Upload
sitti-monica-a-ambon
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS I
Nama Mahasiswa : Sitti Monica A. Ambon
NIM : 030.09.239
Pembimbing : Prof. dr. Muzief Munir, Sp.A
Tanda tangan :
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. BAS
Umur : 7 Bulan
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 2 September 2013
Alamat : Jl. Cipmuara No. 67, Kel. Cipinang Muara, Jatinegara
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : -
Orang tua / Wali
Ayah : Ibu :
Nama : Tn. AB Nama : Ny. H
Umur : 34 tahun Umur : 25 tahun
Alamat : Jl. Cipmuara No. 67 , Kel. Alamat : Jl. Cipmuara No. 67, Kel.
Cipinang Muara, Jatinegara Cipinang Muara, Jatinegara
Pekerjaan : Karyawan Swasta Pekerjaan : Karyawan Swasta
Penghasilan : Rp. 2 juta /bulan Penghasilan : Rp. 1,5 juta/bulan
Pendidikan : SLTA Pendidikan : SLTA
Suku bangsa : Betawi Suku bangsa : Betawi
Agama : Islam Agama : Islam
Hubungan dengan orang tua : pasien merupakan anak kandung
1
I. RIWAYAT PENYAKIT
ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. H (ibu kandung pasien)
Lokasi : Bangsal lantai V Timur, kamar 515
Tanggal / waktu : 1 April 2014 pukul 22.00 WIB
Tanggal masuk : 1 April 2014
Keluhan utama : Sesak napas sejak 1 hari Sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Keluhan tambahan : Batuk, Pilek , Demam
A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Os datang ke IGD RSBA diantar oleh ibu os dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Sesak napas muncul tiba-tiba dan berlangsung
terus menerus sepanjang hari. Awalnya sesak napas tampak ringan. Namun, lama
kelamaan terlihat semakin berat. Sesak napas disertai bunyi “ngiik” saat membuang
napas, serta terdengar suara “grok-grok”. Sejak sesak napas timbul os menjadi rewel
dan gelisah. Sebelum sesak napas, ibu os mengaku anaknya mengalami batuk pilek
sejak 3 hari SMRS. Batuk anaknya terdengar seperti batuk berdahak, namun tidak ada
dahak yang keluar, dan di akhir batuk tidak diakhiri dengan muntah. Untuk pileknya,
ibu os mengatakan ingus anaknya bening dan encer, tidak kental dan tidak ada darah.
Selain itu, ibu os juga mengatakan os mengalami demam sejak 3 hari SMRS pula.
Demam terjadi bersamaan dengan batuk pilek. Demam diukur dengan perabaan dan
dirasakan tidak terlalu tinggi. Ibu os kemudian memberi obat sanmol dan panasnya
dirasakan turun. Ibu os mengaku demam anaknya dirasakan mulai tinggi 1 hari
SMRS saat sesak timbul. Demam menetap sepanjang 1 hari tersebut, dan dirasakan
semakin berat. Demam tidak disertai menggigil dan tidak disertai kejang. BAB dan
BAK normal, tidak ada keluhan. Adanya riwayat tersedak sebelumnya disangkal ibu
os. Walaupun sakit, os tetap meminum asi dan susu formula seperti biasa.
2
B. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN
KEHAMILAN
Morbiditas kehamilan Tidak ada
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke bidan di puskesmas
setempat
KELAHIRAN
Tempat persalinan Puskesmas
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinanPer vaginam, spontan
Penyulit : -
Masa gestasi Cukup Bulan
Keadaan bayi
Berat lahir : 3200 gram
Panjang lahir : 47 cm
Lingkar kepala : (tidak tahu)
Langsung menangis (+)
Kemerahan (+)
Nilai APGAR : (tidak tahu)
Kelainan bawaan : tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan / kelahiran :
Os lahir secara pervaginam, spontan tanpa penyulit, cukup bulan dan BBL SMK.
C. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi I : - (Normal: 5-9 bulan)
Gangguan perkembangan mental : -
Psikomotor
Tengkurap : Umur 4 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : Belum bisa (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : Belum bisa (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : Belum bisa (Normal: 13 bulan)
Bicara : Belum bisa (Normal: 9-12 bulan)
Perkembangan pubertas
Rambut pubis : -
3
Payudara : -
Menarche : -
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan :
Riwayat perkembangan os sesuai usia.
D. RIWAYAT MAKANAN
Umur
(bulan)ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0 – 2 ASI + PASI - - -
2 – 4 ASI + PASI - - -
4 – 6 ASI + PASI + + -
6 – 7 ASI + PASI + + -
8 – 10 - - - +
10 -11 - - - +
Kesulitan makan : tidak ada. Walaupun sakit, os tetap makan seperti biasa.
Kesimpulan riwayat makanan :
Sejak lahir os tidak mendapat ASI eksklusif. Pemberian ASI disertai dengan susu
formula. Asupan dari usia 0 bulan – 7 bulan cukup baik.
E. RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )
BCG 2 bulan - -
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Campak Belum - -
Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan
Kesimpulan riwayat imunisasi : Imunisasi PPI cukup lengkap dan sesuai jadwal,
hanya campak yang belum.
4
F. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi
No Tanggal lahir (umur)
Jenis kelamin
Hidup Lahir mati
Abortus Mati (sebab)
Keterangan kesehatan
1. 20 Januari 2008 Laki-laki + - - - Sehat (kakak pasien)
2. 3 September 2013
Laki-laki + - - - Pasien
b. Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. AB Ny. H
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 27 tahun 18 tahun
Pendidikan terakhir Tamat SLTA Tamat SLTA
Agama Islam Islam
Suku bangsa Betawi Betawi
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Penyakit, bila ada - -
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang pernah mengalami hal yang sama dengan os sebelumnya. Nenek os
(ibu dari bapak os) mempunyai riwayat asma. Adanya riwayat batu-batuk lama dalam
keluarga disangkal.
d. Riwayat Kebiasaan Keluarga
Ayah os mempunyai kebiasaan merokok sejak dulu. Sehari-hari bisa 1-2 bungkus
rokok.
5
Kesimpulan Riwayat Keluarga :
Riwayat keluarga os cukup baik. Tidak ada yang pernah menderita hal yang sama
seperti os. Kebiasaan merokok ayah os dapat menjadi faktor resiko infeksi saluran
nafas pada anaknya.
G.RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung (-)
Cacingan (-) Diare 6 bulan Penyakit ginjal (-)
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)
Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita :
OS pernah terkena diare saat berusia 6 bulan, dibawa ke dokter dan dirawat jalan.
H. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN
Pasien tinggal bersama ayah, ibu, nenek serta kakaknya di sebuah rumah yang
dikontrak 1 lantai, dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, beratap genteng,
berdinding tembok. Pencahayaan baik, cahaya matahari masuk ke rumah, saat siang
hari tidak perlu menyalakan lampu. Ventilasi cukup dan ada di setiap kamar. Sumber
air bersih dari air PAM. Air limbah rumah tangga disalurkan dengan baik dan
pembuangan sampah setiap harinya diangkut oleh petugas kebersihan. Lingkungan
perumahan merupakan pemukiman yang padat penduduk.
Kesimpulan Keadaan Lingkungan :
Lingkungan rumah cukup baik. Proses pertukaran udara dan penyinaran sinar matahari
cukup baik.
6
II. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 1 April 2014 pukul 22.30 WIB)
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis
Kesan Gizi : Gizi baik
Keadaan lain : Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (+)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 7 kg
Tinggi Badan : 68 cm
Lingkar kepala : 44 cm
Status Gizi
- BB / U = 7/8,2 x 100 % = 85 % (Gizi baik)
- TB / U = 68/ 69 x 100 % = 98 % (Tinggi normal)
- BB / TB = 7/8,1 x 100 % = 86 % (Gizi kurang)
- Kehilangan BB = -
Tanda Vital
Nadi : 104 x / menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular.
Napas : 65 x / menit.
Suhu : 38 °C, axilla (diukur dengan termometer air raksa).
KEPALA : Normocephali, ubun-ubun besar belum menutup.
RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
WAJAH : wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut.
MATA :
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjunctiva anemis : -/- Cekung : -/-
Ptosis : -/-
7
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Strabismus : -/- Lensa jernih : +/+
Nistagmus : -/- Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+
TELINGA :
Bentuk : normotia
Nyeri tarik aurikula : -/-
Liang telinga : lapang
Nyeri tekan tragus : -/-
Cairan : -/-
HIDUNG :
Bentuk : simetris
Sekret : +/+ kering
NCH : +/+
Deviasi septum : -
BIBIR : Simetris, kering (+), anemis (-), sianosis (-).
MULUT : Oral hygiene baik, gigi geligi belum tumbuh, mukosa gusi dan
pipi berwarna merah muda.
LIDAH : Normoglotia, tremor (-), lidah kotor (-).
TENGGOROKAN : Arkus faring simetris, uvula di tengah.
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid,
tidak tampak deviasi trakea.
THORAKS :
Pulmo
Inspeksi :
Gerak thoraks terlihat simetris saat statis dan dinamis, tidak ada pernafasan yang
tertinggal, tampak retraksi interkostal, epigastrium dan suprasternal.
8
Palpasi :
Gerak nafas teraba simetris pada kedua hemithorax, vocal fremitus teraba simetris
pada kedua hemithorax.
Perkusi :
Sonor pada kedua hemithorax.
Auskultasi :
Suara napas vesikuler +/+, ronchi (+/+) basah kasar nyaring, wheezing (+/+),
ekspirasi memanjang.
Cor
Inspeksi :
Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi :
Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis sinistra.
Auskultasi :
Bunyi jantung I , II reguler, murmur (-), gallop (-).
ABDOMEN :
Inspeksi :
Perut buncit, tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit perut maupun benjolan.
Palpasi :
Supel, nyeri tekan (-). Hepar dan lien tidak teraba membesar.
Perkusi :
Timpani pada seluruh kuadran abdomen.
Auskultasi :
Bising usus (+) normal.
GENITALIA : Jenis kelamin laki-laki, fimosis (-), hipospadi (-), epispadi (-), testis
sudah di dalam skrotum.
KGB :
Tidak teraba pembesaran KGB pada regio colli, axilla maupun inguinal.
9
ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas : akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis (-).
Tangan Kanan Kiri
Tonus otot normotonus normotonus
Kekuatan otot 5 5
Kaki Kanan Kiri
Tonus otot normotonus normotonus
Kekuatan otot 5 5
STATUS NEUROLOGIS
RefleksFisiologis Kanan Kiri
Patella + +
Biceps + +
Triceps + +
Refleks Patologis
Babinski - -
Chaddock - -
KULIT : warna kulit langsat merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
baik, petechie (-).
TULANG BELAKANG : bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-).
10
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
(Lab. Dari bangsal pada tanggal 1 April 2014)
Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Darah Lengkap
Eritrosit 4.4 jt/uL 3,6 jt – 5, 2 jt Normal
Hemoglobin 10,7 g/dL 10.5 – 12.9 N
Leukosit 19.900 /uL 6000-17.500
Trombosit 513..000/uL 229.000-553.000
Hematokrit 33% 35 - 43
LED 45 mm/jam 0-10
MCV 75.0 fL 74 – 102
MCH 24.3 pg 23-31
MCHC 32.4 g/dL 28-32 Normal
RDW 16.2 % <14 Normal
Basofil 1 % 0-1 Normal
Eosinofil 4 % 1-5 Normal
Neutrofil Batang 2 % 0-8 Normal
Neutrofil Segmen 78 % 17-60
Limfosit 12 % 20-70
Monosit 3 % 1-11 Normal
11
Pemeriksaan Radiologi :
(Dilakukan tanggal 1 April 2014)
Jenis Foto : Thoraks PA
Deskripsi :
CTR < 50 %
Cor dan pulmo normal
Hilus baik, tulang-tulang intak
IV. RESUME
Os seorang anak laki-laki berusia 6 bulan 29 hari diantar ibunya ke IGD RSBA
dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari SMRS. Sesak napas berlangsung terus
menerus, dan semakin lama semakin berat. Sesak napas disertai bunyi ‘ngik’dan
‘grok’. Sebelumnya 3 hari SMRS os terserang batuk pilek. Batuk terdengar seperti
berdahak, namun dahak tidak dikeluarkan. Pilek dengan ingus bening dan encer.
Selain itu, batuk pilek ini munul disertai demam. Demam dirasakan tidak terlalu
tinggi menurut perabaan ibu os.
12
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum TSB, CM dengan dyspneu (+).
Pada hidung tampak napas cuping hidung +/+ dan sekret yang telah mengering. Bibir
tidak sianosis namun kering. Pada pemeriksaan thorax didapatkan retraksi sela iga,
epigastrium dan suprasternal, serta pada auskultasi didengar suara ekspirasi
memanjang disertai ronki dan wheezing pada kedua hemithorax.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukosit, LED dan neutrofil segmen yang
meningkat dan limfosit yang turun. Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan hasil
yang normal.
V. DIAGNOSIS BANDING
- Bronkiolitis
- Bronkopneumonia
- Asma bronkiale
- Pneumonia aspirasi
VI. DIAGNOSIS KERJA
- Bronkiolitis
- Susp. Infeksi sekunder bakteri
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Analisa gas darah
- Pemeriksaan urin dan feses lengkap
VIII. PENATALAKSANAAN
A. Non medika Mentosa
1. Observasi tanda – tanda vital.
2. Os dipuasakan hingga sesak berkurang (RR < 60x/m).
3. Pasang NGT.
4. O2 nasal kanul 1 liter / m.
B. Medika Mentosa
1. IVFD KaEN 1 B 3cc/kgBB/jam
13
2. PCT 3 x 70 mg jika suhu > 38°C (D : 5 -10 mg/kgbb/kali)
3. Inj. Dexamethasone 3 x 1,5 mg (D: 0,5 -1 mg/kgbb/hari)
4. Ambroxol 3,5 mg (D : 1,5 mg/kgbb/hari)
Salbutamol 0,7 mg (D : 0,1 mg/kgbb/kali)
CTM 0,5 mg ( D: 0,35 mg/kgbb/hari)
1 x 1 puyer
5. Inhalasi Nacl 5 cc + Albuterol sulfat 1 ampul, 2 x sehari
6. Inj. Ampisilin 4 x 200 mg (D : 10-25 mg/kgbb/kali)
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Functionam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
FOLLOW UP
Tgl S O A P
2/4/2014
jam 06.30
WIB
- Sesak napas
(+)
- Gelisah dan
rewel (+)
- Demam (+)
KU : tampak sakit berat
Kesadaran: CM
Keadaan lain : dyspneu
TTV :
Nadi : 148 x/m
Suhu : 38 0 C
RR : 48 x/ m
Kepala : normocephali
Mata : CA -/- SI -/-
Hidung : nch -/-, sekret
-/-
Mulut : kering (+),
sianosis (–)
Thorax :
sn vesikuler, rh +/+, wh
Bronkiolitis
Susp.
Infeksi
sekunder
bakteri
- IVFD KaEN 1 B
3cc/kgBB/jam
- Inj.
Dexamethasone
3x 1,5mg
- PCT 3 x 70 mg
jks > 38°C
- Inhalasi NS 5 cc +
albuterol sulfat 1
amp 2 x sehari.
- Ambroxol 3,5 mg
Salbutamol 0,7
mg
CTM 0,5 mg
3 x 1 puyer
14
+/+, ekspirasi
memanjang. BJ I-II
reg, m (-), gallop (-)
Abdomen : supel, nyeri
tekan (-), bu (+), hepar
& lien ttm
Ekstremitas : ke 4 akral
hangat
Hasil UL dan AGD
pada tanggal 2 april
2014 terlampir
- Inj. Ampisilin 4 x
200 mg
- O2 nasal kanul 1
l/m
- Minum per NGT
ASI 6 x 30 cc bila
RR , 60 x/m
3/4/2014
jam 06.30
WIB
- Os lebih
tenang
- Sesak (-)
- Batuk (+)
berkurang
- Demam (-)
KU : tampak sakit
sedang
Kesadaran: CM
TTV :
Nadi : 140 x/m
Suhu : 36,5 0 C
RR : 32 x/ m
Kepala : normocephali
Mata : CA -/- SI -/-
Hidung : nch -/-, sekret
-/-
Mulut : kering (-),
sianosis (–)
Thorax :
sn vesikuler, rh +/+, wh
-/-, ekspirasi
memanjang (-). BJ I-II
reg, m (-), gallop (-)
Abdomen : supel, nyeri
tekan (-), bu (+), hepar
Bronkiolitis
(klinis
perbaikan)
- O2 lepas
- IVFD ganti
asering
3cc/kgBB/jam
- Inj.
Dexamethasone
3x 1,5mg
- PCT 3 x 70 mg
jks > 38°C
- Inhalasi stop
- Ambroxol 3,5 mg
Salbutamol 0,7
mg
CTM 0,5 mg
3 x 1 puyer
- Inj. Ampisilin 4 x
200 mg
15
& lien ttm
Ekstremitas : ke 4 akral
hangat
Hasil FL terlampir
4/4/2014
jam 06.45
WIB
- Demam (-)
- Batuk (+)
berkurang
- Sesak (-)
- Os tidak
rewel lagi
KU : tampak sakit
ringan
Kesadaran: CM
TTV :
Nadi : 132 x/m
Suhu : 36,7 0 C
RR : 34 x/ m
Kepala : normocephali
Mata : CA -/- SI -/-
Hidung : nch -/-, sekret
-/-
Mulut : kering (-),
sianosis (–)
Thorax :
sn vesikuler, rh +/+
berkurang, wh -/-,
ekspirasi memanjang
(-). BJ I-II reg, m (-),
gallop (-)
Abdomen : supel, nyeri
tekan (-), bu (+), hepar
& lien ttm
Ekstremitas : ke 4 akral
hangat
Lab darah tgl 4 April
terlampir
Perbaikan
klinis
bronkiolitis
- Oral feeding test
lepas NGT
- Cek H2TL ulang
- Aff infus
- PCT 3 x 70 mg
jks > 38°C
- Ambroxol 3,5 mg
Salbutamol 0,7
mg
CTM 0,5 mg
3 x 1 puyer
- Metil prednisolon
oral 3 x 1 mg (d:
0,5-1 mg/kg/hari)
- Amoxicilin oral 3
x 100 mg (d: 7,5-
25 mg/kg/kali)
5 /4/2014 - Demam (-) KU : tampak sakit Perbaikan Boleh pulang
16
Jam
06.35
WIB
- Sesak (-)
- Batuk (+)
ringan
Kesadaran: CM
TTV :
Nadi : 130 x/m
Suhu : 36,1 0 C
RR : 38 x/ m
Kepala : normocephali
Mata : CA -/- SI -/-
Hidung : nch -/-, sekret
-/-
Mulut : kering (-),
sianosis (–)
Thorax :
sn vesikuler, rh -/-
berkurang, wh -/-,
ekspirasi memanjang
(-). BJ I-II reg, m (-),
gallop (-)
Abdomen : supel, nyeri
tekan (-), bu (+), hepar
& lien ttm
Ekstremitas : ke 4 akral
hangat
klinis
bronkiolitis
Obat pulang :
- Ambroxol 3,5 mg
Salbutamol 0,7
mg
CTM 0,5 mg
3 x 1 puyer
- Metil prednisolon
oral 3 x 1 mg
- Amoxicilin oral 3
x 100 mg
- Kontrol di poli
anak
17
Lampiran
Tanggal 2 April 2014
Urine Lengkap
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton 3+ Negatif
pH 6,5 4,6 - 8
Berat Jenis >=1.030 1.005 – 1.030
Albumin Urine 2+ Negatif
Urobilinogen 1.0 E.U. / dL 0,1 – 1
Nitrit Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Esterase Leukosit Negatif Negatif
Sedimen Urine :
Leukosit 1 – 2 / LPB < 5
Eritrosit 0 - 1 / LPB < 2
Epitel Positif / LPB Positif
Silinder Negatif / LPK Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Jamur Negatif / LPB Negatif
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Analisa Gas Darah
pH 7,54 7.35 – 7.45
pCO2 16 mmHg 26 – 41
pO2 175 mmHg 80 – 100
18
Bikarbonat (HCO3) 13 mmol/L 21 – 28
Total CO2 14 mmol/L 23 – 27
Saturasi O2 99 % 95 – 100
Kelebihan Basa (BE) -7.2 mEq/L -2.5 – 2.5
Tanggal 3 April 2014
Makroskopik Hasil Nilai Normal
Warna Coklat Coklat
Konsistensi Lunak Normal
Lendir Negatif Negatif
Darah Negatif Normal
Mikroskopik
Leukosit Negatif Negatif
Eritrosit Negatif Negatif
Amoeba Coli Negatif Normal
Amoeba Histolitika Negatif Negatif
Telur Cacing Negatif Negatif
Pencernaan
Lemak Negatif Negatif
Amilum Negatif Negatif
Serat Positif Negatif
Sel Ragi Negatif Negatif
Tanggal 4 April 2014
19
Hematologi Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 11.8 g/ dL Normal
Hematokrit 36 % Normal
Leukosit 7.600/μL Normal
Trombosit 678.000/ μL Meningkat
Eritrosit 4.8 juta/ μL Normal
MCV 74 fL Normal
MCH 24.6 pg Normal
MCHC 33.1 g/dL Normal
RDW 19.2 mg/dL Meningkat
TINJAUAN PUSTAKA
20
BRONKIOLITIS
I. Latar Belakang
Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim, akibat dari
obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Penyakit ini terjadi selama umur 2
tahun pertama, dengan insiden puncak pada sekitar umur 6 bulan, dan pada
banyak tempat penyakit ini paling sering menyebabkan rawat inap bayi di rumah
sakit. Insidensi tertinggi selama musim dingin dan awal musim semi. Penyakit ini
terjadi secara sporadik dan endemik.1
II. Definisi
Bronkiolitis adalah suatu infeksi sistem respiratorik bawah akut yang ditandai
dengan pilek, batuk, distress pernapasan dan ekspiratorik effort (usaha napas pada
saat ekspirasi).1
III. Etiologi
Penyebab tersering adalah RSV (lebih dari 50%) diikuti oleh virus parainfluenza
3, dan adenovirus. Adenovirus dapat dihubungkan dengan komplikasi jangka
lama, termasuk bronkiolitis obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral
(sindrom Swyer-James). Kemungkinan kejadian bronkiolitis pada anak dengan
ibu perokok lebih tinggi dibandingkan pada anak dengan ibu yang tidak
merokok.1 Terdapat pembuktian bahwa kompleks imunologis yang memainkan
peranan penting dari patogenesis dari bronkiolitis dengan RSV. Reaksi alergi tipe
1 dimediasi oleh antibodi Ig E hal ini dapat dihitung untuk signifikansi dari
bronkiolitis. Bayi yang meminum ASI dengan colustrum tinggi yang didalamnya
terdapat Ig A tampaknya lebih relaktif terproteksi dari bronkiolitis. 2
IV. Klasifikasi
21
Bronkiolitis dapat diklasifikasikan menjadi :
Bronkiolitis akut
Bronkiolitis obliteran.
Bronkiolitis akut dengan bronkiolitis obliteran dibedakan pada bronkhiolus dan
saluran pernafasan yang lebih kecil terjejas, karena upaya perbaikan
menyebabkan sejumlah besar jaringan granulasi yang menyebabkan obstruksi
jalan nafas, lumen jalan nafas terobliterasi oleh masa noduler granulasi dan
fibrosis. Bronkiolitis obliterans merupakan komplikasi yang lazim pada
transplantasi paru.1
V. Epidemiologi
Epidemi dari RSV berkembang pada iklim dengan musim hujan dan menjelang
kemarau, dan biasanya juga muncul pada musim yang bersamaan dengan
menjangkitnya para-influenza. Terdapat bukti bahwa RSV endemik di daerah sub
tropis dari Asia Tenggara sepanjang tahun , dan memuncak antara bulan Oktober
sampai Februari dan berkurang pada bulan Maret sampai Juli. 2 dari sub tipe RSV
telah di ketahui, yaitu tipe A dan tipe B, dengan tipe yang paling sering
menyebabkan infeksi yang berat. Tipe B biasanya mendominasi apabila tipe A
tidak dalam musim endemi. Penyakit ini sangat menular, penularan disebarkan
melalui sekresi hidung yang keluar dan sangat menular pada hari ke 6 sampai hari
ke 21 setelah gejala muncul. Waktu inkubasi antara 2 - 5 hari. Infeksi terjadi pada
anggota keluarga sebanyak 46 %, 98 % pada anak yang dititipkan pada perawatan
harian, 42 % pada staff rumah sakit dan sebanyak 45 % pada bayi yang dirawat di
RS tetapi tidak terinfeksi. Infeksi menyebar melalui muntahan dan penggunaan
sarung tangan, sedangkan baju khusus dapat mengurangi penyebaran infeksi
nosokomial. 25 % anak umur dibawah 1 tahun dan 13 % anak umur antara 1
sampai 2 tahun akan mendapatkan infeksi saluran nafas. Separuh dari angka
tersebut didapatkan gejala bersin yang diasosiasikan dengan infeksi saluran nafas.
RSV dapat ditemukan pada kultur pasien yang dirawat di RS yang menderita
infeksi tersebut dan 80 % nya berumur kurang dari 6 bulan. Diantaranya bayi
yang sehat 80 % dirawat di RS pada tahun pertama kehidupannya dan sekitar 50
22
% perawatan di rumah sakit adalah bayi antara umur 1-3 bulan. Kurang dari 5 %
perawatan di RS pada neonatus, kemungkinan dengan adanya antibodi yang
masih terdapat dari transplasental-maternal. Faktor resiko untuk onset yang dini
dari penyakit ini dan kemungkinan perawatan intensif dihubungkan dengan berat
badan lahir rendah, prematuritas, sosio-ekonomi rendah, hidup didaerah padat,
orang tua perokok, tidak diberikannya ASI ekslusif, dan perawatan harian. 1
VI. Patofisiologi
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi akut,
ditandai dengan obstruksi bronkioulus akibat edema, sekresi mucus, timbunan
debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi
limfosit peribronkialdan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara
berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit
saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang besar,
terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori kecil. Resistensi
pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena
radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan
air trapping dan hiperinflasi. Atelectasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi
total dan udara yang terjebak diabsorbsi. 3
Proses patologis ini akan mengganggu proses pertukaran gas normal di paru.
Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi, yang berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian
terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu
terjadi, kecuali pada beberapa pasien. Semakin tinggi laju respiratori, maka
semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan akan meningkat selama
end-expiratory lung volume meningkat dan compliance paru menurun.
Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila respirasi mencapai 60 x/menit. 3
Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3 – 4 hari, tetapi silia akan diganti
setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.3
Disamping pengruh destruktif virus dan respons hospes yang menyertai, belum
jelas peran apa yang dimainkan oleh bakteri yang menumpanginya. Pada
23
kebanyakan bayi dengan bronkiolitis, dengan atau tanpa pneumonia interstitial,
pengalaman klinis memberi kesan bahwa bakteri memainkan peran yang tidak
berarti.1 Berbeda antara bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentoleransi
udem saluran napas dengan lebih baik. Oleh karena itu, pada anak besar dan
orang dewasa jarang terjadi bronkiolitis bila terkena infeksi oleh virus.
VII. Manifestasi Klinis
Bronkiolitis Akut
Mula-mula bayi mendapatkan infeksi saluran napas ringan berupa pilek encer,
batuk, bersin-bersin, dan kadang-kadang demam. Gejala ini berlangsung
beberapa hari, kemudian timbul distres respirasi yang ditandai oleh batuk
paroksimal, mengi, dispneu, dan iritabel. Timbulnya kesulitan minum terjadi
karena napas cepat sehingga menghalangi proses menelan dan menghisap.
Pada kasus ringan, gejala menghilang 1-3 hari. Pada kasus berat, gejalanya
dapat timbul beberapa hari dan perjalananya sangat cepat. Kadang-kadang,
bayi tidak demam sama sekali, bahkan hipotermi. Terjadi distres pernapasan
dengan frekuensi napas 60 x/menit, terdapat napas cuping hidung,
24
penggunaan otot pernapasan tambahan, retraksi, dan kadang-kadang sianosis.
Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru
(terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan lien bisa teraba karena
terdorong diafragma akibat hiperinflasi paru. Mungkin terdengar ronki pada
akhir inspirasi dan awal ekpirasi. Ekpirasi memanjang dan mengi kadang-
kadang terdengar dengan jelas. Gambaran radiologik biasanya normal atau
hiperinflasi paru, diameter anteroposterior meningkat pada foto lateral.
Kadang-kadang ditemukan bercak-bercak pemadatan akibat atelektasis
sekunder terhadap obtruksi atau anflamasi alveolus. Leukosit dan hitung jenis
biasanya dalam batas normal. Limfopenia yang sering ditemukan pada infeksi
virus lain jarang ditemukan pada brokiolitis. Pada keadaan yang berat,
gambaran analisis gas darah akan menunjukkan hiperkapnia, karena
karbondioksida tidak dapat dikeluarkan, akibat edem dan hipersekresi
bronkiolus.3
Bronkiolitis Obliterans
Bronkiolitis obliterans adalah suatu peradangan kronik pada bronkiolitis
dimana sudah terjadi obliterasi pada bronkiolus.Pada mulanya dapat terjadi
batuk, kegawatan pernafasan dan sianosis dan disertai dengan periode
perbaikan nyata yang singkat. Penyakit yang progresif terlihat dengan
bertambahnya dispnea, batuk, produksi sputum, dan mengi. Polanya dapat
menyerupai bronkitis, bronkiolitis atau pneumonia.1 Temuan rontgenografi
dada berkisar dari normal sampai pola yang memberi kesan tuberkulosis
milier. Sindrom Swyer James dapat berkembang dengan dijumpainya
hiperlusensi unilateral dan pengurangan corak pembuluh darah paru pada
sekitar 10% kasus. Bronkografi menunjukan obstruksi bronkiolus, dengan
sedikit atau tidak ada bahan kontras yang mencapai perifer paru. Tomografi
terkomputasi (CT) dapat menunjukan bronkiektasia yang terjadi pada banyak
penderita. Temuan-temuan uji fungsi paru bervarisasi, yang paling sering
adalah obstruksi berat, namun demikian retreksi atau kombinasi obstruksi dan
retraksi dapat ditemukan. Diagnosis dapat dikonfirmasikan melalui biopsi
paru.1
25
VIII. Faktor Risiko
Salah satu faktor resiko yang terbesar untuk menjadi bronkiolitis pada umur
kurang dari 6 bulan, sebab paru-paru dan sistem kekebalan tidak secara penuh
berkembang dengan baik. Anak laki-laki cenderung untuk mendapatkan
bronkiolitis lebih sering dibanding anak-anak perempuan. faktor lain yang telah
dihubungkan dengan peningkatan resiko bronkiolitis pada anak-anak meliputi:4
a. Tidak pernah diberi air susu ibu sehingga tidak menerima perlindungan
kekebalan dari ibu.
b. Kelahiran prematur.
c. Pajanan ke asap rokok.
d. Sering dititipkan pada tempat banyak bayi-bayi contoh tempat penitipan anak,
panti asuhan.
e. Saudara kandung lebih tua dengan kontak infeksi dari sekolah/tempat bermain.
IX. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Dari hasil anamnesis
didapatkan gejala-gejala yang telah dijabarkan pada bagian manifestasi klinis
diatas. Untuk pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis
bronkiolitis adalah adanya takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu diatas 38,5 0C. Selain itu dapat ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis.3
Obstruksi saluran respiratorik bawah akibat respons inflamasi akut akan
menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha
pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan
napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan
ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi dan bila gejala
menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia < 6 minggu. 3
Masalah terbesar dalam diagnostik bronkiolitis adalah adanya kemungkinan
keterlibatan infeksi bersama dengan bakteri atau klamidia. Bila bronkiolitis ringan
atau infiltrat tidak tampak pada roentgen, ada kemungkinan infeksi komponen
26
dengan bakteri. Pada bayi usia 1-4 bulan, pneumonitis interstisial dapat
disebabkan oleh chlamydia trakhomatis. Pada keadaan ini mungkin riwayat
konjungtivitis, dan penyakit cenderung subakut. Terdapat keluhan batuk sering
tetapi tidak ada mengi dan tanpa demam.5
Diagnosis pasti infeksi VSR didasarkan pada deteksi virus atau antigen virus
dalam sekresi pernafasan. Spesimen harus diletakkan diatas es, dan langsung
dibawa ke laboratorium untuk diproses dengan deteksi antigen atau ditanamkan
pada suatu sel yang rentan. Aspirat mukus dari lubang hidung posterior ( nasal
washing ) merupakan spesimen yang optimal. Pulasan nasofaring atau tenggorok
juga dapat diterima. Aspirat trakea tidak perlu.
X. Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap
Dengan hitungan jumlah sel darah lengkap jarang bermanfaat karena sel darah
putih pada umumnya di dalam batas normal atau naik dan hitung jenis
mungkin normal atau bergeser kekanan atau kekiri
Urin
Berat jenis urin dapat menyediakan informasi bermanfaat mengenai balance
cairan dan kemungkinan dehidrasi.
Serum darah
Kimia serum darah tidaklah terpengaruh secara langsung oleh
infeksi/peradangan tetapi dapat membantu menerka beratnya derajat dehidrasi.
Analisa gas darah
Analisa gas darah mungkin diperlukan pada pasien yang sakitnya berat,
terutama yang menuntut ventilasi mekanik atau buatan.
Radiologi
Foto sinar x dada cukup diperlukan meliputi foto anterior-posterior dan
lateral. dapat terlihat gambaran (tergantung berat ringannya penyakit)
oHiperinflasi dan infiltrat yang tertutup, gambaran ini adalah nonspesifik dan
mungkin juga dapat pada gambaran pasien dengan sakit asma, pneumonia
yang tidak lazim atau karena virus, dan aspirasi cairan.
27
oAteletaksis fokal
oGambaran udara yang terperangkap
oGambaran sekat diafragma yang rata
oPeningkatan gambaran Garis tengah Antero posterior
oPeribronchial Cuffing
oFoto sinar x dapat juga mengungkapkan bukti alternatif untuk diagnosa
banding, seperti pneumonia lobaris , gagal jantung kongestif, atau aspirasi
benda asing.
Pemeriksaan lainnya:
oAntigen Test pada nasal wash, dapat mengungkap dengan cepat ( pada
umumnya di dalam 30 min) dan akurat ( kepekaan 87-91%, ketegasan 96-
100%) dalam pendeteksian RSV.
oKultur positif dengan direct fluorescent antibody, test hasil percobaan
dapat mengkonfirmasikan infeksi karena RSV .
oNasal washing test harus diperoleh dari anak-anak yang diperlukan opname
dan anak-anak yang berhadapan dengan resiko berat.
oKultur RSV lebih sedikit sensitip ( 60%) tetapi spesifitas mencapai 100%.
oPanel karena virus yang berhubungan dengan pernapasan, kultur untuk RSV
atau lain virus, atau pendeteksian dengan direct fluorescent antibody atau
dengan polymerase chain reaction mungkin bermanfaat untuk pertimbangan
yang berikut:
Sebagai pemeriksaan konfirmasi lainnya
Untuk mencari agen lain infeksius yang lain
Karena tujuan epidemiologik.
XI. Penatalaksanaan dan Pengobatan
28
Sebagaimana telah dibahas di atas penyebab tersering bronkiolitis adalah virus
terutama RSV, sehingga sebenarnya tidak pada tempatnya pemberian antibiotic
pada bronkiolitis.1 Di negara maju untuk membedakan infeksi karena RSV atau
bakteri dapat dilakukan dengan cepat yaitu uji serologis terhadap RSV dan
pemeriksaan CRP. Di Indonesia, penggunaan uji serologis terhadap RSV belum
rutin dikerjakan sehingga kadang-kadang sulit dibedakan dengan pneumonia
bakteri.6
Bayi umur kurang dari 6 bulan dengan bronkiolitis akut dan distress pernafasan
sebaiknya dirawat di rumah sakit bila ditemukan :
Kadar SpO2 kurang dari 92 %
Tidak dapat mempertahankan hidrasi oral
Respirasi meningkat, atau
Mempunyai riwayat penyakit kardio-respiratori yang kronik.
Saturasi di 40 % biasanya muncul sianosis, gejala extra pulmonal, apnea dan
asidosis merupakan tanda bayi di rawat di ruang rawat intensif. Hipoksemia
merupakan tanda kelainan laboratorium yang tampak untuk itu diperlukan
tambahan oksigen bagi pasien. Arah utama untuk pengobatan pasien dengan
bronkiolitis adalah dengan penggantian cairan dan suplemen cairan. Pada pasien
tersebut biasanya mengalami dehidrasi ringan dikarenakan berkurangnya asupan
cairan dan banyak kehilangan cairan melalui demam dan takipnea. Pengguanan
cairan tambahan agar diawasi agar tidak terbentuknya formasi edema paru. Terapi
supportive adalah mendeteksi cepat bila ada apnea dan memberikan perhatian
khusus terhadap demam pada neonatus.6
Pengobatan
Bronkodilator
Peran bronkodilator masih kontroversial. Penggunaan bronkodilator untuk
bronkiolitis menunjukkan perbaikan skor klinis untuk jangka pendek, tetapi
tidak terdapat perbaikan pada oksigenasi atau angka perawatan di RS. Alasan
yang kurang mendukung pemberian bronkodilator adalah karena pada usia bayi
peran bronkodilator kurang jelas. Pada keadaan bronkiolitis yang ominan
29
adalan inflamasinya bukan bronkokonstriksinya sehingga yang harus diberikan
adalah pemberian antiinflamasi bukan bronkodilator.6
Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid sistemik masih menjadikan perdebatan yang
berkepanjangan. Salah satu penelitian meta-analisis mengambil kesimpulan
peran kortikosteroid sistemik pada bronkiolitis adalah bermanfaat dalam hal
perbaikan klinis, lama rawat, dan lamanya gejala menghilang. Pada penelitian
tersebut dianjurkan pemberian kortikosteroid pada awal penyakit.7 Penelitian
lain menyatakan bahwa pemberian kortikosteroid pada kasus infeksi
respiratorik bawah akut yang memerlukan ventilator kurang bermanfaat.8
Kortikosteroid yang digunakan adalah prednisone, prednisolon,
metilprednison, hidrokortison dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan
konversi rata-rata dosis per hari serta rata-rata total paparan obat tersebut
dalam ekuivalen mg/KgBB prednisone. Rata-rata dosis perhari berkisar antara
0,6-6,3 mg/KgBB, dan rata-rata total paparan antara 3,0-18,9 mg/KgBB. Cara
pemberian adalah secara oral, intramuscular, dan intravena. Tidak ada efek
merugikan yang dilaporkan. 3
Antibiotik
Virus adalah etiologi utama pada bronkiolitis untuk itu penggunaan rutin dari
antibiotik sebaiknya dihindari untuk penyakit ini. Apabila bayi mengarah ke
arah lebih buruk dan menunjukkan kenaikan dari hitung sel darah putih
kedepannya menunjukkan tanda-tanda sepsis, selanjutnya kultur bakteri dari
darah, urine, dan cairan LCS sebaiknya diambil dan di follow up segera
dengan pemberian antibiotik spektrum luas. Penelitian yang dilakukan oleh
Kupperman dkk, dari 156 bayi dibawah umur 24 bulan yang sebelumnya sehat
dengan sedikit demam dan menderita bronkiolitis, menunjukkan bahwa bayi-
bayi ini mau tidak mau menderita bakteremia dan menderita infeksi saluran
kemih. Penggunaan rutin dari antibiotik tidak menunjukkan perbaikan dari
bronkiolitis.
Antivirus (Ribavirin)
30
Ribavirin (1 beta-D-ribafuranosyl-1,2,4-triazole-3-carbox-amide) adalah
analog nukleosida sintetik yang menggabungkan guanosin dan inosin
tampaknya di buat untuk mempengaruhi RNA massenger dan menghambat
sintesis protein virus. Ribavirin mempunyai spektrum luas aktivitas antiviral
invitro. Terapi ribavirin untuk infeksi RSV masih kontroversial dikarenakan
masih ada penggunaan aerosol, harga yang relatif mahal, toxisitas dan efek
samping.
Saat ini rekomendasi dari AAP terapi dengan ribavirin aerosol sedang
dipertimbangkan untuk bayi-bayi dengan resiko tinggi penderita penyakit
karena RSV :
a. Diantara mereka dengan komplikasi penyakit jantung kongenital termasuk
didalamnya hipertensi portal dan juga mereka yang menderita displasie
bronkopulmonar, kistik fibrosis dan penyakit paru kronik lainnya.
b. Mereka yang menderita penyakit yang didasari oleh penyakit imun.
c. Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan umur kurang dari 6 minggu
dengan penyakit penyerta seperti anomali kongenital multipel atau penyakit
neurologi metabolik.
Kesimpulannya ribavirin merupakan terapi yang aman tapi mahal, efisiensi dan
keefektifannya tidak tampak jelas menunjukan dalam penelitian. Penggunaan
ribavirin secara rutin pada saat ini kurang direkomendasikan.
Heliox
Heliox (campuran antara helium dengan oxygen) telah digunakan pada pasien
asma akut. telah ada laporan kasus yang menyatakan dan menjelaskan tentang
penggunaan heliox pada bayi laki-laki umur 4 bulan dengan bronkiolitis positif
RSV. Heliox mungkin bermanfaat sebagai tambahan untuk terapi konvensional
pada pasien bronkiolitis dalam keadaan kritis. Bagaimanapun studi klinis dari
terapi ini sangat diperlukan untuk mengetahui keefektifan terapi ini. Hal ini
dimungkinkan bahwa heliox dengan terapi nebulalisasi dapat sangat berguna
pada bayi dengan bronkiolitis berat atau pasien terpasang intubasi dan tidak
merespon dengan terapi konvensional.
XII. Pencegahan
31
Penyebaran dari RSV kemungkinan terjadi karena kontak langsung dengan sekret
pasien yang terinfeksi. Pencegahan penting pada staf rumah sakit seperti perhatian
khusus terhadap kebersihan sekret pasien dan kebersihan badan petugas rumah
sakit tampaknya dapat mengurangi penyebaran RSV di rumah sakit. Saat ini
menggunaan RSV imunoglobulin intra vena pada dosis tinggi (500 - 750 mg/Kg
BB) tampaknya dapat mencegah RSV pada pasien resiko tinggi, sebagai
tambahan RSV imunoglobulin intra venus dalam bentuk aerosol dapat
memberikan keuntungan pada pasien dengan bronkiolitis karena RSV. Dalam
penelitian baru oleh Rimensberger, dkk., menyimpulkan bahwa dosis tunggal
RSV imunodlobulin intra vena (0,1 gr/Kg BB) tidak menunjukan keuntungan
untuk bronkiolitis akut karena RSV.Saat ini tampaknya ada kerugian yang
ditimbulkan oleh penggunaan human polyclonal RSV- Imunoglobulin antibodi
spesifik pada bayi. Hal ini meliputi penggunaan bulanan secara intra vena antara
2-4 jam.
Insidensi tertinggi di rumah sakit pada kasus bronkiolitis karena RSV terjadi pada
bayi umur 2-5 bulan untuk itu vaksinasi dapat menstimulasi keefektifan setelah
bayi berumur 2 bulan.
XIII. Prognosis
Bronkiolitis Akut
Fase penyakit yang paling kritis terjadi selama 48-72 jam pertama sesudah batuk
dan dispnea mulai. Selama masa ini, bayi tampak sangat sakit, serangan apneu
terjadi pada bayi yang sangat muda dan asidosis respiratorik mungkin ada.
Sesudah periode klinis, perbaikan terjadi dengan cepat dan seringkali secara
drastis. Penyembuhan selesai dalam beberapa hari. Angka fatalitas kasus di bawah
1%, kematian dapat merupakan akibat dari serangan apnea yang lama, asidosis
respiratorik berat yang tidak terkompensasi, atau dehidrasi berat akibat kehilangan
penguapan air dan takipnea serta ketidak mampuan minum cairan. Bayi yang
memiliki keadaan-keadaan, misalnya penyakit jantung kongenital, displasia
bronkopulmonal, penyakit imunodefisiensi, atau kistik fibrosis mempunyai angka
morbiditas yang lebih besar dan mempunyai sedikit kenaikan angka mortalitas.
32
Angka mortalitasnya tidak sebesar pada bayi yang “beresiko tinggi” seperti di
masa yang silam. Perkiraan mortalitas pada bayi beresiko tinggi yang menderita
bronkiolitis. VSR ini telah menurun dari 37% pada tahun 1982 menjadi 3,5%
pada tahun 1988. Komplikasi bakteri seperti bronkopneumonia atau otitis media,
tidak lazim terjadi. Kegagalan jantung selama bronkiolitis jarang, kecuali pada
anak yang memiliki dasar penyakit jantung. Ada proporsi yang bermakna bahwa
bayi-bayi yang menderita bronkiolitis mengalami hiperreaktivitas saluran
pernafasan selama akhir masa anak-anak, tetapi hubungan antara kedua hal ini,
jika ada belum dimengerti. Kesan bahwa satu episode bronkiolitis dapat
mengakibatkan kelainan saluran pernafasan kecil yang jangkanya sangat lama
memerlukan pengamatan lebih lanjut. Kelainan ini sebagian dapat dijelaskan
melalui penemuan bahwa bayi yang memiliki hantaran pernafasan total rendah
lebih mungkin mengalami bronkiolitis dalam responnya terhadap infeksi virus
pernafasan. Bayi dengan bronkiolitis yang padanya berkembang saluran
pernafasan reaktif kemungkinan besar mempunyai riwayat keluarga asma dan
alergi, episode bronkiolitis akut lama, dan terpajan asap rokok.6
Bronkiolitis Obliterans
Beberapa minggu setelah mulainya gejala-gejala awal, penderita keadaan
umumnya menjelek sampai meninggal, tetapi kebanyakan bertahan hidup,
beberapa anak menderita kecacatan kronis.6
Daftar Pustaka
33
1. Orenstein DM. Bronchiolitis. In : Behrman RE, Kliegen RM, Arvin AM, editors.
Nelson Texbook of Pediatrics. 15th . Toronto : WB Saunders Company; 1987.p .
1211-2.
2. Krilov RL. Respiratory Syncytial Virus Infection. In : Medscape. Steele RW,
Kumar A, Lutwick LI, et al, editors. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/971488-overview#aw2aab6b2b2aa.
Accessed on April 28th, 2014.
3. Zain MS. Bronkiolitis. In : Buku Ajar Respirologi Anak. Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, editors. 1st ed. Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2010.p. 333-47.
4. Mayo Clinic Staff. Bronchiolitis. Available at :
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/bronchiolitis/basics/risk-factors/
con-20019488. Accessed on April 28th, 2014.
5. McIntosh K, Respiratory Syncytial Virus. In : Nelson Textbook of Pediatrics.
Vaughan VC, et al, editors. 13th ed. Toronto : WB Saunders Company; 1987.p .
1112 - 1114.
6. Van Woensel JBM, van Aalderen WMC, Kimpen JLL. Viral lower respiratory
tract infection in infants and young children. BMJ 2003; 327:36-40.
7. Garrison MM, Christakis DA, Harvey A, Cummings P, Davis RL. Stemic
corticosteroids in infant bronchiolitis: A meta-analysis. Pediatrics 2000; 105:44-
55.
8. Van Woensel JBM, van Aalderen WMC, de Weerd W, Jansen NJG, van Gestel
JPJ, Markhost DG, et al. Dexamethasone for treatment of patients mechanically
ventilated for lower respiratory tract infection caused by respiratory syncytial
virus. Thorax 2003; 58:383-7.
34