44
BEBERAPA CATATAN TENTANG PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH Jumat, 17 Juli 2009 00:00 1. Sebelum menyampaikan pandangan saya tentang pendidikan Muhammadiyah, maka ada baiknya saya akan memperjelas posisi saya saat ini. Tidak kurang dari 20 tahun, saya turut ambil bagian dalam mengembangkan lembaga pendidikan di lingkungan Muhammadiyah. Sejak tahun 1976, saya menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Tidak lama kemudian, diangkat sebagai Pembantu Dekan, dilanjutkan sebagai Dekan FISIP. Setelah itu, selama 13 tahun (1983-1996) menjabat sebagai Pembantu Rektor I di kampus tersebut. Selain itu, selama dua periode (10 tahun) mendapatkan amanah sebagai ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah Kabupaten Malang. Saya juga tercatat sebagai pengurus Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah. Saat ini, sudah lebih dari 10 tahun saya absen mengurus lembaga pendidikan Muhammadiyah. Namun, selama tidak ikut aktif mengurus pendidikan Muhammadiyah, rasanya tidak mudah melepaskan diri dari ikatan emosional pendidikan Muhammadiyah, sekalipun agak terbatas. Pada poosisi seperti ini, barangkali saya bisa dipandang sebagai orang dalam (in-group) dan sekaligus orang luar (out-group) Muhammadiyah. Dengan posisi seperti ini, saya bisa lebih objektif, dan sekaligus potensial subjektif. 2. Banyak hal kenangan dan sekaligus hasil pengamatan saya terhadap lembaga pendidikan Muhammadiyah, apalagi setelah saya bandingkan dengan tempat hikmat saya setelah itu, yaitu memimpin STAIN Malang hingga sekarang berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Saya membenarkan statemen dalam proposal kegiatan ini, bahwa banyak hal pengalaman dan rumusan berharga yang bisa ditarik dari penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah, yang dalam sejarahnya telah melebihi usia negeri ini, yakni sudah genap seabad. Keterlibatan saya di lembaga pendidikan Muhammadiyah, menjadikan pergaulan saya dengan berbagai penggerak organisasi ini di berbagai lapisan, mulai tingkat ranting hingga pimpinan pusat dan juga pengamatan saya selama absen dari keterlibatan mengurus lembaga pendidikan Muhammadiyah, akan saya gunakan sebagai bahan catatan yang sekiranya perlu. 3. Lembaga pendidikan Muhammadiyah yang merata menjangkau hampir seluruh wilayah negeri ini, keadaannya bervariasi, sesuai dengan tingkat kekuatan organisasi di masing-masing daerah atau wilayah. Pendidikan Muhammadiyah yang tumbuh dari bawah, menjadikan keadaannya sangat beragam. Di daerah atau wilayah tertentu yang memiliki kepemimpinan yang kuat, maka lembaga pendidikannya berkembang dengan baik. Sebaliknya, di daerah atau wilayah lainnya, yang kebetulan tidak didukung oleh kepemimpinan yang kuat, maka lembaga pendidikan Muhammadiyah berjalan apa adanya. Sekalipun demikian, hal yang patut dihargai adalah semangat juang dan pengorbanan para penggeraknya selalu mewarnai penyelenggaraan pendidikannya. Pendidikan Muhammadiyah tidak pernah tampak dijalankan atas hubungan- hubungan transaksional, namun selalu diwarnai oleh semangat berjuang dan berkorban yang tulus itu. Prinsip-prinsip manajerial modern, sekalipun Muhammadiyah seringkali menyebut dirinya sebagai organisasi modern, sebagian banyak justru ditinggalkan. Akan tetapi di sinilah justru kekuatan sesungguhnya lembaga amal usaha Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah, bagaimana pun keadaannya, tetap berjalan, sekalipun dalam keadaan apa adanya.

Beberapa Catatan Tentang Pendidikan Muhammadiyah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

MUhamadiyah

Citation preview

BEBERAPA CATATAN TENTANG PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH Jumat, 17 Juli 2009 00:00 1. Sebelum menyampaikan pandangan saya tentang pendidikan Muhammadiyah, maka ada baiknya saya akan memperjelas posisi saya saat ini. Tidak kurang dari 20 tahun, saya turut ambil bagian dalam mengembangkan lembaga pendidikan di lingkungan Muhammadiyah. Sejak tahun 1976, saya menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Tidak lama kemudian, diangkat sebagai Pembantu Dekan, dilanjutkan sebagai Dekan FISIP. Setelah itu, selama 13 tahun (1983-1996) menjabat sebagai Pembantu Rektor I di kampus tersebut. Selain itu, selama dua periode (10 tahun) mendapatkan amanah sebagai ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah Kabupaten Malang. Saya juga tercatat sebagai pengurus Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah. Saat ini, sudah lebih dari 10 tahun saya absen mengurus lembaga pendidikan Muhammadiyah. Namun, selama tidak ikut aktif mengurus pendidikan Muhammadiyah, rasanya tidak mudah melepaskan diri dari ikatan emosional pendidikan Muhammadiyah, sekalipun agak terbatas. Pada poosisi seperti ini, barangkali saya bisa dipandang sebagai orang dalam (in-group) dan sekaligus orang luar (out-group) Muhammadiyah. Dengan posisi seperti ini, saya bisa lebih objektif, dan sekaligus potensial subjektif. 2. Banyak hal kenangan dan sekaligus hasil pengamatan saya terhadap lembaga pendidikan Muhammadiyah, apalagi setelah saya bandingkan dengan tempat hikmat saya setelah itu, yaitu memimpin STAIN Malang hingga sekarang berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Saya membenarkan statemen dalam proposal kegiatan ini, bahwa banyak hal pengalaman dan rumusan berharga yang bisa ditarik dari penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah, yang dalam sejarahnya telah melebihi usia negeri ini, yakni sudah genap seabad. Keterlibatan saya di lembaga pendidikan Muhammadiyah, menjadikan pergaulan saya dengan berbagai penggerak organisasi ini di berbagai lapisan, mulai tingkat ranting hingga pimpinan pusat dan juga pengamatan saya selama absen dari keterlibatan mengurus lembaga pendidikan Muhammadiyah, akan saya gunakan sebagai bahan catatan yang sekiranya perlu. 3. Lembaga pendidikan Muhammadiyah yang merata menjangkau hampir seluruh wilayah negeri ini, keadaannya bervariasi, sesuai dengan tingkat kekuatan organisasi di masing-masing daerah atau wilayah. Pendidikan Muhammadiyah yang tumbuh dari bawah, menjadikan keadaannya sangat beragam. Di daerah atau wilayah tertentu yang memiliki kepemimpinan yang kuat, maka lembaga pendidikannya berkembang dengan baik. Sebaliknya, di daerah atau wilayah lainnya, yang kebetulan tidak didukung oleh kepemimpinan yang kuat, maka lembaga pendidikan Muhammadiyah berjalan apa adanya. Sekalipun demikian, hal yang patut dihargai adalah semangat juang dan pengorbanan para penggeraknya selalu mewarnai penyelenggaraan pendidikannya. Pendidikan Muhammadiyah tidak pernah tampak dijalankan atas hubunganhubungan transaksional, namun selalu diwarnai oleh semangat berjuang dan berkorban yang tulus itu. Prinsip-prinsip manajerial modern, sekalipun Muhammadiyah seringkali menyebut dirinya sebagai organisasi modern, sebagian banyak justru ditinggalkan. Akan tetapi di sinilah justru kekuatan sesungguhnya lembaga amal usaha Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah, bagaimana pun keadaannya, tetap berjalan, sekalipun dalam keadaan apa adanya. 4. Orang luar selalu menyatakan bahwa Muhammadiyah memiliki kekuatan organisasi yang luar

biasa. Organisasi Muhammadiyah mampu menggerakkan dan memanage lembaga pendidikan yang tersebar seluas negeri ini. Banyak orang luar mengira bahwa sedemikian kuat organisasi Muhammadiyah hingga melahirkan lembaga pendidikan yang sedemikian besar, dan di antaranya meraih keunggulan yang diakui banyak orang. Padahal, sesungguhnya, organisasi itu tidaklah sekokoh gambaran itu. Keberhasilan Muhammadiyah dibanding dengan organisasi lainnya, termasuk dengan organisasi resmi pemerintah, adalah dalam hal menumbuhkembangkan jiwa beramal shalih yang sedemikian kuat di lingkungan warga atau simpatisannya. Dengan mengatas-namakan Muhammadiyah, orang rela berjuang dan berkorban. Muhammadiyah di beberapa tempat memiliki penggerak sekaligus kepemimpinan yang tangguh. Atas kekuatan orang-orang (figur), yang sayangnya tidak merata ini, Muhammadiyah bisa digerakkan olehnya. Saya mengamati bahwa sesungguhnya kekuatan Muhammadiyah bukan pada tataran organisasinya, melainkan pada komitmennya terhadap perjuangan dalam wadah organisasi Muhammadiyah dengan berbagai resikonya. Sekali lagi sayangnya, kekayaan Muhammadiyah berupa pemimpin, penggerak, dan pejuang yang ikhlash ini tidak merata dimiliki oleh seluruh wilayah atau daerah Muhammadiyah. 5. Dengan modal kekuatan orang-orang (figur) yang menyandang komitmen itulah maka Muhammadiyah berhasil mengembangkan lembaga pendidikan di mana-mana, di hampir seluruh Indonesia. Diakui, bahwa penggerak pendidikan Muhammadiyah adalah para pegawai negeri (guru, dosen atau birokrat), pengusaha atau lainnya. Anehnya, mereka mengabdi di Muhammadiyah dirasakan sebagai tuntutan ibadah, dan hal itu berbeda tatkala mereka menunaikan tugas, bekerja di tempat dinasnya yang dianggap sebagai menunaikan kewajiban yang bersifat profane. Muhammadiyah seperti memiliki "magnet" tersendiri untuk beramal atau bekerja. Keberhasilan Muhammadiyah menjadi kekuatan penggerak ini, kiranya perlu dipelajari dalam mengembangkan nilai-nilai dan ruh birokrasi yang pada umumnya sulit dikembangkan di berbagai tempat, termasuk di birokrasi pemerintahan sekalipun. 6. Nilai dan semangat mengabdi, berjuang, dan berkorban yang dikembangkan di lembaga pendidikan Muhammadiyah, ternyata sebagiannya berhasil ditransfer pada peserta didik Muhammadiyah. Mirip dengan pendidikan pesantren, pendidikan Muhammadiyah juga mampu melahirkan jiwa entrepeneourship bagi para lulusannya. Mereka dengan semangat berwirausaha, berani mengembangkan usaha-usaha ekonomi, termasuk juga bergerak mengembangkan lembaga pendidikan Muhammadiyah di tempat asal kelahirannya. Semangat berdakwah, lahir melalui lembaga pendidikan Muhammadiyah. Bandingkan dengan lulusan lembaga pendidikan pada umumnya, setelah lulus mencari kerja untuk kepentingan diri dan keluarganya. Sebaliknya, lulusan lembaga pendidikan Muhammadiyah, sekalipun tidak semuanya, berhasil menumbuhkan semangat berdakwah dan berjuang membangun masyarakat melalui organisasi Muhammadiyah atau lainnya. 7. Kecuali itu, hal yang masih perlu dikembangkan di lingkungan pendidikan Muhammadiyah adalah terkait dengan bangunan keilmuan (body of knowledge) yang belum sepenuhnya sesuai dengan jargon besar yang dikembangkan oleh organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini selalu menyerukan kembali kepada al-Quran dan as-sunnah Nabi Saw. Saya berpandangan, alangkah indahnya jika Muhammadiyah berhasil merumuskan secara utuh dan komprehensif, pendidikan yang benar-benar diwarnai oleh pesan-pesan Kitab Suci dan Tradisi Rasulullah itu. Saya melihat bahwa isi pendidikan di lembaga pendidikan Muhammadiyah masih terkesan

adanya pembagian ilmu secara dikotomik, yaitu adanya ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Muhammadiyah juga sebagaimana organisasi Islam lainnya, masih memahami Islam sebatas sebagai "agama", dan belum memandang Islam sebagai agama sekaligus juga peradaban. Terlihat di sana, misalnya, ada pemisahan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu agama plus KeMuhammadiyahan. Dari gambaran struktur keilmuan seperti itu, seolah-olah al-Quran hanya dipahami sebatas kitab pedoman melakukan kegiatan ritual dan spiritual, yang meliputi bidangbidang aqidah, fiqh, akhlak, sejarah dan bahasa Arab, sebagaimana hal ini dapat dilihat pada lembaga-lembaga pendidikan Islam pada umumnya. Jika saja jargon besar itu berhasil dirumuskan secara integral dan komprehensif dalam konteks bangunan keilmuan yang utuh, dengan memadukan ilmu umum dan ilmu agama, sebagaimana petunjuk al Quran dan hadis, maka ini akan menjadi ciri khas dan sekaligus keunggulan pendidikan Muhammadiyah. Dan, kegagalan di bidang ini menyebabkan masyarakat di luar Muhammadiyah menganggapnya sebagai titik lemahnya. 8. Sekadar bahan perbandingan dan sekaligus pertimbangan, bagaimana memulai pengembangan bangunan keilmuan di lembaga pendidikan Islam, seperti Muhammadiyah, ini saya telah mengembangkan apa yang disebut dengan integrasi Islam dan sains di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Model integrasi ini tentu harus diterjemahkan secara utuh dan komprehensif ke dalam seluruh struktur institusi yang ada, dengan pertama-tama, misalnya, mengembangkan keterpaduan pendidikan tinggi dengan tradisi pesantren, di mana yang unsur yang pertama tumbuh dan berkembang di atas basis kultural persantren. Selanjutnya adalah pengembangan bilingual system, yakni pengembangan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, di mana Bahasa Arab diperlukan untuk memahami sumber ajaran Islam, yaini al-Quran dan al-Hadis, sementara Bahasa Inggris sebagai alat mengeksplorasi sains. Di UIN Malang, penguatan bilingual tersebut dikembangkan melalui program-program unggulan, yakni Program Khusus Pembelajaran Bahasa Arab (PKPBA), dan Program Khusus Pembelajaran Bahasa Inggris (PKPBI). Setelah itu disusul dengan apa yang disebut dengan arkn al-jmi'ah (tiang penyangga perguruan tinggi), yaitu dosen, mahasiswa, laboratorium, perpustakaan, ruang perkuliahan, perkantoran, masjid, ma'had, pendanaan, dan manajemen. Tentu semua komponen fundamental ini telah dijabarkan ke dalam seluruh aspek penyelenggaraan pendidikan dan kurikulum pendidikan tingggi secara utuh, praktis, dan implementatif, untuk melahirkan karakter generasi yang unggul di masa mendatang. 9. Selanjutnya, Muhammadiyah yang senantiasa mencitrakan diri sebagai organisasi pembaharu, senantiasa melakukan inovasi-inovasi, maka selalu ditunggu-tunggu konsep dan implementasi pembaharuannya di bidang pendidikan. Pembaharuan bidang pendidikan oleh Muhammadiyah seharusnya tidak boleh berhenti. Masyarakat dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan, dan oleh karena itu pula selalu menuntut pembaharuan. Lembaga pendidikan Muhammadiyah pada gilirannya diposisikan dan dipfungsikan sebagai kekuatan pembaharu, the agent of change, tidak boleh hanya sebatas memosisikan diri sebagai pewaris sejarah lama, apalagi membanggakannya. Bahkan bentuk-bentuk pembaharuan yang dulu pernah dijalankan, pada saat ini perlu diperbaharui ulang sejalan dengan tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Muhammadiyah harus berani mengeluarkan kekuatan ampuh dan strategisnya, yaitu melakukan ijtihad besar dalam membangun lembaga pendidikan, yang diperlukan oleh bangsa dan umat manusia. Selain minimnya konsep pembaharuan, atau bahkan redupnya semangat ijtihad di kalangan generasi muda, ternyata akhir-akhir ini juga Muhammadiyah terbawa oleh arus dinamika yang bersifat teknis. Misalnya, Muhammadiyah ikut disibukkan oleh

perbincangan ujian nasional, sekolah kejuruan, dan perubahan-perubahan lain yang kurang mendasar, bahkan sangat insidental. Menurutt hemat saya, Muhammadiyah harus selalu memosisikan diri sebagai pencetus dan pengusung ide pembaharuan itu, dan bukannya malah sebagai penumpang pembaharuan. Tekad dan peran sebagai pembaharu, sebagaimana misi awal kelahirannya, pada saat sekarang mestinya sangat dimungkinkan untuk dilakukan, mengingat akhir-akhir ini sumber daya manusia yang dimiliki Muhammadiyah semakin banyak dan berkualitas. 10. Sekali lagi, melewati usianya yang sekian panjang, Muhammadiyah dengan berbagai perguruan tingginya, sudah semestinya telah melakukan reorientasi serta pengembangan sistem pendidikan, dari sebatas memberikan pelayanan pendidikan, kepada kegiatan-kegiatan yang memungkinkan dilahirkannya pemikiran-pemikiran baru, para pembaharu, dan para penggerak pembaharuan, baik menyangkut keislaman, ilmu, dan peradaban. Muhammadiyah tidak lagi hanya sebatas sebagai lembaga pendidikan komplementer sebagaimana yang diselenggarakan oleh pemerintah. Tetapi, lembaga pendidikan Muhammadiyah diangankan mampu memberikan nilai tambah dan lebih di tengah-tengah desakan perubahan global, seperti tuntutan sekolah berbasis isternasional (SBI), pendidikan yang mampu menciptakan lulusan profesional dan skilled, dan pendidikan yang mampu mengakses dimensi-dimensi global dengan tanpa menyingkirkan dimensi kearifan lokal yang ada. Karena itu, di tengah pengapnya sistem dan lembaga pendidikan Islam di Indonesia, yang kebanyakan adalah swasta dan senantiasa menuai kritik, maka Muhammadiyah harus berani tampil ke permukaan dengan senantiasa mengibarkan lagi-lagi semangat pembaruan dan modernisasi dalam arti yang sesungguhnya. 11. Maka, pada bagian akhir tulisan ini, saya perlu mengingatkan kembali akan arti pentingnya doktrin Muhammadiyah, yaitu pencerahan umat (selain itu adalah tauhid, mengembirakan amal shalih, kerjasama untuk kebajikan, dan tidak berpolitik praktis [H.M. Amien Rais dalam Nurhadi M. Musawir, 1996: 1-8]). Doktrin pencerahan umat ini tentu hanya bisa dimulai dengan mengembangkan lembaga pendidikan. Karena itu, para tokoh Muhammadiyah pendahulu, demikian Amien Rais, tidak pernah bosan mengingatkan masyarakat Islam Indonesia bahwa ilmu pengetahuan adalah barang yang hilang dari kaum muslimin yang harus direbut kembali. Tidak salah bila di awal pertumbuhannya, Muhammadiyah tidak membangun kongsi-kongsi dagang, tetapi membangun sekolah sebanyak mungkin. Logikanya jelas bahwa kebodohan telah menjerat umat Islam ke dalam ketertinggalan, keterbelakangan, kemiskinan, dan hilangnya daya saing. Atau, meminjam istilah Muhammad Abduh, bahwa umat Islam mahjb bi nafsih (tertutup/terbelakang karena dirinya sendiri) dan karena itu, untuk menginstal kembali peran strategis umat Islam haruslah dimulai dengan menghidupkan lembaga-lembaga pendidikan dengan misi utama pencerahan umat. 12. Doktrin pencerahan umat melalui pengembangan lembaga pendidikan bagi Muhammadiyah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Semangat doktrin ini akan menggelegak manakala kita mau membaca kisah nyata dalam novel Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata (2008), di mana SDI Muhammadiyah Belitoeng yang dilihat sebelah mata oleh masyarakat kala itu. Artinya, melalui pembacaan itu kita (warga Muhammadiyah) diajak untuk mengintrodusir kembali pencerahan dan sekaligus penyelamatan umat Islam melalui sistem dan lembaga pendidikan dengan mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah yang lebih berwibawa, bergengsi, dan tentu tidak lepas dari akar-akar keislaman/kemuham-madiyahan yang telah

dibangun

oleh

para

pendahulu.

13. Untuk mengejawantahkan doktrin mulia tadi, kiranya semangat amal shaleh yang akrab dikenal dengan semboyan amar ma'ruf nahi mungkar (menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar), sebagaimana terpatri pada pribadi Pak K.A. Harfan Effendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor (dikenal Pak Harfan) dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid (dikenal Bu Mus) dalam novel itu, kiranya harus menjadi sumber dinamika dan kreativitas. Semboyan itu harus senantiasa menjadi semangat yang built-in dalam perjuangan Muhammadiyah. 14. Selain itu, peran Muhammadiyah yang sedemikian besar dalam pendidikan, seharusnya pemerintah berani memosisikan lembaga pendidikan yang dikelola oleh organisasi ini sebagai mitra pemerintah, bukan sebagai pesaing, baik secara konseptual maupun operasional dalam memberikan pelayanan pendidikan pada masyarakat di negeri ini. Sebagaimana mitra, pemerintah dituntut memberikan otonomi sekaligus memfasilitasi segala kebutuhan yang belum berhasil dipenuhi oleh Muhammadiyah. Akhirnya, mari kita mulai pembangunan dan pengembangan lembaga pendidikan Muhammadiyah ini dengan semangat, "hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, dan bukan hidup untuk menerima sebanyak-banyaknya," sebagaimana seringkali diinjeksikan Pak Harfan kepada anak-didiknya di SDI Muhammadiyah Belitoeng. Wallahu alam bis-shawab! Catatan : Tulisan ini merupakan bahan diskusi di Univ.Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 17 Juli 2009

Pendidikan Muhammadiyah A. Azas Pendidikan Muhammadiyah Muhammadiyah semenjak pertama menitikberatkan kegiatannya di bidang pendidikan, disamping dawah dan social, di bidang pendidikan itu meletakkan pada dasar islam, berpedoman Al Quran dan Hadits. Dengan dasar dan pedoman tersebut akan membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendkiri, dan berguna bagi masyarakat. Secara umum asas-asas pendidikan adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bersifat sempurna, menyangkut seluruh aspek keanusiaan baik jasmani maupun ruhani dan akal. 2. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat. 3. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bersifat pengalaman, tidak cukup hanya perkataan saja, akan tetapi menuntut pengalaman. 4. Pendidikan islam bersifat pribadi dan masyarakat. Pendidikan islam berdasarkan keutamaan agar setiap pribadi menjadi sumber kebaikan dalam masyarakat. Setiap muslim adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. 5. Pendidikan islam mengembangkan fitrah manusia. 6. Pendidikan islam mengarah kepada kebaikan individu dan masyarakat. 7. Pendidikan islam berlangsung secara terus menerus sepanjang kehidupan manusia. Pendidikan islam berlaku untuk seluruh umat manusia. B. Hakikat Tujuan Pendidikan Muhammadiyah Hakikat tujuan Muhammadiyah adalah untuk membentuk manusia yang alim dalam ilmu agama, berpandangan luas dengan memiliki pengetahuan umum, siap berjuang mengabdi untuk Muhammadiyah dalam menyantuni nilai-nilai keutamaan pada masyarakat. Secara luas tujuan pendidikan Muhammadiyah antara lain: 1. Untuk membentuk akhlak yang mulia. 2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. 3. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat. 4. Menumbuhkan semangat ilmiah pada para pelajar dan memuaskan rasa ingin tahu, serta memungkinkan mereka mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri. 5. Menyiapkan pelajar dari segi profesi, teknik supaya dapat menguasai profesi atau ketrampilan tertentu. 6. Menumbuhkan potensi dan bakat asal pada anak. 7. Menumbuhkan kesadaran manusia untuk mengabdi, dan takut kepada Allah. 8. Menguatkan ukhuwah islamiyahdikalangan kaum muslim. 9. Mencapai keridhaan Allah, menjauhkan murka dan siksaanNya serta melaksanakan pengabdian yang tulus ikhlas kepadaNya. Dasar dan tujuan pendidikan Muhammadiyah dicapai dengan bimbingan kemasyarakatan, tajdkid (pembaharuan) aktivitas (kegiatan-kegiatan), kreatif (daya cipta) dan optimis dengan membina keluarga bahagia. Meluaskan agama (dawah), memperbanyak masjid dan mushalla, meningkatkan mutu sekolahan, penyertaan (pembinaan & pemeliharaan)masjid atau langgar disetiap bangunan sekolahan , membimbing aktivitas organisasi. C. Fungsi Lembaga Pendidikan Muhammadiyah Adapun amal usaha Muhammadiyah dibidang pendidikan adalah :

a. Mendirikan sekolah / madrasah dengan pelajaran agama sama banyak dengan ilmu umumnya (kurikulum gabungan). b. Mengirimkan guru-guru mubaligh ke daerah - daerah dan keluar negeri. c. Mendirikan pondok modern muhammadiyah disamping pendidikan ulama serta sekolahan pertanian ( diporong Surabaya,di Jombang, di Bogor dan sebagainya) d. Menggiatkan tabligh-tabligh dan pendidikan agama di sekolah negeri dan asrama-asrama polisi, narapidana,dll. e. Perguruan tinggi agama (Akademi Tabligh, FAkultas Dakwah, Fak. Sastra dll.) Adapun sekolah Madrasah dan perguruan yang telah diselenggarakan Muhammadiyah meliputi: 1. Perguruan / sekolah Agama : Madrasah Bustanul Atfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah,dll. 2. Perguruan Sekolah Umum: Sekolah taman kanak-kanak, Sekolah Dasar,SMP,SMA dan Universitas. 3. Perguruan / sekolah kejuruan (khusus): Sekolah Guru Agama, Sekolah Kepandaian Putri, sekolah menengah ekonomi pertama dan fakultas hukkum, ekonomi, social, sejarah, bahasa dan sastra Indonesia, teknik, Kedokteran. Dalam hal ini Muhammadiyah terus berusaha meningkatkan amal usahanya, baik secara perseorangan maupun secara gotong royong. Pada dasarnya lembaga pendidikan ini dibedakan menjadi tiga, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat (lingkungan). Namun yang dimaksud disini adalah lembaga pendidikan sekolah. Masing-masing lembaga memiliki peran yang melekat pada setiap anggotanya dan juga fungsi yang mendorong setiap anggotanya menjalankan aktivitasnya dengan baik dan benar. Fungsi lembaga pendidikan Muhammadiyah antara lain adalah pertama, menjadi otoritas dengan kepedulian pada setiap anggotanyaterutama pada anak didiknya. Kedua, mengajak setiap anggota untuk meningkatkan peran dan fungsinya didalam perkembangan ilmu dan kemajuan serta kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Ketiga, menjadi wadah komunikasi yang baik dalam dunia keilmuan maupun dalam hal social kemasyarakatan. D. Pedoman Guru Muhammadiyah Pedoman yang harus digunakan oleh guru muhammadiyah adalah meliputi beberapa hal, pertama harus berpegang kepada AL-Quran dan Sunnah disamping pada aturan-aturan lainnya yang berporos pada nilai-nilai ajaran islam baik ketika bertugas sebagai seorang guru maupun ketika dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, berjiwa ikhlas dan gemar berbuat kebajikan serta memberikan contoh yang baik. Ketiga, gemar mengembangkan ilmu (profesi, atau keterampilan). Dalam kehidupan pengembangan ilmu dan tekhnologi ini menjadi kewajiban warga Muhammadiyah sebagaimana dituangkan dalam pedoman hidup islami warga Muhammadiyah terbitan PP Muhammadiyah, sesuai keputusan Muktamar Muhammadiyah tanggal 8 - 11 Juli tahun 2000 di Jakarta yaitu : 1. Setiap warga Muhammadiyah wajib menguasai dan memiliki keunggulan dalam kemampuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sebagai sarana kehidupan yang penting untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. 2. Setiap warga muhammadiyah wajib untuk menguasai dan memiliki sifat-sifat ilmuwan, yaitu kritis, terbuka menerima kebenaran dari manapun datanganya, serta senantiasa menggunakan daya nalar. 3. Kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi merupakan bagian yan g tak terpisahkan dengan iman dan amal saleh yang menunjukan derajat kaum muslimin dan

membentuk pribadi ulul albab. 4. Setiap warga Muhammadiyah dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada masyarakat, memberikan peringatan, memanfaatkan untuk kemaslahatan dan mencerahkan kehidupan sebagai wujud ibadah, jihad, dan dakwah. 5. Menggairahkan dan menggembirakan gerakan mencari ilmu pengetahuan dan penguasaaan teknologi baik melalui pendidikan maupun kegiatan-kegiatan di lingkungan keluarga dan masyarakat sebagai sarana penting untuk membangun peradaban islam. Dalam kegiatan ini termasuk menyemarakkan tradisi membaca di seluruh lingkungan warga Muhammadiyah.

Pengkajian dan penelitian tentrang Muhammadiyah tidak ada habis-habisnya. Muhammadiyah ibarat sebuah rumah besar yang bisa dilihat dari berbagai sudut, sehingga memunculkan banyak objek penelitian yang sangat penting untuk di teliti. Apalagi Muhammadiyah itu bukan hanya menggarap bidang dakwah (Islam) semata, melainkan suatu gerakan praksis yang membumikan ajaran Islam dalam realitas sosial yang nyata (Drs. Haedar nasir, Msi).

Pernyataan haedar nasir diatas yang juga salah seorang pimpinan pusat Muhammadiyah bukanlah sebuah kata-kata isapan jempol belaka. Karena dari pernyataan Rumah besar yang dapat diteliti dari berbagai sudut memunculkan keunikan tersendiri bagi Muhammadiyah. Bagaimana tidak bahkan Nurcholis Madjid (Alm) sendiri pernah memuji gerakan Muhammadiyah sebagai cerita sukses umat Islam khususnya dalam bidang pendidikan dan merupakan kesuksesan terbesar dalam gerakan praksis sosial yang telah melahirkan ribuan amal usaha (lembaga pendidikan) yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Berdasarkan data terbaru (Profil Muhammadiyah) amal usaha Muhammadiyah si bidang pendidikan berjumlah 5.797 buah, merupakan angka yang cukup fantastis untuk sebuah lembaga pendidikan yang dinaungi dalam satu payung organisasi dengan rincian ; 1132 Sekolah Dasar ; 1769 Madrasah Ibtidaiyah ; 1184 Sekolah Menengah Pertama; 534 Madrasah Tsanawiyah ; 511 Sekolah Menengah Atas ; 263 Sekolah Menengah Kejuruan ; 172 Madrasah Aliyah ; 67 Pondok Pesantren ; 55 Akademi ; 4 Politeknik ; 70 Sekolah Tinggi dan 36 Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Total jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah sebanyak itu merupakan bilangan yang cukup fantastis bagi sebuah organisasi sosial keagamaan dimanapun. Apalagi keberadaan lembaga pendidikan tersebut merupakan pengejawantahan dari model pemahaman keagamaan (keIslaman) di Muhammadiyah. Inilah yang kemudian menjadi sebuah pertanyaan, pemahaman atau idiologi apa yang diterapkan oleh Muhammadiyah dalam mengurusi lembaga pendidikan yang sebesar itu. Mungkin langsung timbul sebuah jawaban dari pertanyaan tersebut tentu saja idiologi Islam yang di gunakan karena Muhammadiyah berasaskan Islam (AD/ART Muhammadiyah). Namun muncul kemudian pertanyaan mengapa Muhammadiyah dengan idiologi Islam dalam mengurusi lembaga pendidikanya dan organisasinya yang mendekati umur seabad mengalami stagnasi dalam kegiatan tjdid dan tanzihnya. Padahal dengan semngat tajdid dan tanzih lah Muhammadiyah tersebut dilahirkan. Maka pada akhirnya bermunculanlah kritikan bahwa Muhammadiyah telah mengingkari (disorientasi) cita-citanya sebagai gerakan tajdid dan tanzih dengan semangat pembaharuan menjadi kemapanan (established) yang pada akhir kritik menyebutkan bahwa Muhammadiyah ibarat seekor gajah bengkak. Maka mendaratlah semua kritikan kepada lembaga pendidikan. Karena pada dasarnya lembaga pendidikanlah yang menentukan masa depan sebuah gerakan, organisiasi, bahkan bangsa sekalipun ditentukan oleh pendidikan bagi masa depannya. Untuk itu pengkajian dan penelitian lebih intensif perlu dilakukan pada lembaga pendidikan Muhammadiyah demi keberlangsungan gerakan

Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan dakwah Islam yang notabenenya lembaga pendidikan Muhammadiyah merupakan pencetak kader gerakan Muhammadiyah. Maka perlu dikaji lebih dalam lagi seperti apa lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai dari sejarah berdirinya sampai dengan sistem atau idiologi apa yang sebenarnya digunakan oleh Muhammadiyah untuk mengelola lembaga pendidikannya sekarang sadar ataupun tidak sehingga muncul kritikan gajah bengkak pada Muhammadiyah.

SEJARAH BERDIRINYA LEMBAGA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

Sebenarnya jika dikaji lebih dalam, berdirinya Muhammadiyah juga didasari oleh faktor pendidikan. Sutarmo, Mag dalam bukunya Muhammadiyah, Gerakan Sosisal, Keagamaan Modernis mengatakan bahwa Muhammadiyah didirikan oleh KHA. Dahlan didasari oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh dan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar Islam. Maka pendidikan Muhammadiyah adalah salah satu faktor internal yang mendasari Muhammadiyah didirikan. Kita ketahui bahwa pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, lembaga-lembaga pendidikan yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar sistem pendidikan. Dua sistem pendidikan yang berkembang saat itu, pertama adalah sistem pendidikan tradisional pribumi yang diselenggarakan dalam pondok-pondok pesantren dengan Kurikulum seadanya. Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok-pondok adalah pelajaran agama. Proses penanaman pendidikan pada sistem ini pada umumnya masih diselenggarakan secara tradisional, dan secara pribadi oleh para guru atau kyai dengan menggunakan metode srogan (murid secara individual menghadap kyai satu persatu dengan membawa kitab yang akan dibacanya, kyai membacakan pelajaran, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya) dan weton (metode pengajaran secara berkelompok dengan murid duduk bersimpuh mengelilingi kyai juga duduk bersimpuh dan sang kyai menerangkan pelajaran dan murid menyimak pada buku masing-masing atau dalam bahasa Arab disebut metode Halaqah) dalam pengajarannya. Dengan metode ini aktivitas belajar hanya bersifat pasif, membuat catatan tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap penjelasan sang kyai adalah hal yang tabu. Selain itu metode ini hanya mementingkan kemampuan daya hafal dan membaca tanpa pengertian dan memperhitungkan daya nalar. Kedua adalah pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan pelajaran agama tidak diberikan. Bila dilihat dari cara pengelolaan dan metode pengajaran dari kedua sistem pendidikan tersebut, maka perbedaannya jauh sekali. Tipe pendidikan pertama menghasilkan pelajar yang minder dan terisolasi dari kehidupan modern, akan tetapi taat dalam menjalankan perintah agama, seangkan tipe kedua menghasilkan para pelajar yang dinamis dan kreatif srta penuh percaya diri, akan tetapi tidak tahu tentang agama, bahkan berpandangan negatif terhadap agama. Maka atas dasar dua sistem pendidikan di atas KHA. Dahlan kemudian dalam mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah coba menggabungkan hal-hal yang posistif dari dua sistem

pendidikan tersebut. KHA. Dahlan kemudian coba menggabungkan dua aspek yaitu, aspek yang berkenaan secara idiologis dan praktis. Aspek idiologisnya yaitu mengacu kepada tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu utnuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, pengetahuan yang komprihensif, baik umum maupun agama, dan memiliki keasadaran yang tinggi untuk bekerja membangun masyrakat (perkembangan filsafat dalam pendidikan Muhmmadiyah, syhyan rasyidi). Sedangkan aspek praktisnya adalah mengacu kepada metode belajar, organisasi sekolah mata pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan dengan teori modern. Maka inilah sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah yang jika disimpulkan ihwal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk mencetak ulama atau pemikir yang mengedepnkan tajdid atau tanzih dalam setiap pemikiran dan gerakannya bukan ulama atau pemikir yang say yespada kemapanan yang sudah ada (established) karena KHA. Dahlan dalam memadukan dua sistem tersebut coba untuk menciptakan ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri dan taat dalam menjalankan perintah agama.

REALITA SISTEM PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH JELANG SATU ABAD

Sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah diatas telah menunjukkan kepada kita bahwa pada awalnya lembaga pendidikan Muhmmadiyah itu didasari atas realita pendidikan dengan kedua sistem tersebut tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah untuk mencetak manusia yang mampu mengusung tajdid dan tnajih gerakan bahkan pula tidak mampu mencapai tujuan pendidikan dalam arti khusu yaitu khusus yaitu pendidikan sebagai proses pembentukan dan pengembangan jiwa. Model pendidikan seperti itu hanya menempatkan objek didik sebagai gudang kosong atau murid dianggap berada dalam kebodohan absolut (basolute ignorance). Menyadari dua sistem tersebut tidak akan mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah maka KHA. Dahlan merumuskan sebuah sistem baru model pendidikan dengan menggabungkan sistem posistif dari dua sistem tersebut demi mencetak manusia yang mempunyai landasan gerakan tjdid dan tanzih dalam koridor Islam, dan mengesampingkan status sosial maupun fasilitas yamg ada. Tetapi apa yang dapat kita lihat saat ini sungguh merupakan kebalikan dari sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhmmadiyah. Lembaga pendidikan Muhmmadiyah yang ada saat ini ternyata lebih mementingkan sarana fasilitas yang akan membawa nama besar sekolah untuk menggapai yang namanya prestise dan untuk menarik banyak orang masuk ke lembaga pendidikan tersebut dan mengesampingkan seperti apa manusia yang akan dihasilkan dikemudian kelak. Sepeti yang disampaiakan oleh Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya Pendidikan Islam, Tradisidan Modernisasi , Menuju Mellinium Baru mengatakan bahwa di Indonesia belajar pada sebuah lembaga pendidikan ibarat memilih sebuah hotel untuk menginap. Semakin mewah hotel yang dipilih maka semakin tinggi prestise yang didapat padahal esensi dari semua hotel adalah sama hanya sebagai tempat menginap. Di tambahkannya lagi bahwa di Indonesia belajar ke sebuah perguruan pendidikan pertama-tama adalah untuk mengejar status dan selembar ijazah, bukan keahlian, keterampilan dan profesionalisme. Tidak bisa kita nafikan bahwa fakta yang ada dilapangan khusunya di beberapa perguruan Muhammadiyah sendiri lebih

mengedepankan status kemewahan fasilitas dan berapa jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah tersebut sampai dengan lulus dalam sastu tahun pengajaran tanpa melihat sudah sejauh mana manusia-manusia lulusan itu mampu berkompetisi di dunia luar. Maka mahfumlah kita apabila kader-kader gerakan semakin hari semakin sulit didapatkan khususnya kader tajdid dan tanzih. Belum lagi kita menjumpai bahwa di beberapa perguruan Muhammadiyah masih sering menggunakan metode sorogan dan wton tetapi dengan gaya baru. Tidak lagi duduk bersimpuh sudah duduk dikursi empuk, tidak lagi menggunakan kitab tetapi menggunakan alat-alat canggih yang semakin membuat si guru semakin nyaman duduk di kursi empuknya dan hanya menerangkan pelejaran dari kursinya tersebut. Peserta didik yang ada hanya menjadi subjek didik yang pasif tanpa adanya proses dialogis dalam teknik pengajaran. Disinilah terjadinya stagnasi terhadap pencetakan kader tadi. Para subjek didik terus dianggap sebagai seorang yang memiliki kebodohan absolut. Meminjam istilah yang diperkenalkan paulo fereire, sistem yang banyak digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah Banking Concept of Education(konsep pendidikan Bank), yang akan mematikan potensi kreatifitas berpikir subjek didik, dan posisi subjek didik hanya sebagai gudang penyimpanan (Banking Concept) yang tidak tahu untuk apa barang yang disimpan digudang otak mereka. Maka pertanyaan apa sebenarnya sistem yang digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah dapat terjawab. Jika kita lihat sistem pendidikan Muhmmadiyah yang ada sekarang lebih condong kepada sistem Liberal di satu sisi dan disisi lain sistem konservatif. Sistem liberal dalam pengelolaan sekolah dan sistem konservatif dalam sistem pengajaran. Seperti yang kita ketahui bahwa sistem pendidikan liberal lebih memecahkan masalah pendidikan dengan usaha Reformasi Kosmetik (Pendidikan Popular) yang lebih menekankan fasilitas baru, memodernkan peralatan sekolah serta berbagai usaha untuk meningkatkan rasio murid-guru. Sedangkan sistem pendidikan konservatif adalah sebuah sistem pendidikan yang seperti dikatakan diatas (sorogan dan weton) menempatkan murid berada dlam kebodohan absolut dan guru dalam kebenaran absolut sehingga murid tidak di perkenankan untuk berpikir, hanya menerima pelajaran dari si guru dan ini merupakan sebuah kemapanan yang harus di prtahankan. Jelas sudah terjawab, mengapa kader tajdid dan tanzih serta produk tajdid Muhammadiyah mengalami kemunduran, karena sistem pendidikan yang digunakan saat ini adalah sistem yang mendukung untuk mematikan kreatifitas berfikir. Maka kritikan yang mengatakan bahwa Muhammadiyah seperti Gajah Bengkak tidak salah diberikan, karena dengan fasilitas pendidikan yang cukup fantastis dan luar biasa banyak ternyata tidak mapu untuk melakukan gerak dinamis.

QUO VADIS SISTEM PENDIDIKAN MUHMMADIYAH

Solusi untuk menjawab ini semua sebenarnya sudah dijawab dan dicontohkan oleh KHA. Dahlan sendiri ketika awal mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah seperti yang telah

dijelaskan diatas. Qou Vadis sistem pendidikan Muhmmadiyah adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan. Contohnya sudah dilakukan oleh KHA.Dahlan sendiri dengan membuat sebuah terobosan baru dalam sistem pendidikan saat itu, maka Muhmmadiyah saat ini yang umurnya menjelang satu abad juga harus melakukan terobosan baru dalam sistem pendidikan yang ada (Tajdid Pendidikan), agar kader tajdid dan tanzih serta ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid dan tanzih tidak hilang sehingga cita-cita lembaga pendidikan Muhmmadiyah segera terwujud.

Profesionalisme Guru di Pendidikan Muhammadiyah Ditulis oleh Mujtahid Selasa, 15 Maret 2011 08:07SETELAH membicarakan mengenai membangun profesionalisme pendidikan Muhammadiyah pada tulisan sebelumnya, maka pada tulisan ini penulis ingin menyajikan beberapa gagasan tentang perlunya reorientasi pengembangan profesionalisme guru. Setidaknya melalui sajian diharapkan memberikan kontribusi tentang langkah-langkah ke depan yang harus diambil untuk pengembangan profesionalisme guru di pendidikan Muhammadiyah. Seperti yang terlihat, terdengar dan mungkin telah menjadi fakta bahwa kondisi guru di setiap sekolah pada umumnya, dan termasuk juga di sekolah Muhammadiyah, seringkali dikesankan jauh panggang dari sikap profesionalisme. Akhir-akhir ini, ada beberapa hal yang mendapatkan sorotan dan menjadi isu utama dalam banyak pembicaraan yaitu mengenai masalah mutu profesi guru.1[1] Menurut Willian Castetter,2[2] pengembangan dapat dipahami bahwa upaya individu untuk menumbuhkan dirinya sendiri supaya mengembangkan tugas kewajibannya, terutama dalam pendidik yang belum mempunyai standar in servis education, seperti pendidik yang belum memenuhi persyaratan baik dari segi penguasaan bahan, ketrampilan, maupun metodologi dalam melaksanakan tugasnya. Sementara dalam pandangan Edwin B. Flippo3[3] pengembangan dapat memberikan dampak positif baik kepada dirinya sendiri maupun kepada institusi. Jadi esensi yang dikemukakan oleh kedua pandangan di atas, bahwa pengembangan merupakan tuntutan yang harus dijalankan supaya menambah keluasan dan kefektifan dalam menjalankan tugasnya. Pengembangan profesionalisme guru berarti proses improvisasi diri (self improvement) yang tiada henti. Sebab terkait dengan kecepatan perkembangan ilmu dan teknologi telah memberikan tekanan pada sekolah dalam berbagai hal seperti fasilitas, struktur organisasi serta sumber daya manusia. Alasan pokok terhadap pengembangan profesionalisme yaitu guru merupakan personel yang bertanggungjawab dalam memberikan sumbangan pada pertumbuhan dan pengembangan ilmu, mengembangkan kemampuan belajar siswa, serta melaksanakan kegiatan administrasi sekolah. Mengingat beratnya tugas yang dijalankan, maka proses pengembangan profesinalisme

1[1] Muchtar Buchori, Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, (Yogayakarta: Tiara Wacana,1994), hal. 93.

merupakan upaya untuk meringankan bagian-bagian dari tugas yang dipikulnya tersebut. Sehingga untuk melakukan pengembangan harus berangkat dari komitmen dan semangat yang serius. Kalau pengembangan dipahami sebagai komitmen pembenahan diri maka akan muncul motivasi dan orientasi yang positif. Namun jika pengembangan hanya dipahami sebagai formalitas, maka akan muncul kejenuhan dan membosankan. Pengembangan profesionalisme guru di sekolah Muhammadiyah belum belum sepenuhnya dapat berjalan secara signifikan, meski terdapat beberapa sekolah yang memeng menonjol. Padahal, motivasi sangat diperlukan untuk menjalin kerjasama yang baik. Motivasi dapat diformulasikan sebagai berikut: Pertama, setiap perasaan atau kehendak dan keinginan yang amat mempengaruhi kemauan individu, sehingga individu tersebut didorong untuk berperilaku dan bertindak. Kedua, pengaruh, kekuatan yang menimbulkan perilaku individu. Ketiga, setiap tindakan atau kejadian yang menyebabkan berubahnya perilaku seseorang, dan keempat, proses dalam menentukan gerakan atau tingkah laku individu kepda tujuan (goals). Sementara keempat formulasi tersebut belum maksimal berjalan. Berangkat dari kelemahan-kelemahan di atas, tidak bisa disahkan apabila banyak sekolahsekolah Muhammadiyah mutunya rendah. Mutu yang rendah, salah satu penyebabnya adalah karena mutu guru yang rendah. Dengan demikian, permasalahan guru di sekolah Muhammadiyah harus diselesaikan secara komprehensif menyangkut semua aspek terkait yaitu kesejahteraan, kualifikasi, pembinaan, perlindungan profesi, dan administrasinya. Dalam konteks kekinian, suatu sumber permasalahan sekolah yang terbesar adalah adanya perubahan, sehingga permasalahan akan senantiasa ada sampai kapan pun. Karena itu guru dituntut dapat menyesuaikan dengan perubahan perkembangan yang ada dalam masyarakat. Untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut maka secara sadar atau tidak diperlukan sebuah reorientasi pengembangan profesionalisme guru. Adapun pengembangan profesionalisme guru dapat diarahkan sebagai berikut.

Meningkatkan Kompetensi Guru Kompetensi Guru merupakan salah satu ukuran yang ditetapkan bagi seorang guru dalam menguasai seperangkat kemampuan agar berkelayakan menduduki salah satu jabatan fungsional guru, sesuai bidang tugas dan jenjang pendidikannya. Persyaratan dimaksud adalah penguasaan proses belajar mengajar dan penguasaan pengetahuan. Jabatan fungsional guru adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak seorang guru yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri. Profesionalisme guru dibangun melalui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah: kompetensi bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, kompetensi bidang pendidikan nilai dan bimbingan serta kompetensi bidang hubungan dan pelayanan/pengabdian masyarakat. Pengembangan profesionalisme guru meliputi peningkatan kompetensi. peningkatan kinerja (performance) dan kesejahteraannya. Guru sebagai profesional dituntut untuk senantiasa

meningkatkan kemampuan, wawasan dan kreatifitasnya. Pola dan gaya masyarakat saat ini, hampir telah mempercayakan sepenuhnya sebagian tugasnya kepada guru. Sehingga tugas guru yang diemban dari limpahan tugas masyarakat tersebut antara lain adalah mentransfer kebudayaan dalam arti luas, keterampilan menjalani kehidupan (life skills), dan nilai-nilai serta belief. Selain itu, guru secara mendalam harus terlibat dalam kegiatan-kegiatan menjelaskan, mendefinisikan, membuktikan, dan mengklasifikasi. Tugasnya sebagai pendidik bukan hanya mentransfer pengetahuan, keterampilan dan sikap, tetapi mempersiapkan generasi yang lebih baik di masa depan. Oleh karena itu, guru harus memiliki kompetensi dalam membimbing siswa siap menghadapi the real life dan bahkan mampu memberikan teladan yang baik. Selain itu, dituntut mengusai dan mampu memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi dan berubah peran menjadi fasilitator yang membelajarkan siswa sampai menemukan sesuatu (scientific curiosity). Selebihnya guru juga harus bersikap demokratis serta menjadi profesional yang mandiri dan otonom. Peran guru seperti itu sejalan dengan era masyarakat madani (civil society). Lebih jauh lagi akibat adanya sinergi dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta perubahan masyarakat yang lebih demokratis dan terbuka akan menghasilkan suatu tekanan atau pressure serta tuntutan atau demand terhadap profesionalisme guru dalam mendayagunakan teknologi komunikasi dan informasi tersebut. Termasuk dalam hal pertanggungjawaban atau akuntabilitasnya. Sebagaimana profesi-profesi lain, guru adalah profesi yang kompetitif. Oleh karena itu guru harus siap untuk diuji kompetensinya secara berkala untuk menjamin agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus berkembang. Di masa depan dapat dipastikan bahwa profil kelayakan guru akan ditekankan kepada aspek-aspek kemampuan membelajarkan siswa, dimulai dari menganalisis, merencanakan atau merancang, mengembangkan, mengimplementasikan, dan menilai pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan. Kemampuan-kemampuan yang selama ini harus dikuasai guru juga akan lebih dituntut aktualisasinya. misalnya kemampuannya dalam: 1) merencanakan pembelajaran dan merumuskan tujuan, 2) mengelola kegiatan individu, 3) menggunakan multi metode, dan memanfaatkan media, 4) berkomunikasi interaktif dengan baik, 5) memotivasi dan memberikan respons, 6) melibatkan siswa dalam aktivitas, 7) mengadakan penyesuaian dengan kondisi siswa, 8) melaksanakan dan mengelola pembelajaran, 9) menguasai materi pelajaran, 10) memperbaiki dan mengevaluasi pembelajaran, 11) memberikan bimbingan, berinteraksi dengan sejawat dan bertanggungjawab kepada konstituen serta, 12) mampu melaksanakan penelitian. Secara spesifik pelaksanaan tugas guru sehari-hari di kelas seperti membuat siswa berkonsentrasi pada tugas, memonitor kelas, mengadakan, penilaian dan seterusnya, harus dilanjutkan dengan aktivitas dan tugas tambahan yang tidak kalah pentingnya seperti membahas persoalan pembelajaran dalam rapat guru, mengkomunikasikan hasil belajar siswa dengan orangtua dan mendiskusikan berbagai persoalan pendidikan dan pembelajaran dengan sejawat. Bahkan secara lebih spesiflk guru harus dapat mengelola waktu pembelajaran dalam setiap jam pelajaran secara efektifdan efisien. Untuk dapat mengelola pembelajaran yang efektif dan efisien tersebut, guru harus senantiasa belajar dan meningkatkan keterampilan dasarnya. Menurut Rosenshine dan Stevens sembilan keterampilan dasar yang penting dikuasai oleh guru adalah keterampilan; 1) membuka pembelajaran dengan mereview secara singkat pelajaran terdahulu yang terkait dengan pelajaran yang akan disajikan, 2) menyajikan

secara singkat tujuan pembelajaran, 3) menyajikan materi dalam langkah-langkah kecil dan disertai latihannya masing-masing, 4) memberikan penjelasan dan keterangan yang jelas dan detil, 5) memberikan latihan yang berkualitas, 6) mengajukan pertanyaan dan memberi banyak kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pemahamannya, 7) membimbing siswa menguasai keterampilan atau prosedur baru, 8) memberikan balikan dan koreksi, dan 9) memonitor kemajuan siswa. Selain itu, tentu saja masih ada keterampilan lain yang harus dikuasai guru misalnya menutup pelajaran dengan baik dengan membuat rangkuman dan memberikan petunjuk tentang tindak lanjut yang harus dilakukan siswa.4[4] Pendeknya, banyak hal-hal kecil yang harus diperhatikan dan dikuasai oleh guru sehingga secara kumulatif membentuk suatu keutuhan kemampuan profesional yang bisa ditampilkan dalam bentuk kinerja yang optimal. Dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru, maka guru sendiri harus mau membuat penilaian atas kinerjanya sendiri atau mau melakukan otokritik. Di samping itu, kritik, pendapat dan berbagai harapan masyarakat juga harus menjadi perhatiannya. Jadi, guru harus memperbaiki profesionalismenya sendiri, dan masyarakat membantu mempertajam dan menjadi pendorongnya.

Memperluas Jaringan Profesi Guru Setelah berbicara tentang pembenahan kompetensi guru, maka pada bagian ini akan dibicarakan mengenai jaringan profesi guru. Maksud dari jaringan profesi guru adalah kesadaran guru terhadap pembentukan kelompok profesi untuk meningkatan hubungan kerjasama dalam rangka saling memberi dan menukar informasi. Dengan terbentuknya jaringan profesi guru, maka menurut hemat penulis, guru bisa berusaha untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, memahami tuntutan standar profesi yang ada, Kedua mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan, Ketiga, membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas. Keempat, mengembangkan etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan bermutu tinggi kepada konstituen, Kelima, mengadopsi inovasi atau mengembangkan kreativitas dalam pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir agar senantiasa tidak ketinggalan dalam kemampuannya mengelola pembelajaran. Upaya memahami tuntutan standar profesi yang ada harus ditempatkan sebagai prioritas utama jika guru ingin meningkatkan profesionalismenya. Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, persaingan global sekarang memungkinkan adanya mobilitas guru secara lintas negara. Kedua, sebagai profesional seorang guru harus mengikuti tuntutan perkembangan profesi secara global, dan tuntutan masyarakat yang menghendaki pelayanan yang lebih baik. Cara satu-satunya untuk memenuhi standar profesi ini adalah dengan belajar secara terus menerus sepanjang hayat, dengan membuka diri yakni mau mendengar dan

melihat perkembangan baru di bidangnya. Kemudian upaya mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan juga tidak kalah pentingnya bagi guru. Dengan dipenuhinya kualifikasi dan kompetensi yang memadai maka guru memiliki posisi tawar yang kuat dan memenuhi syarat yang dibutuhkan. Peningkatan kualitas dan kompetensi ini dapat ditempuh melalui in-service tarining dan berbagai upaya lain untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru. Upaya membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas dapat dilakukan guru dengan membina jaringan kerja atau networking. Guru harus berusaha mengetahui apa yang telah dilakukan oleh sejawatnya yang sukses. Sehingga bisa belajar untuk mencapai sukses yang sama atau bahkan bisa lebih baik lagi. Melalui networking inilah guru memperoleh akses terhadap inovasi-inovasi di bidang profesinya. Jaringan kerja guru bisa dimulai dengan skala sempit, misalnya mengadakan pertemuan informal kekeluargaan dengan sesama teman, sambil berolah raga, silaturahmi atau melakukan kegiatan sosial lainnya. Pada kesempatan seperti itu, guru bisa membincangkan secara leluasa kisah suksesnya atau sukses rekannya sehingga mereka dapat mengambil pelajaran lewat obrolan yang santai. Bisa juga dibina melalui jaringan kerja yang lebih luas dengan menggunakan teknologi komunikasi dan informasi, misalnya melalui korenspondensi dan mungkin melalui intemet untuk skala yang lebih luas. Apabila korespondensi atau penggunaan internet ini dapat dilakukan secara intensif akan dapat diperoleh kiat-kiat menjalankan profesi dari sejawat guru di seluruh dunia. Pada dasarnya networking/jaringan kerja ini dapat dibangun sesuai situasi dan kondisi serta budaya setempat. Selanjutnya upaya membangun etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelavanan bermutu tinggi kepada konstituen merupakan suatu keharusan di zaman sekarang. Semua bidang dituntut untuk memberikan pelayanan prima. Guru pun harus memberikan pelayanan prima kepada konstituennya yaitu siswa, orangtua dan sekolah sebagai stakeholder. Terlebih lagi pelayanan pendidikan adalah termasuk pelayanan publik yang didanai. diadakan, dikontrol oleh dan untuk kepentingan publik. Oleh karena itu guru harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. Satu hal lagi yang dapat diupayakan untuk peningkatan profesionalisme guru adalah melalui adopsi inovasi atau pengembangan kreativitas dalam pemanfaatan teknologi pendidikan yang mendayagunakan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir. Guru dapat memanfaatkan media dan ide-ide baru bidang teknologi pendidikan seperti media presentasi, komputer (hard technologies) dan juga pendekatan-pendekatan baru bidang teknologi pendidikan (soft technologies). *) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Mailiki Malang

5[2] Willian, B. Castetter, The Personnel Fungsion In Educational Administrasi, (New York: MacMillanPublishing co, 1981), hal. 312.

6[3] Edwin B. Flippo, Personel Management, (Singapura: McGraw Hill Company Singapore Nationalprinters, 1986) hal 199. 7[4] Purwanto. Profesionalisme Guru, dalam http://www.pustekkom.go.id/teknodik

FILSAFAT PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH: Tinjauan Historis dan Praksis Mohamad Ali dan Marpuji Ali Dosen Al Islam & Kemuhammadiyahan UMS

PENDAHULUAN Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana "Robohnya Sekolah Muhammadiyah" untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga muncul berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum sanggup menciptakan kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana. Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep yang mendasarinya. Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apatah lagi bila dikaitkan dengan upaya mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran filsafat pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan di Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu umum, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda yang tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan "musuh" dalam selimut. Dengan demikian, sudah tinggi waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A. Syafii Maarif yang berjudul "Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis". Sesuai dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur'an yang ditulis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam AlQur'an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir. Karya terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam ideologi ilmiah yang menolak apapun yang bukan berasal dari Islam.

Artikel ini secara hati-hati akan coba mencari alternatif filsafat pendidikan Muhammadiyah dan merumuskannya pada tingkat praksis, ditingkat kurikulum pendidikan. Untuk melangkah ke arah itu, pertama akan ditelusuri problematika perumusan filsafat pendidikan Islam sebagai payung besar pendidikan Muhammadiyah. Kedua, melacak gagasan kunci dan praksis pendidikan Kyai Ahmad Dahlan yang bertitik tolak dari pendidikan integraslistik. Ketiga, menjajagi kemungkinan tauhid sebagai titik tolak perumusan filsafat pendidikan Muhammadiyah, dan kemudian ditutup dengan refleksi. LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM Filsafat yang dianut dan diyakini oleh Muhammadiyah adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai konsekuensinya logik, Muhammadiyah berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat pendidikan Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya. Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang akan dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat pendidikan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari filsafat pendidikan Islam, karena yang dikerjakan oleh Muhammadiyah pada hakikatnya adalah prinsipprinsip Islam yang menurut Muhammadiyah menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim. Oleh karena itu, sebelum mengkaji orientasi filsafat pendidikan Muhammadiyah perlu menelusuri konsep dasar filsafat pendidikan Islam yang digagas oleh para pemikir maupun praktisi pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang pendidikan bercorak Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib Al-Najihi, sebagaimana dikutip Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain, filsafat pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam. Al-Syaibany menandaskan bahwa filsafat pendidikan Islam harus mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat sebagai berikut: (1) dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya sesuai dengan ruh (spirit) Islam; (2) berkaitan dengan realitas masyarakat dan kebudayaan serta sistem sosial, ekonomi, dan politiknya; (3) bersifat terbuka terhadap segala pengalaman yang baik (hikmah); (4) pembinaannya berdasarkan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan aspek-aspek yang melingkungi; (5) bersifat universal dengan standar keilmuan; (6) selektif, dipilih yang penting dan sesuai dengan ruh agama Islam; (7) bebas dari pertentangan dan persanggahan antara prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya; dan (8) proses percobaan yang sungguh-sungguh terhadap pemikiran pendidikan yang sehat, mendalam dan jelas. Objek kajian filsafat pendidikan Islam, menurut Abdul Munir Mulkhan, dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat pendidikan Islam adalah bahan dasar yang dikaji dan dianalisis, sementara obyek formalnya adalah cara pendekatan atau sudut pandang terhadap bahan dasar tersebut. Dengan demikian, obyek material

filsafat pendidikan Islam adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia secara sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian atau akhlak peserta didik melalui pendidikan. Sedangkan obyek formalnya adalah aspek khusus daripada usaha manusia secara sadar yaitu penciptaan kondisi yang memberi peluang pengembangan kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian sehingga peserta didik memiliki kemampuan untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan menempatkan Islam sebagai hudan dan furqan. Sebagaimana dinyatakan Arifin, bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan ilmu yang ekstensinya masih dalam kondisi permulaan perkembangan sebagai disiplin keilmuan pendidikan. Demikian pula sistematikanya, filsafat pendidikan Islam masih dalam proses penataan yang akan menjadi kompas bagi teorisasi pendidikan Islam. Kalau demikian, apabila filsafat pendidikan Muhammadiyah mengacu atau sama dengan filsafat pendidikan Islam sebenarnya masih memunculkan masalah, sebab ia masih rentan dan belum kukuh untuk disebut sebagai sebuah disiplin ilmu baru. Pada titik ini, orientasi filsafat pendidikan Muhammadiyah itu dapat memperkaya dan memperkukuh kedudukan filsafat pendidikan Islam. KYAI AHMAD DAHLAN: PERETAS PENDIDIKAN INTEGRALISTIK Meskipun tema pembaharuan pendidikan Muhammadiyah memperoleh perhatian yang cukup serius dari para pengkaji sejarah pendidikan Indonesia, namun sejauh ini belum ada satu karya pun yang menunjukkan bagaimana sebenarnya model filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Untuk melangkah ke arah itu bisa dilakukan dengan beberapa pendekatan: (1) pendekatan normatif yakni bertitik tolak dari sumber-sumber otoritatif Islam (al-Quran dan Sunnah Nabi), terutama tema-tema pendidikan, kemudian dieksplorasi sedemikian rupa sehingga terbangun satu sistem filsafat pendidikan; (2) pendekatan filosofis yang diberangkatkan dari mazhab-mazhab pemikiran filsafat kemudian diturunkan ke dalam wilayah pendidikan; (3) pendekatan formal dengan merujuk pada hasil-hasil keputusan resmi persyarikatan; (4) pendekatan historis-filisofis yaitu dengan cara melacak bagaimana konsep dan praksis pendidikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci dalam Muhammadiyah lalu dianalisis dengan dengan pendekatan filosofis. Corak pendekatan keempat yang dipilih dalam tulisan ini, dengan menampilkan Kyai Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sebagai tokoh kuncinya. Benar bahwa dia belum merumuskan landasan filosofis pendidikan tapi sebenarnya ia memiliki minat yang besar terhadap kajian filsafat atau logika sehingga pada tingkat tertentu telah memberikan jalan lempang untuk perumusan satu filsafat pendidikan. K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan kyai musti lebih banyak merujuk pada bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.

Pribadi Kyai Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu "model" dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik pusat" dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangantantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, Kyai Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya. Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik asosiasi (sejak tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser lembaga pendidikan Islam semacam pondok pesantren. Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini Kyai Dahlan gelisah, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu. Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai ulama-intelek atau intelek-ulama, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan. Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran muridmuridnya Kyai Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Maun kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-Maun sebagaimana dipraktekan Kyai Dahlan. Anehnya, yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan citacita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai bidah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari Kyai

Dahlan adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya. Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik. Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah. SEKOLAH SYARIAH: SEBUAH CATATAN KANCAH Pendidikan Islam yang bercorak integralistik adalah suatu sistem pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam. Meski ide ini telah klasik namun tetap menarik perhatian, sebab merealisasikan ke tataran praksis selalu tidak mudah. Setelah pembaharuan pendidikan berlangsung hampir satu abad dualitas pendidikan Islam (juga Muhammadiyah) masih tampak menonjol. Suatu dualitas budaya muncul di mana-mana di dunia Muslim, suatu dualitas dalam masyarakat yang berasal dari sistem pendidikan ganda; sistem pendidikan Islam tradisional, dan sistem pendidikan sekuler modern melahirkan tokoh-tokoh sekuler. Dengan demikian, proses pencarian sistem pendidikan integralistik harus dilakukan secara terus-menerus sebangun dengan akselerasi perubahan sosial dan temuan-temuan inovatif pendidikan. Di Muhammadiyah, langkah ke arah itu masih terus berlangsung yaitu dengan membangun sekolah-sekolah alternatif atau kemudian dikenal dengan sekolah unggulan. Satu dekade terakhir ini virus sekolah unggul benar-benar menjangkiti seluruh warga Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) berpacu dan berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk menuju pada kualifikasi sekolah unggul. Sekarang ini hampir di semua daerah kabupaten atau kota terdapat sekolah unggul Muhammadiyah, terutama untuk tingkat TK dan Sekolah Dasar. Sekolah yang dianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka menyekolahkan anakanak di situ pada umumnya ada dua tipe; sekolah model konvensional tetapi memiliki mutu akademik yang tinggi, atau sekolah model baru dengan menawarkan metode pembelajaran mutakhir yang lebih interaktif sehingga memiliki daya panggil luas. Ada beberapa sisi menarik dari Sekolah Model Baru ini. Pada umumnya dikelola oleh anak-anak muda, memakai sistem full day school (waktu pembelajaran hingga sore hari), memakai metodemetode baru dalam pembelajaran. Hampir semua SD model baru ini justru muncul atau gedungnya itu berasal dari SD Muhammadiyah yang sudah mati, tapi dengan manajemen dan sistem pendidikan baru dapat tumbuh menjadi sekolah unggul, misal; di Jakarta ada SD Muhammadiyah 8 Plus yang berada di Duren Sawit, Sekolah Kreatif SD Muhammadiyah 16 Surabaya, SD Muhammadiyah Alternatif di Magelang, SD Muhammadiyah Condong Catur di Yogyakarta, termasuk SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta.

Perjumpaan penulis dengan mereka (kepala-kepala sekolahnya) menunjukkan bahwa inovasiinovasi pendidikan yang dikembangkan, meskipun sudah cukup signifikan belum menyentuh pada persoalan krusial, yakni mencoba merumuskan bagaimana filsafat dan kurikulum pendidikan alternatif. Ahmad Solikhin, Kepala SD Muhammadiyah Condong Catur, sudah merasakan urgensinya namun belum menjadi kesadaran bersama sehingga belum ada upayaupaya serius untuk merumuskan satu sistem pendidikan alternatif yang islami. Ikhtiar untuk coba merumukan satu sistem pendidikan alternatif mulai tumbuh di SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta di bawah bimbingan langsung seorang pakar pendidikan khusus, Prof. Sholeh YAI, Ph.D. Adalah menarik untuk mengikuti dari dekat proses-proses yang sedang berlangsung di dalamnya. Untuk meraih kembali kegemilangan Islam, menurut Prof. Sholeh, sudah tinggi waktunya untuk segara menafsirkan Al-Quran dengan pendekatan sistem, atau Tafsir Sistem. Pada instansi pendidikan ada satu konsep kunci yang musti dirumuskan, yakni ide fitrah berupa tauhid. Dengan demikian, orientasi filsafat dan kurikulum pendidikan bertitik tolak dari konsep Tauhid. Bagaimana tauhid mendasari pendidikan di SD Muhammadiyah Program Khusus, mari kita ikuti penjelasan berikut: Berseberangan dengan pandangan hidup (paradigma pendidikan) kaum sekuler yang menempatkan material-duniawiyah sebagai tujuan utama. Paradigma pendidikan Islam justru mengaksentuasikan nilai-nilai tauhid sebagai tujuan yang paling prinsipil dan substansial. SD Muhammadiyah Program Khusus menjadikan tauhid sebagai landasan pokok kurikulum yang secara kongkrit terejawantahkan dalam seluruh proses pembelajaran. Kurikulum yang ada dimodifikasi, dirancang, dan didesain sedemikian rupa sehingga nilai-nilai tauhid menjiwai dan mempola seluruh mata pelajaran; pembelajaran matematika, sains, bahasa dan materi lain diorientasikan untuk mengungkit kembali potensi tauhid (baca fitrah), menumbuhkembangkan, dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Secara kasat mata adalah mudah untuk mengatakan bahwa seluruh lembaga pendidikan Islam, apalagi sekolah Muhammadiyah, sudah otomotis berdasarkan tauhid. Bukankah di sekolah tersebut diajarkan materi agama yang relatif banyak? Kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Ketiadaan orientasi filsafat pendidikan pada urutannya membawa kebingungan pada diri pendidik sehingga ketika mengajar peserta didik sangat mungkin tergelincir pada filsafat pendidikan sekuler. Dengan demikian, tanpa disadari kita telah ikut mengkampanyekan paham sekularisme. Bagaimana kedudukan Tauhid dalam penyusunan kurikulum di SD Muhammadiyah Program Khusus, kita simak uraian di bawah ini: Sebuah ilustrasi berikut mungkin bisa membantu: puluhan truk (rit) pasir, sejumlah sak semen dan beberapa kaleng cat tidak begitu bermakna apabila hanya di pajang di toko atau disimpan di gudang. Material itu menjadi bermakna di tangan tukang batu atau arsitek, beragam bentuk bangunan atau arsitektur akan bisa diwujudkan..Dalam konteks pendidikan ilustrasi tersebut menjadi jelas; melimpahnya materi tentang aqidah, akhlak, al-Quran-Hadits, atau hafalan sekian juz plus materi ilmu umum menjadi tidak bermakna manakala dijejalkan begitu saja ke peserta didik dalam keadaan saling terpisah dan bersifat parsial.

Kita menyadari bahwa ikhtiar membangun kurikulum berbasis tauhid (KBT) tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membutuhkan beberapa generasi untuk merealisasikannya, tapi langkah itu setidaknya telah meletakkan satu batu bata untuk pembangunan peradaban Islam yang kokoh dan anggun. Dan kerja di pendidikan adalah kerja-kerja yang sangat stategis dalam rangka meretas generasi masa depan yang berkualitas. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana aktualisasi KBT di SD Muhammadiayah Program Khusus? Untuk sekarang ini masih terlalu dini untuk melakukan penilaian, tapi paling tidak sebuah penilaian awal yang bersifat umum perlu dikemukakan. Perlu ditekankan di sini, bahwa ini adalah penglihatan awal dari sebuah proses yang masih sedang berlangsung sehingga tidak menutup kemungkinan ada perubahan di kemudian hari. Pertama, peserta didik pada umumnya berani mengekspresikan diri, ada keberanian untuk mengutarakan pikirannya. Meski ada keberatan dari beberapa orang tua dan guru karena alasan etika atau unggah ungguh, seiring meningkatnya kedewasaan masalah ini pasti akan tertata dengan sendirinya. Kemampuan ini adalah sesuatu yang sangat berharga, dan telah telah menghilang di sekolah-sekolah konvensional. Banyak temuan di lapangan, anak-anak berani mengingatkan orang tuanya yang lupa makan dengan berdiri, mengingatkan mereka untuk sholat. Fenomena ini disebabkan atau dilatar belakangi oleh (a) alasan agama yang memang ditanamkan di sekolah ini, bahwa yang wajib di takuti (dalam makna positif) dan Yang Maha Benar adalah Allah karenanya selain Dia tidak perlu ditakuti dan ada kemungkinan melakukan kekeliruan sehingga sudah pada tempatnya bila diingatkan, tidak terkecuali orang tua atau guru. Dan, karena (b) model pembelajaran inklusi yang dikembangkan oleh sekolah. Dengan pembatasan jumlah siswa maksimal 30 perkelas dan diampu 2 guru memungkinkan setiap potensi anak terdeteksi oleh guru sehingga dapat ditumbuhkan secara optimal. Kedua, semangat anak-anak untuk mempraktekkan ajaran agama sangat tinggi, sejak kelas 1 ditanamkan untuk selalu shalat wajib lima waktu secara berjamaah. Mulai kelas 3 sudah kelihatan bahwa mereka rata-rata lebih suka shalat berjamaah di masjid, bahkan ada beberapa anak yang sudah secara rutin menjalankan shalat Tahajud. Keadaan ini sedikit banyak merupakan buah dari pendekatan praktek dalam pembelajaran agama. Agama bukan hanya olah intelektual yang berisi konsep-konsep abstrak atau menjadi hafalan di kepala, tapi dengan mempraktekkan secara langsung apa yang diperintahkan oleh Islam dan menghindari apa yang dilarangnya. Ketiga, muncul rasa ingin tahu yang besar pada diri anak-anak untuk segera memahami suatu permasalahan. Ini memang sudah dirancang, di mana semua tema pembelajaran harus di kaitkan dengan problem-problem kongrit di lapangan, baik yang dilakukan secara reguler berupa Praktek Pembelaran Lapangan (PPL) yang dilakukan setahun 2 kali maupun dengan model riset laboratorium. REFLEKSI Apabila Muhammadiyah benar-benar mau membangun sekolah/universitas unggul maka harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana landasan filosofis pendidikannya sehingga dapat meletakkan secara tegas bagaimana posisi lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dihadapan pendidikan nasional, dan kedudukannya yang strategis sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fungsinya sebagai wahana dakwah Islamiyah. Ketiadaan

orientasi filosofis ini jelas sangat membingungkan; apa harus mengikuti arus pendidikan nasional yang sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis yang jelas karena setiap ganti menteri musti ganti kebijakan. Kalau memang memilih pada pengembangan iptek maka harus ada keberanian memilih arah yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Model pondok gontor bisa dijadikan alternatif, dengan bahasa dan kebebasan berfikir terbukti mampu mengantarkan peserta didik menjadi manusia-manusia yang unggul. Jika menengok sekolah/universitas Muhammadiyah saat ini, dari sisi kurikulumnya itu sama persis dengan sekolah/universitas negeri ditambah materi al-Islam dan kemuhammadiyahan. Kalau melihat materi yang begitu banyak, maka penambahan itu malah semakin membebani anak, karenanya amat jarang lembaga pendidikan melahirkan bibit-bibit unggul. Apakah tidak sudah waktunya untuk merumuskan kembali Al-Islam dan kemuhammadiyahan yang terintegrasikan dengan materi-materi umum, atau paling tidak disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik; misalnya, evaluasi materi ibadah dan Al-Quran, serta bahasa dengan praktek langsung tidak dengan sistem ujian tulis seperti sekarang ini. Sembari merumuskan orientasi filosofis pendidikan, pendidikan Islam (Muhammadiyah) memerlukan kepekaan dalam memahami perkembangan kehidupan dan menjawab setiap kebutuhan baru yang timbul dari cita-cita anggota masyarakat dengan strategi sebagai berikut: 1. mengusahakan nilai-nilai islami dalam pendidikan Islam menjadi ketentuan standar bagi pengembangan moral atau masyarakat yang selalu mengalami perubahan itu; 2. Mengusahakan peran pendidikan Islam mengembangkan moral peserta didik sebagai dasar pertimbangan dan pengendali tingkah lakunya dalam menghadapi norma sekuler; 3. Mengusahakan norma islami mampu menjadi pengendali kehidupan pribadi dalam menghadapi goncangan hidup dalam era globalisasi ini sehingga para peserta didik mampu menjadi sumber daya insani yang berkualitas; 4. Mengusahakan nilai-nilai islami dapat menjadi pengikat hidup bersama dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam yang kokoh dengan tetap memperhatikan lingkungan kepentingan bangsa; dan (5) mengusahakan sifat ambivalensi pendidikan Islam agar tidak timbul pandangan yang dikotomis. DAFTAR PUSTAKA Abdul Munir Mulkhan.1993. Paradigma Intelektual Muslim;Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: SIPRESS. _________________ .1990. Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Abdul Mukti Ali. 1985. Interpretasi Amalan Muhammadiyah. Jakarta: Harapan Melati. _____________ . 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Pers. Achmadi. 1992. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta Aditya Media. Ahmad Syafii Maarif. "Pendidikan Muhammadiyah: Aspek Normatif dan Filosofis" dlm. M Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir. 2000. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Naskah Awal. Jakarta: Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah. Ahmad D. Marimba.1989. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Al-Maarif. Ahmad Tafsir. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung; Rosdakarya. Amir Hamzah Wirjosukarto.1968. Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran yang diselenggarakan oleh Pergerakan Muhammadiyah.Malang: Ken Mutia. Brubacher, John S. 1978. Modern Philosophies of Education. New York: McGraw-Hill Book

Company. CA van Peursen. 1980. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: Gramedia. HM Arifin.1994. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Imam Barnadib. 1982. Arti dan Metode Sejarah Pendidikan. Yogyakarta:FIP-IKIP Yogyakarta. Karel A. Steenbrink.1994. Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta; LP3ES. Marpuji Ali & Mohamad Ali, Meretas Sekolah Unggul dan Menata Majlis Dikdasmen Muhammadiyah dalam Suara Muhammadiyah 1-15 Oktober 2004. M. Sholeh YAI & Mohamad Ali. Menuju Kurikulum Berbasis Tauhid dalam PK Media edisi II/2004. MT Arifin.1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan. Jakarta: Pustaka Jaya. M Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir. "Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Sebuah Perumusan Awal" dalam M Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir (ed.). 2000. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Naskah Awal. Jakarta: Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah. M. Rusli Karim. "Pendidikan Muhammadiyah dilihat dari Perspektif Islam" dlm. M.Yunan Yusuf dkk. (ed.). 1985. Cita dan Citra Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Panjimas. Mahsun Suyuthi. "Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Kembali Tergugat" dlm. Amien Rais (ed). 191984. Pendidikan Muhammadiyah dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: PLP2M. M. Quraish Shihab. 1993. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan. Muhammad Quthb. 1984. Sistem Pendidikan Islam. Terjemahan Salman Harun. Bandung: AlMaarif Noeng Muhadjir.1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin. Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Terjemahan Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang. Soegarda Purbakatja. 1970. Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka. Jakarta: Gunung Agung. Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan Islam. Surabaya: Karya Abditama.

A. Pendahuluan Satu hal yang perlu direspons secara positif manakala membincangkan tentang Muhammadiyah ialah kemampuannya dalam melintasi setiap pergerakan zaman yang berbeda. Bagi Muhammadiyah, upayanya selama ini untuk mempertahankan diri dari pelbagai macam godaan dan cobaan bukanlah suatu hal yang mudah. Dari zaman kolonial, prakemerdekaan,

kemerdekaan, era orde lama, orde baru, hingga orde refor-masi saat ini, Muhammadiyah tetap eksis dalam mewujudkan tatanan masyarakat Is-lam yang sebenar-benarnya. Telah banyak para pengamat dan pemikir yang memberikan apresiasi terhadap upaya-upaya yang diselenggarakan Muhammadiyah. Satu sisi, terdapat cendekiawan muslim yang mengatakan jika eksistensi Muhammadiyah hingga usianya mencapai satu abad (seratus tahun) ini disebabkan karena Muhammadiyah cenderung kooperatif terhadap setiap kebijakan yang muncul. Selama kebijakan tersebut tidak bertentangan dan merugikan umat Islam, maka Muhammadiyah tetap akan akomodatif. Di sisi lain, pola gerakan yang dikembangkan Muhammadiyah cenderung ke arah pemberdayaan masyarakat, dibandingkan ranah politik. Artinya, Muhammadiyah bu-kanlah organisasi politik layaknya partai politik, tetapi gerakan sosial keagamaan. Hal inilah yang secara jelas membedakan Muhammadiyah dengan Saudara Tuanya (Syarikat Islam) yang mengambil ranah politik dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam. Sejak Indonesia belum mendeklarasikan dirinya sebagai bangsa yang merdeka, Muhammadiyah telah menyelenggarakan kegiatan pemberantasan buta huruf, pendi-rian lembaga-lembaga pendidikan, sosial-ekonomi, dan juga menggiatkan kajian kea-gamaan. Realitas kesejarahan inilah yang telah menjadikan Mitsuo Nakamura menye-but Muhammadiyah sebagai organisasi yang memiliki banyak wajah (dzu wujuh). Memang, setiap orang yang mengkaji tentang amal usaha Muhammadiyah, khu-susnya dalam bidang pendidikan, akan dihadapkan pada dua hal, yaitu: rasa bangga dan juga miris. Perasaan bangga akan muncul manakala data-data kuantitatif coba disajikan ke permukaan. Bagaimana mungkin sebuah organisasi sosial keagamaan la-yaknya Muhammadiyah mampu mengelola dan mendirikan ribuan amal usaha pendi-dikan, mengelola ratusan ribu guru dan dosen, dan jutaan anak didik. Begitu besarnya jumlah amal usaha pendidikan yang dikelola Muhammadiyah acapkali menjadikan banyak orang yang terpukau. Imam Prihadiyoko, dkk misalnya telah menyebut bahwa Muhammadiyah merupakan raksasa pendidikan (hal: 19). Sementara, perasaan miris justru akan muncul apabila disajikan data-data yang terkait dengan kondisi dan bahkan kualitas pendidikan Muhammadiyah. Tidak sedikit amal usaha pendidikan Muhammadiyah yang belum terkelola dengan baik. Meski ada sebagian di antara institusi pendidikan Muhammadiyah yang memiliki kualitas yang relatif baik dan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya. Namun, sebagi-an besar di antaranya justru masih berjalan di tempat. Bahkan, ada sebagian di antara-nya yang mengekor lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang baru saja tumbuh dan berkembang pasca reformasi. Realitas demikian itu tentunya dapat dipahami, karena suatu amal usaha dengan jumlah yang besar pasti di antaranya terdapat sejumlah produk gagal, sehingga me-nyebabkan mutu produk rata-rata atau secara keseluruhan menurun (hal: xxix). Ba-nyaknya produk gagal tentu saja akan berdampak pada keluaran (out put) pendidi-kan. Ketika banyak lembaga pendidikan Muhammadiyah yang belum mampu mem-produk anak didik sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat, maka hal ini secara langsung berdampak pada kurangnya kepercayaan (trust) publik. Saat ini, tanda-tanda bergesernya kepercayaan masyarakat itu sedikit banyak sudah mulai nampak. Dari sekian banyak gejala yang telah menunjukkan tanda-tanda tersebut adalah sikap masyarakat yang telah menempatkan lembaga pendidikan Mu-hammadiyah berada pada urutan nomor dua, setelah sekolah negeri ataupun sekolah- sekolah swasta berlabel Islam non Muhammadiyah (hal: 75). Menghadapi realitas de-mikian, perasaan gusar, galau, dan bahkan

hilangnya rasa percaya diri telah hinggap di sebagian pengelola pendidikan Muhammadiyah. Ironisnya, hadirnya perasaan se-macam itu juga melahirkan disorientasi kognisi di antara sebagian pengelola pendidi-kan Muhammadiyah. Keadaan sosial yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan Muhammadiyah itu tentu saja sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di masa lalu. Jika dulu pendidikan Muhammadiyah mampu menunjukkan eksistensinya sebagai institusi mo-dern dan layak menjadi tempat pengharapan masyarakat perkotaan serta kelas mene-ngah, namun mengapa sekarang posisi itu justru bergeser menjadi pilihan kedua? Jika dulu, pendidikan Muhammadiyah mampu melahirkan generasi-generasi berkepribadi-an utuh sekaligus sanggup menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah, namun mengapa sekarang ini banyak keluaran pendidikan Muham-madiyah yang jauh dari Muhammadiyah? B. Problem Pendidikan Muhammadiyah Kesenjangan antara cita dan fakta dalam dunia pendidikan Muhammadiyah ini-lah yang dengan serta-merta diungkap oleh Farid Setiawan, Sucipto, dan Desti Liana Kurniati. Melalui buku Mengokohkan Spirit Pendidikan Muhammadiyah ini, ketiga kader Muhammadiyah itu mencoba melakukan autokritik terhadap pergeseran orien-tasi dan penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah. Analisis demi analisis diung-kapkan secara tajam dari bab ke bab dan halaman ke halaman. Bahkan, untuk mem-perkuat argumentasinya, para penulis buku ini juga tidak segan-segan menghadir-kan para pakar pendidikan Muhammadiyah sebagai penulis prolog dan epilog. Boleh jadi, pelibatan para pengambil kebijakan pendidikan Muhammadiyah, se-perti Dr. Abdul Muti, M.Ed selaku Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammad-iyah dan Dr. Tasman Hamami, M.A sebagai Ketua Majelis Dikdasmen PWM D.I. Yogyakarta, merupakan wujud dari rekomendasi kultural yang dilakukan oleh para penulis buku ini. Setidaknya, penulis buku ini hendak mengingatkan para pengambil kebijakan pada khususnya, dan warga persyarikatan secara umum agar selalu mem-perhatikan nasib pendidikan Muhammadiyah. Partisipasi warga Muhammadiyah dan penyelenggara pendidikan Muhammadiyah memang perlu sekali lagi ditingkatkan. Mengingat, keadaan internal di sebagian institusi pendidikan Muhammadiyah sudah sedemikian kritis. Saya sependapat dengan para penulis buku ini, di mana problem pendidikan Mu-hammadiyah terletak pada empat hal, yakni: problem ideologis, problem paradigma-tik, profesionalisme manajemen, serta pengembangan pendidikan. Pertama, problem ideologis. Salah satu penyebab mendasar mengenai problem ideologis ini adalah pe-nekanan aspek profesionalitas pada saat penerimaan tenaga pendidik dan kependidik-an Muhammadiyah (hal: 58). Bagaimanapun, pertimbangan profesionalitas pegawai merupakan aspek yang penting. Akan tetapi, pertimbangan ideologis juga tak kalah pentingnya dibandingkan kompetensi profesional seseorang. Apa jadinya jika lembaga pendidikan Muhammadiyah yang telah tumbuh besar dan mengurat berakar, namun dikendalikan oleh para pimpinan yang mengedepankan aspek profesionalitas semata? Bukan tidak mungkin apabila hal itu dapat menimbul-kan perceraian antara pimpinan amal usaha dengan pimpinan Muhammadiyah (hal: 59). Telah banyak kasus di lapangan yang sesungguhnya menunjukkan adanya indi-kasi perceraian kedua pimpinan tersebut. Meskipun problem perceraian itu di latar belakangi oleh banyak faktor, namun pada umumnya keadaan tersebut didorong oleh miskinnya pengalaman dan pengetahuan para pimpinan amal usaha pendidikan ter-hadap hakikat perjuangan Muhammadiyah.

Terkait dengan persoalan di atas, para penulis buku ini mengutip pendapat Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya yang berjudul Menggugat Muhammadiyah (2000). Menurut Munir: orang-orang tersebut cenderung menjadi Muhammadiyah dadakan. Dengan tanpa harus berproses, Muhammadiyah dadakan ini ironisnya justru diberi-kan kelonggaran untuk menggunakan fasilitas yang ada. Lebih ironis lagi, para Mu-hammadiyah dadakan tersebut justru ditempatkan sebagai pucuk pimpinan guna me-ngelola lembaga pendidikan Muhammadiyah, seperti halnya di sekolah-sekolah (hal: 20). Dengan begitu longgarnya kesempatan para Muhammadiyah dadakan tersebut, maka menjadi wajar jika banyak di antara lembaga pendidikan Muhammadiyah yang cenderung menjadi pasar ideologi (hal: 60). Adapun maksud istilah pasar ideologi ia-lah banyak dan berlalu-lalangnya paham-paham keagamaan lainnya yang tidak sevisi dengan Muhammadiyah. Kehadiran pahampaham tersebut tentu saja disebabkan ka-rena begitu lemahnya daya kontrol persyarikatan terhadap amal usaha pendidikan. Karena itu, menjadi wajar apabila para Muhammadiyah dadakan dapat lebih leluasa dalam membuka palang pintu masuknya paham-paham keagamaan non Muhammad-iyah di lembaga pendidikan yang dipimpinny