Upload
theo-uzzia
View
48
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
god
Citation preview
Budaya Kerja Bangsa Jepang
Apa yang terbesit dalam benak kita jika ditanya “Jepang itu negara seperti apa
sih?” pasti diantara kita memilikii jawaban yang berbeda-beda. Mungkin ada yang
menjawab “negara yang memiliki teknologi canggih”, atau “negara yang
perekonomianya maju”, dan lain sebagainya. Tapi, pernahkah kita berpikir
bagaimana mereka bisa seperti itu? Padahal mereka “miskin” sumber daya alam.
Jawabannya adalah masyarakatnya sendiri. Sudah sangat kita kenali dan pahami
oleh kita semua bahwa bangsa Jepang terkenal dengan sebutan bangsa yang
masyarakatnya memiliki etos kerja yang luar biasa dalam hal kerja keras, disiplin
tinggi dan tetap memegang teguh budaya leluhurnya seiring dengan kemajuan di
berbagai bidang IPTEK. Dalam kesehariannya masyarakat Jepang terutama para
pekerja menerapkan falsafah Bushido yaitu etos para Samurai, yang secara
harfiah Bushido itu berarti berasal dari Bu berarti senjata, Shi berarti Orang
(Bushi: Orang yang dipersenjatai atau dikenal sebagai prajurit), dan Do yang
artinya Jalan / The Way of Life. Sehingga makna Bushido dapat diartikan sebagai
Jalan Prajurit dan Bushido sendiri akhirnya dikenal sebagai karakter dasar budaya
kerja bangsa berjuluk Negeri Matahari Terbit ini.
Inilah 7 (tujuh ) prinsip dalam Bushido :
(1) Gi : keputusan benar diambil dengan sikap benar berdasarkan kebenaran, jika
harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, terhormat.
(2) Yu : berani, ksatria.
(3) Jin : murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama.
(4) Re : bersikap santun, bertindak benar.
(5) Makoto : tulus setulus-tulusnya, sungguh-sesungguh-sungguhnya, tanpa
pamrih.
(6) Meryo : menjaga kehormatan martabat, kemuliaan.
(7) Chugo : mengabdi, loyal.
Prinsip Bushido ini sekalipun awalnya diterapkan dikalangan para prajurit saja,
namun perputaran waktu yang membawa Jepang menjadi bangsa yang maju
adalah bukti bahwa bushido dapat diterapkan dalam segala aspek, termasuk para
wirausaha, birokrat dan kaum cendekiawan serta seluruh lapisan masyarakat.
Karena Bushido adalah karakter budaya kerja asli Jepang.
Dalam kenyataannya terjadi pada pekerja di perusahaan, orang Jepang sanggup
berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran. Mereka merasa
lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi
mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan
besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam
pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik
mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan.
Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/tahun.
Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja
itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain,
misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870
jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang
didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat
kerja. Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang Indonesia
yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat. Di Jepang, orang yang pulang kerja
lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang
tidak penting, malas dan tidak produktif. Bahkan istri-istri orang Jepang lebih
bangga bila suami mereka ”gila kerja” bukan ”kerja gila”. Sebab hal itu juga
menjadi pertanda suatu status sosial yang tinggi.
Untuk melancarkan urusan pekerjaanya, orang Jepang memegang teguh prinsip
tepat waktu dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan
perdagangan. Kedua elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang
dicapai Jepang sampai saat ini. Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si
samurai buta Zatoichi, Jepang harus memastikan segala-galanya, termasuk
rakyatnya, senantiasa bergerak cepat menghadapi perubahan disekelilingnya.
Jika semuanya berhenti bergerak, maka ekonomi Jepang akan runtuh seperti
Zatoichi yang luka dan mati karena gagal mempertahankan diri dari serangan
musuh. Karena ia tidak bergerak dan hanya dalam keadaan statis.
Selain dari faktor di atas, ada juga faktor lain yang mempengaruhi etos kerja
mereka. Diantaranya ialah:
1). Masyarakat Jepang tidak peduli pada agama.
Jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia, perbedaan yang paling besar
antara masyarakat Jepang dengan Indonesia adalah masyarakat Jepang tidak
peduli pada agama.
Dalam undang-undang dasar Jepang, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam
urusan agama. Dilarang keras memakai anggaran negara untuk hal-hal agama.
2). Etika orang Jepang : etika demi komunitas
Etika orang Jepang itu, tujuan utamanya membentuk hubungan baik di dalam
komunitas. Kebesaran komunitas bergantung pada situasi dan zaman. Negara,
desa, keluarga, perusahaan, pabrik, kantor, sekolah, partai, kelompok agama, tim
sepak bola dll, bentuknya apapun, orang Jepang mementingkan komunitas
termasuk diri sendiri. Sesudah Restorasi Meiji, pemerintah Meiji sangat
menekankan kesetiaan pada negara. Sesudah perang dunia kedua, objek
kesetiaan orang Jepang beralih pada perusahaan.
Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang adalah:
1. Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja. Tentu saja orang Jepang juga
tidak bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya
lumayan, orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya “Seandainya anda
menjadi milyuner dan tidak usah bekerja, anda berhenti bekerja ?”, kebanyakan
orang Jepang menjawab, “Saya tidak berhenti, terus bekerja.” Bagi orang Jepang
kerja itu seperti permainan yang bermain bersama dengan kawan yang akrab.
Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam
permainan ini, dan ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan-
kawan yang saling mempercayai sangat penting. Karena permainan terlalu
menarik, dia kadang-kadang lupa pulang ke rumah. Fenomena ini disebut “work
holic” oleh orang asing.
2. Mendewakan langganan. Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang
Jepang mendewakan client/langganan sebagai Tuhan. “Okyaku sama ha
kamisama desu.” (Langganan adalah Tuhan.) Kata itu dikenal semua orang
Jepang. Kata ini sudah motto bisnis Jepang. Perusahaan Jepang berusaha
mewujudkan permintaan dari langganan sedapat mungkin, dan berusaha
berkembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.
3. Bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis
sebagai perang yang melawan dengan perusahaan lain. Orang Jepang suka
membaca buku ajaran Sun Tzu, The Art of War untuk belajar strategis bisnis. Sun
Tzu adalah sebuah buku ilmu militer Tiongkok kuno, pada abad 4 sebelum masehi.
Sun Tzu itu suka dibaca oleh baik samurai dulu maupun orang bisnis sekarang.
Untuk menang perang, perlu strategis dan pandangan jangka panjang. Budaya
bisnis Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang
perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga kuat.
Semua orang Jepang tahu pribahasa “Hara ga hette ha ikusa ha dekinu.” (Kalau
lapar tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan pernah
menerima kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus makan dan
mempersiapkan kondisi lengkap. Tentu saja di medang perang, kedisiplinan
paling penting. Dalam buku Sun Tzu untuk mengajar kedisiplinan dilakukan cara
yang sangat kejam. Tetapi sekarang disiplin diajarkan di sekolah dasar.
Pendidikan di sekolah sangat penting. Masuk sekolah setiap hari tidak terlambat,
ikut pelajaran secara rajin, hal-hal itu dasar disiplin untuk kerja di dunia bisinis.
Dengan demikian keberhasilan Jepang sebagai negara maju, bukanlah
berdasarkan faktor kekayaan sumber daya alam. Tapi dari faktor sumber daya
manusia yang dapat didaya gunakan demi menutupi kekurangan yang ada pada
negara. Dengan karakteristik masyarakat yang ulet, rajin, gigih dan pantang
menyerah, Jepang akhirnya dapat menjadi negara besar yang maju dan tangguh
yang disegani negara lain di dunia sampai saat ini. (ed)