padanya sekutu (teman
hidup).10
Suatu perkawinan pada dasarnya yaitu untuk menyatukan dua insan
yang berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu dalam
kehidupannya suami/istri harus mempunyai konsekuensi serta komitmen agar
perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat di tarik suatu
kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan akan memberikan
motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung jawab, baik pada
dirinya sendiri maupun pada orang lain (istrinya). Sesuai dengan apa yang di
firman kan Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 1.
⌧ ☯
⌧
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah
menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia
menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)
Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia
untuk beranak, berkembang baik dan kelestarian hidupnya, setelah
10 Ahmad. A. Psikologis Perkembangan . CV. Rineka Cipta, (Jakarta 1997), h. 69.
18
masingmasing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan perkawinan.11
Salah satu bentuk perkawinan yang kita ketahui adalah monogami dan
poligami. Monogami adalah perkawinan dengan isteri tunggal, artinya seorang
laki-laki menikah dengan seorang perempuan. Sedangkan poligami adalah
perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.12
2. Tujuan Perkawinan.
Ada tiga sumber alasan pokok kenapa pernikahan harus dilakukan.
Pertama, menurut Al-quran ; Kedua, Menurut hadits, Ketiga menurut akal.13
a. Menurut Al-quran.
Ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertama dalam
surat al-a'araf : 189.
☺ ☺ ⌧ ☺
☺ ☺ ☺
☯
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat,
11 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah , Darul Fikry, Beirut, t.t., h. 19. 12 Ahmad Kuzairi , Nikah sebagai Perikatan, ( Jakarta : PT, Raja Grafindo Persada, 1995) cet. I. h.159. 13 Djalil, basiq., Tebaran Pemikiran Islam di Tanah Gayo, ( Jakarta : qalbun salim,2006 ) h. 86.
19
keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur".
Ayat tersebut diatas menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
bersenang-senang, dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-
senang (tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya,
karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk
mendukung sehat rohani dan jasmani.14 dan yang kedua dalam surat Al-ruum :
21.
☯
☺
⌧
“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Dalam ayat tersebut terkandung ada tiga yang di tuju satu perkawinan
yakni :
Litaskunu ilaiha, artinya suapaya tenang/diam. Akar kata taskunu dan
yang sepertinya adalah sakana, sukun, sikin. Yang semua berarti diam. Itulah
14 Ibid,h.87.
20
sebab pisau dinamakan sikin, karena bila diarahkan keleher hewan ketika
menyembelih hewan itu diam ;15
Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah wadda
yang berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah
pasangan-pasangan muda dimana rasa cintanya sangat tinggi, termuat
kandungan cemburu, sedang rahma atau sayangnyamasih rendah, banyak terjadi
benturan karena tak mampu mengontrol kata cinta yang memang terkdang sulit
di kontrol karena intensitasnya tinggi dan sering meluap-luap.16
b. Menurut Hadits.
Ada hal yang dituju perkawinan menurut hadits. yaitu untuk
menundukan pandangan dan menjaga faraj (kemaluan). Itulah kenapa nabi
menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materiil
belum memungkinkan.17
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن
للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin,
sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga
15 Ibid. 16 Ibid.,h.88 17 Ibid.h.89.
21
kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan
menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Menurut Akal.
Menurut akal sehat yang sederhana, ada tiga yang dituju suatu
perkawinan :
Pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedangkan
garis tengah atau diameternya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas
tentunya harus diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah nyatakan di
buat untuk kita (manusia). Bila orangnya sedikit tentu banyak wilayah yang sia-
sia. Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan
perkawinan/prnikahan.18
Kedua, bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban/
keteraturan terutama yangberkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib
tentu akan terjadi kekacauan kareba tidak diketahui si A anak siapa dan si B
anak siapa bila nasab tidak tertata rapi tentu semua akan tidak menentu, tentu
ini menjadi awal sebesar-besar bencana.19
Ketiga untuk ketertiban kewarisan setiap orang yang hidup tentu akan
memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia,meski hanya sekeping
papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris
18 Ibid.h.90.
19 Ibid.
22
yang menerima atau menampung harta tersebut. Nah untuk tertibnya pada ahli
waris, tentunya harus dilakukan prosedur yuang tertib pula, yakni dengan
pernikahan.20
Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan bila kita rasakan adalah sangat ideal karena
tujuan perkawinan itu tidak hanya melihat dari segi lahiriah saja tetapi sekaligus
terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan
untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi
keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, Bahwa
dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh kebahagiaan, baik materiil
maupun spirituil. Kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang
sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan yang kekal, karenanya perkawinan
yang diharapkan juga adalah perkawinan yang kekal, yang dapat berakhir
dengan kematian.21
Tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah untuk memenuhi hajat
dan tabiat kemanusiaan berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih
sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam syariat. Dalam hukum
20 Ibid. 21 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Tinjauan dari UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. Jakarta:
PT. Dian Rakyat.1986, hal 20.
23
Islam perkawinan juga bertujuan menuruti perintah Allah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat yang mendirikan suatu rumah tangga
yang damai dan teratur.22
Sedangkan tujuan perkawinan menurut Hukum Adat adalah untuk
melahirkan generasi muda, melanjutkan garis hidup orang tua, mempertahankan
derajat memasuki inti sosial dalam masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan
hidup secara individu. Menurut Bambang Suwondo mengatakan bahwa tujuan
perkawinan menurut Hukum Adat ialah secara sosiologi untuk memperoleh
pengakuan dari masyarakat setempat.23
B. Syarat dan Rukun Perkawinan.
Syarat Sahnya Perkawinan Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 tentang
perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.24 Setiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan
KHI dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus
dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI
22Thoha, Nasruddin 1967, Pedoman Perkawinan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hal 16. 23 Bzn B.Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, hal 158-
159.
24 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007.
24
bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan
nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.25
Dalam hal ini hukum Islam mengenal perbedaan antara syarat dan rukun
pernikahan. Rukun merupakan sebagian dari hakekat pernikahan itu sendiri dan
jika tidak dipenuhi maka pernikahan tidak akan terjadi.26 Adapun rukun dan
syarat perkawinan secara lengkap adalah sebagai berikut:27
1. Mempelai Laki-Laki / Pria
- Agama Islam
- Tidak dalam paksaan
- Pria / laki-laki normal
- Tidak punya empat atau lebih istri
- Tidak dalam ibadah ihram haji atau umroh
- Bukan mahram calon istri
- Yakin bahwa calon istri halal untuk dinikahi
- Cakap hukum dan layak berumah tangga
- Tidak ada halangan perkawinan
2. Mempelai Perempuan / Wanita
- Beragama Islam
- Wanita / perempuan normal (bukan bencong/lesbian)
25 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007. 26 Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan
Ulasan secara Sosiologi Hukum, Pradia Paramita, Jakarta, 1986, h. 31.
27 Ahmad Rofiq, Hukum islam di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, h.71.
25
- Bukan mahram calon suami
- Mengizinkan wali untuk menikahkannya
- Tidak dalam masa iddah
- Tidak sedang bersuami
- Belum pernah li'an
- Tidak dalam ibadah ihram haji atau umrah
3. Syarat Wali Mempelai Perempuan
- Pria dewasa beragama islam
- Tidak ada halangan atas perwaliannya
- Punya hak atas perwaliannya
4. Syarat-Syarat Sah Bagi Saksi Pernikahan/Perkawinan
- Pria / Laki-Laki
- Berjumlah dua orang
- Sudah dewasa / baligh
- Mengerti maksud dari akad nikah
- Hadir langsung pada acara akad nikah
5. Syarat-Syarat Akad Nikah Yang Sah :
- Ada ijab (penyerahan wali)
- Ada qabul (penerimaan calon suami)
- Ijab memakai kata nikah atau sinonim yang setara.
- Ijab dan kabul jelas, saling berkaitan, satu majelis, tidak dalam ihrom.
26
C. Batas Usia Minimal Perkawinan.
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan.
Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas
tahun) tahun.28
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia
pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini
dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi
fisik, psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini
mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.29
Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat
mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan ketidakmatangan
emosi,30 gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat
pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak
negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur
19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Sedangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam diatur dalam pasal 15 ayat (1), untuk kemaslahatan keluarga
28Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara,
2007. Pasal 7.
29 Shappiro. F, Mencegah Perkawinan yang Tidak Bahagia. Jakarta: Restu Agung,2000, h.19.
30 Ibid.
27
dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974.
Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila
calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-
undangan. Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali
pengampu dari salah seorang calon mempelai, suami atau isteri yang masih
terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami,
serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (vide pasal 62, 63,
dan 64 KHI).31
31 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.
28
BAB III
BATASAN USIA MINIMAL PERKAWINAN
A. Pandangan Imam Mazhab.
Perkawinan ialah Perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang pria
dengan seorang seorang wanita,1 Perkawinan mempunyai arti dan kedudukan
yang sangat penting dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan,
dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis
secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya
keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang
ingin dicapai dari perkawinan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.
Fiqh klasik sebenarnya tidak melarang pernikahan di bawah umur.
Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama dari 4 mazhab. Malah Ibn al-
Mundzir menganggap bolehnya pernikahan di bawah umur sebagai ijmak kalau
memang kuf` (sekufu). Dalil yang dipakai mayoritas ulama ini ada banyak, salah
satunya adalah nikahnya Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah sewaktu masih
berumur 6 tahun.2
عن عائشة رضى اهللا عنها أن النبى ص م تزوجها وهى بنت ست سنين و أدخلت عليه وهى بنت
) رواه البخارى . (تسع و مكثت عنده تسعا
1 Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta, UI Press, 1986, hal.73. 2 al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6682.
29
“Dari Aisyah R.A, Bahwa Nabi SAW telah menikahi ‘A`isyah RA sedang
‘A`isyah berumur 6 tahun, dan berumah tangga dengannya pada saat ‘Aisyah
berumur 9 tahun, dan ‘Aisyah tinggal bersama Nabi SAW selama 9 tahun.”
(HR Bukhari)
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan
terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal
Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl).
Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar
jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus
melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, maka
jalur keturunan akan kabur.3
Batas umur minimal tidak terdapat dalam berbagai mazhab secara
kongkret yang dinyatakan dalam bilangan angka, yang terdapat pernyataan istilah
baligh sebagai batas minimalnya. Para ulama mazhab sepakat bahwa haidh dan
hamil merupakan bukti ke baligh-an seorang wanita. Hamil terjadi karena
pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haidh kedudukannya sama dengan
mengeluarkan sperma bagi laki-laki. Syafi'i dan Hambali menyatakan bahwa usia
baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan maliki
menetapkannya 17 tahun. Sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh untuk
anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun, pendapat
3 Ibrahim, al Bajuri, Semarang, Toha Putra, vol.2, hlm. 90.
30
Hanafi dalam hal usia baligh ini adalah batas maksimal, sedangkan usia
minimalnya adalah 12 tahun untuk anak laki-laki dan 9 tahun untuk anak
perempuan, sebab pada usia tersebut seorang anak laki-laki mimpi mengeluarkan
sperma, menghamili dan mengeluarkan mani (di luar mimpi),sedangkan pada
anak perempuan dapat hamil dan haidh.4
Balig tidak dapat dipakai sebagai ukuran pasti bagi semua orang, karena
masa balig tidak sama. Demikian pula tidak terdapat batas perbedaan umur antara
kedua calon mempelai, karena itu terjadilah perkawinan anak kecil dan
perkawinan antara dua orang suami isteri yang selisih umurnya sangat mencolok.
Sejatinya perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia,
sejahtera dan dirhidoi Allah SWT, namun mengapa banyak perkawinan yang
mengalami kegoncangan? Kalo kesiapan mental dalam menghadapi aspek
kesulitan ekonomi, penghayatan keagamaan tentang hakekat perkawinan
mengalami distorsi akibat pasangan itu belum dewasa sungguh-sungguh dalam
artian fisik dan psikis.5
Agama Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan
tentang pernikahan muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau
mendukung pernikahan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi
dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental,
4 Muh. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta : Lentera, 2003, h. 317. 5 Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan : Sebuah Ikhtiar Mewujudkan
Keluarga Sakinah, Jakarta : Kencanamas Publishing House, 2005, Cet .ke-1, h. 80.
31
hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak wanitanya, dan juga kebiasaan
dalam masyarakat, dengan dalih bahwa toh agama Islam sendiri tidak melarang.
Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi
agama menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya.
Dalam masalah pernikahan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin
kepada suksesnya sebuah pernikahan. Yang diminta adalah kematangan kedua
belah dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga adanya saling take and
give, berbagi rasa, saling curhat dan menasehati antara kedua belah pihak suami
istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan.6
Menikah dini yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua,
hukumnya menurut syara' adalah sunnah (mandub),7 Sabda Nabi Muhammad
SAW :
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن
للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab
kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan.
Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai
bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para pemuda”
(asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya
6 http://websiteayu.com/nikah-di-bawah-umur-menurut-fiqih-islam 7 Taqiyuddin an Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam,1990, h. 101.
32
saja seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum wajib, maka seruan
itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub
(sunnah). Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut Ibrahim Anis
dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith adalah orang yang telah mencapai usia baligh
tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang yang dimaksud
kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal ash shifat al mumayyizah li ar rajul”
yaitu sempurnanya sifat-sifat yang khusus/spesifik bagi seorang laki-laki.8
Istilah pernikahan dini adalah istilah kontemporer. Dini dikaitkan dengan
waktu,yakni sangat di awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan
kadaluwarsa. Bagi orang-orang yang hidup pada awal-awal abad ke-20 atau
sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-14 tahun, atau lelaki pada
usia 17-18 tahun adalah hal biasa, tidak istimewa. Tetapi bagi masyarakat kini,
hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun
atau lelaki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak wajar, "terlalu dini" istilahnya.9
Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda
Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang
lumrah di kalangan sahabat. Sedangkan menurut Ibnu Hazm diperbolehkan
menikahkan anak putri yang masih kecil dengan berpijak pada hadits Nabi
8 kamus Al Mu’jam Al Wasith, 1972, hal. 470. 9 http://khalilah-luthfiyah.cybermq.com/post/detail/9805/pernikahan-dini
33
Muhammad SAW. Sedangkan untuk anak (laki-laki) tidak diperbolehkan
menikahkannya sewaktu dia masih belum baligh sampai dia baligh.10
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur
sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Ibnu Syubromah menyatakan
bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh).
Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan
melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang
belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan. Ibnu
Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah
ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam
menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6
tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw
yang tidak bisa ditiru umatnya.11 Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah
dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap.
Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah
terpatahkan.
Pendapat Imam Abu Hanifah yang masyhur adalah bahwa anak dianggap
baligh jika sudah berumur 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.
Sedangkan menurut Imam Asy Syafi’i dan pengikutpengikutnya, anak laki-laki
10 Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Beirut, Dar al-Fik bi dimisqor, 1984,
vol 9 halaman 6682. 11 http://www.pesantrenvirtual.com-pernikahan-dini-dalam-perspektif-agama-dan-negara
34
ataupun perempuan sama-sama telah baligh sewaktu berumur 13 tahun.12 Akan
tetapi dari beberapa pendapat tersebut ada suatu muatan terpenting yang ingin
penulis sampaikan berkaitan dengan batas usia dalam pernikahan, yaitu adanya
kesiapan secara fisik, ekonomi maupun mental baik bagi laki-laki maupun
perempuan memasuki jenjang kehidupan baru tersebut. Hal ini tidak lain karena
dengan ikatan pernikahan akan terbentuk sebuah komunitas baru yang memiliki
aturan-aturan yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban, masing-
masing pihak harus sadar akan tugas dan kewajibannya, harus toleran dengan
penanganan hidupnya, guna mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal dunia
akhirat (mawaddha warrahmah).
Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu,
saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak
mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas,
dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di
masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada
taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya
untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus
dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk
bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’.13
12 Muhammad Ali As Sayis, Tafsir Ayat Al Ahkam, Muhammad Ali Sabik, 1983, h. 185.
13 http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/islam-kontemporer/1240-pernikahan-dini-
dalam-perspektif-agama-dan-negara.
35
B. Menurut Kompilasi Hukum Islam.
Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan
secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang
lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik
dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah.
Kompilasi Hukum Islam dalam perumusan ada 4 metodologi yang di terapkan :
pertama, Al-Quran dan Hadist sebagai sumber utama : kedua, pendapat atau
doktrin mazhab hanya sebagai orientasi, ketiga, mengutamakan pemecahan
problema masa kini : keempat, metodedologi kompromistis.14 Dalam hal usia
perkawinan telah di sebutkan dalam Pasal 15 KHI yaitu : Untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai
yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1
tahun 1974 tentang perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur
19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.15
Menurut ketentuan di dalam Pasal 15 tersebut, secara jelas KHI telah
membatasi umur calon mempelai (calon suami dan istri), sesuai dengan Undang-
14 Djalil, basiq., pernikahan lintas agama dalam persfektif fiqh dan kompilasi hukum islam, (
Jakarta : qalbun salim,2005 ) h. 45.
15 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.
36
Undang yang berada di atasnya yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Pasal 7 angka (1).16
Undang-undang ini masih memberi ruang bagi orang yang sudah benar-
benar dianggap baligh walaupun belum mencapai umur baligh dengan ketentuan
orang yang bersangkutan haruslah melaporkan dan memohon kepada pengadilan.
Perkara ini ditegaskan Wahbah al-Zuhaylî tujuannya adalah demi menjaga
kemaslahatan pemuda-pemudi dalam hal keprawanan dan keperjakaan di dalam
pernikahan, dan menjaga mereka daripada terjadi penyimpangan.17
Walau bagaimanapun, pembatasan ini pada dasarnya tidak ditetapkan
secara mutlak. Akan tetapi, orang terkait dapat meminta izin seperti pernyataan
yang terdapat di dalam Enactment tersebut. Begitu juga dengan KHI seperti Pasal
15 angka (2) KHI yang menyebutkan bahwa : Bagi calon mempelai yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam
pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.18
Alasan mengapa ditetapkan umur 19 tahun bagi lelaki dan 16 tahun bagi
wanita adalah mengacu pada alasan bahwa umur ini dianggap lebih matang fisik
16 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007. 17 al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6689. 18 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.
37
dan kejiwaannya. Yang jelas pembatasan ini adalah berdasarkan keadaan yang
dijumpai di dalam masyarakat Indonesia.19
C. Dewasa Menurut Biologis dan Psikologis.
1. Pandangan secara Biologis.
Memasuki suatu perkawinan dituntut untuk melibatkan diri secara
emosional atau batin, dalam hal ini bahwa individu yang telah memasuki lembaga
perkawinan harus mampu mengendalikan dan mengembangkan kebutuhan
emosional dengan pasangan hidupnya agar tercapai sebuah suasana rumah tangga
yang bahagia, seperti yang menjadi tujuan dari dilaksanakan perkawinan.20
Karena perkawinan disyari’atkan oleh Islam mempunyai tujuan sangat agung dan
mulia, yaitu untuk mewujudkan terbentuknya rumah tangga bahagia dan sejahtera
yang diliputi oleh rasa cinta dan kasih sayang yang melahirkan generasi manusia
yang sholeh dan sholehah. Sehingga perkawinan yang bahagia dan kekal, perlu
dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, agar perkawinan menjadi “Surga
Kehidupan” dan bukan sebaliknya.
Masa muda dimulai pada usia dua belas tahun dan diakhiri pada usia lima
belas tahun,21 batasan usia secara global berlangsung antara umur 12 dan 21
19 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 70. 20 http://fatqur21.blogspot.com/2009/05/makalah-perkawinan-di-usia-muda.html 21 Konopka. Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Gajah Mada.
University Press, (Yogyakarta 1997), h. 241
38
tahun dengan pembagian 12-15 tahun masa muda awal,15-18 tahun masa muda
pertengahan, 18-21 tahun masa muda akhir.22
Secara tradisional masa muda dianggap sebagai “badai dan tekanan” yaitu
suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan
fisik dan kelenjar.23
Adapun ciri-ciri kedewasaan seseorang cara biologis menurut para ulama
adalah sebagai berikut : para ulama ahli fiqh sepakat dalam menentukan taklif
(dewasa dari segi fisik, yaitu seseorang sudah dikatakan mukallaf/baligh) ketika
sudah keluar mani (bagi laki-laki), sudah haid atau hamil (bagi perempuan).24
Apabila tanda-tanda itu dijumpai pada seorang anak laki-laki maupun perempuan
maka para fuqaha sepakat menjadikan umur sebagai suatu ukuran, akan tetapi
mereka berselisih faham mengenai batas seseorang yang telah dianggap sudah
dewasa. Akan tetapi berdasarkan ilmu pengetahuan kedewasaan seseorang
tersebut akan dipengaruhi oleh keadaan zaman dan daerah dimana ia berada,
sehingga ada perbedaan percepat lambatnya kedewasaan seseorang.
22 Monks. Psikologi Perkembangan. Gajah Mada. University Press. (Yogyakarta 1998), h.
262.
23 Elizabeth B. Hurlock. 1994. Psikologis Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga.(Jakarta 1994), h. 212.
24 Muhammad Ali Assayis, Tafsir Ayat Al Ahkam Al Qur'an, terj. Muhammad Ali Sabiq, 1983, h. 212.
39
2. Pandangan secara psikologis.
Ciri-ciri secara psikologis yang paling pokok adalah mengenai pola-pola
sikap, pola perasaan, pola pikir dan pola prilaku nampak diantaranya :
a. Stabilitas mulai timbul dan meningkat, pada masa ini terjadi banyak
penyesuaian dalam aspek kehidupan.
b. Citra diri dan sikap pandangan lebih realistis, pada masa ini mulai dapat
menilai dirinya sebagaimana adanya, menghargai miliknya, keluarganya,
orang lain seperti keadaan sesungguhnya sehingga timbul perasaan puas dan
menjauhkannya dari rasa kecewa.
c. Menghadapi masalahnya secara lebih matang, usaha pemecahan masalah-
masalah secara lebih matang dan realistis merupakan produk dari kemampuan
berfikir yang lebih sempurna dan ditunjang oleh sikap pandangan yang
realistis sehignga diperoleh perasaan yang lebih tenang.
d. Perasaan menjadi lebih tenang, ketenangan perasaan dalam menghadapi
kekecewaan atau hal-hal lain yang mengakibatkan kemarahan mereka,
ditunjang oleh adanya kemampuan pikir dan dapat menguasai atau
mendominasi perasaan-perasaannya serta keadaan yang realistis dalam
menentukan sikap, minat dan cita-cita mengakibatkan mereka tidak terlalu
kecewa dengan adanya kegagalankegagalan yang dijumpainya, kebahagiaan
40
akan semakin kuat jika mereka mendapat proyek respek dari orang lain atau
usaha-usaha mereka.25
Dari segi psikologi, sosiologi maupun Hukum Islam Pernikahan dibawah
umur terbagi menjadi dua kategori. Pertama, pernikahan di bawah umur asli yaitu
pernikahan di bawah umur yang benar murni dilaksanakan oleh kedua belah pihak
untuk menghindarkan diri dari dosa tanpa adanya maksud semata-mata hanya
untuk menutupi perbuatan zina yang telah dilakukan oleh kedua mempelai.
Kedua, pernikahan di bawah umur palsu yaitu pernikahan di bawah umur yang
pada hakekatnya dilakukan sebagai kamuflase dari kebejatan prilaku dari kedua
mempelai, pernikahan ini hanya untuk menutupi perilaku zina yang pernah
dilakukan oleh kedua mempelai. Hal ini berarti antara anak dan kedua orang tua
bersama-sama untuk menipu masyarakat dengan cara melangsungkan pernikahan
yang mulia dengan maksud untuk menutupi aib yang telah dilakukan oleh
anaknya. Dan mereka berharap agar masyarakat untuk mencium “bau busuk”
yang telah dilakukan oleh anaknya bahkan sebaliknya memberikan ucapan
selamat dan ikut juga berbahagia.26
25 Andi Mapreare, Psikologi Remaja, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, h. 36-40.
26 Abu Al Ghifari, Pernikahan Dini Dilema Generasi Extravaganza, Mujahid Press, Bandung,
2002, h. 20.
41
D. Faktor Pendorong Perkawinan Usia Muda.
Perkawinan usia muda pada umumnya disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut:
1. Keinginan orang tua yang ingin cepat-cepat mempunyai menantu.
2. Karena ada lamaran dari orang-orang yang di segani dan orang tua khawatir
tidak dapat lagi calon sebaik itu.
3. Karena unsur materi yang ingin anaknya berbahagia jika sudah menikah
(Berbesan dengan orang kaya dengan mengharapkan anaknya dapat
tertolong).
4. Dari yang bersangkutan ingin cepat kawin karena ingin lebih bebas dan
mengira hidup berumah tangga lebih nikmat.
5. Terdesak oleh adat istiadat misalnya malu dengan teman sebayanya yang
sudah menikah atau orang tua khawatir anaknya menjadi perawan tua atau
bujang lapuk.27
Selain pendapat di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya
perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu :
a. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu. Bahwa dengan adanya
27 Aisyah Dahlan, Usia Ideal untuk Menikah, Persiapan menuju perkawinan yang lestari,
Jakarta : Pustaka antara, 1996, cet ke- 4, h. 42.
42
perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang
satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian,
pendidikan, dan sebagainya).28
b. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan
masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya
yang masih dibawah umur. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk
perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun
keturunannya.
c. Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan
laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
d. Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian
Permisif terhadap seks.
28 Soeryono, Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta:PT. Grafinda.1992, h. 65.
43
E. Dampak Positip dan Negatif Perkawinan Usia Muda.
1. Dampak positif dari perkawinan usia muda sebagai berikut.
Pernikahan dini tidak hanya memberikan kerugian-kerugian tetapi juga
keuntungan. menyatakan bahwa ada beberapa keuntungan yang bisa ditarik
dan diambil manfaatnya dari pernikahan dini, yaitu:29
a. Menghindari perzinahan
Jika ditinjau dari segi agama perkawinan usia muda pada dasarnya tidak
dilarang, karena dengan dilakukannya perkawinan tersebut mempunyai
implikasi dan tujuan untuk menghindari adanya perzinahan mengurangi
pergaulan bebas yang free sex.30
b. Belajar bertanggung jawab
Suatu perkawinan pada dasarnya yaitu untuk menyatukan dua insan yang
berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu dalam
kehidupannya suami/istri harus mempunyai konsekuensi serta komitmen
agar perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat di
tarik suatu kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan akan
memberikan motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung
jawab, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain (istrinya).
2. Dampak negatif
29 Umar Nur Zain, dan Djuhari Vincent, Perkawinan Remaja. Jakarta, Sinar Harapan, 1984,
hal 92.
30 Ibid.
44
a. Segi Kesehatan
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada
tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta
berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Menurut
ilmu kesehatan, usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara
usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan
lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke
bawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar
kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya cacat bawaan, fisik, maupun
mental, penyakit ayan, kebutaan, dan ketulian. Masa muda dimulai pada
usia dua belas tahun dan diakhiri pada usia lima belas tahun, batasan usia
secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun dengan pembagian
12-15 tahun masa muda awal, 15-18 tahun masa muda pertengahan, 18-21
tahun masa muda akhir.31 secara tradisional masa muda dianggap sebagai
“badai dan tekanan” yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi
sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.32
31 Monks. Psikologi Perkembangan. Gajah Mada. University Press. (Yogyakarta 1998), h. 262.
32 Elizabeth B. Hurlock. Psikologis Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga, (Jakarta 1997), h. 212.
45
b. Segi Mental/Jiwa
Pasangan usia muda belum siap bertanggung jawab secara moral, pada
setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. (Shappiro, 2000:13)
menyatakan bahwa orang-orang yang neurotik adalah seperti kanak-
kanak. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih
memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosionalnya.33
c. Segi Kependudukan
Perkawinan usia muda, ditinjau dari segi kependudukan mempunyai
tingkat fertilitas (kesuburan) yang tinggi, keibuan (melahirkan anak)
datangnya lebih cepat juga, dan timbullah komplikasi, sehingga kurang
mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan.34
d. Segi Kelangsungan Rumah Tangga
Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang masih rawan dan belum
stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan banyak
terjadinya perceraian.
33 Shappiro. F, Mencegah Perkawinan yang Tidak Bahagia, Jakarta, Restu Agung, 200, hal.13.
34 Ibid,.hal.19.
46
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN BATAS USIA MINIMAL MELAKUKAN
PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIP DENGAN
PENDAPAT FUQAHA
A. Persamaan Hukum Islam dengan Hukum Positip.
Batas minimal usia melakukan pernikahan menurut hukum positip dan
hukum Islam sebenarnya sama-sama mengutamakan kemaslahatan guna
tercapainya tujuan dari pernikahan tersebut, walaupun dalam Islam sendiri tidak
ada batasan usia minimal melakukan perkawinan tetapi yang menjadi patokan
adalah baligh, karena perkawinan yang bahagia dan kekal itu perlu dipersiapkan
dengan sungguh-sungguh, keluarga merupakan unit terkecil yang menjadi sendi
dasar utama bagi kelangsungan dan perkembangan suatu masyarakat bangsa dan
negara, Oleh karena itu Agama dan Negara memiliki wewenang untuk
mengaturnya.
Substansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi
manusia pada masa kini dan masa depan. Hukum Islam bersifat humanis dan
selalu membawa rahmat bagi semesta alam. Apa yang pernah digaungkan Imam
Syatiby dalam magnum opusnya ini harus senantiasa kita perhatikan. Hal ini
47
bertujuan agar hukum Islam tetap selalu up to date, relevan dan mampu
merespon dinamika perkembangan zaman.1
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang
dari satu sisi dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah
dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah
pernikahan. Sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan usia muda ini
dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk
melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur.2
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak
negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog,
ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga.
Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara
pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya
memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya
mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
Perkembangan kehidupan manusia tentunya banyak melalui masa-masa
tertentu. Dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan kemudian menjadi
orangtua, tidak lebih hanyalah merupakan suatu proses wajar dalam hidup yang
berkesinambungan dari tahap-tahap pertumbuhan yang harus dilalui oleh seorang
1 Imam Syatibi, al Muwafaqot, Beirut, Darul Kutub Ilmiah, h. 220. 2 http://alfiyah23.student.umm.ac.id/
48
manusia. Setiap masa pertumbuhan memiliki ciri-ciri tersendiri. Masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Demikian pula dengan masa remaja.3
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami-istri yang telah
melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa memenuhi atau tidak
mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal tersebut timbul
dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang cenderung
keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi. Dampak adalah “akibat-akibat
dari konsekuensi yang ditimbulkan dengan dilaksanakannya suatu
kebijaksanaan”.4
Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang
memerlukan ketrampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan
mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang
berperan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Rasa
ketergantungan kepada orang tua harus dihindari. Utamanya bagi pria.5
Permasalahan berikutnya adalah baik kebijakan pemerintah maupun
hukum agama sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang
pernikahan usia dini adalah dengan berbagai pertimbangan. Begitu pula agama
tidak membatasi usia pernikahan, ternyata juga mempunyai nilai positif.
3 http://my.opera.com/diniluphxibum/blog/ 4 Poerwadarminto, Kamus Bahasa Indonesia, 1992, hal.24.
5 http://fatqur21.blogspot.com/2009/05/makalah-perkawinan-di-usia-muda.html
49
B. Perbedaan Hukum Islam dengan Hukum Positip.
Batas usia minimal menurut hukum positip disebutkan dalam bilangan
angka sesuai dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pasal
7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16
(enam belas tahun) tahun.6 Akan tetapi usia minimal untuk melakukan
perkawinan menurut para fuqaha tidak di sebutkan secara kongkret yang
dinyatakan dalam bilangan angka, yang terdapat pernyataan istilah balig sebagai
batas minimalnya.
Dalam hal usia perkawinan telah di sebutkan dalam Pasal 15 KHI yaitu :
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya
berumur 16 tahun.
Menurut ketentuan di dalam Pasal 15 tersebut, secara jelas KHI telah
membatasi umur calon mempelai (calon suami dan istri), sesuai dengan Undang-
6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007. Pasal 7
ayat 1.
50
Undang yang berada di atasnya yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Pasal 7 angka (1).7
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan pernikahan di bawah umur itu
dapat di lakukan jika hal tersebut mendapat persetujuan dari orang tua atau wali
melalui pengadilan sesuai dengan pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974
tentang perkawinan yang berbunyi, ” dalam hal penyimpangan dalam ayat 1 pasal
ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta
oleh kedua orang tua pihak pria atau wanita.”8
Menurut Kompilasi Hukum Islam usia dewasa seseorang adalah 21 tahun,
sesuai dengan Pasal 98 Ayat (1) : "Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri
atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan".9 Selain itu dalam Hukum
Islam juga dikenal istilah "baligh". Baligh merupakan istilah dalam Hukum Islam
yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. "Baligh" diambil dari
kata bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti "sampai", maksudnya "telah
sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan". Secara hukum Islam,
seseorang dapat dikatakan baligh apabila mengetahui, memahami, dan mampu
7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007.
8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bandung: Citra Umbara, 2007. Pasal 7 ayat 2.
9 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.
51
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta telah mencapai usia 15
tahun ke atas dan atau sudah mengalami mimpi basah.
Para ulama mazhab sepakat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti ke
baligh-an seorang wanita. Hamil terjadi karena pembuahan ovum oleh sperma,
sedangkan haidh kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-
laki. Syafi'i dan Hambali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak laki-laki dan
perempuan adalah 15 tahun, sedangkan maliki menetapkannya 17 tahun.
Sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh untuk anak laki-laki adalah 18
tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun, pendapat Hanafi dalam hal usia
baligh ini adalah batas maksimal, sedangkan usia minimalnya adalah 12 tahun
untuk anak laki-laki dan 9 tahun untuk anak perempuan, sebab pada usia tersebut
seorang anak laki-laki mimpi mengeluarkan sperma, menghamili dan
mengeluarkan mani (di luar mimpi),sedangkan pada anak perempuan dapat hamil
dan haidh.10
Menurut Helmi Karim tanda-tanda keremajaan atau aqil baligh tersebut
adalah:
1. Datangnya masa haid bagi wanita
2. Mimpi senggama bagi laki-laki
3. Berubahnya suara
4. Tumbuhnya bulu ketiak
10 Muh. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta : Lentera, 2003, h. 317.
52
5. Tumbuhnya bulu kemaluan.11
Menurut Anwar Harjono dalam bukunya Hukum Islam keluasan dan
keadilan , ukuran masa aqil baligh adalah umur lima belas tahun atau secepat-
cepatnya umur dua belas tahun bagi laki-laki dan secepat-cepatnya umur sembilan
tahun bagi wanita. Dalam Al-Quran disebutkan tentang cukup umur atau baligh
dengan kata Rusyd (cerdas).12 Allah SWT berfiman:
☺
⌧ ⌧ ⌧
☺
⌧ ⌧
“dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”
11 Helmi Karim, dkk., Problematika Hukum Islam Kontemporer. Buku ke II, Jakarta PT.
Firdaus,1996, h. 70.
12 Anwar Harjono. Hukum Islam keluasan dan keadilan, Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1987, h. 222.
53
Ketika mentafsirkan ayat di atas, Hamka menyatakan baligh al-nikah itu di
artikan dengan dewasa, kedewasaan itu bukanlah tergantung kepada umur tetapi
bergantung pada umur tetapi bergantung pada kecerdasan atau kedewasaan
pikiran. Karena ada juga anak yang usianya belum dewasa, tetapi ia telah cerdik
dan mampu dan adapula seseorang yang usianya telah agak lanjut tetapi belum
matang pemikirannya.13
Sedangkan M. Quraish Shihab dalam tafsir al-misbah menyatakan bahwa
makna dasar kata rasyada adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini lahir
kata rusyd yang bagi manusia adalah kesmpurnaan akal dan jiwa yang
menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. Mursyid adalah
pemberi petunjuk / pembimbing yang tepat. Orang yang telah menyandang sifat
itu secara sempurna dinamai Rasyid yang oleh imam al-Ghazali di artikan sebagai
“ dia yang mengalir penanganan dan usahanya ketujuan yang tepat tampa
petunjuk pembenaran atau bimbingan dari siapapun.”14 Selain itu juga Allah
SWT berfirman :
⌧ ⌧ ☺ ⌧
⌧ ⌧
13 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta : Pustaka Panjimas,1983, Juz IV, h.266. 14 M. Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan dan Kesan Keserasian Al-Quran, Jakarta :
Lentera Hati, 2000, cet ke-1, h. 334.
54
“dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah mereka
meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”( An-nuur : 59)
Segi pendalilan dari ayat ini adalah bahwa hulm (ihtilam) dijadikan batas
kewajiban bagi seorang anak untuk meminta ijin di semua waktu ketika ia hendak
memasuki kamar orang tuanya. Ini adalah asal hukum dalam minta ijin (yaitu
minta ijin sebelum masuk). Para ulama telah sepakat bahwa ihtilam merupakan
tanda kedewasaan bagi anak laki-laki dan perempuan. Al-Haafidh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata : “Para ulama telah sepakat/ijma’ bahwasannya ihtilaam
pada laki-laki dan perempuan mewajibkan dengannya (untuk diberlakukannya)
ibadah, huduud, dan seluruh perkara hukum”.15
Berbeda halnya ketika ia belum mencapai hulm, maka ia hanya
dibebankan meminta ijin di tiga waktu saja, dan tidak mengapa baginya jika ia
masuk (tanpa ijin) di selain tiga waktu tersebut.
Pada masa itu seorang anak mulai berubah sifat, sikap dan pola pikirnya.
Biasanya anak tersebut menjadi pemalu dan lebih rajin merawat diri. Sedangkan
pola pikirnya menjadi semakin jelas, sehingga anak lebih memahami keadaan diri
sendiri. Ia mulai kritis dan mampu mengambil sintesa antara dunia luar dan dunia
intern (dunia batiniyahnya sendiri). Secara obyektif anak muda kini mengaitkan
15 Ibnu Hajar al ’Asqalani, Fathul Bari, Beirut , Darul Kutub Ilmiah, , vol.5. h.227.
55
dirinya sendiri dengan dunia luar. Masa pematangan fisik manusia akan berjalan
lebih kurang 2 tahun, dan biasanya dihitung sejak haid yang pertama pada wanita,
atau sejak seorang pria mengalami mimpi basah atau mimpi indahnya
(mengeluarkan air mani pada waktu tidur) yang pertama. Secara tegas
mengarahkan hidupnya dan berupaya memberikan isi untuk kehidupannya yang
disebut puberitas. Ia berusaha memberi bentuk pada diri sendiri dan mencoba
mendidik diri sendiri. Maka sampailah ia pada batas kedewasaannya.16
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam
Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.17
C. Latar Belakang Perbedaan antara Hukum Positip dengan Pendapat Fuqoha.
Ketentuan hukum dalam usia minimal melakukan perkawinan tidak hanya
dibatasi oleh ketentuan hukum yang dibuat oleh negara saja, akan tetapi juga
mencakup ketentuan hukum Agama (Islam), karena ini menyangkut kemaslahatan
bagi agama dan negara. Negara memiliki wewenang untuk mengatur
kesejahteraan rakyatnya dengan cara membuat suatu peraturan berdasarkan
kondisi yang ada ditengah kehidupan masyarakatnya, itulah yang melatar
16 Kartini Kartono, Psikologi Wanita Gadis Remaja Dan Wanita Dewasa, Jakarta. PT.
RajaGrafindo Persada, 1981, h. 169. 17 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007.
56
belakangi berbedanya hukum positip dengan hukum Islam mengenai usia minimal
melakukan perkawinan.
Alasan mengapa ditetapkan umur 19 tahun bagi lelaki dan 16 tahun bagi
wanita adalah mengacu pada alasan bahwa umur ini dianggap lebih matang fisik
dan kejiwaannya. Yang jelas pembatasan ini adalah berdasarkan keadaan yang
dijumpai di dalam masyarakat Indonesia pada umumnya.18sedangkan dalam
hukum Islam kita mengenalnya dengan istilah "baligh" padahal usia baligh
tersebut tidak bisa dipakai sebagai ukuran pasti bagi semua orang dan kemudian
hukum positip memberikan pandangan tersendiri mengenai besaran usia sesuai
dengan yang tertulis dalam undang-undang perkawinan.19
18 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 70. 19 http://bedahukum.blogspot.com/2009/12/kedewasaan-seseorang-berdasarkan.html.
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berdasarkan pada uraian pada penjabaran bab sebelumnya penulis
mendapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 sebagai hukum positif yang
berlaku di Indonesia, menetapkan batas umur perkawinan 19 tahun bagi laki-
laki dan 16 tahun bagi perempuan (pasal 7 ayat (1)).
2. Usia minimal melakukan perkawinan menurut para fuqaha tidak di sebutkan
secara kongkret yang dinyatakan dalam bilangan angka, yang terdapat
pernyataan istilah balig sebagai batas minimalnya.Agama Islam dalam
prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda
usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung pernikahan
usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama
sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik
terutama pihak wanitanya, dan juga kebiasaan dalam masyarakat.
3. Negara memiliki wewenang untuk mengatur kesejahteraan rakyatnya dengan
cara membuat suatu peraturan berdasarkan kondisi yang ada ditengah
kehidupan masyarakatnya, itulah yang melatar belakangi berbedanya hukum
positip dengan hukum Islam mengenai usia minimal melakukan perkawinan.
58
B. Saran-saran.
Sebagai akhir dari penulisan skripsi ini penulis sampaikan beberapa saran :
1. Agar pemerintah merevisi Undang-Undang dengan berdasarkan pada
penelitian yang valid berdasarkan pada kondisi sebenarnya yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat sehingga dapat terwujudnya tujuan dari pernikahan
itu sendiri.
2. Adanya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat
melalui pengajian-pengajian, kultum, dan khutbah jum'at sehingga
masyarakat lebih memahami betul tentang apa yang sebenarnya terdapat di
dalam undang-undang tersebut.
3. Pembahasan tentang usia perkawinan di masukan dalam mata pelajaran fiqih
pada kurikulum Madrasah Aliyah (MA) dan sederajat.
59
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`an dan terjemahannya
Afandi , Ali, Hukum Waris,Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta, Rineka Cipta,1997.
Ahmad, A. Psikologis Perkembangan , Jakarta, CV. Rineka Cipta, 1997.
Alam, Andi Syamsu, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan : Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Keluarga Sakinah, Jakarta, Kencanamas Publishing House, 2005.
Al Jaziri, Abdu Ar Rahman , Kitab al Fiqih ‘Ala Al Ma’zahib Al Arba’ah, Beirut,
Dar Al Fikr, 1969. An Nabhani , Taqiyuddin, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, 1990.
Dahlan, Abd. Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid IV, 1997.
Dahlan, Aisyah, Usia Ideal Untuk Menikah, Persiapan Menuju Perkawinan Yang Lestari, Jakarta : Pustaka Antara, 1996.
Departemen P dan K. Kamus Besar Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka , 1990 ) cet-3.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Dept. Agama RI. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,( Bandung : Humaniora Ulama Press. 1992 )
Djalil, basiq., Pernikahan Lintas Agama Dalam Persfektif Fiqh Dan Kompilasi Hukum Islam, ( Jakarta : Qalbun Salim,2005 ).
Djalil, basiq., Tebaran Pemikiran di Tanah Gayo, ( Jakarta : Qalbun Salim,2006 ).
Djamali, R. Abdul, Hukum Islam, (Jakarta : Mandar Maju 2002)
Elizabeth, Hurlock, Psikologis Perkembangan Sepanjang Kehidupan, ( Jakarta : Erlangga, 1997 ). Hamka, Tafsir Al-Azhar, ( Jakarta : Pustaka Panjimas,1983 ).
60
Harjono, Anwar, Hukum Islam Keluasan Dan Keadilan, ( Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1987 ).
http://bedahukum.blogspot.com/2009/12/kedewasaan-seseorang-
berdasarkan.html/data 15 maret 2010 http://khalilah-luthfiyah.cybermq.com/post/detail/9805/pernikahan-dini/25 Maret
2010 Ibrahim, al Bajuri, Semarang, Toha Putra, vol.2, Ichsan, Ahmad, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum, ( Jakarta : Pradia Paramita, 1986 ). Karim, Helmi, dkk., Problematika Hukum Islam Kontemporer. Buku ke II, ( Jakarta :
PT. Firdaus,1996 ). Kartono, Kartini, Psikologi Wanita Gadis Remaja Dan Wanita Dewasa, ( Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1981 ) Konopka, Psikologi Perkembangan Dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta : Gajah Mada University press. 1997). Kuzairi, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, ( Jakarta : PT, Raja Grafindo Persada,
1995) cet. I.
Mapreare , Andi, Psikologi Remaja, ( Surabaya : Usaha Nasional, 1982 ).
Monks, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta : Gajah Mada. University Press. 1998).
Mudhzar, atho`., dan khaoiruddin., Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern Studi
Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern dan Kitab-kitab Fiqh, ( Jakarta : Ciputat Press, 2003 ).
Mughniyah, Muh. Jawad, Fiqih Lima Mazhab, ( Jakarta : Lentera, 2003 ).
Nuruddin, Amiur, dan Azhari, Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana,2004 ).
Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang Dan Hukum
Keluarga, ( Bandung : Alumni, 1985 ).
61
Rahman, Bakri dan Sukadja, Ahmadi, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta : Hidakarya Agung,1981 )
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada,
2000) Sabiq, Sayyid, Fiqh As-sunnah. ( Beirut : Daar al-Fikr, 1983 ) cet, III. Jilid II
Sihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah : Pesan dan Kesan Keserasian Al-Quran, (Jakarta : Lentera Hati, 2000 )
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : UI Press, 1986 )
Soeryono, Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, ( Jakarta:PT. Grafinda.1992 )
Suyuthi, Jalaluddin, Jami’ al Shaghir, Darul Kutub Ilmiah, Beirut
Syatibi, Imam, al Muwafaqot, Beirut, Darul Kutub Ilmiah.
Syihâb, Muhammad bin al-Dîn al-Ramlî, Fatâwâ al-Ramlî bi Hâmisy al-Fatâwâ al-Kubrâ al-Fiqhiyyah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983)
Tahido Yanggo, Chuzaimah, Problematika Hukum Islam Kontemporer, ( Jakarta :
Pustaka Firdaus,2002 ) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Bandung: Citra Umbara,
2007 ).