33
BENTUK DAN POLA ARSITEKTUR DI ERA PANCOSMISM Era pancosmism adalah era dimana manusia menyatu dengan alam. Manusia tidak bisa hidup tanpa bergantung pada alam . Ciri era ini adalah masyarakat menciptakan aturan agar hubungannya serasi dengan alam. Contoh-contoh bentuk dan pola arsitektur era pancosmism yang ada di Indonesia 1. Arsitektur Kampung Naga, Sumedang, Jawa Barat Kampung ini secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali. Warga kampung naga merupakan masyarakat yang sangat menghormati alam. Untuk itu mereka memberlakukan hukum adat yang dipatuhi oleh warganya dan memberlakukan hukum tabu atau pantangan. 1

Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

  • Upload
    abeyoo

  • View
    968

  • Download
    8

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

BENTUK DAN POLA ARSITEKTUR DI ERA PANCOSMISM

Era pancosmism adalah era dimana manusia menyatu dengan alam. Manusia tidak bisa hidup tanpa bergantung pada alam . Ciri era ini adalah masyarakat menciptakan aturan agar hubungannya serasi dengan alam.

Contoh-contoh bentuk dan pola arsitektur era pancosmism yang ada di Indonesia

1. Arsitektur Kampung Naga, Sumedang, Jawa Barat

Kampung ini secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.

Warga kampung naga merupakan masyarakat yang sangat menghormati alam. Untuk itu mereka memberlakukan hukum adat yang dipatuhi oleh warganya dan memberlakukan hukum tabu atau pantangan.

Pada arsitektur kampung naga secara mikro, masih dikenal pembagian ruang yang tegas antara zona maskulin dan feminine. Untuk pembangunannya pun masih menggunakan tradisi adat yang masih dijaga. Pembangunan rumah menggunakan material yang berasal dari alam dan diambil dengan cara dan waktu tertentu. Material alam dipilih untuk menghormati warisan leluhur dan menghormati alam. Penggunaan material selain material yang ditentukan dianggap tabu dan menentang hukum alam.

Secara Mezo, kampung naga juga diatur dengan arsitektur yang dekat dengan alam. Pembagian zona yang jelas dan penggunaan teknologi kehidupan yang bersahabat dengan alam.

1

Page 2: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

2

Denah rumah kampung nagaSumber: Padma Adry, Kampung naga,2001

Keterangan gambar :

1. Tepas, Ruang kosong beralaskan tikar. Tepas dipergunakan untuk tempat bersitirahat dan mengobrol dengan tetangga dan juga tempat mengerjakan anyaman bamboo seperti boboko, tolombong, dan hihid.

2. Pangkeng, Ruang tidur3. Tengah Imah, Ruang keluarga, tetapi dapat juga digunakan sebagai ruang makan

dan ruang tidur apabila dibutuhkan.4. Pawon, Dapur, digunakan sebagai tempat memasak, akan tetapi sering pula

digunakan sebagai tempat makan dan tempat menghangatkan badan. Selain itu, ruangan ini juga sering digunakan untuk mengobrol dan menerima tamu yang sudah akrab.

4a. Hawu, Tungku tanah liat5. Goah, Tempat penyimpanan padi, baik yang sudah ditumbuk maupun belum.

Merupakan ruangan utama dalam rumah suku naga. Pada hari selasa dan jumat di dalam goah diletakan sesaji sebagai bentuk penghormatan terhadap dewi sri. Goah diletakkan disisi barat atau timur sesuai dengan weton istri pemilik rumah.

6. Golodog, digunakan untuk berbagai keperluan. Ruang di depan tepas yang berupa undakan memanjang terbuat dari mabmu atau kayu ini menjadi tempat mengerjakan pekerjaan sampingan, mengobrol, atau tempat anak-anak bermain.

Page 3: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

Rumah naga terbuat dari berbagai bahan alami local, seperti kayu, bamboo, ijuk, dan datum tepus, yang kekeuatan dan ketahanannya telah teruji oleh alam. Sedikitnya Polusi yang dihasilkan, ringannya beban bahan bangunan yang harus ditopang, dan efisiennya biaya dalam jangka panjang adalah nilai tambah dari bahan-bahan ini. Pemakaian bahan alami local merupakan upaya yang digariskan leluhur dalam mengadaptasi potensi dan daya dukung alam sekitar.

Keterangan Gambar:

1. Tanduk, berfungsi untuk menyalurkan air sehingga tidak merembes ke dalam para (langit-langit rumah)

2. Atap, Berbentuk sulah nyandah dengan penutup atap berupa daun eurih yaitu sebangsa ilalang, atau daun tepus yang lalu ditutupi oleh ijuk. Bahan ini memungkinkan pergantian udara ke dalam rumah melalui atap. Masyarakat Naga percaya bahwa mempergunakan atap genteng adalah tabu. Selain itu, penggunaan ijuk jauh lebih awet daripada genteng.

3

Detail Rumah Kampung NagaSumber: Padma Adry, Kampung naga,2001

Page 4: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

3. Dinding, mempunyai rangka dari kayu albasia berukuran 5x10cm. untuk penutup dipergunakan anyaman sasag, anyaman bilik, dan papan kayu. Jenis bamboo yang untuk bahan dinding adalah bamboo tali (awi tali). Sebelum digunakan, semua bahan bamboo dijemur terlebih dahulu untuk meningkatkan keawetannya.

4. Tiang / tihang, Terbuat dari kayu albasia yang dipotong 10x10cm. supaya lebih awet, tiang dan bahan kayu lain direndam dalam lumpur minimal 40 hari, dibersihkan, dan dijemur. Untuk menghindari kelembaban tanah, tiang (tihang) tidak diletakkan langsung diatas tanah melainkan diberi alas batu yang disebut tatapakan.

5. Pintu / panto, Letak pintu berdasarkan perhitungan weton (hari lahir) istri pemilik rumah. Lebar pintu sekitar 70cm dengan ketinggian 150-170cm. umumnya dibuat dari kayu dengan tebal 4cm dan kaca sebagai tambahan. Khusus untuk pintu dapur diwajibkan penggunaan anyaman sasag vertical.

6. Jendela, daun jendela umumnya terbuat dari kayu suren atau albasia. Ukuran jendela berkisar antara 40x60cm atau 50x70cm

7. Lantai, Terbuat dari papan kayu memanjang, lebarnya 15-20cm. kadang dialasi tikar untuk duduk-duduk. Dapur menggunakan lantai palupuh. Bamboo yang digunakan untuk membuat palupuh adalah jenis awi surat berdiameter ±20cm.

8. Golodog, Ruang peralihan sebelum masuk ke dalam rumah ini terbuat dari kayu dan bamboo dengan bentuk empat persegi panjang. Ketinggiannya tergantung pondasi sehingga dapat mempunyai satu atau dua undakan.

9. Batu Pondasi/ tatapakan, ada dua jenis tatapakan, yaitu tatapakan jangkung dengan permukaan atas 20cx20cm dan permukaan bawah 25x25cm, dan tatapakan buleud (bundar). Gaya berat rumah tersalur ke dalam tanah melalui banyak titik tatapakan, yaitu 5 titik disisi panjang (palayu) dan 4 titik di sisi pendek (pongpok).

4

Page 5: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

Kampung Naga dikeliling sekaligus dibatasi oleh batas alam, yaitu Sungai Ciwulan, Balong-balong, lereng bukit, dan sawah. Semua bangunan memiliki bumbungan atap yang memanjang ke arah barat-timur, dengan pintu di bagian panjang bangunan, yaitu sisi utara-selatan sehingga secara keseluruhan orientasi atap ini membuat kampung seolah-olah menghadap kea rah timur. Arah hadap ini merupaka usaha untuk menghindarkan diri dari sinar matahari langsung.

Di lereng bukit sebelah barat permukiman terdapat kompleks pemakaman yang menempati area tersendiri, yang terdiri, yang terdiri dari makam leluhur yang dikeramatkan, daerah makam orang dewasa dan daerah makam anak-anak. Area ini berada diluar area kandang jaga. Didalam kandang jaga terdapat pemukiman yang dikelilingi anyaman bamboo dua lapis. Selain itu didalam kandang jaga juga terdapat bekas langgar yang merupakan area yang dikeramatkan. Deretan rumah penduduk kampung naga rapat satu sama lain sehingga tercipta lorong-lorong sempit sebagai jalur sirkulasi antar deretan rumah. Kontras dengan lorong sempit ini, didepan masjid dan bale patemon terdapat sebuah ruang terbuka yang cukup luas tepat berhadapan dengan pintu masuk kampung. Ruang terbuka ini digunakan sebagai tempat kegiatan ritual kampung dan kegiatan lainnya seperti menjemur padi hasil panen. Area lain diluar kandang jaga adalah area kotor, yaitu area yang berhubungan dengan air dan memiliki sifat basah. Area ini menempati sisi timur pemukiman. Di dalamnya terdapat sawah, kumpulan balong (tempat memelihara ikan, berupa genangan air di dalam lubang yang digali), saung lisung (bangunan kecil yang terbuat dari kayu tanpa dinding untuk tempat menumbuk padi, terletak diatas balong), serta jamban (tempat membuang hajat, letaknya diatas balong).

Sebagian lahan kampung naga mempunyai kemiringan yang cukup curam sehingga rawan longsor. Teknologi sederhana warisan leluhur berupa sengked batu menjadi cara untuk menghadapi kondisi tersebut.

5

Page 6: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

2. Arsitektur tradisional Papua

Arsitektur tradisional papua pada era pancosmism adalah rumah honai. Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Honai biasanya dibangun setinggi 2,5 meter dan pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai).

Rumah Honai biasa ditinggali oleh 5 hingga 10 orang. Rumah Honai dalam satu bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur), bangunan lainnya untuk tempat makan bersama, dan bangunan ketiga untuk kandang ternak. Rumah Honai pada umumnya terbagi menjadi dua tingkat. Lantai dasar dan lantai satu dihubungkan dengan tangga dari bambu. Para pria tidur pada lantai dasar secara melingkar, sementara para wanita tidur di lantai satu.

6

Page 7: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

3. Arsitektur tradisional jawa

Pendapa adalah salah satu bagian dari bangunan rumah tradisional Indonesia (khususnya jawa) yang terletak di muka bangunan utama. Secara etimology, Pendapa (atau dibaca pendopo dalam bahasa Jawa), pengejaan Jawa: pendåpå, berasal dari kata 'mandapa' dari bahasa Sanskerta yang artinya bangunan tambahan) adalah bagian bangunan yang terletak di muka bangunan utama. Seorang peneliti dan penulis dari Belanda, Multatuli dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar mendiskripsikan pendapa sebagai "next to a broad-rimmed hat, an umbrella or a hollow tree”, sebuah topi kayu dengan tepian,sebuah paying atau pohon peneduh. Selain itu, multatuli juga menulis “ a pendopo is undoubtedly the simplest representation there is of the concept of 'roof'", pendapa adalah perwujudan paling sederhana dan mutlak dari konsep atap. Bangunan ini berfungsi sebagai penerima tamu, atau tempat bermusyawarah. Walaupun merupakan bagian dari bangunan rumah, keberadaan pendapa tidak mutlak ada pada bangunan tradisional jawa. Bangunan pendapa hanya ada pada rumah kaum bangsawan, istana raja, dan pangeran, serta orang yang terpandang atau dihormati oleh sesamanya saja. Bentuk dan detail pada pendapa pun sangat tergantung dari status social pemiliknya.

Pada dasarnya, rumah bentuk joglo berdenah bujur sangkar dengan elemen pembentuk bangunan berupa 4 tiang utama yang disebut saka guru yang ditopang oleh pondasi batu yang berbentuk umpak. Atap pendopo berbentuk atap joglo dengan naungan atau tajuk yang lebar. Atap bangunan terbagi menjadi 2 bagian (seperti pada atap joglo pada umumnya) , yaitu brunjungan yang disangga oleh blandar bersusun yang di sebut tumpangsari dan atap pananggap yang disangga oleh tiang pananggap (tiang pengikut). Blandar tumpangsari ini bersusun ke atas, makin ke atas makin melebar. Jumlah blandar dalam tumpang sari tergantung dari status social pemilik rumah (biasanya berjumlah ganjil). Ornamen arsitektur pada bangunan pendapa lebih rumit dan detail dibandingkan dengan bagian rumah yang lain. Bentuk ornamen dan motifnya tergantung dari tingkat social pemilik rumah dan lokasi tempat rumah itu berdiri (regional). Ornament yang terdapat pada bangunan pendapa biasanya keris-kerisan yang diletakkan pada pinggiran teras atau pada listplang atap (pada rumah jawa, khususnya jawa tengah).

7

Page 8: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

Furniture yang terdapat didalam pedapa sedikit berubah dari waktu kewaktu. Pada awalnya pendapa hanya berisi furniture utama yang difungsikan untuk pemilik rumah (berupa kursi berlengan dan dersandaran dengan ornament-ornamen penghias) dan beberapa furniture tambahan yang difungsikan sebagai tempat duduk abdi dalem atau tamu kehormatan pemilik rumah ( biasanya berupa dingklik atau kursi tanpa lengan dan tanpa sandaran dan tanpa ornament). Tapi pada perkembangnnya furniture yang diletakkan pada pendapa lebih berupa furniture penerima tamu lengkap tanpa perbedaan yang mencolok antara furniture untuk pemilik rumah dan tamu.

Diantara bangunan utama dan bangunan pendapa terdapat sekat berupa gebyok, yaitu sekat yang terbuat dari kayu yang dilengkapi dengan ukiran khas daerah. Ukiran pada gebyok tergantung dari status social pemilik rumah. Semakin tinggi statusnya semakin rumit dan mewah ukurannya. Semakin rendah statusnya, semakin sederhana ukiran dalam gebyok. Dalam perkembangannya, pendapa memiliki beberapa bentuk, tergantung dari bentuk atap yang melingkupinya, yaitu atap joglo yang dalam perkembangannya berubah menjadi beberapa macam sesuai dengan fungsinya, diantaranya joglo jompongan, joglo kepuhan lawakan, joglo ceblokan, joglo kepuhan limolasan, joglo sinom apitan, joglo pengrawit, joglo kepuhan apitan, joglo semar tinandu, joglo lambangsari, joglo wantah apitan, joglo hageng, dan joglo mangkurat.

Bangunan rumah dalam arsitektur tradisional jawa di bedakan menjadi 3 bagian besar, yaitu kaki, badan, dan kepala. Pada bangunan pendapa, bagian kaki direpresentasikan oleh umpak yang menopang keseluruhan bangunan, sesuai dengan namanya, yaitu umpak yang diambil dari bahasa jawa tumpak yang berarti pijakan. Umpak bisa diartikan tempat pijakan bangunan, pondasi dari keseluruhan bangunan. umpak biasanya terbuat dari batu persegi yang berwarna gelap. Batu yang dipilih sebagai umpak pun batu khusus yaitu batu gunung melambangkan bahwa umpak merupakan bagian terkuat dari bangunan. Ini melambangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, pondasi kehidupan, baik itu dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi, pondasi haruslah merupakan bagian yang terkuat. Dalam kehidupan pribadi, yang dimaksud pondasi adalah kepercayaan dan kekuatan mental diri, identitas dan dasar pemikiran. Dalam kehidupan bermasyarakat, terutama masyarakat jawa kuno, pondasi dari masyarakat adalah hukum, baik itu hukum adat maupun hukum yang dibuat oleh pemilik kekuasaan. Walaupun umpak memiliki bentuk dan tampilan yang sederhana, yaitu persegi dengan warna lebih gelap dan tanpa ornament-ornamen yang rumit, tapi umpak memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan. Hal ini melambangkan bahwa pada level terendah, bentuk dan tampilan tidaklah diperlukan, yang lebih diperlukan adalah kekuatan karena level ini adalah level yang jarang dipandang oleh orang. Kekuatan lebih diperlukan karena bagian ini menopang seluruh struktur diatasnya. Bila bagian ini lemah, akan mengakibatkan seluruh bagian bangunan menjadi lemah. Dalam social masyarakat pun diterapkan prinsip-prinsip semacam ini. Pada kehidupan pribadi, pondasi yang berupa kepercayaan dan mental haruslah kuat untuk menghadapi semua masalah yang timbul. Tanpa kekuatan seorang pribadi akan mudah terombang-ambing dan mudah dipengaruhi, baik oleh orang lain atau lingkungan, menjadikannya sosok yang mudah berubah pikiran, tidak tegar dan bisa dikendalikan oleh orang lain. Dalam kehidupan social yang pondasi kehidupannya adalah hukum, sangat jelas diperlukan kekuatan. Tanpa kekuatan tidak ada pengikat antara satu unsure dengan unsure lainya sehingga mudah terpecah belah dan tidak tercipta keserasian dalam kehidupan. Dalam pewujudan yang lebih gambling, umpak atau pondasi dalam sebuah struktur pemerintahan jawa sering diartikan juga

8

Page 9: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

dengan kawulo alit, atau rakyat jelata. Dalam konteks ini rakyat tidak dituntut untuk mewah dan berpenampilan menarik. Mereka hanya dituntut untuk kuat dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh susuhunan atau pangeran mereka. Konteks ini sering diterapkan pada pemerintahan kuno yang kadang mengakibatkan pemilik kekuasaan menggunakan kekuasaan mereka sewenang-wenang terhadap orang dibawahnya. Mereka sering tidak memperhatikan sisi kemanusiaan sehingga kadang level terendah ini melawan dan mengakibatkan hancurnya seluruh kerajaan.

Bagian badan bangunan disimbolkan dengan tiang atau saka , baik itu saka guru maupun saka-saka tambahan dan ruang yang terbentuk diantaranya. Badan dalah arti harafiah diartikan sebagai bagian tubuh yang berfungsi melakukan kegiatan. Pada bangunan pendapa, badan, atau ruang yang terdapat diantara atap dan lantai ini difungsikan sebagai tempat terjadinya kegiatan. Kegiatan yang terjadi didalamnnya dipilah-pilah berdasarkan tingkat kesakralan ruangan. Semakin ketengah, semakin sacral kegiatan dan unsure yang terdapat didalamnya dengan puncaknya di tengah ruangan, diantara 4 saka guru atau 4 tiang utama, tepat dibawah bumbungan atap brunjungan. Bagian ini adalah bagian paling privat dari bangunan pendapa. Disini biasanya pemilik rumah menerima tamu dan melakukan kegiatan musyawarah. Semakin keluar, semakin berkurang kesakralannya. Hal ini apabila di tampilkan dalam kehidupan sehari-hari diartikan dengan tingkat kepemimpinan. Seorang pemimpin selalu berada di tengah dan dikelilingi oleh para abdi yang menjaganya dari gangguan luar. Lingkaran abdi yang mengelilingi pemimpin atau pangeran pun berjenjang, dengan abdi yang paling dipercaa dan penting di dekat pemimpin dan semakin berkurang kepentingannya semakin keluar. Pada saat musyawarahpun, system ini diterapkan. Pemilik rumah biasanya berada tepat ditengah, dikelilingi oleh orang kepercayaan dan tamu kehormatan. Pada lingkaran terluar biasanya diisi oleh abdi, baik itu abdi pemilik rumah maupun abdi tamu. Unsure lain pada kaki adalah lantai yang sering diimplementasikan dengan segara (segoro) atau laut. Segara merupakan salah satu unsure dalam kebudayaan dan kepercayaan masyarakat jawa kuno. Segara dianggap sebagai tempat tinggal para dewi, oleh karena itu segara sering disamakan dengan wanita, atau dewi itu sendiri.

Atap melambangkan kepala, bagian yang paling penting dalam sebuah bangunan. Selain itu, atap pada pendapa juga sangat mencerminkan status social dari pemilik rumah. Semakin megah dan rumit bangunan atap pendapa menandakan semakin tingginya status social pemilik rumah dalam masyarakat. Terbagi menjadi 2 bagian, yaitu atap brunjungan dan atap penanggap, atap pada bangunan pendapa sering disebut juga dengan pangayoman atau pengayom. Hal ini sesuai dengan fungsinya yang meneduhkan bangunan pendapa, melingkupi bangunan dan kegiatan dibawahnya dari terik dan hujan. Atap melambangkan pemimpin atau pangeran. Seorang pemimpin, penentu kebijakan haruslah mampu mengayomi seluruh orang dibawahnya, karena tanpa orang-orang dibawahnya, seorang pemimpin tidak dapat berdiri. Bentuk atap yang menjulang diartikan juga sebagai gunungan, implementasi masyarakat jawa kuno terhadap gunung, salah satu elemen penting dalam kebudayaan dan kepercayaan masyarakat jawa. Gunung di samakan dengan laki-laki, atau dewa. Gunung sering juga diartikan sebagai paku bumi, cagaking kahyangan. Paku bumi yang dimaksud disini mengacu pada gunung merapi dalam kisah babad tanah jawa. Gunung merapi dan beberapa gunung besar di pulau jawa disebut sebagaai paku yang mengikat pulau jawa agar tidak tenggelam ke dalam laut.

9

Page 10: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

Perletakan pendapa selalu berada di muka bangunan utama. Perletakan ini bermaksud menjaga keprivatan bangunan utama. Semua kegiatan pemilik rumah yang berhubungan dengan dunia luar dimulai dari pendapa, sebagai filter. Lantai pendapa yang cenderung lebih tinggi dari pada pelataran juga memberikan privasi dan keamana pada bangunan utama.

Secara arsitektural bentuk, susunan dan detail pada pendapa sangat sesuai dengan iklim tropis yang merupakan iklim tempat bangunan ini berdiri. Bentuk atap yang menjulang menciptakan ruang yang cukup luas dibawahnya, sehingga tercipta penghawaan udara yang baik dan bersih. Dengan bentang atap yang relative lebar, kualitas udara yang masuk kedalam, terutama bagian inti bangunan, yaitu diantara saka guru, menjadi lebih bersih dan relative lebih sejuk. Bangunan yang terbentuk hanya dari tiang tanpa pengisi membuat sirkulasi udara dalam bangunan mudah dan sehat karena udara cepat berganti sehingga tidak terjadi kejenuhan ruangan. Tiang- tiang yang biasanya terbuat dari material kayu juga membantu mendinginkan ruangan. Sifat kayu yang relative dingin menetralisir udara panas yang masuk sehingga menjadi lebih sejuk. Lantai serta umpak yang terbuat dari material keras alam seperti batu dan marmer sangat berperan sebagai temperatur control atau pengatur suhu. Material batu dan marmer cenderung tetap dingin walaupun udara di sekitarnya berubah menjadi panas. Dengan bantuan dari atap pendapa dan sirkulasi udara yang baik karena ruangan tanpa sekat, lantai pendapa berfungsi maksimal sebagai pembawa kesejukan.

10

Page 11: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

Lantai dan umpak juga berfungsi sebagai unsure akustik yang penting. Material batu membuat suara dan getaran yang bergerak menjadi lebih optimal. Didukung oleh factor atap yang melingkupi bangunan dan ruangan tanpa sekat, suara dalam pendapa menjadi lebih mudah didengar dan lebih jelas. Selain itu suara dari luar sulit masuk karena terhalang oleh bentuk tritisan yang lebar. Suara dari dalam pun sulit didengar dari luar ruangan pendapa dikarenakan bentuk atap. Hal ini menunjang fungsi utama bangunan pendapa, yaitu sebagai tampat penerima tamu dan bermusyawarah. Dengan akustik yang baik, musyawaran dan percakapan menjadi lebih mudah dan tidak perlu mengeluarkan tenaga yang terlalu banyak untuk berbicara.

4. Arsitektur Bali

Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan, dan parahyangan. Untuk itu, pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut ‘’Tri Hita Karana’’. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya. Dalam pembangunannya, arsitektural tradisional bali dipraktekan oleh arsitek local yang disebut undagi. Undagi adalah sebutan bagi arsitek tradisional Bali. Seorang undagi tidak hanya membekali dirinya dengan ilmu rancang bangun, namun juga harus mempelajari serta memahami seni, budaya, adat dan agama. Hal tersebut wajib dikuasai oleh seorang undagi agar dalam proses perancangan dan penciptaan karya bangunan selaras dan sejalan dengan konsep Tri Hita Karana.

11

Page 12: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi tata ruangnya, diantaranya adalah:

Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga MandalaSanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)

Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialismeSwah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.

Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)Sumbu natural: Gunung dan LautSetiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan, Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari Terbit. dan Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada.

Keseimbangan Kosmologi, Manik Ring Cucupu Hierarki ruang, terdiri atas Tri Loka dan Tri Angga

Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali.a. Utama adalah simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang

diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.

b. Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela, dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia..

c. Nista menggambarkan suatu hierarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya diwujudkan dengan pondasi bangunan atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai penyangga bangunan di atasnya, atau dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibuat pada permukaan batu bata atau batu gunung dibuat semacam penghalus sebagai elemen leveling yang rata. Atau plesteran akhir nista juga digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu

Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala manusiaDalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah : Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya. sebuah desain bangunan tradidsional,harus memiliki aspek lingkungan ataupun memprhatikan kebudayan tersebut.

12

Page 13: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

Sistem konstruksi yang lain adalah sistem kelipatan dari tiang penyangga atau kolom terutama bangunan rumah tinggal atau bangunan umum. Bale sakepat adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah empat buah, dengan konstruksi tiang kolom yang disatukan dalam satu puncak atap. Jadi tidak terdapat kuda-kuda. Bale sakenam adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah enam buah dalam deretan 2 x 3 kolom. Bale tiang sanga adalah sebuah bale (balai: red.) dengan tiang penyangga berjumlah sembilan dan biasanya dalam formasi 3 x 3. Bale sakarolas atau bale gede adalah bale dengan tiang penyangga berjumlah dua belas dan biasanya dengan formasi 3 x 4. Sedangkan wantilan yang jumlah kolomnya berjajar dalam formasi 2 x 8 atau 2 x 12 sehingga bangunan memanjang mengikuti deretan kolomnya.

13

agemel acengkang aguli akacing

alek amusti Atapak batis Atapak batis ngandang

Atengan depa agung

Duang nyari Petang nyari sahasta Tapang lima

Atengan depa alit

Page 14: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak

merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu Gunung Agung. Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dengan tempat pemujaan keluarga. Untuk memahami hierarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini, haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan, timur, dan barat. Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke Gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali disebut pamerajan. Berikut bagian-bagian ruang pada rumah tinggal tradisional Bali.

1. Angkul-angkul, yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya terletak di kauh kelod.2. Aling-aling, adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus ke dalam melainkan menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-aling terletak di kauh kelod.3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar.

14

Page 15: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

4. Pamerajan, adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga memunyai pamerajan yang letaknya di kaja kangin pada sembilan petak pola ruang.5. Umah meten, yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat yaitu di kaja.6. Bale tiang, sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu yang diletakkan di lokasi kauh.7. Bale sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih junior. Bale sakepat biasanya terletak di kelod.8. Bale bangin, biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. Bale dangin terletak di lokasi kangin.9. Paon, yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada kangin kelod.10. Lumbung, sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi, dan hasil kebun lainnya.

15

Page 16: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

5. Arsitektur Minangkabau

Rumah Gadang Minangkabau merupakan rumah tradisional hasil kebudayaan suatu suku bangsa yang hidup di daerah Bukit Barisan di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera bagian tengah. Sebagaimana halnya rumah di daerah katulistiwa, rumah gadang dibangun di atas tiang (panggung), mempunyai kolong yang tinggi. Atapnya yang lancip merupakan arsitektur yang khas yang membedakannya dengan bangunan suku bangsa lain di daerah garis katulistiwa itu.

Arsitektur Masyarakat Minangkabau sebagai suku bangsa yang nenganut falsafah alam takambang jadi guru , mereka menyelaraskan kehidupan pada susunan alam yang harmonis tetapi juga dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang mereka sebut bakarano bakajadian (bersebab dan berakibat) yang menimbulkan berbagai pertentangan dan keseimbangan. Buah karyanya yang menumental seperti rumah gadang itu pun mengandung rumusan falsafah itu.

Bentuk dasarnya, rumah gadang itu persegi empat yang tidak simetris yang mengembang ke atas. Atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah Iandai seperti badan kapal. Bentuk badan rumah gadang yang segi empat yang membesar ke atas (trapesium terbalik) sisinya melengkung kedalam atau rendah di bagian tengah, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh bentuk segi tiga yang juga sisi segi tiga itu melengkung ke arah dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup mereka.

Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam, garis dan bentuk rumah gadangnya kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan yang bagian puncaknya bergaris lengkung yang meninggi pada bagian tengahnya serta garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga pula. Jadi, garis alam Bukit Barisan dan garis rumah gadang merupakan garis-garis yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi yang harmonis jika dilihat secara estetika. Jika dilihat dan

16

Page 17: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

segi fungsinya, garis-garis rumah gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis. Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis itu, sehingga air hujan yang betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat pada atapnya. Bangun rumah yang membesar ke atas, yang mereka sebut silek, membebaskannya dan terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas. Di samping itu rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah mata angin dari utara ke selatan guna membebaskannya dari panas matahari serta terpaan angin. Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu.

Rumah gadang mempunyai nama yang beraneka ragam menurut bentuk, ukuran, serta gaya kelarasan dan gaya luhak. Menurut bentuknya, ia lazim pula disebut rumah adat, rumah gonjong atau rumah bagonjong (rumah bergonjong), karena bentuk atapnya yang bergonjon runcing menjulang. Jika menurut ukurannya, ia tergantung pada jumlah lanjarnya. Lanjar ialah ruas dari depan ke belakang. Sedangkan ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang. Rumah yang berlanjar dua dinamakan lipek pandan (lipat pandan). Umumnya lipek pandan memakai dua gonjong. Rumah yang berlanjar tiga disebut balah bubuang (belah bubung). Atapnya bergonjong empat. Sedangkan yang berlanjar empat disebut gajah maharam (gajah terbenam). Lazimnya gajah maharam memakai gonjong enam atau lebih. Menurut gaya kelarasan, rumah gadang aliran Koto Piliang disebut sitinjau lauik. Kedua ujung rumah diberi beranjung, yakni sebuah ruangan kecil yang lantainya lebih tinggi. Karena beranjung itu, ia disebut juga rumah baanjuang (rumah barpanggung). Sedangkan rumah dan aliran Bodi Caniago lazimnya disebut rumah gadang. Bangunannya tidak beranjung atau berserambi sebagai mana rumah dan aliran Koto Piliang, seperti halnya yang terdapat di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto. Rumah kaum yang tidak termasuk aliran keduanya, seperti yang tertera dalam kisah tambo bahwa ada kaum yang tidak di bawah pimpinan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang, yakni daRI aliran Datuk Nan Sakelap Dunia di wilayah Lima Kaum, memakai hukumnya sendiri.

Rumah gadang kaum ini menurut tipe rumah gadang Koto Piliang, yaitu memakai anjung pada kedua ujung rumahnya. Sedangkan sistem pemerintahannya menurut aliran Bodi Caniago. Rumah gadang dari tuan gadang di Batipuh yang bergelar Harimau Campo Koto Piliang yang bertugas sebagai panglima, disebut rumah batingkok (rumah bertingkap). Tingkapnya terletak di tengah puncak atap. Mungkin tingkap itu digunakan sebagai tempat mengintip agar panglima dapat menyiapkan kewaspadaannya. Rumah di daerah Cupak dan Salayo, di Luhak Kubuang Tigo Baleh yang merupakan wilayah kekuasaan raja, disebut rumah basurambi (rumah berserambi). Bagian depannya diberi serambi sebagai tempat penghulu menerima tamu yang berurusan dengannya. Jika menurut gaya luhak, tiap luhak mempunyai gaya dengan namanya yang tersendiri. Rumah gadang Luhak Tanah Datar dinamakan gajah maharam karena besarnya. Sedangkan modelnya rumah baanjuang karena luhak itu menganut aliran Kelarasan Koto Piliang. Rumah gadang Luhak Agam dinamakan surambi papek (serambi pepat) yang bentuknya bagai dipepat pada kedua belah ujungnya. Sedangkan rumah gadang Luhak Lima Puluh Koto dinamakan rajo babandiang (raja berbanding) yang bentuknya seperti rumah Luhak Tanah Datar yang tidak beranjung). Pada umumnya rumah gadang itu mempunyai satu tangga, yang terletak di bagian depan. Letak tangga rumah gadang rajo babandiang dari Luhak Lima Puluah Koto di belakang.

17

Page 18: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

Letak tangga rumah gadang surambi papek dari Luhak Agam di depan sebelah kiri antara dapur dan rumah. Rumah gadang si tinjau lauik atau rumah baanjuang dan tipe Koto Piiang mempunyai tangga di depan dan di belakang yang letaknya di tengah. Rumah gadang yang dibangun baru melazimkan letak tangganya di depan dan di bagian tengah. Dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding. Tangga rumah gadang rajo babandiang terletak antara bagian dapur dan rumah. Dapur rumah gadang surambi papek, dibangun terpisah oleh suatu jalan untuk keluar masuk melalui tangga rumah.

Rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena fisiknya yang besar, melainkan karena fungsinya. Selain sebagai tempat kediaman keluarga, fungsi rumah gadang juga sebagai lambang kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan melaksanakan berbagai upacara. Bahkan juga sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit. Sebagai tempat tinggal bersama, rumah gadang mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri.

Setiap perempuan yang bersuami memperoleh sebuah kamar. Perempuan yang termuda memperoleh kamar yang terujung. Pada gilirannya ia akan berpindah ke tengah jika seorang gadis memperoleh suami pula. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Sedangkan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing. Penempatan pasangan suami istri baru di kamar yang terujung, ialah agar suasana mereka tidak terganggu kesibukan dalam rumah. Demikian

18

Page 19: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

pula menempatkan perempuan tua dan anak-anak pada suatu kamar dekat dapur ialah karena keadaan fisiknya yang memerlukan untuk turun naik rumah pada malam hari.

Sebagai tempat bermufakatan, rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama. Sebagai tempat melaksanakan upacara, rumah gadang menjadi penting dalam meletakkan tingkat martabat mereka pada tempat yang semestinya. Di sanalah dilakukan penobatan penghulu. Di sanalah tempat pusat perjamuan penting untuk berbagai keperluan dalam menghadapi orang lain dan tempat penghulu menanti tamu-tamu yang mereka hormati. Sebagai tempat merawat keluarga, rumah gadang berperan pula sebagai rumah sakit setiap laki-laki yang menjadi keluarga mereka. Seorang laki-laki yang diperkirakan ajalnya akan sampai akan dibawa ke rumah gadang atau ke rumah tempat ia dilahirkan. Dan rumah itulah ia akan dilepas ke pandam pekuburan bila ia meninggal. Hal ini akan menjadi sangat berfaedah, apabila laki-laki itu mempunyai istri lebih dari seorang, sehingga terhindarlah perseng ketaan antara istri-istrinya. Umumnya rumah gadang didiami nenek, ibu, dan anak-anak perempuan. Bila rumah itu telah sempit, rumah lain akan dibangun di sebelahnya.

Andai kata rumah yang akan dibangun itu bukan rumah gadang, maka lokasinya di tempat yang lain yang tidak sederetan dengan rumah gadang. Fungsi Bagian Rumah Rumah gadang terbagi atas bagian-bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus. Seluruh bagian dalam merupakan ruangan lepas, terkecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah, bias dua, tiga, dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas. Lanjar yang terletak pada bagian dinding sebelah belakang biasa digunakan untuk kamar-kamar. Jumlah kamar tergantung pada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Kamar itu umumnya kecil, sekadar berisi sebuah tempat tidur, lemari atau peti dan sedikit ruangan untuk bergerak. Kamar memang digunakan untuk tidur dan berganti pakaian saja. Kamar itu tidak mungkin dapat digunakan untuk keperluan lain, karena keperluan lain harus menggunakan ruang atau tempat yang terbuka. Atau dapat diartikan bahwa dalam kehidupan yang komunalistis tidak ada suatu tempat untuk menyendiri yang memberikan kesempatan pengembangan kehidupan yang individual. Kamar untuk para gadis ialah pada ujung bagian kanan, jika orang menghadap ke bagian belakang. Kamar yang di ujung kiri, biasanya digunakan pengantin baru atau pasangan suami istri yang paling muda. Meletakkan mereka di sana agar mereka bisa terhindar dari hingar-bingar kesibukan dalam rumah. Kalau rumah mempunyai anjung, maka anjung sebelah kanan merupakan kamar para gadis. Sedangkan anjung sebelah kiri digunakan sebagai tempat kehormatan bagi penghulu pada waktu dilangsungkan berbagai upacara. Pada waktu sehari-harii anjung bagian kin itu digunakan untuk meletakkan peti-peti penyimpanan barang berharga milik kaum.

Lanjar kedua merupakan bagian yang digunakan sebagai tempat khusus penghuni kamar. Misalnya, tempat mereka makan dan menanti tamu masing masing. Luasnya seluas lanjar dan satu ruang yang berada tepat di hadapan kamar mereka. Lanjar ketiga merupakan lanjar tengah pada rumah berlanjar empat dan merupakan lanjar tepi pada rumah belanjar tiga. Sebagai lanjar tengah, ia digunakan untuk tempat menanti tamu penghuni kamar masing-masing yang berada di ruang itu. Kalau

19

Page 20: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

tamu itu dijamu makan, di sanalah mereka ditempatkan. Tamu akan makan bersama dengan penghuni kamar serta ditemani seorang dua perempuan tua yang memimpin rumah tangga itu. Perempuan lain yang menjadi ahli rumah tidak ikut makan. Mereka hanya duduk-duduk di lanjar kedua menemani dengan senda gurau. Kalau di antara tamu itu ada laki-laki, maka mereka didudukkan di sebelah bagian dinding depannya, di sebelah bagian ujung rumah.

Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemani nya berada di bagian pangkal rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemaninya berada di bagian pangkal rumah. Pengertian ujung rumah di sini ialah kedua ujung rumah. Pangkal rumah ialah di bagian tengah, sesuai dengan letak tiang tua, yang lazimnya menupakan tiang yang paling tengah. Lanjar tepi, yaitu yang terletak di bagian depan dinding depan, merupakan lanjar terhormat yang lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan.

Ruang rumah gadang pada umumnya terdiri dari tiga sampai sebelas lanjar. Fungsinya selain untuk menentukan kamar tidur dengan wilayahnya juga sebagai pembagi atas tiga bagian, yakni bagian tengah, bagian kiri, dan bagian kanan, apabila rumah gadang itu mempunyai tangga di tengah, baik yang terletak di belakang maupun di depan. Bagian tengah digunakan untuk tempat jalan dari depan ke belakang. Bagian sebelah kiri atau kanan digunakan sebagai tempat duduk dan makan, baik pada waktu sehari-hari maupun pada waktu diadakan perjamuan atau bertamu. Ruang rumah gadang surambi papek yang tangganya di sebuah sisi rumah terbagi dua, yakni ruang ujung atau ruang di ujung dan ruang pangka atau ruang di pangka (pangka = pangkal). Dalam bertamu atau perjamuan, ruang di ujung tempat tamu, sedangkan ruang di pangkal tempat ahli rumah beserta kerabatnya yang menjadi si pangkal (tuan rumah). Kolong rumah gadang sebagai tempat menyimpan alat-alat pertanian dan atau juga tempat perempuan bertenun. Seluruh kolong ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.

20

Page 21: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

Sebagai milik bersama, rumah gadang dibangun di atas tanah kaum cara bergotong-royong sesama mereka serta dibantu kaum yang lain. Ketentuan adat menetapkan bahwa rumah gadang yang bergonjong empat dan selebihnya hanya boleh didirikan pada perkampungan yang berstatus nagari atau koto. Di perkampungan yang lebih kecil, seperti dusun atau lainnya, hanya boleh didirikan rumah yang bergonjong dua. Di teratak tidak boleh didirikan rumah yang bergonjong.

Himpunan orang sekaum yang lebih kecil dan suku, seperti kaum sepayung, kaum seperut, atau kaum seindu, dapat pula mendirikan rumah gadang masing-masing. Pendirian rumah gadang itu dimulai dengan permufakatan orang yang sekaum. Dalam mufakat itu dikajilah patut tidaknya maksud itu dilaksanakan, jika dilihat dari kepentingan mereka dan ketentuan adat. Juga dikaji letak yang tepat serta ukurannya serta kapan dimulai mengerjakannya. Hasil mufakat itu disampaikan kepada penghulu suku. Kemudian penghulu suku inilah yang menyampaikan rencana mendirikan rumah gadang itu kepada penghulu suku yang lain.

Semua bahan yang diperlukan, seperti kayu dan ijuk untuk atap, diambil dari tanah ulayat kaum oleh ahlinya. Setelah kayu itu ditebang dan dipotong menurut ukurannya, lalu seluruh anggota kaum secara beramai-ramai membawanya ke tempat rumah gadang itu akan didirikan. Orang-orang dari kaum dan suku lain akan ikut membantu sambil membawa alat bunyi-bunyian untuk memenahkan suasana. Sedangkan kaum perempuan membawa makanan. Peristiwa ini disebut acara maelo kayu (menghela kayu).

Pekerjaan mengumpulkan bahan akan memakan waktu yang lama. Kayu untuk tiang dan untuk balok yang melintang terlebih dahulu direndam ke dalam lunau atau lumpur yang airnya terus berganti agar kayu itu awet dan tahan rayap. Demikian pula bambu dan ruyung yang akan digunakan. Sedangkan papan dikeringkan tanpa kena sinar matahari. Bila bahan sudah cukup tersedia, dimulailah mancatak tunggak tuo, yaitu perkerjaan yang pertama membuat tiang utama. Kenduri pun diadakan pula khusus untuk hal ini. Sejak itu mulailah para ahli bekerja menurut kemampuan masing-masing. Tukang yang dikatakan sebagai ahli ialah tukang yang dapat memanfaatkan sifat bahan yang tersedia menurut kondisinya, Indak tukang mambuang kayu (tidak tukang membuang kayu), kata pituah mereka. Sebab, setiap kayu ada manfaatnya dan dapat digunakan secara tepat.

Selanjutnya pada setiap pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga, seperti ketika batagak tunggak (menegakkan tiang), yaitu pekerjaan mendirikan seluruh tiang dan merangkulnnya dengan balok-balok yang tersedia, diadakan pula kenduri dengan maimbau (memanggil) semua orang yang patut diundang. Demikian pula pada waktu manaikkan kudokudo (menaikkan kuda-kuda) kenduri pun diadakan lagi dengan maksud yang sama. Apabila rumah itu selesai diadakan lagi perjamuan manaiki rumah (menaiki rumah) dengan menjamu semua orang yang telah ikut membantu selama ini. Pada waktu perjamuan ini semua tamu tidak membawa apa pun karena perjamuan merupakan suatu upacara syukuran dan terima kasih kepada semua orang.

Semua dinding rumah gadang dari papan, terkecuali dinding bagian belakang dibuat dari bambu. Papan dinding dipasang vertikal. Pada pintu dan jendela serta pada setiap persambungan papan pada paran dan bendul terdapat papan bingkai yang lurus dan juga berelung. Semua papan yang menjadi

21

Page 22: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding penuh ukiran. Ada kalanya tiang yang tegak di tengah diberi juga sebaris ukiran pada pinggangnya.

Sesuai dengan ajaran falsafah Minangkabau yang bersumber dari alam terkembang, sifat ukiran nonfiguratif, tidak melukiskan lambang-lambang atau simbol-simbol. Pada dasarnya ukiran itu merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis nielingkar atau persegi. Motifnya tumbuhan merambat yang disebut akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Pola akar itu berbentuk Iingkaran. Akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan, dan juga sambungmenyambung. Cabang atau ranting akar itu berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Ada keluk yang searah di samping ada yang berlawanan. Seluruh bidang diisi dengan daun, bunga, dan buah. OIeh karena rambatan akar itu bervariasi banyak, maka masing-masing diberi nama. Pemberian nama itu tergantung pada garis yang dominan pada ukiran itu. Pada dasarnya nama yang diberikan ialah seperti berikut.

1. Lingkaran yang berjajar dinamakan ula gerang karena lingkaran itu menimbulkan asosiasi pada bentuk ular yang sedang melingkar.

2. Lingkaran yang berkaitan dinamakan saluak (seluk) karena bentuknya yang berseluk atau serhubungan satu sama lain.

3. Lingkaran yang berjalin dinamakan jalo (jala) atau tangguak (tangguk) atau jarek (jerat) karena menyerupai jalinan benang pada alat penangkap hewan.

4. Lingkaran yang sambung-bersambung dinamakan aka (akar), karena bentuknya merambat. Akar ganda yang parallel dinamakan kambang (kembang = mekar).

5. Lingkaran bercabang atau beranting yang terputus dinamakan kaluak (keluk).

6. Lingkaran yang bertingkat dinamakan salompek (selompat). Ukuran atau bentuk tingkatan lingkaran itu sama atau tidak sama.

Dari motif pokok itu dapat dibuat berbagai variasi antara lain ialah seperti berikut.

1. Mengkombinasikannya motif segi empat.

2. Menyusun dalam kombinasi rangkap.

3. Memperbesar atau mempertebal bagian-bagian hingga lebih menonjol dari yang lain

4. Memutar atau membalikkan komposisi.

Di samping motif akar dengan berbagai pola itu, ada lagi motif akar yang tidak memakai pola. Ukirannya mengisi seluruh bidang yang salah satu bagian sisinya bergaris relung.

Motif lainnya ialah motif geometri bersegi tiga, empat, dan genjang. Motif ini dapat dicampur dengan motif akar, juga bidangnya dapat diisi ukiran atau dihias ukiran pada bagian luarnya.

22

Page 23: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

Motif daun, bunga, atau buah dapat juga diukir tersendiri, secara benjajaran. Ada kalanya dihubungkan oleh akar yang halus, disusun berlapis dua, atau berselang-seling berlawanan arah, atau berselang-seling dengan motif lainnya.

Oleh karena banyak variasi dan kombinasi, serta banyak pula komposisinya yang saling berbeda maka masing-masing diberi nama yang berfungsi sebagai kode untuk membedakan yang satu dengan yang lain.

Nama bagi motif daun, bunga, dan buah boleh dikatakan semua menggunakan nama daun, bunga, dan buah yang dipakai sebagai model ukiran, seperti daun sirih, sakek (anggrek), kacang, dan bodi. Dalam hal bunga ialah cengkih, mentimun, lada, kundur, kapeh. Dalam hal buah ialah manggis, keladi, rumbia, rambai. Ada kalanya hiasan ukiran pengganti bunga atau buah itu dipakai motif dan benda perhiasan lainnya, seperti manik, jambul, mahkota, tirai-tirai, bintang; dan kipas. Ada kalanya pula motif daun dinama dengan nama hewan, seperti itik, tetadu, kumbang, dan bada (ikan).

Nama ukiran geometri bersegitiga pada umumnya disebut dengan pucuk rebung atau si tinjau lauik. Nama pucuk rebung diambil karena pucuk rebung memang runcing seperti segitiga dan si tinjau laut mengingatkan pada atap rumah gadang dengan nama yang sama jika dilihat dari samping. Ukiran segi empat dinamakan siku. Ukiran segi empat genjang dinamakan sayat gelamai karena bentuknya seperti potongan gelamai yang disayat genjang. Nama yang diberikan pada ukiran yang bermotif akar disesuaikan dengan polanya. Setiap nama umumnya terdiri dari dua kata, seperti akar cina (akar terikat), akar berpilin, akar berayun, akar segagang, akar dua gagang. Akar dua gagang lazim pula disebut kembang manis. Akar yang berjalin dinamakan seperti alat penangkap hewan, yakni seperti jala terkakar (terhampar), jerat terkakar atau tangguk terkakar. Akar yang saling berkaitan dinamakan seluk laka karena bentuknya sebagai laka yang berupa alat untuk tempat belanga yang berisi masakan. Nama ukiran yang dibuat bervanasi dengan berbagai kombinasi dan perubahan komposisi dan penonjolan bagianbagiannya umumnya memakai nama hewan, seperti tupai, kucing, harimau, kuda, ular dan rama-rama. Nama hewan itu Iazimnya ditambah dengan suatu kata yang melukiskan keadaan, seperti rama-rama bertangkap, kucing tidur, kijang balari, gajah badorong, kelelawar bergayut.

Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding rumah gadang. Pada papan yang tersusun secara vertikal, motif yang digunakan ialah ukiran akar. Pada papan yang dipasang secara horisontal, digunakan ukiran geometris. Pada bingkai pintu, jendela, dan pelapis sambungan antara tiang dan bendul serta paran, dipakai ukiran yang bermotif lepas. Sedangkan pada bidang yang salah satu sisinya berelung, dipakai motif ukiran akar bebas. Ada kalanya dipakai motif kumbang, mahkota, dan lain lainnya sebagai hiasan pusat.

Pemberian nama tampaknya tidak mempunyai pola yang jelas. Umpamanya, motif yang sama tetapi berbeda jenis ukiran yang mengisi bidangnya akan memperoleh nama yang tidak ada hubungannya sama sekali, seperti antara singo mandongkak (singa mendongkak) dan pisang sasikek (pisang sesisir). Ukiran yang bernama kaluak paku (keluk pakis) jika disalin melalui lantunan kaca akan berubah namanya menjadi kijang balari. Demikian pula ukiran yang bernama ramo-ramo (rama-rama) jika disalin melalui lantunan kaca namanya berubah menjadi tangguak lamah (tangguk lemah).

23

Page 24: Bentuk Dan Pola Arsitektur Di Era Pancosmism

6. Arsitektur Toraja

Tongkonan adalah rumah adat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai perahu, terdiri atas susunan kayu. Di bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan dapur. Bahkan tongkonan digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan mayat.

Kesimpulan

Pola arsitektur pada era pancosmism di indonesia bersifat seragam sesuai dengan lokasinya. Pola ini dipengaruhi oleh factor geografis dan ekologis setempat.

24